Anda di halaman 1dari 18

THARIQAH TAKHRIJ AL-FURU’ ALA AL-USHUL

Makalah ini dibuat memenuhi tugas


mata kuliah : Studi Ushul Fiqh Muqarin
Dosen Pengampu : Dr. H. Muh Syaifudin, MA

Disusun Oleh :
1. Herni Ambarwati NIM. 19200011010
2. M. Fathurrohman NIM. 19200011008

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ( FIKIH )


PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS WAHID HASYIM
SEMARANG
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan sosial masyarakat Islam demikian pesat sehingga menuntut
para ulama untuk senantiasa cerdas dan bijak dalam menilai situasi dan kondisi
umat. Salah satu aspek yang selalu aktual di kalangan umat dan ulama Islam
adalah masalah hukum fiqh, karena fiqh diharapkan mampu mengikuti dinamika
masyarakat Islam yang semakin kompleks. Pencarian hukum untuk menghadapi
berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat sebenarnya telah dimulai sejak
masa sahabat. Tradisi sahabat melahirkan pemikiran fiqih ini kemudian diikuti
oleh generasi sesudahnya yang dikenal dengan masa Tabi’in dan Tabi’ al-Tabi’in,
masa ijtihad imam-imam mazhab, masa kecemerlangan fiqh dan periode taqlid,
serta era kebangkitan kembali dari taqlid.

Salah satu kegiatan ilmiah di biang fiqh dan ushul fiqh adalah
mengembalikan berbagai pendapat ulama fiqh kepada ushul yang telah
dirumuskan oleh para imam mazhabnya, serta menjelaskan sebab-sebab
perbedaan pendapat dan dasar pijakan pendapatnya, dan yang tak kalah penting
adalah menjadikan ushul fiqh tidak hanya sekedar konsep teoritis tetapi mampu
menjadi ilmu terapan yang praktis. Tulisan ini mencoba mengungkap upaya
mengembalikan setiap pendapat fiqh kepada ushulnya, dengan tujuan agar dapat
diketahui bagaimana suatu pendapat muncul dan dasar pemikiran perumusannya.
Memang penulis akui bahwa dalam tulisan ini masih banyak terdapat kekurangan,
untuk itu penulis sangat berharap kiranya pembaca yang budiman berkenan
memberikan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tulisan ini. 

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apa Pengertian Thariqah Takhrij Al-Furu’ Ala Al-Ushul ?
2. Apa sumber hukumnya?
3. Siapa Tokoh dan Kitab-kitab Ushul Fiqh yang ditulis dengan metode
Takhrij Al-Furu’ ‘ala Al-Ushul?
4. Apa saja manfaat penerapannya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Takhrij, Furu’ dan Ushul

Menurut tatabahasa (lughawi), kata takhrij  merupakan


bentuk mashdar  dari kata ‫ريج‬333‫رج – تخ‬333‫رج – يخ‬333‫خ‬  yang berarti mengeluarkan,
mengeluarkan dari sesuatu, juga berarti perbedaan dua
warna. Takhrij sebagai mashdar dari kharraja menunjukkan bentuk fi’il
muta’addi, yang keluar itu bukanlah substansinya tetapi faktor
eksternal, contohnya mengeluarkan sesuatu dan memintanya
keluar berarti menggalinya dan menuntutnya keluar. Dalam Lisan al-Arab karya
Ibn Manzhur, takhrij memiliki berbagai makna, seperti : 1

:‫التخرجي‬
‫وعا‬.‫بعض((ه‬ ‫وألكت‬ ‫بعضه‬ ‫أبقت‬ :‫املرعى‬ ‫اإلبل‬ ‫وخرجت‬ .‫بعضه‬ ‫وترتك‬ ‫بعضه‬ ‫تألك‬ ‫أن‬ :‫املرتع‬ ‫الراعية‬ ‫خترجي‬
‫أنبت‬ ‫إذا‬ :‫خترجي‬ ‫في(((ه‬ ‫وع(((ام‬ ‫خترجي‬ ‫وفهيا‬ ‫خرج ((اء‬ ‫أرض‬ ‫وك ((ذكل‬ ،‫وج ((دب‬ ‫خص ((ب‬ ‫أي‬ :‫خترجي‬ ‫في ((ه‬ ‫م‬
 ‫لوح((ه‬ ‫الغالم‬ ‫وخرج‬ .‫ماكن‬ ‫دون‬ ‫ماكن‬ ‫يف‬ ‫نبهتا‬ ‫يكون‬ ‫أن‬ :‫األرض‬ ‫وخترجي‬ .‫بعض‬ ‫ينبت‬ ‫ومل‬ ‫املواضع‬ ‫بعض‬
‫يكتهبا‬ ‫مل‬ ‫مواضع‬ ‫فيه‬ ‫فرتك‬ ‫كتبه‬ ‫إذا‬ :‫خترجيًا‬

Menurut istilah, sebagaimana diuraikan oleh Muhammad Bakr Ismail Habib


dalam Ilmu Takhrij al-Furu ala al-Ushul yang dimuat dalam Majallah Jami’ah
Ummul Quro li Ulum al-Syariah wa al-Dirasat al-Islamiyah, takhrij  memiliki
berbagai pengertian sesuai dengan bidang ilmu orang
merumuskannya. Pertama menurut ulama hadis, takhrij adalah mengembalikan
hadis Nabawi kepada musnadnya atau kitab-kitab yang
memuatnya. Kedua, memfokuskan pembicaraan dan menghilangkan prasangka
yang menentangnya. Ketiga, menganalogikan suatu masalah kepada kasus yang

1 Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, jilid II, h. 252-253. Pengertian secara bahasa ini dikutip oleh
Muhammad Bakr Ismail Habib dalam Ilmu Takhrij al-Furu ala al-Ushul yang dimuat
dalam Majallah Jami’ah Ummul Quro li Ulum al-Syariah wa al-Dirasat al-Islamiyah, 1429 H, h.
286.
menyerupainya, setelah memahami makna yang menjadi alasan adanya hukum
pada masalah pertama. Keempat, menggali ushul dari furu’. Kelima, membangun
furu’ dari ushul, baik furu’ itu yang sudah difatwakan oleh para imam atau belum.
Pengertian inilah yang dipakai dalam pembahasan ini.

Menurut Ibn Taimiyah, takhrij adalah :  ‫ي ُْشهِب ُهَا‬ ‫ فَه َُو ن َ ْق ُل ُحمْك ِ َم ْسَأةَل ٍ إ ىَل َما‬: ‫َوَأ َّما التَّخْ ِر ُجي‬
‫ َوالت َّ ْس(( ِوي َ ُة بَيْهَن ُ َم((ا ِفي(( ِه‬، ( memindahkan hukum suatu masalah kepada kasus yang

menyerupainya atau ada kesaamaan antara keduanya.2  Defenisi ini juga digunakan
oleh al-Mardawi  dan Ibn Badran Ibn Farhun mendefenisikan takhrij
dengan ‫منصوصة‬ ‫إس تخراج حمك مس(أةل من مس(أةل‬. (mengeluarkan hukum suatu masalah
dari suatu masalah yang ada nashnya). Sedangkan menurut al-Syekh Alawi al-
Saqaf,  ‫مشاهبة‬ ‫احلمك من نص إماهمم ىف صورة إىل صورة‬  ‫أن التخرجي ان ينقل فقهاء املذهب‬ (takhrij
adalah fuqaha’ suatu mazhab menukilkan hukum dari pendapat imam mereka
dalam satu bentuk kepada bentuk yang serupa.3 Defenisi lain dikemukakan
oleh  Syek Muhammad Riyadh : ‫غ(ري منص(وص‬ ‫أن التخرجي ان ينظ(ر جمهتد املذهب ىف مس(أةل‬
‫علهيا فيقيسها عىل مسأةل منصوص علهيا ىف املذهب‬ (Takhrij adalah seorang mujtahid mazhab
meneliti masalah yang tidak ada nashnya lalu mengqiyaskannya kepada masalah
yang ada nashnya dalam suatu mazhab). 4

Kata Ushul merupakan bentuk jama’  dari kata Ashal, secara bahasa berarti

landasan tempat membangun sesuatu, baik bangunan itu kongkrit atau abstrak. Menurut

istilah, ushul memiliki beberapa makna, antara lain : (1) bermakna dalil seperti dalam
contoh :  ‫سنةاألصل ىف وجوب الصالة الكت((اب وال‬ “dalil wajib sholat adalah Alqur’an dan
sunnah”, (2)  bermakna kaidah umum yaitu  satu ketentuan yang bersifat umum yang

2 Ahmad ibn Abd al-Halim ibn Taimiyah, al-Musawwidah, Muhaqqiq : Muhammad Muhyi al-Din
Abd al-Hamid, Beirut : Dar al-Kutub, tt, h. 533.

3 Alawi al-Saqaf, Al-Fawaid al-Makiyah, Mesir : Musthafa al-Babi al-Halabi, tt, hal. 42-43.

4 Muhammad Riyadh, Ushul al-Fatwa wa al-Qadha’ fi al-Mazhab al-Maliki, Maroko : Mathba’ah


al-Najah, 1416 H, cet. I, h. 577.
berlaku pada seluruh cakupannya, seperti dalam contoh : ‫ة‬33‫الم على خمس‬33‫ني اإلس‬33‫ب‬

‫أصول‬ “Islam dibangun diatas lima kaidah umum”, (3) bermakna al-rajih ( yang lebih
kuat dari beberapa kemungkinan) seperti dalam contoh :  ‫األص(((((ل ىف الالكم‬
‫احلقيقة‬  “pengertian yang lebih kuat dari suatu perkataan adalah pengertian hakikatnya”,(4)
bermakna asal tempat menganologikan sesuatu yang merupakan salah satu dari rukun

qiyas. Misalnya khamar merupakan asal ‘ (tempat mnegiyaskan) narkotika, dan (5)

bermakna sesuatu yang diyakini bilamana terjadi keraguan dalam satu masalah, misalnya,

seseorang yang menyakini bahwa ia telah berwudhu, kemudian ia ragu apakah


wudhu’nya sudah batal, maka dalam hal ini ketetapan fiqh mengatakan :  ‫األص ((ل‬
‫الطهارة‬ “yang diyakiki adalah keadaan ia dalam keadaan berwudhu”. Artinya, dalam hal
tersebut yang dipegang adalah sesuatu yang diyakini itu. 5 Menurut ulama

fiqih, ashal adalah tempat hukum yang ditetapkan dengan nash atau ijma’, dan menurut

Mutakallimin, ashal itu adalah nash yang menunjukkan hukum, karena ashal itu yang

menjadi landasan pembangunan hukum. 6 Dalam istilah qiyas, ashal adalah sesuatu yang

ada nash hukumnya. 7 Kata furu’ merupakan bentuk jama’ dari far’un yang berasal dari

kata  fara’a, farra’a dan tafarra’a yang berarti cabang atau

bercabang. Far’u atau furu’ menurut ulama ushul adalah sesuatu yang tidak ada nash

hukumnya.8 Furu’ selalu dipakai untuk menggambarkan permasalahan sosial yang

senantiasa berkembang sehingga tidak lagi terjangkau oleh nash, dan untuk mendapatkan

hukumnya mesti melalui proses qiyas.

 Para ulama terdahulu tidak memberikan defenisi terhadap cabang ilmu ini.

Defenisi baru diberikan oleh ulama generasi berikutnya, khususnya para pentahqiq dalam

bidang ilmu ini. Berbagai komentar ulama seputar masalah ini antara lain :

5 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Damascus : Dar al-Fikri, 1998, h. 16. Lihat juga
Satria Efendi, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2005, h. 2.
6 Wahbah al-Zuhaili, Op.cit, h. 605.
7 Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Semarang : Dina Utama, 1994, h. 80
8 Ibid, Lihat juga Wahbah al-Zuhaili, Op. cit, h. 606.
1. Prof. Muhammad Ali Farkus dalam muqaddimah dan tahqiq kitab Miftah al-

Wushul ila Bina’ al-Furu’ ala al-Ushul karya al-Tilimsani mengatakan :”Telah

berlaku hikmah tasyri’, yaitu bertambah lapangnya umat dengan terbukanya pintu

penggalian hukum-hukum dari nash-nash syariah dalam berbagai masalah dan

kasus-kasus terbaru, tersingkap pula hubungan yang kuat antara kaidah ushuliah

dan furu’ fiqhiah. Hubungan inilah yang dikenal dengan takhrij al-furu’ ala al-

ushul.

2. Dr. Muhammad Hasan Hito, dalam penjelasan ilmu ini setelah menjelaskan

kemuliaan ilmu ushul fiqh dan istinbath hukum-hukum syara’ tergantung

padanya, mengatakan : para pelopor ilmu-ilmu syariah biasa mendefenisikan

seputar hubungan antara qaidah-qaidah ijmali dan cabang-cabang fiqh ini dan

seputar pengaruhnya terhadap perbedaan dalam-dalil ijmali. Jadi ilmu ini menjadi

gambaran pengetahuan tentang hubungan antara qaidah-qaidah ushul ijmali dan

cabang-cabang fiqh.

3. Dr. Ya’qub al-Ba Husain mendefenisikannya sebagai ilmu yang membahas

tentang illat-illat atau sumber hukum syariat untuk mengembalikan furu’

kepadanya sebagai penjelasan bagi sebab-sebab perbedaan pendapat atau untuk

enjelaskan huku kasus yang tidak ada nashnya dari para imam dengan

emasukkannya kedalam qaidah-qaidah dan ushul mereka.

4. Prof. Dr. Muhammad Ibrahim al-Hafnawi mendefenisikan dengan : Penggalian

hukum-hukum kasus terbaru yang belum dikenal adanya pendapat imam-imam

mazhab dalam masalah tersebut. 9

9 Muhammad Bakar Ismail Habib, Op.cit, 286-288


Dari berbagai defenisi di atas, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Ya’qub al-Ba

Husain dalam kitabnya al-Takhrij inda al-Fuqoha’ wa al-Ushuliyin, 10 memberikan

beberapa pengertian, antara lain :

a. Secara umum, takhrij menyampaikan kepada ushul dan qaidah yang dibangun

para imam sebagai landasan sesuatu yang mereka kaitkan kepada hukum-hukum

dalam masalah fiqh yang dinukil dari mereka.

b. Secara umum, takhrij mengembalikan semua perbedaan pemikiran fiqih kepada

qaidah ushul, menurut cara yang ditempuh kitab Takhrij al-Furu’ ala al-

Ushul karya al-Zanjani dan kitab al-Tamhid fi Takhrij al-Furu’ ala al-

Ushul karya al-Asnawi, atau kitab al-Qawa’id wa al-Fawa’id al-Ushuliyah wa

al-Fiqhiyah karya Ibn Lahham.

c. Kadang-kadang takhrij – sesuai kebiasaan pemakaiannya di kalangan fuqaha’,

bermakna penggalian hukum terbatas (al-istinbath al-muqayyad), artinya

menjelaskan pendapat imam dalam masalah-masalah juz’iyat yang tidak ada

nashnya dengan cara mencari relevansinya dengan sesuatu yang menyerupainya,

atau dengan memasukkannya kebawah salah satu qaidah. Takhrij menurut makna

ini adalah apa-apa yang diperbincangkan oleh fuqoha’ dan ushuli dalam

pembahasan ijtihad dan taqlid dan dalam kitab-kitab yang terkait dengan hukum-

hukum fatwa, dan inilah yang disebut Takhrij al-Furu ala al-Furu’.

d. Fuqaha’ kadang-kadang memperluas takhrij dengan makna penalaran illat (al-

ta’lil), atau mengarahkan pendapat-pendapat yang dinukil dari para imam dan

menjelaskan sumber pendapatnya dengan cara menggali illat dan menyandarkan

hukum kepadanya.

10 Syekh Ya’qub al-Ba Husain, al-Takhrij inda al-Fuqoha’ wa al-Ushuliyin, Riyadh : Maktabah


al-Rusyd, 1414 H, cet. I, h. 11-12
B. Sumber-sumber Hukum

Ilmu Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul merupakan ilmu yang menggabungkan dua ilmu,

yaitu ushul fiqh dan fiqh, maka sumber ilmu Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul  adalah

gabungan keduanya. Ilmu ini mengambil sumber qaidah-qaidah ushul dari ilmu ushul

fiqh dan mengambil cabang-cabang fiqh dari ilmu fiqh dan menghubungkannya

kembali kepada ushul. Ini adalah bentuk takhrij yang pertama yaitu adanya hubungan

furu’ yang ada dengan ushulnya yang jelas.

Bentuk kedua adalah penggalian hukum-hukum kasus dan problematika kontemporer

yang tidak ada pernyataannya dari ulama, juga bersumber dari ushul qaidah-qaidah

ushuliyah yang menjadi landasan furu’ yang baru, sebagaimana furu’ itu diambil dari

fiqh yang menyerupainya dan diberlakukan sesuai dengan metode imam dan

mengistinbatkan hukum dan menghubungkannya dengan berbagai qaidah.

Dr. Ya’qub al-Ba Husain mengungkapkan bahwa ilmu bahasa Arab dan

ilmu khilaf (perbedaan pendapat/perbandingan mazhab) termasuk sumber

ilmu Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul.  11 Kenyataannya bersumbernya dari bahasa Arab

pada dasarnya kembali hakikatnya yaitu ilmu ushul fiqh, sebab qaidah-qaidah ushul

dibangun dari qaidah bahasa Arab. Demikian juga ilmu khilaf dipakai oleh orang yang

memakai metode perbandingan mazhab dan menjelaskan perbedaan pendapat diantara

mereka dan dasar-dasarnya, hanya saja ia menunjukkan lapangan perdebatan lebih

dominan dari pada lapangan takhrij.

Ilmu Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul bukanlah semata-mata perbedaan pendapat antara

fuqaha’ dan penjelasan sebab-sebabnya, sebagiannya menghubungkan antara ilmu

takhrij dalam pengertian terdahulu dengan perbedaan pendapat (ikhtilaf) dan

perdebatan, dan menjadikannya satu kesatuan dan saling terkait.

C. Tokoh dan Kitab-kitab Ushul Fiqh yang ditulis dengan metode Takhrij
Al-Furu’ ‘ala Al-Ushul

11 Syekh Ya’qub al-Ba Husain, Op.cit, h. 61.


a. ‫ تأسيس النظائر‬karangan As-Samarkandi (373 H)
Kitab ini dikarang oleh Imam Abu Al-Laits As-Samarkandi. Sayangnya,
kitab ini belum dicetak dan diedarkan di pasaran. Informasinya, kitab ini
sudah di tahqiq oleh Syekh Ali Muhammad Ramadlan dibawah bimbingan
Dr. Hasan bin Ali Asy-Syadzili sebagai tesis untuk magisternya di
Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar. Ada beberapa catatan tentang
buku ini terutama keterkaitannya dengan Ta’sis An-Nazhar nya Ad-
Dabusi.
Metodologi yang digunakan oleh As-Samarkandi dan Ad-Dabusi sangat
mirip, bahkan nyaris tidak ditemukan perbedaan mendasar antara
keduanya.
Diantara perbedaan antara Ta’sis An-Nazhair dan Ta’sis An-Nazhar ialah
dalam Ta’sis An-Nazhar, Imam Ad-Dabusi menuliskan sebanyak 86
kaedah ushul sedangkan dalam Ta’sis An-Nazhair hanya 74 kaedah.
b. ‫ تأسيس النظر‬karangan Abu Zaid Ad-Dabusi (430 H)

Kitab ini dikarang oleh Imam Abu Zaid Ad-Dabusi. Seperti yang telah
diungkapkan diatas bahwa kitab ini begitu mirip dengan kitab As-
Samarkandi (Ta’sis An-Nazhoir). Kitab ini sendiri mengandung beberapa
kaedah dan dhabith fiqh yang semuanya menggunakan redaksi Al-Ashl.
Namun, walaupun kitab ini mengandung banyak kaedah dan dhabith fiqh,
ia tetap masuk dalam kategori kitab Takhrij karena tujuan dari penulisan
kaedah tersebut hanya berfungsi untuk menjelaskan bagaimana metode
membangun masalah cabang dari kaedah pokok yang ada.

Kitab ini sendiri dianggap sebagai kitab yang luar biasa yang ditulis pada
kurun ke 5 hijriyah, mengingat bahwa metode ini sendiri termasuk metode
baru dalam penulisan kitab Ushul fiqh dan menghasilkan pemikiran baru
dalam teori ilmunya. Kitab ini juga dianggap sebagai kitab ushul fiqh
komparatif mengingat didalamnya banyak sekali menguraikan tentang
perbedaan pendapat pada mujtahid mutlak dalam membangun mazhab
mereka.

c. ‫ تخريج الفروع على االصول‬karangan Az-Zinjani (656 H)


Kitab ini dikarang oleh Imam Syihabuddin Mahmud bin Ahmad Az-
Zinjani Asy-Syafi’i. Penulisan kitab ini tergolong unik lantaran ditulis
oleh seseorang yang bermazhab Syafi’i yang biasanya lebih cenderung
pada metode penulisan Mutakallim. Bisa dibilang, Az-Zinjani adalah
peletak dasar pengenalan metode Takhrij Furu’ Ala Al-Ushul ke dalam
mazhab fiqh syafi’i.
Kitab ini sendiri bisa dikatakan luar biasa karena penulisannya cukup
keluar dari pakem yang ada saat itu, dimana biasanya kitab-kitab ushul
lebih konsen kepada penulisan kaedah pokok dan tidak menyinggung
masalah dan kaedah cabang. Penulis sendiri mengungkapkan bahwa tujuan
penulisan kitab ini adalah untuk menjelaskan posisi perbedaan yang terjadi
di antara para ulama dan bahwasanya perbedaan tersebut kembali kepada
perbedaan ushul yang dipegang oleh masing-masing ulama.
Adapun metode penulisan kitab ini, biasanya dimulai dengan
menyebutkan masalah ushul atau masalah fiqh yang memunculkan
beberapa masalah cabang. Setelah itu, disebutkan bagaimana metode
masing-masing ulama mujtahid dalam memandang masalah tersebut. Dari
perbedaan metode dan kaedah dasar inilah, kemudian dikembangkan
dalam beberapa masalah cabang lainnya yang merupakan implikasi dari
perbedaan metode tersebut. Adapun dari segi runutan penulisan, kitab ini
lebih terlihat disusun ala bab-bab fiqh yang mengandung sekitar 31
pembahasan. Secara umum, kitab ini mengandung 95 buah kaedah yang
terhimpun dalam beberapa tema-tema fiqh tadi.
Yang menarik adalah, bahwa kitab ini tidak membatasi pemahaman
redaksi “Ushul” kepada kaedah ushul fiqh saja, namun lebih jauh penulis
memaknai redaksi tersebut sebagai sesuatu hal yang bersifat Umum dan
Komprehensif seperti Kaedah Ushul fiqh, Kaedah fiqh, bahkan terkadang
Dhabith fiqh.
d. ‫ مفتاح الوصول الى بناء الفروع على االصول‬karangan At-Tilmisani (771 H)
Kitab ini dikarang oleh Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-
Maliki Asy-Syarif At-Tilmisani. Kitab ini sendiri ditulis dengan
metodologi tersendiri yang cukup membedakannya dari kitab-kitab ushul
fiqh lainnya. Secara umum, penulis tidak hanya menjadikan kaedah ushul
fiqh sebagai dalil namun juga hal-hal yang bersifat lazim/kemestian bagi
kaedah ushul fiqh tersebut. Artinya, dalil menurut penulis itu ada dua
jenis, pertama: Kaedah Ushul fiqh, kedua: Hal-hal yang menjadi
kemestian/lazim bagi kaedah tersebut.
Ketika membahas tentang Dalil Naql, penulis mengajukan beberapa syarat
tentang keotentikan dalil tersebut, diantaranya : Ada ketersambungan
sanad yang bersifat valid kepada Syari’, Korelasi yang jelas antara dalil
dan hukum yang dihasilkan, kontinuitas hukum dan tidak adanya nasakh,
serta merupakan pendapat yang kuat dari paradox pemaknaan atas zahir
dalil.
Dari sisi redaksi penulisan, penulis sering menggunakan redaksi
Jidal/perdebatan serta redaksi logis ala Mantiqi. Adapun dari sisi Istidlal -
sama seperti kebanyakan kitab ushul fiqh metode takhrij sebelumnya -
penulis tidak banyak dalam mengungkapkan istidlal atas sebuah masalah.
Dan mengingat bahwa kitab ini dikarang oleh seorang Maliki, maka
pendapat mazhab Maliki serta para mujtahidnya mendapatkan porsi yang
cukup banyak dalam kitab ini.
e. ‫ في تخريج الفروع على االصول‬k‫ التمهيد‬karangan Al-Isnawi (772 H)
Kitab ini dikarang oleh Imam Jamaluddin Abu Muhammad Abdurrahim
bin Hasan Al-Isnawi Asy-Syafi’i. Kitab ini sendiri seperti yang diutarakan
oleh penulisnya adalah kitab pertama yang ditulis dengan metode takhrij
dalam ruang lingkup mazhab Syafi’i. Di masa-masa setelahnya, kitab ini
banyak menjadi inspirasi para ulama dalam menulis kitab-kitab lain
terutama yang beraliran takhrij.
Secara umum, kitab ini terdiri dari 7 tema besar yang diungkapkan penulis
dengan redaksi “Al-Kitab”. 7 Tema besar ini sendiri mengandung 188
masalah. Dari sisi penulisan, kitab ini disusun ala metodologi fatwa bukan
ala bab-bab fiqh seperti yang dilakukan Az-Zinjani. Dalam penulisannya,
Al-Isnawi memulai dengan penyebutan Hukum atau kaedah lalu
pengutaraan dalil dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Setelah itu ia
mendatangkan beberapa hal yang dianggap paradox lalu melakukan tarjih
atas masalah tersebut.
f. ‫ القواعد و الفوائد االصولية‬karangan Ibn al-Liham (803 H)
Kitab ini dikarang oleh Imam Abu Hasan Alauddin bin Muhammad bin
Abbas yang lebih dikenal dengan Ibn Al-Liham. Diantara perbedaan
antara kitab ini dengan kitab takhrij sebelumnya adalah pengarang
mencampurkan antara Kaedah Ushul dan furu’nya. Hal ini terasa berbeda
lantaran porsi implementasi kaedah lebih banyak diberikan. Secara umum,
kitab ini memuat 66 kaedah ushul dimana masalah cabang dibangun atas
kaedah ushul ini.
Dari sisi penulisan, kitab ini sendiri tidak ditulis ala bab-bab fiqh, namun
lebih kepada tertib penulisan ushul fiqh yakni menuliskan kaedah kubra
terlebih dahulu.
D. Manfaat Penerapannya

Ilmu Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul memiliki manfaat sebagai berikut :

1. Mengenali sumber pendapat ulama dan menelusuri asalnya.


2. Memberi perhatian terhadap penggalian hukum yang tidak ada
pernyataannya dari para ulama. Ilmu ini akan menumbuhkan
kemampuan fiqh, melatih pemerhati dalam mengistinbathkan dan
mentarjih serta mengklasifikasikan masalah-masalah dan
mendasarkan kepada dalil-dalil, dan mengetahui berbagai pendapat
ulama dalam berbagai masalah yang tidak ada nashnya, dan hukum-
hukum kontemporer yang muncul.
3. Ilmu ini mengeluarkan ilmu ushul fiqh dari aspek teoritisnya kepada
aspek aplikasi praktis, sehingga didapatkan buah (hukum) yang lahir
dari qaidah ushuliyah, sehingga ilmu ushul menjadi tambah jelas.
4. Dengan mengeluarkan ilmu ushul fiqh dari aspek teoritisnya kepada
aspek aplikasi praktis, membuktikan adanya hubungan antara fiqh dan
ushulnya,
5. Dalam takhrij yang memperbandingkan antara mazhab-mazhab dan
menjelaskan dasar-dasar perbedaan pendapat ulama, menampakkan
bahwa ikhtilaf yang terjadi antara ahli-ahli fiqh dalam
mengistinbathkan hukum bukanlah lahir dari keinginan hawa nafsu
atau berhukum kepada akan semata dan mendahulukanya dari pada
syara’, tetapi menjelaskan bahwa perbedaan itu terjadi atas dasar
ilmiah, qaidah-qaidah dan metodologi dalam istinbath.
6. Seiring dengan mengembalikan hukum-hukum fiqh kepada qaidah
ushul serta mengetahui bahwa semua perbedaan pendapat kembali
kepada sumber dan metode istinbath, seorang pemerhati mengetahui
pendapat yang rajih dari yang marjuh dalam qaidah-qaidah ushul,
yang sangat membantu mendekatkan antara mazhab-mazhab dan
meminimalisir pertentangan antara para pengikutnya. 
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Takhrij menurut makna ini adalah apa-apa yang diperbincangkan oleh fuqoha’ dan
ushuli dalam pembahasan ijtihad dan taqlid dan dalam kitab-kitab yang terkait dengan
hukum-hukum fatwa.

Ilmu ini mengambil sumber qaidah-qaidah ushul dari ilmu ushul fiqh dan mengambil
cabang-cabang fiqh dari ilmu fiqh dan menghubungkannya kembali kepada ushul. Ini
adalah bentuk takhrij yang pertama yaitu adanya hubungan furu’ yang ada dengan
ushulnya yang jelas.

Adapun tokoh dan kitab-kitab ushul fiqh yang ditulis dengan metode takhrij al-
furu’ ‘ala al-ushul ‫ تأسيس النظائر‬karangan As-Samarkandi (373 H), ‫تأسيس النظر‬
karangan Abu Zaid Ad-Dabusi (430 H), ‫ول‬kk‫روع على االص‬kk‫ريج الف‬kk‫ في تخ‬k‫د‬kk‫التمهي‬
karangan Al-Isnawi (772 H), ‫ مفتاح الوصول الى بناء الفروع على االصول‬karangan At-
Tilmisani (771 H), ‫ول‬kk‫روع على االص‬kk‫ في تخريج الف‬k‫ التمهيد‬karangan Al-Isnawi (772
H), ‫ القواعد و الفوائد االصولية‬karangan Ibn al-Liham (803 H).
DAFTAR PUSTAKA

Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, jilid II, h. 252-253. Pengertian secara bahasa ini
dikutip oleh Muhammad Bakr Ismail Habib dalam Ilmu Takhrij al-Furu
ala al-Ushul yang dimuat dalam Majallah Jami’ah Ummul Quro li Ulum
al-Syariah wa al-Dirasat al-Islamiyah, 1429 H.

Ahmad ibn Abd al-Halim ibn Taimiyah, al-Musawwidah, Muhaqqiq : Muhammad


Muhyi al-Din Abd al-Hamid, Beirut : Dar al-Kutub.

Alawi al-Saqaf, Al-Fawaid al-Makiyah, Mesir : Musthafa al-Babi al-Halabi.

Muhammad Riyadh, Ushul al-Fatwa wa al-Qadha’ fi al-Mazhab al-Maliki,


Maroko: Mathba’ah al-Najah, 1416 H.

Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Damascus : Dar al-Fikri, 1998, h. 16.


Lihat juga Satria Efendi, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2005.

Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Semarang : Dina Utama, 1994.

Syekh Ya’qub al-Ba Husain, al-Takhrij inda al-Fuqoha’ wa al-


Ushuliyin, Riyadh : Maktabah al-Rusyd, 1414 H.

Anda mungkin juga menyukai