Anda di halaman 1dari 26

Mengenal Ilmu Usul Fikih

Makna Usul Fikih

Untuk mengetahui makna usul fikih, ada baiknya kita terlebih dahulu mengurainya

menjadi dua kata: usul dan fikih.

Secara Bahasa Usul adalah kata serapan dari bahasa Arab yaitu ushul, bentuk plural

dari ashl, yang berarti dasar, asas, pokok, atau fondasi. Allah Ta’ala berfirman,

‫فْ ت َ َرْ أَلَ ْم‬


َ ‫ب َكي‬
َْ ‫ض َر‬
َ ‫ّللاه‬
َْ ‫ل‬ ْ ً َ ‫ط ِيبَ ْةً َك ِل َم ْةً َمث‬
َ ْ‫ش َج َرة‬ َ ‫ع َها ثَا ِبتْ أَصله َها‬
َ ‫ط ِيبَةْ َك‬ ‫َوفَر ه‬
‫اءْ ِفي‬
ِ ‫س َم‬
َ ‫ال‬

“Tidakkah engkau perhatikan bagaimana Allah mengumpamakan kalimat yang baik

seperti pohon yang baik: ashluha‘ akar nya’’dasarnya’ kuat dan cabangnya

menjulang tinggi ke langit.” (QS. Ibrahim 24).

Di dalam ayat ini, kata ashl, yang merupakan bentuk tunggal dari ushul dipakai untuk

menjelaskan makna fondasi pohon, yaitu akarnya.

Di dalam makna istilah, usul memiliki beberapa makna. Di antaranya adalah dalil,
pendapat yang paling kuat, kaidah, dan hukum asal.[1]

Sedangkan fikih atau fiqh dalam bahasa Arab merupakan bentuk mashdar (kata

benda yang bermakna kata kerja) dari faqiha-yafqahu yang berarti memahami,

mengerti, mengetahui, atau yang semakna dengan itu. Allah Ta’ala berfirman

tentang Nabi Musa ‘alaihissalam yang memanjatkan doa,

ْ ‫عق َدْة ً َواحله‬


‫ل‬ َ ‫قَو ِلي يَف َق ههوا )*( ِل‬
‫سانِي ِمنْ ه‬

“Dan lepaskan kekakuan dari lisanku, agar mereka yafqohu‘memahami’

perkataanku.” (QS. Thaha: 27-28)

Dalam makna istilah, fikih berarti suatu disiplin ilmu yang membahas hukum-hukum

syariat yang berupa amal perbuatan disertai dengan dalil-dalil yang terperinci.[2]

fikih bermakna juga sebagai hukum syari itu sendiri.

Setelah mengetahui makna dua kata di atas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa

usul fikih adalah ilmu yang membahas dalil-dalil fikih secara global dan mengupas

metode dalam menarik hukum dari dalil-dalil tersebut, serta kondisi orang yang

menarik hukum tersebut.[3]


Sehingga dapat kita uraikan secara garis besar usul fikih mencakup tiga pembahasan:

1.Dalil-dalil syar’i, baik yang disepakati eksistensinya, seperti Alquran, sunah, ijmak,

dan kias, maupun diperselisihkan eksistensinya oleh para ulama, semisal istish-hab,

perkataan sahabat, syariat sebelumnya, istihsan, dan mashalih mursalah .

2.Metode dalam ber-istinbath atau ber-istidlal, yaitu menarik hukum syar’i dari dalil

tersebut. Semisal mengetahui lafal amr-nahy (perintah-larangan), nasih-mansukh

(penganulir-dianulir), ‘am-khash (umum-khusus), muthlaq-muqayyad (mutlak-

terikat) , mujmal-mubayyan (global-dirinci), manthuq-mafhum (tekstual-implisit),

dan lafal lain yang berguna dalam ber-istidlal

3.Kondisi seorang mujtahid yang beristidlal, termasuk membahas pertentangan dalil,

bagaimana menguatkan pendapat, seputar fatwa, juga bicara mengenai taklid, dan

lain sebagainya.

Untuk memudahkan kita memahami usul fikih, ada baiknya kita menggunakan

metode mind map atau peta pikiran, serta analogi, permisalan yang acap kali

dipraktikkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menggambarkan

suatu hal kepada para sahabatnya.


Kita gambarkan usul fikih sebagai sebuah pohon yang besar dan berbuah. Buahnya

matang dan siap dipetik. Lalu datang seseorang yang mencoba untuk memetik

buah tersebut. Inilah gambaran usul fikih secara sederhana.

Pohon tersebut ibarat sumber hukum di dalam Islam, yaitu Alquran, sunah, ijmak,

dan qiyas. Sedangkan buah pohon itu adalah hukum itu sendiri, yakni wajib, sunah,

mubah, makruh, atau haram. Orang yang datang untuk memetik buah itu adalah

seorang mujtahid. Ia ingin memetik buah berupa hukum dari pohon yang

merupakan sumber hukum. Terakhir, cara orang tersebut memetik buah adalah

metode dalam mengeluarkan hukum suatu permasalahan dari sumber hukum itu

sendiri, yang sudah kita singgung sebelumnya sebagai istidlal atau istinbath. Nah,

usul fikih adalah disiplin ilmu yang membahas itu semua: pohon, buah, orang yang

memetik buah, serta cara orang tersebut memetik buah.[4]

Sejarah Ilmu Usul Fikih

Sebagaimana disiplin ilmu lainnya, usul fikih pun mengalami proses sejarah yang

cukup panjang, sejak muncul berupa pengetahuan, kemudian dibukukan dan

menjadi disiplin ilmu yang mandiri, hingga saat ini.


Sejatinya, usul fikih sudah ada di zaman Nabi. Para sahabat sudah mengenal

bagaimana langkah yang digunakan dalam mengeluarkan hukum dari suatu dalil.

Para sahabat sudah mengetahui adanya kias, bisa membedakan lafal yang umum

dan yang khusus, serta cabang-cabang disiplin ilmu usul fikih lainnya. Semua itu

mereka pelajari langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dari sabda-

sabda beliau, dari praktik beliau, penjelasan beliau terhadap ayat-ayat Alquran, dari

tanya jawab bersama beliau, dan lain sebagainya. Hanya saja, pada masa tersebut,

usul fikih sebagaimana disiplin ilmu lainnya belumlah menjadi suatu disiplin ilmu

tersendiri karena tidak ada keperluan untuk hal itu, mengingat sahabat adalah orang

yang berilmu dalam hal tersebut.

Sampai berlalu puluhan tahun, atas kehendak Allah, Imam Syafi’i berhasil melahirkan

disiplin ilmu usul fikih. Adalah Ar-Risalah, megakarya Imam Syafi’i yang memelopori

lahirnya usul fikih. Kitab yang awalnya ditujukan kepada Abdurrahman bin Mahdi itu

disebut-sebut sebagai kitab induk di dalam disiplin ilmu usul fikih.

Ada yang berpendapat bahwa yang pertama kali menyusun poin-poin ilmu usul

fikih ke dalam satu pembahasan adalah Abu Yusuf, sahabat Imam Abu Hanifah. Akan

tetapi, karya beliau tersebut tidak sampai ke tangan kita, berbeda dengan karya

Imam Syafi’i yang disebarkan oleh murid sekaligus sahabat beliau, Ar-Rabi’ bin

Sulaiman al-Murady hingga masih terjaga hingga saat ini.[5]


Di masa ini, mayoritas fukaha, ulama di dalam ilmu fikih, memiliki dua metode yang

berbeda di dalam proses belajar-mengajar. Satunya di kenal sebagai madrasah al-

hadits, yang berpusat di Madinah, bersama Imam Malik, pengarang Al-Muwaththa’.

Satunya disebut madrasah ar-ra’yi, yang berada di Irak, bersama murid-muridnya

Imam Abu Hanifah. Madrasah al-hadits unggul dalam hal periwayatan hadis karena

Madinah merupakan ranah turunnya wahyu dan tempat tinggalnya sahabat.

Sedangkan madrasah ar-ra’yi unggul dalam hal berpendapat, beranalisis, dan

berlogika karena hadis-hadis yang sampai kepada mereka banyak yang palsu dan

tidak memenuhi kriteria kesahihan hadis menurut mereka. Meskipun begitu,

keduanya sepakat akan wajibnya berpegang terhadap Alquran dan sunah dan tidak

boleh mendahulukan akal maupun logika di atas keduanya.

Lalu muncullah Imam Syafi’i, murid dari Imam Malik dan Muhammad bin al-Hasan,

sahabat Imam Abu Hanifah, yang mencoba menggabungkan kedua metode ini. Ia

menggabungkan fikih Imam Malik di Madinah, fikih Imam Abu Hanifah dari

sahabatnya, Muhammad bin al-Hasan, serta fikih ulama-ulama Syam dan Mesir. Ia

juga menambahkan metode penduduk Mekah yang unggul dalam tafsir Alquran,

sebab turunnya ayat, bahasa Arab, serta adat mereka.

Akhirnya, Imam Syafi’i merumuskan usul dalam ber-istinbath, kaidah dalam

beristidlal, dan patokan dalam berijtihad. Imam Syafi’i menjadikan ilmu fikih

dibangun di atas usul yang tetap, bukan dari fatwa tertentu. Dengan usul fikih, beliau
telah menampakkan substansi dan hakikat dari fikih itu sendiri. Beliau menjadi

perintis ilmu usul fikih, yang kemudian diikuti dan disempurnakan oleh ulama

setelahnya.

Imam Ahmad, murid dari Imam Syafi’i berkata, “Dahulu, fikih itu terkunci, sampai

Allah membukanya melalui Syafi’i.”[6]

Di lain kesempatan, beliau juga mengatakan, “Jika bukan karena Syafi’i, niscaya kami

tidak mengenal fikih hadis.”[7]

Setelah berlalu masa-masa tersebut, banyak ulama yang mengarang kitab tentang

usul fikih. Sebut saja Al-Khatib al-Baghdadi dengan Al-Faqih wa al-Mutafaqqih,

Imam Ghazali dengan Al-Mustashfa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan karya-

karyanya, Ibnul Qayyim dengan I’lam al-Muwaqqi’in, hingga Ibnu Qudamah dengan

Raudhah an-Nazhir yang diadopsi dari karya Imam Ghazali, dan masih banyak lagi

kitab usul fikih lainnya.


Cakupan Ilmu Usul Fikih

Telah dibahas sebelumnya, bahwa ilmu usul fikih itu secara garis besar mencakup

hukum syar’i beserta dalil sumber hukum itu sendiri, cara mengeluarkan hukum dari

dalil yang ada, serta penjelasan seputar mujtahid dan yang berkaitan dengannya.

Adapun jika dirinci, maka kita dapat uraikan sebagai berikut:


•Hakikat ilmu usul fikih, membahas pengertian usul fikih, sejarahnya, cakupannya,

urgensinya, dan hal-hal lain mengenai usul fikih itu sendiri.

•Hukum syar’i, melingkupi hukum taklifi semisal wajib, sunah, mubah, makruh, atau

haram. Bukan hukum akli dan bukan pula hukum adat.

•Seputar mujtahid atau dalam hal ini disebut pula mustadlil atau mustanbith, yang

menarik suatu hukum dari suatu dalil.

•Taklif dan mukalaf, mencakup apa saja syarat seseorang manusia dibebani syariat,

dan hal-hal lainnya.

•Sumber hukum yang disepakati ulama, mulai dari Alquran, sunah, ijmak atau

konsensus ulama, hingga kias.

•Sumber hukum yang diperselisihkan ulama, seperti istish-hab, perkataan sahabat,

syariat sebelumnya, istihsan, dan mashalih mursalah.

•Lafal-lafal yang digunakan dalam ber-istidlal, beserta maknanya. Misalnya amr-

nahy (perintah-larangan), nasih-mansukh (penganulir-dianulir), ‘am-khash (umum-

khusus), muthlaq-muqayyad (mutlak-terikat), mujmal-mubayyan (global-dirinci),

manthuq-mafhum (tekstual-implisit), dan lafal lainnya.

•Ijtihad

•Taklid

•Tujuan dan hikmah pensyariatan suatu hukum

•Dan masih banyak lagi.[8]

Sumber Usul Fikih


Usul fikih memiliki muara atau sumber, baik dari sisi dalil maupun asasnya. Di

antaranya adalah:

•Alquran dan sunah

•Riwayat dari sahabat dan tabiin

•Konsensus ulama salafussaleh ijma

•Kaidah bahasa Arab dan keterangan penguat yang dinukil dari bangsa Arab

•Fitrah dan akal yang sehat

•Ijtihad ulama yang tidak bertentangan dengan ketentuan syariat.[9]

Urgensi Usul Fikih

Mempelajari ilmu usul fikih memiliki berbagai urgensi ataupun faedah tersendiri

yang menekankan betapa urgennya disiplin ilmu ini. Di antaranya adalah:

•Sebagai fondasi pokok dalam ber-istidlal

•Mengetahui pendapat yang benar di antara perbedaan pendapat para ulama

•Mengetahui standar yang benar untuk ber-istidlal agar selamat dalam beristidlal,

karena tidak setiap dalil sahih itu menghasilkan istidlal yang juga sahih

•Memudahkan praktik ijtihad dalam “fikih kontemporer”

•Menjelaskan ketentuan dalam fatwa, syarat menjadi seorang mufti, serta adab-
adab dalam memberi dan meminta fatwa

•Mengetahui sebab-sebab yang menimbulkan persilangan pendapat di antara para

ulama sehingga dapat memberikan alasan dan uzur bagi mereka dalam hal tersebut

•Menyeru kepada mengikuti dalil apa pun itu, serta meninggalkan fanatisme dan

taklid buta

•Menjaga akidah Islamiyah dengan menjaga usul istidlal dan bantahan terhadap

syubhat orang-orang yang menyelisihinya

•Menguatkan kaidah dalam berdiskusi dan berdialog secara ilmiah

•Dan lain-lain.[10]

Kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Oleh karena itu, setelah mengenal apa itu

usul fikih, bagaimana penting dan urgensinya usul fikih, kita bisa makin mencintai

disiplin ilmu ini. Jika sudah cinta, maka semangat untuk mempelajarinya pun semakin

membara. Jika sudah menguasainya, maka kita akan semakin sadar betapa

berartinya ilmu usul fikih dalam memahami ilmu agama.

Akhir kata, semoga Allah memudahkan kita untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang

berilmu, mengamalkannya dalam setiap sendi kehidupan kita, serta

mengajarkannya kepada sesama.

____________________
[1] Lihat Taisir Ilmi Ushul al-Fiqh – Maktabah Syamilah, hal. 6

[2] Syarh Ushul min Ilmi al-Ushul, hal. 25

[3] Syarh Ushul min Ilmi al-Ushul, hal. 32-34, dan Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘inda Ahli

as-Sunnah wa al-Jamaah, hal. 21

[4] Analogi ini kami dapat dari Ust. Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A. –hafizhahullah,

di dalam pelajaran Usul Fikih tahun 2010.

[5] Lihat Ilmu Ushul al-Fiqh – Maktabah Syamilah, hal. 17

[6] Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah, hal. 27

[7] ibid

[8] Lihat Dirasat fi Ushul al-Fiqh – Maktabah Syamilah, hal. 10-15

[9] Lihat Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah, hal. 23

[10] Lihat Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah, hal. 23-24, dan
referensi lainnya.

Daftar Pustaka:

•Al-Jaizany, Muhammad bin Husain bin Hasan. 1416 H. Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘inda

Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah. Dar Ibnu al-Jauzi: Riyadh – KSA. Cetakan ke-1.

•Al-Juda’i, Abdullah bin Yusuf. Taisir Ilmi Ushul al-Fiqh. Maktabah Syamilah.

•Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. 1432 H. Syarh al-Ushul min Ilmi al-Ushul. Dar

Ibnu al-Jauzi: Unaizah – KSA. Cetakan ke-2.

•Khalaf, Abdulwahhab. Ilmu Ushul al-Fiqh. Maktabah ad-Dakwah – Syabab al-Azhar

(dari cetakan ke-8 Dar al-Qalam) – Maktabah Syamilah.

•Babakr, Dr. Ali Ahmad. Dirasat fi Ushul al-Fiqh. Maktabah Syamilah.


SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
KEDUA SETELAH AL-QUR'AN

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sebagai sumber ajaran islam kedua setelah Al-qur’an, As-sunnah (hadits)
menempati posisi yang sangat penting dan strategis dalam kajian-kajian keislaman.
Keberadaan dan kedudukannya tidak diragukan lagi. Namun, karena pembukuan hadits
baru dilakukan ratusan tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat, ditambah lagi
dengan kenyataan sejarah bahwa banyak hadits yang dipalsukan, maka keabsahan
hadits-hadits yang beredar dikalangan kaum muslimin diperdebatkan oleh para ahli.
Para ulama terutama dizaman klasik islam (650-1250 M), Berusaha keras
melakuakan penelitian dan seleksi ketat terhadap hadits-hadits sehingga dapat
dipilahkan mana hadits yang benar-benar dari Nabi, dan mana yang bukan. Untuk itu,
mereka membuat kaidah-kaidah, ketetuan-ketentuan, pedoman, dan acuan tertentu
untuk menilai hadits-hadits tersebut. Kaidah-kaidah dan ketentuan inilah kemudian
berkembang menjadi ilmu tersendiri, yang disebut dengan ilmu hadits.
PEMBAHASAN

A. Pengertian sunnah
Dari segi etimologi/bahasa adalah perbuatan yang semula belum pernah dilakukan
kemudian diikuti oleh orang lain baik perbuatan terpuji maupun tercela.

Secara terminology, ahli hadits dan ahli fiqh berbeda memberikan pengertian
tentang hadits :
a. Menurut para ahli hadis sunnah sama dengan hadist, yaitu: suatu yang di nisbahkan
oleh rosullullah saw, baik perkataan, perbuatan maupun sikap beliou tentang suatu
peristiwa.
b. Menurut ahli fiqh makna sunnah mengandung pengertian: suatu perbuatan yang jika
dikerjakan mendapat pahala, tetapi jika ditinggalkan tidak mendapat dosa. Dalam
pengertian ini sunnah merupakan salah satu dari ahkam al-takhlifi yang lima, yaitu
wajib, sunah, haram, makruh, mubah.

B. Pembagian sunnah
a. Pembagian sunnah dalam segi bentuknya
1. Sunnah qauliyah
Yang dikmaksud dengan sunnah qauliyyah yaitu sesuatu yang di ucapkan oleh
rosullullah saw melalui lisan beliau yang di dengar dan di pahami oleh para sahabat
beliau, kemudian deberitakan dan riwayatkan kepada sahabat yang lain, dan
periwayatan itu dilanjutkan dari satu generasi kepada generasi lainnya. Contoh sunnah
qaulillah:

Yang artinya: “dari annas ra. Dari nabi, beliau bersabda: belum beriman salah
seorang dari kamu sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai
dirinya”

2. Sunnah fi’liyyah
Sunnah fi’liyyah ialah, semua perbuatan dan tingkah laku rosullallah saw yang dilihat
dan diperhatikan oleh para sahabat beliau, yang kemudian diberitakan dan diriwayatkan
kepada para sahabat lainnya secara berkelanjutan dari satu generasi kepada generasi
lainnya. Contohnya:

“dari ubbad bin tamim, dari pamannya, ia berkata: saya melihat rosullullah saw pada
hari beliau keluar untuk melaksanakan shalat gerhana matahari, katanya: maka beliau
membalikan tubuhnya membelakangi jamaah dan menghadap kiblat dan berdoa,
kemudian beliau membalikan selendangnya, kemudian beliau shalat besama kami dua
rakaat dengan menjaharkan bacaannya pada kedua rakaat itu”
Sunnah fi’liyyah dibagi menjadi tiga bagian sebagai berikut:
a. Gerak gerik, perbuatan, dan tingkah laku rosullullah saw yang berkaitan dengan
hukum. Misalnya tatacara shalat, haji dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah
ibadah dan muamalah pada umumnya.
b. Perbuata yang khusus berlaku bagi rosullullah saw, seperti beristri lebih dari empat
orang, wajib melaksanakan shalat tahajud, shalat dhuha dan berqurban.
c. Perbuatan dan tingkahlaku rosullullah sebagai manusia biasa. Misalnya cara makan,
cara berpakaian, berdiri, berjalan dan sebagainya.

3. Sunnah taqririyyah
Sunnah taqririyyah adalah, sikap persetujuan rosullullah saw mengenai suatu peristiwa
yang terjadi atau dilakukan sahabat beliau, dimana terdapatpetunjuk yang
menggambarkan bahwa beliau menyutujui perbuatan tersebut. Contoh sunnah
taqririyyah: dari khalid bin walid ra. Katanya: “kepada nabi saw. dihidangkan makanan
dhabb (sejenis biawak) yang dipanggang untuk dimakan beliau. Kemudian ada yang
berkata pada beliau : “itu adalah dhabb”, maka beliau menahan tangannya, maka khalid
berkata: “apakah haram memakannya?” beliau menjawab: ”tidak, tetapi binatang jenis
itu tidak biasa ditemukan di daerah saya, maka saya tidak suka dan menghindarinya”.
Maka khalid memakannya, sedang rasulullah saw memandanginya”.
b. Pembagian sunnah dari segi kualitasnya
Ditinjau dari segi jumlah perawi yang meriwayatkan suatu sunnah, para ulama
membagi kalitas suatu sunnah pada tiga tingkatan yaitu:
1. Mutawatir: yaitu sunnah yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi secara
berkesinambungan dari satu generasi ke generasi lainnya, banyaknya jumlah perawi
pada masing masing generasi tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk
berbohong.
2. Masyhur: yaitu sunnah yang diriwayatkan pada generasi-generasi secara
berkesinambungan dimana pada generasi awal jumlah perawinya hanya beberapa
orang, tetapi pada generasi berikutnya jumlah perawi menjadi banyak hingga mencapai
tingkat mutawatir.
3. Ahad: yaitu sunnah yang diriwayatkan secara berkesinambungan dari generasi awal
sampai generasi akhir, tetapi sejak generasi awal, jumlah perawinya hanya beberapa
orang saja sehingga tidak mencapai tingkat masyhur apalagi mutawatir

Ditinjau dari keterpercayaan pada perawinya, kualitas suatu sunnah dapat


dibedakan menjadi empat tingkatan yaitu:
1. Shahih yaitu, sunnah yang diriwayatkan secara kesinambungan dari satu perawi kepada
perawi lainnya, dimana setiap perawi memiliki sifat adil (al-adil) dan kuat ingatannya
(ad-dhabith).
2. Hasan yaitu suatu sunnah yang diriwayatkan oleh perawi yang adil dan kuat ingatan,
tetapi tingkat kekuatan ingatan rawi lebih rendah dari pada tingkat
kekuatan ingatannya perawi sunnah shahih.
3. Dhaif yaitu, sunnah yang diriwayatkan oleh perawi yang tidak memenuhi keriteria
perawi sunnah yang shahih dan hasan. Sunnah dhaifadalah sunnah yang tidak
memenuhi salah satu syarat un tuk dapat diterima. Dengan demikian sebuah sunnah
dinilai dhaif karena disebabkan tidak terpenuhinya syarat ittishal (sanadnya tidak
bersambung), atau perawinya tidak dhabit, atau karena tidak memenuhi syarat mu’allil
(cacat).
4. Maudhu’ yaitu, khabar yang direkayasa dan dipalsukan oleh pemalsu sunnah, sehingga
seolah-olah berasal dari rasulullah saw, baik dengan iktikad baik maupun karena
sengaja hendak merusak ajaran islam dari dalam. Mengingat bahaya yang ditimbulkan
sebagian ulama tidak mengelompokkan kedalam tingkatan sunnah atau hadits atau
khabar.

C. Fungsi Sunnah
Fungsi sunnah yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an. Dengan demikian,
bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka sunnah disebut
sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya dengan Al-
qur’an, ia menjalankan fungsi sebagai berikut:
1. Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang disebut dalam Al-Qur’an atau
disebut fungsi tau’kid dan takrir. Dalam bentuk ini sunnah hanya sebagai mengulangi
apa-apa yang tersebuut dalam Al-Qur’an.
2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal:
a. Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an
b. Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara garis besar.
c. Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum.
d. Memperluas maksud dari suatu yang tersebut dalam A-Qur’an
3. Menetapkan suatu hukum dalam sunnah yang secara jelas tidak terdapat dalam Al-
Qur’an. Dengan demkian kelihatan bahwa sunnah menetapkan sendiri hukum yang
tidak ditetapkan dalam al-qur’an.

D. Kedudukan Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam

Sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam


al-qur’an, sebagaimana disebutkan sebelumnya. Dalam kedudukannya sebagai
penjelas, sunnah kadang-kadang memperluas hukum dalam al-qur’an atau menetapkan
sendiri hukum diluar apa yang ditentukan Allah dalam al-qur’an.
Kedudukan sunnah sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan
hukum al-qur’an, tidak diragukan lagi dan dapat diterima semua pihak, karena memang
untuk itulah nabi ditugaskan Allah SWT. Namun dalam kedudukan sunnah sebagai
dalil yang berdiri sendiri dan sebagai sumber hukum kedua setelah al-qur’an, menjadi
bahan perbincangan dikalangan ulama

PENUTUP
A. Kesimpulan

Sunnah merupakan semua hal yang berkaitan dengan masalah hukum yang
dinisbatkan kepada Rosulullah saw baik perkataan, perbuatan, maupun sikap beliau
tentang suatu peristiwa. Pembagian sunnah bisa dilihat dari dua segi, yaitu segi
bentuknya dan segi kualitasnya. Ditinjau dari segi bentuknya sunnah dapat dibedakan
menjadi tiga, diantaranya sunnah qauliyyah, sunnah fi’liyyah, dan sunnah takririyah.
Desangkan dari segi kualitasnya sunnah dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu mutawatir,
masyhur dan Ahad. Sunnah memiliki empat tingkatan, yaitu: shahih, hasan, dhaif, dan
maudhu’. Fungsi utama sunnah adalah untuk memperjelas ayat-ayat yang ada dalam
Al-Qur’an yang masih bersifat umum. Dan sunnah merupakan sumber hukum kedua
dalam agama Islam setelah Al-Qur’an.

DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Kencana, Jakarta : 2008


Dahlan, Abd Rahman, Ushul Fiqh, Amzah, Jakarta : 2014
Suparta,Munzier, Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
:1993
IJMA’
A. Pengertian Ijma’
Pengertian ijma’ secara etimologi segi bahasa ada dua macam, yaitu:
1. Ijma’ berarti kesepakatan atau konsensus, Pengertian ini dijumpai dalaam surat
Yusuf ayat 15 :
Artinya: ” Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar
sumur (lalu mereka masukkan dia) .....” (Q.S. Yusuf: 15).
2. Ijma’ berarti tekad atau niat, yaitu ketetapan hati untuk melakukan sesuatu.
Pengertian ini bisa ditemukan dalam firman Allah SWT dalaam surah Yunus ayat 71:
Artinya: ”Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu
(untuk membinasakanku).” (Q.S. Yunus: 71).

Adapun pengertian dari Ijma secara istilah’ ada beberapa definisi, yaitu:

Imam Al-Ghazali, merumuskan ijma’ dengan “Kesepakatan umat Muhammad secara


khusus tentang atas suatu urusan agama.” Rumusan Al-Ghazali ini memberikan
batasan bahwa ijma’ harus dilakukan umat Nabi Muhammad SAW, yaitu seluruh umat
islam.

Dari rumusan itu jelaslah bahwa ijma’ itu ialah kesepakatan, dan yang sepakat di
sini ialah mujtahid muslim, berlaku dalam suatu masa tertentu sesudah wafatnya Nabi.
Di sini ditekankan “sesudah masa Nabi”, karena selama Nabi masih hidup, al-Qur’an
yang menjawab persoalan hukum karena ayat al-Qur’an kemungkinan turun dan Nabi
sendiri sebagai tempat bertanya tentang hukum syara’, sehingga tidak diperlukan
adanya ijma’, ijma’ itu berlaku dalam setiap masa oleh seluruh mujtahid yang ada pada
masa itu, dan bukan berarti kesepakatan mujtahid semua sampai hari kiamat.

Dengan demikian Ijma’ ialah kesepakatan seluruh mujtahid Islam dalam suatu
masa, sesudah wafat Rasulullah Saw, akan suatu hukum syariat.

B. Syarat-syarat dan Rukun Ijma’


Dari beberapa definisi di atas, maka dapat kita pahami bahwa ijma’ mempunyai syarat-
syarat sebagai berikut:

1. Kesepakatan para mujtahid Islam. Maka, kesepakatan orang awam tidak


dianggap ijma’. Belum juga kesepakatan Islam yangg belum mencapai derajat mujtahid
fiqih, meskipun mereka berasal dari tokoh ulama dalam disiplin ilmu lain. Sebab,
mereka tidak mempunyai kemampuan untuk menalar dan mengambil dalil tentang
hukum perkara-perkara syariat Islam.
Al-Asnawi berkata, “Maka tidak dianggap ijma’ kesepakatan orang awam dan ulama
yang berdisiplin ilmu lain, karena kesepakatan mereka dalaam hal ini tanpa dasar dan
mereka bukanlah termasuk orang-orang mengetahui dalil-dalilnya.”

Fakhrur Razi berkata, “ Karena orang-orang yang bersepakat itu bukanlah orang-orang
yangg mengerti bagaimana mengistinbatkan hukum dari nas-nasnya, maka kesepakatan
mereka yangg berupa perintah dan larangan tidak perlu diikuti.

2. Ijma’ harus merupakan hasil kesepakatan seluruh mujtahid meskipun negara


dan kebangsaan mereka berbeda, dan hal ini tidak diingkari oleh seorang mujtahid
pun. Maka jika ada sebagian mereka yang berbeda pendapat dengan pendapat mayoritas,
meskipun seorang saja yangg berbeda pendapat itu, maka tidak bisa dikatakan Ijma’.

3. Hendaklah kesepakatan itu berasal dari seluruh ulama mujtahid yang ada pada
masa terjadinya masalah fiqihyah dan pembahasan hukumnya, Oleh karena itu, tidak
disyaratkan bahwa kesepakatan seluruh mujtahid yang ada pada masa berikutnya.

4. Kesepakatan para mujtahid itu hendaklah harus terjadi sesudah Rasulullah SAW
wafat. Oleh karena itu, apabila para sahabat bersepakat dalaam hukum suatu perkara,
ketika Nabi SAW masih hidup, maka kesepakatan mereka itu tidak bisa dinamakan ijma’
syar’i.
5. Kesepakatan itu hendaklah dinyatakan masing-masing mujtahid dengan terang
dan tegas pada satu waktu, baik dinyatakan secara pribadi maupun berkelompok dalam
satu tempat, di mana sebelumnya juga terjadi perdebatan mengenai masalah yang ada,
tetapi berakhir dengan diperolehnya satu pendapat bulat.

6. Hendaknya kesepakatan para mujtahid di atas satu pendapat itu, benar-benar


sepakat lahir dan batin, bukan formalnya saja. Betul-betul terjadi kebulatan pendapat.
Jika semua persyaratan di atas terpenuhi dan disepakati para mujtahid atas hukum syara’
yang amali, seperti wajib, haram, sah, maka terjadilah ijma’.

Adapun rukun ijma’ ialah sebagai berikut :


1. Yang terlibat dalaam pembahasan hukum syara’ melalui ijma tersebut ialah
seluruh mujtahid. Apabila ada di antara mujtahid yang tidak setuju, sekalipun
jumlahnya kecil, maka hukum yangg dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma’
melainkan jumhur ulama daerah tertentu. Jumhur saudi berbeda dengan jumhur mesir,
atau Indonesia.

2. Mujtahid yang terlibat dalaam pembahasan hukum itu ialah seluruh mujtahid
yangg ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.

3. Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan


pandangannya.

4. Hukum yangg disepakati itu ialah hukum syara’ yangg bersifat aktual dan tidak
ada hukumnya secara rinci dalaam Al-Qur’an

5. Sandaran hukum ijma’ tersebut secara haruslah Al-Qu’an dan atau hadis
Rasulullah SAW
C. Kehujjahan Ijma’

Firman Allah surah An-Nisa ayat 115:


Artinya: “Dan barangsiapa yangg menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya,
dan mengikuti jalan yangg bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
berkuasa terhadap kesesatan yangg telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia
dalaam neraka jahanam, dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (Q.S. An-
Nisa : 115).

Zamakhsari mengomentari bahwa ayat ini menunjukkan sebagaimana tak boleh


diperselisihkan Al-Quran dan Sunah. Sedang Amidi mengomentari bahwa ayat ini
merupakan ayat yang kuat petunjuknya tentang kehujjahan ijma’ dan dengan ayat inilah
Imam Syafi’i berpegang.

D. Macam-macam Ijma’

Menurut Abdul Karim Zaidan, ijma terbagi menjadi dua, yaitu Ijma’ Sharih (tegas) dan
Ijma’Sukuti (persetujuan yangg diketahui lewat diamnya sebagian ulama).

Ijma’ Sharih ialah yaitu ijma’ yang terjadi setelah semua mujtahid dalam satu masa
mengemukakan pendapatnya tentang hukum tertentu secara jelas dan terbuka, baik
melalui ucapan (hasil ijtihadnya disebarkan melalui fatwa), melalui tulisan atau dalam
bentuk perbuatan (mujtahid yang menjadi hakim memutuskan suatu perkara) dan
ternyata seluruh pendapat mereka menghasilkan hukum yang sama atas hukum tersebut.
Sedangkan Ijma’ sukuti ialah bahwa sebagian ulama mujtahid menyatakan
pendapattnya, sedangkan ulama mujtahid lainnya hanya diam tanpa komentar.

Para ulama Ushul Fiqh berbeda pendapat tentang Ijma’ sukuti ini. Menurut Imam Syafii
dan kalangan Malikiyah, ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan pembentukan
hukum. Alasannya, diamnya sebagian ulama para mujtahid belum tentu menandakan
setuju, karena bisa jadi disebabkan takut kepada penguasa bilamana pendapat itu telah
didukung oleh penguasa, atau boleh jadi juga disebabkan merasa sungkan menentang
pendapat mujtahid yang punya pendapat itu karena dianggap lebih senior.

Sedangkan menurut Hanafiyah dan Hanabilah, Ijma’ sukuti ialah sah dijadikan sumber
hukum. Alasannya, bahwa diamnya sebagian ulama mujtahid dipahami sebagai
persetujuan, karena jika mereka tidak setuju dan memandangnya keliru mereka harus
tegas menentangnya. Manakala mereka tidak menentangnya secara tegas, hal itu
menandakan bahwa mereka menyetujuinya.
Sebagian Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan, diamnya sebagian ulama mujtahid
tidak dapat dikatakan telah Ijma’, namun pendapat seperti itu dianggap lebih kuat dari
pendapat perorangan.

Pengertian, Syarat, Rukun, Macam dan Kehujjahan Qiyas


A. Pengertian Qiyas
Qiyas secara bahasa ialah ukuran atau mengukur, mengetahui ukuran sesuatu, atau
menyamakan sesuatu dengan yang lain
Qiyas juga bisa berarti menyamakan sesuatu yangg tidak ada nash hukumnya dengan
sesuatu yang ada nash hukumnya karena ada persamaan illat hukum. Karena dengaan
qiyas ini berarti para mujtahid telah mengembalikan ketentuan hukum kepada
sumbernya al-quran dan hadits. Sebab dalaam hukum Islam kadang tersurat jelas
dalaam al-quran dan hadits, tapi kadang juga bersifat implicit-analogik (tersirat) yang
terkandung dalam nash. Beliau Imam Syafi’i mengatakan “Setiap peristiwa pasti ada
kepastian hukum dan umat Islam wajib melaksanakannya”. Namun jika tidak ada
ketentuan hukum yang pasti, maka haruslah dicari dengaan cara ijtihad. Dan ijtihad itu
ialah qiyas

B. Rukun dan Syarat Qiyas

Rukun Qiyas, yaitu:


1. Ashal, yangg berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan
hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis 'alaih (yangg menjadi ukuran) atau
musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul 'alaih (tempat membandingkan);
2. Fara' yangg berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yangg belum ditetapkan
hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara' disebut juga
maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang
dibandingkan);
3. Hukum ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan
hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara' seandainya ada persamaan 'illatnya; dan
4. 'Illat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yangg dicari pada fara'.
Seandainya sifat ada pula pada fara', maka persamaan sifat itu menjadi dasar untukk
menetapkan hukum fara' sama dengaan hukum ashal.

Di atas telah diterangkan rukun-rukun qiyas. Tiap-tiap rukun itu mempunyai syarat-
syarat sebagai berikut :
1. Syarat-syarat ashal (soal-soal pokok)
a. Hukum yang hendak dipilihkan untuk cabang masih ada pokoknya
b. Hukum yang ada dalaam pokok harus hukum syara’
c. Hukum pokok tidak merupakan hukum pengecualian,

2. Syarat-syarat fara’ (cabang)


a. Hukum cabang tidak lebih dulu ada dari pada hukum pokok.
b. Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri yang menurut ulama ushul berkata,
apabila datang nash, qiyas menjadi batal
c. Illat yangg terdapat pada cabang harus sama dengaan illat yangg terdapat pada
pokok
d. Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok

3. Syarat-syarat illat
a. Illat harus tetap berlaku
b. Illat berpengaruh pada hukum, artinya hukum harus terwujud ketika terdapatnya
illat tanpa mengganggu sesuatu yang lain. sebab adanya illat tersebut ialah demi
kebaikan manusia, seperti melindungi jiwa sebagai illat haramnya khomr
c. Illat tidak berlawanan dengan nash, apabila berlawanan maka nash yang
didahulukan
d. Illat harus berupa sesuatu yangg jelas dan tertentu

C. Macam-Macam Qiyas
a. Qiyas aula
Yaitu qiyas yangg illatnya mewajibkan adanya hukum dan yang disamakan (mulhaq)
dan mempunyai hukum yang lebih utama dari pada tempat menyamakannya (mulhaq
bih), misanya memukul kedua orang tua dengan mengatakan “ah” kepadanya
b. Qiyas musaw, i
Yaitu suatu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum yang terdapat pada
mulhaq nya sama dengaan illat hukum yang terdapat dalam mulhaq bih. Misalnya
merusak harta benda anak yatim mempunyai illat hukum yang sama dengan memakan
harta anak yatim, yakni sama–sama merusakkan harta.
c. Qiyas dalalah
Yakni suatu qiyas dimana illat yang ada pada mulhaq menunjukkan hukum, tetapi tidak
mewajibkan hukum padanya, seperti mengqiyaskan harta milik anak kecil pada harta
orang dewasa dalam kewajibannya mengeluarkan zakat, dengaan illat bahwa
seluruhnya ialah harta benda yang mempunyai sifat dapat bertambah
d. Qiyas syibhi
Yakni suatu qiyas dimana mulhaq-nya dapat diqiyaskan pada 2 mulhaq bih, tetapi
diqiyaskan dengaan mulhaq bih yang mengandung banyak persamaaannya dengan
mulhaq.

D. Kehujjahan Qiyas
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman. Taatilah Allah dan Rasul-Nya dan Ulil Amri
diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah Ia kepada Allah (Al-Qur ‘an) dan rasul (sunnah) jika kamu benar-bear
beriman kepada Allah dan hari kemudian. (An-Nisa’:59)

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pengertian Ijma’ ialah kesepakatan darii umat Islam pada hukum Syar’i, dalam hal ini
ialah para mujtahid dalaam suatu masa, sesudah wafat Rasulullah SAW, akan suatu
hukum syariat yangg amali.
Adapun Syaratnya harus berupa kesepakatan para mujtahid Islam. meskipun negara dan
kebangsaan mereka berbeda, yang ada pada masa terjadinya masalah
fiqihyah dan harus terjadi sesudah Rasulullah SAW wafat. Kehujjahannya dari Firman
Allah surah An-Nisa ayat 115 dan 59.
Menurut Abdul Karim Zaidan, ijma terbagi menjadi dua, yaitu Ijma’Sarih (tegas) dan
Ijma’Sukuti (persetujuan yangg diketahui lewat diamnya sebagian ulama).
Proses pengqiyasan dilakukan dengaan cara menganalogikan sesuatu yangg serupa
karena prinsip persamaan‘illat akan melahirkan hukum yangg sama. Asas qiyas ialah
menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan sebab dan
sifatnya. Apabila pendekatan tersebut menemukan titik persamaan maka konsekuensi
hukumnya harus sama pula dengaan hukum yangg ditetapkan
Kalau untukk qiyas, untukk saat sekarang ini masih terjadi dan berlaku sebagai metode
ijtihad ulama dalaam pengambilan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Uman, Chaerul, Ushul Fiqh 2, Cet II, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Effendi, Satria, M Zein, Ushul Fiqh, Ed. 1. Cet I, Jakarta: Kencana, 2005.
Syarifuddin, Amir, Haji, Ushul Fiqih Jilid 1, Cet 1, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997.
Zahrah, Muhammad Abu. 2007. Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka Firdaus.

Anda mungkin juga menyukai