Untuk mengetahui makna usul fikih, ada baiknya kita terlebih dahulu mengurainya menjadi dua kata: usul dan fikih.
Usul adalah kata serapan dari bahasa Arab yaitu ushul, bentuk plural dari ashl, yang berarti dasar, asas, pokok, atau
fondasi. Allah Ta’ala berfirman,
ِس َماء
ع َها فِي ال ه ْ َ ط ِي َب ٍة أ
ُ صلُ َها ثَا ِبتٌ َوفَ ْر َ ط ِي َبةا َك
َ ٍش َج َرة َ َّللاُ َمثَ اًل َك ِل َمةا
ب ه َ ض َر َ أَلَ ْم ت ََر َكي
َ ْف
“Tidakkah engkau perhatikan bagaimana Allah mengumpamakan kalimat yang baik seperti pohon yang baik:
‘akarnya’ kuat dan cabangnya menjulang tinggi ke langit.” (QS. Ibrahim 24).
Di dalam ayat ini, kata ashl, yang merupakan bentuk tunggal dari ushul dipakai untuk menjelaskan makna fondasi pohon,
yaitu akarnya.Di dalam istilah, usul memiliki beberapa makna. Di antaranya adalah dalil, pendapat yang paling kuat,
kaidah, dan hukum asal.[1] Makna ini tergantung konteks kalimat di mana kata usul tersebut ditempatkan.
Sedangkan fikih atau fiqh dalam bahasa Arab merupakan bentuk mashdar (kata benda yang bermakna kata kerja) dari
faqiha-yafqahu yang berarti memahami, mengerti, mengetahui, atau yang semakna dengan itu. Allah Ta’ala berfirman
tentang Nabi Musa ‘alaihissalam yang memanjatkan doa,
ُ َْواحْ لُل
َ ع ْقدَة ا مِ ْن ِل
سانِي (*) َي ْفقَ ُهوا قَ ْولِي
“Dan lepaskan kekakuan dari lisanku, agar mereka ‘memahami’ perkataanku.” (QS. Thaha: 27-28)
Akan tetapi sebagian ulama mengkritisi makna ini. Mereka berpendapat fikih tak sekadar memahami atau mengetahui
saja, akan tetapi memahami dengan pemahaman yang dalam, bukan memahami secara global. Jadi, seorang yang hanya
memahami saja tidak dikatakan seorang yang fakih.
Sehingga dapat kita uraikan secara garis besar usul fikih mencakup tiga pembahasan:
1. Dalil-dalil syar’i, baik yang disepakati eksistensinya, seperti Alquran, sunah, ijmak, dan kias, maupun
diperselisihkan eksistensinya oleh para ulama, semisal istish-hab, perkataan sahabat, syariat sebelumnya, istihsan,
dan mashalih mursalah.
2. Metode dalam ber-istinbath atau ber-istidlal, yaitu menarik hukum syar’i dari dalil tersebut. Semisal mengetahui
lafal amr-nahy )perintah-larangan(, nasih-mansukh )penganulir-dianulir(, ‘am-khash )umum-khusus(, muthlaq-
muqayyad )mutlak-terikat(, mujmal-mubayyan )global-dirinci(, manthuq-mafhum )tekstual-implisit(, dan lafal lain
yang berguna dalam ber-istidlal.
3. Kondisi seorang mujtahid yang beristidlal, termasuk membahas pertentangan dalil, bagaimana menguatkan
pendapat, seputar fatwa, juga bicara mengenai taklid, dan lain sebagainya.
Telah dibahas sebelumnya, bahwa ilmu usul fikih itu secara garis besar mencakup hukum syar’i beserta dalil sumber
hukum itu sendiri, cara mengeluarkan hukum dari dalil yang ada, serta penjelasan seputar mujtahid dan yang berkaitan
dengannya.
Adapun jika dirinci, maka kita dapat uraikan sebagai berikut:
• Hukum syar’i, melingkupi hukum taklifi semisal wajib, sunah, mubah, makruh, atau haram. Bukan hukum akli dan
bukan pula hukum adat.
• Seputar mujtahid atau dalam hal ini disebut pula mustadlil atau mustanbith, yang menarik suatu hukum dari suatu dalil.
• Taklif dan mukalaf, mencakup apa saja syarat seseorang manusia dibebani syariat, dan hal-hal lainnya.
• Illah )sebab( adanya suatu hukum.
• Sumber hukum yang disepakati ulama, mulai dari Alquran, sunah, ijmak atau konsensus ulama, hingga kias.
• Sumber hukum yang diperselisihkan ulama, seperti istish-hab, perkataan sahabat, syariat sebelumnya, istihsan,
dan mashalih mursalah.
• Lafal-lafal yang digunakan dalam ber-istidlal, beserta maknanya. Misalnya amr-nahy )perintah-larangan(, nasih-
mansukh )penganulir-dianulir(, ‘am-khash )umum-khusus(, muthlaq-muqayyad )mutlak-terikat(, mujmal-
mubayyan )global-dirinci(, manthuq-mafhum )tekstual-implisit(, dan lafal lainnya.
• Ijtihad
• Taklid
• Tujuan dan hikmah pensyariatan suatu hukum
• Dan masih banyak lagi.
Sebagaimana disiplin ilmu lainnya, usul fikih pun mengalami proses sejarah yang cukup panjang, sejak muncul berupa
pengetahuan, kemudian dibukukan dan menjadi disiplin ilmu yang mandiri, hingga saat ini.
Sejatinya, usul fikih sudah ada di zaman Nabi. Para sahabat sudah mengenal bagaimana langkah yang digunakan dalam
mengeluarkan hukum dari suatu dalil. Para sahabat sudah mengetahui adanya kias, bisa membedakan lafal yang umum
dan yang khusus, serta cabang-cabang disiplin ilmu usul fikih lainnya. Semua itu mereka pelajari langsung dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dari sabda-sabda beliau, dari praktik beliau, penjelasan beliau terhadap ayat-
ayat Alquran, dari tanya jawab bersama beliau, dan lain sebagainya. Hanya saja, pada masa tersebut, usul fikih
sebagaimana disiplin ilmu lainnya belumlah menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri karena tidak ada keperluan untuk hal
itu, mengingat sahabat adalah orang yang berilmu dalam hal tersebut.
Sampai berlalu puluhan tahun, atas kehendak Allah, Imam Syafi’i berhasil melahirkan disiplin ilmu usul fikih. Adalah Ar-
Risalah, megakarya Imam Syafi’i yang memelopori lahirnya usul fikih. Kitab yang awalnya ditujukan kepada Abdurrahman
bin Mahdi itu disebut-sebut sebagai kitab induk di dalam disiplin ilmu usul fikih.
Ada yang berpendapat bahwa yang pertama kali menyusun poin-poin ilmu usul fikih ke dalam satu pembahasan adalah
Abu Yusuf, sahabat Imam Abu Hanifah. Akan tetapi, karya beliau tersebut tidak sampai ke tangan kita, berbeda dengan
karya Imam Syafi’i yang disebarkan oleh murid sekaligus sahabat beliau, Ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Murady hingga masih
terjaga hingga saat ini.
Di masa ini, mayoritas fukaha, ulama di dalam ilmu fikih, memiliki dua metode yang berbeda di dalam proses belajar-
mengajar. Satunya di kenal sebagai madrasah al-hadits, yang berpusat di Madinah, bersama Imam Malik, pengarang Al-
Muwaththa’. Satunya disebut madrasah ar-ra’yi, yang berada di Irak, bersama murid-muridnya Imam Abu Hanifah.
Madrasah al-hadits unggul dalam hal periwayatan hadis karena Madinah merupakan ranah turunnya wahyu dan tempat
tinggalnya sahabat. Sedangkan madrasah ar-ra’yi unggul dalam hal berpendapat, beranalisis, dan berlogika karena
hadis-hadis yang sampai kepada mereka banyak yang palsu dan tidak memenuhi kriteria kesahihan hadis menurut
mereka. Meskipun begitu, keduanya sepakat akan wajibnya berpegang terhadap Alquran dan sunah dan tidak boleh
mendahulukan akal maupun logika di atas keduanya.
Lalu muncullah Imam Syafi’i, murid dari Imam Malik dan Muhammad bin al-Hasan, sahabat Imam Abu Hanifah, yang
mencoba menggabungkan kedua metode ini. Ia menggabungkan fikih Imam Malik di Madinah, fikih Imam Abu Hanifah
dari sahabatnya, Muhammad bin al-Hasan, serta fikih ulama-ulama Syam dan Mesir. Ia juga menambahkan metode
penduduk Mekah yang unggul dalam tafsir Alquran, sebab turunnya ayat, bahasa Arab, serta adat mereka.
Akhirnya, Imam Syafi’i merumuskan usul dalam ber-istinbath, kaidah dalam beristidlal, dan patokan dalam berijtihad.
Imam Syafi’i menjadikan ilmu fikih dibangun di atas usul yang tetap, bukan dari fatwa tertentu. Dengan usul fikih, beliau
telah menampakkan substansi dan hakikat dari fikih itu sendiri. Beliau menjadi perintis ilmu usul fikih, yang kemudian
diikuti dan disempurnakan oleh ulama setelahnya.
Imam Ahmad, murid dari Imam Syafi’i berkata, “Dahulu, fikih itu terkunci, sampai Allah membukanya melalui Syafi’i.”
Di lain kesempatan, beliau juga mengatakan, “Jika bukan karena Syafi’i, niscaya kami tidak mengenal fikih hadis.”
Setelah berlalu masa-masa tersebut, banyak ulama yang mengarang kitab tentang usul fikih. Sebut saja Al-Khatib al-
Baghdadi dengan Al-Faqih wa al-Mutafaqqih, Imam Ghazali dengan Al-Mustashfa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan
karya-karyanya, Ibnul Qayyim dengan I’lam al-Muwaqqi’in, hingga Ibnu Qudamah dengan Raudhah an-Nazhir yang
diadopsi dari karya Imam Ghazali, dan masih banyak lagi kitab usul fikih lainnya.
Kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Oleh karena itu, setelah mengenal apa itu usul fikih, bagaimana penting dan
urgensinya usul fikih, kita bisa makin mencintai disiplin ilmu ini. Jika sudah cinta, maka semangat untuk mempelajarinya
pun semakin membara. Jika sudah menguasainya, maka kita akan semakin sadar betapa berartinya ilmu usul fikih dalam
memahami ilmu agama.
Akhir kata, semoga Allah memudahkan kita untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang berilmu, mengamalkannya dalam
setiap sendi kehidupan kita, serta mengajarkannya kepada sesama.