Anda di halaman 1dari 16

DALIL-DALIL YANG TIDAK DISEPAKATI DALAM KAJIAN USHUL

FIQH

I. Pendahuluan

Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai dalil-dalil tersebut, ada baiknya kita

mengenal terlebih dahulu apa itu pengertian Ushul Fiqh. Ushul Fiqh terdiri dari 2 kata yaitu

“ushul” yang berarti asal-muasal dari sesuatu dan “fiqh” yang menurut bahasa adalah

pemahaman yang mendalam.

Jadi dapat disimpulkan bahwa definisi “ushul fiqh” ialah, ilmu yang membahas tentang

kaidah yang membuat tentang kesimpulan yang diperoleh dengan sistem yang mengistinbatkan

hukum syari’at.

Setelah memahami pengertian Ushul Fiqh, selanjutnya penulis akan memaparkan

mengenai dalil-dalil hukum dalam Islam.

Kata dalil berasal dari bahasa Arab yang berarti petunjuk kepada sesuatu yang baik atau

buruk. Menurut istilah, dalam buku Pengantar Hukum Syariah karangan Pror. Dr. H. Masjfuk

Zuhdi dijelaskan sebagai berikut:

َ‫الص ِحْي ِم فِْي ِه َعلَى ُح ْك ِمٍ َشْر ِع ِيٍ َع َملِ ِيٍ َعلَى َسبِْيِِلل َقطْ ِع أ‬
َّ ‫يُ ْستَ َد ُّل ابِلنَّظَ ِر‬

ّّ‫ِوالظَن‬

“Sesuatu yang disepakati untuk menunjukkan hukum syara’ yang berkaitan dengan

tingkah laku manusia melalui proses bersikap yang benar, baik melalui jalan yang meyakinkan

(dalil Qath’i) maupun persangkaan yang kuat (dalil Dzanni).1

1
Prof. Dr. H. Masjfuk Zuhdi. Pengantar Hukum Syariah.(Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1995),cet. 3, hal.
44
Dalil-dalil hukum, pokok-pokok dasar hukum (Ushul al-Ahkam), dan sumber-sumber

hukum (Mashadir al-Ahkam) adalah kata-kata muradif (sinonim) mempunyai pengertian yang

sama.2

Dalil-dalil hukum Islam yang pokok adalah Al-Qur’an dan Sunah Rasul, dan keduanya

telah disepakati oleh seluruh ulama dan umat Islam sebagai sumber/dalil hukum. Ada pula

dalil/sumber hukum Islam yang cabang, yang sudah disepakati sebagai dalil hukum oleh hampir

seluruh ulama, ialah Ijma’ dan Qiyas. Dan ada pula dalil-dalil yang masih diperselisihkan

dikalangan ulama sebagai dalil/sumber hukum, antara lain ialah: Istihsan, Mashlahah, Istishhab,

‘Urf, Syar’u Man Qablana, Mazhab Shahabi, Dzari’ah.

II. Pembahasan

Pada kesempatan kali ini penulis akan membahas secara ringkas mengenai dalil-dalil

hukum yang masih diperseliskan dikalangan para ulama tersebut.

1. Istihsan

a. Pengertian istihsan

Secara etimologi, istihsan berarti ”menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu, yang

diambil dari kata al-Husnu (baik).” Tidak terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqh dalam

mempergunakan lafal istihsan dalam pengertian istilah.3

Secara terminologi, Al-Sarakhsi (w.483 H)4, mendefinisikan istihsan dengan:

“Berusaha mendapatkan yang terbaik untuk diikuti bagi sesuatu masalah yang

diperhitungkan untuk dipermasalahkan.”

Kemudian, Imam al-Bazdawi (400-482H/1010-1079M; ahli ushul fiqh Hanafi),

mendefinisikan istihsan dengan:

2
Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Ushul al-Fiqh .(Jakarta: Al-Majlis al-A’la al-Indonesy,1972), hal. 20-21
3
Al-Sarakhsi. Ushul al-Sarakhsi.(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,1993), jilid II, hal. 200
4
Al-Sarakhsi, ibid.
ّ‫ص قِياَ ِسٍ بِ َدلِْي ِل أَقْ َوى ِمْنه‬ ِ ِ ِ َ‫ب قِي‬
ُ ‫اسٍ أَقْ َوى مْنهُ أ َْوُه َو ََتْصْي‬ ِ ‫اَلْعُ ُد ْو ُل ِم ْن ُمو ِج‬
ْ

“Berpaling dari kehendak qiyas kepada qiyas yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas

berdasarkan dalil yang lebih kuat.”

Imam Malik sebagaimana dinukilkan Imam Syathibi (w. 790H, ahli ushul fiqh Maliki)5,

mendefinisikan istihsan dengan:

ّّّ‫ِف ُم َقابَلَ ِة َدلِْي ِلٍ ُكلِي‬


ِ ِ
ْ ‫صلَ َحة ُجْز عيَّة‬
ِ ‫األ‬
ْ َ‫َخ ُذِب‬
ْ

Memberlakukan kemaslahatan juz’i ketika berhadapan dengan kaidah umum.

Adapun dikalangan ulama Syafi’iyah tidak ditemukan adanya pengertian mengenai

istihsan. Karena pada awalnya para ulama Syafi’iyah menolak istihsan sebagai salah satu dalil

dalam menetapkan hukum syara’. Dalam masalah ini Imam Syafi’i mengatakan,

ّ‫َم ْن اِ ْستِ ْح َس ِن فَ َق ْد َشَرع‬

Barang siapa yang menggunakan istihsan, sesungguhnya ia telah membuat hukum

syara’.

Imam Syafi’i dalam hal ini didasarkan kepada al-Qur’an surat al-An’am: 38, al-Nahl:

44, dan al-Maidah: 46 yang kesimpulannya bahwa al-Qur’an dan Sunah Rasul telah

menetapkan hukum syara’ secara terperinci dan manusia agar mengikuti petunjuk dari Allah

dan dilarang mengikuti kesimpulan dari hawa nafsu.

Di kalangan ulama Hanabilah terdapat definisi istihsan. Ibn Qudamah (1147-1233 M),

ahli ushul fiqh Hanbali, mendefinisikan dengan:

5
Abu Ishaq al-Syathibi. Al-muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah. (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1975), jilid IV, hal. 206-
208
‫ابٍ أ َْو ُسنَّة‬ ْ ِ ‫ت ْع ْن نَظَ ِاء ِرَها لِ َدلِْي ِلٍ َخ‬
ِ َ‫اصٍٍ ِمن كِت‬ ِ
َ َ‫العُ ُد ْو ُل ِبُ ْك ِم املَ ْسأَل‬

Berpaling dari hukum dalam suatu masalah disebabkan adanya dalil khusus yang

menyebabkan pemalingan ini, baik dari ayat al-Qur’an maupun dari Sunnah Rasul.

Dari berbagai definisi mengenai istihsan tersebut, dapat dimengerti esensi dari istihsan

tersebut adalah:

1. Mentarjih qiyas al-khafiy daripada qiyas al-jaliy, karena ada dalil yang mendukungnya.

2. Memberlakukan hukum juz’i dari hukum kulli, didasarkan pada dalil khusus yang

mendukungnya.

b. Macam-macam Istihsan

Istihsan yang disebut pertama, dikenal dengan istihsan Qiyasi, sedangkan yang kedua

disebut istihsan istisnaiy.

Istihsan Qiyasi terjadi pada suatu kasus yang mungkin dilakukan padanya salah satu

dari bentuk qiyas, yaitu qiyas jaki dan qiyas khafi. Pada dasarnya bila dilihat dari segi kejelasan

‘illatnya maka qiyas jali lebih pantas diberlakukan lebih dahulu atas qiyas khafi.

Sedangkan istihsan istisnaiy terbagi kepada beberapa macam, yaitu:

1) Istihsan bin-nas, yaitu hukum pengecualian berdasarkan nas (al-Qur’an dan Hadis) dari

kaidah yang bersifat umum yang berlaku bagi kasus-kasus serupa. Contohnya, pada

kaidah umum makan dalam keadaan lupa di siang hari pada bulan Ramadhan

membatalkan puasa seseorang. Namun, hadis Rasulallah menegaskan bahwa makan

dalam keadaan lupa di siang hari Ramadhan tidak membatalkan puasa.

2) Istihsan berlandaskan ijma’, misalnya dalam kasus pemandian umum. Menurut kaidah

umum, jasa pemandian umum itu harus jelas, yaitu berapa lama ia mandi dan berapa

jumlah air yang ia pakai. Akan tetapi, apabila hal ini dilakukan akan sangat menyulitkan
bagi orang banyak. Oleh sebab itu, para ulama sepakat boleh mempergunakan jasa

pemandian umum, walaupun tanpa menentukan waktu dan jumlah air yang dipakai.

3) Istihsan yang berlandaskan ‘Urf, misalnya dalam kasus pewakafan benda-benda

bergerak, seperti buku, perkakas alat memasak, dll. Menurut kaidah umum, seperti yang

dikemukakan oleh Abdul-Karim Zaidan, wakaf hanya diperbolehkan pada harta benda

yang kekal dan tidak bergerak seperti tanah.

4) Istihsan yang berlandaskan pada Maslahah Mursalah. Misalnya dalam kasus kebolehan

dokter melihat aurat wanita dalam berobat. Menurut kaidah umum, seseorang dilarang

melihat aurat orang lain. Tetapi dalam kasus ini, demi kemaslahatn orang itu, maka

dokter boleh melihat aurat wanita tersebut untuk didiagnosa penyakitnya.

5) Istihsan berdasarkan keadaan darurat. Misalnya dalam kasus sumur yang sudah

kemasukan najis. Dalam hal ini sangatlah tidak mungkin seseorang untuk menguras

sumur tersebut untuk disucikan kembali. Oleh karena itu para ulama sependapat bahwa

air sumur itu tidak najis karena ada unsur darurat pada sumur itu.

c. Kehujahan Ihtisan

Terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama ushul fiqh dalam menetapkan

istihsan sebagai salah satu metode dalam menetapkan hukum syara’.

Menurut ulama Hanafiyyah, Malikiyyah dan sebagaian ulama hanabiah, istihsan

merupakan dalil yang sangat kuat dalam menetapkan hukum syara’. Alasan yang mereka

kemukakan adalah:

1. Ayat-ayat yang mengacu pada mengangkatkan kesulitan dan kesempitan dari umat

manusia. Yaitu Firman Allah dalam surat al-Baqarah: 185 dan al-Zumar: 55

2. Hadis Rasulallah yang diriwayatkan oleh ‘Abdillah ibn Mas’ud mengatakan:

ّ‫َم َارآ ُهالْ ُم ْسلِ ُم ْو َن َح َسناٍَفَ ُه َو ِعْن َدهللاِ َح َسن‬


Sesuatu yang dipandang baik bagi umat islam, maka ia juga dihadapan Allah adalah

baik.

3. Untuk memudahkan umat Islam dalam melaksanakan syari’at.

Menurut ulama Syafi’iyah, Zhahiriyyah, syi’ah dan Mu’tazillah tidak menerima istihsan

sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Alasan mereka adalah:

1. Hukum-hukum syara’ itu ditetapkan berdasarkan nash (al-Qur’an dan Sunnah) dan

pemahaman terhadap nash melalui kaidah qiyas. Sedangkan istihsan bukan merupakan

nash ataupun qiyas.

2. Ayat al-qur’an surat an-Nisa: 59

3. Istihsan adalah upaya penetapan hukum dengan akal dan hawa nafsu saja.

4. Tidak adanya fatwa Rasulallah yang berdasarkan dengan istihsan.

5. Istihsan tidak mempunyai tolak ukur dan kriteria yang jelas sehingga tidak dapat pula

dipertanggung jawabkan secara syar’i.

2. Mashlahah Mursalah

a. Pengertian Mashlahah Mursalah

Mashlahah Mursalah menurut bahasa terdiri dari dua kata, yaitu mashlahah dan

mursalah. Kata mashlahah menurut bahasa berarti “manfaat”, dan kata mursalah berarti “lepas”.

Secara terminologi, Imam Ghazali mengemukakan bahwa pada prinsipnya mashlahah

adalah “mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan

syara’.”

Selanjutnya, Abdul-Wahab Khallaf mendefinisikan mashlahah dengan, “sesuatu yang

dianggap baik namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak ada pula
dalil tertentu yang mendukung maupun yang menolaknya”6, sehingga ia disebut mashlahah

mursalah (maslahat yang lepas dari dalil secara khusus).

Imam Ghazali memandang bahwa kemaslahatan harus sesuai dengan tujuan syara’,

sekalipun bertentangan dengan tujuan manusia, karena kehendak manusia tidak selamanya

didasarkan pada kehendak syara’, tetapi sering didasarkan pada kehendak hawa nafsu.

Al-Ghazali merumuskan maslahah sebagai suatu tindakan memlihara tujuan syara’ atau

tujuan hukum Islam, sedangkan tujuan hukum Islam menurut al-Ghazali ada lima perkara yaitu,

memlihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Setiap hukum yang mengandung tujuan

memelihara salah satu dari lima hal diatas disebut maslahah, dan setiap hal yang

meniadakannya disebut mafsadah, dan menolak mafsadah disebut maslahah.7

b. Macam-macam Mashlahah

Salah satu ulama fiqh yaitu Abdul-Karim Zaidan menjelaskan macam-macam

mashlahah8, yaitu:

1. Al-mashlahah al-Mu’tabarah, yaitu maslahah yang secara tegas diakui syariat dan telah

ditentukan hukum untuk merealisasikannya. Misalnya, ancaman hukuman atas para

peminum khamer untuk memelihara akal.

2. Al-Mashlahah al-Mulgah, yaitu sesuatu yang dianggap maslahah oleh akal pikiran,

tetapi dianggap palsu karena kenyataanya bertentangan dengan hukum syari’at.

Misalnya masalah pembagian harta warisan yang menyamakan antara anak laki-laki dan

perempuan adalah maslahah. Padahal kesimpulan seperti itu betentangan dengan hukum

syari’at.

6
Prof. Dr. H. Satria Effendi dan M. Zein, M.A. Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), cet.
I, hal. 149
7
Malcom H. Keer, (1968), Moral and Legal Judgment Indevendent of Relevation,
Philosophy: East and West 18, hal, 279.
8
Prof. Dr. H. Satria Effendi dan M. Zein, M.A. loc.cit.
3. Al-Maslahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaanya tidak didukung oleh

syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil yang rinci. Maslahah

macam ini terdapat dalam masalah muamalah yang tidak ada ketegasan hukumnya

dalam al-Qur’an dan Sunnah. Contohnya, peraturan lalu lintas dengan segala rambu-

rambunya.

c. Kehujjahan Maslahah

Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa Mashlahah al-Mu’tabarah dapat

dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum Islam. Mereka juga sepakat bahwa al-

Mashlahah al-Mulgah tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum Islam, demikian

juga maslahah al-Mursalah al-gharibah, karena tidak ditemukan dalam hukum syara’.

Para ulama usul fiqh juga sependapat bahwa mashlahah mursalah tidak sah menjadi

landasan hukum dalam bidang ibadah, karena bidang ibadah harus diamalkan apa adanya dan

sesuai dengan syari’at yang telah diajarkan oleh Rasulallah.

Meraka berbeda pendapat mengenai masalah muamalat. Kalangan Zahiriyah, sebagian

dari kalangan Syafi’iyah dan Hanafiyah tidak mengakui mashlahah mursalah sebagai landasan

pembentukan hukum. Alasan mereka adalah:

1. Allah dan Rasul-Nya telah merumuskan ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin

segala bentuk kemaslahatan manusia.

2. Membenarkan mashlahah mursalah dalam masalah hukum berarti membuka pintu bagi

berbagai pihak seperti para penguasa untuk menentukan hukum sesuai dengan seleranya

dengan alasan untuk kemaslahatan.

Berbeda pendapat dengan kalangan Malikiyah, Hanabilah dan sebagian dari kalangan

syafi’iyah bahwa mashlahah mursalah sacara sah dapat dijadikan sebagai landasan

pembentukan hukum, dengan alasan:


1. Kebutuhan manusia kian lama kian berkembang yang tidak mungkin semuanya dirinci

dalam al-Qur’an dan Sunnah. Oleh sebab itu mashlahah yang tidak bertentangan dengan

syari’at Islam sah-sah saja menjadi landasan hukum.

2. Para sahabat dalam berijtihad menganggap sah mashlahah mursalah sebagai landasan

hukum tanpa ada seorang pun yang membantahnya.

d. Syarat-syarat Maslahah Mursalah

Abdul-Wahhab Khallaf menjelaskan beberapa persyaratan dalam memfungsikan

mashlahah mursalah, yaitu:

1. Sesuatu yang dianggap mashlahat itu haruslah berupa masalah yang benar akan

mendatangkan manfaat dan menolak kemudaratan.

2. Sesuatu yang mashlahat ini hendaklah berupa untuk kepentingan umum, bukan

merupakan unutk kepentingan pribadi.

3. Sesuatu yang dianggap mashlahat itu tidak bertentangan dengan ketentuan al-Qur’an

dan Sunnah atau bertentangan dengan ijma’. Contohnya, menyamakan pembagian harta

warisan antara anak laki-laki dengan anak perempuan.

3. Istishab

a. Pengertian Istishab

Secara etimologi, istishab berarti “minta bersahabat” atau “membandingkan sesuatu dan

mendekatkannya”. Secara terminologi, Imam Ghazali 9 , mendefinisikan istishab dengan:

“berpegang dengan dalil akal atau syara’, bukan didasarkan karena tidak mengetahui adanya

dalil, tetapi setelah dilakukan pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang

mengubah hukum yang telah ada.”

9
Abu Hamid al-Ghazali, op.cit., hal. 212-213
b. Macam-macam Istishab

1. Istishab hukm al-ibahah al-ashliyyah, yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asal

dari sesuatu yaitu mubah (boleh). Contohnya, pepohonan didalam hutan merupakan

milik bersama manusia dan masing-masing orang berhak untuk menebang dan

memanfaatkan pohon dan buahnya, sampai ada bukti bahwa pohon-pohonan tersebut

telah dimiliki oleh seseorang.

2. Istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus, misalnya,

hak milik suatu barang adalah tetap dan terus berlangsung sampai adanya suatu

perjanjian atau akad tentang perpindahan hak milik tersebut ke orang lain.

3. Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum ada dalil yang mengkhususkannya

dan istishab dengan nash selama tidak ada dalil naskh (yang membatalkannya).

4. Istishab hukum akal sampai datangnya hukum syar’i, maksudnya manusia tidak

dikenakan hukum-hukum syar’i sebelum datangnya syara’. Misalnya, seseorang yang

menuntut bahwa haknya terdapat pada diri seseorang, ia harus membuktikan dengan

bukti yang jelas.

5. Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’, tetapi keberadaan ijma’ itu

diperselisihkan. Istishab seperti ini diperselisihkan kehujjahannya oleh para ulama.

c. Kehujjahan Istishab

Para ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujjahan istishab ketika tidak ada

dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.

Pertama, menurut mayoritas Mutakallimin (ahli kalam), istishab tidak bisa dijadikan

dalil, sebab hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil.

Kedua, menurut sebagian besar ulama Hanafiyyah, istishab bisa menjadi hujjah untuk

menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada

masa yang akan datang, tetapi tidak menetapkan hukum yang akan ada.
Ketiga, ulama Malikiyyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyyah dan Syi’ah berpendapat

bahwa istishab bisa menjadi hujjah secara mutlak untuk menentukan hukum yang sudah ada,

selama belum ada dalil yang mengubahnya.

4. ‘Urf

a. Pengertian ‘Urf

Kata ‘Urf secara etimologi berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal

sehat.” Para ulama ushul fiqh membedakan antara ‘urf dengan adat istiadat dalam membahas

kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Adat didefinisikan

dengan sesuatu yang dikerjakan secara berulang tanpa adanya hubungan rasional.

Adapun ‘urf menurut Imam Ghazali dalam kitab al-mustashfa adalah:

Sesuatu yang telah menjadi mantap/mapan didalam jiwa dari segi akal dan telah dapat

diterima oleh watak-watak yang sehat/baik.

b. Macam-macam ‘urf

Para ulama ushul fiqh membagi ‘urf menjadi tiga macam:

1. Dari Segi Objek

a. Al-‘urf al-lafzhi, adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal atau

ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah

yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat.

b. Al-‘urf al-‘amali, adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan

biasa atau muamalah keperdataan.

2. Dari Segi Cakupan

a. Al-’urf al-‘am, adalah kebiasaan mayoritas dari berbagai negeri di satu masa.

Misalnya, dalam jual beli mobil, seluruh alat untuk memperbaiki mobil, seperti kunci,

dongkrak, dll, termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan.
b. Al-‘urf al-khash, adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu.

Misalnya, kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap barang tertentu.

3. Dari Segi Keabsahannya

a. Al-‘urf al-shahih, adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat tetapi

tidak bertentangan dengan hukum nash, tidak menghilangkan kemaslahatan mereka,

dan tidak pula membawa mudarat bagi mereka.

b. Al-‘urf al-fasid, adalah kebiasaan yang bertentangan dengan hukum syara’ dan

kaidah-kaidah dasar yang ada pada hukum syara’. Misalnya, masalah riba bagi

sebagian pedagang itu menjadi suatu yang halal.

c. Kehujjahan ‘urf

Para ulama ushul fiqh sependapat bahwa ‘urf al-shahih, yaitu ‘urf yang tidak

bertentangan dengan hukum syara’, dapat dijadikan hujjah dalam menentukan hukum syara’.

Dari berbagai kasus ‘urf, para ulama ushul fiqh merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang

berkaitan dengan ‘urf, diantaranya yang paling mendasar adalah:

1. Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum.

2. Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat.

3. Yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat.

4. Yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash.

d. Syarat-syarat ‘Urf

1. ‘Urf itu harus termasuk ‘urf yanh sahih dalam arti tidak bertentangan dengan ajaran

al-Qur’an dan Sunnah.

2. ‘Urf itu harus bersifat umum yang mencakup kemaslahatan orang banyak.

3. ‘Urf itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan

pada ‘urf itu.


4. Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan kehendak ‘urf

itu tersebut.

5. Syar’u Man Qablana

a. Pengertian Syar’u Man Qablana

Secara bahasa syar’u man qablana berarti syariat sebelum Islam seperti syari’at Nabi

Ibrahim, Nabi Musa Nabi Isa as, dan Nabi-nabi yang lainnya. Apakah syari’at-syari’at yang

diturunkan kepada mereka itu berlaku juga kepada umat Islam.

b. Kehujjahan Syar’u Man Qablana

Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa syari’at para nabi terdahulu yang tidak tercantum

dalam al-Qur’an dan Sunnah, maka tidak berlaku lagi bagi umat Islam, karena Syari’at Islam

yang datang telah mengakhiri berlakunya syari’at-syari’at terdahulu. Apabila terdapat syari’at

terdahulu dalam al-Qur’an, hal tersebut bukan karena harus mengikuti syari’at terdahulu tetapi

karena memang sudah disyari’atkan di dalam al-Qur’an

Para ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang hukum-hukum syari’at nabi terdahulu

yang tercantum dalam al-Qur’an, tetapi tidak ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu masih

berlaku bagi umat Islam dan tidak ada pula penjelasan yang membatalkannya.

Menurut kalangan Hanafiah, Malikiyah, mayoritas kalangan Syafi’iyah, dan salah satu

riwayat dari Ahmad bin Hanbal, hukum-hukum tersebut berlaku bagi uamt Islam. Alasan

mereka adalah:

1. Pada dasarnya syari’at itu satu yang berasal dari Allah.

2. Firman Allah dalam surat an-Nahl: 123 dan al-An’am: 90.

Menurut kalangan Mu’tazilah, Syi’ah, sebagain dari kalangan Syafi’iyah dan salah satu

pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, Syariat sebelum Islam yang terdapat dalam al-Qur’an, tidak
menjadi syari’at bagi umat Nabi Muhammad SAW kecuali ada ketegasan untuk melakukannya.

Diantara alasan mereka:

1. Firman Allah dalam surat al-Maidah: 48, yang maknanya bahwa setiap manusia

mempunyai syari’at tersendiri.

2. Sabda Rasulallah kepada Mu’az bin Jabal yang pada saat itu diutus untuk menjadi hakim

di Yaman.

6. Mazhab Sahabi

a. Pengertian Mazhab Sahabi

Yang dimasksud dengan Mazhab Sahabi adalah “pendapat para sahabat Rasulallah

SAW tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam al-Qur’an dan

Sunnah Rasulallah”.

Sedangkan yang dimaksud sahabat, menurut ulam ushul fiqh, adalah “seseorang yang

bertemu dengan Rasulallah SAW dan beriman kepadanya serta mengikuti dan hidup

bersamanya dalam waktu yang panjang, dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan

mempunyai hubungan khusus oleh Rasulallah, sehingga secara adat dinamakan sahabat.”

b. Kehujjahan Mazhab Sahabi

Dalam hal ini, Abdul-Karim Zaidan membagi pendapat sahabat kedalam empat kategori:

1. Fatwa sahabat yang bukan merupakan hasil ijtihad.

2. Fatwa sahabat yang disepakati secara tegas dikalangan mereka yang dikenal dengan

ijma’ sahabat.

3. Fatwa sahabat secara perorangan yang tidak mengikat sahabat yang lain.

4. Fatwa sahabat secara perorangan yang didasarkan oleh ra’yu dan ijtihad.
Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa pendapat sahabat yang dikemukakan

berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’, baik itu

merupakan fatwa ataupun ketetapan hukum. Para ulama ushul fiqh juga sepakat bahwa ijma’

sahabat secara jelas dapat dijadikan hujjah.

Persoalan yang menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan para ulama adalah

pendapat para ulama yang berdasarkan ijtihad semata-mata, apakah menjadi hujjah pada

generasi selanjutnya?

Menurut Wahhbah az-Zuhaili, pendapat tersebut dapat disimpulkan dalam dua pendapat,

yaitu:

1. Menurut kalangan hanafiah, Imam Malik dan Imam Syafi’i, dan pendapat terkuat dari

Ahmad bin Hanbal, bahwa fatwa sahabat dapat dijadikan pegangan oleh generasi

sesudahnya. Alasannya yaitu,

a. Firman Allah dalam surat Ali Imran: 110 dan Hadis Rasulallah yang berkesimpulan

bahwa kita harus mengikuti fatwa para sahabat. Karena yang mereka sampaikan

adalah kebaikan.

2. Menurut riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, Mu’tazilah dan kalangan Syi’ah

menyatakan bahwa fatwa para sahabat tidak mengikat pada generasi sesudahnya.

Alasan mereka adalah,

a. Firman Allah dalam surat al-Hasyr: 2.

b. Para sahabat bukan orang ma’sum. Oleh sebab itu, bisa terjadi kesalah betulan dalam

ijtihad yang dilakukan para ulama.


7. Sadd az-Dzari’ah

a. Pengertian Sadd az-Dzari’ah

Kata Sadd menurut bahasa berarti “menutup”, dan kata Az-Dzari’ah berarti “wasilah”

atau “jalan ke suatu tujuan”. Dengan demikian, Sadd az-Dzari’ah secara bahasa berarti

“menutup jalan kepada suatu tujuan”. Menurut istilah ushul fiqh, seperti dikemukakan oleh

Abdul-Karim Zaidan, saad az-dzari’ah berarti:

Menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan dan kejahatan.

Selanjutnya Abdul-Karim Zaidan, membagi wasilah tersebut menjadi dua macam, yaitu:

1. Perbuatan yang keharamannya bukan saja karena ia sebagai wasilah bagi sesuatu yang

diharamkan, tetapi esensi perbuatan itu sendiri adalah haram.

2. Perbuatan yang secara esensial dibolehkan (mubah), namun perbuatan itu

memungkinkan untuk digunakan sebagai wasilah kepada sesuatu yang diharamkan.

b. Kehujjahan Saad az-Dzari’ah

Ulama Malikiyah dan Hanabilah menyatakan bahwa saad az-dzari’ah dapat diterima

sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Alasan mereka adalah Firman Allah

dalam surat Al-an’am:108 yang maknanya Allah melarang untuk memaki sesembahan kaum

musyrik, karena kaum musyrik pun akan memaki Allah dengan makian yang sama, bahkan

lebih.

Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Syi’ah, dapat menerima saad az-dzari’ah sebagai

dalil-dalil dalam masalah-masalah tertentu dan menolaknya dalam kasus-kasus lain. Imam

Syafi’i, memperbolehkan seseorang yang karena uzur untuk meninggalkan salat jumat dan

menggantinya edngan slat Dzuhur. Akan tetapi, ia secara tersembunyi dan diam-diam dalam

melaksanakan salat dzuhurnya agar dia terhindar dari fitnah.

Anda mungkin juga menyukai