FIQH
I. Pendahuluan
Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai dalil-dalil tersebut, ada baiknya kita
mengenal terlebih dahulu apa itu pengertian Ushul Fiqh. Ushul Fiqh terdiri dari 2 kata yaitu
“ushul” yang berarti asal-muasal dari sesuatu dan “fiqh” yang menurut bahasa adalah
Jadi dapat disimpulkan bahwa definisi “ushul fiqh” ialah, ilmu yang membahas tentang
kaidah yang membuat tentang kesimpulan yang diperoleh dengan sistem yang mengistinbatkan
hukum syari’at.
Kata dalil berasal dari bahasa Arab yang berarti petunjuk kepada sesuatu yang baik atau
buruk. Menurut istilah, dalam buku Pengantar Hukum Syariah karangan Pror. Dr. H. Masjfuk
َالص ِحْي ِم فِْي ِه َعلَى ُح ْك ِمٍ َشْر ِع ِيٍ َع َملِ ِيٍ َعلَى َسبِْيِِلل َقطْ ِع أ
َّ يُ ْستَ َد ُّل ابِلنَّظَ ِر
ِّّوالظَن
“Sesuatu yang disepakati untuk menunjukkan hukum syara’ yang berkaitan dengan
tingkah laku manusia melalui proses bersikap yang benar, baik melalui jalan yang meyakinkan
1
Prof. Dr. H. Masjfuk Zuhdi. Pengantar Hukum Syariah.(Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1995),cet. 3, hal.
44
Dalil-dalil hukum, pokok-pokok dasar hukum (Ushul al-Ahkam), dan sumber-sumber
hukum (Mashadir al-Ahkam) adalah kata-kata muradif (sinonim) mempunyai pengertian yang
sama.2
Dalil-dalil hukum Islam yang pokok adalah Al-Qur’an dan Sunah Rasul, dan keduanya
telah disepakati oleh seluruh ulama dan umat Islam sebagai sumber/dalil hukum. Ada pula
dalil/sumber hukum Islam yang cabang, yang sudah disepakati sebagai dalil hukum oleh hampir
seluruh ulama, ialah Ijma’ dan Qiyas. Dan ada pula dalil-dalil yang masih diperselisihkan
dikalangan ulama sebagai dalil/sumber hukum, antara lain ialah: Istihsan, Mashlahah, Istishhab,
II. Pembahasan
Pada kesempatan kali ini penulis akan membahas secara ringkas mengenai dalil-dalil
1. Istihsan
a. Pengertian istihsan
Secara etimologi, istihsan berarti ”menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu, yang
diambil dari kata al-Husnu (baik).” Tidak terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqh dalam
“Berusaha mendapatkan yang terbaik untuk diikuti bagi sesuatu masalah yang
2
Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Ushul al-Fiqh .(Jakarta: Al-Majlis al-A’la al-Indonesy,1972), hal. 20-21
3
Al-Sarakhsi. Ushul al-Sarakhsi.(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,1993), jilid II, hal. 200
4
Al-Sarakhsi, ibid.
ّص قِياَ ِسٍ بِ َدلِْي ِل أَقْ َوى ِمْنه ِ ِ ِ َب قِي
ُ اسٍ أَقْ َوى مْنهُ أ َْوُه َو ََتْصْي ِ اَلْعُ ُد ْو ُل ِم ْن ُمو ِج
ْ
“Berpaling dari kehendak qiyas kepada qiyas yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas
Imam Malik sebagaimana dinukilkan Imam Syathibi (w. 790H, ahli ushul fiqh Maliki)5,
istihsan. Karena pada awalnya para ulama Syafi’iyah menolak istihsan sebagai salah satu dalil
dalam menetapkan hukum syara’. Dalam masalah ini Imam Syafi’i mengatakan,
syara’.
Imam Syafi’i dalam hal ini didasarkan kepada al-Qur’an surat al-An’am: 38, al-Nahl:
44, dan al-Maidah: 46 yang kesimpulannya bahwa al-Qur’an dan Sunah Rasul telah
menetapkan hukum syara’ secara terperinci dan manusia agar mengikuti petunjuk dari Allah
Di kalangan ulama Hanabilah terdapat definisi istihsan. Ibn Qudamah (1147-1233 M),
5
Abu Ishaq al-Syathibi. Al-muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah. (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1975), jilid IV, hal. 206-
208
ابٍ أ َْو ُسنَّة ْ ِ ت ْع ْن نَظَ ِاء ِرَها لِ َدلِْي ِلٍ َخ
ِ َاصٍٍ ِمن كِت ِ
َ َالعُ ُد ْو ُل ِبُ ْك ِم املَ ْسأَل
Berpaling dari hukum dalam suatu masalah disebabkan adanya dalil khusus yang
menyebabkan pemalingan ini, baik dari ayat al-Qur’an maupun dari Sunnah Rasul.
Dari berbagai definisi mengenai istihsan tersebut, dapat dimengerti esensi dari istihsan
tersebut adalah:
1. Mentarjih qiyas al-khafiy daripada qiyas al-jaliy, karena ada dalil yang mendukungnya.
2. Memberlakukan hukum juz’i dari hukum kulli, didasarkan pada dalil khusus yang
mendukungnya.
b. Macam-macam Istihsan
Istihsan yang disebut pertama, dikenal dengan istihsan Qiyasi, sedangkan yang kedua
Istihsan Qiyasi terjadi pada suatu kasus yang mungkin dilakukan padanya salah satu
dari bentuk qiyas, yaitu qiyas jaki dan qiyas khafi. Pada dasarnya bila dilihat dari segi kejelasan
‘illatnya maka qiyas jali lebih pantas diberlakukan lebih dahulu atas qiyas khafi.
1) Istihsan bin-nas, yaitu hukum pengecualian berdasarkan nas (al-Qur’an dan Hadis) dari
kaidah yang bersifat umum yang berlaku bagi kasus-kasus serupa. Contohnya, pada
kaidah umum makan dalam keadaan lupa di siang hari pada bulan Ramadhan
2) Istihsan berlandaskan ijma’, misalnya dalam kasus pemandian umum. Menurut kaidah
umum, jasa pemandian umum itu harus jelas, yaitu berapa lama ia mandi dan berapa
jumlah air yang ia pakai. Akan tetapi, apabila hal ini dilakukan akan sangat menyulitkan
bagi orang banyak. Oleh sebab itu, para ulama sepakat boleh mempergunakan jasa
pemandian umum, walaupun tanpa menentukan waktu dan jumlah air yang dipakai.
bergerak, seperti buku, perkakas alat memasak, dll. Menurut kaidah umum, seperti yang
dikemukakan oleh Abdul-Karim Zaidan, wakaf hanya diperbolehkan pada harta benda
4) Istihsan yang berlandaskan pada Maslahah Mursalah. Misalnya dalam kasus kebolehan
dokter melihat aurat wanita dalam berobat. Menurut kaidah umum, seseorang dilarang
melihat aurat orang lain. Tetapi dalam kasus ini, demi kemaslahatn orang itu, maka
5) Istihsan berdasarkan keadaan darurat. Misalnya dalam kasus sumur yang sudah
kemasukan najis. Dalam hal ini sangatlah tidak mungkin seseorang untuk menguras
sumur tersebut untuk disucikan kembali. Oleh karena itu para ulama sependapat bahwa
air sumur itu tidak najis karena ada unsur darurat pada sumur itu.
c. Kehujahan Ihtisan
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama ushul fiqh dalam menetapkan
merupakan dalil yang sangat kuat dalam menetapkan hukum syara’. Alasan yang mereka
kemukakan adalah:
1. Ayat-ayat yang mengacu pada mengangkatkan kesulitan dan kesempitan dari umat
manusia. Yaitu Firman Allah dalam surat al-Baqarah: 185 dan al-Zumar: 55
baik.
Menurut ulama Syafi’iyah, Zhahiriyyah, syi’ah dan Mu’tazillah tidak menerima istihsan
sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Alasan mereka adalah:
1. Hukum-hukum syara’ itu ditetapkan berdasarkan nash (al-Qur’an dan Sunnah) dan
pemahaman terhadap nash melalui kaidah qiyas. Sedangkan istihsan bukan merupakan
3. Istihsan adalah upaya penetapan hukum dengan akal dan hawa nafsu saja.
5. Istihsan tidak mempunyai tolak ukur dan kriteria yang jelas sehingga tidak dapat pula
2. Mashlahah Mursalah
Mashlahah Mursalah menurut bahasa terdiri dari dua kata, yaitu mashlahah dan
mursalah. Kata mashlahah menurut bahasa berarti “manfaat”, dan kata mursalah berarti “lepas”.
adalah “mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan
syara’.”
dianggap baik namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak ada pula
dalil tertentu yang mendukung maupun yang menolaknya”6, sehingga ia disebut mashlahah
Imam Ghazali memandang bahwa kemaslahatan harus sesuai dengan tujuan syara’,
sekalipun bertentangan dengan tujuan manusia, karena kehendak manusia tidak selamanya
didasarkan pada kehendak syara’, tetapi sering didasarkan pada kehendak hawa nafsu.
Al-Ghazali merumuskan maslahah sebagai suatu tindakan memlihara tujuan syara’ atau
tujuan hukum Islam, sedangkan tujuan hukum Islam menurut al-Ghazali ada lima perkara yaitu,
memlihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Setiap hukum yang mengandung tujuan
memelihara salah satu dari lima hal diatas disebut maslahah, dan setiap hal yang
b. Macam-macam Mashlahah
mashlahah8, yaitu:
1. Al-mashlahah al-Mu’tabarah, yaitu maslahah yang secara tegas diakui syariat dan telah
2. Al-Mashlahah al-Mulgah, yaitu sesuatu yang dianggap maslahah oleh akal pikiran,
Misalnya masalah pembagian harta warisan yang menyamakan antara anak laki-laki dan
perempuan adalah maslahah. Padahal kesimpulan seperti itu betentangan dengan hukum
syari’at.
6
Prof. Dr. H. Satria Effendi dan M. Zein, M.A. Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), cet.
I, hal. 149
7
Malcom H. Keer, (1968), Moral and Legal Judgment Indevendent of Relevation,
Philosophy: East and West 18, hal, 279.
8
Prof. Dr. H. Satria Effendi dan M. Zein, M.A. loc.cit.
3. Al-Maslahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaanya tidak didukung oleh
syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil yang rinci. Maslahah
macam ini terdapat dalam masalah muamalah yang tidak ada ketegasan hukumnya
dalam al-Qur’an dan Sunnah. Contohnya, peraturan lalu lintas dengan segala rambu-
rambunya.
c. Kehujjahan Maslahah
Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa Mashlahah al-Mu’tabarah dapat
dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum Islam. Mereka juga sepakat bahwa al-
Mashlahah al-Mulgah tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum Islam, demikian
juga maslahah al-Mursalah al-gharibah, karena tidak ditemukan dalam hukum syara’.
Para ulama usul fiqh juga sependapat bahwa mashlahah mursalah tidak sah menjadi
landasan hukum dalam bidang ibadah, karena bidang ibadah harus diamalkan apa adanya dan
dari kalangan Syafi’iyah dan Hanafiyah tidak mengakui mashlahah mursalah sebagai landasan
2. Membenarkan mashlahah mursalah dalam masalah hukum berarti membuka pintu bagi
berbagai pihak seperti para penguasa untuk menentukan hukum sesuai dengan seleranya
Berbeda pendapat dengan kalangan Malikiyah, Hanabilah dan sebagian dari kalangan
syafi’iyah bahwa mashlahah mursalah sacara sah dapat dijadikan sebagai landasan
dalam al-Qur’an dan Sunnah. Oleh sebab itu mashlahah yang tidak bertentangan dengan
2. Para sahabat dalam berijtihad menganggap sah mashlahah mursalah sebagai landasan
1. Sesuatu yang dianggap mashlahat itu haruslah berupa masalah yang benar akan
2. Sesuatu yang mashlahat ini hendaklah berupa untuk kepentingan umum, bukan
3. Sesuatu yang dianggap mashlahat itu tidak bertentangan dengan ketentuan al-Qur’an
dan Sunnah atau bertentangan dengan ijma’. Contohnya, menyamakan pembagian harta
3. Istishab
a. Pengertian Istishab
Secara etimologi, istishab berarti “minta bersahabat” atau “membandingkan sesuatu dan
“berpegang dengan dalil akal atau syara’, bukan didasarkan karena tidak mengetahui adanya
dalil, tetapi setelah dilakukan pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang
9
Abu Hamid al-Ghazali, op.cit., hal. 212-213
b. Macam-macam Istishab
1. Istishab hukm al-ibahah al-ashliyyah, yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asal
dari sesuatu yaitu mubah (boleh). Contohnya, pepohonan didalam hutan merupakan
milik bersama manusia dan masing-masing orang berhak untuk menebang dan
memanfaatkan pohon dan buahnya, sampai ada bukti bahwa pohon-pohonan tersebut
2. Istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus, misalnya,
hak milik suatu barang adalah tetap dan terus berlangsung sampai adanya suatu
perjanjian atau akad tentang perpindahan hak milik tersebut ke orang lain.
3. Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum ada dalil yang mengkhususkannya
dan istishab dengan nash selama tidak ada dalil naskh (yang membatalkannya).
4. Istishab hukum akal sampai datangnya hukum syar’i, maksudnya manusia tidak
menuntut bahwa haknya terdapat pada diri seseorang, ia harus membuktikan dengan
5. Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’, tetapi keberadaan ijma’ itu
c. Kehujjahan Istishab
Para ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujjahan istishab ketika tidak ada
Pertama, menurut mayoritas Mutakallimin (ahli kalam), istishab tidak bisa dijadikan
dalil, sebab hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil.
Kedua, menurut sebagian besar ulama Hanafiyyah, istishab bisa menjadi hujjah untuk
menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada
masa yang akan datang, tetapi tidak menetapkan hukum yang akan ada.
Ketiga, ulama Malikiyyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyyah dan Syi’ah berpendapat
bahwa istishab bisa menjadi hujjah secara mutlak untuk menentukan hukum yang sudah ada,
4. ‘Urf
a. Pengertian ‘Urf
Kata ‘Urf secara etimologi berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal
sehat.” Para ulama ushul fiqh membedakan antara ‘urf dengan adat istiadat dalam membahas
kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Adat didefinisikan
dengan sesuatu yang dikerjakan secara berulang tanpa adanya hubungan rasional.
Sesuatu yang telah menjadi mantap/mapan didalam jiwa dari segi akal dan telah dapat
b. Macam-macam ‘urf
a. Al-’urf al-‘am, adalah kebiasaan mayoritas dari berbagai negeri di satu masa.
Misalnya, dalam jual beli mobil, seluruh alat untuk memperbaiki mobil, seperti kunci,
dongkrak, dll, termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan.
b. Al-‘urf al-khash, adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu.
b. Al-‘urf al-fasid, adalah kebiasaan yang bertentangan dengan hukum syara’ dan
kaidah-kaidah dasar yang ada pada hukum syara’. Misalnya, masalah riba bagi
c. Kehujjahan ‘urf
Para ulama ushul fiqh sependapat bahwa ‘urf al-shahih, yaitu ‘urf yang tidak
bertentangan dengan hukum syara’, dapat dijadikan hujjah dalam menentukan hukum syara’.
Dari berbagai kasus ‘urf, para ulama ushul fiqh merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang
3. Yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat.
4. Yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash.
d. Syarat-syarat ‘Urf
1. ‘Urf itu harus termasuk ‘urf yanh sahih dalam arti tidak bertentangan dengan ajaran
2. ‘Urf itu harus bersifat umum yang mencakup kemaslahatan orang banyak.
3. ‘Urf itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan
itu tersebut.
Secara bahasa syar’u man qablana berarti syariat sebelum Islam seperti syari’at Nabi
Ibrahim, Nabi Musa Nabi Isa as, dan Nabi-nabi yang lainnya. Apakah syari’at-syari’at yang
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa syari’at para nabi terdahulu yang tidak tercantum
dalam al-Qur’an dan Sunnah, maka tidak berlaku lagi bagi umat Islam, karena Syari’at Islam
yang datang telah mengakhiri berlakunya syari’at-syari’at terdahulu. Apabila terdapat syari’at
terdahulu dalam al-Qur’an, hal tersebut bukan karena harus mengikuti syari’at terdahulu tetapi
Para ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang hukum-hukum syari’at nabi terdahulu
yang tercantum dalam al-Qur’an, tetapi tidak ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu masih
berlaku bagi umat Islam dan tidak ada pula penjelasan yang membatalkannya.
Menurut kalangan Hanafiah, Malikiyah, mayoritas kalangan Syafi’iyah, dan salah satu
riwayat dari Ahmad bin Hanbal, hukum-hukum tersebut berlaku bagi uamt Islam. Alasan
mereka adalah:
Menurut kalangan Mu’tazilah, Syi’ah, sebagain dari kalangan Syafi’iyah dan salah satu
pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, Syariat sebelum Islam yang terdapat dalam al-Qur’an, tidak
menjadi syari’at bagi umat Nabi Muhammad SAW kecuali ada ketegasan untuk melakukannya.
1. Firman Allah dalam surat al-Maidah: 48, yang maknanya bahwa setiap manusia
2. Sabda Rasulallah kepada Mu’az bin Jabal yang pada saat itu diutus untuk menjadi hakim
di Yaman.
6. Mazhab Sahabi
Yang dimasksud dengan Mazhab Sahabi adalah “pendapat para sahabat Rasulallah
SAW tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam al-Qur’an dan
Sunnah Rasulallah”.
Sedangkan yang dimaksud sahabat, menurut ulam ushul fiqh, adalah “seseorang yang
bertemu dengan Rasulallah SAW dan beriman kepadanya serta mengikuti dan hidup
bersamanya dalam waktu yang panjang, dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan
mempunyai hubungan khusus oleh Rasulallah, sehingga secara adat dinamakan sahabat.”
Dalam hal ini, Abdul-Karim Zaidan membagi pendapat sahabat kedalam empat kategori:
2. Fatwa sahabat yang disepakati secara tegas dikalangan mereka yang dikenal dengan
ijma’ sahabat.
3. Fatwa sahabat secara perorangan yang tidak mengikat sahabat yang lain.
4. Fatwa sahabat secara perorangan yang didasarkan oleh ra’yu dan ijtihad.
Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa pendapat sahabat yang dikemukakan
berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’, baik itu
merupakan fatwa ataupun ketetapan hukum. Para ulama ushul fiqh juga sepakat bahwa ijma’
pendapat para ulama yang berdasarkan ijtihad semata-mata, apakah menjadi hujjah pada
generasi selanjutnya?
Menurut Wahhbah az-Zuhaili, pendapat tersebut dapat disimpulkan dalam dua pendapat,
yaitu:
1. Menurut kalangan hanafiah, Imam Malik dan Imam Syafi’i, dan pendapat terkuat dari
Ahmad bin Hanbal, bahwa fatwa sahabat dapat dijadikan pegangan oleh generasi
a. Firman Allah dalam surat Ali Imran: 110 dan Hadis Rasulallah yang berkesimpulan
bahwa kita harus mengikuti fatwa para sahabat. Karena yang mereka sampaikan
adalah kebaikan.
2. Menurut riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, Mu’tazilah dan kalangan Syi’ah
menyatakan bahwa fatwa para sahabat tidak mengikat pada generasi sesudahnya.
b. Para sahabat bukan orang ma’sum. Oleh sebab itu, bisa terjadi kesalah betulan dalam
Kata Sadd menurut bahasa berarti “menutup”, dan kata Az-Dzari’ah berarti “wasilah”
atau “jalan ke suatu tujuan”. Dengan demikian, Sadd az-Dzari’ah secara bahasa berarti
“menutup jalan kepada suatu tujuan”. Menurut istilah ushul fiqh, seperti dikemukakan oleh
Selanjutnya Abdul-Karim Zaidan, membagi wasilah tersebut menjadi dua macam, yaitu:
1. Perbuatan yang keharamannya bukan saja karena ia sebagai wasilah bagi sesuatu yang
Ulama Malikiyah dan Hanabilah menyatakan bahwa saad az-dzari’ah dapat diterima
sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Alasan mereka adalah Firman Allah
dalam surat Al-an’am:108 yang maknanya Allah melarang untuk memaki sesembahan kaum
musyrik, karena kaum musyrik pun akan memaki Allah dengan makian yang sama, bahkan
lebih.
Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Syi’ah, dapat menerima saad az-dzari’ah sebagai
dalil-dalil dalam masalah-masalah tertentu dan menolaknya dalam kasus-kasus lain. Imam
Syafi’i, memperbolehkan seseorang yang karena uzur untuk meninggalkan salat jumat dan
menggantinya edngan slat Dzuhur. Akan tetapi, ia secara tersembunyi dan diam-diam dalam