Ijma’
1. Pengertian Ijma’
Ditinjau dari segi Bahasa (etimologi), kata Ijma’ merupakan Masdar dari kata ajma’a
yang artinya memutuskan dan menyepakati sesuatu. Ia juga bisa berarti kesepakatan bulat
(konsensus). Menurut Abdul Wahhab Khalaf, secara istilah Ijma’ adalah kesepaatan
(konsensus) seluruh mujtahid pada suatu masa tertentu sesudah wafatnya Rasul atau hukum
syara’ untuk satu peristiwa (kejadian).1
1
A. Hanafi, 1981, Ushul Fiqih. Jakarta: Bumirestu
2
Ibid
melalui perkataan atau perbuatan, sedangkan mujtahid yang lain tidak memberikan
komentar apakah ia menerima atau menolak. Ijma’ Sukuti ini bersifat dzan dan tidak
mengikat. Oleh sebab itu, tidak ada halangan bagi mujtahid untuk memaparkan pendapat
yang berbeda setelah Ijma’ itu diputuskan. Imam Syafi’I dan Imam Malik berpendapat
bahwa Ijma’ Sukuti ini tidak dapat dijadikan dasar hukum. Namun Imam Abu Hanifah
dan Imam Ahmad bin Hambal berpendapat lain yaitu menjadikannya sebagai dasar
hukum. 3
Qiyas
1. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut Bahasa berarti menyamakan atau mengukurkan sesuatu dengan yang lain.
Para ahli Ushul Fiqih mengartikan qiyas merupakan menyamakan atau mengukur suatu
kejadian yang tidak ada nash tentang hukumnya dengan kejadian yang ada nash tentang
hukumnya di dalam hukum yang disebutkan di dalam nash karena ada kesamaan antara dua
kejadian itu di dalam illat hukum tersebut.4
2. Rukun Qiyas
a. Kejadian, adalah peristiwa, perbuatan, tindakan yang tidak ada hukumnya atau
belum jelas hukumnya baik di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
b. Kejadian yang telah ada ketentuan hukumnya baik di dalam Al-Qur’an maupun
sunnah disebut ashal atau disebut juga “maqiis’alaih” yaitu sesuatu yang akan
diqiyaskan kepadanya, atau “musyabbah bih” yaitu sesuatu yang akan diserupakan
dengannya.
c. Illat, yaitu suatu sifat yang menjadi dasar hukum pada ashal. Sifat ini pula yang
harus ada pada “far’un”. Haramnya minum khamr adalah ashal karena ada nash yang
menyatakan itu, yaitu firman Allah SWT. Kata ‘ilah penggunaannya sering tumpang
tindih dengan sebab dalam hukum wadh’I sebab biasanya berhubungan dengan suatu
alasan yang tidak bisa dipahami akal. Jadi, setiap sabab pastilah ‘illah, tetapi tidak
semua ‘illah merupakan sabab.
d. Hukum ashal yaitu hukum suatu kejadian yang sudah disebutkan dan akan
ditetapkan bagi far’un karena sama sifatnya (illatnya).5
3. Dasar Kehujjahan Qiyas dan Kedudukannya sebagai Sumber Hukum
Sebagian Ulama Sunni berpendapat bahwa qiyas adalah salah satu sumber hukum
Islam. Ulama yang menjadikan qiyas sebagai sumber hukum atau disebut (musbitul qiyas)
3
A. Syafi’I Karim, 2006, Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
4
A. Hanafi, 1981, Ushul Fiqih. Jakarta: Bumirestu
5
A. Syafi’I Karim, 2006, Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
dan mereka mempunyai dasar yang kuat baik dari nas maupun dari akal. Dalam Al-Qur’an
terdapat banyak ayat yang menyeru kepada manusia agar mengguankan akalnya semaksimal
mungkin.6 Di antaranya adalah dalam Surat Al-Hasyr ayat 2, yang berbunyi:
Dasar qiyas sebagai sumber hukum adalah sebuah hadits dari Ibnu Abbas:
ت إِ َّنْ َصلى هللاُ َعلَيِ ِه َو َسلّ ْم فَقَالَ ت اِلَى النَّبِ ِّي ْ س أَ َّن ا ْم َرأَةً ِم ْن ُجهَيِنَةَ َجا َءٍ َّ ع َِن اب ِْن عَبا
ت لَوْ َكانَ َعلَى ِ ِال نَ َع ْم َحجِّى َع ْنهَا اَ َرأَي َ ََت اَفَأَحُجُّ َع ْنهَا قْ ت اَ ْن تَ ُح َّج فَلَ ْم تَ ُح َّج َحتَّى َماتْ اُ ِّمى نَ َذ َر
)ق بِ ْال َوفَا ِء (رواه البخارى ُّ اض ْيتَهُ اِ ْقضُوْ ا هللا َفَا هللاُ اَ َح
ِ َت ق َ اُ ِّم
ِ ك ِدي ٌْن اَ ُك ْن
Artinya: “Dari Ibnu Abbas, seorang perempuan dari kabilah Juhainah telah dating
kepada Nabi. Ia bertanya, “sesungguhnya ibuku telah bernazar akan pergi haji tapi ia tidak
melaksanakannya sampai wafat”. Apakah saya boleh mengerjakan haji untuk ibuku?” Nabi
menjawab, “Ya boleh, kerjakanlah haji untuknya. Bagaimana pendapatmu jika ibumu
sewaktu wafat meninggalkan hutang, bukankah engkau yang membayarnya? Hendaklah
kamu bayar hak Allah sebab hak Allah lebih utama untuk dipenuhi”. (HR. Bukhari).
4. Macam-macam Qiyas
Qiyas mempunyai tingakatan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut bedasarkan
pada tingkat kekuatan hukum karena adanya ‘illah yang ada pada asal dan furu’, adapun
tingkatan tersebut pada umumnya dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Qiyas aula, yaitu qiyas yang apabila ‘illahnya mewajibkan adanya hukum. Hukum
cabang memiliki nilai yang lebih utama daripada hukum yang ada pada al-ashal.
Misalnya berkata kepada kedua orang tua dengan mengatakan “ah” atau kata-kata
yang lain yang semakna dan menyakitkan itu hukumnya haram.
b. Qiyas musawi, yaitu qiyas yang apabila ‘illahnya mewajibkan adanya hukum.
Hukum yang ada pada ashal dan hukum yang ada pada cabang nilainya sama.
c. Qiyas adna, yaitu qiyas yang apabila ‘illahnya mewajibkan adanya hukum. Hukum
cabang nilainya lebih lemah daripada hukum ashal.7
5. Sebab-sebab dilakukan Qiyas
Di antara sebab-sebab dilakukan qiyas adalah:
6
Nasution, H. 1986, Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press.
7
Khalaf, A.W. 2003, Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amani
a. Adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara
dalam nash Al-Qur’an dan Al-Hadits tidak ditemukan hukumnya dan mujtahid pun
belum melakukan ijma’
b. Nash baik yang berupa Al-Qur’an maupun Al-Hadits telah berakhir dan tidak turun
lagi.
c. Adanya persamaan illat antara peristiwa yang belum ada hukumnya dengan
peristiwa yang hukumnya telah ditentukan oleh nash.8
8
Syarifuddin, A. 2011, Ushul Fiqih Jilid I. Jakarta: Kencana.