2
Ahmad Sanusi, dan Sohari, Ushul Fiqh, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, hlm. 193
dari ibarat nash, ialah maksud ynag bisa segala dipahami dari shiqhatnya. Itulah
yang dimaksud dengan redaksi nash. Maka ketika sebuah maknah telah nyata dan
dapat dapat dipahami dari shighat nash, dan nash disusun untuk menjelaskan
makna dan menetapkannya, maka makna itu merupakan madlul dari ungkapan
yang terkandung dalam nash, atau juga disebut dengan makna literal nash. Jadi ,
Dalalah Ibarat yang baik dimaksudkan dari susunannya secara asli atau karenanya
mengikuti hal lain.
Contoh dalalah semacam itu tidak terhitung banyaknya, karena setiap nash
perundang-undangan itu disusun oleh syar’i (pembuat hukum) untuk suatu hukum
tertentu. Ia menghendaki membentuk hukum itu dengan nash, menyusun lafal,
dan ibaratnya (susunan redaksinya), supaya dapat menunjukan pengertian yang
jelas terhadap hukum yang dimaksud. Setiap teks baik dalam undang-undang
syar’i mauoun hukum positif tentunya memiliki makna yang ditunjukan oleh
susunan redaksinya.
Allah SWT. Berfirman :
ثَ اء َمثْن َٰى َوث ُ ََل ِ سَ ِاب َل ُك ْم ِمنَ الن َ طَ طوا فِي ْال َيت َا َم ٰى َفا ْن ِك ُحوا َما ُ َو ِإ ْن ِخ ْفت ُ ْم أ َ ََّّل ت ُ ْق ِس
َت أَ ْي َمانُ ُك ْم ۚ ٰذَلِكَ أَدْن َٰى أ َ ََّّل تَعُولُوا
ْ احدَة ً أ َ ْو َما َملَك
ِ ع ۖ فَإِ ْن ِخ ْفت ُ ْم أَ ََّّل تَ ْع ِدلُوا فَ َو َ َو ُر َبا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.” (QS. An-Nisa : 3)
Dari ibarat nash diatas dapat dipahami, tiga makna yaitu : kebolehan
menikahi wanita yang disenangi, membatasi jumlah istri sebanyak empat orang,
dan kewajiban mencukupkan satu istri. Apabila dikhawatirkan berlaku tidak adil
jika istri lebih dari satu. Sebab seluruh makna tersebut ditunjukan oleh lafal nash
dengan adanya yang nyata. Semua itu dimaksudkan dalam susunan kalimatnya,
makna pertama dimaksudkan sebagai pengikut, makna kedua dan ketiga
dimaksudkan secara asli. Sebab ayat tersebut disusun untuk menyesuaikan wasiat-
wasiat terhadap orang-orang yang membatasi diri dan enggan menerima wasiat,
karena khawatir akan berlaku tidak adil rethadap harta benda anak yatim.3
2. Isyarat Nash
Isyarat Nash adalah dalalah lafal terhadap makna yang tidak dimaksudkan
melalui susunan kalimatnya, baik dalam bentuk makna pokok atau tidak pokok,
hanya saja makna tersebut menetap atau melekat pada makna yang dimaksudkan
melalui susunan kalimatnya. Dengan demikian, makna atau hukum yang diambil
dari isyarat nash bukan menjadi tujuan dari susunan kalimat dari nash itu
sementara makna atau hukum yang diambil dari dalalahnya ibarat al-nash
memang dikendaki melalui susunan kalimatnya secara langsung. Selanjutnya,
dalalah isyarat al-nash terkadang cukup jelas, yang memungkinkan untuk
dipahami dengan sedikip perenungan atau penalaran, dan terkadang pula
dalalahnya samar sehingga untuk mengetahuinya diperlukan kecermatan analisis
dan penalaran yang mendalam. Dalalah yang samar ini biasanya menjadi sumber
perbedaan pendapat dikalangan para mujtahid.
Contoh dalalah isyarat al-nash dalam firman Allah SWT.:
َّللاُ أَنَّ ُك ْم ُك ْنت ُ ْم ت َْخت َانُون
َّ اس لَ ُه َّن ۗ َع ِل َمٌ َاس لَ ُك ْم َوأ َ ْنت ُ ْم ِلب َ ِث إِلَ ٰى ن
ٌ َسائِ ُك ْم ۚ ه َُّن ِلب ُ َالرف ِ َأ ُ ِح َّل لَ ُك ْم لَ ْيلَة
َّ الصيَ ِام
ُ ّللاُ لَ ُك ْم ۚ َو ُكلُوا َوا ْش َربُوا َحتَّ ٰى يَتَبَيَّنَ لَ ُك ُم ْال َخ ْي
ط َّ َبَ َاب َعلَ ْي ُك ْم َو َعفَا َع ْن ُك ْم ۖ فَ ْاْلنَ بَا ِش ُروه َُّن َوا ْبتَغُوا َما َكت
َ س ُك ْم فَتَ ُأ َ ْنف
ۗ اج ِد
ِ س َ ام إِلَى اللَّ ْي ِل ۚ َو ََّل تُبَا ِش ُروه َُّن َوأَ ْنت ُ ْم َعا ِكفُونَ فِي ْال َم ِ ض ِمنَ ْال َخي ِْط ْاْلَس َْو ِد ِمنَ ْال َفجْ ِر ۖ ث ُ َّم أَتِ ُّموا
َ َالصي ُ َْاْل َ ْبي
َاس َل َعلَّ ُه ْم يَتَّقُون َّ ُّللاِ فَ ََل ت َ ْق َربُوهَا ۗ َك ٰذَلِكَ يُبَ ِين
ِ َّّللاُ آيَاتِ ِه ِللن َّ ُ تِ ْلكَ ُحد ُود
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-
isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi
mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu,
karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, Yaitu fajar..” (QS. Al-Baqarah : 187)
3
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2011, hlm. 172
Berdasarkan susunan kalimatnya, ayat tersebut menunjukan kebolehan
mencampuri istri pada seluruh bagian waktu malam bulan Ramadhan sampai
terbit fajar. Kemudian berdasarkan dalalah isyarat al-nash dapahami kebolehan
memasuku waktu subuh dalam keadaan junub dan berpuasa. Sebab kebolehan
mencampuri istri hingga terbit fajar berakibat ketika fajar terbit seorang masih
berada dalam kaadaan junub. Pengertian ini sebenarnya tidak dimaksudkan dari
susunan ayat tersebut, akan tetapi merupakan konsekuensi logis dari makna yang
dikehendaki oleh susunan kalimat ayat itu.
3. Dalalah Al-Nash
Dalalah Al-Nash ialah dalalah lafal terhadap ketetapan hukum yang
terdapat pada perseorangan yang dinyatakan dalan nash yang kemudian
diperuntukan pada perseorangan yang tidak dinyatakan secara aksplisit dalam
nash, karena adanya persamaan alasan hukum (‘illat) yang dapat dipahami melalui
bahasa, tanpa (manshush ‘alaih), karena kesamaan ‘illat (alasan hukum)nya, atau
bahkan lebih layak terhadap hukum itu disebabkan amat kuatnya alasan hukum
padanya. Dalalah ini disebut dalalah al-nash, karena hukum yang ditetapkan
berdasarkan hukum ini tidak dipahami dari lafal sebagaimana yang terjadi pada
dalalah ibarat nash atau isyarat nash, akan tetapi ia dipahami malalui ‘illat
(alasan) hukumnya. Dalalah ini juga disebut fatwa al-khithab (tujuan dan sasaran
dari suatu pembicaraan). Sedangkan Imam Syafi’i menganggapnya sebagai Qiyas
jaliy (analogi yang jelas), sementara dikalangan Ulama Mazhab Syafi’i ini disebut
mafhum muwafaqah, karena adanya kesesuaian atau kesamaan alasan hukum.
Contoh Dalalah Al-Nash yang lebih kuat ‘illat hukumnya ialah firman
Allah SWT.:
سانًا ۚ إِ َّما َي ْبلُغ ََّن ِع ْندَكَ ْال ِكبَ َر أ َ َحدُ ُه َما أ َ ْو ك ََِل ُه َما فَ ََل تَقُ ْل لَ ُه َما أُف َو ََّل
َ ْض ٰى َربُّكَ أ َ ََّّل ت َ ْعبُدُوا ِإ ََّّل إِيَّاهُ َوبِ ْال َوا ِلدَي ِْن إِح
َ ََوق
ت َ ْن َه ْر ُه َما َوقُ ْل لَ ُه َما قَ ْو ًَّل ك َِري ًما
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika
salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut
dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka Perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra : 23)
4. Iqtidha’ Nash
Yang dimaksud dengan Iqtidha’ Nash adalah makna suatu kaliamat yang
masih perlu diluruskan dengan mengira-mengirakan lafal yang lain. Hal tersebut
karena diperkirakan dalam shiqhat nash tidak terdapat lafal yang menunjukan
makna itu, tetapi kesahihan kesesuaiannya dengan kenyataan menuntut
kebenarannya.
“ (Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan
dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-nya..”
(QS.Al-Hasyr : 8).
4
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang : Dina Utama, 1994, hlm. 255-264
Susunan kalimat pada ayat diatas menunjukkan kefakiran golongan
Mujahirin, padahal mereka mempunyai harta yang banyak di Makkah. Pernyataan
tersebut tidak akan benar kecuali apabila kita memikirkan hilangnya kepemilikan
mereka atas harta yang mereka tinggalkan di Makkah. Dan harta tersebut menjadi
milik orang-orang kafir dengan cara menguasai harta itu. Pikiran hilangnya
kepemilikan mereka dipahami melalui dalalah Iqtidha’ Al-Nash, supaya yang
disebutkan nash itu benar.
5
Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2005, hlm. 302-305
a. Mafhum Sifat
Mafhum sifat, yaitu menggantungkan hukum sesuai pada sifat tertentu,
maka ketika sifat tersebut tidak terdapat pada hal yang lain yang tidak dinyatakan
dalam nash, maka berlaku kebalikan hukumnya.6
Contohnya dalam firman Allah SWT.:
“Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh
mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki..” (QS. An-
Nisa : 25).
Manthuq ayat tersebut membatasi kebolehan mengawini budak perempuan
yang beriman saja, jika seorang tidak sanggup mengawini wanita mereka,
kemudian dari nash tersebut diambil mafhum mukhalafahnya, tidak boleh
mengawini budak perempuan yang tidak mukmin, karena iman merupakan suatu
sifat yang membatasi kebolehan menikahinya.
b. Mafhum Syarat
Mafhum syarat, yaitu dalalah lafal terhadap hukum yang tergantung pada
suatu syarat, maka ketika syarat tersebut tidak ada, maka hukum tersebut berlaku
padanya.
Contohnya dalam firman Allah SWT.:
6
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang : Dina Utama, 1994, hlm. 274-276
“..Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin..” (QS. Ath-Thalaq:
6)
Manthuq ayat ini menunjukan kewajiban menafkahi istri yang beriddah
dengan syarat ia hamil. Berdasarkan itu, diambil mafhum makhalafahnya, yakni
apabila ia tidak hamil, maka tidak berhak nafkah selama iddah. Oleh karena
itulah, mantan suami tidak wajib menikahi istri yang diceraikannya dan masih
iddah, kecuali apabilah talaknya raj’i (dapat dirujuk) atau sedang hamil.
c. Mafhum Ghayah
Mafhum Ghayah, yakni dalalah suatu lafal terhadap makna atau hukum
yang dibatasi dengan batas akhir (ghayah), maka sesudah batas akhir ia berlaku
hukum yang sebaliknya. Ghayah mempunyai dua lafal, ila dan hatta.
Contohnya dalam firman Allah SWT.:
“..Dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam,
Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam..” (QS.
Al-Baqarah : 187).
Manthuq ayat tersebut membolehkan makan minum sampai datang fajaf.
Mafhum mukhalafahnya menunjukan bahwa sesudah datang fajar seseorang yang
berpuasa dilarang makan dan minum.
d. Mafhum Bilangan
Mafhum Bilangan, yaitu dalalah lafal terhadap hukum yang dibatasi oleh
jumlah bilangan tertentu yang selanjutnya menafikan hukum tersebut pada jumlah
bilangan selail yang disebutkan itu.
Contoh dalam firman Allah SWt.:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus kali dera..” (QS. An-Nur : 2).
Manthuq ayat ini membatasi hukum dera zina dengan jumlah seratus kali
dera. Mafhum mukhalafahnya jumlah hukuman zina tidak boleh melebihi atau
kurang darinya.
f. Mafhum Laqab
Mafhum Laqab, yaitu mafhum dari mana yang dinyatakan untuk sesuatu
yang berzat, baik nama, sifat, jenis atau macam.
Contohnya dalam firman Allah SWT.:
7
Ahmad Sanusi, dan Sohari, Ushul Fiqh, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, hlm. 210-214
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu..” (QS. An-Nisa : 23)
Mafhum mukhalafanya adalah selain ibu.
g. Mafhum ‘Illat
Mafhum ‘Illah, yaitu menggantuhkan hukum pada suatu ‘illat (alasan
hukum) tertentu, maka ketika ‘illat itu tidak ada, hukum itupun hilang dan berlaku
kebalikannya.
Contohnya
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan. (QS. Al-Maidah : 90).
Minuman keras diharamkan karena memabukan. Mafhum mukhalafahnya,
minuman yang tidak mengandung unsur memabukan tidak haram, karena ‘ilat
keharamannya hilang.
Waadhih ad- Dalaalah menurut ahli ushul adalah suatu nash atau lafadz
yang jelas dan menunjukkan arti yang dimaksud dengan bentuknya sendiri tanpa
bergantung kepada faktor eksternal.
Ulama ushul fiqh membagi nash yang jelas dalalahnya menjadi 4 macam,
yaitu :
1. Zhahir
Dzahir secara bahasa, diambil dari kata dzuhuur, yang berarti nampak dan
tersingkap.Menurut madzhab Hanafiyah, dzahir adalah ungkapan yang
menunjukkan makna yang jelas. Akan tetapi, makna asli dari sebuah lafadz
tersebut bukanlah yang dimaksud (secara syari’at). Sedangkan menurut
Ushuliyyiin, ialah sesuatu yang menunjukkan arti yang dimaksud dari lafadz
tersebut dengan bentuk lafadznya sendiri tanpa bergantung kepada faktor
eksternal. Namun, bukan berarti memiliki makna asli dari bentuknya sendiri atau
memiliki kemungkinan untuk ditakwil.Dengan kata lain, dzahir adalah lafadz
yang dapat dipahami oleh akal, akan tetapi memungkinkan untuk bisa ditakwil.
2. Nash
3. Muffasah
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang
menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”. (QS
An-nur (24) : 4)9
Wajib mengggunakan dalil tersebut secara qath’iy sebagaimana yang telah
terperinci, sebab tidak ada lagi ihtimal untuk ditakwil dan selamanya tidak bisa
menerima naskh. Namun, ada kemungkinan untuk dinaskh apabila lafadz tersebut
berupa hukum far’i yang meminta adanya perubahan. Dengan begitu, lafadz
mufassar tidak bisa diartikan secara dzahir maupun nash secara langsung, sebab
tidak menerima takwil maupun takhsis.
4. Muhkam
Muhkam dalam istilah ushul fiqh ialah suatu yang menunjukan makna,
yang mana makna tersebut dengan sendirinya tidak menerima pembatalan dan
penggantian, dengan dalalah yang jelas, dan sama sekali tidak mengandung
kemungkinan takwil. Nash muhkam tidak pernah mengandung kemungkinan
takwil, artinya menghendaki makna lain yang tidak zhahir daripadanya, karena
nash tersebut telah terperinci dan ditafsirkan dengan penafsiran yang tidak
memungkinkan untuk ditakwil. Ia juga tidak menerima nasakh , baik pada masa
kerasulan, masa senggang dan turunnya wahyu (fatrah), maupun masa
sesudahnya.
9
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2014, hlm. 239-240
Contohnya dalam firman Allah SWT.:
“..Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya..” (QS. An-
Nur : 4)
Kalimat larangan ini disertai dengan lafadz أ َ َبدًا, hal ini menunjukkan dalil
muhkam yang tidak dapat dinaskh. Wajib menggunakan dalil tersebut secara
qath’iy tanpa ada keraguan, karena tidak mengandung makna selainnya dan tidak
menerima adanya perubahan secara mutlak, sama halnya seperti pada masa
Rasulullah saw tau setelahnya. Karena, adanya hukum yang tertera di dalam Al-
Quran dan As-Sunnah sudah menjadi ketetapan mutlak sepeninggal Rasulullah
Saw tanpa adanya naskh.
Nash yang tidak jelas dalalahnya yaitu nash yang bentuknya itu sendiri
tidak bisa menunjukkan kepada arti yang dimaksud dari padanya bahkan untuk
memahami maksud dari padanya itu diperlukan faktor dari luar. Pada buku Ushul
Fiqh-Abdul Wahhab Khallaf disebutkan, nash-nash yang tidak jelas dalalahnya
ialah : sesuatu yang tidak menunjukkan terhadap yang dikehendakinya dengan
shighatnya sendiri, akan tetapi pemahaman maksudnya tergantung pada sesuatu
yang khariji (bersifat external). Jika nash atau dalil itu bisa dihilangkan
kesamarannya dengan jalan meneliti dan melakukan ijtihad, maka dalil itu disebut
al-khafi,atau al-musykil. Dan jika kesamarannya itu tidak bisa dihilangkan kecuali
dengan mengambil penjelasan dari syari’ itu sendiri, maka dalil itu disebut al-
mujmal. Dan jika tidak ada jalan yang sama sekali untuk menghilangkan
kesamarannya itu, maka dalil itu disebut al-mutasyabih.
Ulama ushul fiqh telah membagi nash yang tidak jelas dalalahnya menjadi 4
macam, yaitu :
1. Al-Khafi
Khafi menurut istilah ulama ushul fiqh ialah lafal yang menunjukan suatu
makna dengan dalalahnya terhadap kesamaan dan ketidakjelasan pada sebagian
satuan-satuannya. Dan untuk menghilangkan kesamaran maknanya diperlukan
analisis dan pemikirannya. Lafal yang demikian ini dianggap khafi (samar atau
tersembunyi) jika konteknya dinisbatkan dengan sebagian satuan-satuan ini.
Contohnya
Makna pada nash ini jelas, akan tetapi pada penerapan disebagian makna
lain terdapatkesamaran. Sepertihalnya kata as-saariq,pencuri yang artinya
mengambil barang orang lain secara sembunyi-sembunyi. Kemudian diterapkan
pada sebagian satuan maknanya yaitu kata pencopet, korupsi, pencuri barang-
barang dalam kuburan, kata ini mengandung makna yang samar sehingga
membutuhkan penelitian yang mendalam dan ijtihadnya para ulama. Pencopet
lebih bermakna mengambil barang orang lain secara terang-terangan. Perbedaan
dengan pencurian dalam pencopet memiliki keberanian mencuri sehingga ia lebih
khusus penamaannya.
2. Al-Musykil
Musykil adalah lafadz yang tidak jelas maknanya, maka tidak mungkin
dapat memahaminya kecuali dengan penelitian yang mendalam sehingga
diperlukan qarinah dan dalil lain yang dapat menjelaskannya. Perbedaannya
dengan khofi yaitu pada dzat lafadznya, sedangkan musykil pada dzat nashnya
yang tidak dapat dipahami kecuali dengan dalil lain.
Contohnya
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'..” (QS. Al-Baqarah : 228)
Lafal al-quru merupakan lafal musykil, yang mana lafal tersebut secara
bahasa mempunyai dua makna, yaitu suci dan haid.
3. Al-Mujmal
Mujmal dalam bahasa adalah global atau tidak terperinci.Mujmal dalam
istilah para ahli ilmu ushul fiqh ialah lafazh yang tidak dapat menunjukkan
terhadap maksudnya melalui shighatnya,tidak ada qarinah lafzhiyyah (tekstual)
atau qarinah haliyyah (kontekstual) yang menjelaskannya.10 Jadi sebab kesamaran
adalah bersifat lafazh (tekstual),bukan hal yang datang kemudian.
Contohnya :
ِ ُ صلَّ ْوا َك َما َرا َ ْيت ُ ُم ْونِ ْي ا
ص ِل ْي َ
“Lakukanlah Shalat sebagaimana kamu melihatku melakukan shalat”
Demikian pula dengan lafadz mujmallainnya, seperti zakat, puasa haji,
danriba, sertasegalasesuatu yang datangsecaramujmaldalamnash-nash al-Qur’an.
4. Al-Mutasyabih
Mutsyabih secara bahasa diambil dari kata at-tasyabuh yang berarti ketidak
jelasan, kesamaran atau kekacauan. Secara istilah, mutasyabih adalah lafadz yang
tersembunyi maknanya, dan tidak ada jalan untuk mengetahui makn atersebut, dan
tidak mungkin tercapai oleh nalar akal para ulama sekalipun dalam
menerangkannya.Tidak didapatkan juga pentafsiran makna ini, baik secara qathi’
maupun dzanni dari al-Qur’an maupun sunnah.
Contohnya :
“..Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang..” (QS. Al-Mujadalah : 7)
Pentakwilannya adalah bahwa Allah SWT. Menyertai orang-orang yang
saling berbisik, dengan pengetahuan-Nya dan pengawasan-Nya. Demikian
seterusnya.
10
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2011, hlm. 289
5. JELASKAN TENTANG KAIDAH MUSYTARAK DAN AMM DAN
DALALAHNYA SERTA SEBUTKAN SECARA TERPERINCI
PEMBAGIANNYA BERDASARKAN PARA AHLI USHUL FIQH !
Jawaban
1. Kaidah Musytarak
a. Lafads Musytarak
Lafads Musytarak ialah lafads yang diletakan untuk dua makna atau lebih
dengan peletakan yang bermacam-macam, dimana lafads itu menunjukan makna
yang ditetapkan secara bergantian, artinya lafads itu menunjukan makna ini atau
makna itu. Sebagaimana lafads ‘ain ditetapkan menurut bahasa untuk pandangan,
untuk mata air yang bersumber, dan untuk mata-mata. Misalnya lagi lafads Al-
Quru’ ditetapkan dalam bahasa untuk pengertian yang suci dan haid. Lafadz
sanah, dan lafadz yad (tangan).
Contohnya
“Jika seorang mati baik laki-laki baik perempuan yang tidak me ninggalkan ayah
dan tidak meninggalkan anak..” (QS. An-Nisa :12)
b. Lafadz ‘Amm
Lafadz ‘Amm adalah lafaaadz yang ditetapkan satu makna. Saaatu makan
ini teralisir pada satu-satuan yang banyak yang tidak terbatasi pada lafadznya,
kendati pun sebanarnya dalam kenyataannya satuan itu terbatas artinya bahwa
berdasarkan penetapan kebahasaannya, lafadz itu tidak menunjukan pada jumlah
terbatas dari satuan satuan ini. Akan tetapi ia menunjukan keseluruan satuan-
satuannya. Seperti kata fajar, ia menunjukan kepada makna yang terwujud pada
satuan-satuan yang tidak terbatas dan meliputi mereka seluruhnya.
Contohnya :
Lafadz Khash ialah suatu lafadz yang terletak untuk menunjukan suatu
individu yang satu perseorangannya, seperti Muhammad atau satu dalam
macamnya, seperti seorang laki-laki, atau menunjukan kepada sejumlah individu
yang terbatas seperti tiga, sepuluh, seratus, sekelompok orang, kaum, atau
sekumpul orang dan lain sebagainya. Yang terdiri dari lafadz yang menunjukan
sejumlah individu dan tidak menunjukan terhadap penghabisan seluruh individu-
individu.11
Contohnya :
2. Kaidah ‘Amm
Lafadz ‘Amm ialah lafadz yang menurut penetapannya secara kebahasaan
menunjukan terhadap kemerataan dan penghabisannya terhadap seluruh satu-
satunya, yang maknanya tanpa pembatasan pada jumlah tertentu dari pada satuan
tesebut. Jadi lafadz setiap akar pada perkataan fuqaha : “setiap akad ada
keabsahannya di isyaratkan ahliyyah dua pihak yang melakukan akad”. Lafadz
tersebut adalah umum, yang menunjukan terhadap peliputan tiap-tiap sesuatu
yang mengenainya, bahwa ia adalah akad, tanpa suatu pembahasan pada akat
tertentu atau beberapa akad tertentu.
11
Alaidin Koto, Ilmu Fiqih Dan Ushulul Fiqih, Jakarta: Rajawali Pers, 2004, hlm 209
Ulama ushul fiqh telah membagi ‘Amm menjadi 6 macam, yaitu :
Artinya :” Allah menciptakan bagi kamu sesuatu yang ada di bumi seluruhnya.”
(QS. Al-Baqarah : 29)
b. Lafadz Mufrad
Lafadz Murfad (kata benda tunggal) yang dimakrifatkan dalam alif lam
yang dipergunakan untuk memakfirkan jenis, misalnya, kata al-zaniyatu wa al-
zani (perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina).12
Contohnya
Artinya : “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya.” (QS. Al-Maidah : 38)
12
Abdul Wahid Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta : Pustaka Amani, 2003, hlm. 202
c. Lafadz Jama’
Bentuk jama’ yang dimakrifatkan dengan alif lam yang dipergunakan
untuk memakrifatkan jenis, dan bentuk jama’ yang dimakrifatkan dengan idhafah
pada kata ganti nama, misalnya kata al-mutallaqatu (wanita-wanita yang ditalak)
Contohnya
Artinya : wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru'.
Khallaf Abdul Wahhab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang : Dina Utama
Sanusi Ahmad dan Sohari. 2015. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers
Koto Alaidin. 2004. Ilmu Fiqih Dan Ushulul Fiqih. Jakarta : Rajawali Pers
Khallaf Abdul Wahid. 2003. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka Amani