Anda di halaman 1dari 28

UAS USHUL FIQH

NAMA : NAFHA TAZKIYA


NIM : 1810103045
JURUSAN/RUANG : JINAYAH / 06

1. APA YANG DIMAKSUD DENGAN DALIL HUKUM SECARA


ETIMOLOGI, DAN TERMINOLOGI, MENURUT PARA AHLI. DAN
JELASKAN MACAM SUMBER DALIL MADZHAB USHUL SERTA
SISTEMATIKANYA MENURUT IMAM HANAFI, MALIK, SYAFI’I DAN
HAMBALI !
Jawaban
Dalil hukum secara etimonologi Dalam kajian ushul fiqh luqhawi para
ulama ushul fiqh mengartikan dalil dengan “sesuatu yang dapat memberi petunjuk
kepada apa yang dikehendaki”.
Secara terminologi ushul fiqh dalil adalah “segala sesuatu yang dijadikan
petunjuk yang dengan menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan
hukum syara’ yang bersifat ‘amali, baik qoth’i maupun dzanni”
Adapun Menurut Para Ahli :
Abdul Wahhab Khallaf, menyebutkan menurut istilah yang dimaksud
dengan dalil hukum adalah:
ْ ْ
َّ ‫طع أَ ِو‬ َ ‫علَى‬ َّ ‫علَى ُح ْكم ش َْر ِع‬ َ َّ‫َما َي ْست َ ِد ُّل ِبالن‬
.‫الظ ِن‬ ِ َ‫س ِب ْي ِل الق‬ َ ‫ي َع َم ِلي‬ َ ‫ْح فِ ْي ِه‬
ِ ‫ص ِحي‬
َّ ‫ظ ِر ال‬
“Segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pemikiran
yang bemar untuk menetapkan hukum syara’ yang bersifat amaliah, baik secara
qat’i maupun zhani.”
Kemudian, Ibn Al-Subki, dalam kitab Matn Jam’i Al-Jawami;
menyebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan dalil hukum ialah :
ْ ‫ظ ِر ِف ْي ِه ِإلَى َم‬
.‫طلُ ْوب َخبَ ِري‬ َ َّ‫ص ِحيْحِ الن‬ ُّ ‫َما ي ُْم ِك ُن الت َّ َو‬
َ ‫ص ُل ِب‬
“Apa saja yang dapat digunakan untuk sampai kepada yang dikehendaki, yaitu
hukum syara’ dengan berpijak pada pemikiran yang benar.”
1. Mazhab Ushul Hanafi’
Dari beberapa sumber ditemukan bahwa yang menjadi dasar istinbat (ushul al-
istinbat) dan sistematika mazhab ushul Hanafi, sebagaimana dijelaskan Hasan
Abu Talib sebagai berikut :
a. Al-Kitab
b. As-Sunnah
c. At-Atsar
d. Al-Ijma
e. Al-Qiyas
f. Al-Istinbat
g. Al-‘Urf
Abu Hanafiah dalam melakukan istinbat hukum berpegang pada sumber
dalil yang sistematika atau tertib urutannya seperti apa yang ia ucapkan. Dari
sistematika dan tertib urutan sumber dalil yang sistematika di atas tampak bahwa
Abu Hanafiah menempatkan Al-Qitab atau Al-Qur’an pada urutan pertama,
kemudian As-Sunnah pada urutan kedua, dan seerusnya secara berurutan qaul
sahabi, al-Ijma’, al-Qiyas, al-Istinbat, dan terakhir adalah al-‘Urf. Dalam hal
terjadinya pertentangan Qiyas dengan istihsan karena danya pertimbangan
maslahat. Dengan kata lain, penggunaan Qiyas sepanjang memenuhi syarat dapat
diterapkan. Jika Qiyas tidak mungkin dilakukan terhadap kasus-kasus yang
dihadapi, maka pilihan alternatifnya adalah menggunakan istihsan dengan alasan
kemaslahatan. Atas dasar seperti inilah Abu-Hanafiah melakukan istinbat hukum,
dan cara ini menjadi dasar pegangan atau ushul Mazhab Hanafi dalam
menetapkan dan membina hukum islam.

2. Mazhab Ushul Maliki


Sebagaimana mazhab Hanafi, kalangan mazhab Maliki juga menyusun
dalam menetapkan dasar-dasar pijakan dalam istinbat hukum dengan berpegang
kepada sumber-sumber dalil yang telah mereka gariskan, yaitu:
a. Kitab Al-Qur’an
b. Al-Sunnah
c. Al-Ijma’
d. Al-Qiyas
e. Amal Ahli Madinah
f. Al-Masalih Al-Mursalah
g. Al-Istihsan
h. Al-Zara’i
i. Al-‘Urf
j. Al-Istihsab
Dalam peraktiknya, dalil-dalil yang disebutkan ini menjadi dasra pijakan
mazhab (ushul al-mazhab) maliki dalam melakukan istinbat hukum. Disamping
itu, perbedaan dengan kalangan hanafiyah tampak bukan saja drai jumlah sumber
dalil, melainkan juga penalaran dalil, terutama yang berkaitan dengan dalil-dalil
ijtihadiyah. Misalnya tentang dalil amal ahli madinah. Bagi kalanagn Malikiyah
dalil amal ahli madinah merupakan salah satu dalil yang mereka pegangi. Bahkan
menurut catatan Hasan Abu Talib, kalangan maliki lebih mendahulukan
penggunaan amal ahli madinah dari pada penggunaan qiyas. Begitu pula mereka
meninggalkan hadits ahad bila tidak sejalan atau tidak menguatkan amal ahli
madinah.

3. Mazhab Ushul Syafi’i


Adapun yang menjadi sumber dalil dan tertib urutannya atau
sistematikanya dikalangan Syafi’i yaiti :
a. Al-Qur’an
b. As-Sunnah
c. Al-Ijma’
d. Al-Qiyas

Dari beberapa sumber dalil lainya. Syafi’i juga menggunakan al-istihsab


dan maslahat mursalah sebagai sumber dalil. Dalam kegiatan istinbat hukum,
Syafi’i menetapkan hukm dengan Al-Kitab dan Sunnah jika ia temukan dan
menggunakan Al-Ijma’ jika tidak ditemukan dalam kitab dan as-sunnah.
Kemudian, setelah itu syafi’i menggunakan qiyas dengan mencari persamaannya
atas dasar al-kitab dan as-sunnah. Syafi’i mengingkari istihsan sebagai dalil
hukum dam tentang ini beliau menyusun sebuah kitab yang berjudul “Ibtal al-
istihsan” (penbatalan istihsan).

4. Mazhab Ushul Hanbali

Didalam mazhab Hanbali yang dijadikan sebagai sumber dalil daam


istinbat hukum dan sistematikanya sebagai berikut :
a. Al-Qur’an
b. As-Sunnah
c. Al-Ijma’
d. Al-Qiyas
e. Al-Istihsan
f. Al-Masalih
g. Sad Al-Zara’i
h. Qaul Sahabi
Kalangan Hanbali, terdapat dalil-dalil selain nash, dalam praktiknya,
mereka mendahulukan qaul-sahabi dari qiyas. Qiyas hanya digunakan jika tidak
dalam keadaan darurat. Begitu pula mazhab Hanbali mendahulukan ijma’ dan
qiyas dalam istinbat hukum. Dalam hal sunnah, mazhab Hanbali menggunakan
hadits mursal dan hadits dhaif untuk mendahulukannya dari qiyas. 1

2. JELASKAN KAIDAH TENTANG JALAN DALALAH (PETUNJUK)


NASH DAN BESERTA PEMBAGIANNYA !
Jawaban
Dalalah Lafal : Dalalah secara bahasa berarti petunjuk, berasal dari kata
dalla yang berarti, menunjukan. Lafal berarti ucapan atau perkataan, secara istilah,
dalalah lafal ialah berbagai makna yang ditunjukan oleh lafal atau perkataan.
1
Romli, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh, Depok: Kencana, 2017, hlm. 49-52
Dalam bahasa arab atau lainnya, suatu lafal dapat menunjukan beberapa
pengertian. Meskipun pengertian-pengertian itu berbeda namun semuanya
mempunyai pertalian. Pertalian tersebut terjadi, karena pada dasarnya pengertian-
pengertian itu diambil dan di[ahami dari satu lafal yang sama. Keragaman
pengertian ini muncul dari cara-cara yang berbeda yang dipergunakan dalam
memahami makna suatu lafal.
Pengertian global dalam kaidah ini ialah bahwa nash syar’i atau
perundang-undangan terkadang menunjukan beberapa makna yang beragam
melalui beberapa cara yang ditempuh. Dalalah nash tersebut tidak terbatas pada
makna yang dipahami dari ibaratnya dan huruf-hurufnya bahkan terkadang nash
itu menunjukan berbagai makna yang dipahami dari isyaratnnya, dalalahnya, dan
idtidha’nya. Setiap makna dari makna-maknanya yang dipahami dengan salah
satu dari cara-cara tersebut, maka ia termasuk diantara yang ditunjuki (madlul)
nash. Sedangkan nash adalah dalil dan hujjah atas madlul tersebut, dan ia wajib
diamalkan.
Karena seorang mukallaf yang dibebani dengan nash (teks) perundang-
undangan juga dibebani untuk melaksanakan makna yang ditunjuki oleh nash
tersebut, dengan salah satu dalalahnya yang ditetapkan menurut bahasa. Apabila
seorang mukallaf mengamalkan yang ditunjuki (madlul) nash dari sebagai cara
dalalahnya dan mengabaikan pengamalan taerhadap madlul nash dari cara yang
lain, berarti ia telah menyia-nyiakan nash dari segi yang lain. Oleh karena itu, para
ahli ilmu ushul fiqh berkata “Wajub mengamalkan sesuatu yang menunjukan
makna ungkapan (ibarat) nash, intisarinya, dan rasionalnya. Sebagian dari cara-
cara tersebut lebih kuat dalalahnya dari sebagian yang lain, dan pengeruh
perbedaan tingkatan ini akan tampak ketika terjadi kontraksi”.2

Pembagian Dalalah (Petunjuk) Nash


1. Ibarat Al-Nash
Ibarat Nash ialah shighat nash yang berdiri dari berbagai satuan kata
(mufradat) dan kalimat. Sedangkan yang dimaksud dengan makna yang dipahami

2
Ahmad Sanusi, dan Sohari, Ushul Fiqh, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, hlm. 193
dari ibarat nash, ialah maksud ynag bisa segala dipahami dari shiqhatnya. Itulah
yang dimaksud dengan redaksi nash. Maka ketika sebuah maknah telah nyata dan
dapat dapat dipahami dari shighat nash, dan nash disusun untuk menjelaskan
makna dan menetapkannya, maka makna itu merupakan madlul dari ungkapan
yang terkandung dalam nash, atau juga disebut dengan makna literal nash. Jadi ,
Dalalah Ibarat yang baik dimaksudkan dari susunannya secara asli atau karenanya
mengikuti hal lain.
Contoh dalalah semacam itu tidak terhitung banyaknya, karena setiap nash
perundang-undangan itu disusun oleh syar’i (pembuat hukum) untuk suatu hukum
tertentu. Ia menghendaki membentuk hukum itu dengan nash, menyusun lafal,
dan ibaratnya (susunan redaksinya), supaya dapat menunjukan pengertian yang
jelas terhadap hukum yang dimaksud. Setiap teks baik dalam undang-undang
syar’i mauoun hukum positif tentunya memiliki makna yang ditunjukan oleh
susunan redaksinya.
Allah SWT. Berfirman :
‫ث‬َ ‫اء َمثْن َٰى َوث ُ ََل‬ ِ ‫س‬َ ِ‫اب َل ُك ْم ِمنَ الن‬ َ ‫ط‬َ ‫طوا فِي ْال َيت َا َم ٰى َفا ْن ِك ُحوا َما‬ ُ ‫َو ِإ ْن ِخ ْفت ُ ْم أ َ ََّّل ت ُ ْق ِس‬
‫َت أَ ْي َمانُ ُك ْم ۚ ٰذَلِكَ أَدْن َٰى أ َ ََّّل تَعُولُوا‬
ْ ‫احدَة ً أ َ ْو َما َملَك‬
ِ ‫ع ۖ فَإِ ْن ِخ ْفت ُ ْم أَ ََّّل تَ ْع ِدلُوا فَ َو‬ َ ‫َو ُر َبا‬
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.” (QS. An-Nisa : 3)
Dari ibarat nash diatas dapat dipahami, tiga makna yaitu : kebolehan
menikahi wanita yang disenangi, membatasi jumlah istri sebanyak empat orang,
dan kewajiban mencukupkan satu istri. Apabila dikhawatirkan berlaku tidak adil
jika istri lebih dari satu. Sebab seluruh makna tersebut ditunjukan oleh lafal nash
dengan adanya yang nyata. Semua itu dimaksudkan dalam susunan kalimatnya,
makna pertama dimaksudkan sebagai pengikut, makna kedua dan ketiga
dimaksudkan secara asli. Sebab ayat tersebut disusun untuk menyesuaikan wasiat-
wasiat terhadap orang-orang yang membatasi diri dan enggan menerima wasiat,
karena khawatir akan berlaku tidak adil rethadap harta benda anak yatim.3

2. Isyarat Nash
Isyarat Nash adalah dalalah lafal terhadap makna yang tidak dimaksudkan
melalui susunan kalimatnya, baik dalam bentuk makna pokok atau tidak pokok,
hanya saja makna tersebut menetap atau melekat pada makna yang dimaksudkan
melalui susunan kalimatnya. Dengan demikian, makna atau hukum yang diambil
dari isyarat nash bukan menjadi tujuan dari susunan kalimat dari nash itu
sementara makna atau hukum yang diambil dari dalalahnya ibarat al-nash
memang dikendaki melalui susunan kalimatnya secara langsung. Selanjutnya,
dalalah isyarat al-nash terkadang cukup jelas, yang memungkinkan untuk
dipahami dengan sedikip perenungan atau penalaran, dan terkadang pula
dalalahnya samar sehingga untuk mengetahuinya diperlukan kecermatan analisis
dan penalaran yang mendalam. Dalalah yang samar ini biasanya menjadi sumber
perbedaan pendapat dikalangan para mujtahid.
Contoh dalalah isyarat al-nash dalam firman Allah SWT.:
َ‫ّللاُ أَنَّ ُك ْم ُك ْنت ُ ْم ت َْخت َانُون‬
َّ ‫اس لَ ُه َّن ۗ َع ِل َم‬ٌ َ‫اس لَ ُك ْم َوأ َ ْنت ُ ْم ِلب‬ َ ِ‫ث إِلَ ٰى ن‬
ٌ َ‫سائِ ُك ْم ۚ ه َُّن ِلب‬ ُ َ‫الرف‬ ِ َ‫أ ُ ِح َّل لَ ُك ْم لَ ْيلَة‬
َّ ‫الصيَ ِام‬
ُ ‫ّللاُ لَ ُك ْم ۚ َو ُكلُوا َوا ْش َربُوا َحتَّ ٰى يَتَبَيَّنَ لَ ُك ُم ْال َخ ْي‬
‫ط‬ َّ ‫َب‬َ ‫َاب َعلَ ْي ُك ْم َو َعفَا َع ْن ُك ْم ۖ فَ ْاْلنَ بَا ِش ُروه َُّن َوا ْبتَغُوا َما َكت‬
َ ‫س ُك ْم فَت‬َ ُ‫أ َ ْنف‬
ۗ ‫اج ِد‬
ِ ‫س‬ َ ‫ام إِلَى اللَّ ْي ِل ۚ َو ََّل تُبَا ِش ُروه َُّن َوأَ ْنت ُ ْم َعا ِكفُونَ فِي ْال َم‬ ِ ‫ض ِمنَ ْال َخي ِْط ْاْلَس َْو ِد ِمنَ ْال َفجْ ِر ۖ ث ُ َّم أَتِ ُّموا‬
َ َ‫الصي‬ ُ َ‫ْاْل َ ْبي‬
َ‫اس َل َعلَّ ُه ْم يَتَّقُون‬ َّ ُ‫ّللاِ فَ ََل ت َ ْق َربُوهَا ۗ َك ٰذَلِكَ يُبَ ِين‬
ِ َّ‫ّللاُ آيَاتِ ِه ِللن‬ َّ ُ ‫تِ ْلكَ ُحد ُود‬

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-
isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi
mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu,
karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, Yaitu fajar..” (QS. Al-Baqarah : 187)

3
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2011, hlm. 172
Berdasarkan susunan kalimatnya, ayat tersebut menunjukan kebolehan
mencampuri istri pada seluruh bagian waktu malam bulan Ramadhan sampai
terbit fajar. Kemudian berdasarkan dalalah isyarat al-nash dapahami kebolehan
memasuku waktu subuh dalam keadaan junub dan berpuasa. Sebab kebolehan
mencampuri istri hingga terbit fajar berakibat ketika fajar terbit seorang masih
berada dalam kaadaan junub. Pengertian ini sebenarnya tidak dimaksudkan dari
susunan ayat tersebut, akan tetapi merupakan konsekuensi logis dari makna yang
dikehendaki oleh susunan kalimat ayat itu.

3. Dalalah Al-Nash
Dalalah Al-Nash ialah dalalah lafal terhadap ketetapan hukum yang
terdapat pada perseorangan yang dinyatakan dalan nash yang kemudian
diperuntukan pada perseorangan yang tidak dinyatakan secara aksplisit dalam
nash, karena adanya persamaan alasan hukum (‘illat) yang dapat dipahami melalui
bahasa, tanpa (manshush ‘alaih), karena kesamaan ‘illat (alasan hukum)nya, atau
bahkan lebih layak terhadap hukum itu disebabkan amat kuatnya alasan hukum
padanya. Dalalah ini disebut dalalah al-nash, karena hukum yang ditetapkan
berdasarkan hukum ini tidak dipahami dari lafal sebagaimana yang terjadi pada
dalalah ibarat nash atau isyarat nash, akan tetapi ia dipahami malalui ‘illat
(alasan) hukumnya. Dalalah ini juga disebut fatwa al-khithab (tujuan dan sasaran
dari suatu pembicaraan). Sedangkan Imam Syafi’i menganggapnya sebagai Qiyas
jaliy (analogi yang jelas), sementara dikalangan Ulama Mazhab Syafi’i ini disebut
mafhum muwafaqah, karena adanya kesesuaian atau kesamaan alasan hukum.

Contoh Dalalah Al-Nash yang lebih kuat ‘illat hukumnya ialah firman
Allah SWT.:
‫سانًا ۚ إِ َّما َي ْبلُغ ََّن ِع ْندَكَ ْال ِكبَ َر أ َ َحدُ ُه َما أ َ ْو ك ََِل ُه َما فَ ََل تَقُ ْل لَ ُه َما أُف َو ََّل‬
َ ْ‫ض ٰى َربُّكَ أ َ ََّّل ت َ ْعبُدُوا ِإ ََّّل إِيَّاهُ َوبِ ْال َوا ِلدَي ِْن إِح‬
َ َ‫َوق‬
‫ت َ ْن َه ْر ُه َما َوقُ ْل لَ ُه َما قَ ْو ًَّل ك َِري ًما‬

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika
salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut
dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka Perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra : 23)

Berdasarkan dalalah isyarat al-nash, ayat ini menunjukan keharaman


mengatakan “Ah!” kepada ibu dan bapak, karena hal itu menyakiti mereka.
Kemudian berdasarkan Dalalah al-nash, ayat ini menunjukan keharaman
memukul, mencaci maki, memenjarakan dan mencegah mereka makan dan minun
dan semisalnya. Sebab hal-hal tersebut jauh lebih menyakitkan hatinya dari pada
sekedar perkataan “Ah!”. Oleh karena itu. Hukum keharaman pada beberapa hal
yang tidak disebutkan dalam nash dari pada hukum haram sesuatu yang
disebutkan nash. Sebab alasan hukum lebih kuat.4

4. Iqtidha’ Nash
Yang dimaksud dengan Iqtidha’ Nash adalah makna suatu kaliamat yang
masih perlu diluruskan dengan mengira-mengirakan lafal yang lain. Hal tersebut
karena diperkirakan dalam shiqhat nash tidak terdapat lafal yang menunjukan
makna itu, tetapi kesahihan kesesuaiannya dengan kenyataan menuntut
kebenarannya.

Misalnya dalam firman Allah SWT. :

ِ َ‫اج ِرينَ الَّذِينَ أ ُ ْخ ِر ُجوا ِم ْن ِدي‬


َّ َ‫ار ِه ْم َوأ َ ْم َوا ِل ِه ْم يَ ْبتَغُونَ فَض ًَْل ِمن‬
‫ّللاِ َو ِرض َْوانًا‬ ِ ‫اء ْال ُم َه‬
ِ ‫ِل ْلفُقَ َر‬
َّ ‫سولَهُ ۚ أُو ٰلَئِكَ ُه ُم ال‬
َ‫صا ِدقُون‬ ُ ‫َويَ ْن‬
َّ َ‫ص ُرون‬
ُ ‫ّللاَ َو َر‬

“ (Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan
dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-nya..”
(QS.Al-Hasyr : 8).

4
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang : Dina Utama, 1994, hlm. 255-264
Susunan kalimat pada ayat diatas menunjukkan kefakiran golongan
Mujahirin, padahal mereka mempunyai harta yang banyak di Makkah. Pernyataan
tersebut tidak akan benar kecuali apabila kita memikirkan hilangnya kepemilikan
mereka atas harta yang mereka tinggalkan di Makkah. Dan harta tersebut menjadi
milik orang-orang kafir dengan cara menguasai harta itu. Pikiran hilangnya
kepemilikan mereka dipahami melalui dalalah Iqtidha’ Al-Nash, supaya yang
disebutkan nash itu benar.

3. APA YANG DIMAKSUD DENGAN MAFHUM MUKHALAFAH


MENURUT ULAMA USHUL DAN JELASKAN PEMBAGIAN SERTA
CONTOHNYA !
Jawaban
Mafhum berasal dari kata fahima yang berarti : mengerti dan paham.
Mafhum berati : sesuatu yang dipahami dan dimengerti. Sedengkan menurut
istilah ushul fiqh ialah makna yang tidak langsung ditunjuki oleh lafal yang
diucapkan. Dengan kata lain. Mafhum ialah dalalah lafal terdapat hukum sesuatu
yang tidak disebutkan dalam kalimatnya, akan tetapi dalalah itu dipahami darinya.
Mafhul Mukhalafah , yaitu penetapkan kebalikan hukum yang terdapat
pada manthuq bagi sesuatu yang tidak disebutkan dalam lafal itu. Penetapan
kebalikan itu disebabkan tidak adanya batasan (qayad) yang membatasi manthuq
pada sesuatu yang tidak disebutkan itu. Penyebutan mukhalafah disebabkan
bahwa makna atau bertentangan dengan hukum dan makna yang yang terdapat
pada lafal yang diucapkan. Mafhum ini disebut juga dalil-dalil al-khithab.5
Apabila nash syar’i menunjukan hukum disuatu tempat, dengan dibatasi
oleh suatu batasan, sebagaimana di sifati dengan suatu syarat, atau memiliki atau
memiliki batas maksimal, ataupun dibatasi dengan suatu hitungan, maka hukum
nash pada tempat dimana batasan tertentu ada, disebut dengan manthuq nash
(nash yang dilafalkan). Adapun hukum pada suatu tempat yang tidak ada
batasannya, disebut pengertian nash yang berbedah (mafhum mukhalafah).
Pembagian Mahfum Mukhalafah, yaitu :

5
Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2005, hlm. 302-305
a. Mafhum Sifat
Mafhum sifat, yaitu menggantungkan hukum sesuai pada sifat tertentu,
maka ketika sifat tersebut tidak terdapat pada hal yang lain yang tidak dinyatakan
dalam nash, maka berlaku kebalikan hukumnya.6
Contohnya dalam firman Allah SWT.:
    
  
   
  

“Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh
mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki..” (QS. An-
Nisa : 25).
Manthuq ayat tersebut membatasi kebolehan mengawini budak perempuan
yang beriman saja, jika seorang tidak sanggup mengawini wanita mereka,
kemudian dari nash tersebut diambil mafhum mukhalafahnya, tidak boleh
mengawini budak perempuan yang tidak mukmin, karena iman merupakan suatu
sifat yang membatasi kebolehan menikahinya.

b. Mafhum Syarat
Mafhum syarat, yaitu dalalah lafal terhadap hukum yang tergantung pada
suatu syarat, maka ketika syarat tersebut tidak ada, maka hukum tersebut berlaku
padanya.
Contohnya dalam firman Allah SWT.:
   
  
 

6
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang : Dina Utama, 1994, hlm. 274-276
“..Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin..” (QS. Ath-Thalaq:
6)
Manthuq ayat ini menunjukan kewajiban menafkahi istri yang beriddah
dengan syarat ia hamil. Berdasarkan itu, diambil mafhum makhalafahnya, yakni
apabila ia tidak hamil, maka tidak berhak nafkah selama iddah. Oleh karena
itulah, mantan suami tidak wajib menikahi istri yang diceraikannya dan masih
iddah, kecuali apabilah talaknya raj’i (dapat dirujuk) atau sedang hamil.

c. Mafhum Ghayah
Mafhum Ghayah, yakni dalalah suatu lafal terhadap makna atau hukum
yang dibatasi dengan batas akhir (ghayah), maka sesudah batas akhir ia berlaku
hukum yang sebaliknya. Ghayah mempunyai dua lafal, ila dan hatta.
Contohnya dalam firman Allah SWT.:
 
   
  
   
  
 
“..Dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam,
Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam..” (QS.
Al-Baqarah : 187).
Manthuq ayat tersebut membolehkan makan minum sampai datang fajaf.
Mafhum mukhalafahnya menunjukan bahwa sesudah datang fajar seseorang yang
berpuasa dilarang makan dan minum.

d. Mafhum Bilangan
Mafhum Bilangan, yaitu dalalah lafal terhadap hukum yang dibatasi oleh
jumlah bilangan tertentu yang selanjutnya menafikan hukum tersebut pada jumlah
bilangan selail yang disebutkan itu.
Contoh dalam firman Allah SWt.:
 
  
  
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus kali dera..” (QS. An-Nur : 2).
Manthuq ayat ini membatasi hukum dera zina dengan jumlah seratus kali
dera. Mafhum mukhalafahnya jumlah hukuman zina tidak boleh melebihi atau
kurang darinya.

e. Mafhum Al-Hashr (pembatasan)


Mafhum Al-Hashr (pembatasan), yaitu penafsiran hukum dari suatu yang
tidak termasuk dalam sesuatu yang dibatasi hukumnya, dan memberlakukan
hukum yang sebaliknya.7
Contohnya dalam sabda Nabi Muhammad SAW.:

ِ ‫إِنَّ َمااْل َ ْع َما ُل بِالنَّيَا‬


‫ت‬
“Segala amal hanyalah (sah) dengan niat”. (HR. Bukhari dan Muslim dari Umar
bin Khattab).
Manthuqnya membatasi keabsahan segala amal dengan niat. Mafhum
mukhalafahnya, amal yang tidak diniati tidak sah.

f. Mafhum Laqab
Mafhum Laqab, yaitu mafhum dari mana yang dinyatakan untuk sesuatu
yang berzat, baik nama, sifat, jenis atau macam.
Contohnya dalam firman Allah SWT.:

7
Ahmad Sanusi, dan Sohari, Ushul Fiqh, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, hlm. 210-214
  
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu..” (QS. An-Nisa : 23)
Mafhum mukhalafanya adalah selain ibu.
g. Mafhum ‘Illat
Mafhum ‘Illah, yaitu menggantuhkan hukum pada suatu ‘illat (alasan
hukum) tertentu, maka ketika ‘illat itu tidak ada, hukum itupun hilang dan berlaku
kebalikannya.
Contohnya
 
  
 
   
 
  
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan. (QS. Al-Maidah : 90).
Minuman keras diharamkan karena memabukan. Mafhum mukhalafahnya,
minuman yang tidak mengandung unsur memabukan tidak haram, karena ‘ilat
keharamannya hilang.

4. JELASKAN KAIDAH YANG JELAS DAN TIDAK JELAS DALALA


HANYA SERTA CONTOHNYA !
Jawaban

Nash yang Wadhi (Jelas) Dalalahnya


Nash yang bersifat wadhih ad-dalalah adalah sesuatu yang menunjukan
terhadap suatu maksud dengan shighatnya itu sendiri, tanpa tergantung pada hal
bersifat khariji (eksternal). Kemudian apabila ia mengandung kemungkinan takwil
(interprestasi), dan maksudnya itu tidak dikehandaki secara asli dari susunannya,
maka disebut dengan zhahir. Namun jika ia mengandung kemungkinan takwil,
dan maksudnya sesuai dengan yang dikehendaki secara asli dari susunannya,
maka disebut dengan nash. Jika tidak mengandung takwil dan hukumnya
kemungkinan ada penghapusan (nasakh), maka disebut dengan muffasar. Dan
jika tidak mengandung takwil dan tidak pula hukumnya menerima nasaks, maka
disebut dengan muhkam.

Setiap nash yang jelas dalalahnya wajib diamalkan, berdasarkan


keberadaannya sebagai nash yang jelas dalalahnya. Di samping itu, tidak sah
muntakwili nash yang mengandung takwil kecuali adanya dalil.

Waadhih ad- Dalaalah menurut ahli ushul adalah suatu nash atau lafadz
yang jelas dan menunjukkan arti yang dimaksud dengan bentuknya sendiri tanpa
bergantung kepada faktor eksternal.

Hukum daripada wadhih ad-dalalah adalah seluruh nash yang terdapat


pada wadhih ad-dalalah wajib diamalkan dengan apa yang terdapat di dalam
istilah wadhih ad-dalalah. Meskipun begitu, nash-nash tersebut tidak sah untuk
ditakwil kecuali dengan dalil yang sah.

Ulama ushul fiqh membagi nash yang jelas dalalahnya menjadi 4 macam,
yaitu :

1. Zhahir

Dzahir secara bahasa, diambil dari kata dzuhuur, yang berarti nampak dan
tersingkap.Menurut madzhab Hanafiyah, dzahir adalah ungkapan yang
menunjukkan makna yang jelas. Akan tetapi, makna asli dari sebuah lafadz
tersebut bukanlah yang dimaksud (secara syari’at). Sedangkan menurut
Ushuliyyiin, ialah sesuatu yang menunjukkan arti yang dimaksud dari lafadz
tersebut dengan bentuk lafadznya sendiri tanpa bergantung kepada faktor
eksternal. Namun, bukan berarti memiliki makna asli dari bentuknya sendiri atau
memiliki kemungkinan untuk ditakwil.Dengan kata lain, dzahir adalah lafadz
yang dapat dipahami oleh akal, akan tetapi memungkinkan untuk bisa ditakwil.

Contohnya dalam firman Allah SWT.:

  


 

“..Dan Allah menghalalkanjualbelidanmengharamkanriba’..” (QS. Al-Baqarah : 275)


Secara dzahir, ialah dihalalkannya jual beli dan diharamkannya riba.
Karena makna tersebut jelas dan mudah dipahami secara langsung dari dua
bentuk kalimat ahalla dan harrama, tanpa disertai kepada qarinah dari jalur
eksternal. Akan tetapi, ini bukanlah makna asli dari bentuk lafadz ayat tersebut,
karena maksud asli meniadakan kesamaan antara jual beli dan riba, serta
membantah orang-orang yang mengatakan bahwasanya jual beli itu seperti riba.

2. Nash

Nash menurut bahasa, adalah munculnya segala sesuatu yang tampak.


Secara istilah, sesuatu yang menunjukkan makna yang dimaksud secara asli dari
susunan kalimatnya melalui bentuk lafadznya sendiri, akan tetapi ia mengandung
makna untuk ditakwil atau bertambahnya kejelasan dalalah daripada dzahir
ditinjau dari qarinah yang menyertai lafadz dari mutakallim sendiri. Abdul Karim
Zaidan menambahkan di dalam pengertian nash, bahwasanya nash dapat
menerima takwil dan menerima naskh hanya pada masa Rasulullah s.a.w., saja,
sehingga wajib menggunakan dalil tersebut selama tidak ada dalil yang
menyimpang (dari dalil nash) dan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh
nash.Seperti firman Allah:
Contohnya dalam firman Allah SWT.:
    
  

“..Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja..” (QS. An Nisaa’ : 3)8
Hukum nash seperti hukum dzahir, yaitu wajib menggunakan dalil
tersebut yang mudah dipahami maknanya secara langsung, baik yang dimaksud
secara dzat maupun asli. Akan tetapi, apabila nash tersebut berupa lafadz yang
khusus, maka mengandung makna untuk ditakwil, dan apabila nash tersebut
berupa lafadz yang umum, maka lafadz tersebut mengandung makna untuk
ditakhshish.

3. Muffasah

Mufassar menurut istrilah ulama ushul fiqh ialah sesuatu yang


menunjukkan dengah sendirinya atas maknanya yang terperinci dengan suatu
perincian yang tidak lagi tersisa kemudian takwi.Contohnya tentang lafazh :
shalat, zakat, shiyam, haji, zina. Kata-kata tersebut masih global (mujmal),
kemudian Rasulullah menjelaskan lafazh-lafazh tersebut dengan perbuatan dan
perkataan sehingga kita memahami artinya seperti yang sudah kita pahami
bersama pengertian dan tata caranya.

Contohnya dalam firman Allah SWT. :


 
  
 
8
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta, Rineka Cipta, 1995. Hlm. 202
 
  
  
   


“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang
menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”. (QS
An-nur (24) : 4)9
Wajib mengggunakan dalil tersebut secara qath’iy sebagaimana yang telah
terperinci, sebab tidak ada lagi ihtimal untuk ditakwil dan selamanya tidak bisa
menerima naskh. Namun, ada kemungkinan untuk dinaskh apabila lafadz tersebut
berupa hukum far’i yang meminta adanya perubahan. Dengan begitu, lafadz
mufassar tidak bisa diartikan secara dzahir maupun nash secara langsung, sebab
tidak menerima takwil maupun takhsis.

4. Muhkam

Muhkam dalam istilah ushul fiqh ialah suatu yang menunjukan makna,
yang mana makna tersebut dengan sendirinya tidak menerima pembatalan dan
penggantian, dengan dalalah yang jelas, dan sama sekali tidak mengandung
kemungkinan takwil. Nash muhkam tidak pernah mengandung kemungkinan
takwil, artinya menghendaki makna lain yang tidak zhahir daripadanya, karena
nash tersebut telah terperinci dan ditafsirkan dengan penafsiran yang tidak
memungkinkan untuk ditakwil. Ia juga tidak menerima nasakh , baik pada masa
kerasulan, masa senggang dan turunnya wahyu (fatrah), maupun masa
sesudahnya.

9
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2014, hlm. 239-240
Contohnya dalam firman Allah SWT.:

   




“..Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya..” (QS. An-
Nur : 4)

Kalimat larangan ini disertai dengan lafadz ‫أ َ َبدًا‬, hal ini menunjukkan dalil
muhkam yang tidak dapat dinaskh. Wajib menggunakan dalil tersebut secara
qath’iy tanpa ada keraguan, karena tidak mengandung makna selainnya dan tidak
menerima adanya perubahan secara mutlak, sama halnya seperti pada masa
Rasulullah saw tau setelahnya. Karena, adanya hukum yang tertera di dalam Al-
Quran dan As-Sunnah sudah menjadi ketetapan mutlak sepeninggal Rasulullah
Saw tanpa adanya naskh.

Nash yang Tidak Jelas Dalalahnya

Nash yang tidak jelas dalalahnya yaitu nash yang bentuknya itu sendiri
tidak bisa menunjukkan kepada arti yang dimaksud dari padanya bahkan untuk
memahami maksud dari padanya itu diperlukan faktor dari luar. Pada buku Ushul
Fiqh-Abdul Wahhab Khallaf disebutkan, nash-nash yang tidak jelas dalalahnya
ialah : sesuatu yang tidak menunjukkan terhadap yang dikehendakinya dengan
shighatnya sendiri, akan tetapi pemahaman maksudnya tergantung pada sesuatu
yang khariji (bersifat external). Jika nash atau dalil itu bisa dihilangkan
kesamarannya dengan jalan meneliti dan melakukan ijtihad, maka dalil itu disebut
al-khafi,atau al-musykil. Dan jika kesamarannya itu tidak bisa dihilangkan kecuali
dengan mengambil penjelasan dari syari’ itu sendiri, maka dalil itu disebut al-
mujmal. Dan jika tidak ada jalan yang sama sekali untuk menghilangkan
kesamarannya itu, maka dalil itu disebut al-mutasyabih.
Ulama ushul fiqh telah membagi nash yang tidak jelas dalalahnya menjadi 4
macam, yaitu :

1. Al-Khafi
Khafi menurut istilah ulama ushul fiqh ialah lafal yang menunjukan suatu
makna dengan dalalahnya terhadap kesamaan dan ketidakjelasan pada sebagian
satuan-satuannya. Dan untuk menghilangkan kesamaran maknanya diperlukan
analisis dan pemikirannya. Lafal yang demikian ini dianggap khafi (samar atau
tersembunyi) jika konteknya dinisbatkan dengan sebagian satuan-satuan ini.
Contohnya
Makna pada nash ini jelas, akan tetapi pada penerapan disebagian makna
lain terdapatkesamaran. Sepertihalnya kata as-saariq,pencuri yang artinya
mengambil barang orang lain secara sembunyi-sembunyi. Kemudian diterapkan
pada sebagian satuan maknanya yaitu kata pencopet, korupsi, pencuri barang-
barang dalam kuburan, kata ini mengandung makna yang samar sehingga
membutuhkan penelitian yang mendalam dan ijtihadnya para ulama. Pencopet
lebih bermakna mengambil barang orang lain secara terang-terangan. Perbedaan
dengan pencurian dalam pencopet memiliki keberanian mencuri sehingga ia lebih
khusus penamaannya.
2. Al-Musykil
Musykil adalah lafadz yang tidak jelas maknanya, maka tidak mungkin
dapat memahaminya kecuali dengan penelitian yang mendalam sehingga
diperlukan qarinah dan dalil lain yang dapat menjelaskannya. Perbedaannya
dengan khofi yaitu pada dzat lafadznya, sedangkan musykil pada dzat nashnya
yang tidak dapat dipahami kecuali dengan dalil lain.
Contohnya
 
   
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'..” (QS. Al-Baqarah : 228)
Lafal al-quru merupakan lafal musykil, yang mana lafal tersebut secara
bahasa mempunyai dua makna, yaitu suci dan haid.

3. Al-Mujmal
Mujmal dalam bahasa adalah global atau tidak terperinci.Mujmal dalam
istilah para ahli ilmu ushul fiqh ialah lafazh yang tidak dapat menunjukkan
terhadap maksudnya melalui shighatnya,tidak ada qarinah lafzhiyyah (tekstual)
atau qarinah haliyyah (kontekstual) yang menjelaskannya.10 Jadi sebab kesamaran
adalah bersifat lafazh (tekstual),bukan hal yang datang kemudian.
Contohnya :
ِ ُ ‫صلَّ ْوا َك َما َرا َ ْيت ُ ُم ْونِ ْي ا‬
‫ص ِل ْي‬ َ
“Lakukanlah Shalat sebagaimana kamu melihatku melakukan shalat”
Demikian pula dengan lafadz mujmallainnya, seperti zakat, puasa haji,
danriba, sertasegalasesuatu yang datangsecaramujmaldalamnash-nash al-Qur’an.

4. Al-Mutasyabih
Mutsyabih secara bahasa diambil dari kata at-tasyabuh yang berarti ketidak
jelasan, kesamaran atau kekacauan. Secara istilah, mutasyabih adalah lafadz yang
tersembunyi maknanya, dan tidak ada jalan untuk mengetahui makn atersebut, dan
tidak mungkin tercapai oleh nalar akal para ulama sekalipun dalam
menerangkannya.Tidak didapatkan juga pentafsiran makna ini, baik secara qathi’
maupun dzanni dari al-Qur’an maupun sunnah.
Contohnya :
    
“..Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang..” (QS. Al-Mujadalah : 7)
Pentakwilannya adalah bahwa Allah SWT. Menyertai orang-orang yang
saling berbisik, dengan pengetahuan-Nya dan pengawasan-Nya. Demikian
seterusnya.

10
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2011, hlm. 289
5. JELASKAN TENTANG KAIDAH MUSYTARAK DAN AMM DAN
DALALAHNYA SERTA SEBUTKAN SECARA TERPERINCI
PEMBAGIANNYA BERDASARKAN PARA AHLI USHUL FIQH !

Jawaban

1. Kaidah Musytarak

Yang dimaksud dengan Musytarak ialah suatu lafal nash yang


mengandung pengertian ganda atau lebih yang berbeda-beda. Misalnya lafal yang
mempunyai pengertian arti mata untuk melihat dan juga berarti mata air serta
timbangan. Atau lafadz yang lain, misalnya lafal quru’ yang mempunyai arti
ganda yaitu suci dan haid.

Dalam hal penetapan dalalah lafal musytarak dan pengamalannya, para


ulama telah menetapkan jika ditemukan nash (Al-Qur’an dan Sunnah) maka
makna istilah yang dipegangi adalah makna istilah syari’, jika lafal musytarak itu
mengandung beberapa makna, maka mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk
menentukan arti yang dimaksud. Sebab jelas tidak seluruh arti yang dikehendaki
oleh lafal nash tersebut oleh syari’ tetapi salah satu saja dari beberapa arti itu.

Ulama ushul fiqh telah membagi Musytarak menjadi 3 macam, yaitu :

a. Lafads Musytarak

Lafads Musytarak ialah lafads yang diletakan untuk dua makna atau lebih
dengan peletakan yang bermacam-macam, dimana lafads itu menunjukan makna
yang ditetapkan secara bergantian, artinya lafads itu menunjukan makna ini atau
makna itu. Sebagaimana lafads ‘ain ditetapkan menurut bahasa untuk pandangan,
untuk mata air yang bersumber, dan untuk mata-mata. Misalnya lagi lafads Al-
Quru’ ditetapkan dalam bahasa untuk pengertian yang suci dan haid. Lafadz
sanah, dan lafadz yad (tangan).
Contohnya

Dalam firman allah SWT :

ً‫ث َك ََل لَة‬


ُ ‫َوا ُِن ًكانَ َر ُج ٌل ي ُْو َر‬

“Jika seorang mati baik laki-laki baik perempuan yang tidak me ninggalkan ayah
dan tidak meninggalkan anak..” (QS. An-Nisa :12)

Lafadz tersebut adalah Musytarak. Menurut bahasa ia dimaksudkan pada


orang yang tidak meninggalkan anak dan tidak meninggalkan orang tua, dan
orang-orang yang bukan anak dan bukan orang tua. Jumhur mujahid berititlal
dengan meneliti Ayat-ayat warisan untuk menentukan bahwasanya yang
dikehendaki dalam ayat tersebut adalah pengertian yang pertama.

b. Lafadz ‘Amm

Lafadz ‘Amm adalah lafaaadz yang ditetapkan satu makna. Saaatu makan
ini teralisir pada satu-satuan yang banyak yang tidak terbatasi pada lafadznya,
kendati pun sebanarnya dalam kenyataannya satuan itu terbatas artinya bahwa
berdasarkan penetapan kebahasaannya, lafadz itu tidak menunjukan pada jumlah
terbatas dari satuan satuan ini. Akan tetapi ia menunjukan keseluruan satuan-
satuannya. Seperti kata fajar, ia menunjukan kepada makna yang terwujud pada
satuan-satuan yang tidak terbatas dan meliputi mereka seluruhnya.

Contohnya :

‫َم ْن ا َ ْلقَى ِسَلَ َحهُ فَ ُه َو ِآم ٌن‬

“Barang siapa yang melemparkan sejatanya maka ia aman”

Lafadz tersebut adalah ‘Amm (umum) yang menunjukan terhadap


penghabisan setian satuan atau individu yang melemparkan senjatanya, tanpa
suatu pembatasan pada individu tertentu atau beberapa perseorangan tertentu.
c. Lafadz Khash

Lafadz Khash ialah suatu lafadz yang terletak untuk menunjukan suatu
individu yang satu perseorangannya, seperti Muhammad atau satu dalam
macamnya, seperti seorang laki-laki, atau menunjukan kepada sejumlah individu
yang terbatas seperti tiga, sepuluh, seratus, sekelompok orang, kaum, atau
sekumpul orang dan lain sebagainya. Yang terdiri dari lafadz yang menunjukan
sejumlah individu dan tidak menunjukan terhadap penghabisan seluruh individu-
individu.11

Contohnya :

.ٌ‫فِى ُك ِل ا َ ْر َب ِعيْنَ شَاةًشَاة‬

” Pada tiap-tiap empat puluh ekor kambing adalah seekor kambing.”

Adalah penentuan nishab kambing yang wajib dikeluarkan zakat yaitu :


empat puluh ekor kambing. Penentuan yang wajib adalah seekor kambing, tidak
mengandung kemungkinan lebih atau kurang.

2. Kaidah ‘Amm
Lafadz ‘Amm ialah lafadz yang menurut penetapannya secara kebahasaan
menunjukan terhadap kemerataan dan penghabisannya terhadap seluruh satu-
satunya, yang maknanya tanpa pembatasan pada jumlah tertentu dari pada satuan
tesebut. Jadi lafadz setiap akar pada perkataan fuqaha : “setiap akad ada
keabsahannya di isyaratkan ahliyyah dua pihak yang melakukan akad”. Lafadz
tersebut adalah umum, yang menunjukan terhadap peliputan tiap-tiap sesuatu
yang mengenainya, bahwa ia adalah akad, tanpa suatu pembahasan pada akat
tertentu atau beberapa akad tertentu.

11
Alaidin Koto, Ilmu Fiqih Dan Ushulul Fiqih, Jakarta: Rajawali Pers, 2004, hlm 209
Ulama ushul fiqh telah membagi ‘Amm menjadi 6 macam, yaitu :

a. Lafadz Kullu dan Lafadz Jami’


Lafadz Kullu (tiap-tiap) yang berarti sebagian atau sekumpulan bukan
berarti setiap atau sekumpulan. Dan lafadz Jami’ (semua) yang berarti setiap atau
keseluruhan, artinya melibatkan semua orang.
Contohnya

َ ‫ُك ُّل َراع َم ْسئ ُ ْو ٌل‬


‫ع ْن َر ِعيَّتِ ِه‬

Artinya : “Tiap-tiap pemimpin diminta pertanggung-jawaban mengenai yang


dipimpinnya.”

ِ ‫َخلَقَ لَ ُك ُم َما ِفى اَّْلَ ْر‬


‫ض َج ِم ْيعًا‬

Artinya :” Allah menciptakan bagi kamu sesuatu yang ada di bumi seluruhnya.”
(QS. Al-Baqarah : 29)

b. Lafadz Mufrad
Lafadz Murfad (kata benda tunggal) yang dimakrifatkan dalam alif lam
yang dipergunakan untuk memakfirkan jenis, misalnya, kata al-zaniyatu wa al-
zani (perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina).12

Contohnya
 
 
Artinya : “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya.” (QS. Al-Maidah : 38)

12
Abdul Wahid Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta : Pustaka Amani, 2003, hlm. 202
c. Lafadz Jama’
Bentuk jama’ yang dimakrifatkan dengan alif lam yang dipergunakan
untuk memakrifatkan jenis, dan bentuk jama’ yang dimakrifatkan dengan idhafah
pada kata ganti nama, misalnya kata al-mutallaqatu (wanita-wanita yang ditalak)
Contohnya
 
   
Artinya : wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru'.

d. Isim Maushulah (Kata Benda Sambungan)


Isim Maushulah (Kata Sambungan) ialah isim yang membutuhkan shilah
(penghubung) dan ‘aad-id (yaitu dhamir yang zhahir atau mustatir yang kembali
kepadanya), misalnya kata al-ladzina
Contohnya :
 
  
 
  
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa : 59)

e. Pengertian Isim Syarat


Isim Syarat adalah isim mabni yang mengikat antara dua kalimat, kalimat
pertama menjadi syarat bagi kalimat kedua, misalnya kata man
Cotohnya
  
 
  
  
Artinya : “Dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja
Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka
kepadanya.” (QS. An-Nisa : 93).
f. Isim Nakirah pada bentuk Nafi’ (Peniadaan)
Isim Nakirah pada bentuk Nafi’ (Peniadaan) artinya isim yang ditiadakan.
Isim nakirah dalam shiqhat nafy (negatif), nahy (larangan) atau syarat, misalnya,
kata la junaha.
Contohnya
   
   
  
 
Artinya : “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam
hatimu.” (QS. Al-Baqarah : 235).
DAFTAR PUSTAKA

Romli. 2017. Pengantar Ilmu Ushul Fiqh. Depok: Kencana

Khallaf Abdul Wahhab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang : Dina Utama

Sanusi Ahmad dan Sohari. 2015. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers

Effendi Satria dan M. Zein. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana

Dahlan Abd Rahman. 2014. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah

Shidiq Sapiudin. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana

Koto Alaidin. 2004. Ilmu Fiqih Dan Ushulul Fiqih. Jakarta : Rajawali Pers

Khallaf Abdul Wahid. 2003. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka Amani

Anda mungkin juga menyukai