Anda di halaman 1dari 31

KONSEP MASᾹLIK AL-‘ILLAH MENURUT

AL-GAZALI (Studi Terhadap al-Mustaṣfā


min ‘Ilm al-Uṣῡl)
Maimun
Dosen Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Raden Intan Lampung
Jl. Endro Suratmin Sukarame Bandar Lampung
Email: maimun@radenintan.ac.id

Abstrak: Masālik al-‘illah merupakan prosedur pencarian dan penemuan


‘illah dalam konteks istinbāṭ al-ahkām yang menjadi kata kunci ada dan
tidaknya hukum. Al-Gazāli seorang mujtahid dan mujaddid pakar dalam
bidang ilmu uṣῡl al-fiqh ternyata mempunyai konsep masālik al-‘illah
yang menarik untuk dijadikan pijakan bagi siapapun yang akan
melakukan ijtihad, terutama ketika seorang mujtahid dihadapkan dalam
problematika hukum baru yang ta’lil al-ahkām-nya tidak ditegaskan
dalam teks-teks al-Qur’ān dan sunnah. Maka solusinya mujtahid mesti
mencari ‘illah-‘illah itu, baik yang berada di dalam teks, di balik teks
maupun yang berada di luar teks.
Kata Kunci: Mujtahid, masālik, ‘Illah hukum, dan istinbāṭ hukum.

A. Pendahuluan mutawātirah), dan menjadi


Dalam memahami hakikat sumber dari segala sumber
hukum Islam (syari’ah) yang hukum (maṣdar min al-maṣādir),
diturunkan Allah swt. kepada sekaligus menjadi pedoman atau
hamba-Nya (Nabi Muhammad pandangan hidup (way of life)
Rasulullah) tidaklah mudah, karena bagi umat manusia. Dan semua
semua ketentuan dan ketetapan- aturan Allah itu telah
ketetapan-Nya mengandung nilai- terdokumentasikan dalam al-
nilai, hikmah, sebab, dan rahasia- Qur’ān al-Karim dan sunnah
rahasia hukum yang harus mutawātirah, baik yang
diketahui secara cermat dan berkaitan dengan masalah
mendalam. Ketentuan dan teologis (al-‘aqā’id), masalah
ketetapan-ketetapan Allah itu moralitas (al-akhlāq), maupun
bersifat suci dan orisinal (nuṣῡṣ yang berkaitan dengan tuntutan
al-muqaddasah wa as-sunnah al- kehidupan lainnya, seperti

1
hukum-hukum yang bersifat hukum, ada yang disepakati dalam
‘ibādah, dan mu’āmalah ‘amaliyyah.1 aplikasinya, dan ada yang tidak
Dalam kajian metodologi disepakati. Dalil-dalil yang
hukum Islam (uṣῡl al-fiqh), disepakati (al-muttafaq ‘alaih)
diskursus seputar al-Qur’ān oleh mayoritas ulama (jumhῡr
sebagai sumber dari segala al-‘ulamā’), yaitu al-Qur’ān,
sumber hukum di kalangan ulama sunnah, ijmā’, dan qiyās.
uṣῡl klasik disebut dengan ad- Sedangkan dalil-dalil yang tidak
dalil, atau al-adillah,2 sedangkan di disepakati (al-mukhtalaf fihā),
kalangan ulama uṣῡl kontemporer yaitu istihsān, maṣlahah mursalah
lebih cendrung menyebutnya atau istiṣlāh, istiṣhāb, ‘urf,
3
dengan al-maṣādir. Dalil-dalil mażhab ṣahabi, syar’ man
4
hukum yang digunakan oleh para qablanā, dan az-żarā’i.
ahli uṣῡl dalam pembentukan Dari kedua kategori dalil-dalil
tersebut, untuk keperluan artikel
1
Dalam masalah mu’āmalah ‘amaliyyah
merupakan bidang yang berkaitan erat
ini yang menjadi stresing
dengan kehidupan dunia, al-Qur’ān tidak kajiannya adalah masālik al-‘illah
memerinci secara detail, kecuali sebagian yang merupakan bagian dari
hukum mengenai perkawinan, hudῡd, kafārat,
dan waris. Aturan-aturan yang telah ditetapkan salah satu unsur qiyās, yaitu
Allah dalam bidang ini bersifat pokok-pokok causa legis (‘illah al-hukm) dan di
yang berkenaan dengan prinsip-prinsip umum
dan kaidah-kaidah asasiyyah yang harus dalam ‘illah al-hukm ini terdapat
dijadikan pedoman oleh manusia dalam bahasan masālik al-‘illah, karena
kehidupan bermu’amalah. Terhadap`pokok-
pokok aturan yang telah ditetapkan Allah dalam literatur uṣῡl al-fiqh
dalam al-Qur’ān mengenai hal ini manusia banyak dibahas dalam konteks
dianjurkan untuk berdaya cipta dan berkreasi
sebanyak-banyaknya.Lihat, Muhammad Ali
qiyās.5 Dalam konteks istinbāṭ
as-Sāyis, Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihādi wa
Aṭwāruh (Mesir: Majma’ Buhῡṡ al- 4
Wahbah Zuhaili, Uṣῡl al-Fiqh al-Islāmi,
Islāmiyyah, 1389 H./1970 M.), h. 8-9. Juz ke 1, loc.cit. Zaky ad-Din Sya’bān, Uṣῡl
2
Ad-dalil jamaknya al-adillah. Secara al-Fiqh al-Islāmi (Mesir: Maṭba’ah Dār at-
etimologi, yaitu petunjuk kepada sesuatu baik Ta’lif, 1965), h. 27-28. Zakaria al-Barri,
yang bersifat material maupun non materil. Maṣādir al-Ahkām al-Islāmiyyah (Mesir: Dār
Sedangkan secara terminologi, yaitu suatu al-Ma’ārif, 1395 H./1975 M.), h. 13.,
petunjuk yang dijadikan landasan berpikir 5
Secara etimologi, qiyās yaitu mengukur
yang benar dalam memperoleh hukum syar’i sesuatu dengan sesuatu yang lain. Atau
yang bersifat praktis. Lihat, Wahbah Zuhaili, mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain
Uṣῡl al-Fiqh al-Islāmi, Juz ke 1 (Bairut: Dār kemudian menyamakannya. Sedangkan secara
al-Fikr al-Mu’āṣir, 1418 H./1998 M.), h. 417. terminologi, qiyās yaitu menghubungkan
3
Hal ini terlihat dalam karya ‘Abd al- sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang
Wahhāb Khallāf, Maṣādir at-Tasyri’ al- diketahui karena terdapat kesamaan dalam
Islāmi Fima la Naṣṣa Fih, Zakaria al-Barri, ‘illat hukumnya menurut orang yang
Maṣādir al-Ahkām al-Islāmiyyah, dan Wahbah menghubungkan (mujtahid). Lihat, Zaky ad-
Zuhaili sendiri ketika mendeskripsikan tentang Din Sya’bān, Usul al-Fiqh al-Islami, op.cit.,
dalil-dalil hukum menuliskan dengan, Maṣādir h. 107. Umar ‘Abd Allah, Sulām al-Wuṣῡl li
al-Ahkām asy-Syar’iyyah. ‘Ilm al-Uṣῡl (Mesir: Dār al-Ma’ārif, 1956), h.

2
hukum, bagi setiap orang yang persyaratan sesuatu itu menjadi
akan melakukan kegiatan ijtihad ‘illah, dan bagaimana pula
dengan menggunakan pendekatan keberadaan ‘illah itu
qiyās mesti terlebih dahulu hubungannya dengan tujuan
mengetahui rukun-rukun qiyās pensyari’atan hukum (maqāṣid
dan meneliti naṣ-naṣ dan hukum asy-syari’ah).
yang terkandung di dalamnya. Bertolak dari pertanyaan-
Setelah itu, meneliti causa legis pertanyaan di atas, para ahli uṣῡl
yang digunakan asy-Syāri’ sebagai (uṣῡliyyin) di antaranya ‘Abd al-
sandaran hukum di dalam naṣ, dan Wahhāb Khallāf (w. 1956)
causa legis pada persoalan baru merumuskan sebuah norma
yang tidak disebutkan dalam naṣ, bahwa “hukum itu ada atau tidak
termasuk persoalan baru yang adanya ditentukan dengan ‘illah-
diduga kuat tidak mempunyai nya, bukan dengan hikmah-nya”.6
causa legis. Untuk meneliti dan Berdasarkan kaidah uṣῡl ini
memahami faktor apa saja yang semakin mempertegas bahwa
menjadi pendorong (al-bā’is) dari fungsi dan kedudukan ‘illah dalam
semua ketentuan yang telah pensyari’atan hukum menjadi
ditetapkan Allah itu pada akhirnya kata kunci untuk bisa diketahui
melahirkan suatu konsep atau tidaknya suatu hukum yang
ke’illatan, yang disebut dengan ada dalam naṣ, ataupun yang
ta’lil al-ahkām. berada di luar naṣ dengan proses
Ta’lil al-ahkam pada prinsipnya melalui berijtihad.
mengkaji dan berbicara Statement ini dalam praktik
mengenai apa yang menjadi causa istinbāṭ al-ahkām di kalangan
legis, atau pautan hukum (manāṭ ulama terjadi silang pendapat yang
al-hukm), serta apa pula yang tidak berkesudahan,7 tetapi secara
menjadi indikator bahwa ‘illah
6
yang dimaksud merupakan alasan ‘Abd al-Wahhāb Khallāf, Maṣādir at-
Tasyri’, op.cit., h.49. ‘Abd al-Hāmid Hakim,
logis dari suatu ketetapan al-Bayān (Jakarta: Sa’adiyyah Putra, t.t.), h.
hukum. Di samping itu, bagaimana 25.
7
Terdapat tiga pandangan ulama yang
prosedur atau mekanisme yang mempersoalkan, apakah hukum-hukum Allah
harus ditempuh untuk menemukan disyari’atkan berdasarkan ‘illah hukum tertentu,
atau tidak. Golongan Asy’ari berpendapat
dan menetapkan suatu ‘illah bahwa pensyari’atan hukum Allah itu tidak
hukum, bagaimana kriteria dan dikaitkan dengan ‘illah hukum tertentu. Karena,
apabila dikaitkan dengan ‘illah hukum, maka
205. Imam Tāj ad-Din ‘Abd al-Wahhāb ibn akan mengurangi kesempurnaan Allah itu
as-Subki, Matan Jam’ al-Jawāmi’, Juz ke2 sendiri. Pendapat Asy’ari ini senada dengan
(Indonesia: Dār Ihyā’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, pandangan mażhab Ẓāhiri yang menolak
t.t.), h. 202. menisbatkan penta’lilan pada perbuatan-perbuatan

3
substansial mereka mengakui yang lebih dekat indikasinya
bahwa setiap ketentuan hukum dengan al-Qur’ān dan sunnah.9
yang berupa perintah (amr) atau Dalam konteks ini, Jumhur ulama
larangan (nahi) itu mempunyai salaf berpendapat bahwa Allah
‘illah hukum, hanya ‘illah hukum menciptakan hukum
itu ada yang disebutkan dengan diperuntukkan bagi manusia yang
jelas dalam naṣ, dan ada yang dikaukasi (mu’allalah) dengan
tidak disebutkan dengan jelas. Di hikmah dan tujuan, tetapi
sinilah diperlukan perenungan dan mu’allalah atau ‘illah-‘illah itu
pencarian secara mendalam, yang terkadang sebagian bisa
secara teknis kronologis seperti diketahui, dan sebagian yang lain
tergambar dalam dialog Rasulullah tidak bisa diketahui. Sebagian
dengan Mu’aż bin Jabal, yang ‘illah yang tidak bisa diketahui
substansinya secara teknis dalam (dijangkau ra’y) mereka kategorikan
istinbāṭ hukum, pertama melihat sebagai persoalan ta’abbudiyah, dan
al-Qur’ān, kedua melihat sunnah menetapkannya dengan hikmah.10
Rasulullah, dan baru kemudian Namun demikian, hikmah, itu ada
menggunakan pemikiran rasional yang bisa dijangkau oleh akal dan
(ra’y).8 Abῡ Zahrah mengatakan ada yang tidak bisa dijangkau
bahwa ijtihad dengan ra’y adalah oleh akal. Sebagai contoh,
pengamatan dan pemikiran kritis hikmah yang tidak bisa dijangkau
dalam mengetahui sesuatu (‘illah) oleh akal adalah menyaksikan
Allah. Golongan Mu’tazilah berpendapat tanggal satu ramaḍ ān bagi
bahwa hukum Allah itu dikaitkan dengan wajibnya puasa ramaḍ ān, atau
tujuan yang mendorong-Nya memberikan
sesuatu yang sesuai dengan kemaslahatan
tergelincirnya matahari
manusia. Sebab, jika tidak demikian, maka dipautkan dengan wajibnya
sudah barang pasti perbuatan Allah akan sia- mengerjakan salat. Contoh yang
sia. Sementara golongan Maturidiyyah
berpendapat bahwa semua perbuatan Allah demikian ini tidaklah dinamakan
dikaitkan dengan ‘illah kemaslahatan baik ‘illah, tetapi disebut dengan sebab
yang tampak maupun yang tersembunyi. Akan
tetapi bukan merupakan suatu kewajiban bagi (as-sabab). Sedangkan ‘illah hukum
Allah berbuat demikian. Muhammad Muṣṭafā yang hikmahnya dapat diketahui
Salabi, Ta’lil al-Ahkām (Bairut: Dār an-
Nahḍah al-‘Arabiyyah, 1401 H./1981 M.), h. oleh akal dinaman dengan al-
97. ‘Adil asy-Syuwaikh, Ta’lil al-Ahkām fi bā’is, seperti kesesuaian mabuk
asy-Syari’ah al-Islāmiyyah (Tanata: Dār al-
Basyir li as-Saqafah wa al-‘Ulῡm, 1420
H./2000 M.), h. 32-33.
9
8
Teks hadis Mu’āż ini lihat dalam, Ahmad Muhammad Abῡ Zahrah, Muhāḍarāt fi
bin Hanbal, al-Musnad, Jld. Ke 5, h. 230.Ibn Tārikh al-Mażāhib al-Fiqhiyyah (Mesir:
Mājah, Sunan Ibn Mājah, Jld. Ke 1, h. Maṭba’ah al-Madani, t.t.), h. 17.
10
21.Abῡ Dāwud, Sunan Abi Dāwud, Jld. Ke 3, ‘Adil asy-Syuwaikh, Ta’lil al-Ahkām,
h. 412-413. op.cit., h. 42.

4
(al-iskār) itu menjadi ‘illah bagi uṣῡl, di antaranya oleh Abῡ
diharamkannya khamar.11 Hāmid al-Gazāli (w. 505 H) dalam
Dari pandangan Jumhur ulama karyanya al-Mustaṣfā min ‘Ilm al-
salaf di atas dapat ditegaskan Uṣῡl. Ia adalah seorang
bahwa dalam konteks istinbāṭ mujtahid dan mujaddid yang ahli
hukum untuk menemukan dan uṣῡl al-fiqh, di samping ahli ilmu-
menetapkan sesuatu yang ilmu yang lainnya. Masalahnya
menjadi ‘illah tidaklah mudah, adalah bagaimanakah konsep
karena di satu sisi ‘illah itu masālik al-‘illah yang digagas oleh
menjadi pautan hukum (manāṭ al- al-Gazāli dalam kontek istinbāṭ
hukm) dan di sisi lain disebut hukum. ? Fokus masalah ini akan
dengan hikmah, dan sebab.12 dijawab dan dibahas dengan
Namun demikian, pencarian dan menela’ah al-Mustaṣfā min ‘Ilm
penemuan ‘illah dalam teori uṣῡl al-Uṣῡl, sebagaimana pembahasan
al-fiqh disebut dengan masālik berikut ini.
al-‘illah. Konsep masālik ‘illah
telah banyak dibahas para ahli B. Pembahasan
11
1. Selintas Biografi al-Gazāli
Ibid., h. 43.
12
Perbedaannya menurut sebagian ahli Al-Gazāli nama lengkapnya
uṣῡl al-fiqh, sabab, yaitu persesuaian antara adalah Abῡ Hāmid Muhammad bin
sifat tertentu dengan hukum tidak sesuai.
Karena sabab itu tidak bisa dinalar oleh akal Muhammad bin Ṭ a’us aṭ-Ṭ ῡsi
manusia. Sedangkan ‘illah, yaitu sifat yang asy-Syāfi’i. Di kalangan para
sesuai dengan pensyari’atan hukum, dan bisa
dinalar oleh akal manusia.. Seperti safar pada
ulama dikenal dengan sebutan
bulan ramaḍān itu menjadi ‘illah bagi boleh Imām al-Gazāli, Imām Abῡ
berbuka bagi orang yang bepergian. Safar ini Hāmid, dan Hujjah al-Islām.
tidak bisa dinamakan sabab, tapi adalah
sebagai ‘illah. Contoh lain, tergelincirnya Dalam bahasa latin, namanya
matahari itu menjadi sebab wajibnya sering ditulis dengan Algazel, atau
melaksanakan salat zuhur. Zawāl asy-syams
itu sebagai sabab, bukan ‘illah. Karena itu, Abuhamet. Ia dilahirkan pada
Jumhῡr uṣῡliyyin menegaskan bahwa sabab tahun 450 H/1058 M di Gazalah,
itu lebih umum tunjukannya daripada ‘illah.
Dan Setiap ‘illah itu sabab, tetapi tidak setiap sebuah desa dipinggiran Ṭ ῡs
sabab itu ‘illah. Adapun hikmah, yaitu (Meshed sebutan sekarang)
sesuatu yang muncul akibat ada hukum,
berupa suatu kemaslahatan, baik berbentuk dekat Khurasan, Iran. Nama
kemanfaatan atau menolak kemudaratan. al-Gazāli terambil dari nama
Lihat, Wahbah Zuhaili, Uṣῡl al-Fiqh al-
desa kelahirannya, yaitu
Islāmi, Juz ke 1, op.cit., h. 651-652. Zaky ad-
Din Sya’bān, Uṣῡl al-Fiqh al-Islāmi, op.cit., Gazalah, dan bukan dari al-
h. 131-134. Muhammad Muslehuddin, Filsafat Gazal yang berarti tukang
Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, Studi
Perbandingan Sistem Hukum Islam, Penerjemah
Yudian Wahyudi Asmin (Yogyakarta: PT
Tiara Wacana, 1997), h. 129.

5
pemintal benang sebagai mata ditinggalkan wafat oleh
pencarian bapaknya.13 bapaknya, hanya ada indikasi
Bapaknya adalah seorang menunjukkan bahwa ia belum
yang salih dengan pola hidup dewasa.15
sederhana, ia tidak mau makan Adapun ibunya tidak banyak
kecuali atas usahanya sendiri diketahui oleh para ahli
sebagai pemintal bulu domba. sejarah, hanya saja Sulaiman
Diceritakan bahwa al-Gazāli di Dunya lebih lanjut menegaskan
waktu-waktu senggangnya, bahwa ia sempat menyaksikan
pergi ke beberapa ulama untuk anaknya berada dalam posisi
belajar agama, dan aktif kehidupan yang terhormat dan
mengikuti majelis-majelis ta’lim, menjadi seorang ilmuwan yang
kelihatannya sangat kerkesan terkenal pada masanya.
dalam jiwanya, sehingga ia
berdo’a kepada Allah agar 2. Pendidikan dan Kegiatan
dikaruniai seorang anak laki- Intelektualitasnya
laki yang akan menjadi Al-Gazāli mengenai
seorang ahli agama dan pendidikannya seperti
menyebarkannya kepada umat dikemukakan oleh Muhammad al-
manusia.14 Husaini bahwa ketika
Do’a bapaknya tersebut bapaknya menjelang wafat
tampaknya dikabulkan Allah berpesan kepada saudaranya
sehingga lahirlah al-Gazāli (Ahmad paman al-Gazāli) dan
sebagai seorang anak yang akan seorang temannya yang ahli
menjadi ulama besar dan tasawuf agar mendidik dan
mumpuni ilmu agamanya. Akan mengasuh al-Gazāli. Dari kedua
tetapi bapaknya tidak sempat orang inilah ia mendapatkan
menyaksikan keulamaan al- pendidikan awal yang
Gazāli, karena ia meninggal memberikan motivasi untuk
ketika al-Gazāli masih kecil. semangat dalam belajar
Para ahli sejarah tidak mencari ilmu pengetahuan.
menyebutkan dengan jelas, Pada awalnya al-Gazāli
pada usia berapakah al-Gazāli belajar di negerinya sendiri,
13
Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalam Ṭ ῡs. Di negeri ini ia belajar
Menumbuhkembangkan Kepribadian dan ilmu fikih di bawah bimbingan
Kesehatan Mental (Jakarta: CV Ruhama, 1994),
Cet. Ke1, h. 19.
14
Badawi Tabanah, Ihyā’ ‘Ulῡm ad-Din 15
Sulaiman Dunya, al-Haqiqah fi Nażar
(Kairo: Dār Ihyā’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, al-Gazāli (Mesir: Dār al-Ma’ārif, 1981), Cet.
1964), Juz ke 1, h. 8. Ke 3, h. 18.

6
gurunya, Ahmad bin ini, al-Gazāli pada
Muhammad ar-Razkani aṭ-Ṭ ῡsi. perkembangan pemikiran dan
Sebelumnya ia sudah belajar intelektualitasnya lebih
kepada Yῡsuf an-Nasaj banyak tertarik mempelajari
sebagai ahli tasawuf. ilmu kalam dan filsafat,
Kemudian ia pindah ke Jurjan meskipun pada akhirnya
untuk belajar agar lebih luas mengakibatkan menjadi
lagi ilmu pengetahuannya. Di seorang yang skeptis dalam
Jurjan ia belajar di bawah mensikapi ilmu pengetahuan,
bimbingan Abῡ Naṣr Ismā’il. terutama setelah
Dinamika belajar sangat mempertanyakan fungsi dan
bagus, ia tidak saja belajar peran akal. Selama dalam
ilmu-ilmu agama, tetapi juga ia kondisi skeptis ia berada di
belajar bahasa persia dan Bagdad, kemudian pindah
bahasa arab dengan tekun.16 pergi ke Siria dan dilanjutkan
Al-Gazāli selama belajar di ke negeri-negeri lain untuk
Jurjan kelihatannya tidak mencari identitas diri dan
merasa puas, akhirnya ia pindh ketenangan batin. Dari
dan pergi ke Naisābῡr untuk petualangan ini pada akhirnya
belajar ilmu pada sebuah ia memasuki dunia tasawuf.17
lembaga pendidikan yang lebih Tetapi sebelum ia memasuki
terkenal yang dipimpin langsung dunia tasawuf, kegiatan
oleh al-Juwaini al-Haramain intelektualitasnya terlihat jelas
(w. 478 H). Di lembaga terutama setelah al-Gazāli
pendidikan inilah ia menemukan berada di Bagdad. Harun
jatidiri belajarnya dengan penuh Nasution mengemukakan
semangat dan meningkat kegiatan bahwa kedatangan al-Gazāli ke
ilmiah dan intelektualitasnya. Ia Bagdad sangat menyenangkan
banyak belajar ilmu fikih dan Niẓām al-Mulῡk, sehingga al-
usul fikih, ilmu mantik, ilmu Gazāli diangkat sebagai guru
kalam, dan ilmu debat yang pada tahun 484 H/1091 M
langsung diterima dari al- untuk mengajar di Madrasah
Juwaini. Niẓāmiyah, Bagdad yang
Di Naisābῡr, ia berdomisili didirikan oleh Niẓām al-Mulῡk.
bersama gurunya hingga sang Di Madrasah inilah ia mulai
guru meninggal dunia. Dari mengembangkan ilmunya
banyak pengalaman keilmuan kepada murid-muridnya, di
16
Ibid., h. 20. 17
Badawi Tabanah, op.cit., h. 13.

7
samping terus melakukan studi Secara sosiologis, bila
secara mendalam, terutama melihat kondisi setting social
dalam bidang ilmu kalam dan sebelum al-Gazāli lahir, dunia
filsafat.18 Selain itu, ia Islam sudah mengalami masa
melakukan kegiatan menulis kemunduran dan kreatifitas
karya ilmiah yang sebelumnya ijtihad intelektual sudah mulai
sudah dirintis ketika al-Gazāli lemah. Dibidang sosial dan
berada di Naisābῡr.19 politik, dinasti Abbasiyah
Selain mengajar dan sebagai lambang kesatuan dan
menulis, ia juga sempat persatuan umat sudah
membentuk studi kelompok melemah. Dibidang budaya,
dibidang hukum dan teologi kebudayaan dan pearadaban
Islam ketika telah diangkat Islam yang telah mencapai
menjadi guru, tetapi karena puncak keemasannya (250
keraguan jiwanya terus tahun) sudah mulai hilang
menggelora, maka tugas dan dinamika dan dayalitasnya, ilmu-
kewajiban mengajar di ilmu keagamaan dirasakan oleh
Madrasah Niẓāmiyah ia al-Gazāli di masanya telah
tinggalkan, dan pindah pada matisuri dalam jiwa
kehidupan sufistik. Kehidupan pemeluknya yang mesti
sufi ini ia kembangkan dan dihidupkan kembali. Dibidang
diajarkan kepada murid- moral dan intelektual secara umum
muridnya sampai ia meninggal mengalami kemerosotan pula
dunia (w. 505 H). dalam kehidupan umat Islam,
Adapun karya-karyanya dan dunia Islam secara umum
sebagai bukti kegiatan dapat dikatakan tidak aman,
intelektualitasnya, antara lain: tidak stabil, tidak harmonis,
Ihyā’ ‘Ulῡm ad-Din, Tahāfut dan dalam keadaan kritis dan
al-Falāsifah, al-Munqiż min krisis lahir batin.20
ad-Ḍ alāl, al-Mustaṣfā min ‘Ilm Dengan tampilnya Bani
al-Uṣῡl, dan masih banyak lagi Buwaih menguasai pemerintahan
yang lainnya. Bani Abbās, kemudian
3. Gerakan Hukum pada kekuasaan direbut oleh Bani
Masanya Saljuk dari tapuk kepemimpinan
Bani Buwaih, ia mulai
18 berkuasa, sementara jabatan
Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme
dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), kekhalifahan tetap dipegang
Cet. ke 6, h. 20.
19
Sulaiman Dunya, loc.cit. 20
Yahya Jaya, op.cit., h. 15-16.

8
oleh Bani Abbās, tetapi hanya metodologi pemahaman hukum
berfungsi sebagai lambang Islam mażhabnya. Sikap takli
saja. Dengan kondisi dan fanatik yang demikian itulah
pemerintahan Islam yang yang pada akhirnya “pintu
sangat lemah seperti itu, maka ijtihad tertutup”.22
implikasinya menjamah Gerakan pemikiran hukum
keperkembangan pemikiran Islam demikian tersebut
21
hukum Islam. berkembang sampai abad V H
Apabila dilacak lebih jauh yang merupakan era kelahiran al-
tentang perkembangan Gazāli. Di masa berkiprah di
pemikiran hukum Islam dunia pemikiran hukum Islam,
diketahui bahwa ternyata sejak ia dikenal sebagai hujjah al-Islām
pertengahan abad IV H (pembela Islam) dan berjuang
kondisi hukum Islam telah menegakkan nilai-nilai ajaran
mengalami masa taklid (at- Islam serta menghidupkan
taqlid) dan fanatik mażhab kembali jiwa keagamaan (ihyā’
(ta’aṣṣubiyyah). Pada masa ini ‘ulῡm ad-din) yang telah
gerakan ijtihad terhenti terkotak-kotak dalam berbagai
bahkan terkesan “pintu ijtihad aliran. Tetapi, al-Gazāli sendiri
tertutup”. Kebebasan berpikir menyatakan termasuk seorang
para ulama sudah hilang, pengikut aliran, yaitu bermażhab
kalaupun mereka berijtihad Syāfi’i.
hanya ijtihād bi al-mażāhib 4. Konsep Masālik al-‘Illah al-
tidak langsung menggali dari Gazāli dalam Istinbāṭ al-
sumbernya (al-Qur’ān dan Ahkām
sunnah), mereka lebih senang Secara umum, prosedur
bertaklid dan mengikuti fatwa- masālik al-‘illah di kalangan
fatwa para imam mażhabnya. para ahli uṣῡl al-fiqh klasik
Kemampuan dan dayalitas akal secara substansial muatannya
pikiran mereka dibatasi pada adalah sama, hanya terjadi
mempelajari hasil-hasil perbedaan dalam hal teknis
istinbāṭ al-ahkām para imam operasionalnya. Seperti ar-
mażhabnya, dilarang sama Rāzi (w. 606 H) yang
sekali keluar dari pola menyamakan persyaratan ‘illah
pemikiran hukum Islam dan dengan masālik al-‘illah,
21
Ahmad Salabi, Mausῡ’ah at-Tārikh al- 22
Muhammad Ali as-Sāyis, Tārikh al-
Islāmi wa al-Haḍarah al-Islāmiyyah (Kairo: Fiqh al-Islāmi (Mesir: Maktabah wa Maṭba’ah
Maktabah an-Nahḍah al-Biṣriyyah, 1978), Muhammad ‘Ali Ṣabih wa Aulāduh, t.t.), h.
Cet. ke 6, h. 428. 111.

9
dengan topik “aṭ-Ṭuruq ad- yaitu: an-naṣ, al-imā’, al-
Dallah ‘ala ‘iliyyah al-waṣf fi al- munāsabah, asy-syabah, ad-
aṣl” (Petunjuk jalan mengetahui daurān, as-sabr wa at-taqsim,
sifat-sifat ‘illah pada aṣl). aṭ-ṭard, dan tanqih al-manāṭ.24
Dalam hal ini, terdapat sepuluh Prosedur masālik al-‘illah yang
macam, yaitu melalui teks-teks dikemukakan ar-Rāzi dan al-
al-Qur’ān dan sunnah (an-naṣ), Qarāfi tersebut, terdapat
indikasi-indikasi (al-imā’), sedikit perbedaan. Ar-Rāzi
konsensus para ulama (al- menyebutkan sepuluh macam,
ijmā’), adanya relevansi (al- sedangkan al-Qarāfi hanya
munāsabah), adanya implikasi delapan macam, dengan tidak
(at-ta’ṡir), adanya keserupaan memasukkan al-ijmā’, dan at-
(asy-syabah), meneliti ta’ṡir sebagai alternatif masālik.
hubungan antara hukum Sementara menurut al-Gazāli
dengan sifat yang (w. 505 H) prosedur masālik
melatarbelakanginya (ad- al-‘illah secara kronologis dan
daurān), meneliti dan substansial hampir sama dengan
menyeleksi sifat-sifat yang dicari ar-Rāzi dan al-Qarāfi, dan
yang dimungkinkan pantas mereka diduga kuat sebenarnya
menjadi ‘illah (as-sabr wa at- mengembangkan dari apa yang
taqsim), penyertaan hukum telah dikonstruksi oleh al-
dan sifat tanpa ada Gazāli sebelumnya, yaitu
kesesuaian antara keduanya menurutnya ditempuh dengan
(aṭ-ṭard), meneliti dan empat cara: Dalil naqli, ijmā’,
menyeleksi sifat-sifat yang istinbāṭ dan istidlāl. Cara yang
pantas menjadi ‘illah yang terakhir ini ditempuh melalui
telah tersurat dalam naṣ dua cara, yakni as-sabr wa at-
(tanqih al-manāṭ).23 Sedangkan taqsim, dan al-munāsabah.
menurut al-Qarāfi (684 H), Penerapannya secara teknis
masālik al-‘illah, ia tulis dengan dalam konteks ijtihad, ia
“ad-dal ‘alā al-‘illah” (sesuatu lakukan dengan tahqiq al-
yang menunjukkan adanya manāṭ, tanqih al-manāṭ, dan
‘illah), ada delapan macam, takhrij al-manāṭ.25 Berbeda

24
23
Fakhr ad-Din Muhammad bin ‘Umar bin Imām Syihāb ad-Din Abῡ al-‘Abbās
al-Husain ar-Rāzi, al-Mahṣῡl fi Uṣῡl al-Fiqh Ahmad bin Idris al-Qarāfi, Syarh Tanqih al-
(Bairut: Mu’assasah ar-Risālah, t.t.), Juz ke 5, Fuṣῡl fi Ikhtiṣār al-Mahṣῡl fi al-Uṣῡl (Bairut:
h. 137. Lihat, asy-Syaukāni, Irsyād al-Fuhῡl Dār al-Fikr, 1424 H/2004 M), h. 302.
25
ilā Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Uṣῡl (Mesir: Lihat, Abῡ Hāmid al-Gazāli, al-
Idārah aṭ-Ṭibā’ah al-Muniriyyah, t.t.), h. 184. Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣῡl (Mesir: Syirkah aṭ-

10
dengan ahli uṣῡl al-fiqh Artinya: “Dan apa saja harta
kontemporer, prosedur masālik rampasan yang diberikan Allah
al-‘illah dirumuskan hanya kepada Rasul-Nya yang
dengan tiga cara, yaitu melalui berasal dari penduduk kota-
naṣ, ijmā’, dan al-munāsabah.26 kota maka adalah untuk Allah,
Tetapi dalam konteks ini, Rasul, kerabat Rasul, anak-
fokus pembahasannya akan anak yatim, orang-orang
menguraikan konsep masālik miskin, dan orang-orang yang
al-‘illah yang ditawarkan al- dalam perjalanan, supaya
Gazāli sebagaimana pembasan harta itu jangan hanya
berikut ini: beredar di antara orang-orang
Pertama, melalui dalil naqli kaya saja di antara kamu”.
(naṣ al-Qur’ān da sunnah). Lafal “kay” yang diiringi
Adakalanya ‘illah yang dengan kalimat sesudahnya dalam
terdapat dalam naṣ itu ayat tersebut, merupakan ‘illah
bersifat pasti (qaṭ’i) dan jelas bagi ketentuan Allah dalam
(ṣarih), dan adakalanya tidak pembagian harta rampasan
pasti, tetapi mengandung perang (al-fai’) kepada lima
kemungkinan yang lain golongan. ‘Illah dalam ayat ini
(muhtamalah). ‘Illah dalam naṣ jelas, dan tidak mengandung
yang pasti dan jelas dapat kemungkinan lain. Menurut
dengan mudah diketahui, jumhῡr uṣῡliyyin, yang
karena lafal-lafalnya telah demikian itu disebut sebagai
disebutkan oleh naṣ itu ‘illah yang pasti.
sendiri, seperti li ajli, min ajli Sedangkan contoh dari as-
(karena untuk, demi untuk), li sunnah, terdapat sebuah hadis
sababin każā (oleh sebab itu), yang diriwayatkan oleh Bukhari,
kay (agar, supaya), dan Muslim, an-Nasā’i, at-Tirmiżi,
seterusnya. Sebagai contoh lafal Abῡ Dāwud, dan Ibn Mājah,
yang disebutkan terakhir ini, dari Mālik bin Anas, Rasulullah
Q.S. al-Hasyr (59), ayat 7: Saw. bersabda:
Artinya: “Dahulu saya
Ṭibā’ah al-Fanniyyah al-Muttahidah, 1391 melarang kamu menyimpan
H/1971 M), h. 430-442.
26
Lihat, ‘Abd al-Wahhāb Khallāf, ‘Ilm
daging kurban agar dapat
Uṣῡl al-Fiqh (Mesir: Dār al-Kuwaitiyyah, beredar untuk kepentingan
1388 H/1968 M), h. 75-77; Muhammad Abῡ ad-daffah (para tamu orang
Zahrah, Uṣῡl al-Fiqh (Mesir: Dār al-Fikr,
1377 H/1958 M), h. 243245; Muhammad al- miskin yang datang dari
Khuḍari Bik, Uṣῡl al-Fiqh (Bairut: Dār al- perkampungan sekitar Madinah
Fikr, 1409 H/1988 M). h. 325-327.

11
yang membutuhkan daging (pasti),28 sedangkan sebagian
kurban), maka (sekarang) yang lain menyebutnya dengan
makanlah, sedekahkanlah, dan aṣ-ṣarahah (jelas).29 Kedua
simpanlah (jika lebih)”.27 term ini secara substansial
‘Illah yang terdapat dalam mengandung pengertian yang
hadis ini adalah ‘illah yang sama, yang dalam term al-
jelas (ṣarih) yaitu “perintah Gazāli disebut dengan dalil
untuk menyimpan daging naqliyah.30
kurban”, yang tujuannya Adapun ‘illah dalam naṣ yang
diperuntukkan bagi ad-dāffah dipandang tidak pasti (al-imā’)
yang sangat membutuhkan tetapi mengandung
daging tersebut. ‘Illah yang kemungkinan lain, seperti lafal
demikian ini di kalangan para al-lam, al-ba’, anna, inna, dan
ahli uṣῡl fiqh disebut dengan yang semacamnya. Misalnya,
‘illah al-manṣῡṣah. ‘Illah yang terlihat dalam Q.S. aż-Żāriyāt
didasarkan pada petunjuk naṣ (51), ayat 56:
secara ṣarih seperti contoh di Artinya: “Dan Aku tidak
atas, di kalangan mereka dalam menciptakan jin dan manusia,
penyebutannya terjadi melainkan supaya kamu
perbedaan. Sebagian uṣῡliyyin menyembah-Ku”.
menyebutnya dengan al-qāṭi’ah Dalam ayat yang lain, al-
Isrā’ (17), ayat 78:
27
Historical backgraund (asbāb al-wurῡd)
Artinya: “Dirikanlah shalat
hadis ini adalah, ketika hari raya kurban dan dari sesudah matahari
penyembelihan hewan-hewan kurban tergelincir ...”.
disembelih dan diproses untuk siap
didistribusikan kepada orang-orang yang Huruf “lām” dalam kedua
berhak menerimanya, Rasulullah Saw. ayat di atas (liya’budῡn dan
melarang kaum muslimin (panitia kurban)
menyimpan daging-daging kurban yang lidulῡk asy-syams )
dibutuhkan agar beredar, kecuali pada batas- merupakan lafal yang
batas tertentu, sekedar untuk bekal tiga hari.
Tetapi, beberapa tahun kemudian, peraturan menunjukkan ‘illah. Sebagian
(larangan menyimpan) yang telah ditetapkan ulama uṣῡl fiqh ada yang
Rasulullah itu dilanggar oleh beberapa
28
sahabat. Permasalahan ini kemudian oleh ‘Ali bin ‘Abd al-Kafi as-Subki, al-Ibhāj
seorang sahabat disampaikan kepada fi Syarh al-Minhāj ‘alā Manhāj al-Wuṣῡl ilā
Rasulullah, beliau membenarkan tindakan ‘Ilm al-Uṣῡl li al-Qāḍi al-Baiḍāwi, (Bairut:
para sahabat itu sambil menerangkan bahwa Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1404 H/1984 M),
larangan menyimpan daging kurban Juz ke 3, h. 42.
29
dimaksud didasarkan atas kepentingan ad- Muhammad ‘Abd al-Gani al-Bājiqani,
dāffah. Setelah itu, beliau menegaskan boleh al-Madkhal ila Uṣῡl al-Fiqh al-Māliki
menyimpan daging tersebut. Lihat, Mālik bin (Bairut: Dār Lubnān li aṭ-Ṭibā’ah wa an-
Anas, al-Muwaṭṭa’, editor Muhammad Fuad Nasyr, 1387 H/1968 M), h. 114.
30
‘Abd al-Baqi’ (T.tp.: T.pn., t.t.), h. 299. Al-Gazāli, al-Mustaṣfā, loc.cit.

12
memahami “al-lām” pada kedua Rasulullah Saw. bahwa ia telah
ayat tersebut sebagai li al- mensetubuhi isterinya di siang
milki, dan li as-sabab. Tetapi hari bulan ramadhan, lalu beliau
pandangan ini dinilai lemah. bersabda: “Merdekakanlah
Selain contoh di atas, seorang hamba sahaya”.
melalui al-imā’ (indikasi),31 yaitu Penetapan hukum wajib
suatu cara yang ditempuh membayar kafārat itu muncul
untuk menemukan ‘illah dengan setelah seorang Arab Badui
memperhatikan korelasi antara menginformasikan kepada
suatu ketetapan hukum dengan Rasulullah bahwa ia telah
suatu sifat yang mendasarinya. mensetubuhi isterinya di siang
Sifat yang mendasari hari bulan ramaḍ an. Pernyataan
ketetapan hukum ini diperoleh ini menunjukkan bahwa
melalui indikasi yang perbuatan tersebut menjadi
disebutkan secara bersamaan ‘illah berlakukanya hukum wajib
dengan ketetapan hukum membayar kafārat dengan
tersebut. Sebab, jika tidak memerdekakan seorang hamba
demikian, tentu tidak sahaya.33 (2) Penyebutan sifat
disebutkan secara bersamaan.32 oleh asy-Syāri’ dalam hukum
Bentuk al-imā’ paling tidak ada memberi petunjuk bahwa
lima macam: (1) Penetapan sifat yang disebutkan
hukum oleh asy-Syāri’ sesudah berbarengan dengan hukum itu
mendengar sesuatu sifat. Ini adalah ‘illah untuk hukum itu
berarti bahwa sifat yang sendiri. Seperti hadis
menimbulkan hukum itu adalah Rasulullah Saw. yang
‘illah untuk hukum tersebut. diriwayatkan oleh Imām
Seperti kewajiban membayar Muslim, beliau bersabda:
kafārat, ketika seorang Arab Artinya: “Janganlah seseorang
Badui menginformasikan kepada memutuskan perkara
(mengadili) dua orang yang
31
Ulama uṣῡl al-fiqh yang lain ada yang berperkara, sedangkan ia dalam
menyebutnya dengan term at-tanbih
(keterangan, penegasan), dan ada yang keadaan marah”.34
menyebut dengan term yang disatukan al- Hadis ini menunjukkan
imā’ wa at-tanbih, atau at-tanbih wa al-imā’.
Lihat, al-Gazāli, al-Mustaṣfā, op.cit., h. 431.
ketidakbolehan seorang hakim
Al-Kafi as-Subki, al-Ibhaj fi Syarh al-
33
Minhaj, op.cit., h. 45. Al-Qarāfi, Syarh Tanqih al-Fuṣῡl,
32
Abi Yahyā Zakaria al-Anṣāri, Gāyah al- op.cit., h. 302-303.
34
Wuṣῡl Syarh Lubb al-Uṣῡl (Bandung- Imām Muslim, Ṣahih Muslim
Indonesia: Syirkah al-Ma’ārif li aṭ-Ṭibā’ah (Bandung-Indonesia: Syirkah al-Ma’ārif li aṭ-
wa an-Nasyr, t.t.), h. 120. Ṭibā’ah wa an-Nasyr, t.t.), Juz ke 2, h. 123.

13
dalam keadaan marah hanya satu hukum yang
menetapkan hukum dari perkara disebutkan. Sebuah hadis
yang sedang ditanganinya. Hal ini Rasulullah Saw. yang
memberikan indikasi bahwa diriwayatkan oleh Imām
“marah” yang menjadi ‘illah bagi Muslim dari ‘Ubādah bin aṣ-
larangan menetapkan Ṣ āmit, beliau bersabda:
(mengadili) perkara hukum Artinya: “Emas dengan emas,
tersebut. (3) Pembedaan perak dengan perak, gandum
antara dua hukum disebabkan dengan gandum, jeli dengan jeli,
adanya sifat, syarat, māni’ kurma dengan kurma, garam
(larangan), atau pengecualian dengan garam, sama jenis dan
(al-istitsnā’), baik kedua ukurannya, dan dibayar secara
hukum itu dibedakan secara tunai. Jika jenisnya berbeda
jelas, atau hanya satu hukum antara satu dengan yang
saja yang disebutkan dengan lainnya, maka lakukanlah
jelas. Contoh, pembedaan dua transaksi sesuai dengan
hukum yang keduanya disebutkan kesepakatan kamu, sekiranya
dengan jelas, dengan sifat dilakukan secara tunai”.36
tertentu, Rasulullah Saw. Dalam hadis ini dibedakan
bersabda: berlaku tidaknya apa yang
Artinya: “Bahwa saham orang disebut dengan riba faḍl,
yang berkuda dalam harta karena adanya kesamaan atau
rampasan perang (al-fai’) perbedaan beberapa jenis
adalah dua saham, sedangkan barang. Hal ini memberikan
yang berjalan kaki adalah satu indikasi bahwa ‘illah untuk
saham”.35 adanya riba faḍl adalah
Hadis ini menunjukkan kesamaan jenis barangnya.
bahwa pembedaan dalam Contoh, pembedaan dua
pembagian harta rampasan hukum oleh adanya batas
perang, dua saham bagi yang waktu, seperti terlihat dalam
berkuda, dan satu saham bagi Q.S. al-Baqarah (2), ayat 222:
yang berjalan kaki merupakan Artinya: “Mereka bertanya
‘illah bagi hukum tersebut. kepadamu tentang haidh.
Contoh, pembedaan dua Katakanlah “Haiḍ itu adalah
hukum dengan syarat, sekalipun kotoran”. Oleh sebab itu
35 hendaklah kamu menjauhkan diri
Abῡ ‘Abd Allah Muhammad ibn
Ismā’il ibn Ibrāhim ibn al-Mugirah ibn
36
Bardazabah al-Bukhāri, Ṣahih al-Bukhari Imām Muslim, Ṣahih Muslim, Juz ke 2,
(Bairut: Dār al-Fikr, 1981), Juz ke 2, h. 218. op.cit., h. 42.

14
dari wanita di waktu hai ḍ, dan pihak isteri, maka mantan suami
janganlah kamu mendekati tetap berkewajiban membayar
mereka, sebelum mereka setengah mahar yang telah
suci”. Ayat ini menunjukkan ditentukan. Dengan demikian,
bahwa larangan dan ‘illah-nya tetap mantan suami
dibolehkan mendekati wanita membayar kewajiban setengah
yang berhaidh dihubungkan mahar apabila tidak ada
dengan batas waktu tertentu, pengecualian, dan akan bebas
yaitu ketika wanita itu sudah dari kewajiban membayar
suci. Hal ini mengindikasikan mahar tersebut, sekiranya
bahwa hukum larangan mantan suami mendapatkan
mendekati wanita tersebut pengecualian, yakni kata ma’af
yang menjadi ‘illah-nya adalah dari mantan isteri. (4)
keadaan kotor. Mengiringkan hukum dengan
Contoh, pembedaan dua sifat memberi indikasi bahwa
hukum dengan pengecualian, sifat yang menyertai hukum
seperti firman Allah (Q.S. al- itu adalah ‘illah untuk hukum
Baqarah (2), ayat 237): yang diiringinya. Seperti, Q.S.
Artinya: “Jika kamu al-Maidah (5), ayat 89, Allah
menceraikan isteri-isterimu berfirman:
sebelum kamu bercampur dengan Artinya: “Allah tidak
mereka, padahal sesungguhnya menghukum kamu disebabkan
kamu sudah menentukan sumpah-sumpahmu yang tidak
maharnya, maka bayarlah dimaksud (untuk bersumpah),
seperdua dari mahar yang telah tetapi Dia menghukum kamu
kamu tentukan itu, kecuali jika disebabkan sumpah-sumpah yang
isteri-isterimu itu mema’afkan kamu sengaja”.
atau dima’afkan oleh orang Ayat ini menunjukkan
yang memegang ikatan nikah”. bahwa sumpah yang disengaja
Dimaksudkan dengan ayat atau tidak disengaja untuk
ini bahwa kewajiban membayar maksud bersumpah itu
setengah mahar itu dikecualikan merupakan sifat yang
dengan ma’af yang diberikan mengindikasikan dikenakan sanksi
oleh isteri. Artinya, jika pihak hukum atau tidak. Jadi, ‘illah-
isteri memberikan ma’af, tidak nya adalah bersumpah yang
berkewajiban membayar setengah dilakukan dengan sengaja.
mahar tersebut. Tetapi, jika (5) Mengiringkan hukum
tidak ada pemberian ma’af dari dengan sifat yang

15
mengindikasikan bahwa sifat kandung seayah-seibu (al-
yang menyertai hukum itu abawain) itu lebih utama
adalah ‘illah larangan melakukan didahulukan daripada saudara
perbuatan yang dapat seayah lain ibu, dalam persoalan
menghalangi perbuatan wajib. kewarisan, karena kedekatan
Seperti, Q.S. al-Jumu’ah (62), pertalian darah dan
ayat 9, Allah berfirman: persaudaraan dibandingkan
Artinya: “Hai orang-orang dengan saudara kandung
yang beriman, apabila diseru seayah lain ibu, dan inilah yang
untuk menunaikan sembahyang menjadi ‘illah yang
pada hari Jum’at, maka berimplikasi langsung dalam
bersegeralah kamu kepada persoalan kewarisan. Demikian
mengingat Allah, dan ini di kalangan mayoritas
tinggalkanlah jual beli”. Ayat ulama terjadi konsensus.
ini menunjukkan bahwa dilarang Demikian juga dalam persoalan
melakukan transaksi ketika perwalian nikah (wilāyah an-
diseru untuk segera mengingat nikāh), saudara laki-laki
Allah adalah merupakan hukum, seayah-seibu (al-abawain) harus
maka yang menjadi ‘illah-nya didahulukan menjadi wali nikah
adalah transaksi yang dapat daripada saudara laki-laki
melalaikan mengerjakan seayah-lain ibu ketika ayah
37
kewajiban Jum’at. kandungnya telah meninggal
Kedua, melalui ijmā’. Ijmā’ dunia. Bahkan selain daripada
sebagai salah satu masālik itu, dalam persoalan
al-‘illah dapat menjelaskan ‘illah menṣalatkan jenazah,
yang mempunyai implikasi pemeliharaan anak (al-
dalam penetapan hukum. Al- haḍānah), testament (al-
Gazāli menyatakan bahwa ‘illah waṣiyyah), dan wakaf (al-
dapat ditetapkan dengan ijma’ waqf).39
dengan melihat sifat dan Penetapan ‘illah dengan
keadaan yang memupunyai ijmā’, apabila dikritisi di
implikasi pada penetapan kalangan uṣῡliyyin baik dari segi
38
hukum. Ia memberikan penempatan posisi maupun
contoh sebagai manifestasi dari dari segi implikasi status
ijmā’, bahwa saudara laki-laki hukumnya terjadi perbedaan
37
Lihat, ar-Razi, al-Mahshul, Juz ke 5,
op.cit., h. 143-155. Al-Kafi as-Subki, al-Ibhaj 39
Ibid., h. 433-434. Al-Kafi as-Subki, al-
fi Syarh al-Manhaj, Juz ke 3, op.cit, h. 44-54. Ibhāj fi Syarh al-Minhāj, Juz ke 3, op.cit., h.
38
Al-Ghazali, al-Mustasfa, op.cit., h. 433. 53-54.

16
pendapat. Ibn as-Subki (w. 771 al-‘illah tidak memasukkan
H) menempatkan al-jmā’ pada ijmā’ sebagai salah satu
posisi pertama dalam konteks penemuan dan penetapan
44
masālik al-‘illah, karena ‘illah.
menurutnya, ijmā’ itu bersifat Ketiga, melalui al-istinbāṭ
qaṭ’i dan naṣ yang berupa hadis dan al-istidlāl. Cara ini
Ahad bersifat żanni. Jika menurut al-Gazāli ditempuh
keduanya terjadi kontradiksi, dengan as-sabr wa at-taqsim
maka harus didahulukan ijmā’.40 dan al-munāsabah.
Pandangan ‘Ali as-Sabki ini Dimaksudkan dengan as-sabr
dikuatkan oleh Ahmad Hasan wa at-taqsim yaitu
bahwa mayoritas ulama usul memferifikasi sifat-sifat ‘illah
fikih mengatakan ‘illah yang dan kemudian memilih dan
didasarkan pada ijmā’ adalah menetapkan satu sifat yang
qaṭ’i, tetapi sebagian ulama uṣῡl pas untuk menjadi ‘illah bagi
al-fiqh yang lain menyatakan aṣl. Sedangkan yang dimaksud
żanni,41 di antaranya asy- dengan al-munāsabah yaitu
Syaukāni yang mengatakan mencari ‘illah yang relevan
bahwa al-ijmā’ dalam konteks ketika dihubungkan dengan
masālik al-‘illah tidak konteks istinbāṭ al-ahkām.45
42
disyaratkan qaṭ’i. Sedangkan Tetapi, as-Subki (w. 771 H)
jumhῡr al-uṣῡliyyin pada menegaskan bahwa yang
umumnya menempatkan naṣ pada dimaksudkan dengan al-
posisi pertama, di antaranya al- munāsib, atau term lain al-
Baiḍ āwi (w. 772 H), karena munāsabah,46 yaitu sesuatu
menurutnya, naṣ merupakan aṣl yang pantas atau relevan
(pokok) tempat sandaran bagi menurut tradisi dengan
ijmā’.43 Bahkan al-Qarāfi (w. perbuatan orang-orang yang
684 H), dalam konteks masālik berakal.47 Atau ibarat dari
suatu sifat yang jelas dan
40
Ibn as-Subki, Matan Jam’ al-Jawāmi’,
Jld. ke 2, op.cit., h. 262 dan 289. 44
Al-Qarāfi, Syarh Tanqih al-Fuṣῡl,
41
Ahmad Hasan, Analogical Reasoning in op.cit., h. 302.
Islamic yurisprudence (Islamabad-Pakistan: 45
Al-Gazāli, op.cit., h. 435.
Institute Research Press, 1986), h. 235. 46
Di kalangan para ahli uṣῡl al-fiqh, term
42
Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-munāsabah sering disebut juga dengan al-
asy-Syaukāni, Irsyād al-Fuhῡl ilā Tahqiq al- munāsib (kesesuaian, relevansi), al-ikhālah
Haq min ‘Ilm al-Uṣῡl (Mesir: Idārah aṭ- (diduga bahwa suatu sifat itu merupakan
Ṭibā’ah al-Muniriyyah, t.t.), h. 184. (‘illah) hukum), al-maṣlahah (kemaslahatan),
43
Al-Qāḍi al-Baiḍāwi, Syarh al-Badakhsyi ri’āyah al-maqāṣid (pemeliharaan tujuan-
wa Syarh al-Asnawi (Mesir: Maṭba’ah Muhammad tujuan syara’), dan takhrij al-manāṭ (cara
‘Ali Ṣabih wa Aulāduh, t.t.), Juz ke 3, h. 105. mengoleksi ‘illah hukum).

17
terukur, yang dari penetapan munasib dilihat dari segi
hukum atas dasar sifat itu tingkat pencapaian hukum
akan tercapai apa yang dibedakan pada empat macam
menjadi tujuan ditetapkannya tingkatan,49 yaitu: (a)
hukum tersebut.48 Dari definisi Tercapainya tujuan hukum
secara terminologis ini terlihat secara meyakinkan, dalam
bahwa al-munasib (kesesuaian, arti, apabila hukum itu
relevansi) dikaitkan dengan berlaku, maka apa yang dituju
pencapaian tujuan dari suatu dengan penetapan hukum itu
hukum, yaitu mendatangkan pasti tercapai (al-qaṭ’i). Seperti
kemaslahatan untuk umat hukum jualbeli dengan tujuan
manusia dan menolak kemafsadatan. perpindahan kepemilikan. Apa
Inilah yang disebut dengan yang dituju dari hukum jualbeli
maqashid asy-syari’ah. pasti tercapai, karena
Tercapainya tujuan penetapan bagaimanapun caranya, yang
hukum (maqāṣid asy-syari’ah) disebut dengan jualbeli
sudah barang pasti dapat substansinya adalah
diterima oleh akal yang sehat perpindahan kepemilikan
sebagai konsekuensi penetapan barang dari penjual kepada
hukum tersebut. pembeli. (b) Tercapainya tujuan
Di kalangan para ahli uṣῡl al- penetapan hukum tidak secara
fiqh, mereka melihat al- pasti (ẓanni). Tidak tercapai
munasabah dibedakan dari segi sampai ke tingkat qaṭ’i, karena
tingkat pencapaian tujuan memang ada yang tidak
(yahṣulu al-maqṣῡd min syar’i mencapai tujuan, meskipun
al-hukm), segi penetapan pada umumnya mencapai tujuan.
hukum oleh asy-Syari’ (min Seperti, penetapan hukuman
haiṡu syara’a al-hukm), dan qiṣāṣ dengan tujuan untuk
dari segi diperhitungkannya menjerakan orang agar tidak
oleh asy-Syari’ (min haiṡu melakukan perbuatan
i’tibārah). Ibn as-Subki (w. pembunuhan, sehingga
771 H) mengemukakan al- kehidupan manusia terjamin.
Dalam realitas kehidupan umat
47
‘Ibn as-Subki, Matan Jam’ al-Jawāmi’,
op.cit., h. 274.
manusia, mayoritas mereka tidak
48
Saif ad-Din Abi al-Hasan ‘Ali bin Abi melakukan pembunuhan, karena
‘Ali Muhammad al-Ᾱmidi, al-Ihkām fi Uṣῡl sudah ada penetapan hukum
al-Ahkām (Bairut: Dār al-Fikr, 1416 H/1996
M), Jld. Ke 2, Juz ke 3, h. 102. Al-Kāfi as-
49
Subki, al-Ibhāj fi Syarh al-Minhāj, Juz ke 3, Ibn as-Subki, Matan Jam’ al-Jawāmi’,
h. 54. Jld. ke 2, op.cit., h. 276-277.

18
qiṣāṣ. Tetapi, dalam jumlah perkawinan adalah untuk
minoritas masih ada yang mendapatkan keturunan, tetapi,
melakukan tindak pidana jika perempuan yang dinikahinya
pembunuhan. Oleh karena itu yang sudah mandul (tidak
demikian, pencapaian tujuan menstruasi lagi), maka didyga kuat
hukum hanyalah dalam bentuk kecil kemungkinan akan
ẓanni. (c) Tercapainya tujuan mendapatkan keturunan.
penetapan hukum Al-munāsabah, dilihat dari
kemungkinannya sama dengan segi penetapan hukum oleh
tidak tercapainya. Seperti asy-Syari’, Ibn as-Subki (w. 771
penetapan sanksi bagi peminum H) membaginya kepada tiga
minuman keras (al-khamr) agar tingkatan,50 sebagai berikut: (1)
mereka jera melakukannya. Dalam Aḍ-Ḍarῡri (primer), yaitu
realitas kehidupan umat manusia sesuatu yang sangat dibutuhkan
ternyata yang menjauhi keberadaannya sampai pada
dengan meninggalkan minuman batas ḍarῡri, karena
keras hanya sebagian, dan kehidupan manusia secara
sebagian yang lain masih tetap normal tidak akan tegak atau
meminum minuman keras. Hal ini tidak terpenuhi tanpa
diduga kuat masih sama-sama keberadaannya. Bahkan dapat
jumlahnya. (d) Tercapainya tujuan merusak dan memusnahkan
penetapan hukum dalam kehidupan, dan di akhirat kelak
kemungkinan yang lebih kecil, akan kehilangan kebahagiaan dan
dalam arti, tidak tercapainya keselamatan, sehingga menjadi
tujuan penetapan hukum lebih kerugian yang nyata. Kategori
besar ketimbang kemungkinan ḍarῡri yang harus ditegakkan
tercapainya. Seperti, penetapan dan dijauhkan dari segala hal
hukum perkawinan dengan yang merusaknya ada lima
tujuan untuk memperoleh aspek, yang dikenal dengan aḍ-
keturunan, hal ini apabila ḍarῡriyyah al-khamsah, atau
dihubungkan dengan perkawinan sebutan lain al-maqāṣid al-
dengan seorang perempuan kulliyyah al-khamsah, yaitu:
yang sudah tidak menstruasi Memelihara agama (hifẓ ad-
lagi, maka besar kemungkinan din), untuk itu ditetapkan
sulit untuk mendapatkan hukuman mati terhadap orang
keturunan. Secara teoritis- murtad, dan diperangi orang-
normatif diyakini bahwa salah orang kafir; Memelihara jiwa (hifẓ
satu hikmah dan tujuan 50
Ibid., h. 280-281.

19
an-nafs), untuk itu ditetapkan mendapatkan harta, menuntut
hukum qiṣāṣ terhadap orang ilmu di samping untuk
yang melakukan tindak pidana memelihara agama, juga untuk
pembunuhan; Memelihara akal memelihara akal manusia,
(hifẓ al-‘aql), untuk itu ditetapkan jualbeli secara
ditetapkan hukum dera khiyār untuk memberikan
terhadap peminum khamr; pilihan kepada pihak pembeli
Memelihara keturunan (hifẓ an- sehingga akad itu terwujud
nasl), untuk itu ditetapkan dengan “’an tarāḍin” antara
hukum dera atau rajam muta’aqqidain. Begitu pula
terhadap pelaku zina; pada aspek-aspek yang
Memelihara harta benda (hifẓ lainnya. (3) Tahsini (tersier),
al-māl), untuk itu ditetapkan yaitu sesuatu yang sebaiknya
hukuman potong tangan dilakukan. Ia merupakan hal-
terhadap pencuri; Ibn as-Subki hal yang tidak mewujudkan
menambahkan yang keenam, ḍarῡriyyah al-khamsah, juga
yaitu memelihara kehormatan tidak diperlukan untuk
(hifẓ al-‘irḍ), untuk itu kesempurnaan (mukammalah)
ditetapkan hukuman qażaf aspek sekunder (al-hāji),
terhadap orang yang menuduh tetapi ia lebih baik dilakukan.
orang lain tanpa bukti akurat. Tahsini juga terkait dengan
Penambahan ini sebagaimana aḍ-ḍarῡriyyah al-khamsah
dilakukan Najm ad-Din aṭ-Ṭ ῡfi, sebagaimana al-hāji, tetapi
yang beralasan bahwa al-waw tidak secara langsung, baik
li al-‘aṭaf kepada susunan yang berkaitan dengan aspek
kata/kalimat sebelumnya. (2) ibadah, ‘ādah (mu’āmalah)
Hāji (sekunder), yaitu sesuatu yang maupun aspek jināyah.
diperlukan adanya, tetapi tidak Al-munāsabah dilihat dari
sampai ke tingkat ḍarῡri. Hāji segi diperhitungkan
ini juga terkait dengan aḍ- keberadaan ‘illah oleh asy-
ḍarῡriyyah, tetapi tidak Syāri’. Pembahasan hal ini
secara langsung. Sekiranya pada prinsipnya sama dengan
tuntutan-tuntutan itu tidak pembahasan apakah ada
terpenuhi, tidak sampai ke relevansi hubungan antara
tingkat fatal hanya saja hukum dengan ‘illah yang telah
berakibat dapat menyusahkan dikemukakan oleh Abῡ Zahrah
dan merepotkannya. Seperti dan Khallāf di atas. Zahrah
ditetapkan akad jualbeli untuk menetapkan ada tiga macam

20
(al-munāsib al-mu’aṡṡir, al- relevansinya pada jenis
munāsib al-mulā’im, dan al- penetapan hukum. Al-Gazāli
munāsib al-mursal), dan Khallāf menyatakan bahwa munāsib al-
menetapkan empat macam (al- mulā’im yaitu sifat ‘illah yang
munāsib al-mu’aṡṡir, almunāsib tidak terlihat dengan jelas
al-mulā’im, al-munāsib al- implikasinya pada penetapan
mursal, dan al-munāsib al- hukum, tetapi tampak
mulgā). Dalam konteks ini al-Gazāli relevansi padanannya pada
membedakan kepada tiga macam jenis hukumnya. Seperti,
munāsib, sebagai berikut: tidak wajib bagi perempuan
1. Al-munāsib al-mu’aṡṡir, yaitu yang sedang menstruasi
sifat yang mempunyai mengkada ṣalat, kecuali puasa,
implikasi langsung terhadap karena meng-qaḍā’ ṣalat akan
penetapan hukum. Seperti menimbulkan kesulitan
dalam Q.S. al-Māidah (5), (masyaqqah) dengan berapa
ayat 38, Allah berfirman: banyak ṣalat yang
Artinya: “Laki-laki yang ditinggalkan selama
mencuri dan perempuan yang menstruasi. Untuk itu,
mencuri, potonglah tangan masyaqqah yang ditimbulkan
keduanya (sebagai) pembalasan dari meng- qa ḍā’ ṣalat ini
bagi apa yang mereka kerjakan terlihat implikasinya pada
dan sebagai siksaan dari Allah. jenis hukum, bukan pada
Dan Allah Maha Perkasa lagi penetapannya.51 Contoh ini
Maha Bijaksana”. sama halnya dengan orang
Ayat ini menunjukkan bahwa yang dalam perjalanan
perbuatan mencuri bepergian (safar), yang
dihubungkan dengan hukum merupakan ‘illah untuk meringkas
potong tangan, karena (qaṣr) dan mengumpulkan
perbuatan itu mempunyai (jama’) ṣalat, karena adanya
implikasi langsung terhadap masyaqqah dalam safar itu.52
penetapan hukum potong tangan Oleh karena demikian, bagi
bagi pelakunya (laki-laki atau perempuan yang sedang
perempuan). Jadi perbuatan menstruasi dan orang yang
mencuri merupakan ‘illah dalam safar terdapat jenis
yang mendasari penetapan sifat yang sama, yaitu
hukum potongan tersebut. masyaqqah. Untuk itu,
2. Al-munāsib al-mulā’im, yaitu
51
sifat yang terlihat Al-Gazāli, al-Mustaṣfā, op.cit., h. 436.
52
Al-Bājiqani, al-Madkhāl, op.cit., h. 117.

21
terdapat dispensasi dari Allah semacamnya. Ragam macam
untuk meninggalkan ṣalat, minuman ini walau belum
tanpa meng-qaḍā’, dan jelas memabukkan, tetapi
dispensasi men-jama’-qaṣr terdapat relevansinya, bahwa
ṣalat bagi musafir. Demikian setiap yang memabukkan
ini posisinya adalah sama adalah haram diminum, sedikit
yaitu berada pada satu jenis atau banyak.53
sifat. Dari contoh ini dapat Keempat, melalui ad-dauran,
dimengerti bahwa yang yaitu suatu keadaan (‘ibārah) di
menjadi titik tekannya mana adanya hukum ketika
adalah keserasian (al- bertemu sifat, dan tidak
mulā’im) sebagai sesuatu terdapat hukum ketika sifat
sifat ‘illah yang implikasinya tidak ditemukan.54 Hal ini
terlihat pada jenis hukum lain menunjukkan bahwa penetapan
yang antara keduanya hukum tidak terlepas dari
mempunyai hubungan yang adanya ‘illah yang menyertai,
serasi. atau melatarbelakanginya.
3. Al-munāsib al-garib, yaitu Penetapan ad-dauran sebagai
suatu sifat ‘illah yang tidak salah satu cara untuk
diketahui dengan jelas menemukan dan penetapkan
implikasinya, dan relevansinya ‘illah hukum, terdapat
pada jenis penetapan hukum, perbedaan pendapat di
tetapi dapat diduga kuat kalangan para ahli usul fikih.
adanya relevansi antara Ibn as-Subki (w. 771 H)
implikasi dan relevasi pada mengatakan bahwa pendapat
jenis penetapan hukum. terkuat dari para ahli usul,
Seperti, al-Gazāli mencontohkan mereka yang mengatakan
tentang meminum minuman bahwa ad-dauran bisa
keras (al-khamr) itu dijadikan salah satu cara
diharamkan, karena terdapat menemukan ‘illah, tetapi
sifat ‘illah, yaitu kedudukannya hanya berkualitas
memabukkan ( as-sakr ). Di ẓanni, tidak qaṭ’i. Sedangkan
sisi lain dalam realitas sebagian ahli usul fikih yang lain
kehidupan masyarakat mengatakan bahwa ad-dauran
terdapat beragam macam dapat digunakan sebagai salah
minuman keras, seperti 53
Al-Gazāli, al-Mustaṣfā, op.cit., h. 436.
wiski, brendi, bir bintang, Al-Bājiqāni, al-Madkhāl, op.cit., h. 116-117.
54
bir hitam, dan yang Al-Qarāfi, Syarh Tanqih al-Fushul,
op.cit., h. 307.

22
satu cara menemukan ‘illah disebutkan. Dalam hadis
hukum, karena kedudukannya tersebut tidak disebutkan
dalam berkualitas qaṭ’i, tidak ‘illah-nya secara langsung
ẓanni.55 Sebagai contoh, Ibn ataupun tidak langsung.
as-Subki mengemukakan Sebab, gandum sebagai salah
tentang bau minuman keras satu jenis makanan dari enam
tertentu. Bau itu senantiasa macam benda dimaksud,
semerbak ketika ada minuman, terkadang disebut sebagai
dan bau itu akan menghilang makanan pokok, dan makanan
ketika minuman keras itu biasa. Jika gandum dianggap
telah berubah menjadi cuka. sebagai makanan biasa
Kelima, melalui as-sabr wa tentulah tidak tepat, karena
at-taqsim, yaitu meneliti riba faḍl bisa terjadi pada
kemungkinan sifat-sifat yang garam yang bukan makanan
terdapat pada aṣl, kemudian pokok. Jika gandung dianggap
(mujtahid) meneliti dan makanan pokok, juga tidak
menyingkirkan sifat-sifat yang cocok, karena riba faḍl
tidak pantas menjadi ‘illah, terjadi pada emas dan perak
maka sifat yang dipandang yang bukan makanan pokok.
paling tepat itulah yang Dari penelitian dan
menjadi ‘illah untuk hukum penyeleksian semua sifat
aṣl.56 Seperti hukum riba faḍl seperti ini, mesti ada satu
yang terdapat dalam sebuah sifat yang dipandang paling
hadis Rasulullah Saw. yang layak dan tepat menjadi ‘illah
diriwayatkan oleh Imām Muslim hukum pada enam macam
dari ‘Ubādah bin aṣ-Ṣāmit benda tersebut, yaitu takeran
tentang barter pada enam (al-kail), atau timbangan (al-
macam benda yang sama mizān). Dengan demikian,
jenisnya (aż-żahabu bi aż- barter pada enam macam
żahab ... dan seterusnya) benda yang kail-nya tidak
sebagaimana telah disebutkan sama, berarti inilah yang
di atas pada bentuk al-imā’ mengakibatkan terjadi riba
yang terjadi pembedaan dua faḍl.57
hukum dengan syarat, sekalipun Keenam, melalui asy-
hanya satu hukum yang syabah, yaitu mencari hubungan
keserupaan diantara dua hukum
55
Ibn as-Subki, Matan Jam’ al-Jawami’,
Jld. ke 2, op.cit., h. 288-289. 57
Lihat, Khallāf, Maṣādir at-Tasyri’,
56
Ibid., h. 270. op.cit., h. 64.

23
aṣl yang berbeda, di amana satu ketimbang sebagai sesuatu
dengan yang lainnya yang dapat dimiliki. Artinya,
mempunyai kesamaan dalam jika ia melakukan tindak
hal tujuannya. Al-Qāḍ i Abῡ pidana dan kesamaannya
Bakar menyebutnya dengan sifat dengan orang merdeka lebih
itu adakalanya menjadi relevan dominan, maka tindakan hukum
(munāsib) dengan sendirinya yang dilakukannya harus
bagi hukum bila mengikuti yang dipertanggungjawabkan, sama
lainnya, dan adakalanya sifat sebagaimana orang merdeka.
itu tidak relevan (la yunāsib) (b) Qiyās aṣ-ṣῡri (kiyas semu),
dengan sendirinya bila tidak yaitu mengkiyaskan sesuatu
mengikuti yang lainnya.58 Di kepada yang lain semata-mata
kalangan para ahli usul fikih, karena ada kesamaan
asy-syabah itu ada dua bentuknya. Seperti
bentuk, yaitu: (a) Melakukan menyamakan kuda (al-khail)
qiyās asy-syabah yang lebih dengan keledai (al-bigāl)
dominan dalam hukum dan sifat dalam hubungannya dengan
(qiyās galabah al-isytibāh fi masalah zakat, sehingga,
al-hukm wa aṣ-ṣifah), yaitu apabila keledai tidak wajib
menghubungkan furῡ’ yang dikenakan zakat, maka kuda
mempunyai kesamaan dengan pun tidak wajib dikenakan
dua ashl, tetapi kesamaan zakat.59
dengan salah satunya lebih Di kalangan para ahli uṣῡl al-
dominan dibandingkan degan fiqh terjadi perbedaan
yang satu lainnya. Seperti, pendapat tentang menjadikan
menyamakan hamba sahaya asy-syabah sebagai salah satu
dengan harta, karena statusnya masālik al-‘illah. Ibn as-Subki
yang bisa dimiliki, atau (w. 771 H) menempatkannya di
menyamakan hamba sahaya tengah-tengah antara al-
dengan orang merdeka munāsib dan aṭ-ṭard, sehingga
disebabkan keduanya adalah tidak mempunyai relevansi
manusia. Dalam hal ganti rugi dengan sendirinya (gair
disebabkan tindakan hukum munāsib bi aż-żāt). Ia
yang dilakukannya, sifat ditempatkan sebagai aṭ-ṭard
kesamaannya dengan orang dan menyamakannya dengan al-
merdeka lebih dominan munāsib bi aż-żāt, sehingga

58
Ar-Razi, al-Mahṣῡl, Juz ke 5, op.cit., h. 59
Ibn as-Subki, Matan Jam’ al-Jawāmi’,
201. Jld. ke 2, op.cit., h. 287-288.

24
mempunyai relevan dengan salah satu masālik al-‘illah.
sendirinya. Di sisi lain, dalam Sebagian uṣῡliyyin berpendapat
konteks ini, syara’ secara bahwa aṭ-ṭard dapat dijadikan
universal dapat menerimanya. sebagai salah satu masālik
Oleh karena itu, asy-Syāfi’i al-‘illah , dan menjadi hujjah
(w. 204 H) berpendapat asy- secara mutlak, demikian
syabah dapat menjadi hujjah menurut ar-Rāzi (w. 606 H),
karena kesamaannya dengan dan al-Baiḍ āwi (w. 772 H), dan
al-munāsib. Sementara Abῡ diikuti oleh sebagian ahli uṣῡl
Bakar aṣ-Ṣ airafi dan Abῡ Ishāq al-fiqh muta’akhkhirin dari
asy-Syairazi (w. 476 H) kalangan Hanafi, seperti Abῡ
menolak asy-syabah sebagai aṭ-Ṭ ayyib aṭ-Ṭ abari. Sedangkan
hujjah, karena sama dengan sebagian uṣῡliyyin yang lain
aṭ-ṭard.60 berpendapat bahwa aṭ-ṭard
Ketujuh, aṭ-ṭard, yaitu tidak bisa dijadikan sebagai
‘ibārah tentang penyertaan salah satu masālik al-‘illah, dan
hukum dengan semua bentuk karenanya tidak bisa dijadikan
sifat tanpa ada relevansi hujjah secara mutlak,
(munāsabah) dan titik temu demikian menurut al-Juwaini
(mustalzam) antara keduanya.61 (w. 478 H), al-Gazāli (w. 505
Seperti perkataan sebagian H), az-Zarkasyi (w. 793 H),
orang “hukumlah orang yang Ibn al-Hājib (w. 646 H), dan
cacat fisik itu”. Dalam contoh al-Ᾱmidi (w. 631 H).62 Dari
ini perintah menghukum tidak dua pendapat ini, pendapat
ada relevansinya dengan sifat yang pertama dipandang
orang yang dihukum, yaitu sebagai pendapat yang tidak
cacat fisik. Jadi perintah kuat (al-mażhab ḍa’ifun
menghukum disertai dengan jiddan), sedangkan pendapat
penjelasan sifatnya, jelas tidak yang kedua dipandang lebih
ada relevansi dan kuat, karena cara ini tidak
keterkaitannya. menunjukkan ‘illah, baik dalam
Para ulama uṣῡl al-fiqh bentuk ẓanni maupun qaṭ’i.
terjadi perbedaan pendapat Kedelapan, melalui al-
menjadikan aṭ-ṭard sebagai mu’aṡṡir, yaitu sifat ‘illah yang
langsung mempunyai implikasi
60
Ibid., h. 286-287. Al-Kāfi as-Subki, al-
pada jenis hukum pada pokok,
Ibhāj, Juz ke 3, op.cit., h. 68.
61
Al-Qarāfi, Syarh Tanqih al-Fuṣῡl,
62
op.cit., h. 309. Ar-Rāzi, al-Mahṣῡl, Juz ke 5, ‘Adil asy-Syuwaikh, Ta’lil al-Ahkām,
op.cit., h. 221. op.cit., h. 211.

25
bukan pada sifat yang lain. melainkan mempunyai hubungan
Seperti status seorang anak yang saling keterkaitan,
yang belum dewasa (al-bulῡg) berbeda halnya dengan ‘illah
itu berimplikasi pada yang mulgā.64 Dan
pengangkatan perwalian menurutnya, bahwa al-mu’aṡṡir
(kurator) dalam masalah harta ini dapat dijadikan sebagai
benda. Hal ini juga berimplikasi salah satu masālik al-‘illah.
pada pengangkatan kurator Kesembilan, melalui tanqih
dalam masalah pernikahan bagi al-manāṭ, yaitu memilih dan
seorang anak perempuan yang mengambil salah satu dari
belum dewasa.63 Ungkap ar- sifat-sifat yang ditunjukkan
Rāzi selanjutnya dengan oleh naṣ dan membuang yang
memberikan contoh tentang lainnya, sehingga sifat yang
saudara laki-laki kandung terpilih dijadikan sebagai ‘illah
(seayah dan seibu) dalam hal penetapan hukum.65 Seperti,
warisan (al-mirāṡ). Ia harus kasus seorang berkebangsaan
lebih didahulukan untuk Arab bersetubuh dengan
mendapatkan harta waris dari isterinya di siang hari bulan
si mayit (al-maurῡṡ) dari ramaḍ ān. Berdasarkan hadis
saudara seayah lain ibu, Nabi,66 orang Arab itu
karena pertalian darah dan diwajibkan memerdekakan
persaudaraan yang hamba sahaya sebagai sanksi
berimplikasi langsung dalam hal
waris. Demikian juga dalam 64
Ibid., h. 200.
65
Ibn as-Subki, Matan Jam’ al-Jawāmi’,
wilayah an-nikāh, saudara Jld. ke 2, op.cit., h. 292.
kandung (seayah dan seibu) 66
Yakni, hadis yang diriwayatkan oleh
lebih didahulukan menjadi wali tujuh perawi hadis dari Abi Hurairah r.a. ia
berkata: Seseorang bernama Salmah bin
nikah dari saudara kandung Shakhkhar bin Salman ibn aṣ-Ṣamah al-
seayah lain ibu. Anṣāri al-Khazraji al-Bayāḍi datang kepada
Nabi Saw. kemudian ia berkata: Aku rusak ya
Ar-Rāzi juga menyebutkan Rasulullah, lalu beliau bertanya: Apa yang
bahwa penjelasan al-mu’aṡṡir engkau lakukan.? Salmah bin Sakhkhar itu
menjawab: Saya bersetubuh dengan isteri di
sebagai salah satu masālik siang hari bulan ramaḍān. Kemudian
al-‘illah ini tidak jauh berbeda Rasulullah bersabda: Singkatnya dengan
memberikan alternatif sanksi secara
dengan penjelasan al- kronologis, yaitu memerdekakan hamba
munāsabah. Ia menyatakan, sahaya, berpuasa dua bulan secara berturut-
tidak ada beda antara pokok turut, dan memberi mkan orang miskin
sebanyak 60 orang.... Lihat, al-Imām
(al-aṣl) dan cabang (al-far’) Muhammad bin Ismā’il al-Kahlāni as-
Ṣan’āni, Subul as-Salām (Bandung-
63
Ar-Rāzi, al-Mahṣῡl, op.cit., h. 199. Indonesia: Dahlan, t.t.), Juz ke 2, h. 163.

26
dari perbuatan yang demikian ini sesungguhnya
dilakukannya. Dari kasus ini adalah pandangan ulama
muncul masalah, yaitu apa yang mażhab Syāfi’i. Sedangkan
menjadi ‘illah penetapan sanksi menurut pandangan Abῡ
bagi pelaku tersebut. Ada Hanifah (w. 150 H) dan Imām
beberapa kemungkinan, Mālik (w. 179 H), bahwa kasus
“seorang laki-laki dimaksud merupakan
berkebangsaan Arab yang kekhususan dalam bentuk
bersetubuh”, dan “bersetubuh bersetubuh di bulan ramaḍ ān,
dengan isterinya di siang hari dan yang perlu diperhatikan
bulan ramaḍ ān”. Kemungkinan karena adanya sifat kesengajaan
yang pertama, tidak bisa membatalkan puasa.
dijadikan ‘illah hukum karena Membatalkan puasa dengan
sanksi hukum tidak bisa sengaja dengan cara apapun
berlaku hanya untuk orang mengharuskan adanya kafārat.68
Arab saja, tetapi berlaku bagi
semua orang yang sudah C. Kesimpulan
dewasa (mukallaf), tanpa Berdasarkan uraian
membedakan ras dan pembahasan prosedur masālik
kebangsaan. Sedangkan al-‘illah tersebut di atas, maka
kemungkinan yang kedua yang pada penutup ini dapat diambil
tampak lebih logik dan rasional beberapa kesimpulan sebagai
bisa dijadikan sebagai ‘illah berikut:
penetapan hukum, yaitu bersetubuh 1. Bahwa dalam konteks
dengan isterinya di siang hari istinbāṭ al-ahkām ternyata
bulan ramaḍ ān, sehingga Rasulullah eksistensi ‘illah menjadi kata
menetapkan sanksi hukumnya kunci dan sangat
dengan “memerdekakan hamba menentukan ada dan
sahaya”.67 Dari sini dapat tidaknya hukum (al-hukm
diketahui bahwa sifat yadῡru ma’a ‘illatih wujῡdān
bersetubuh di siang hari bulan wa ‘adamān).
ramaḍ ān inilah yang menjadi 2. ‘Illah dalam pemikiran
‘illah untuk keharusan hukum al-Gazāli adalah
memerdekakan hamba sebagai pautan hukum
sahaya. Penegasan yang (manāṭ al-hukm) yang dapat
67
Al-Gazāli, al-Mustaṣfā, op.cit., h. 396.
Ibn as-Subki, Matan Jam’ al-Jawāmi’, Jld. ke
68
2, loc.cit. Zaky ad-Din Sya’bān, Uṣῡl al-Fiqh Ibn as-Subki, Matan Jam’ al-Jawāmi’,
al-Islāmi, op.cit., h. 152. Jld. ke 2, loc.cit.

27
menentukan pensyari’atan disederhanakan seperti
dan dasar penetapan hukum. yang dilakukan oleh
3. Masālik al-‘illah dalam Muhammad Abῡ Zahrah,
konstruksi ulama uṣῡl al-fiqh ‘Abd al-Wahhāb Khallāf, dan
klasik dan kontemporer Muhammad al-Khuḍ ari Bik.
terdapat persamaan dan Dan konsep masālik
perbedaan. Persamaannya, al-‘illah al-Gazāli dalam
mereka sepakat bahwa konteks istinbāṭ al-ahkām
penetapan hukum itu mesti adalah melalui naṣ (al-Qur’an
didasarkan pada ‘illah, dan sunnah), ijmā’, istinbāṭ
sehingga dirumuskan sebuah dan istidlāl yang secara
norma hukum bahwa “hukum teknis dilakukan dengan
itu beredar (mengikuti) cara as-sabr wa at-taqsim
pada ada dan tidaknya ‘illah dan al-munāsabah, yang di
(al-hukm yadῡru ma’a al-‘illatih dalamnya mencakup tahqiq al-
wujῡdān wa ‘adamān). Sedangkan manāṭ, tanqih al-manāṭ, dan
perbedaannya, di kalangan takhrij al-manāṭ.
ulama uṣῡl al-fiqh klasik
jumlah masālik al-‘illah lebih D. Daftar Pustaka
banyak alternatifnya Abῡ Zahrah, Muhammad, Uṣῡl al-
dibandingkan dengan ulama uṣῡl Fiqh, Mesir: Dār al-Fikr
al-fiqh kontemporer. Demikian al-‘Arabi, 1377 H./1958
juga term yang ada dalam M.
masālik al-‘illah sangat
variatif. Sementara di Abῡ Zahrah, Muhammad,
kalangan ulama uṣῡl al-fiqh Muhāḍarāt fi Tārikh al-
kontemporer masālik Maẓāhib al-Fiqhiyyah,
al-‘illah dirumuskan lebih Mesir: Maṭba’ah al-
sederhana dan praktis. Madani, t.t.
3. Konsep masālik al-‘illah al-
Gazāli banyak Al-Baiḍ āwi, al-Qāḍ i, Syarh al-
dikembangkan oleh para Badakhsyi wa Syarh al-
mujtahid berikutnya, Asnawi, Mesir: Maṭba’ah
seperti ar-Rāzi (w. 606 H), Muhammad ‘Ali Ṣ abih wa
al-Qarāfi (w. 684 H), dan Aulāduh, t.t.
al-Baiḍ āwi (w. 772 H),
meskipun pada era Al-Bājiqani, Muhammad ‘Abd al-
kontempor direduksi dan Gani, al-Madkhal ilā Uṣῡl

28
al-Fiqh al-Māliki, Bairut: Al-Gazāli, Abῡ Hāmid, al-
Dār Lubnān li at-Ṭ ibā’ah Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣῡl,
wa an-Nasyr, 1387 Mesir: Syirkah at-Ṭ ibā’ah
H/1968 M. al-Fanniyyah al-
Muttahidah, 1391
Al-Bukhāri, Abῡ ‘Abd Allah H./1971 M.
Muhammad bin Ismā’il ibn
Ibrāhim ibn al-Mugirah Al-Khudari Bik, Muhammad, Uṣῡl
ibn Bardazabadah, Ṣahih al-Fiqh, Bairut: Dār al-
al-Bukhāri, Bairut: Dār al- Fikr, 1409 H./1988 M.
Fikr, Juz ke 2, 1981.
Anas, Mālik bin, al-Muwaṭṭa’,
Al-Ᾱmidi, Saif ad-Din Abi al- T.Tp: T.Pn, t.t.
Hasan ‘Ali bin Abi ‘Ali bin
Muhammad, al-Ihkām fi Al-Qarāfi, Syihāb ad-Din Abῡ
Uṣῡl al-Ahkām, Jld. Ke 2, al-‘Abbās Ahmad bin
Juz ke 3, Bairut: Dar al- Idris, Syarh Tanqih al-
Fikr, 1416 H./1996 M. Fuṣῡl fi Ikhtiṣār al-
Mahṣῡl fi al-Uṣῡl, Bairut:
Al-Birri, Zakaria, Maṣādir al- Dār al-Fikr, 1424
Ahkām al-Islāmiyyah, H./2004 M.
Mesir: Dār al-Ma’ārif,
1395 H./1975 M. Ar-Rāzi, Fakhr ad-Din
Muhammad bin Umar bin
Ali as-Sāyis, Muhammad, al-Husain, al-Mahṣῡl fi
Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihādi ‘Ilm al-Uṣῡl al-Fiqh, Juz
wa Aṭwāruh, Mesir: ke 5, Bairut: Mu’assasah
Majma’ Buhῡṡ al- ar-Risālah, t.t.
Islāmiyyah, 1389 H./1970
M. Aṣ-Ṣan’āni, al-Imām Muhammad
bin Ismā’il al-Kahlāni,
Ali as-Sāyis, Muhammad, Tārikh Subul as-Salām,
al-Fiqh al-Islāmi, Mesir: Bandung-Indonesia:
Maktabah wa Maṭba’ah Dahlan, Juz ke 2, t.t.
Muhammad ‘Ali Ṣabih wa
Aulāduh, t.t. As-Subki, ‘Ali bin ‘Abd al-Kafi,
al-Ibhāj fi Syarh al-
Minhāj ‘alā Manhaj al-

29
Wuṣῡl ilā ‘Ilm al-Uṣῡl li Jaya, Yahya, Spiritualisasi Islam
al-Qāḍi al-Baiḍāwi, dalam
Bairut: Dār al-Kutub Menumbuhkembangkan
al-‘Ilmiyyah, Juz ke Kepribadian dan
3,1404 H./1984 M. Kesehatan Mental,
Jakarta: CV Ruhama, Cet.
As-Subki, Imām Tāj ad-Din ‘Abd ke 1, 1994.
al-Wahhāb ibn, Matan
Jam’ al-Jawāmi’, Jld. Ke Khallāf, ‘Abd al-Wahhāb,
2, Indonesia: Dār Ihyā’ al- Masādir at-Tasyri’ al-
Kutub al-‘Arabiyyah, t.t. Islāmi Fimā lā Naṣṣa Fih,
Kuwait: Dār al-Qalām,
Asy-Syaukāni, Muhammad bin 1392 H/1972 M.
‘Ali bin Muhammad,
Irsyād al-Fuhῡl ilā Khallāf, ‘Abd al-Wahhāb, ‘Ilm Uṣῡl
Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Fiqh, Mesir: Dār al-
al-Uṣῡl, Mesir: Idārah Kuwaitiyyah, 1388 H/1968
at-Ṭ ibā’ah al-Muniriyyah, M.
t.t.
Muṣṭafā Salabi, Muhammad, Ta’lil
Asy-Syuwaikh, ‘Adil, Ta’lil al- al-Ahkām, Bairut: Dār an-
Ahkām fi asy-Syari’ah al- Nahḍ ah al-‘Arabiyyah,
Islāmiyyah, Tanata: Dār 1401 H./1981 M.
al-Basyir li as-Saqafah Muslim, Imām, Ṣahih Muslim,
wa al-‘Ulῡm, 1420 Bandung-Indonesia:
H./2000 M. Syirkah al-Ma’ārif li aṭ-
Ṭ ibā’ah wa an-Nasyr, Jus
Dunya, Sulaiman, al-Haqiqah fi ke 2, t.t.
Naẓar al-Gazāli, Mesir: Dār
al-Ma’ārif, Cet. ke 3, 1981. Muslihuddin, Muhammad,
Filsafat Hukum Islam
Hasan, Ahmad, Analogical dan Pemikiran Orientalis
Reasoning in Islamic Studi Perbandingan Sistem
Yurisprudence, Hukum Islam, Penerjemah
Islamabad-Pakistan: Yudian Wahyu Asmin,
Islamic Research Yogyakarta: PT Tiara
Institute Press, 1986. Wacana, 1997.

30
Nasution, Harun, Filsafat dan
Mitisisme dalam Islam,
Jakarta: Bulan Bintang,
Cet. ke 6, 1989.

Salabi, Ahmad, Mausῡ’ah at-


Tārikh al-Islāmi wa al-
Haḍarah al-Islāmiyyah,
Kairo: Maktabah an-
Nahḍ ah al-Biṣriyyah, Cet.
ke 6, 1978.

Tabanah, Badawi, Ihyā’ ‘Ulῡm ad-


Din, Kairo: Dār Ihyā’ al-
Kutub al-‘Arabiyyah, Juz
ke 1, 1964.

Zakaria al-Anṣāri, Abi Yahyā,


Gāyah al-Wuṣῡl Syarh
Lubbu al-Uṣῡl, Bandung-
Indonesia: Syirkah al-
Ma’ārif li at-Ṭ ab’ wa an-
Nasyr, t.t.

Zuhaili, Wahbah, Uṣῡl al-Fiqh al-


Islāmi, Bairut: Dār al-Fikr
al-Mu’āṣir, Juz ke 1, 1418
H./1998 M.

31

Anda mungkin juga menyukai