Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Dalam agama islam penetapan atau pengambilan hukum harus melalui pijakan – pijakan
ataupun alasan yang disebut sumber hukum. Di dalam kehidupan sehari – hari tidak
dipungkiri bahwa kita tidak akan bisa terlepas dari sebuah hukum dari berbagi aspek, seperti
aspek ekonomi, teknologi, social, dan lain sebagainya yang terus mengalami perkembangan
sesuai tuntutan zaman.
Pada zaman rasulullah SAW setiap ada permasalah – permasalah baru dapat langsung
ditanyakan kepada Nabi SAW. Oleh karena itu pada zaman sekarang dibutuhkan penetapan
hukum dalam masyarakat untuk menjawab setiap permasalahan yang dihadapi, berdasarkan
sumber dan dalil dalam fikih dan ushul fikih.

B. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah dalam pembahasan ini yaitu :


1. Bagaimana pengertian sumber dan dalil hukum islam ?
2. Bagaimana pembagian sumber dalil hukum islam ?

C. Adapun tujuan dari rumusan masalah tersebut yaitu :


1. Untuk mengetahui pengertian mengenai sumber dan dalil hukum islam
2. Untuk mengetahui penjelasan mengenai macam – macam dalil hukum
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN SUMBER DAN DALIL HUKUM

Dalam bahasa arab, yang dimaksud dengan “sumber” adalah mashdar ( ‫)مصدر‬, yaitu asal
dari segala sesuatu dan tempat merujuk segala sesuatu. Dalam ushul fikih kata mashadir al -
ahkam al – syar’iyyah ( ‫ )ماصدر االحكام الشرعية‬berarti rujukan utama dalam menetapkan hukum
islam, yaitu al-Qur’an dan sunnah.

Sedangkan “dalil” (dari bahasa arab : al – dalil / ‫الدليل‬, jamaknya : al – adillah ‫) االدلة‬, secara
etimologi berarti:

‫الها دي الى اي شيء حسي او معنوي‬

Petunjuk kepada sesuatu baik yang bersifat material maupun non material ( maknawi).

Secara terminology, dalil mengandung pengertian:

‫ما يتو صل بصحيح النظرفيه الى حكم شرعي عملى‬


Suatu petunjuk yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’
yang bersifat praktis, baik yang statusnya qath’I (pasti) maupun zhanni (relatif).1
Kata sumber dapat juga diartikan “suatu wadah yang padanya ditemukan dan ditimba
norma hukum”. Sedangkan kata dalil merupakan petunjuk yang membawa dalam menemukan
hukum tertentu.2

Dalil secara etimologis berarti sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada yang
dirasakan atau yang dipahami. Sedangkan secara terminologi ushul fiqih, dalil hukum adalah:

1
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1,( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997) .hlm 15
2
Abdul Halim Barkatullah, Hukum Islam, (Yogyakarta : PUSTAKA PELAJAR, 2006). Hlm 4
‫ة‬J‫ وادل‬.‫ الظن‬J‫او‬J‫بيل القطع‬JJ‫رعي عملي على س‬J‫ه على حكم ش‬J‫حيح في‬JJ‫النظر الص‬J‫ما يستدل ب‬
‫ الفاظ مترا دفة معناها وا حد‬،‫ والمصدر التشريعية لالحكام‬،‫االحكام‬.3

“ Dalil adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk yang dengan menggunakan
pemikiran yang benar untuk menetapkan hukum syara’ yang bersifat amali, baik secara
qath’I maupun dzanni. Dalil hukum, ushul al-ahkam, al-mashadir al-tasyri’iyah li al-
ahkam. Lafaz-lafaz tersebut mempunyai arti yang sama.”
Yang dimaksud dengan dalil hukum yaitu dalil-dalil syariah yang dapat
mengistinbathkan hukum syariah.
Dari pengertian yang telah dikemukakan diatas dapat dipahami bahwa pada dasarnya, yang
disebut dalil hukum adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha
menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat.4

B. PEMBAGIAN SUMBER DALIL HUKUM


Sumber atau dalil fikih yang disepakati, seperti dikemukakan ‘Abd. al-Majid Muhammad
al-Khafawi, ahli hukum islam berkebangsaan Mesir, ada 4 (empat), yaitu Al-Qur’an, sunnah
Rasulullah, Ijma’, dan qiyas. Mengenai keharusan berpegang kepada 4 sumber tersebut dapat
dipahami dari ayat 59 surah an-nisa’

‫ َز ۡعتُمۡ فِي‬Jَ‫ِإن تَ ٰن‬Jَ‫ ِر ِمن ُكمۡ ۖ ف‬Jۡ‫و َل َوُأ ْولِي ٱَأۡلم‬J‫س‬ ٓ Jُ‫ا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬JJ‫ٰيََٓأيُّ َه‬
ُ ‫و ْا ٱل َّر‬JJ‫و ْا ٱهَّلل َ َوَأ ِطي ُع‬JJ‫و ْا َأ ِطي ُع‬J
ٰ
َ ‫ر َوَأ ۡح‬ٞ J‫ َك َخ ۡي‬Jِ‫ ۚ ِر َذل‬J‫و ِم ٱأۡل ٓ ِخ‬Jۡ Jَ‫سو ِل ِإن ُكنتُمۡ ت ُۡؤ ِمنُونَ بِٱهَّلل ِ َو ۡٱلي‬
ُ‫ن‬J‫س‬ ُ ‫ش َۡي ٖء فَ ُردُّوهُ ِإلَى ٱهَّلل ِ َوٱل َّر‬
٥٩ ‫ت َۡأ ِوياًل‬

“ Hai orang – orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri
diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al – Qur’an) dan Rasul ( sunnahnya), jika kamu benar –
3
Mardani, Ushul Fiqih, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 99.
4
Ibid, hlm. 100.
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama ( bagimu)
dan lebih baik akibatnya.5

Sumber dalil berbentuk naqli (yang dinukil) terdiri dari :


1. Al-Qur’an
Kata Al-Qur’an berasal dari kata qara’a yang dapat diartikan dengan membaca,
namun yang dimaksud Al-Qur’an dalam uraian ini adalah “kalamullah” yang
diturunkan oleh ruhul amin kepada Muhammad Rasulullah dalam bahasa arab dan
pengertiannya benar, agar menjadi hujjah bagi rasul bahwa ia adalah rasul Allah
menjadi pedoman bagi orang yang mengikuiti petunjuknya, menjadi ibadah bagi orang
yang membacanya.6 Oleh karena itu terjemah dari Al- Qur’an, tidaklah dapat
dinamakan Al –Qur’an dan dengan sendirinya tidak dapat dijadikan dasar untuk
menetapkan suatu hukum, karena bahasa arab sebagai bahasa Al-Qur’an, mengandung
rahasia dan pengertian yang luas dari bahasa-bahasa yang lain.7
Dalam kaitannya dengan pengertian dalil yang dikemukakan dia atas, Al quran
juga disebut dalil hokum. Artinya, ayat-ayat Al Quran disamping sebagai sumber
hukum islam sekaligus sebagai dalil (alsan dalam penetapan hokum islam).8
Contoh perintah wajib sholat dalam Al Qura’an Al Baqarah ayat 43:

َ‫صلَ ٰوةَ َو َءاتُو ْا ٱل َّز َك ٰوةَ َو ۡٱر َك ُعو ْا َم َع ٱل ٰ َّر ِك ِعين‬


َّ ‫َوَأقِي ُمو ْا ٱل‬
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang
ruku'.

2. As-Sunnah

5
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2005), hlm.15.
6
Syafi’I Karim, Fiqih Ushul Fiqih, (Bandung : Pustaka Setia, 2001), hlm. 57.`
7
Abdul Halim Barkatullah, Hukum Islam, hlm. 7.
8
Chaerul uman, Ushul Fiqih 1, (Bandung : Pustaka setia, 2000), hlm. 32
Sunnah secara etimologi berarti cara yang dibiasakan atau cara yang terpuji,
sunnah lebih umum disebut dengan hadits yang mempunyai beberapa arti secara
etimologis, yaitu: Qarib artinya dekat, jadid artinya baru, khabar artinya berita.
Sunnah secara terminology bisa dilihat dri tiga bidang ilmu, yaitu ilmu hadits,
ilmu fiqih, dan ilmu ushul fiqih. Menurut ulama’ ahli hadits, sunnah identik dengan
hadits yaitu semua yang didasarkan kepada nabi Muhammad Saw. baik pekataan,
perbuatan, ataupun ketetapannya sebagai manusia biasa termasuk akhlaknya baik
sebelum atau sesudah menjadi rasul.
Adapun sunnah menurut para ahli fiqih, di samping mempunyai arti seperti yang
dikemukakan para ulama’ ushul fiqih, juga dimaksudkan sebagai slah satu hukum
taklif yang mengandung pengertian, “perbuatan yang apabila dikerjakan mendapatkan
pahala dan bila ditinggalkan tidak berdosa.”9
Dalam kaitannya dengan dalil as Sunnah merupakan sumber hokum kedua setelah
Al Qur’an sebagai penetapan hokum islam seperti disebutkan dalam surat An Nisa’
ayat 59 :

‫ َز ۡعتُمۡ فِي‬Jَ‫ِإن تَ ٰن‬Jَ‫ ِر ِمن ُكمۡ ۖ ف‬Jۡ‫و َل َوُأ ْولِي ٱَأۡلم‬J‫س‬ ُ ‫و ْا ٱل َّر‬J‫و ْا ٱهَّلل َ َوَأ ِطي ُع‬J‫ٰيََٓأيُّ َها ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا َأ ِطي ُع‬
ٰ
َ ‫ر َوَأ ۡح‬ٞ J‫ َك َخ ۡي‬Jِ‫ول ِإن ُكنتُمۡ ت ُۡؤ ِمنُونَ بِٱهَّلل ِ َو ۡٱليَ ۡو ِم ٱأۡل ٓ ِخ ۚ ِر َذل‬
ُ‫ن‬J‫س‬ ِ ‫س‬ ُ ‫ش َۡي ٖء فَ ُردُّوهُ ِإلَى ٱهَّلل ِ َوٱل َّر‬
‫ت َۡأ ِوياًل‬
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Contoh dalil hokum dari as Sunnah tentang wajibnya membaca Al Fatihah ketika
sholat :

)‫الصالة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب (رواه الجماعة‬


“ Tidak ada sholat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah.” (riwayat jama’ah
ahli hadits)

9
Chaerul uman, Ushul Fiqih 1, (Bandung : Pustaka setia, 2000), hlm. 60-61.
Sedangkan sumber dalil yang berbentuk aqli (berdasarkan pikiran) terdiri dari :
1. Al-Ijma’
secara etimologi adalah bermaksud atau berniat. Ijma’ juga diartikan
kesepakatan ( al-ittifaq ) terhadap sesuatu. Sedangkan Ijma’ secara terminology
adalah kesepakatan semua mujtahid dari ijma’ umat Muhammad saw. dalam suatu
masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara’. 10 Misalnya, terpilihnya Abu Bakar
sebagai kholifah yang mengungguli sahabat-sahabat lainnya, kemudian ijma’
menyetujuinya tanpa kecuali.11
Jumhur ulama’ berpendapat bhwa ijma’ adalah hujjah yang wajib diamalkan,
dengan alasan firman Allah surat An Nisa’ayat 59:

‫ َز ۡعتُمۡ فِي‬Jَ‫ِإن تَ ٰن‬J َ‫ ِر ِمن ُكمۡ ۖ ف‬J ۡ‫سو َل َوُأ ْولِي ٱَأۡلم‬
ُ ‫ٰيََٓأيُّ َها ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا َأ ِطي ُعو ْا ٱهَّلل َ َوَأ ِطي ُعو ْا ٱل َّر‬
‫ول‬
ِ ‫س‬ ُ ‫ش َۡي ٖء فَ ُردُّوهُ ِإلَى ٱهَّلل ِ َوٱل َّر‬
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
Berdasarkan pendapat Abdullah bin Abbas, yang menafsirkan ulil amri dengan
ulama’ maka menaati apa yang diijma’kan adalah wajib.12

Ada berbagai macam ijma’, antara lain sebagai berikut.


a. Ijma’ qauli atau ijma’ sharih yaitu semua mujtahid mengemukakan pendapat
mereka masing-masing, kemudian menyepakati salah satunya.13
b. Ijma’ sukuti atau ijma’ ghairu sharih yaitu ijma’ yang dikeluarkan oleh para
mujtahid dengan cara diam, tidak mengeluarkan pendapatnya yang diartikan
setuju atas pendapat mujtahid lainnya.14
2. Al-Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti “mengukur sesuatu dengan sesuatu dengan
yang lain untuk diketahui adanya persamaan antara keduanya.” Menurut istilah ushul
fiqh, seperti dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili adalah:
10
Beni Ahmad Saebani, Pengantar Ilmu Fiqih, (Bandung : Pustaka Setia, 2015), hlm 45-46.
11
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Pustaka Setia, 2018), hlm 83.
12
Chaerul ummam, Ushul Fiqih, hlm. 81-82
13
Ibid, hlm 72.
14
Beni Ahmad Saebani, Pengantar Ilmu Fiqih, hlm 47.
.‫ألحاق أمر غير منص على حكمه الشرعي بأمر منصوص على حكمه ال شترا كهما فى علة الحكم‬

Menghubungkan (menyamakan hukum) sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan
sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karena ada persamaan ‘illat antara keduanya.

Qiyas adalah salah satu kegiatan ijtihad yang tidak ditegaskan dalam Al-Qur’an dan
sunnah. Adapun qiyas dilakukan seorang mujahid dengan meneliti alasan logis (‘illat) dari
rumusan hukum itu dan setelah itu diteliti pula keberadaan ‘illat yang sama pada masalah
lain yang tidak termaktub dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.

Macam-macam Qiyas dari segi perbandingan antara ‘illat yang terdapat pada ashal
(pokok tempat men-qiyas-kan) dan yang terdapat pada cabang, qiyas dibagi menjadi tiga
macam:

a. Qiyas Awla yaitu bahwa ‘illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih utama daripada
‘illat yang terdapat pada ashal (pokok). Misalnya, men-qiyas-kan hukum haram
memukul kedua orang tua kepada hukum haram mengatakan “Ah” yang terdapat dalam
ayat 23 surah al-Isra’:
ّ ٖ ‫فَاَل تَقُل لَّ ُه َمٓا ُأ‬..…
..… ‫ف‬

Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “Ah”. (Q.S.
Al-Isra’/17:23)

Karena alasan (‘illat) sama-sama menyakiti orang tua. Namun, tindakan memukul yang
dalam hal ini adalah cabang (far’u) lebih menyakiti orang tua sehingga hukumnya lebih
berat dibandingkan dengan haram mengatakan “Ah” yang pada Ashal.
b. Qiyas Musawi yaitu qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada cabang (far’u) sama
bobotnya dengan bobot ‘illat yang terdapat pada ashal (pokok). Misalnya, ‘illat hukum
haram membakar harta anak yatim yang dalam hal ini adalah cabang sama bobot ‘illat
haramnya dengan tindakan memakan harta anak yatim yang diharamkan dalam ayat:

َ َ‫صلَ ۡون‬
‫س ِع ٗيرا‬ َ ‫ِإنَّ ٱلَّ ِذينَ يَ ۡأ ُكلُونَ َأمۡ ٰ َو َل ۡٱليَ ٰتَ َم ٰى ظُ ۡل ًما ِإنَّ َما يَ ۡأ ُكلُونَ فِي بُطُونِ ِهمۡ نَ ٗار ۖا َو‬
ۡ َ‫سي‬
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(neraka). (Q.S. an-Nisa’/3:10).

Alasannya karena tindakan tersebut sama-sama melenyapkan harta anak yatim.


c. Qiyas al-Adna yaitu qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih rendah
bobotnya dibandingkan dengan ‘illat yang terdapat pada ashal (pokok). Misalnya, sifat
memabukkan yang terdapat dalam minuman keras bir umpamanya lebih rendah dari sifat
memabukkan yang terdapat pada minuman keras, khamar yang diharamkan dalam ayat:
ۡ َ‫س ِّم ۡن َع َم ِل ٱلش َّۡي ٰطَ ِن ف‬
ۡ‫ٱجتَنِبُوهُ لَ َعلَّ ُكم‬JJ ٞ ‫اب َوٱَأۡل ۡز ٰلَ ُم ِر ۡج‬ ِ ‫ٰيََٓأيُّ َها ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا ِإنَّ َما ۡٱل َخمۡ ُر َو ۡٱل َم ۡي‬
َ ‫س ُر َوٱَأۡل‬
ُ ‫نص‬
َ‫ت ُۡفلِ ُحون‬
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan syaiton. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kamu mendapat
keberuntungan. (Q.S. al-Maidah/5:90)
Alasannya pada ashal pada cabang sama-sama terdapat sifat memabukkan, sehingga
dapat diberlakukan qiyas.
Sedangkan dilihat dari segi jelas atau tidak jelasnya ‘illat sebagai landasan hukum,
seperti dikemukaan Wahbah az-Zuhaili, qiyas dapat dibagi 2:
a. Qiyas Jali, yaitu qiyas yang didasarkan atas ‘illat yang ditegaskan dalam Al-Qur’an
dan sunnah Rasulullah, atau tidak disebutkan secara tegas dalam salah satu sumber
tersebut, tetapi berdasarkan penelitian, kuat dugaan bahwa tidak ada ‘illatnya.
Misalnya, men-qiyas-kan memukul dua orang tua kepada larangan mengatakan kata
“Ah” seperti dalam contoh qiyas Awla tersebut di atas. Qiyas Jali, mencakup apa
yang disebut dengan qiyas Awla dan qiyas Musawi dalam pembagian pertama di atas
tadi.
b. Qiyas Khafi, yaitu qiyas yang didasarkan atas ‘illat yang di-istinbat-kan (ditarik) dari
hukum ashal. Misalnya, men-qiyas-kan pembunuhan dengan memakai benda tumpul
kepada pembunuhan dengn benda tajam disebabkan adanya persamaan ‘illat yaitu
adanya kesengajaan dan permusuhan pada pembunuhan dengan benda tumpul
sebagaimana terdapat pada pembunuhan dengan bengan benda tajam.15

3. Al-Istihshan
Secara bahasa diartikan dengan menganggap sesuatu baik atau mengikuti
sesuatu yang baik. Sementara menurut istilah meninggalkan qiyas yang nyata (jali)
untuk menjalankan qiyas yang tidak nyata (khafi) atau meninggalkan hukum kulli
untuk menjalankan hukum istisna (pengenalan) disebabkan ada dalil yang menurut
logika membenarkannya.16

Contoh:
a. Dari qiyas yang jelas (jali) menuju qiyas yang tidak jelas (khafi). Menurut qiyas
pengairan dan lalu lintas yang ada dalam tanah pertanian yang di wakafkan, tidak
termasuk diwakafkan jika tidak disebutkan dengan tegas. Sedangkan berdasarkan
ijtihad bisa termasuk wakaf.
b. Dari ketentuan nash yang umum (kulli) menuju hukum yang khusus (juz’i).
Contohnya: pengecualian potongan tangan bagi pencuri (Al-Maidah:38), sebab
dalam keadaan kelaparan.
c. Dari hukum yang umum menuju hukum pengecualian. Contohnya: seseorang
yang dititipi amanat, sesudah meninggalkannya maka dia harus mengembalikan
atau menggantinya, jika dia lupa.
Menurut istihsan seorang ayah tak diwajibkan mengembalikan karena ia dapat
menggunakan harta benda anaknya untuk bekal hidup karena rugi atau jatuh
usahanya.17

4. Al-Maslahah al Mursalah (istishlah)


Adalah suatu kemaslahatan yang tidak disebut oleh syara’ dan tidak pula
terdapat dalil yang menyuruh mengerjakan atau meninggalkannya, padahal kalau
15
Satria Effendi,UshulFiqh (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2005), hlm. 130-142.
16
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 99
17
Syafi’I Karim, Fiqih Ushul Fiqih, (bandung : Pustaka Setia, 2001), hlm. 80
dikerjakan ia akan memberi kebaikan atau kemaslahatan dalam masyarakat.18 Setiap
hukum yang didirikan atas dasar mashlahat dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu:
a. Melihat mashlahah yang terdapat pada kasus yang dipersoalkan. Misalnya
pembuatan akte nikah sebagai pelengkap administrasi akad nikah di masa
sekarang. Akte nikah tersebut memiliki kemashlahatan. Akan tetapi,
kemashlahatan tersebut tidak didasarkan pada dalil yang menunjukkan pentingnya
pembuatan akte nikah tersebut. Kemashlahatan ditinjau dari sisi ini disebut al-
mashlahah al-mursalah (mashlahah yang terlepas dari dalil khusus), tetapi sejalan
dengan petunjuk-petunjuk umum syari’at Islam.
b. Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ (al-washf al-munasib) yang
mengharuskan adanya suatu ketentuan hukum agar tercipta suatu kemashlahatan.
Misalnya surat akte nikah tersebut mengandung sifat yang sesuai dengan tujuan
syara’, antara lain untuk menjaga status keturunan. Akan tetapi, sifat kesesuaian
ini tidak ditunjukkan oleh dalil khusus. Oleh karena itu, dari sisi ini ia disebut al-
munasib al-mursal (kesesuaian dengan tujuan syara’ yang terlepas dari dalil
syara’ yang khusus).
c. Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu kemashlahah yang ditunjukkan
oleh dalil khusus. Dalam hal ini adalah penetapan suatu kasus bahwa hal itu
diakui sah oleh salah satu bagian tujuan syara’. Proses seperti ini disebut istishlah
(menggali dan menetapkan suatu mashlahah.19

5. Al-Istishab
Adalah menetapkan hukum menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai
ada dalil yang mengubahnya. Dalam ungkapan lain, ia diartikan juga sebagai upaya
menjadikan hukum peristwa yang ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa
berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan itu. Misalnya, Taufik
mengawini Anita secara sah dan mereka hidup sebagai suami istri beberapa lamanya.
Oleh karena suatu hal, mungkin merantau dan lain sebagainya, Taufik meninggalkan
Anita dan tidak pernah kirim berita apa-apa selama sepuluh tahun. Di kampung,
tinggal Anita bersama orangtuanya tanpa ada kepastian apakah ia sudah dicerai oleh
18
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh Sebuah Pengantar, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 107
19
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung : Pustaka Setia, 2018), hlm 118
Taufik atau tidak. Dilain pihak, Dedi berhasrat hendak mengawini Anita yang
menurut realitasnya tidak bersuami. Pernikahan Dedi dengan Anita tidak dapat
dilangsungkan karena Anita secara yuridis berstatus sebagai istri Taufik. Oleh
karenanya, menurut metode istishhab, Anita tetap berstatus sebagai istri Taufik,
sampai ada kepastian cerai dari Taufik atau ketentuan lain dari pihak pengadilan yang
menjadikan Anita tidak lagi berstatus sebagai istri Taufik.20

6. Al-U’rf
U’rf adalah sesuatu yang dikenal oleh masyarakat yang merupakan kebiasaan
dikalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sebagian ulama’ ushul
menyamakan pengertian ‘urf dengan adat. Oleh karena itu, ‘urf diartikan sebagai
segala sesuatu yang dibiasakan masyarakat yang dijalankan terus menerus baik
merupakan perkataan maupun perbuatan.
Misalnya, adat kebiasaan yang berupa perkataan adalah perkataan walad yang
menurut bahasa sehari-hari diartikan khusus sebagai anak laki-laki begitu juga
perkataan lahm, yang dalam perkataan sehari-hari diartikan daging bukan termasuk
ikan.
Contoh adat kebiasaan berupa perbuatan adalah jual beli mu’athah, yaitu
praktek jual beli di mana si penjual dan si pembeli melakukan serah terima uang dan
barang tanpa ijab qabul karena harga atau barang dimaklumi bersama.
‘Urf berbeda dengan ijma’ sebab ‘urf dibentuk dari kebiasaan-kebiasaan orang
berbeda tingkat intelektualnya, sedangkan ijma’ dibentuk dari persesuaian pendapat
khusus dari para ahli (mujtahid).

7. Syar’u man Qablana

Adalah bila Al-Qur’an atau Hadits shahih menerangkan suatu hukum yang
disyari’atkan kepada umat sebelum Islam, lalu al-Qur’an dan Hadits itu menetapkan
bahwa hukum tersebut wajib pula kepada umat Islam untuk mengerjakannya, tidak
diragukan lagi bahwa hukum tersebut adalah syari’at yang harus ditaati umat Islam.
Misalnya kewajiban berpuasa. Kemudian setelah datang agama Islam, sebagaimana
tercantum dalam surah Al-Baqarah [2]:183:
ِّ ‫ٰيََٓأيُّ َها ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُو ْا ُكتِ َب َعلَ ۡي ُك ُم ٱل‬
َ‫صيَا ُم َك َما ُكتِ َب َعلَى ٱلَّ ِذينَ ِمن قَ ۡبلِ ُكمۡ لَ َعلَّ ُكمۡ تَتَّقُون‬
20
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh Sebuah Pengantar, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), hlm.111
Hai orang-orang yang beiman, diwajibkan kepada kalian berpuasa sebagaimana ia
diwajibkan bagi orang-orang sebelum kaliam agar kalian bertaqwa.

Demikian pula jika Al-Qur’an dan Hadits shahih menerangkan suatu hukum
yang disyari’atkan kepada umat terdahulu kemudian datang dalil nash yang
membatalkannya, ulama sepakat bahwa hukum itu bukanlah syariat kita karena
sudah ada yang membatalkannya. Misalnya, syari’at keharusan bunuh diri bagi orang
yang berbuat maksiat sebagai syarat pengampunan dosanya pada zaman Nabi Musa.
Begitu juga keharusan memotong kain yang terkena najis sebagai syarat menyucikan
pakaian/kain yang terkena najis itu sendiri di zaman Nabi Musa. Kedua kasus ini
hukumnya telah dibatalkan dengan firman Allah dalam surah Hud [11]:3:
‫ٱست َۡغفِ ُرو ْا َربَّ ُكمۡ ثُ َّم تُوبُ ٓو ْا ِإلَ ۡي ِه‬
ۡ ‫َوَأ ِن‬

Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya.
Dan surah Al-Mudatstsir[74]:4:
‫َوثِيَابَ َك فَطَ ِّه ۡر‬

… dan pakaianmu bersihkanlah.


Dari pembahasan diatas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan syar’u man
qablana adalah syari’at yang dibawa oleh para rasul sebelum Muhammad yang
menjadi petunjuk bagi kaumnya, seperti syari’at Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa,
dan lain sebagainya.21
8. Qaul Shahabi.

Kata “Qaul” adalah mashdar dari qaalayaquulu qaulan yang arti mashdar
tersebut adalah “perkataan”. Sedangkan kata “shahabi” artinya shahabat atau teman.
Jadi “Qaulush Shahabi” adalah pendapat atau fatwa para hahabat nabi SAW. tentang
suatu kasus yang belum dijelaskan hukumnya secara tegas di dalam al-qur’an dan
sunnah.
Para ulama’ sepakat bahwa perkataan sahabat yang bukan berdasarkan pikiran mereka
semata adalah hujjah (dasar hukum) bagi kaum muslimin, karena apa yang dikatakan
para sahabat itu tentu saja berasal dari apa yang telah didengar dari Rasulullah. Begitu

21
juga, perkataan seorang sahabat yang tidak mendapat tentangan dari sahabat lain,
adalah hujjah bagi umat islam. Karena persesuaian mereka tentang suatu masalah, di
mana mereka hidup masih dekat dengan masa Nabi, serta pengetahuan mereka yang
mendalam tentang rahasia-rahasia syariat, menjadi bukti bahwa pendapat yang tidak
mendapat bantahan itu berdasarkan kepada dalil yang kuat dari Rasulullah saw.
Seperti keputusan Abu Bakar untuk memberikan seperenam harta warisan kepada
beberapa orang nenek tidak dibantah oleh sahabat-sahabat lainnya.

BAB III

PENUTUP

A. SIMPULAN
Sumber dapat diartikan sebagai rujukan utama dalam menetapkan hukum islam, yaitu al-
Qur’an dan sunnah. Dalil hukum adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan
dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan
tepat. Sumber dalil dibagi menjadi dua yaitu naqli (yang dinukil) dan aqli (berdasarkan akal
pikiran). Sumber dalil naqli terdiri dari Al – Qur’an dan As Sunnah. Sedangkan sumber dalil aqli
terdiri dari ijma, qiyas, istihshan, maslahah al mursalah, istishab, urf, syar’u man qablana, qaul
shahabi.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim Barkatullah, Hukum Islam, (Yogyakarta : PUSTAKA PELAJAR, 2006)


Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh Sebuah Pengantar, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2011)
Beni Ahmad Saebani, Pengantar Ilmu Fiqih, (Bandung : Pustaka Setia, 2015),
Chaerul uman, Ushul Fiqih 1, (Bandung : Pustaka setia, 2000),
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014),
Mardani, Ushul Fiqih, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2013)
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1,( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997)
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Pustaka Setia, 2018),
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2005),
Syafi’I Karim, Fiqih Ushul Fiqih, (Bandung : Pustaka Setia, 2001),

Anda mungkin juga menyukai