PENDAHULUAN
Dalam agama islam penetapan atau pengambilan hukum harus melalui pijakan – pijakan
ataupun alasan yang disebut sumber hukum. Di dalam kehidupan sehari – hari tidak
dipungkiri bahwa kita tidak akan bisa terlepas dari sebuah hukum dari berbagi aspek, seperti
aspek ekonomi, teknologi, social, dan lain sebagainya yang terus mengalami perkembangan
sesuai tuntutan zaman.
Pada zaman rasulullah SAW setiap ada permasalah – permasalah baru dapat langsung
ditanyakan kepada Nabi SAW. Oleh karena itu pada zaman sekarang dibutuhkan penetapan
hukum dalam masyarakat untuk menjawab setiap permasalahan yang dihadapi, berdasarkan
sumber dan dalil dalam fikih dan ushul fikih.
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam bahasa arab, yang dimaksud dengan “sumber” adalah mashdar ( )مصدر, yaitu asal
dari segala sesuatu dan tempat merujuk segala sesuatu. Dalam ushul fikih kata mashadir al -
ahkam al – syar’iyyah ( )ماصدر االحكام الشرعيةberarti rujukan utama dalam menetapkan hukum
islam, yaitu al-Qur’an dan sunnah.
Sedangkan “dalil” (dari bahasa arab : al – dalil / الدليل, jamaknya : al – adillah ) االدلة, secara
etimologi berarti:
Petunjuk kepada sesuatu baik yang bersifat material maupun non material ( maknawi).
Dalil secara etimologis berarti sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada yang
dirasakan atau yang dipahami. Sedangkan secara terminologi ushul fiqih, dalil hukum adalah:
1
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1,( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997) .hlm 15
2
Abdul Halim Barkatullah, Hukum Islam, (Yogyakarta : PUSTAKA PELAJAR, 2006). Hlm 4
ةJ وادل. الظنJاوJبيل القطعJJرعي عملي على سJه على حكم شJحيح فيJJالنظر الصJما يستدل ب
الفاظ مترا دفة معناها وا حد، والمصدر التشريعية لالحكام،االحكام.3
“ Dalil adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk yang dengan menggunakan
pemikiran yang benar untuk menetapkan hukum syara’ yang bersifat amali, baik secara
qath’I maupun dzanni. Dalil hukum, ushul al-ahkam, al-mashadir al-tasyri’iyah li al-
ahkam. Lafaz-lafaz tersebut mempunyai arti yang sama.”
Yang dimaksud dengan dalil hukum yaitu dalil-dalil syariah yang dapat
mengistinbathkan hukum syariah.
Dari pengertian yang telah dikemukakan diatas dapat dipahami bahwa pada dasarnya, yang
disebut dalil hukum adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha
menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat.4
َز ۡعتُمۡ فِيJَِإن تَ ٰنJَ ِر ِمن ُكمۡ ۖ فJۡو َل َوُأ ْولِي ٱَأۡلمJس ٓ Jُا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنJJٰيََٓأيُّ َه
ُ و ْا ٱل َّرJJو ْا ٱهَّلل َ َوَأ ِطي ُعJJو ْا َأ ِطي ُعJ
ٰ
َ ر َوَأ ۡحٞ J َك َخ ۡيJِ ۚ ِر َذلJو ِم ٱأۡل ٓ ِخJۡ Jَسو ِل ِإن ُكنتُمۡ ت ُۡؤ ِمنُونَ بِٱهَّلل ِ َو ۡٱلي
ُنJس ُ ش َۡي ٖء فَ ُردُّوهُ ِإلَى ٱهَّلل ِ َوٱل َّر
٥٩ ت َۡأ ِوياًل
“ Hai orang – orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri
diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al – Qur’an) dan Rasul ( sunnahnya), jika kamu benar –
3
Mardani, Ushul Fiqih, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 99.
4
Ibid, hlm. 100.
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama ( bagimu)
dan lebih baik akibatnya.5
2. As-Sunnah
5
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2005), hlm.15.
6
Syafi’I Karim, Fiqih Ushul Fiqih, (Bandung : Pustaka Setia, 2001), hlm. 57.`
7
Abdul Halim Barkatullah, Hukum Islam, hlm. 7.
8
Chaerul uman, Ushul Fiqih 1, (Bandung : Pustaka setia, 2000), hlm. 32
Sunnah secara etimologi berarti cara yang dibiasakan atau cara yang terpuji,
sunnah lebih umum disebut dengan hadits yang mempunyai beberapa arti secara
etimologis, yaitu: Qarib artinya dekat, jadid artinya baru, khabar artinya berita.
Sunnah secara terminology bisa dilihat dri tiga bidang ilmu, yaitu ilmu hadits,
ilmu fiqih, dan ilmu ushul fiqih. Menurut ulama’ ahli hadits, sunnah identik dengan
hadits yaitu semua yang didasarkan kepada nabi Muhammad Saw. baik pekataan,
perbuatan, ataupun ketetapannya sebagai manusia biasa termasuk akhlaknya baik
sebelum atau sesudah menjadi rasul.
Adapun sunnah menurut para ahli fiqih, di samping mempunyai arti seperti yang
dikemukakan para ulama’ ushul fiqih, juga dimaksudkan sebagai slah satu hukum
taklif yang mengandung pengertian, “perbuatan yang apabila dikerjakan mendapatkan
pahala dan bila ditinggalkan tidak berdosa.”9
Dalam kaitannya dengan dalil as Sunnah merupakan sumber hokum kedua setelah
Al Qur’an sebagai penetapan hokum islam seperti disebutkan dalam surat An Nisa’
ayat 59 :
َز ۡعتُمۡ فِيJَِإن تَ ٰنJَ ِر ِمن ُكمۡ ۖ فJۡو َل َوُأ ْولِي ٱَأۡلمJس ُ و ْا ٱل َّرJو ْا ٱهَّلل َ َوَأ ِطي ُعJٰيََٓأيُّ َها ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا َأ ِطي ُع
ٰ
َ ر َوَأ ۡحٞ J َك َخ ۡيJِول ِإن ُكنتُمۡ ت ُۡؤ ِمنُونَ بِٱهَّلل ِ َو ۡٱليَ ۡو ِم ٱأۡل ٓ ِخ ۚ ِر َذل
ُنJس ِ س ُ ش َۡي ٖء فَ ُردُّوهُ ِإلَى ٱهَّلل ِ َوٱل َّر
ت َۡأ ِوياًل
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Contoh dalil hokum dari as Sunnah tentang wajibnya membaca Al Fatihah ketika
sholat :
9
Chaerul uman, Ushul Fiqih 1, (Bandung : Pustaka setia, 2000), hlm. 60-61.
Sedangkan sumber dalil yang berbentuk aqli (berdasarkan pikiran) terdiri dari :
1. Al-Ijma’
secara etimologi adalah bermaksud atau berniat. Ijma’ juga diartikan
kesepakatan ( al-ittifaq ) terhadap sesuatu. Sedangkan Ijma’ secara terminology
adalah kesepakatan semua mujtahid dari ijma’ umat Muhammad saw. dalam suatu
masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara’. 10 Misalnya, terpilihnya Abu Bakar
sebagai kholifah yang mengungguli sahabat-sahabat lainnya, kemudian ijma’
menyetujuinya tanpa kecuali.11
Jumhur ulama’ berpendapat bhwa ijma’ adalah hujjah yang wajib diamalkan,
dengan alasan firman Allah surat An Nisa’ayat 59:
َز ۡعتُمۡ فِيJَِإن تَ ٰنJ َ ِر ِمن ُكمۡ ۖ فJ ۡسو َل َوُأ ْولِي ٱَأۡلم
ُ ٰيََٓأيُّ َها ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا َأ ِطي ُعو ْا ٱهَّلل َ َوَأ ِطي ُعو ْا ٱل َّر
ول
ِ س ُ ش َۡي ٖء فَ ُردُّوهُ ِإلَى ٱهَّلل ِ َوٱل َّر
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
Berdasarkan pendapat Abdullah bin Abbas, yang menafsirkan ulil amri dengan
ulama’ maka menaati apa yang diijma’kan adalah wajib.12
Menghubungkan (menyamakan hukum) sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan
sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karena ada persamaan ‘illat antara keduanya.
Qiyas adalah salah satu kegiatan ijtihad yang tidak ditegaskan dalam Al-Qur’an dan
sunnah. Adapun qiyas dilakukan seorang mujahid dengan meneliti alasan logis (‘illat) dari
rumusan hukum itu dan setelah itu diteliti pula keberadaan ‘illat yang sama pada masalah
lain yang tidak termaktub dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.
Macam-macam Qiyas dari segi perbandingan antara ‘illat yang terdapat pada ashal
(pokok tempat men-qiyas-kan) dan yang terdapat pada cabang, qiyas dibagi menjadi tiga
macam:
a. Qiyas Awla yaitu bahwa ‘illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih utama daripada
‘illat yang terdapat pada ashal (pokok). Misalnya, men-qiyas-kan hukum haram
memukul kedua orang tua kepada hukum haram mengatakan “Ah” yang terdapat dalam
ayat 23 surah al-Isra’:
ّ ٖ فَاَل تَقُل لَّ ُه َمٓا ُأ..…
..… ف
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “Ah”. (Q.S.
Al-Isra’/17:23)
Karena alasan (‘illat) sama-sama menyakiti orang tua. Namun, tindakan memukul yang
dalam hal ini adalah cabang (far’u) lebih menyakiti orang tua sehingga hukumnya lebih
berat dibandingkan dengan haram mengatakan “Ah” yang pada Ashal.
b. Qiyas Musawi yaitu qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada cabang (far’u) sama
bobotnya dengan bobot ‘illat yang terdapat pada ashal (pokok). Misalnya, ‘illat hukum
haram membakar harta anak yatim yang dalam hal ini adalah cabang sama bobot ‘illat
haramnya dengan tindakan memakan harta anak yatim yang diharamkan dalam ayat:
َ َصلَ ۡون
س ِع ٗيرا َ ِإنَّ ٱلَّ ِذينَ يَ ۡأ ُكلُونَ َأمۡ ٰ َو َل ۡٱليَ ٰتَ َم ٰى ظُ ۡل ًما ِإنَّ َما يَ ۡأ ُكلُونَ فِي بُطُونِ ِهمۡ نَ ٗار ۖا َو
ۡ َسي
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(neraka). (Q.S. an-Nisa’/3:10).
3. Al-Istihshan
Secara bahasa diartikan dengan menganggap sesuatu baik atau mengikuti
sesuatu yang baik. Sementara menurut istilah meninggalkan qiyas yang nyata (jali)
untuk menjalankan qiyas yang tidak nyata (khafi) atau meninggalkan hukum kulli
untuk menjalankan hukum istisna (pengenalan) disebabkan ada dalil yang menurut
logika membenarkannya.16
Contoh:
a. Dari qiyas yang jelas (jali) menuju qiyas yang tidak jelas (khafi). Menurut qiyas
pengairan dan lalu lintas yang ada dalam tanah pertanian yang di wakafkan, tidak
termasuk diwakafkan jika tidak disebutkan dengan tegas. Sedangkan berdasarkan
ijtihad bisa termasuk wakaf.
b. Dari ketentuan nash yang umum (kulli) menuju hukum yang khusus (juz’i).
Contohnya: pengecualian potongan tangan bagi pencuri (Al-Maidah:38), sebab
dalam keadaan kelaparan.
c. Dari hukum yang umum menuju hukum pengecualian. Contohnya: seseorang
yang dititipi amanat, sesudah meninggalkannya maka dia harus mengembalikan
atau menggantinya, jika dia lupa.
Menurut istihsan seorang ayah tak diwajibkan mengembalikan karena ia dapat
menggunakan harta benda anaknya untuk bekal hidup karena rugi atau jatuh
usahanya.17
5. Al-Istishab
Adalah menetapkan hukum menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai
ada dalil yang mengubahnya. Dalam ungkapan lain, ia diartikan juga sebagai upaya
menjadikan hukum peristwa yang ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa
berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan itu. Misalnya, Taufik
mengawini Anita secara sah dan mereka hidup sebagai suami istri beberapa lamanya.
Oleh karena suatu hal, mungkin merantau dan lain sebagainya, Taufik meninggalkan
Anita dan tidak pernah kirim berita apa-apa selama sepuluh tahun. Di kampung,
tinggal Anita bersama orangtuanya tanpa ada kepastian apakah ia sudah dicerai oleh
18
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh Sebuah Pengantar, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 107
19
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung : Pustaka Setia, 2018), hlm 118
Taufik atau tidak. Dilain pihak, Dedi berhasrat hendak mengawini Anita yang
menurut realitasnya tidak bersuami. Pernikahan Dedi dengan Anita tidak dapat
dilangsungkan karena Anita secara yuridis berstatus sebagai istri Taufik. Oleh
karenanya, menurut metode istishhab, Anita tetap berstatus sebagai istri Taufik,
sampai ada kepastian cerai dari Taufik atau ketentuan lain dari pihak pengadilan yang
menjadikan Anita tidak lagi berstatus sebagai istri Taufik.20
6. Al-U’rf
U’rf adalah sesuatu yang dikenal oleh masyarakat yang merupakan kebiasaan
dikalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sebagian ulama’ ushul
menyamakan pengertian ‘urf dengan adat. Oleh karena itu, ‘urf diartikan sebagai
segala sesuatu yang dibiasakan masyarakat yang dijalankan terus menerus baik
merupakan perkataan maupun perbuatan.
Misalnya, adat kebiasaan yang berupa perkataan adalah perkataan walad yang
menurut bahasa sehari-hari diartikan khusus sebagai anak laki-laki begitu juga
perkataan lahm, yang dalam perkataan sehari-hari diartikan daging bukan termasuk
ikan.
Contoh adat kebiasaan berupa perbuatan adalah jual beli mu’athah, yaitu
praktek jual beli di mana si penjual dan si pembeli melakukan serah terima uang dan
barang tanpa ijab qabul karena harga atau barang dimaklumi bersama.
‘Urf berbeda dengan ijma’ sebab ‘urf dibentuk dari kebiasaan-kebiasaan orang
berbeda tingkat intelektualnya, sedangkan ijma’ dibentuk dari persesuaian pendapat
khusus dari para ahli (mujtahid).
Adalah bila Al-Qur’an atau Hadits shahih menerangkan suatu hukum yang
disyari’atkan kepada umat sebelum Islam, lalu al-Qur’an dan Hadits itu menetapkan
bahwa hukum tersebut wajib pula kepada umat Islam untuk mengerjakannya, tidak
diragukan lagi bahwa hukum tersebut adalah syari’at yang harus ditaati umat Islam.
Misalnya kewajiban berpuasa. Kemudian setelah datang agama Islam, sebagaimana
tercantum dalam surah Al-Baqarah [2]:183:
ِّ ٰيََٓأيُّ َها ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُو ْا ُكتِ َب َعلَ ۡي ُك ُم ٱل
َصيَا ُم َك َما ُكتِ َب َعلَى ٱلَّ ِذينَ ِمن قَ ۡبلِ ُكمۡ لَ َعلَّ ُكمۡ تَتَّقُون
20
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh Sebuah Pengantar, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), hlm.111
Hai orang-orang yang beiman, diwajibkan kepada kalian berpuasa sebagaimana ia
diwajibkan bagi orang-orang sebelum kaliam agar kalian bertaqwa.
Demikian pula jika Al-Qur’an dan Hadits shahih menerangkan suatu hukum
yang disyari’atkan kepada umat terdahulu kemudian datang dalil nash yang
membatalkannya, ulama sepakat bahwa hukum itu bukanlah syariat kita karena
sudah ada yang membatalkannya. Misalnya, syari’at keharusan bunuh diri bagi orang
yang berbuat maksiat sebagai syarat pengampunan dosanya pada zaman Nabi Musa.
Begitu juga keharusan memotong kain yang terkena najis sebagai syarat menyucikan
pakaian/kain yang terkena najis itu sendiri di zaman Nabi Musa. Kedua kasus ini
hukumnya telah dibatalkan dengan firman Allah dalam surah Hud [11]:3:
ٱست َۡغفِ ُرو ْا َربَّ ُكمۡ ثُ َّم تُوبُ ٓو ْا ِإلَ ۡي ِه
ۡ َوَأ ِن
Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya.
Dan surah Al-Mudatstsir[74]:4:
َوثِيَابَ َك فَطَ ِّه ۡر
Kata “Qaul” adalah mashdar dari qaalayaquulu qaulan yang arti mashdar
tersebut adalah “perkataan”. Sedangkan kata “shahabi” artinya shahabat atau teman.
Jadi “Qaulush Shahabi” adalah pendapat atau fatwa para hahabat nabi SAW. tentang
suatu kasus yang belum dijelaskan hukumnya secara tegas di dalam al-qur’an dan
sunnah.
Para ulama’ sepakat bahwa perkataan sahabat yang bukan berdasarkan pikiran mereka
semata adalah hujjah (dasar hukum) bagi kaum muslimin, karena apa yang dikatakan
para sahabat itu tentu saja berasal dari apa yang telah didengar dari Rasulullah. Begitu
21
juga, perkataan seorang sahabat yang tidak mendapat tentangan dari sahabat lain,
adalah hujjah bagi umat islam. Karena persesuaian mereka tentang suatu masalah, di
mana mereka hidup masih dekat dengan masa Nabi, serta pengetahuan mereka yang
mendalam tentang rahasia-rahasia syariat, menjadi bukti bahwa pendapat yang tidak
mendapat bantahan itu berdasarkan kepada dalil yang kuat dari Rasulullah saw.
Seperti keputusan Abu Bakar untuk memberikan seperenam harta warisan kepada
beberapa orang nenek tidak dibantah oleh sahabat-sahabat lainnya.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Sumber dapat diartikan sebagai rujukan utama dalam menetapkan hukum islam, yaitu al-
Qur’an dan sunnah. Dalil hukum adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan
dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan
tepat. Sumber dalil dibagi menjadi dua yaitu naqli (yang dinukil) dan aqli (berdasarkan akal
pikiran). Sumber dalil naqli terdiri dari Al – Qur’an dan As Sunnah. Sedangkan sumber dalil aqli
terdiri dari ijma, qiyas, istihshan, maslahah al mursalah, istishab, urf, syar’u man qablana, qaul
shahabi.
DAFTAR PUSTAKA