Anda di halaman 1dari 5

Materi Aswaja

1. Pengertian Ahlus Sunnah wal Jama’ah ( Aswaja )

Aswaja berasal dari bahasa Arab yakni " Ahl " artinya keluarga, golongan atau
pengikut. " As-sunah " artinya jalan yang ditempuh atau cara pelaksanaan suatu
amalan, baik dalam perkara kebaikan maupun kejelekan. Sedangan pengertian
Sunnah secara terminlogi yaitu nama suatu jalan yang mendapakan ridlo yang telah
ditempuh oleh Rasulullah SAW, para khulafa‟ al Rosyidin dan Salaf Al Sholihin. Al-
Jama’ah, secara bahasa, berasal dari kata “Al- Jam‟u” dengan arti mengumpulkan
yang bercerai- berai. Adapun secara istilah syari‟ah berarti orang-orang terdahulu
dari kalangan shahabat Nabi SAW. Sedangkan menurut istilah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah ( Aswaja ) adalah orang-orang yang konsisten berpegang teguh dengan
Sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat-sahabatnya.

2. Landasan Dan Konsep Aswaja

A. Landasan Normatif Aswaja

Di dalam menentukan hukum fiqih, madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah


(Aswaja) bersumber kepada empat pokok, yaitu : Al-Qur’an, Hadits/as-Sunnah, Ijma’
dan Qiyas. Secara singkat, paparannya sebagai berikut;

1. Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan hukum.


Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk kepada ummat
manusia dan diwajibkan untuk berpegangan kepada Al-Qur’an. Allah berfirman
dalam surat al-Baqarah ayat 2 & Al-Maidah ayat 44, 45, dan 47.

َ‫ْب فِ ْي ِه هُدًى لِ ْل ُمتَّقِ ْين‬ َ ‫ك ْال ِكت‬


َ ‫َب الَ َري‬ َ ِ‫ذل‬
"Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa”. (Al-Baqarah; 2)

َ‫َو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما َأ ْن َز َل هللاُ فَُأوْ لِئكَ هُ ُم ْالكفِرُوْ ن‬


"... Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka adalah golongan orang-orang kafir”. (Al-Maidah ; 44).
Tentu dalam hal ini yang bersangkutan dengan aqidah, lalu;

َ ‫“ َو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما َأ ْن َز َل هللاُ فَُأوْ لِئ‬


َ‫ك هُ ُم الظّلِ ُموْ ن‬
" ... Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan
Allah maka mereka adalah orang-orang yang dhalim”. (Al-Maidah : 45).
Dalam hal ini urusan yang berkenaan dengan hak-hak sesama manusia

َ ‫“ َو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما َأ ْن َز َل هللاُ فَُأوْ لِئ‬


ِ ‫ك هُ ُم ْا‬
‫لفسقُوْ ن‬

"... Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan
Allah maka mereka adalah golongan orang-orang fasik” (Al-Maidah : 47).
Dalam hal ini yang berkenaan dengan ibadat dan larangan-larangan Allah.

2. Al-Hadits/Sunnah

Al-Hadits/Sunnah ialah perkataan, perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari Nabi


Muhammad yang dijadikan landasan syariat Islam. Sumber kedua dalam
menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah SAW Karena Rasulullah yang berhak
menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an, maka As-Sunnah menduduki tempat kedua
setelah Al-Qur’an.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 44 dan al-Hasyr ayat 7, sebagai
berikut;

َ‫اس َمانُ ِز َل اِلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُوْ ن‬ َ ‫“ َواَ ْن َز ْلنَا اِلَ ْي‬
ِ َّ‫ك ال ِذ ْك َر لِتُبَيِنَ لِلن‬
"Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada ummat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan”.
(An-Nahl : 44)

ِ ‫ اِ َّن هللاَ َش ِد ْيد ُْا ِلعقَا‬,َ‫“ َو َما َءاتَ ُك ُم ال َّرسُوْ ُل فَ ُخ ُذوْ هُ َو َمانَه ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنتَهَوْ ا َواتَّقُوْ اهللا‬
‫ب‬

"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah dia, dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
sangat keras sikapnya”. (Al-Hasyr: 7)

Kedua ayat tersebut di atas jelas bahwa Hadits atau Sunnah menduduki tempat
kedua setelah Al-Qur’an dalam menentukan hukum.

3. Al-Ijma’

Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum setelah
wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad
SAW seluruh persoalan hukum kembali kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi maka
hukum dikembalikan kepada para sahabatnya dan para Mujtahid.

Ijma’ ada 2 macam :


a. Ijma Bayati
ialah apabila semua Mujtahid mengeluarkan pendapatnya baik berbentuk perkataan
maupun tulisan yang menunjukan kesepakatannya.

b. Ijma’ Sukuti ialah


apabila sebagian Mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan sebagian yang lain
diam, sedang diamnya menunjukan setuju, bukan karena takut atau malu. Dalam
ijma’ sukuti ini Ulama masih berselisih faham untuk diikuti, karena setuju dengan
sikap diam tidak dapat dipastikan. Adapun ijma’ bayani telah disepakati suatu
hukum, wajib bagi ummat Islam untuk mengikuti dan menta’ati. Karena para Ulama’
Mujtahid itu termasuk orang-orang yang lebih mengerti dalam maksud yang
dikandung oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits, dan mereka itulah yang disebut Ulil Amri
Minkum (‫) اولىاالمر منكم‬

Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat : 59

‫“ ياَأيُّهَاالَّ ِذ ْينَ َأ َمنُوْ اَأ ِط ْيعُوْ اهللاَ َوَأ ِط ْيعُوْ اال َّرسُوْ َل َوُأوْ لِى اَْأل ْم ِر ِم ْن ُك ْم‬

"Hai orang yang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di
antara kamu”.

Dan para Sahabat pernah melaksanakan ijma’ apabila terjadi suatu masalah yang
tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah S.A.W. Pada zaman sahabat Abu
Bakar dan sahabat Umar r.a jika mereka sudah sepakat maka wajib diikuti oleh
seluruh ummat Islam. Inilah beberapa Hadits yang memperkuat Ijma’ sebagai
sumber hokum, seperti disebut dalam Sunan Termidzi Juz IV hal 466.

‫ َويَ ُدهللاِ َم َع ْالَ َجما َع ِة‬,‫ضالَ لَ ٍة‬


َ ‫َلى‬ ِ ‫“ اِ َّن هللاَ الَ يَجْ َم ُع اُ َّم‬
َ ‫تى ع‬
"Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku atas kesesatan dan perlindungan
Allah beserta orang banyak.

Selanjutnya, dalam kitab Faidlul Qadir Juz 2 hal 431


َ ‫اختِالَ فًا فَ َعلَ ْي ُك ْم بِالس ََّوا ِد ْا َأل ْع‬
‫ظ ِم‬ ْ ‫ضالَ لَ ٍة فَا ِء َذا َرَأ ْيتُ ُم‬ ِ ‫اِ َّن اُ َّم‬.
َ ‫تى الَتَجْ تَ ِم ُع عَل َى‬
“Sesungguhnya ummatku tidak berkumpul atas kesesatan maka apabila engkau
melihat perselisihan, maka hendaknya engkau berpihak kepada golongan yang
terbanyak”.

4. Al-Qiyas
Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata itu berasal dari
kata Qasa (‫) قا س‬. Yang disebut Qiyas ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu
yang lain dalam hukum karena adanya sebab yang antara keduanya.

Rukun Qiyas

1. Ashlun, yaitu merupakan hukum pokok yang diambil persamaan atau


sesuatu yang ada nash hukumnya.
2. Far’un, yaitu merupakan hukum cabang yang dipersamakan atau
sesuatu yang tidak ada nash hukumnya.
3. As-sabab, yaitu sifat yang menjadi dasar persamaan antara hukum
cabang dengan hukum pokok.

4. Hukum, yaitu merupakan hasil dari qiyas tersebut

Contoh penggunaan qiyas, misalnya gandum, seperti disebutkan dalam suatu hadits
sebagai yang pokok (al-ashlu)-nya, lalu al-far’u-nya adalah beras (tidak tercantum
dalam al-Qur’an dan al-Hadits), al-hukmu, atau hukum gandum itu wajib zakatnya,
as-sabab atau alasan hukumnya karena makanan pokok. Dengan demikian, hasil
gandum itu wajib dikeluarkan zakatnya, sesuai dengan hadits Nabi, dan begitupun
dengan beras, wajib dikeluarkan zakat. Meskipun, dalam hadits tidak dicantumkan
nama beras. Tetapi, karena beras dan gandum itu kedua-duanya sebagai makanan
pokok. Di sinilah aspek qiyas menjadi sumber hukum dalam syareat Islam.

Dalam Al-Qur’an Allah S.WT. berfirman :

َ ‫فَا ْعتَبِرُوْ ا يُأوْ لِى اَْألي‬


‫ْصار‬

“Ambilah ibarat (pelajaran dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai
pandangan”. (Al-Hasyr : 2)

‫ى‬P‫ض‬ ِ ‫ال اَ ْق‬P


َ Pَ‫ا ٌء ؟ ق‬P‫ض‬ َ َ‫ض ق‬ َ ‫ َر‬P‫ضى اِ َذا َع‬ ِ ‫ َك ْيفَ تَ ْق‬:‫ َل َما بَ َعثَهُ النَّبِ ُّى صلى هللا عليه وسلم اِل َى ْاليَ َمنِى قَا َل‬: ‫ع َْن ُم َعا ٍذ قَا َل‬
‫ب‬
ِ ‫ا‬PPَ‫فى ِكت‬ ِ َ‫ قَا َل فَا ِء ْن لَ ْم تَ ِج ْد فِى ُسن ِة َرسُوْ ِل هللاِ َوال‬,ِ‫ب هللاِ ؟ قَا َل فَبِ ُسنَّ ِة َرسُوْ ِل هللا‬
َّ ِ ‫ب هللاِ قَا َل فَا ِء ْن لَ ْم تَ ِج ْد فِى ِكتَا‬ ِ ‫بِ َكتَا‬
‫وْ َل‬P‫ق َر ُس‬ َ ‫ال ْا‬
َ َّ‫لح ْم ُد هللِ الَّ ِذى َوف‬ َ َ‫ص ْد َرهُ َوق‬
َ ‫ب َرسُوْ ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم‬ َ َ‫د بِ َرْأيِى َوالَ الُوْ قَا َل ف‬Pُ ‫هللاِ ؟ قَا َل اَجْ تَ ِه‬
َ ‫ض َر‬
‫ رواه أحمد وابو داود والترمذى‬.ِ‫ضاهُ َرسُوْ ُل هللا‬ َ ْ‫رسُوْ ِل هللاِ لِ َما يَر‬. َ “
" Dari sahabat Mu’adz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus ke Yaman,
Rasulullah bersabda bagaimana engkau menentukan apabila tampak kepadamu
suatu ketentuan? Mu’adz menjawab; saya akan menentukan hukum dengan kitab
Allah? Mu’adz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah s.aw. kemudian nabi bersabda;
kalau tidak engkau jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan dalam kitab Allah? Mu’adz
menjawab; saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak kembali;
Mu’adz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya, kemudian Mu’adz berkata;
Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah SAW dengan
apa yang Rasulullah meridlai-Nya"

Kemudian Al-Imam Syafi’i memperkuat pula tentang qiyas dengan firman Allah S.W.T
dalam Al-Qur’an :

‫ص ْي َد َواَ ْنتُ ْم ُح ُر ٌم َو َم ْن قَتَلَهُ ِم ْن ُك ْم ُمتَ َع ِمدًا فَ َجزَا ٌء ِم ْث ُل َما قَت ََل ِمنَ النَّ َع ِم‬
َّ ‫ياَأيُّهَااَّل ِذ ْينَ َء ا َمنُوْ ا الَتَ ْقتُلُوْ اا ل‬
‫“ يَحْ ُك ُم بِ ِه َذ َوا َع ْد ٍل ِم ْن ُك ْم‬

" Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika
kamu sedang ihram, barang siapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja,
maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan
buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu”.
(Al-Maidah: 95).

Sebagaimana madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah lebih mendahulukan dalil Al-


Qur’an dan Al-Hadits dari pada akal. Maka dari itu madzhab Ahlussunnah wal
Jama’ah mempergunakan Ijma’ dan Qiyas kalau tidak mendapatkan dalil nash yang
shareh (jelas) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

B. Konsep Aswaja

Nahdlatul Ulama senantiasa mengembangkan sikap keterbukaan dan sangat


menghormati perbedaan. Dalam mengamalkan prinsip-prinsip ini, Nahdlatul Ulama
mengamalkan kosep dari pemahaman Aswaja, yaitu:

1. Tawasuth, artinya mengambil jalan tengah atau pertengahan. Bahwa Nahdlatul


Ulama tidak berpihak kepada siapapun. Karena kebijakan memang selamanya
terletak diantara dua ujung. Sebagaimana termaktub dalam firman Allah SWT dalam
surat AlBaqarah ayat 143: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat
Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia
dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. “

2. Tasamuh, yang berarti toleran. Maksudnya adalah NU toleran terhadap


perbedaan pandangan dalam masalah keagamaan. Begitu pula masalah yang
berhubungan dengan sosial budaya atau kemasyarakatan, sebagaiman dilakukan
oleh walisongo ketika berdakwah.

3. Tawazun, yang berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak berlebihan suatu
unsur atau kekurangan suatu unsur. Prinsip tawazun ini diambil dari kata Al-Waznu
yang berarti alat penimbang. Yang dimaksud disini adalah bahwa NU menyerasikan
antar khidmah kepada Allah dan khidmah kepada manusia. Bagi NU tujuan hidup
yang ideal adalah bahagia dunia dan akhirat.

4. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, artinya mengajak pada kebajikan dan mencegah
pada kemungkaran. Maksudnya mendorong kepada kebaikan, selalu mempunyai
kepekaan terhadap kejadian-kejadin di lingkungan dan mencegah hal-hal yang dapat
merusak moralitas masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai