Sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas doanya agar Rumah Fiqih bisa
mencapai tujuannya. Semoga Allah SWT membalas dengan balasan yang lebih
baik. Infak atau sedekah boleh saja disalurkan, karena kami memang tidak
menutup kalau ada yang mau ikut mendapatkan kebaikan. Tentu semua akan
dikembalikan untuk kepentingan umat, khususnya dalam menghidupkan ilmu
syariah dan fiqih.
Terkait dengan pertanyaan antum tentang perbedaan antara Syariah dan Fiqh,
jawabannya adalah sebagai berikut :
A. Pengertian Fiqih
1. Bahasa
Kata fiqih ( )فقهsecara bahasa punya dua makna. Makna pertama adalah al-fahmu
al-mujarrad ()المجرد الفهم,
ّ yang artinya kurang lebih adalah mengerti secara
langsung atau sekedar mengerti saja.
Makna yang kedua adalah al-fahmu ad-daqiq ()الدقيق الفهم, yang artinya adalah
mengerti atau memahami secara mendalam dan lebih luas. Kata fiqih yang berarti
sekedar mengerti atau memahami, disebutkan di dalam ayat Al-Quran Al-Kariem,
ketika Allah menceritakan kisah kaum Nabi Syu’aib alaihissalam yang tidak
mengerti ucapannya.
Sedangkan makna fiqih dalam arti mengerti atau memahami yang mendalam, bisa
temukan di dalam Al-Quran Al-Karim pada ayat berikut ini :
ن نَفَ َُر فَُلَ ْوال َكافَّ ُةً ِل َي ْن ِف ُروا ْال ُمؤْ ِمنُونَُ َكانَُ َو َما
ُْ ل ِم َ ِل َيتَفَقَّ ُهوا
ُِّ طا ِئفَ ُة ِم ْن ُه ُْم ِف ْرقَةُ ُك
ِين فِيُِ ّيَ ْحذَ ُرونَُ لَعَلَّ ُه ُْم إِلَ ْي ِه ُْم َر َجعُوا إِذَا قَ ْو َم ُه ُْم َو ِليُ ْنذ ُِروا الد
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya. Mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada
kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya.(QS. At-Taubah : 122)
Dalam prakteknya, istilah fiqih ini lebih banyak digunakan untuk ilmu agama
secara umum, dimana seorang yang ahli di bidang ilmu-ilmu agama sering disebut
sebagai faqih, sedangkan seorang yang ahli di bidang ilmu yang lain, kedokteran
atau arsitektur misalnya, tidak disebut sebagai faqih atau ahli fiqih.
2. Istilah
Sedangkan secara istilah, kata fiqih didefinisikan oleh para ulama dengan
berbagai definisi yang berbeda-beda. Sebagiannya lebih merupakan ungkapan
sepotong-sepotong, tapi ada juga yang memang sudah mencakup semua batasan
ilmu fiqih itu sendiri.
Al-Imam Abu Hanifah punya definisi tentang fiqih yang unik, yaitu :
Sebenarnya definisi ini masih terlalu umum, bahkan masih juga mencakup wilayah
akidah dan keimanan dan juga termasuk wilayah akhlaq. Sehingga fiqih yang
dimaksud oleh beliau ini disebut juga dengan istilah Al-Fiqih Al-Akbar.
Ada pun definisi yang lebih mencakup ruang lingkup istilah fiqih yang dikenal para
ulama adalah :
B. Pengertian Syariah
1. Bahasa
Makna syariah dalam bahasa Arab sebagaimana orang-orang Arab di masa lalu
memaknai kata syariah ini, yaitu metode atau jalan yang lurus ()المستقية الطريقة.
Secara istilah dalam ilmu fiqih, Syariah didefinisikan oleh para ulama sebagai :
ُللاُ َماش ََر َع ُه ُ ام ِمنَُ ِل ِعبَا ِدُِهُِ اء ِمنَُ نَ ِبيُ ِب َها َجا َُء الَّتِي األ َ ْح َك ُِ َاء األ ْن ِبي
ُ س َو ُُ َّيَت َ َعل
َ ق َما
ات ب ِا ِال ْعتِقَا ُِد
َُ َت َوال ِع َباد ُِ َال َح َيا ُِة َونِظا َ ُِم َواأل َ ْخال
ُِ َق َوال ُم َعا َمال
Apa yang disyariatkan oleh Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya dari hukum-
hukum yang telah dibawa oleh Nabi dari para nabi, baik yang terkait dengan
keyakinan, ibadah muamalah, akhlaq dan aturan dalam kehidupan.
Dari segi ruang lingkup, ternyata syariah lebih luas dari ruang lingkup fiqih.
Karena syariah mencakup masalah akidah, akhlaq, ibadah, muamalah, dan segala
hal yang terkait dengan ketentuan Allah SWT kepada hambanya.
Sedangkan ruang lingkup fiqih terbatas masalah teknis hukum yang bersifat
amaliyah atau praktis saja, seperti hukum-hukum tentang najis, hadats, wudhu’,
mandi janabah, tayammum, istinja’, shalat, zakat, puasa, jual-beli, sewa, gadai,
kehalalan makanan dan seterusnya.
Objek pembahasan fiqih berhenti ketika kita bicara tentang ha-hal yang
menyangkut aqidah, seperti kajian tentang sifat-sifat Allah, sifat para nabi,
malaikat, atau hari qiyamat, surga dan neraka.
Objek pembahasan fiqih juga keluar dari wilayah hati serta perasaan seorang
manusia, seperti rasa rindu, cinta dan takut kepada Allah. Termasuk juga rasa
untuk berbaik sangka, tawakkal dan menghamba kepada-Nya dan seterusnya.
Objek pembahasan fiqih juga keluar dari pembahasan tentang akhlaq mulia atau
sebaliknya. Fiqih tidak membicarakan hal-hal yang terkait dengan menjaga diri
dari sifat sombong, riya’, ingin dipuji, membanggakan diri, hasad, dengki, iri hati,
atau ujub.
Syariah adalah ketentuan Allah SWT yang bersifat universal, bukan hanya
berlaku buat suatu tempat dan masa yang terbatas, tetapi menembus ruang dan
waktu.
Kita menyebut ketentuan dan peraturan dari Allah SWT kepada Bani Israil di
masa nabi-nabi terdahulu sebagai syariah, dan tidak kita sebut dengan istilah
fiqih.
Di dalam ayat yang lain juga disebutkan istilah syariah dengan pengertian bahwa
Allah SWT menetapkan suatu aturan dan ketentuan kepada para Nabi di masa
lalu.
Karena itulah maka salah satu istilah dalam ilmu ushul fiqih disebut dengan dalil
syar’u man qablana, bukan fiqhu man qablana. Apa yang Allah SWT berlakukan
buat umat terdahulu disebut sebagai syariah, tetapi tidak disebut dengan istilah
fiqih. Semua ini menunjukkan bahwa syariah lebih universal dibandingkan dengan
fiqih.
Perbedaan yang juga sangat prinsipil antara fiqih dan syariah, adalah bahwa fiqih
itu merupakan apa yang dipahami oleh mujtahid atas dalil-dalil samawi dan
bagaimana hukumnya ketika diterapkan pada realitas kehidupan, pada suatu
zaman dan tempat.
Jadi pada hakikatnya, fiqih itu adalah hasil dari sebuah ijtihad, tentunya yang
telah lulus dari penyimpangan kaidah-kaidah dalam berijtihad, atas suatu urusan
dan perkara.
Sehingga sangat dimungkin hasil ijithad itu berbeda antara seorang mujtahid
dengan mujtahid lainnya.
Pada pemaparan kali ini, kita akan membahas perbedaan antara syariat dan fiqih.
Kita mengawalinya dengan definisi syariat. Imam Abu Muhammad Ali bin Hazm
dalam kitab Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, Beirut: Darul Afaq, 2001 M, juz III,
halaman 137:
أو السالم عليه منه إقرار أو السالم عليه منه فعل نص أو سنة أو قرآن نص يأتي أن فهي الشريعة وأما
إجماع
Artinya, “Syariat ialah jika terdapat teks yang jelas (tidak multitafsir) dari Al-
Quran, teks sunah (hadits), teks yang didapat dari perbuatan Nabi SAW, teks
yang didapat dari taqrir Nabi SAW, dan ijma’ para sahabat,” (Ibnu Hazm, Al-
Ihkam fi Ushulil Ahkam, Beirut, Darul Afaq, 2001 M, juz III, halaman 137).
Bisa dipahami dari keterangan di atas bahwa yang disebut sebagai syariat ialah
segala tuntunan yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia baik dalam
bidang akidah, amaliah, (perbuatan fisik), dan akhlak. Sumber dari tuntunan
tersebut bisa didapatkan dari teks yang terdapat dalam Al-Quran, hadits Nabi
SAW, dan ijma’ para sahabat.
Hadits Nabi SAW sendiri terbagi atas tiga. Ada kalanya yang berupa ucapan,
yang berupa contoh perbuatan yang dilakukan oleh Nabi SAW, dan yang berupa
taqrir, yakni kondisi ketika ada sebuah perkataan atau perbuatan yang dilakukan
di hadapan Nabi SAW, dan ia mendiamkannya. Diam Rasulullah adalah bentuk dari
persetujuan karena pada prinsipnya mustahil Nabi SAW mendiamkan
kemaksiatan berlaku di hadapannya.
Teks-teks ini bukanlah semuanya, tetapi hanya berlaku pada yang bersifat nash,
artinya teks yang pemahamannya jelas dan tidak multitafsir atau mengundang
kontroversi.
Lain halnya dengan fiqih. Pengertian fiqih sebagaimana dijelaskan oleh Imam
Abul Hasan Al-Amidi dalam Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam:
Dari penjelasan ini kita memahami bahwa fiqih berlaku pada persoalan-persoalan
yang berkaitan dengan amaliah atau perbuatan manusia, yang pemahaman
hukumnya didapatkan dari sumber hukum melalui serangkaian proses ijtihad.
Karena didapatkan melalui proses ijtihad, maka sama sekali tidaklah
mengherankan jika terdapat perbedaan pendapat antara satu pemikiran dan
pemikiran lainnya.
Dari penjelasan tentang pengertian syariat dan fiqih di atas, ada beberapa poin
yang bisa kita pahami bahwa:
Pertama, obyek kajian syariat sifatnya lebih umum karena mencakup akidah,
perbuatan, dan akhlak manusia. Sedangkan fiqih hanya berlaku pada amaliah
perbuatan manusia, tidak membahas persoalan akidah dan akhlak.
Kedua, bahwa sifat “keniscayaan” hanya berlaku pada syariat karena memang
hakikat syariat ialah taken for granted atau diterima begitu saja sesuai dengan
apa yang dijelaskan oleh Allah. Sedangkan fiqih tidak memiliki keniscayaan
semacam itu karena merupakan produk dari ijtihad masing-masing mujtahid.
Perbedaan pendapat pasti ada dalam memutuskan sebuah hukum fiqih, dan
Rasulullah tidak mempermasalahkan hal tersebut karena ia menganggap keduanya
sebagai sesuatu yang bisa membuahkan pahala sebagaimana hadits yang dikutip
oleh Imam Al-Bukhari dalam Shahihul Bukhari, Beirut, Darul Fikr, 2000 M, juz
IX, halaman 108, nomor hadits 7352:
Dengan demikian jelas bahwa sifat fanatisme terhadap sebuah pendapat fiqih
adalah sikap yang keliru.
Kita mengambil contoh sederhana syariah dan fiqih. Kewajiban shalat itu
merupakan syariah. Siapapun, di manapun, dan kapanpun, seseorang wajib
melaksanakan shalat, tetapi untuk persoalan apa baju yang dipakai saat shalat,
apa saja bacaannya, dan lain-lain, hal itu merupakan bahasan fiqih yang tentu saja
ada berbagai macam beda pendapat.
Demikian pemaparan kali, semoga bisa menambah khazanah keilmuan bagi kita
semua. Sekaligus menyadarkan kepada kita betapa sia-sianya mempertahankan
sikap fanatisme terhadap sebuah pendapat fiqih. Wallahu a’lam. (Muhammad
Ibnu Sahroji)