Anda di halaman 1dari 14

BAB, I PENDAHULUAN

A. Beberapa pengertian 1. Pengertian syariah;


Artinya: Syariat ialah hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk hamba-Nya yang dibawa oleh salah seorang nabi-Nya termasuk Nabi kita Muhammad SAW baik hukum-hukum itu berhubungan dengan cara mengadakan perbuatan yaitu yang disebut sebagai hukum-hukum cabang dan amalan, dan untuknya dihimpunlah ilmu fiqih. Atau berhubungan dengan cara mengadakan kepercayaan (Itiqad) yaitu yang disebut sebagai hukum-hukum pokok dan kepercayaan, dan untuknya maka dihimpunlah ilmu kalam. Syariat disebut juga al-millah atau al-din ).

2. Pengertian Fiqih Kata fiqih dapat dilihat dari dua pengertian yaitu pengertian bahasa dan pengertian istilah. Secara bahasa, fiqih berarti faham, yaitu memahami sesuatu dari sesuatu yang lainnya ( . ) Dalam kaitan ini al-Jurjani berkata;

Artinya: Fiqih menurut bahasa adalah faham terhadap tujuan seorang pembicara dari pembicaraannya. Menurut pengertian istilah yang digunakan oleh ulama ushul, dapat dilihat sebagai berikut;

Artinya:

Fiqih dalam pengertian istilah yaitu suatu pengetahuan tentang hukum-hukum syarak yang berkenaan dengan perbuatan diambil dari dalildalilnya yang terperinci. Fiqih itu merupakan ilmu yang dihasilkan oleh fikiran serta ijtihad (penelitian) dan memerlukan pemikiran serta renungan. Oleh karena itu Allah tidak bisa disebut sebagai faqih (ahli dalam fiqih), karena baginya tidak ada sesuatu yang tidak jelas. Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan tentang fiqih itu sbb;

Artinya:

Fiqih adalah kumpulan hukum-hukum syara mengenai perbuatan (yang bersumber) dari dalildalilnya yang terperinci. Al-Jurjani berpendapat:


Artinya: Fiqih menurut bahas berarti faham terhadap seseorang pembicara dari pembicaraannya. Menurut istilah, fiqih ialah mengetahui hukumhukum syara yang mengenai perbuatan dengan melalui dalil-dalilnya yang terperinci. Fiqih adalah ilmu yang dihasilkan oleh pikiran serta ijtihad dan memerlukan pemikiran dan renungan. Oleh karena itu Allah tidak dapat disebut sebagai faqih, karena tidak ada sesuatu yang tidak jelas baginya. Dari beberapa definisi tersebut diatas dapat diketahui bahwa lapangan syariat jauh lebih luas dari pada lapangan fiqih, sebab syariat meliputi ilmu kalam dan ilmu fiqih, sedangkan fiqih hanyalah merupakan bagian daripada syariat, karena syariat meliputi keseluruhan ajaran agama Islam. Dari sisi lain
1

Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, al-Qahirah, Mesir, cet. X th. 1972, hal. 11

antara syariat dan fiqih dapat dibedakan berdasarkan kedudukan pengertian kedua istilah itu, karena fiqih sebagai ilmu adalah buatan manusia, sedangkan syariat datang dari Allah SWT. oleh karena itu syariat jauh lebih tinggi kedudukannya daripada fiqih. Akan tetapi dalam kontek tertentu kata syariat sering juga digunakan untuk pengertian fiqih, yaitu ketika membedakan antara syariat, thariqat, hakikat dan makrifat dalam kajian ilmu tasawwuf. Bila ditinjau dari historis pemakaian kata fiqih dan syariat, maka kata syariat jauh lebih awal daripada kata fiqih. Dalam alQuran banyak dijumpai kata syariat dalam berbagai tafsirnya, seperti firman Allah; (Q.S. al-Jatsiah : 18).

Artinya: Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui).


Artinya: Dia telah mensyari`atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama) -Nya orang yang kembali kepada-Nya. (Q.S. Al-Syura : 13) Kedua ayat tersebut diatas mengisyaratkan bahwa kata syariat telah dipakai pada masa nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. Sedangkan kata fiqih baru dipakai pada permulaan Islam yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW sebagai istilah dalam agama yang mencakup semua hukumhukum agama, baik yang berhubungan dengan aqidah, muamalat maupun akhlaq. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah (Q.S. al-Taubah : 122) yang berbunyi;


Artinya: Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka (liyatafaqahu) tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

Fiqih dalam pengertian yang luas tersebut mencerminkan corak pemikiran Islam yang sebenarnya, karena ia meliputi semua ajaran agama. Fiqih dalam istilah ini bersinonim dengan syariat, oleh karena pada masa itu mempelajari agama hanya dengan cara membaca al-Quran dan al-Hadits Nabi semata, sebab buku-buku karangan ulama yang berkenaan dengan agama tentu belum ada. Oleh karena itu orang yang ahli dibidang agama disebut qurra (ahli membaca). Akan tetapi setelah Islam meluas keberbagai daerah dengan pemeluk yang beraneka ragam pemikirannya, maka istilah fiqih hanya dipakai untuk sekumpulan hukum-hukum syara yang berhubungan dengan perbuatan saja seperti hukum wajib, haram, sunnat, makruh, mubah dan lain sebagainya. Sejak masa tersebut hukum-hukum Islam telah berdiri sendiri sebagai bagian dari ilmu agama yang disebut fiqih. Sedangkan orang yang ahli dibidang itu disebut faqih atau fuqaha dalam bentuk jama 3. Pengertian Ushul Fiqih Pengertian Ushul Fiqih dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua suku kata, yaitu ushul dan fiqih. Akan tetapi dapat pula dilihat sebagai suatu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syariah. Bila dilihat dari segi tata bahasa Arab, maka rangkaian kata ushul dan fiqih tersebut dinamakan tarkib idhafi - kata majmuk sehingga dari rangkaian dua suku kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqih, yaitu dasar-dasar pembentukan ilmu fiqih yang pada akhirnya menjadi salah satu cabang ilmu pengetahuan Islam yang disebut ilmu ushul al-fiqh. Secara bahasa (etimologi), kata ushul adalah bentuk jamak dari kata ashlun yang berarti sesuatu yang diatasnya didirikan sesuatu yang lainnya (ma buniya alaihi ghairuhu). Dalam ungkapan lain dapat dikatakan bahwa ushul ialah sesuatu yang 4

dijadikan dasar bagi yang lainnya. Berdasarkan pengertian ini, maka ushul fiqih adalah sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqih. Dalam pengeritan istilah (terminologi), kata ushul berarti dalil atau ketentuan-ketentuan umum (qaedah-qaedah kulliyah). Ushul dalam pengertian ini dapat difahami dari ungkapan dibawah ini;


Artinya:

Artinya: Bolehnya memakan bangkai karena terpaksa, merupakan penyimpangan dari asal. Maksudnya menyimpang dari ketentuan umum (qaedah kulliyah) - sebab secara umum ketentuan bangkai itu adalah haram sebagai mana firman Allah diharamkan atas kamu memakan bangkai (Q. S : al-Maidah : 4) Dari pengertian ushul secara istilah seperti tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa ushul fiqih sebagai rangkaian dari dua suku kata (tarkib idhafi) berarti dalil-dalil atau ketentuanketentuan umum (Qawaid al- kulliyah) bagi fiqih sehingga ushul fiqih sebagai nama dari suatu bidang ilmu dapat dirumuskan sebagai berikut;

""

Asal bagi wajib zakat itu adalah al-Kitab. Maksudnya dalil atas wajibnya zakat itu adalah alKitab. Sebagaimana firman Allah dan tunaikanlah zakat (Q. S : 2 : 277). Demikian pula ushul dengan pengertian qaedah kulliyah dapat difahami dari perkataan dibawah ini;

Artinya: Ushul fiqih adalah ilmu tentang qaedah-qaedah dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syarak mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci. Maksudnya qaidah-qaidah itu dapat dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syarak yang menyangkut dengan perbuatan, yakni bahwa qaidah-qaidah tersebut merupakan cara2

ibid

cara atau jalan yang harus ditempuh untuk memperoleh hukumhukum syarak. Pengertian ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Abu Zahrah ketika memberikan definisi ushul fiqih, beliau berkata;


Artinya: Ushul fiqh adalah suatu ilmu tentang qaidahqaidah yang menggariskan jalan-jalan untuk memperoleh hukum-hukum syarak mengenai perbuatan dari dalildalilnya yang terperinci. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa ilmu ushul fiqih itu sekumpulan qaidah yang dijadikan jalan bagi mujtahid dalam menetapkan hukum syarak yang diambil dari dalil-dalil nash maupun lainnya dengan memberi alasan / illat sebagai dasar ditetapkannya hukum serta kemaslahatan-kemaslahatan yang dimaksud oleh syarak. Berdasarkan ini dapat juga dikatakan bahwa ushul fiqih itu adalah;

Artinya: Kumpulan qaidah-qaidah yang menjelaskan kepada faqih (ahli hukum Islam) cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syarak. Dari beberapa definisi tersebut diatas dapat dikatakan juga bahwa ushul fiqih adalah suatu ilmu yang terdiri dari berbagai macam qaedah atau cara-cara pembahasan yang dipakai agar sampai kepada ketetapan hukum syarak yang bersifat fariyah amaliyah berdasarkan dalil-dalilnya yang terperinci. Pengertian terperinci pada rumusan defini ushul fiqih itu adalah dalil-dalil juziyah, yaitu apa saja yang berhubungan dengan sesuatu masalah dengan segala kekhususannya, dan yang menunjukkan segala sesuatu daripadanya atas hukum-hukum tertentu. 4. Pengertian hukum Menurut pengertian bahasa, hukum ialah menetapkan sesuatu diatas sesuatu, atau meniadakan daripadanya. Sedangkan dalam pengertian istilah ushuliyin, hukum ialah;


Artinya: Khitab Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik yang menyangkut dengan tuntutan 6

(iqtidha), pilihan (takhyir), atau ketetapan (wadhiy). Iqtidha artinya tuntutan. Adakalanya tuntutan itu dimaksudkan untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan, dan adakalanya untuk tidak mengerjakannya. Jika tuntutan untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan bersifat mesti dikerjakan (jazim), maka bernamalah dia ijab. Sedangkan bekasan dari ijab itu disebut hukum wajib. Tetapi jika tuntutan itu tidak mesti dikerjakan (ghairu jazim), maka bernamalah dia nadab, dan bekasan dari nadab itu disebut hukum mandub atau sunnat. Begitu juga tuntutan untuk meninggalkan sesuatu pekerjaan dengan bersifat mesti ditinggalkan (jazim) maka bernamalah dia tahrim, sedangkan bekasan dari tahrim itu disebut hukum haram. Namun jika tuntutan untuk meninggalkan itu tidak mesti ditinggalkan (ghairu jazim) maka bernamalah dia karahah, bekasannya disebut hukum makruh. Sealain itu, takhyir yang artinya memilih dimaksudkan bahwa seorang mukallaf diberi kebebasan untuk memilih antara mengerjakan dan meninggalkan. Titah takhyir ini disebut ibahah sedangkan bekasan dari ibahah itu dinamakan hukum mubah. Jadi titah yang bersifat tuntutan dan takhyir ini semuanya ditujukan kepada para mukallaf sebagai pelaku, oleh karena itu disebutlah dia hukum taklify. Dengan demikian hukum taklifi itu terdiri dari lima macam, yaitu wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah. Dikalangan usuliyin hukum-hukum tersebut dinamakan juga ahkamul khamsah. Disamping hukum taklify sebagaimana tersebut diatas adalagi hukum yang bukan ditujukan kepada pelakunya tetapi sebagai penentu adanya hukum dari perbuatan mukallaf. Hukum-hukum tersebut dinamakan hukum wadhiy. Abdul Wahhab Khallaf mengatakan bahwa hukum wadhiy itu dibagi atas lima bagian. Ditetapkan dengan suatu ketetapan bahwa hukum ini adakalanya menjadikan sesuatu itu menjadi sebab bagi sesuatu, syarat, mani; atau diperbolehkan rukhshoh sebagai ganti azimah. Sah atau tidak sah (Abdul Wahab Khallaf : 117). Jika diperhatikan hukum wadiy itu maka terdapat tiga komponen utama sebagai penentu adanya hukum syariy yang dapat menentukan rukhshoh atau azimah serta sah dan batal. Ketiga komponen tersebut adalah sebab, syarath dan mani. 2. Objek Pembahasan Ushul Fiqih Obyek pembahasan ushul fiqh meliputi pembahasan tentang dalil, pembahasan tentang hukum, pembahasan tentang qaidah-qaidah dan pembahasan tentang ijtihad. Untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan sebagai berikut;

1. Pembahasan tentang dalil Pembahasan tentang dalil dalam ilmu ushul fiqih dikemukakan secara global. Disini dibahas tentang macam-macamnya, rukun dan syarat dari masingmasing dalil itu, kekuatan dan tingkatantingkatannya. Jadi dalam ilmu ushul fiqih tidak dibahas satu persatu dalil bagi setiap perbuatan atau setiapkasus, .melainkan hanya dibahas secara umum saja. Dalam pembahasan tentang dalil ini, dikalangan ulama ushul dikenal dua macam dalil, yaitu; Pertama: Dalil nash yang meliputi al-Quran dan alHadits. Kedua: Dalil kulliy, yaitu qaidah-qaidah umum yang dapat digunakan sebagai dasar penetapan hukum. Khusus menyangkut dalil-dalil nash terdapat dalil qatiiy dan zaniy. Ushul fiqih dapat bermain secara bebas dilapangan zanni ini, sedangkan dilapangan qathiy gerak ushul fiqih sangat terbatas bahkan dapat dikatakan sangat sempit dan terikat. Oleh karena itu sesuatu nash yang bersifat qathiy tak ada jalan lain yang dapat ditempuh kecuali mengikuti apa yang dikehendaki oleh nash tersebut. 2. Pembahasan tentang qaidah Pembahasan tentang qaidah yang digunakan sebagai jalan untuk memperoleh hukum dari dalildalilnya antara lain mengenai macam-macamnya, kehujjahannya dan hukum-hukum mengamalkannya. Al-quran adalah dalil syariy yang paling utama bagi seluruh hukum, lalu diikuti oleh al-hadis sebagai dalil syariiy yang menempati pada urutan kedua setelah al-quran. Keduanya itu disebut dalil nash syariyah. Di dalam dalil nash syariyah ini tidak ditentukan dalam satu bentuk formulasi, namun diantara nas-nash itu diformulasikan dalam berbagai bentuk lafaz seperti amar (perintah), nahyi (larangan), bentuk am (umum), mutlaq dan muqayyad. Bentuk-bentuk lafaz yang tersebar di dalam alquran maupun al-hadist dengan berbagai ragamnya (amar, nahyi, am, khas, muthlaq, muqaiyad, dan lain sebagainya) menjadi bahasan yang penting dalam ilmu ushul fiqih. Oleh karena itu seorang ulama ushul akan membahas setiap jenis dari cabang-cabang

tersebut dengan melakukan penyelidikan berdasarkan tata bahasa arab, agar menghasilkan berbagai hukum umum (hukum kulliy) yang ditunjukkan oleh masing-masing bentuk lafaz itu. Kesimpulan yang dihasilkan dari penyelidikan tadi, membuktikan bahwa amar menunjukkan wajib, nahyi menunjukkan haram, lafaz am menunjukkan keumuman dari lafaz tersebut yang mencakupi semua unsur yang ada di dalamnya, lafaz muthlaq menunjukkan pengertian muthlaq. Dengan demikian disusunlah kaidah-kaidah yang bersifat umum (kaidah kulliyah) seperti; (Pada dasarnya amar itu menunjukkan pengertian wajib)

(Pada dasarnya nahyi itu menunjukkan pengertian haram)

(Umum meliputi seluruh unsurnya secara qathiy)

(Muthlaq menunjukkan pengertian unsur sesuatu itu tidak terkait dengan yang lainnya). Kaidah-kaidah kulliyah tersebut merupakan hasil rumusan para ulama ushul yang ditetapkan berdasarkan nash-nash syariy, baik secara langsung maupun tidak. Yaitu dengan memperhatikan ruh syariy itu sendiri. Dilapangan ini ushul fiqih dapat bermain secara bebas, karena kaidah-kaidah tersebut dapat di kaitkan langsung dengan kondisi sosial yang terjadi dimasyarakat, apa lagi kondisi sosial tersebut tidak ditemukan dalil nash secara langsung. Dalam kaitan ini mujtahid dapat mengkaitkannya dengan kaidah-kaidah kuliyah yang pada gilirannya membuahkan hasil bernama hukum. 3. Pembahasan tentang hukum Kajian tentang hukum dalam ilmu ushul fiqih hanyalah secara umum, artinya tidak dibahas secara rinci dari setiap perbuatan. Pembahasan tentang hukum ini meliputi pembahasan tentang macammacam hukum dan syarat-syaratnya, yang

menetapkan hukum (al-Hakim), orang yang dibebani hukum (al-Mahkum alaih) dan syarat-syaratnya, ketetapan hukum (al-Mahkum bih) dan macammacamnya serta perbuatan-perbuatan yang ditetapi hukum (al-Mahkym fih) dan syarat-syaratnya. 4. Pembahasan tentang ijtihad. Dalam pembahasan ini, dibicarakan tentang macam-macamnya, syarat-syarat bagi orang yang boleh melakukan ijtihad, tingkatan-tingkatan orang dilihat dari kacamata ijtihad dan hukum melakukan ijtihad. 3. Tujuan hukum Islam Memperhatikan lapangan hukum Islam itu meliputi perbuatan manusia, maka disyariatkannya hukum tersebut sudah barang tentu untuk mengambil manfaat dan menolak kemudharatan. Allah SWT menciptakan syariat bagi manusia ada maksud dan tujuannya, oleh sebab itu syariat membagi perbuatan manusia kepada tiga tingkatan yaitu; 1. Tingkat dharury, (yang mesti ada), 2. Tingkat hajji (yang sangat diperlukan), 3. Tingkat tahsini (yang baik sekali dikerjakan). Ketiga tingkatan tersebut bertujuan untuk mengukur tingkatan kepentingan manusia dalam melaksanakan sesuatu perbuatan sehingga kita dapat menentukan hukumnya. Secara umum hukum Islam itu bertujuan untuk; 1. Memelihara agama; Untuk maksud ini maka Allah SWT memerintahkan kaum muslimin agar menegakkan syiar-syiar Allah, seperti mendirikan shalat yang lima waktu, puasa bulan ramadhan, zakat, haji, jihad dan lain sebagainya 2. Memelihara jiwa Untuk ini di larang membunuh jiwa, termasuk jiwa sendiri, disyariatkannya hukum qishas dan lain sebagainya. 3. Memelihara akal. Akal adalah sesuatu yang penting didalam kehidupan manusia, oleh karena itu ia harus dipelihara, jangan sampai akal itu rusak, untuk ini Allah SWT menetapkan ketentuan hukum bagi suatu perbuatan seperti diharamkan minum khamar, dan segala perbuatan yang dapat merusak akal. 4. Memelihara keturunan.

10

Agar keturunan tetap terpelihara dengan baik, maka Allah melarang perbuatan zina dengan menjatuhkan hukuman berat bagi para pelakunya. 5. Memelihara harta. Untuk ini ditetapkan hukuman potong tangan bagi para pencuri, hukuman berat bagi perampok dan lain sebagainya. Pada dasarnya setiap aturan tentu mempunyai tujuan yang hendak dicapai oleh sipembuatnya. Pada hukum positif misalnya, juga mempunyai tujuan, tetapi kalau diperhatikan tujuan yang hendak dicapai dalam hukum positif tersebut tidak lain hanyalah ketentraman masyarakat, yaitu dengan jalan mengatur batas hak-hak dan kewajiban bagi setiap anggota masyarakat dalam hubungannya satu sama lain. Sedangkan tujuan yang bernilai tinggi dan abadi tidak menjadi perhatiannya. Kalau diperhatikan tujuan hukum dalam hukum positif bersifat praktis dan terbatas, yakni menegakkan masyarakat menurut suatu cara tertentu, bila perlu aturan-aturan yang bersifat akhlak yang mulia dan agama ditinggalkan, seperti memperbolehkan minuman-minuman keras, perjudian dan sebagainya. Ketentraman masyarakat yang menjadi tujuan pada hukuman positif dapat dilihat pada pengakuan undang-undang terhadap adanya hak milik bagi seseorang yang dapat menguasai barang tidak bergerak yang bukan kepunyaannya selama 15 tahun terus menerus dengan maksud untuk memilikinya, meskipun sebenarnya merampas, juga dapat dilihat pada penetapan masa daluarsa (al-taqdum) dalam hukum perdata, bagi hapusnya hak miliknya atau memperoleh hak milik, sebab dengan jalan demikian ketentraman masyarakat bisa tercapai tanpa mempertimbangkan segi-segi akhlak dalam penetapan tersebut. Kalau kita bandingkan dengan hukum Islam, maka kita dapati tujuan hukum Islam lebih tinggi dan bersifat abadi, artinya tidak terbatas dengan lapangan materil yang bersifat sementara, karena faktor-faktor individu, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya selalu diperhatikan dan dirangkaikan satu sama lain, dan dengan hukum Islam dapat dimaksudkan agar kebaikan mereka semua dapat terwujud. Dalam lapangan ibadah misalnya, shalat, puasa, zakat, dan haji, dimaksudkan untuk membersihkan jiwa dan mempertemukannya dengan Allah, kesehatan jasmani dan kebaikan individu maupun masyarakat bersama-sama dengan berbagai seginya.

11

Pada lapangan muamalat (hubungan sesama manusia) dengan segala macamnya tujuan tersebut nampak jelas juga, seperti yang terlihat pada aturan-aturan pokok hukum Islam yang menguasai lapangan tersebut, diantara aturan-aturan pokok tersebut ialah aturan yang berbunyi: Menolak bahaya didahulukan atas mendatangkan kebaikan


Artinya: Barang siapa yang mengurusi kaum muslimin, kemudian ia mengangkat seseorang sedang diketahuinya ada orang lain yang lebih pantas daripadanya untuk kaum muslimin, maka ia telah mengkhianati Allah dan RasulNya.

Kepentingan umum harus didahulukan atas kepentingan pribadi. Berdasarkan aturan-aturan pokok tersebut, maka beberapa bentuk perikatan tertentu dilarang oleh hukum Islam, meskipun bisa mendatangkan keuntungan bagi sipelakunya, sedangkan menurut hukum positif bentuk-bentuk perikatan tersebut diperbolehkan, seperti riba, jual beli samar-samar (gharar) dan pembelian atas pembelian orang lain. Dalam lapangan administrasi pemerintahan pada hukum positif, sesuatu jabatan diserahkan kepada seseorang yang mempunyai kecakapan, dan ukur kecakapan tersebut tidak lain adalah tingkat keilmuan (ijazah) yang diperkirakan ada pertaliannya dengan kecakapan. Akan tetapi menurut hukum Islam ukuran kecakapan tersebut ialah kesanggupan yang sebenarnya, bukan kepandaian ilmu semata-mata, sesuai dengan hadits Nabi SAW yang berbunyi.

4. Tujuan mempelajari Ushul fiqih Seperti diketahui bahwa ushul fiqih adalah kumpulan qaedah-qaedah yang digunakan dengan tujuan untuk memperoleh hukum-hukum syara tentang perbuatan dari dalildalilnya yang terperinci. Selain itu ushul fiqih juga sebagai rujukan bagi hukum-hukum furu yang merupakan hasil ijtihad pada ulama. Dengan demikian dapat diketahui maksud dari nash syara serta hukum apa yang ditunjukinya. Dengan menerapkan qaedah-qaedah tersebut dapat ditentukan sikap yang harus 12

diambil ketika menghadapi nash-nash yang saling bertentangan. Selain itu dengan menerapkan qaedah-qaedah pada dalil-dalil seperti qiyas, istihsan, istishab, istislah dan lainnya dapat pula diperoleh hukum dari suatu perbuatan yang tidak ada nashnya di dalam al-Quran dan al-Sunnah. Dari sini jelaslah bahwa kegunaan mempelajari ilmu ushul fiqih itu ialah untuk memperoleh hukum-hukum syarak tentang perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci. Selain itu ilmu ushul fiqih berguna pula untuk mengetahui hukum-hukum syariat Islam dengan jalan yakin (pasti) atau dengan jalan zonny (dugaan atau perkiraan) dan untuk menghindari taqlid. Kegunaan ilmu ushul fiqih semacam ini masih sangat diperlukan, bahkan dapat dikatakan inilah kegunaan yang pokok, karena meskipun para ulama yang terdahulu telah berusaha untuk mengeluarkan hukum dalam berbagai persoalan, namun dengan perubahan dan perkembangan zaman yang terus berjalan, serta dengan bervariasinya lingkungan alam dan kondisi sosial pada berbagai daerah, menyebabkan timbulnya persoalan-persoalan hukum yang baru dan tidak didapati ketentuan hukumnya di dalam al-Quran dan al-Hadits, bahkan mungkin belum pernah terpikirkan oleh para ulama terdahulu. Untuk dapat mengetahui dan mengeluarkan ketetapan hukum dari berbagai persoalan tersebut, seseorang harus mengetahui qaedah-qaedah dan mampu menerapkannya pada dalil-dalilnya. Dengan menjadikan qaedah-qaedah sebagai rujukan bagi hukum-hukum furuk yang dihasilkan para ulama dengan ijtihadnya, maka dapat diketahui dalil-dalil yang digunakan dan cara-cara yang mereka tempuh dalam mengistinbatkan hukumhukum furuk tersebut. Sebab sering kali dijumpai dalam berbagai kitab fiqih bahwa hukum furuk yang merupakan hasil ijtihad seorang ulama atau sekelompok ulama tidak disebutkan dalil dan cara pengambilan hukumnya. Selain itu dengan ilmu ushul fiqih dapat pula diketahui sebab terjadinya perbedaan pendapat para ulama. Karena ditengarai terjadinya perbedaan pendapat para ulama tersebut pada dasarnya berpangkal dari perbedaan dalil yang mereka gunakan atau berbeda cara yang mereka tempuh untuk sampai pada hukum furuk yang diambilnya. Bahkan dengan ilmu ushul fiqih dapat pula diseleksi pendapat yang berbeda dikalangan para ulama. Dengan demikian dapat dipilih pendapat yang sejalan dengan qaedah yang digunakan oleh seorang ulama dalam mengistinbatkan hukum. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dari sisi ini, ilmu ushul fiqih dapat digunakan untuk mengetahui alasan-alasan pendapat para ulama. Kegunaan ini juga mempunyai arti yang

13

penting, karena jika mungkin seseorang akan dapat memilah dan memilih pendapat yang dipandangnya lebih kuat atau setidaktidaknya seseorang dalam mengikuti pendapat seorang ulama dengan mengetahui alasan-alasannya. 5. Ruang lingkup pembahasan Ushul fiqih Seperti diketahui bahwa ushulfiqih itu adalah dalil-dalil yang menjadi dasar adanya fiqih serta segala sesuatu yang dapat menyampaikan fiqih kepadadalil-dalilnya secara global. Dalil dimaksudkan disini adalah khitab Allah dan khitab RasulNya SAW, perbuatannya, taqrirnya, Ijmak, qiyas, ketetapan hukum asal ketika dalil-dalil ini tidk ada, fatwa ulama yang berkenaan dengan kehidupan ummat, serta apa saja yang dapat menyampaikan kepada adanya dalil-dalil tersebut, yaitu semua pendapat yang menguraikan dalil-dalil ini, tujuannya, serta susunannya. Dalam pembahasan ushul fiqih selalu di mulai dari khitab Allah dan khitab Rasul, karena keduanya menjadi pokok pangkal dari dalil-dalil lainnya. 6. Perbedaan Ushul Fiqih dengan Fiqih Berangkat dari pengertian-pengertian tersebut diatas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa perbedaan antara ushul fiqih dengan fiqih adalah; ushul fiqih merupakan alat untuk mendapatkan fiqih, sedangkan fiqih itu merupakan hasil yang diperoleh dari penggalian dalil-dalil syariy melalui ushul fiqih tersebut. Atau dengan kata lain bahwa ushul fiqih itu merupakan cara untuk mendapatkan fiqih. Wallahu Alam.

14

Anda mungkin juga menyukai