Anda di halaman 1dari 5

Fiqh dan Ushul Fiqh

Oleh: Widya Dhea Aqtari (0105192042)

Ilmu Komunikasi-3/ Semester II

A. Pengertian Fiqih dan Ushul Fiqh


Kata Fiqih adalah bahasa Arab yang berasal dari kata fuqiha-yafqahu-fiqhan, yang bermakna
mengerti atau memahami. Asal kata tersebut juga di gunakan Al-qur’an dalam surah at-Taubah
(9): 122 yang berbunyi :
۟ ‫ين َولِيُن ِذر‬
‫ُوا‬ ِ ‫وا فِى ٱل ِّد‬ ۟ ‫ُوا َكٓا َّف ًة ۚ َفلَ ْواَل َن َف َر مِن ُك ِّل فِرْ َق ٍة ِّم ْن ُه ْم َطٓا ِئ َف ٌة لِّ َي َت َف َّق ُه‬
۟ ‫ون لِ َينفِر‬
َ ‫ان ْٱلم ُْؤ ِم ُن‬
َ ‫َو َما َك‬
َ ‫َق ْو َم ُه ْم إِ َذا َر َجع ُٓو ۟ا إِلَي ِْه ْم لَ َعلَّ ُه ْم َيحْ َذر‬
‫ُون‬
Artinya : “ Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang), mengapa
tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.
Pernyataan yang ada pada ayat tersebut adalah yatafaqqahu fi al-din bermakna agar mereka
memahami agama (Islam). Hal ini merupakan suruhan Allah swt supaya di antara orang-orang
yang beriman ada suatu kelompok yang berkenan mempelajari agama.
Sekalipun ditinjau dari segi kekhususan makna, ayat tersebut tidak menunjukkan kekhususan
ilmu fiqih, tetapi pernyataan ayat itu telah menjaring pengertian ilmu fiqih itu sendiri. Artinya,
perintah mempelajari agama sudah mencakup suruhan mempelajari hukum-hukum yang ada
dalam ketentuan agama. Ketentuan hukum agama itu hanya bisa terlihat dalam kajian ilmu fiqih
yang merupakan bagian dari praktik kesempurnaan pelaksanaan agama disamping akidah dan
akhlak.1
Kata Fiqih secara etimologis berarti “paham yang mendalam”. Bila “paham” dapat
digunakannya untuk hal-hal yang bersifat lahiriah, maka Fiqih adalah paham yang
menyampaikan ilmu lahir kepada ilmu batin. Karena itulah at-Timidzi menyebutkan, fiqih
“tentang sesuatu”, berarti mengetahui batinnya sampai ke dalamnya. 2
Secara definitif, fiqih berarti “ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang
digali dan di temukan dan dalil-dalil yang tafsili”. Dalam definisi ini fiqih diibaratkan ilmu,
karna fiqih itu semacam ilmu pengetahuan. Memang fiqih itu tidak sama dengan ilmu seperti di
sebutkan di atas, fiqih itu bersifat zhanni. Fiqih adalah apa yang dicapai oleh mujtahid dengan
zhan-nya, sedangkan ilmu tidak bersifat zhanni seperti fiqh. Namun karna zhan dalam fiqih ini
kuat, maka ia mendekati kepada ilmu; karenanya dalam definisi ini ilmu digunakan juga untuk
fiqih.
Dalam definisi diatas terdapat batasan atau pasal yang di samping menjelaskan hakikat dari
fiqih itu, sekaligus juga memisahkan arti kata fiqih itu dari yang bukan fiqih. Kata “hukum”
dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa hal-hal yang berada di luar apa yang dimaksud
dengan kata “hukum”, seperti zat, tidaklah termasuk ke dalam pengertian fiqih. Bentuk jamak

2
dari kata hukum adalah “ahkam”. Disebut dalam bentuk jamak, adalah untuk menjelaskan
bahwa fiqih itu ilmu tentang seperangkat aturan yang disebut hukum.
Penggunaan kata “syar’iyyah” atau “syariah” dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa fiqih
itu menyangkut ketentuan yang bersifat syar’i, yaitu sesuatu yang berasal dari Allah. Kata ini
sekaligus menjelaskan bahwa sesuatu yang bersifat aqli seperti ketentuan bahwa dua kali dua
adalah empat atau bersifat hissi seperti ketentuan bahwa api itu panas bukanlah lapangan ilmu
fiqih. Kata “amaliah” yang terdapat dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa fiqih itu hanya
menyangkut tindak tanduk manusia yang bersifat lahiriah. Dengan demikian hal-hal yang bukan
bersifat amaliah seperti keimanan atau akidah tidak termasuk dalam lingkungan fiqih dalam
artian ini.
Penggunaan kata “digali dan ditemukan” mengandung arti bahwa fiqih itu adalah hasil
penggalian, penemuan, penganalisisan dan penentuan ketetapan tentang hukum. Karenanya bila
bukan dalam bentuk hasil suatu penggalian, seperti mengetahui apa-apa yang lahir dan jelas
dikatakan Allah tidak disebut fiqih. Fiqih itu adalah hasil penemuan mujtahid dalam hal-hal
yang tidak di jelaskan oleh nash.
Kata “tafisili” di dalam definisi tersebut menjelaskan tentang dalil-dalil yang digunakan seorang
faqih atau mujtahid dalam penggalian atau penemuannya. Karena itu, ilmu yang diterima oleh
orang awam dari seorang mujtahid yang terlepas dari dalil tidak termasuk ke dalam pengertian
fiqih.
Fiqih merupakan ilmu yang di peroleh melalui ra’yu dan ijtihad dengan menggunakan observasi
dan penyelidikan manusia. Oleh karena itu, fiqih tidak sama dengan syariat sebab fiqih
merupakan hasil pemikiran manusia, sedangkan syariat adalah wahyu Allah dan sunnah Nabi
Muhammad. Fiqih merupakan perwujudan hukum yang zanni dan pancaran dari syariat. Selain
itu, fiqih juga merujuk pada hukum-hukum yang masih di perselisihkan sebagai sumber hukum
Islam, seperti qiyas, istishan, istishab, masalih ar- mursalah, ‘urf dan lainnya.
Dengan demikian, dapat di simpulkan bahwa pada hakikatnya fiqih dapat di pahami dari empat
sudut pandang. Pertama, fiqih merupakan ilmu tentang syara’. Kedua, fiqih mengkaji hal-hal
yang bersifat amaliyah furu’iyah (praktik dan bersifat cabang). Ketiga, pengetahuan tentang
hukum syara’ yang didasarka pada dalil tafsili yakni Al-qur’an dan Sunnah. Keempat, fiqih
digali dan ditentukan melalui penalaran dan istidlal (penarikan kesimpulan) mujtahid.3
Adapun ushul fiqh terdiri dari dua kata, yaitu: ushul dan fiqh. Kata ushul merupakan bentuk
jamak (plural) dari kata ashl. Kata ushul secara terminologi mempunyai arti: berakar, berasal,
pangkal, asal, sumber, pokok, induk, pusat, asas, dasar, semula, asli, kaidah, dan silsilah. Ushul
fiqh adalah ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan
hukum dari dalil-dalil yang terperinci. Dalam artian yang sederhana ushul fiqh adalah kaidah-
kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya.
Umpamanya dalam kitab-kitab fiqh ditemukan ungkapan, “mengerjakan sholat itu hukumnya
wajib”. Wajibnya melakukan hukum sholat itu di sebut hukum syara’. Tidak pernah tersebut
dalam Al-qur’an maupun hadist bahwa sholat itu hukumnya wajib. Yang tersebut dalam Al-
qur’an hanyalah perintah mengerjakan sholat yang berbunyi aqiimuu al-shalah (kerjakanlah
sholat). Ayat Al-qur’an yang mengandung perintah sholat itu disebut dalil syara’. Untuk
merumuskan kewajiban shalat yang di sebut hukum syara’ dari firman Allah: aqiimuss al-
shalah.

3
Yang di sebut dalil syara’ itu ada aturannya dalam bentuk kaidah, umpamanya : “setiap perintah
itu hukumnya wajib”. Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara
mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang di sebut ilmu ushul fiqh. 4
Dari penjelasan diatas dapat di ketahui bahwa ushul fiqh adalah pedoman atau aturan-aturan
yang membatasi dan menjelaskan cara-cara yang harus di ikuti seorang fakih dalam usahanya
menggali dan mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya, sedangkan fiqh adalah hukum-hukum
syara’ yang telah digali dan dirumuskan oleh dalil-dalil menurut aturan yang sudah ditentukan
itu.
B. Objek Kajian Fiqh dan Ushul Fiqh
Adapun yang menjadi bidang pembahasan atau objek kajian ilmu fiqh adalah perbuatan orang
mukalaf dari sisi penerapan hukum syariat padanya. Seorang faqih (ahli fiqh) dalam
membicarakan perbuatan-perbuatan orang mukalaf dalam bidang muamalah, seperti jual-beli,
sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan gadai-menggadai. Dalam bidang munahakat seperti
mengadakan akad pernikahan, nafkah dan hadhana (pemeliharaan anak). Dalam bidang ibadah
seperti sholat, puasa, zakat, dan haji. Dalam bidang jinayah (kepidanaan) dan urusan pengadilan
seperti mencuri, membunuh, menuduh berbuat zina, dan sumpah palsu yang bertujuan
mengetahui apakah ketetapan hukum bagi setiap tindakan-tindakan tersebut sesuai ketentuan
syariat atau tidak.
Adapun yang menjadi objek pembahasan ilmu ushul fiqh ialah tentang dalil yang masih bersifat
umum dilihat dari ketetapan hukum yang umum pula. Dari objek pembahasan ini akan dibahas
tentang macam-macam dalil, syarat dan rukunnya, tingkatannya serta kehujahannya. Maka ahli
ushul akan membahas Al-qur’an, sunnah, ijma’, qiyas serta kehujahannya, dalil am’ serta yang
membatasinya, amr dan hal-hal yang menunjukkan amr, menjelaskan pula dalalah hukum dari
segi qathi’ dan zhannya, siapa yang berhak menerima taklif, menjelaskan pula tentang hal-hal
yang menjadi penghalang diberlakukannya hukum seperti bodoh, keliru, dan lupa.
Pendek kata objek pembahasan ushul fiqh itu, membahas semua perangkat yang di butuhkan
oleh para faqih (ahli fiqh) sehingga terhindar dari kesalahan dalam istinbat hukum. Yang
meliputi penjelasan tentang tertib sumber hukum, siapa yang menjadi sasaran khitab hukum,
siapa yang berhak untuk berijtihad dan siapa yang tidak berhak, menjelaskan tentang kaidah
kebahasaan serta penerapannya sehingga seorang faqih dapat mengeluarkan hukum dari nas.
Menjelaskan tentang qiyas dan yang berhubungan dengannya, menjelaskan tentang
kemashalatan, istihsan, menjelaskan tentang hukum syara’ tujuannya dan macam-macamnya,
menjelaskan rukhsan, azimah, masyaqqah, darurat dan semua yang berhubungan dengannya.
Semua objek pembahasan ini akan menjadi undang-undang yang harus di pegang teguh oleh
faqih dalam istinbat hukum
Ulama ushul tidak membahas dalil-dalil yang bersifat juz’i (parsial) tidak pula hukum yang
juz’i. Ulama ushul hanya membahas dalil dan hukum yang bersifat kulli (umum), sehingga
disusunlah kaidah-kaidah kulliyah. Sehingga ulama fiqh dapat menerapkannya untuk
memperoleh ketetapan hukum yang terperinci. Begitu pula ulama fiqh tidak akan membahas
dalil-dalil dan hukum-hukum yang bersifat kulli. Fiqh hanya akan membahas dalil yang juz’i
dan hukum yang juz’i pula. 5
C. Manfaat Mempelajari Fiqh dan Ushul Fiqh

5
Dalam masyarakat Muslim di mana berkembang budaya taklid pada salah seorang imam pendiri
mazhab, studi ushul fiqh kurang mendapat perhatian. Sebab, dalam mengamalkan hukum Islam,
bisa jadi mereka merasa cukup dengan apa yang telah tersedia dalam buku-buku fiqh klasik.
Studi ushul fiqh baru penting bilamana dihadapkan pada masalah-masalah baru yang hukumnya
tidak terdapat dalam perbendaharaan fiqih lama.
Di bawah ini akan di kemukakan beberapa kegunaan penting studi ushul fiqh:
a. Dengan mempelajari ushul fiqh, akan memungkinkan untuk mengetahui dasar-dasar
para mujtahid masa silam dalam membentuk pendapat fikihnya. Dengan demikian akan
mengerti betul secara mendalam sehingga dengan itu bisa diketahui sejauh mana
kebenaran pendapat-pendapat fikih yang berkembang di dunia Islam. Pengetahuan
seperti ini akan mengantarkan kepada ketenangan mengamalkan pendapat-pendapat
mereka.
b. Dengan studi ushul fiqh, seseorang akan memperoleh kemampuan memahami ayat-ayat
Al-qur’an dan hadist-hadist hukum dalam sunnah Rasulullah dan mengistinbatkan
hukum dari dua sumber tersebut. Dalam ushul fiqh, seseorang akan memperoleh
pengetahuan bagaimana seharusnya memahami sebuah ayat atau hadis, dan bagaimana
cara mengembankannya. Oleh karena itu, para ulama mujtahid terdahulu lebih
mengutamakan studi ushul fiqh dari studi fiqh itu sendiri. Sebab dengan mempelajari
ushul fiqh seseorang bukan hanya saja mampu memakai melainkan mampu memproduk
fikih.
c. Dengan mendalami ushul fiqh, seseorang akan mampu secara benar dan lebih baik
melakukan muqranat al-mazahib al-fiqhiyah, studi komparatif antar pendapat ulama
fiqh dari berbagai mazhab, sebab ushul fiqh merupakan alat untuk melakukan
perbandingan mazhab fiqh.6
d. Mampu menyimpulkan hukum dari dalil-dalilnya yang terperinci.
e. Dipandang sebagai salah satu ilmu penting yang mengkaji dalil-dalil syar’i serta
menjaganya dari fitnah para pembuat fitnah, ketimbang para musuh Islam, serta
penyesatan para atheis.
f. Dipandang sebagai salah satu ilmu yang membentuk seorang ahli fikih mujtahid, serta
orang yang pandai kondisi dalil-dalil yang bersifat kulli (umum).7
Berikut ini akan ditampilkan beberapa rumusan tujuan mempelajari ilmu ushul fiqh yang di
kemukakan oleh ulama ushul:
Menurut Abdul Wahab Khalaf mempelajari ilmu ushul fiqh memiliki tujuan antara lain,
“mampu menerapkan kaidah terhadap dalil-dalil guna memperoleh hukum syariat dan dapat
memahami nas-nas syariat serta kandungan hukumnya.”
Menurut Wahbah Zulaihi, mempelajari ushul fiqh bertujuan “memberikan kemampuan kepada
mujtahid untuk menerapkan kaidah ushul fiqh guna memperoleh hukum syara’ amali dari dalil-
dalilnya yang terperinci”. Dengan demikian, seorang mujtahid akan mampu memahami nas-nas
syariah baik yang bersifat jali (jelas) dan khafi (tersembunyi) serta mampu menyimpulkan
hukum yang di kandungnya sebagaimana ia mampu memberlakukan qiyas, maslahah, istishab,
dan sebagainya untuk memperoleh hukum dari kejadian yang lalu.
Menurut Satria Efendi, sedikitnya ada tiga tujuan penting mempelajari ushul fiqh:

7
1. Mengerti dasar mujtahid masa silam dalam membentuk fiqhnya, sehingga dapat
diketahui kebenaran pendapat fiqh yang berkembang. Dalam pengetahuan ini akan
memberi ketenangan dalam mengamalkan pendapat mereka.
2. Memahami ayat-ayat ahkam dan hadist ahkam, dan mampu mengistinbat suatu hukum
yang berdasarkan kepadanya. Begitu pentingnya ilmu ushul fiqh, maka pantas dan
wajar jika ulama terdahulu lebih mengutamakan studi ushul fiqh dibanding fiqh. Karena
dengan ushul fiqh seseorang mampu memproduk fiqh.
3. Mampu secara benar melakukan perbandingan mazhab fiqh, studi komperatif diantara
para pendapat ulama fiqh dari berbagai mazhab. Karena ushul fiqh merupakan alat
untuk melakukan perbandingan mazhab. 8
Tujuan-tujuan mempelajari ushul fiqh hasil rumusan para ulama di atas pada klimaksnya
bermuara pada satu tujuan tertinggi, yaitu memelihara agama Islam dari penyimpangan dan
penyalahgunaan dalil-dalil syara’, sehingga terhindar dari kecerobohan yang menyesatkan.

Anda mungkin juga menyukai