Anda di halaman 1dari 12

Makalah

Pendidikan Agama Islam


Produk Ijtihad

Disusun Oleh :

Renvillia Ajeng Rasmikita


18081450

Fakultas Psikologi
Psikologi
Universitas Mercu Buana Yogjakarta
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara umum ijtihad memiliki arti menggunakan akal pikiran yang sehat untuk
memahami atau mengambil dasar atas hukum islam. Pada dasarnya ijtihad adalah suatu
proses yang digunakan oleh ulama, dengan pendapatnya, atau hasil berpikirnya. Tentu saja
ijtihad ini sangat dibutuhkan oleh seorang ulama, alim agama, dan para cendekiawan islam
lainnya untuk menghindari taklid buta atau sekedar percaya atau mengikuti pemikiran ulama
tertentu saja.

Dalam memahami hukum islam, yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah Rasulullah
tentunya juga dibutuhkan ijtihad untuk dapat memahaminya. Tentu saja, proses ijtihad ini
tidaklah main-main atau sekedar asal-asalan. Proses ijtihad membutuhkan metodologi dan
proses yang ilmiah. Apalagi hal ini berkenaan dengan hukum islam.

Jika hasil dari ijtihad benar, maka akan sesuai dengan spirit dan substansi yang ada dalam Al-
Quran. Tentu saja jug akan bermanfaat hasilnya bagi manusia dalam mencapai Tujuan
Penciptaan Manusia, Proses Penciptaan Manusia , Hakikat Penciptaan Manusia , Konsep
Manusia dalam Islam, dan Hakikat Manusia Menurut Islam sesuai dengan fungsi
agama , Dunia Menurut Islam, Sukses Menurut Islam, Sukses Dunia Akhirat Menurut
Islam, dengan Cara Sukses Menurut Islam .
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad

Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-
masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dengan
kata lain, Ijtihad secara etimologi adalah pencurahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan
sesuatu urusan atau sesuatu perbuatan. Dalam Al-Qur’an disebutkan:
…‫… َوالَّذِينَ ََل يَ ِجد ُونَ إِ ََّل ُج ْهدَ ُه ْم‬
Artinya:
“…Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain
kesanggupan.” Q.S. At-Taubah:79)
Kata al-jahd bbeserta seluruh derivasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan
lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi.
Dalam pengertian inilah, Nabi mengungkapkan kata-kata:
ِ ‫علَي َوجْ ت َ ِهدُا ْو فِى ال ُّدع‬
‫َاء‬ َ ‫صلُّ ْوا‬
َ
Artinya:
“Bacalah salawat padaku dan bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.”
ُّ ‫َوأَماال‬
ِ ‫س ُج ْو ُد فَاجْ ت َ ِهد ُْوا ِفى ال ُّدع‬
‫َاء‬
Artinya:
“Pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.”
Demikian pula pada jihad (perang) yang derivasinya sama dengan ijtihad mengandung arti
sungguh-sungguh dan tidak disenangi.
Ijtihad adalah masdar dari fiil madzi ijtahada. Penambahan hamzah dan ta’ pada
kata ja-ha-da menjadi ijtahada pada wajan if-ta-a’-la berarti, “usaha itu lebih sungguh-
sungguh”. Seperti halnya ka-sa-ba menjadi iktasaba, yang berarti “usaha lebih kuat dan
sungguh-sungguh”. Oleh sebab itu, ijtihad berarti usaha keras atau pengerahan daya
upaya (istifragh al-wus’ atau badzl al-wus’). Dengan demikian, ijtihad berarti usaha maksimal
untuk mendapatkan atau memperoleh sesuatu. Sebaliknya, suatu usaha yang dilakukan tidak
maksimal dan tidak menggunakan daya upaya yang keras tidak disebut ijtihad, melainkan daya
nalar biasa, ar-ra’y atau at-tafkir.
Adapun definisi ijtihad secara terminologi cukup beragam dikemukakan oleh
ulama ushul fiqih, namun intinya adalah sama. Sebagai berikut:
1. Ibnu Abd al-Syakur, dari kalangan Hanafiyah mendefinisikannya sebagai: “Pengerahan
kemampuan untuk menemukan kesimpulan hukum-hukum syara’ sampai ke tingkat zhanni
(dugaan keras) sehingga mujtahid itu merasakan tidak bisa lagi berupaya lebih dari itu.”
2. Al-Baidawi (w. 685 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah mendefinisikannya sebagai:
“Pengerahan seluruh kemampuan dalam upaya menemukan hukum-hukum syara’.”
3. Abu Zahra, ahli Ushul Fiqh yang hidup pada awal abab kedua puluh ini mendefinisikan
ijtihad sebagai: “Pengerahan seorang ahli fikih akan kemampuannya dalam upaya menemukan
hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari satu per satu dalilnya.”
Pada definisi ketiga ini, ditegaskan bahwa pihak yang mengerahkan kemampuannya itu
adalah ahli fikih, yaitu mujtahid, dan tempat menemukan hukum-hukum itu adalah dalil-
dalilnya. Pada definisi pertama dan kedua hal seperti ini tidak ditegaskan karena dianggap
sudah dimaklumi bahwa orang yang akan melakuka ijtihad itu mestilah ahli fikih atau mujtahid.
Demikian pula pada definisi kedua dan ketiga, tidak ditegaskan bahwa kesimpulan-kesimpulan
fikih yang akan ditemukan oleh kegiatan ijtihad itu hanya sampai ke tingkay zhanni (dugaan
kuat), sebagaimana ditegaskan pada definisi kedua, karena sudah dimaklumi bahwa setiap hasil
ijtihad bobotnya hanya sampai ke tingkat zhanni, tidak sampai ke tingkat yang lebih
meyakinkan.

Abdul Wahhab Khallaf menerangkan ijtihad dalam arti luas yang meliputi beberapa hal
berikut:
a. Pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syarak yang dikehendaki oleh
nas yang zanni dalalahnya.
b. Pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syarak yang amali dengan
menetapkan kaidah syar’iyah kulliyah.
c. Pencurahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan hukum syarak yang ‘amali mengenai
masalah yang tidak ditunjuki hukumnya oleh nas dengan sarana-sarana yang diperbolehkan
oleh syarak guna ditetapkan hukumnya.
Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa Ijtihad adalah suatu
pekerjaan yang mempergunakan segala kesanggupan daya rohaniah untuk mendapatkan
hukum syara’ atau menyusun suatu pendapat dari suatu masalah hukum yang bersumber dari
Al Qur’an dan hadis.

B. Dasar Hukum Ijtihad

Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum Islam.
Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui pernyataan yang
jelas maupun berdasarkan isyarat, diantaranya:
1. Firman Allah SWT Q.S. An-Nisa ayat 105
ُ‫اس بِ َما أ َ َراكَ ّللا‬
ِ ‫َق ِلتَحْ ُك َم بَ ْينَ الن‬ َ َ‫إِنا أ َ ْن َز ْلنَا ِإلَ ْيكَ ا ْل ِكت‬
ِ ‫اب بِا ْلح‬
Artinya:
“sesungguhnya kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi di antara
manusia dengan apa yang Allah mengetahui kepadamu.”
Dalam ayat tersebut terdapat penetapan ijtihad berdasarkan qiyas.
َ‫ت ِلقَ ْو ٍم َيتَفَك َُر ْون‬ ٍ ‫ِإن فى ذَا ِلكَ َل َيا‬
Artinya:
“sesungguhnya pada hal itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir”
2. Firman Allah SWT Q.S. An-Nisa ayat 59:
ٍ‫از ْعت ُ ْم فِي ش َْيء‬ َ َ‫سو َل َوأُو ِلي ْالَ ْم ِر ِم ْن ُك ْم ۖ فَ ِإ ْن تَن‬ ُ ‫يَا أَيُّهَا ال ِذينَ آ َمنُوا أ َ ِطيعُوا ّللاَ َوأ َ ِطيعُوا الر‬
ْ َٰ
ُ‫فَ ُردُّوه‬ ‫يل‬ً ‫سنُ تَأ ِو‬ َ ْ‫سو ِل إِ ْن ُك ْنت ُ ْم ت ُؤْ ِمنُونَ ِباَّللِ َوا ْليَ ْو ِم ْاْل ِخ ِر ۚ ذَ ِلكَ َخي ٌْر َوأَح‬
ُ ‫إِلَى ّللاِ َوالر‬
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada Al-Qur’an dan sunnah,
menurut Ali Hasaballah adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan
mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya dengan jalan ijtihad dalam membahas
kandungan ayat atau hadis dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dari
Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, seperti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ditegaskan
hukumnya dengan sesuatu yang disebutkan dalam Al-Qur’an karena persamaan ‘illatnya
seperti dalam praktik qiyas (analogi), atau dengan meneliti kebijaksanaan-kebijaksanaan
syariat. Melakukan ijtihad seperti inilah yang dimaksud mengembalikan sesuatu kepada Allah
dan Rasul-Nya seperti yang dimaksud oleh ayat itu.
3. Adanya keterangan dari sunah, yang membolehkan berijtihad, diantaranya:
Sabda Nabi SAW:
‫أخطأ فلهُ أجْ ٌر‬ ْ ‫إذَا حكم الحاكم فاجْ تهد فاصاب فله اجران وإذا حكم فاجْ تهد ثـم‬
Artinya:
“Apabila hakim memutuskan hukum dengan berijtihad dan ia menemukan kebenaran dalam
berijtihadnya, maka ia mendapat dua pahala. Jika ia tidak memperoleh kebenaran dalam
ijtihadnya, maka ia memperoleh satu pahala” (H.R.Bukhari dan Muslim) Falsafat Tasyri’.[10]
Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Mu’adz bin Jabal, ketika Muadz
diutus menjadi hakim di Yaman berikut ini:
‫ْف‬َ ‫ َكي‬:َ‫ث ُم َعاذًا ا ِل َي ا ْل َي َم ِن قَال‬َ ‫س ْو ُل هللاِ لَما أَ َرا َد أَ ْن َي ْب َع‬ُ ‫ب ُم َعاذ ب ِْن َج َب ِل ِإن َر‬ ْ َ ‫ع َْن أُنا َ ٍس ِم ْن ا َ ْه ِل َح َمص ِم ْن أ‬
ِ ‫صحَا‬
‫ َف ِإ ْن‬:َ‫ قَال‬.ِ‫س ْو ِل هللا‬
ُ ‫سن ِة َر‬ ُ ‫ َف ِب‬:َ‫ب هللا؟ قَال‬ ِ ‫ أ َ ْق ِضى ِب ِكتَا‬:َ‫ض لَكَ قَضَا ٌء؟ قَال‬
ِ ‫ فَ ِإ ْن لَ ْم ت َ ِج ْد فِي ِكتَا‬:َ‫ قَال‬.ِ‫ب هللا‬ َ ‫ض ِإذَاع ََر‬ ِ ‫ت َ ْق‬
ِ ِ ‫ اَ ْلح َْمد‬:َ‫صد َْرهُ َوقَال‬
‫َُّلل‬ َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ُ ‫ب َر‬ َ ‫ فَض ََر‬.‫ْئ َو ََلآلُ ْو‬ ِ ‫ اَجْ ت َ ِه ُد َراي‬:َ‫ب هللاِ؟ َقال‬ ِ ‫س ْو ِل هللاِ َو ََل ِفي ِكتَا‬
ُ ‫سن ِة َر‬ُ ‫لَ ْم ت َ ِج ْد فِي‬
.)‫س ْو ُل هللاِ (رواه ابوداود‬ ُ ‫س ْو ِل هللاِ لَما َي ْرضَي َر‬ ُ ‫س ْو َل َر‬ُ ‫ق َر‬
َ ‫ِي َوف‬ْ ‫الذ‬
“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa Rasulullah saw. Ketika
bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau bertanya: apabila dihadapkan kepadamu
satu kasus hukum, bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan
memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan
dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah
Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul
dan Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama. Kemudian
Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau, seraya berkata:, Segala puji
bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang
diridloi-Nya.”(HR.Abu Dawud).
Dan hal itu telah diikuti oleh para sahabat setelah Nabi wafat. Mereka selalu berijtihad
jika menemukan suatu masalah baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.

C. Fungsi Ijtihad

Adapun ijtihad memiliki beberapa fungsi, di antaranya sebagai berikut:


a. Ijtihad merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan hadis.
b. Ijtihad merupakan sarana untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru yang muncul
dengan tetap berpegang pada Al-Qur’an dan sunah.
c. Ijtihad berfungsi pula sebagai suatu cara yang di isyariatkan untuk menyesuaiakan
perubahan-perubahan sosial dengan ajaran-ajaran Islam.
d. Ijtihad berfungsi sebagai wadah pencurahan pemikiran kaum muslim dalam mencari jawaban
dari masalah-masalah seperti berikut ini:
1. Masalah asasi, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan ajaran Islam seperti masalah-masalah
bidang akidah dan muamalat.
2. Masalah esensial misalnya mengenai program pembangunan Negara dan bangsa.
3. Masalah incidental misalnya tentang isu-isu yang berkembang dalam masyarakat.

D. Macam-macam Ijtihad

Dikalangan ulama, terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah ijtihad. Iman Syafi’I
menyamakan ijtihad dengan qiyas, yakni dua macam, tetapi maksudnya satu. Dia tidak
mengakui ra’yu yang didasarkan pada istihsan atau maslahah mursalah. Sementara itu, para
ulama lainnya memiliki pandangan lebih luas tentang ijtihad. Menurut mereka, ijtihad itu
mencakup ra’yu, qiyas, dan akal.
Pemahaman mereka tentang ra’yu sebagaimana yang diungkapkan oleh para sahabat,
yaitu mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh seorang mujtahi, atau setidak-
tidaknya mendekati syari’at, tanpa melihat apakah hal itu ada dasarnya atau tidak. Berdasarkan
pendapat tersebut, Dr. Dawalibi membagi ijtihad menjadi kitab Al-Muwafakat, yaitu:
a. Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash.
b. Ijtihad Aal-qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an
dan As-Sunah dengan menggunakan metode qiyas.
c. Ijtihad al-istislah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an
dan As-Sunah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah.[14]
Pembagian di atas masih belum sempurna, seperti yang diungkapkan oleh Muhammad
Taqiyu al-Hakim dengan mengemukakan beberapa alas an, diantaranya jami’ wal mani.
Menurutnya, ijtihad itu dapat dibagi menjadi dua bagian saja, yaitu:
1. Ijtihad al-aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal, tidak menggunakan
dalil syara’. Mujtahid dibebaskan untuk berpikir, dengan mengikuti kaidah-kaidah yang pasti.
Misalnya, menjaga kemadaratan, hukuman itu jelek bila tidak disertai penjelasan, dan lain-lain.
2. Ijtihad syari’, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’, termasuk dalam pembagian ini
adalah ijma’, qiyas, istihsan, Istishlah, ‘urf, istishhab, dan lain-lain.[15]
Ijtihad dilihat dari sisi jumlah pelakunya dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Ijtihad Fardi, menurut al-Thayyib Khuderi al-Sayyid, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh
perorangan atau hanya beberapa orang ijtihad. Misalnya, ijtihad yang dilakukan oleh para iman
mujtahid besar: iman Abu Hanifah, Iman Malik, Iman Syafi’I, dan Ahmad bin Hanbal.
2. Ijtihad Jama’i, adalah apa yang dikenal dengan ijma’ dalam kitab-kitab Ushul Fiqh, yaitu
kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad SAW setelah Rasulullah wafat dalam
masalah tertentu. Dalam sejarah Ushul Fiqh, ijtihad jama’I dalam pengertian ini hanya
melibatkan ulama-ulama dalam satu disiplin ilmu, yaitu fikih. Dalam perkembangannya, apa
yang dimaksud dengan ijtihad jama’i, seperti dikemukakan al-Thayyib Khuderi al-Sayyid,
disamping bukan berarti melibatkan seluruh ulama mujtahid, juga bukan dalam satu disiplin
ilmu.

E. Syarat-syarat Ijtihad

Ulama ushul berbeda pendapat dalam menetapkan syarat-syarat ijtihad atau syarat-
syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid (orang yang melakukan ijtihad). Secara
umum, pendapat mereka tentang persyaratan seorang mujtahid dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, baik
menurut bahasa maupun syari’ah. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghafal, melainkan
cukup mengetahui letak-letaknya saja, sehingga memudahkan baginya apabila ia
membutuhkan. Aman Ghazali, Ibnu Arabian, dan Ar-Razi membatasi ayat-ayat hukum tersebut
sebanyak 500 ayat.
2. Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik menurut bahasa maupun
syari’at. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghafal, melainkan cukup mengetahui letak-
letaknya secara pasti, untuk memudahkannya jika ia membutuhkannya. Ibnu Arabian
membatasinya sebanyak 3000 hadis. Menurut Ibnu Hanbal, dasar ilmu yang berkaitan dengan
hadis Nabi berjumlah sekitar 1.200 hadis. Oleh karena itu, pembatasan tersebut dinilai tidak
tepat karena hadis-hadis hukum itu tersebar dalam berbagai kitab yang berbeda-beda.[17]
Menurut Asy-Syaukani, seorang mujtahid harus mengetahui kitab-kitab yang
menghimpun hadis dan bisa membukanya dengan cepat, misalnya dengan menggunakan
kamus hadis. Selain itu, ia pun harus mengetahui persambungan sanad dalam hadis.
Sedangkan menurut At-Taftaji, sebaiknya mujtahid mengambil referensi dari kitab-
kitab yang sudah manshyur kesahihannya, seperti Bukhari, Muslim, Baghawi, dan lain-lain.
3. Mengetahui nasakh dan mansukh dari Al-Qur’an dan As-Sunah, supaya tidak salah dalam
menetapkan hukum, namun tidak disyaratkan harus menghafalnya. Di antara kitab-kitab yang
bisa dijadikan rujukan dalam nasakh dan mansukh adalah kitab karangan Ibnu Khujaimah, Abi
Ja’far An-Nuhas, Ibnu Jauzi, Ibnu Hajm, dan lain-lain.
4. Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama, sehingga ijtihad-nya
tidak bertentangan dengan ijma’. Kitab yang bisa dijadikan rujukan di antaranya Kitab
Maratibu al-Ijma’.
5. Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratan serta meng-istinbatnya, karenaqiyas merupakan
kaidah dalam berijtihad.
6. Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta
berbagai problematikanya. Hal ini antara lain karena Al-Qur’an dan As-Sunnah ditulis dengan
bahasa Arab. Namun, tidak disyaratkan untuk betul-betul menguasainya atau menjadi ahlinya,
melainkan sekurang-kurangnya mengetahui maksud yang dikandung dari Al-Qur’an atau Al-
Hadis.
7. Mengetahui ilmu Ushul Fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad. Bahkan, menurut Fakhru
Ar-Razi, ilmu yang paling penting dalam ber-ijtihad adalah ilmu Ushul Fiqih
8. Mengetahui maqashidu Asy-Syari’ah (tujuan syari’at) secara umum, karena bagaimanapun
juga syari’at itu berkaitan dengan maqashidu Asy-Syari’ah atau rahasia disyari’atkannya suatu
hukum. Sebaiknya, mengambil rujukan pada istihsan, maslahah mursalah, urf, dan sebagainya
yang menggunakan maqashidu Asy-Syari’ah sebagai standarnya.
Maksud dari maqashidu al-Syari’ah, antara lain menjaga kemaslahatan manusia dari
menjauhkan dari kemadaratan. Namun, standarnya adalah syara’, bukan kehendak manusia,
karena manusia tidak jarang menganggap yang hak menjadi tidak hak dan sebaliknya.[18]
Syarat-syarat tersebut diperlukan bagi mujtahid mutlak yang bermaksud mengadakan
ijtihad dalam segala masalah fikih di masa lampau. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan
di masa sekarang, syarat-syarat tersebut tentu belum mencukupi. Untuk melakukan ijtihad,
diperlukan pula pemahaman terhadap ilmu pengetahuan secara umum dan segala cabangnya.
Akan tetapi, usaha itu bukanlah suatu hal yang mudah dan memerlukan kerja keras dan
keseriusan. Ijtihad yang dilakukan secara kolektif sangat membantu untuk melakukan ijtihad
yang efektif.

F. Tingkatan Mujtahid

Dalam menbicarakan masakah tingkatan ijtihad, tidak terlepas dari perbedaan pendapat
di kalangan para ulama ushul tentang telah tertutupnya menurut pintu ijtihad.
Menurut As-Suyuthi “Umat sekarang (pada zamannya) telah terjebak pada pemikiran
bahwa mujtahid mutlaq itu sudah tidak ada lagi dan yang ada sekarang hanyalah mujtahid
muqayyad. Pernyataan seperti itu adalah salah besar dan tidak sesuai dengan pendapat para
ulama. Mereka tidak mengetahui apa sebenarnya perbedaan antara mujtahid mutlaq, mujtahid
muqayyad, dan mujtahid muntasib yang semuanya berbeda.[20]
Dilihat dari luas atau sempitnya cakupan bidang ilmu yang diijtihadkan, tingkatan
mujtahid terdiri atas mujtahid fisy syar’i, mujtahid fil masa’il, mujtahid fil mazhab, dan
mujtahid muqayyad.

a. Mujtahid Fisy Syar’i

Mujtahid fisy syar’I adalah orang-orang yang berkemampuan mengijtihadkan seluruh


masalah syariat yang hasilnya diikuti dan dijadikan pedoman oleh orang-orang yang tidak
sanggup berijtihad. Merekalah yang membangun mazhab-mazhab tertentu. Ijtihad yang
mereka lakukan semata-mata hasil usahanya sendiri tanpa mengambil pendapat orang lain.
Oleh karena itu, mereka disebut dengan mujtahid mustaqil (berdiri sendiri). Mereka yang
termasuk mujtahid fisy syar’i antara lain Imam Hanafi, Iman Malik, Iman Syafi’i Iman Ahmad
bin Hambal, Iman Al Auza’i dan Ja’far As Siddiq.

b. Mujtahid Fil Masa’il

Mujtahid fil masa’i adalah mujtahid yang mengarahkan ijtihadnya kepada masalah
tertentu dari suatu mazhab, bukan kepada dasar-dasar pokok yang bersifat umum. Misalnya,
At Tahawi merupakan mujtahid dalammazhab Hanafi, Imam Al Gazali merupakan mujtahid
dalam mazhab Syafi’i, dan Al Khiraqi merupakan mujtahid dalam mazhab Hambali.
c. Mujtahid Fil Mazhab

Mujtahid yang ijtihadnya tidak sampai membentuk mazhab tersendiri. Akan tetapi,
mereka cukup mengikuti salah seorang imam mazhab yang telah ada dengan beberapa
perbedaan, baik dalam beberapa masalah yang utama maupun dalam beberapa masalah cabang.
Misalnya, Imam Abu Yusuf dan Muhammad Ubnul Hasan adalah mujtahid fil mazhab Hanafi
dan Imam Al Muzanniy adalah mujtahid fil mazhab Syafi’i.

d. Mujtahid Muqayyad

Mujtahid muqayyad adalah mujtahid yang mengikatkan diri dan menganut pendapat-
pendapat ulama salaf dengan mengetahui sumber-sumber hukum dan dalalah-dalalahnya.
Mereka mampu menetapkan pendapat yang lebih utama di antara pendapat yang berbeda-beda
dalam suatu mazhab dan dapat membedakan antara riwayat yang kuat dan yang lemah. Mereka
adalah Al Karakhi yang merupakan mujtahid dalam mazhab Hanafi serta Ar Rafi’i dan An
Nawawi yang merupakan mujtahid dalam mazhab Syafi’i.

G. Objek Ijtihad

Menurut Al-Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki
dalil yang qathi’. Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan
objek ijtihad.
Dengan demikian, syari’at Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua
bagian:
1. Syari’at yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah
dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil
yang qathi’, seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat, puasa, ibadah haji, atau haramnya
melakukan zina, mencuri, dan lain-lain. Semua itu telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-
Qur’an dan As-Sunah.
Kewajiban shalat dan zakat berdasarkan firman Allah SWT.
َّ ‫َوأَقِي ُموا الص َََّلةَ َوآت ُوا‬
….َ‫الزكَاة‬
Artinya:
“Dan dirikanlah shalat tunaikanlah zakat….” (Q.S. An-Nur ayat 56)
Ayat tersebut tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad untuk mengetahui maksud shalat.
2. Syari’at yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil
yang bersifat zhanni, baik maksudnya, petunjuknya, ataupun eksistensinya (tsubut), serta
hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma’ para ulama.[22]
Apabila ada nash yang keberadaanya masih zhanni, hadis ahad misalnya, maka yang
menjadi lapangan ijtihad di antaranya adalah meneliti bagaimana sanadnya, derajat para
perawinya, dan lain-lain.
Dan nash yang petunjuknya masih zhanni, maka yang menjadi lapangan ijtihad, antara
lain bagaimana maksud dari nash tersebut, misalnya dengan memakai kaidah ‘am, khas, mutlaq
muqayyad, dan lain-lain.
Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada nashnya, maka yang menjadi
lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang bersumber dari akal,
seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan lain-lain. Namun, permasalahan ini banyak
diperdebatkan di kalangan para ulama.

H. Hukum Melakukan Ijtihad

Menurut para ulama, bagi seseorang yang sudah memenuhi persyaratan ijtihad di atas,
ada lima hukum yang bisa dikenakan pada orang tersebut berkenaan dengan ijtihad, yaitu:
a. Orang tersebut dihukumi fardu ain untuk berijtihad apabila ada permasalahan yang
menimpa dirinya, dan harus mengamalkan hasil dari ijtihad-nua dan tidak boleh taqliq kepada
orang lain. Karena hukum ijtihad itu sama dengan hukum Allah terhadap permasalahan yang
ia yakini bahwa itu termasuk hukum Allah.
b. Juga dihukumi fardu ‘ain ditanyakan tentang suatu permasalahan yang belum ada
hukumnya. Karena jika tidak segera dijawab, dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam
melaksanakan hukum tersebut atau habis waktunya dalam mengetahui kejadian tersebut.
c. Dihukumi fardu kifayah, jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan
akan habis waktunya, atau ada orang lainselain dirinya yang sama-sama memenuhi syarat
sebagai seorang mujtahid.
d. Dihukumi sunah apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya ataupun
tidak.
e. Dihukumi haram apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan secara
qathi’, sehingga hasil ijtihadnya itu bertentangan dengan dalil syara’.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan berbagai
metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk menggali dan
mengetahui hukum Islam. Tujuan ijtihad dilakukan adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan
hukum karena permasalahan manusia semakin hari semakin kompleks di mana membutuhkan
hukum Islam sebagai solusi terhadap problematika tersebut. Ijtihad merupakan sumber hukum
ketiga setelah Al-Qur’an dan Al-hadits yang mendapatkan legitimasi dari keduanya.
Sebenarnya ijtihad bukanlah suatu yang baru, melainkan sudah ada pada masa Rasulullah. Hal
ini sudah dilakukan oleh Nabi, sahabat, tabi’in dan para ulama klasik, namun tidak
sembarangan orang diperbolehkan untuk melakukan ijtihad, akan tetapi harus memenuhi
criteria tertentu.
Melakukan ijtihad bagi seorang mujtahid dapat mencapai hukum wajib ain, fardhu
kifayah, dan sunnat. Adapun untuk menjadi mujtahid disyaratkan memiliki pengetahuan dan
pemahaman tentang Al-Quran dan As-Sunnah dari berbagai aspeknya, memahami masalah
yang sudah disepakati ulama, memahami bahasa Arab, dan mengetahui ushul fiqh.
Mujtahid dibedakan pada mujtahid mutlaq dan mujtahid muntasib. Pendekatan dalam
ijtihad dilakukan dengan ijma, qiyas, maslahat, istihsan, istishab, syaru’ man qablana, dilalah
iqtiran, sadudzarai’, madzhab sahabi, ‘urf, ta’adul dan tarjih.

B. Saran
Para pembaca hendaknya memahami betul masalah-masalah mengenai ijtihad. Karena
dengan ijtihad seseorang mampu menetapkan hukum syara' dengan jalan menentukan dari
kitab dan sunnah.

Anda mungkin juga menyukai