Anda di halaman 1dari 104

BAB IV:

SUMBER-SUMBER HUKUM SYARI’AH

A. Pengertian Dalil-Dalil Syariah


Sebelum membahas tentang pembagian dalil kiranya
penulis akan memberikan definisi dalil menurut para ulama’:
Secara etimologi dalil bermakna menunjukkan ataupun
memberi tahu jalan. 60 Seperti dalam hadits:
- ‫ّ ٔسهى‬ٛ‫ طهٗ هللا عه‬- ٗ‫ٖ ِإيٍَ انَُّستِإ ِّى‬ ‫ ِإ‬ٚ‫فَجَ ع ْدٍَ َس ُدج ٍبم قَ ِإش‬ٚ‫قَا َل َسأ َ ْدنَُا ُدد َز ْد‬
‫ب ان َّسس ْدً ِإ َٔا ْدنَٓ ْدذ ِإ‬
‫َّس‬ ً ‫ًّال‬
ّٛ‫ طهٗ هللا عه‬- ٗ‫ًا َٔ َدال ةِإانُتِإ ِّى‬ٚ‫ا َس ْدًتًا ََْٔ ْدذ‬ َ ‫َدتَّسٗ ََأْد ُدخز َع ْدُُّد فَقَا َل َيا أَ ْدع ِإش ُد أَ َدذًا أق َش‬
‫ْد‬ َ
‫ ِإي ِإٍ ا ْدة ِإٍ أ ُد ِّىو َعتْدذ‬- ‫ٔسهى‬
(Sewaktu kami bertanya pada sahabat Hudzaifah tentang
sosok manusia yang jelas maksudnya dan petunjuknya yang
dekat dengan Rasulullah SAW sehingga kami bisa belajar
darinya, Hudzaifah berkata: “Saya belum pernah melihat
seseorang yang jelas maksud, petunjuk dan pengarahannya
dari Rasulullah SAW selain dari Fatimah). 61
Sedangkan dalil secara terminologi:
٘‫ّ نٗ يطهٕا ختش‬ٛ‫خ انُظش ف‬ٛ‫ًكٍ انتٕطم ةظذ‬ٚ ‫يا‬
(Sesuatu yang memungkinkan untuk sampai (pada
maksud) melalui penelitian yang benar dalam menetapkan
hukum Islam”. 62
Maksudnya adalah sesuatu yang memungkinkan untuk
sampai pada masuknya dalil yang belum diperhatikan oleh
mujtahid dalam menemukan hukum baru. Hal ini merupakan
dalil meskipun belum ditunjukkan secara nyata, hal ini masih
berbentuk kemungkinan-kemungkinan. Karena dalil adalah
sesuatu yang berhasil menghantarkan kepada maksud secara
nyata.

60
Muhammad ibn Abî Bakar ibn ‘Abdulkadir al-Râzi, Mukhtâr al-Shihhâh
(Beirut: Maktabah Lebanon, 1995), hlm. 218.
61
Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhari, juz III, hlm. 1373. Ibn Hajar al-’Asqalanî,
Fath al-Bâri, juz XVII, hlm. 272.
62
Al-Amidî, Al-Ihkâm, Al-Ihkâm, juz I, hlm. 13.
50
Yang dimaksud pandangan yang benar adalah pandangan
yang tidak rusak apalagi salah sehingga bisa menghasilkan
hukum yang benar dan dapat dipertanggung jawabkan.
a. Pembagian Dalil Berdasarkan Sumbernya
Dalam semua pembahasan berkaitan dengan dalil maka
para ulama telah sepakat bahwa dalil yang disepakati oleh
para ulama terdiri dari empat dalil: Al-Qur’ân, Al-sunnah, ijmâ’
dan qiyâs.63 Hal itu ditegaskan oleh Imam syafi’i yang
menyatakan: ”Kedudukan ilmu harus berdasarkan kepada: Al-
Qur’ân, Al-sunnah, ijmâ’ dan qiyâs”.64 Dan ada kesepakatan
ulama mengenai sumber asal empat dalil diatas harus
bersumber dari Al-Qur’ân dan Al-sunnah, dikarenakan hal ini
berhubungan langsung dengan tegaknya agama Islam. 65
Dengan demikian dalil-dalil baik yang disepakati maupun
masih diperselisihkan yang ada dalam syariah harus
bersumber pada Al-Qur’ân dan Al-sunnah, apabila
menetapkan hukum tanpa terlebih dahulu menyandarkan
pada kedua dalil tersebut maka harus ditolak dan dibatalkan
demi hukum. Karena kedua dalil tersebut berdasarkan atas
wahyu, dan wahyu dari Allah selalu benar dan tidak pernah
bertentangan satu sama lainnya. Dan sumber dari segala dalil
adalah Al-Qur’ân.
Imam Ibn Taimiyah menyatakan: “Sumber hukum syariah
adalah Rasulullah SAW, karena Al-Qur’ân disampaikan kepada
Rasulullah SAW, dan Al-sunnah muncul sebagai penjelas dari
Al-Qur’ân, kedudukan ijmâ’ dan qiyâs harus disandarkan pada
Al-Qur’ân dan Al-sunnah”. 66
Penjelasan diatas memungkinkan kita untuk menyatakan
bahwa Al-Qur’ân dan Al-sunnah merupakan sumber segala

63
Ibn al-Najjâr, Syarh al-Kaukâb al-Munîr, juz II, hlm. 5.
64
Muhammad ibn Idrîs Abu ‘Abdullah al-Syâfi’î, Al-Risâlah (Beirut:
Maktabah ’Ilmiyyah, tt.), hlm. 39.
65
Yusuf ibn ‘Abdullah Abu ’Umar Ibn ‘Abd al-Bar, Jamî’ Bayân al-’Ilmi wa
Fadhlihi (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, tt.), juz II, hlm. 110.
66
Ahmad ibn ‘Abdul Halîm ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwâ (Mekkah:
Maktabah al-Nahdlah al-Hadîts, 1404), juz VII, hlm. 40.
51
dalil yang disepakati keberadaannya, karena keduanya dapat
disebut sebagai dalil naqli, wahyu, syara’, nash, khabar dan
semuanya itu kebalikan dari dalil ‘aqli, pendapat, ijtihâd,
istinbath hukum.

b. Dalil dilihat berdasarkan global terperincinya


Dalil kulli atau mujmal (‫ج أ يجًهج‬ٛ‫ ) ادنج كه‬adalah dalil yang tidak
berhubungan dengan permasalahan tertentu. Seperti amr
nahy yang mana akan menghasilkan hukum yang menyeluruh
yakni kewajiban, keharaman selama tidak ada qarinah
(indikator yang menyertainya).
Dalil juz’i ( ‫ج‬ٛ‫ه‬ٛ‫ج أ تفظ‬ٛ‫ )ادنج جزئ‬adalah dalil yang menunjukkan
sebuah hukum tertentu dalam permasalahan tertentu, seperti
perintah shalat menunjukkan adanya kewajiban.
c. Pembagian Dalil Berdasarkan Qath’î Dan zhannî
Pengertian qath’i dan dzanni, secara etimologi qath’i dari
kata qatha’a yang bermakna memisahkan bagian tubuh
dengan cara menghilangkannya atau memotongnya.67 Tetapi
dalam pembahasan ini kata qath’i bermakna keyakinan,
kepastian, sesuatu yang bersifat tetap. 68 Sedangkan secara
terminologi qath’i bermakna ”Sesuatu yang tetap dan pasti
yang dapat dibuktikan melalui penelitian dengan menyertakan
bukti-bukti yang mendukungnya”. 69
Dzanni secara etimologi bermakna dugaan, persangkaan,
sesuatu yang masih membingungkan. 70 Sedangkan secara
terminologi bermakna ”Sesuatu yang tidak menentu

67
Al-Jurjanî, al-Ta’rîfât, hlm. 57.
68
Al-Jîzanî, Ma’âlim Ushûl al-Fiqh, hlm. 74.
69
Jalâluddîn ‘Abdurrahman al-Suyûthî, Al-Asybâh wa al-Nazhâir fî Qawâ’id
wa Furû’ Fiqh al-Syafî’iyyah (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.), hlm.
58.
70
Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, juz XIII, hlm. 272.
52
(meragukan) antara sesuatu yang saling berlawanan, tanpa
dapat dimenangkan salah satunya”. 71
1. Dalil qath’i adalah sesuatu yang menunjukkan pada hukum
yang bersifat pasti dan tetap tanpa ada kemungkinan-
kemungkinan yang bisa merubahnya baik melalui
takhshish, ta’wil dan nasakh.72 Atau bisa juga diartikan:
”sesuatu yang pasti baik dilihat dari segi sanad, dalalah dan
sifatnya yang tetap”. 73 Ada yang menambahkan: “qath’i
adalah sesuatu yang pasti dilihat dari segi matan dan
dalalahnya”. Contoh firman Allah SWT Surat al-Baqarah
ayat 196:
           
Artinya: “Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji
dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali.
Itulah sepuluh (hari) yang sempurna”. Ayat ini
menunjukkan bahwa hitungan hari untuk melaksanakan
puasa tersebut wajib untuk dilakukan, hal ini disebut
sebagai dalil qath’i.
Menurut imam Syafi’i: “Apabila ada nash Al-Qur’ân yang
sudah jelas dan terang hukumnya, atau apabila ada Al-
sunnah yang disepakati keberadaannya, maka keberadaan
keduanya bersifat qath’i, dan tidak diperbolehkan
meragukannya, sehingga jika ada orang yang menolak
untuk menerima nash tersebut dihukumi sebagai orang
yang cacat akalnya”. 74 Maksudnya adalah apabila ada yang
menolak keberadaan nash yang qath’i maka harus dapat
memilah apakah sebagian dari nash tersebut sanadnya
bersifat qath’i atau tidak? Apakah nash tersebut dalalahnya
bersifat qath’i atau tidak?. Hal ini memberikan pemahaman
bahwa penelitian dalil nash merupakan penelitian yang
harus tepat dan benar, tidak boleh mengikutkan hawa
nafsunya sehingga nash tersebut dapat dinilai qath’i atau

71
Al-Jurjânî, al-Ta’rîfât, hlm. 168.
72
'Iyâdl bin Nâmi al-Silmî, Ushûl Fiqih, hlm. 53.
73
Al-Jîzanî, Ma’âlim Ushûl al-Fiqh, hlm. 77.
74
Al-Syâfi’î, Al-Risâlah, hlm. 461.
53
tidak yang nantinya dapat dijadikan dalil dalam
menetapkan hukum. 75
2. Dalil dzanni adalah sesuatu yang menunjukkan pada hukum
tetapi masih mengandung kemungkinan-kemungkinan yang
bisa merubahnya tanpa dapat dimenangkan salah satunya
baik melalui takhshish, ta’wil dan nasakh”.76 Makna lainnya
adalah: ”dalalah yang ada merupakan dzahirnya nash yang
tidak qath’i”. 77 Contohnya pada firman Allah SWT Surat al-
Baqarah ayat 264:
       
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-
nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)”. Ayat ini
mempunyai dalalah dzahir yakni ucapan “menyebut-
nyebut dan menyakiti perasaan” akan membatalkan
shadaqah dan menghilangkan pahalanya. Hal ini
memunculkan kemungkinan-kemungkinan yang tidak dapat
dimenangkan salah satunya, bahwa sadaqah tidak jadi batal
kecuali berkumpulnya kedua ucapan tersebut. Sehingga
apabila hanya mengucapkan salah satunya masih diragukan
status hukumnya apakah batal atau tidak? Mendapatkan
pahala atau tidak?. Inilah yang dimaksud dengan dalil
dzanni.
Apabila dilihat dari segi pengamalannya maka tetap
berhukum wajib untuk mengamalkan dalil dzanni dalam
syariah hal ini didasarkan atas kesepakatan ulama, dan
tidak ada perbedaan antara mengamalkan dan nilai ilmiah
dari dalil dzanni. Sedangkan masalah akidah bisa menjadi
hukum tetap meskipun menggunakan dalil dzanni. 78
Imam Syafi’i menyatakan: “Apabila dalam nash Al-sunnah
terdapat perbedaan dalam segi maknanya, maka hal ini
dimungkinkan untuk di ta’wil. Atau apabila ada hadits

75
Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwâ, juz XX, hlm. 257.
76
'Iyâdl bin Nâmi al-Silmî, Ushûl Fiqih, hlm. 53.
77
Al-Jîzanî, Ma’âlim Ushûl al-Fiqh, hlm. 77.
78
Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwâ, juz XX, hlm. 286.
54
‫‪ahad, maka masih dapat dijadikan hujjah sehingga hadits‬‬
‫‪ini tidak tertolak, terbuang begitu saja dan tidak‬‬
‫‪dimanfaatkan oleh umat Islam”. 79‬‬
‫واحل هللا البيع‬
‫نهى رسول هللا عن بيع الغرر‬

‫والسارق والسارقة فاقطعوا ايديهما‬


‫ال اب ُنن أَِإ عُن َمَر َحدَّثَنَا‬ ‫ظ لِإيَح َ ‪ -‬قَ َ‬ ‫يم َواب ُنن أَِإ عُن َمَر ‪َ -‬واللَّف ُن‬
‫َ‬ ‫اا ب ُنن إِإب َر ِإاى‬
‫َحدَّثَنَا َ َ ب ُنن َ َ َوإِإس َح ُن‬
‫ول اللَّ ِإو ‪-‬‬ ‫ك‬ ‫ت‬ ‫ل‬‫ا‬‫ق‬ ‫ة‬ ‫ش‬ ‫ِإ‬
‫ان ُن ُنَ َ َ َ ُّز ِّى َ َ ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ُن ُن‬
‫س‬ ‫ر‬ ‫ن‬ ‫ا‬ ‫اا‬‫ع‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫ة‬
‫ر‬ ‫م‬ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫ِإ‬
‫ر‬ ‫ى‬‫الن‬ ‫ِإ‬
‫ن‬ ‫ع‬ ‫ة‬ ‫ن‬ ‫ي‬ ‫ي‬‫ع‬ ‫ن‬ ‫ب‬ ‫ااخَر ِإان أَخبَ َرنَا ُنسفيَ ُن‬
‫ال َ‬ ‫َوقَ َ‬
‫ِإ‬
‫صاع ًادا‪.‬‬ ‫ٍر‬ ‫ِإ‬ ‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫السار َا ُنرب ِإع دينَار فَ َ‬ ‫صلى اهلل عليو وسلم‪ -‬يَقطَ ُنع َّ‬
‫الذ َراع ‪،‬‬‫ف َو ِّى‬ ‫ك‬ ‫ال‬ ‫ني‬ ‫ب‬ ‫ل‬ ‫ِإ‬
‫ص‬ ‫ف‬ ‫م‬ ‫اىري ‪ُ :‬نقطَع اليَد ِإمن ُّز‬ ‫ال الشَّافِإعِإي وأَبو حنِإي َفة ومالِإك واجلم ِإ‬
‫ّ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫الرسغ َوُنى َو َ‬
‫ال‬ ‫ّ َ ُن َ َ َ َ َ َ‬ ‫قَ َ‬
‫الرجل ِإمن َشطر‬ ‫ال عَلِإ ّي ‪َ -‬ر ِإض َي اللَّو عَنوُن ‪ُ : -‬نقطَع ِّى‬ ‫الساا َوال َق َدم ‪َ ،‬وقَ َ‬ ‫صل بَني َّ‬ ‫الرجل ِإمن المف ِإ‬
‫َ‬ ‫َوُنقطَع ِّى‬
‫ِإ‬
‫ال بَعضهم ‪ :‬من‬ ‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫السلَف ‪ُ :‬نقطَع اليَد من ال َمرفق ‪َ ،‬وقَ َ‬ ‫ال بَعض َّ‬ ‫ال أَْحَد َوأَبُنو ثَور ‪َ ،‬وقَ َ‬ ‫ِإ‬
‫ال َق َدم ‪َ ،‬وبِإو قَ َ‬
‫ال َمنكِإب ‪َ .‬واللَّوُن أَعلَم ‪.‬‬

‫‪Al-Qur’ân‬‬ ‫‪Sunnah‬‬ ‫’‪Ijmâ‬‬ ‫‪Qiyâs‬‬

‫‪Yang Disepakati‬‬

‫‪SUMBER‬‬ ‫‪HUKUM‬‬ ‫‪ISLAM‬‬

‫‪Yang Tidak Disepakati‬‬

‫‪Istihsan‬‬ ‫‪‘Urf‬‬
‫‪Istishhâb‬‬
‫‪Mashlahah Mursalah‬‬ ‫‪Sadd al-Dzarî’ah‬‬

‫‪79‬‬
‫‪Al-Syâfi’î, Al-Risâlah, hlm. 461.‬‬
‫‪55‬‬
B. Sumber-sumber hukum yang disepakati
a. Sumber Hukum al-Qur’ân
Secara etimologi al-Qur’ân berasal dari bahasa Arab yang
berarti “bacaan” atau “sesuatu yang dibaca berulang-ulang”.
Kata al-Qur’ân adalah bentuk kata benda (mashdar) dari kata
kerja qaraã80 yang artinya membaca. Pemakaian kata ini
dapat juga ditemukan seperti dalam firman Allah SWT Surat
al-Qiyâmah ayat 16-19:
           
     
Artinya: “ Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca)
al-Qur’ân karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya.
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya
(di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila
Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya
itu. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah
penjelasannya”.
Secara terminologi al-Qur’ân adalah “Kalâm Allah SWT
yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Rasulullah
Muhammad SAW dengan bahasa arab sebagai bahasa
pengantar, ditulis didalam mushhaf, serta diriwayatkan
dengan mutawâtir, di mana membacanya termasuk ibadah,
diawali dari surat al-Fâtihah dan diakhiri dengan surat al-Nâs.81

Karakteristik al-Qur’ân82
Dari penjelasan pengertian al-Qur’ân diatas maka
dapat diketahui karakteristik yang terdapat dalam al-Qur’ân:
1. Al-Qur’ân merupakan kalâm Allah SWT baik secara lafazh
dan maknanya dan bukan kalâm makhluk. Dan al-Qur’ân
merupakan mukjizat yang diberikan kepada Rasulullah

80
Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, juz XIII, hlm. 333.
81
Al-Amidî, Al-Ihkâm, juz I, hlm. 82.
82
Muhammad bin Muhammad Abu Hâmid al-Ghazâlî, Al-Mustashfa fî ’Ilmi
al-Ushûl (Beirut: Dâr Al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1414), hlm. 84-86. Ibn
Qudâmah, Raudlat al-Nâzhir, hlm. 184.
56
SAW. Kemu’jizatannya adalah sangat tinggi ilmu
balaghahnya, sehingga manusia siapapun orangnya tidak
mampu membuatnya. Hal ini berbeda dengan hadits, yang
mana maknanya dari Allah dan lafazh dari Rasulullah SAW.,
terkadang beliau diperintahkan untuk menyandarkan
hadits kepada Allah sehingga dinamakan hadits qudsi dan
terkadang diperintahkan untuk menyandarkan hadits
kepadanya sehingga dinamakan hadits nabawi.
2. Al-Qur’ân merupakan Kalâm Allah SWT yang diturunkan
kepada Rasulullah SAW dan beliau berkewajiban
menyampaikannya ke seluruh umat manusia. Seperti dalam
firman Allah SWT surat al-Zumar ayat 41:
         
Artinya: “Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu al-
Kitab (al-Qur’ân) untuk manusia dengan membawa
kebenaran, siapa yang mendapat petunjuk Maka (petunjuk
itu) untuk dirinya sendiri”.
3. Al-Qur’ân diturunkan dengan menggunakan bahasa arab
sebagai bahasa pengantar. Imam syafi’i menyatakan: ”jika
ada yang berkata bahwa di dalam al-qur’an ada bahasa
arab dan a’jami dan al-qur’an menunjukkan bahwa tidak
ada bahasa yang terdapat di dalamnya kecuali bahasa arab.
Saya menolak pendapat mereka dan menyatakan bahwa
ketidak tahuan sebagian orang arab atas sebagian lafazh
asing tidak berarti menunjukkan bahasa a’jami ada di
dalam al-qur’an. Oleh karenanya jika ada sebagian bahasa
a’jami di dalamnya, maka sesungguhnya ia telah menjadi
bahasa arab baik secara bentuk, shighat maupun
makhrajnya”.
Seperti dalam surat al-syu’ara‘ ayat 192-195:
           
       
Artinya: “192. dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar
diturunkan oleh Tuhan semesta alam, 193. Dia dibawa
turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), 194. ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara

57
orang-orang yang memberi peringatan, 195. dengan bahasa
Arab yang jelas”.
Surat al-Zumar ayat 28:
       
Artinya: “(ialah) Al Quran dalam bahasa Arab yang tidak ada
kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertakwa”.
Surat al-Nahl ayat 103:
         
       
Artinya: “dan Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa
mereka berkata: "Sesungguhnya Al Quran itu diajarkan oleh
seorang manusia kepadanya (Muhammad)". Padahal
bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad
belajar kepadanya bahasa 'Ajam, sedang Al Quran adalah
dalam bahasa Arab yang terang”.
Surat fushshilat ayat 44:
           
          
          

Artinya: “dan Jikalau Kami jadikan Al Quran itu suatu
bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka
mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?"
Apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (Rasul
adalah orang) Arab? Katakanlah: "Al Quran itu adalah
petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. dan
orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada
sumbatan, sedang Al Quran itu suatu kegelapan bagi
mereka mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari
tempat yang jauh”.
Seperti dalam firman Allah SWT surat yusuf ayat 2:
     
Artinya: “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-
Qur’ân dengan berbahasa Arab, agar kamu
memahaminya”.

ibrani : ‫ اسرائٌل‬,‫ابراهٌم‬
58
India :‫مشكاة‬
Persia (sutera) :‫استبرق‬
Ethiopia: :‫ناشئة اللٌل‬
Akan tetapi berbeda dengan kitab Allah yang diturunkan
kepada para Rasulullah sebelum Rasulullah SAW yang
menggunakan bahasa kaumnya sebagai bahasa pengantar
kitab. Dengan demikian agar dapat memahami bahasa al-
Qur’ân dengan baik dan benar maka diharuskan untuk
mempelajari bahasa arab bagi orang yang bukan dari
bangsa arab.
4. Terjemahan dan tafsir al-Qur’ân tidak dapat dianggap
sebagai al-Qur’ân, dengan demikian tidak diperbolehkan
membaca terjemahan ini tatkala mengerjakan shalat, tidak
disyaratkan untuk bersuci dahulu tatkala membacanya. Hal
ini disebabkan karena al-Qur’ân lafazh dan maknanya
datang dari Allah SWT, sedangkan terjemahan tersebut
dengan sendirinya telah menghilangkan lafazh dari Allah
SWT. Tetapi ada pendapat dari imam abu hanifah yang
membolehkan membaca al-qur’an dengan terjemahan
bahasa persia, hal ini menurut iman al-bazdawi adalah
bagian dari rukhshoh.
5. Al-Qur’ân harus diriwayatkan secara mutawâtir.83
Maksudnya adalah diriwayatkan oleh sekelompok orang
dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan
bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama
akan hal itu. Jadi mutawâtir ini memiliki beberapa sanad
dan jumlah penutur pada tiap lapisan berimbang. Para
ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum
kemutawâtirannya (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang
pada tiap lapisan sanad). Sedangkan apabila al-Qur’ân
riwayat ahâd tidak dapat dikategorikan sebagai al-Qur’ân.
Hal ini menjadikan al-Qur’ân mempunyai karakter
tersendiri dibandingkan dengan kitab-kitab lainnya yang
telah diturunkan kepada para rasul-rasul sebelumnya.

83
Jalâluddîn ‘Abdurrahman al-Suyûthî, Al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân (Kairo:
al-Maktabah al-Taufîqiyyah, tt.), juz I, hlm. 90.
59
6. Al-Qur’ân menjadi mukjizat bukan berarti makna yang
terkandung didalamnya menjadi sulit untuk dipahami,
dihafalkan apalagi tatkala dijadikan sebagai dalil dalam
istinbâth hukum, akan tetapi hal itu menjadi sebaliknya
bahwa makna al-Qur’ân mempermudah semuanya. Seperti
yang dijelaskan dalam ayat dibawah ini surat al-Qamar ayat
22:
      
Artinya: “Dan Sesungguhnya telah Kami mudahkan al-
Qur’ân untuk pelajaran, Maka adakah orang yang
mengambil pelajaran?”. Dan pada surat al-Dukhân ayat 58:
    
Artinya: “Sesungguhnya Kami mudahkan al-Qur’ân itu
dengan bahasamu supaya mereka mendapat pelajaran”.
7. Al-Qur’ân merupakan kitab suci dari Allah yang mendapat
jaminan akan keaslian dan kemurniannya dari upaya
pemalsuan, perubahan maupun penggantian lafazh dan
maknanya selama-lamanya. Seperti yang dijelaskan
ditegaskan dalam surat al-hijr ayat 9:
      
Artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-
Qur’ân, dan Sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya”.

Muhkâm dan Mutasyâbih dalam al-Qur’ân


Ayat-ayat yang terkandung dalam al-Qur’ân terbagi
menjadi dua bagian :
1. Ayat Muhkâm, maksudnya adalah ayat yang berisi
ketetapan dan kepastian hukum, lafazh dan maknanya dan
ayat tersebut sama sekali tidak memerlukan adanya ta’wil.
Ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat
dipahami dengan mudah.
2. Ayat Mutasyâbih, maksudnya adalah ayat yang harus
memerlukan ta’wil dalam menetapkan hukumnya.84 Dapat
juga diartikan dalam pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat

84
Al-Ghazâlî, Al-Mustashfa fî ’Ilmi al-Ushûl, hlm. 85.
60
adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian
dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud
kecuali sesudah diselidiki secara mendalam, atau ayat-ayat
yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti
ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib
misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga,
neraka dan lain-lain. Dengan dalil firman Allah SWT surat ali
imran ayat 7:
          
           
           
             

Artinya: “ Dia-lah yang menurunkan Al kitab (al-Qur’ân)
kepada kamu, di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang
muhkamât, Itulah pokok-pokok isi al-Qur’ân dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyâbihât. Adapun orang-orang yang dalam
hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka
mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat
daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya
melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya
berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan
tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan
orang-orang yang berakal.”.

Qiraah Shahîh, Syâdzah Dan Bâthil


Qiraah (bacaan) terbagi menjadi tiga; shahîh, syâdzah dan
bâthil. Al-Qur’ân yang ada dihadapan umat islam diturunkan
sebagai pedoman hidup untuk memudahkan dalam
menjalankan aktifitasnya di dunia, Rasulullah SAW bersabda:
‫ َّسس َش‬َٛ َ‫ِإ َّسٌ ْدانقُدشْد آٌَ أ ُد ْدَ ِإز َل َعهَٗ َس ْدت َع ِإج أَدْد ُدش ٍب فَا ْدق َش ُدءٔا ِإي ْدُُّد َيا ت‬

61
Artinya: ”Al-Qur’ân diturunkan atas tujuh huruf maka bacalah
darinya sesuatu yang memudahkan (dalam hidup)”. 85
Ketujuh huruf tersebut keseluruhannya berbahasa arab,
ketika pada masa pengumpulan al-Qur’ân dalam berbagai
mushhaf maka diperpendek menjadi satu huruf saja, yakni
huruf yang dibaca oleh kaum quraisy.
Qiraah sepuluh tidak keluar dari huruf yang ditetapkan
dalam mushhaf ’Utsmani dan dapat dikatakan bahwa mushhaf
’Utsmani ini meliputi atas ketujuh huruf tersebut. 86 Hal ini
dapat ditelusuri lebih lanjut dalam mata kuliah ’ulumul
Qur’ân.
1. Qiraah shahîh adalah: qiraah yang memenuhi syarat sah
sanad periwayatannya, kesesuaian bahasa meskipun dilihat
dari salah satu sisinya, kesesuaian dengan mushhaf
’Utsmani.87 Umat islam tidak boleh mengingkari
keberadaan qiraah shahîh ini.
2. Qiraah syâdzah adalah qiraah yang memenuhi syarat sah
sanad periwayatannya, kesesuaian bahasa meskipun dilihat
dari salah satu sisinya, tetapi tidak berkesesuaian dengan
mushhaf ’Utsmani. 88 Ketidak sesuaian ini dapat berupa
penambahan maupun perubahan kata dalam al-Qur’ân
mushhaf ’Utsmani.
Seperti qiraah ibn Mas’ud: ‫او ثالثة أٌام متتابعات‬ٛ‫ فظ‬kata
“‫ ”متتابعات‬ini tidak terdapat dalam mushhaf ’Utsmani. Hal
ini menurut ulama disebut sebagai qiraah syâdzah. 89
3. Qiraah bâthil adalah qiraah yang tidak memenuhi
persyaratan diatas yakni; sah sanad periwayatannya dan
kesesuaian bahasa. Sehingga semua qiraah yang tidak sah

85
Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, juz XVI, hlm. 475. Muslim, Shahîh Muslim,
Juz V, hlm. 273.
86
Muhammad bin bahâdar bin ‘Abdullah al-Zarkasyî, Al-Burhân fî ‘Ulûm al-
Qur’ân (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1391), juz I, hlm. 213.
87
Muhammad bin Muhammad Abu al-Khair Ibn al-Jazirî, Al-Nasyr fî al-
Qiraât al-‘Asyr (Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, tt.), juz I, hlm. 53.
88
Ibid.
89
Al-Qurthubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, Juz I, hlm. 47.
62
sanad periwayatannya dan tidak mempunyai kesesuaian
dengan bahasa arab dalam semua aspeknya disebut
sebagai qiraah bâthil dan qiraah ini tidak dapat digunakan
sebagai dalil. 90

Hukum Menggunakan Qiraah Syâdzah


Ulama berbeda pendapat tentang hukum dalam
menggunakan qiraah ini, ada yang berpendapat bahwa qiraah
ini sebagai dalil dan yang lain menyatakan bukan termasuk
dalil.
Hal ini membutuhkan proses ijtihâd dalam
menyelesaikannya, ulama yang berpendapat bahwa qiraah ini
sebagai dalil beralasan bahwa qiraah ini sama saja dengan
hadits ahad ataupun qaul shahabi yang kedua-duanya
merupakan dalil. Maka wajib menggunakannya sebagai dalil
yang sah. Ini adalah pendapat imam ibn abd al-Bar. Hal ini juga
didukung oleh imam hanafi dan imam ahmad. 91
Imam Syafii berpendapat bahwa qiraah ini bukan
termasuk dalil, alasannya adalah karena qiraah ini tidak
memenuhi syarat mutawâtir dan qiraah ini dapat disebut
sebagai tafsir sahabat dan qaul shahabi dalam madzhab imam
syafii bukan termasuk sebagai dalil. 92
Melihat perbedaan pendapat diatas dapat dijawab bahwa
pendapat yang menyatakan bahwa qiraah syâdzah merupakan
dalil adalah yang benar. Jika alasannya qiraah ini tidak
memenuhi syarat mutawâtir maka menurut imam Syaukâni:
”semua qiraah yang disebut sebagai mutawâtir pada mulanya
didapat dari cara perawi (ulama qiraah) satu persatu
mengumpulkan riwayat qiraahnya”. 93 Sehingga qiraah ini
merupakan qiraah yang dapat digunakan sebagai dalil dan

90
Ibn al-Jazirî, Al-Nasyr fî al-Qiraât al-‘Asyra, juz I, hlm. 53.
91
Ibn al-Najjâr, Syarh al-Kaukâb al-Munîr, juz II, hlm. 136.
92
Ibid, Juz II, hlm. 139.
93
Muhammad bin Ali al-Syaukânî, Irsyâd al-Fuhûl (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.),
hlm. 63.
63
umat islam tidak boleh mengacuhkannya begitu saja
keberadaannya.

Kandungan Hukum Dalam Al-Qur’ân


Pada garis besarnya kandungan hukum dalam Al-Qur’ân
ada tiga macam.
1. I’tiqâdiyyah yakni hukum-hukum yang berhubungan
dengan kepercayaan yang menjadi kewajiban bagi orang
mukallaf meyakininya. Yaitu tentang keyakinan adanya
Allah, Malaikat Allah, kitab-kitab Allah, para rasul-rasulNya,
hari qiamat, qadla qadar, hari kebangkitan, hari
perhitungan dan sebagainya.
2. Khalqiyyah yakni hukum-hukum yang berhubungan dengan
budi pekerti yang menjadi kewajiban orang mukallaf
bersifat dengan sifat yang terpuji dan menjauhi dari sifat
yang tercela.
3. ‘Amaliyah yakni hukum-hukum yang berhubungan dengan
perkataan, perbuatan, akad (perikatan) yang lahir dari
manusia. Hukum yang ketiga inilah yang dinamakan fiqh Al-
Qur’ân dan yang menjadi pokok pembahasan ilmu ushul
fiqh.
Dan hukum ini terbagi menjadi dua: hukum ibadah dan
muamalah. Hukum ibadah adalah hukum yang berhubungan
dengan implementasi hubungan antara manusia dengan Allah
SWT, seperti; shalat, puasa, zakat, haji, jihad, nadzar, sumpah
dan sebagainya. Sedangkan hukum muamalah adalah hukum
yang berhubungan dengan implementasi hubungan antara
manusia dengan sesamanya (baik antar invidu maupun antar
golongan), seperti; perjanjian, akad, sanksi, pidana dan
sebagainya.
Hukum muamalah terbagi menjadi tujuh bagian:
1. Hukum ahwal al-Syakhshiyyah, yakni hukum yang mengatur
hubungan kekeluargaan, dimulai dari awal pembentukan
keluarga (pernikahan) sampai berakhirnya keluarga
(perceraian), termasuk didalamnya waris, wasiat dan hibah.

64
2. Hukum perdata, yakni hukum yang mengatur hubungan
antar individu, seperti; jual beli, sewa menyewa, hutang,
pertanahan dan sebagainya.
3. Hukum pidana, yakni hukum yang berhubungan dengan
sesuatu yang lahir dari manusia berupa tindak pidana yang
harus diberikan hukuman bagi pelakunya. Hal ini berguna
untuk menjaga kelangsungan hidup jiwa manusia, hartanya,
harga dirinya, hak-haknya, pembatasan hubungan
terpidana dengan individu dan masyarakat.
4. Hukum acara perdata dan pidana, yakni hukum yang
mengatur masalah peradilan, persaksian, sumpah yang
semuanya berguna demi kelangsungan mengatur
penegakan keadilan diantara sesama manusia.
5. Hukum perundang-undangan, yakni hukum yang
berhubungan dengan tegaknya hukum dan dasar-dasar
ketentuannya. Hal ini berguna untuk membatasi hubungan
antara hakim dan terdakwa demi memberikan hak yang
sama bagi individu dan masyarakat.
6. Hukum tata negara, yakni hukum yang mengatur hubungan
negara satu dengan negara lainnya.
7. Hukum Perekonomian, yakni hukum yang mengatur hak
dan kewajiban individu maupun golongan dalam masalah
ekonomi dan keuangan, hak dan kewajiban negara,
perbankan dan sebagainya. 94

Al-Qur’ân sebagai dalil hukum95


Al-Qur’ân dipandang dari segi ketetapannya adalah
datang dari Allah SWT dan penyampaiannya diambil dari
Rasulullah SAW secara qath’î, akan tetapi bahwa dalil-dalil
nash tersebut implikasi terhadap hukum dapat berupa qath’î
dan zhannî.
Dalil qath’î adalah dalil yang menunjukkan atas satu
makna dan tidak mengandung kemungkinan lain dan juga
tidak ada jalan lain menuju pemahaman selainnya dilihat

94
‘Abdulwahhâb Khallâf, ’Ilm Ushûl al-Fiqh, hlm. 35-37.
95
Ibid, hlm. 37-39.
65
berbagai aspeknya. 96 Seperti firman Allah SWT surat al-
Maidah ayat 90:
         
    
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah (al-Azlâm)97 adalah termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatal-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan”. Ayat diatas termasuk
dalil qath’î yakni perintah terhadap hukum keharaman
minuman keras, perjudian dan sesuatu yang berhubungan
dengan keduanya, perintah ini bukan sebagai sesuatu yang
disukai untuk ditinggalkan akan tetapi perintah untuk mencela
dan mengutuk perbuatan tersebut.
Atau dalam contoh lain firman Allah SWT:
       
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
qishâsh98 berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh”.

96
Al-Amidî, Al-Ihkâm, juz II, hlm. 116.
97
Al Azlaam artinya: anak panah yang belum pakai bulu, orang Arab
Jahiliyah menggunakan anak panah yang belum pakai bulu untuk
menentukan Apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan atau
tidak. Caranya ialah: mereka ambil tiga buah anak panah yang belum
pakai bulu. setelah ditulis masing-masing yaitu dengan: lakukanlah,
jangan lakukan, sedang yang ketiga tidak ditulis apa-apa, diletakkan
dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Ka'bah. Bila mereka hendak
melakukan sesuatu Maka mereka meminta supaya juru kunci ka'bah
mengambil sebuah anak panah itu. Terserahlah nanti apakah mereka
akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sesuai dengan tulisan
anak panah yang diambil itu. Kalau yang terambil anak panah yang tidak
ada tulisannya, Maka undian diulang sekali lagi. Al-Qurthubî, Al-Jâmi’ li
Ahkâm Al-Qur’ân, juz VI, hlm. 58.
98
Qishâsh adalah mengambil pembalasan yang sama. Qishâsh itu tidak
dilakukan, bila yang membunuh mendapat kata maaf dari ahli waris yang
terbunuh yakni dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar.
Pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak
66
Ayat diatas termasuk dalil qath’î yakni perintah terhadap
kewajiban adanya hukum qishâsh dan perintah ini bukan
menunjukkan adanya pemberitahuan tetapi kewajiban untuk
melaksanakan hukum tersebut.
Dalil zhanni adalah dalil yang mengandung
kemungkinan banyak makna, sehingga dimungkinkan untuk
mengunggulkan (tarjih) terhadap makna yang saling
bertentangan satu sama lainnya. 99 Seperti firman Allah SWT:
    
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali qurû'”. Lafazh Qurû' disini dalam bahasa
arab mempunyai arti suci atau haidh.

b. Sumber Hukum al-Sunnah


Secara etimologi al-sunnah berasal dari bahasa Arab yang
berarti jalan yang diikuti, jalan ini dapat berupa kebaikan
maupun keburukan. 100 Seperti sabda Rasulullah SAW:
...‫من سن فً اإلسالم سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها‬
Artinya: ” barang siapa berbuat (memberi contoh) yang baik,
maka dia akan mendapatkan pahala dan pahala dari orang
yang mengikuti perbuatan baiknya tersebut...”. 101
Secara terminologi al-sunnah adalah

mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah


membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-
nangguhkannya. bila ahli waris si korban sesudah Allah SWT menjelaskan
hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau
membunuh si pembunuh setelah menerima diat, maka terhadapnya di
dunia diambil qishâsh dan di akhirat Dia mendapat siksa yang pedih. Lihat
Al-Qurthubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, juz II, hlm. 245.
99
Al-Amidî, Al-Ihkâm, juz II, hlm. 116.
100
Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, juz II, hlm. 47.
101
Muslim, Shahîh Muslim, juz III, hlm. 704.
67
1. Al-sunnah adalah hikmah seperti dalam firman Allah SWT:
           
   
Artinya: “Dan (juga karena) Allah telah menurunkan kitab
dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu
apa yang belum kamu ketahui. dan adalah karunia Allah
sangat besar atasmu”. Seperti yang dinyatakan imam
Syafi’i: ”Hikmah merupakan al-sunnah yang datang dari
Rasulullah SAW”. 102
2. Menurut ulama fiqih: al-sunnah adalah anonim dari wajib.
Dan dapat juga sebagai anonim dari bid’ah. 103 Dalam hal
ini ulama ahli fiqih memandang perbuatan Rasulullah SAW
yang dipastikan tidak keluar dari petunjuk terhadap
adanya hukum syara'. Tinjauan ulama ahli fiqih ini
berhubungan dengan hukum syar'i terhadap perbuatan
hamba Allah dari segi wajib, atau sunnah, atau haram,
atau makruh, atau mubah.
3. Menurut ulama hadits: al-sunnah adalah sesuatu yang
lahir dari Rasulullah SAW selain Al-Qur’ân, yang meliputi
qoul (perkataan), fi’il (perbuatan), taqrîr (pengakuan), dan
sifat (termasuk didalamnya akhlak dan jasmaninya). 104
Dalam hal ini ulama ahli hadits memandang Rasulullah
sebagai seorang imam yang diberitakan oleh Allah, bahwa
beliau sebagai suri teladan dan panutan bagi umat
manusia. Maka para perawi meriwayatkan segala yang
berkaitan dengan perilaku, akhlak, tabiat, berita-berita,
perkataan, dan perbuatan dari Rasulullah SAW, baik yang
telah ditetapkan sebagai hukum syar'i maupun tidak.
4. Menurut ulama ushul fiqih: al-sunnah adalah sesuatu yang
lahir dari Rasulullah SAW selain Al-Qur’ân, yang meliputi
qoul (perkataan), fi’il (perbuatan), taqrîr (pengakuan),
tulisan, isyarat, sesuatu yang penting dan sesuatu yang

102
Al-Syâfi’î, Al-Risâlah, hlm. 78.
103
‘Abdulkarîm Zaidân, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh,, hlm. 161.
104
Muhammad Jamâluddîn al-Qâsimî, Qawâ’id al-Tahdîts fî Funûn
mushthalah al-Hadîts (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2004), hlm. 64.
68
ditinggalkan oleh Rasulullah SAW. 105 Dalam hal ini ulama
ahli ushul fikih memandang Rasulullah SAW sebagai
penyampai syariat Allah dengan meletakkan kaidah-kaidah
bagi para mujtahid dimasa sesudahnya, juga menjelaskan
kepada manusia undang-undang kehidupan di dunia. Maka
mereka memperhatikan perkataan, perbuatan serta
ketetapan Rasulullah SAW dalam menetapkan hukum dan
memutuskannya pada suatu masalah hukum yang harus
segera mendapatkan kepastian hukumnya.
Dibawah ini penjelasan yang berhubungan dengan al-
sunnah qouliyah, fi’liyah dan taqrîriyah. 106
1. al-sunnah qouliyah adalah ucapal-ucapan Rasulullah SAW
dalam tujuan dan hubungan yang berbeda-beda. seperti:
‫ إنما األعمال بالنٌات‬107 dan ‫المسلم أخو المسلم‬. 108
2. al-sunnah fi’liyah adalah perbuatal-perbuatan yang pernah
dilakukan oleh Rasulullah SAW seperti: Cara mengerjakan
shalat , manasik haji, puasa dan sebagainya.
3. al-sunnah taqrîriyah adalah pengakuan Rasulullah SAW
terhadap perkataan, perbuatan sebagian sahabat secara
terus terang dan tidak mengingkarinya secara terus terang.
Karena Rasulullah SAW diutus untuk menjelaskan syariat
islam, dan jika ada sebagian sahabat beliau yang berkata
dan berbuat dalam sebuah masalah hukum dan ketika itu
Rasulullah SAW mendiamkannya dan tidak mengingkari
sahabat tersebut hal ini merupakan keputusan dan
penyataan dari Rasulullah SAW.
Al-sunnah taqrîriyah ini terkadang berupa diamnya
Rasulullah SAW tanpa mengingkarinya (dan Rasulullah SAW
tidak memberikan pernyataan sedikitpun dan beliau
menyetujui perkataan, perbuatan sahabat tersebut). Tetapi
juga terkadang Rasulullah SAW memberikan isyarat untuk
menyetujuinya. Seperti dalam suatu riwayat ada dua

105
Al-Amidî, Al-Ihkâm, juz I, hlm. 156.
106
‘Abdulwahhâb Khallâf, ’Ilm Ushûl al-Fiqh, hlm. 40-41.
107
Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, juz I, hlm. 135.
108
Ibid, juz II, hlm. 862.
69
sahabat bepergian ketika sudah masuk waktu shalat
keduanya tidak menemukan air lalu mereka tayammum
sebagai ganti dari wudlu’ kemudian mereka melanjutkan
perjalanannya dan ditengah perjalanan menemukan air
sedangkan waktu shalat masih ada, lalu salah satu dari
mereka berdua berwudlu’ dan mengulangi shalatnya
sedangkan yang satunya tidak. Ketika keduanya sudah
kembali kemadinah hal tersebut diceritakan pada rasul dan
rasul bersabda pada yang tidak mengulangi shalatnya
Engkau telah melaksanakan sunnah dan cukuplah
shalatmu. Dan rasul bersabda kepada yang mengulangi
shalatnya engkau mendapatkan dua pahala. 109

Perbedaan Antara al-Sunnah dan al-Khabar


Pengertian dari al-sunnah sudah dijelaskan di atas,
kemudian pengertian dari al-khabar secara etimologi
mempunyai arti berita. Sedangkan secara terminologi berarti
suatu berita yang mengandung kemungkinan benar dan salah.
Dalam hal ini adalah sesuatu yang lahir dari Rasulullah SAW
selain al-Qur’ân, atau sesuatu yang lahir dari sahabat dan
tâbi’în (al-Atsar).110

Kehujjahan al-Sunnah Dari al-Qur’ân


Dalam menggunakan al-sunnah sebagai sumber hukum
utama setelah al-Qur’ân didukung oleh banyaknya ayat-ayat
al-Qur’ân yang menyuruh kita taat kepada Rasulullah SAW.
Berikut beberapa ayat yang berisi tentang kehujjahan al-
sunnah:
            
           
Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan
tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi

109
Sulaimân ibn al-Asy’ats Abu Dâwûd, Sunan Abu Dâwûd (Beirut: Dâr al-
Fikr, tt.), juz I, hlm. 468.
110
'Iyâdl bin Nâmi al-Silmî, Ushûl Fiqih, hlm. 56.
70
mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan
Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka
sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata”.111 Maksud ayat
ini adalah kita hendaknya selalu mengikuti pada perintah Allah
dan rasul-Nya, dan mengikuti al-sunnah Rasulullah SAW
sebagai sebuah kewajiban, karena beliaulah yang diberi wahyu
al-Qur’ân, hikmah dan kerasulullahan dan kita tidak
diperbolehkan untuk menentang dan mengingkari keberadaan
al-sunnah (yang mutawâtir dan ahâd). 112
           
Artinya: ”Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu
berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang kafir".113
             
      
Artinya: ”Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari
Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari
(kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul
kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi”.
114

              
 
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui”. 115

Pembagian al-Sunnah Ditinjau Dari Hubungannya Dengan al-


Qur’ân
1. Al-sunnah al-Muakkadah, yakni al-sunnah yang mempunyai
kesesuaian dengan al-Qur’ân dari semua segi, seperti

111
Surat al-Ahzâb : 36.
112
Al-Qurthubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, juz XIV, hlm. 187.
113
Surat Ali ’Imrân : 32.
114
Surat al-Nisâ’ : 79.
115
Surat al-Hujurât : 1.
71
adanya kewajiban shalat merupakan ketetapan hukum
wajib yang didasarkan pada al-Qur’ân dan al-sunnah. 116
2. Al-sunnah al-Mubayyanah, yakni al-sunnah yang berfungsi
menafsirkan ayat al-Qur’ân yang masih bersifat global dari
segi lafazh dan maknanya. Menurut imam Syafi’i: “ayat dari
al-Qur’ân ini secara global menjelaskan adanya hukum-
hukum yang berlaku bagi manusia, tetapi al-sunnah disini
berfungsi sebagai penjelas tata cara dan konsekwensi
hukum, seperti jumlah hitungan dalam shalat, zakat dan
pelaksanaan waktu mengerjakannya dan juga konsekwensi
hukum bagi yang taat dan yang tidak mentaati hukum
tersebut”. 117
3. Al-sunnah al-Istiqlâliyyah, yakni al-sunnah yang berfunsi
sebagai penambah terhadap hukum yang ada dalam al-
Qur’ân. Maksudnya adalah hukum tersebut ditambah oleh
al-sunnah tatkala di dalam al-Qur’ân tidak ditemukan
jawaban hukum atas sebuah permasalahan baik berupa
kewajiban, keharaman seperti hukum warisan bagi nenek,
hukum syuf’ah (hukum membeli lebih dahulu). 118

Pembagian al-Sunnah Ditinjau Dari Cara Sampainya Kepada


Umat Islam: Mutawâtir Dan Ahâd119
Yang dimaksud al-sunnah ditinjau dari cara sampainya
kepada umat islam adalah jumlah penutur dalam tiap
tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur
berbeda yang menjadi sanad al-sunnah tersebut. Berdasarkan
klasifikasi ini al-sunnah dibagi menjadi mutawâtir dan ahâd.
1. Al-Sunnah Mutawâtir
Secara etimologi, mutawâtir berasal dari bahasa Arab yang
berarti yang berurutan. 120 Dan secara terminologi,

116
Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah, I’lâm Al-Muwaqqi’în, juz II, hlm. 307.
117
Al-Syafi’i, Al-Risalah, hlm. 21-22.
118
Ibid.
119
Ahmad bin Ali bin Tsabit al-Khatîb al-Baghdâdi, Al-Faqîh wa al-
Mutafaqqih (Beirut: Dar al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1400 H), juz I, hlm. 95.
120
al-Fayûmi, Al-Mishbâh al-Munîr, juz I, hlm. 647.
72
mutawâtir menurut ulama ushul fiqih adalah al-sunnah
yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa
sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka
semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi
al-sunnah mutawâtir memiliki beberapa sanad dan jumlah
penutur pada tiap lapisan berimbang. Para ulama berbeda
pendapat mengenai jumlah sanad minimum al-sunnah
mutawâtir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada
tiap lapisan sanad). 121
Pembagian al-sunnah Mutawâtir
Al-sunnah mutawâtir sendiri dapat dibedakan antara dua
jenis yakni mutawâtir lafzhî dan ma’nawî. 122 Pertama:
mutawâtir lafzhî, yakni kesepakatan atas redaksi al-sunnah
yang sama pada tiap riwayat baik lafazh dan maknanya,
seperti mutawâtirnya al-Qur’ân atau al-sunnah berikut ini:
‫( من كذب علً متعم ًدا فلٌتبوأ مقعده من النار‬barang siapa secara
sengaja (berusaha) berdusta kepadaku (terhadap lafazh
dan makna al-sunnah) maka disediakan baginya kedudukan
di dalam neraka). 123 Kedua: mutawâtir ma’nawî, yakni
kesepakatan atas makna al-sunnah pada tiap riwayat tetapi
terdapat perbedaan dalam redaksinya. Seperti al-sunnah
tentang mengangkat tangan ketika berdo’a, adanya syafaat
dari Rasulullah, shirâtal mustaqim, telaga di surga.
Al-Sunnah mutawâtir ini mempunyai kedudukan sebagai
dalil qath’î, hal ini sudah disepakati oleh para ulama,
dengan demikian adanya kewajiban dalam
mengamalkannya dan tidak dapat diragukan lagi atas
keberadaan al-sunnah mutawâtir ini.124 Tetapi para ulama
berbeda pendapat apakah al-sunnah mutawâtir ini
merupakan sebuah kebutuhan pokok atau bersifat teoritis
saja? Perbedaan ini ditinjau dari lafazhnya, karena semua

121
Shafiyuddîn al-Hanbalî, Qawâ’id al-Ushûl wa Ma’âqid al-Fushûl
(Mekkah: Jami’ah Umm al-Qurra’, 1409), hlm. 40.
122
Ibn al-Najjâr, Syarh al-Kaukâb al-Munîr, juz II, hlm. 392-333.
123
Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, juz I, hlm. 67.
124
Ibn al-Najjâr, Syarh al-Kaukâb al-Munîr, juz II, hlm. 317.
73
ulama sepakat bahwa al-sunnah mutawâtir memberikan
manfaat sebagai ilmu pengetahuan dan kepastian, tetapi
mereka berbeda pendapat tentang al-sunnah mutawâtir
sebagai jenis ilmu pengetahuan: jika dilihat dari segi akal
dan pikiran mengharuskan untuk membenarkan, maka hal
ini al-sunnah mutawâtir disebut sebagai sebuah kebutuhan
pokok. Dan jika dilihat dari segi keperluan al-sunnah
mutawâtir kepada adanya muqaddimah, maka hal ini
disebut sebagai al-sunnah mutawâtir yang bersifat teoritis.
125

Syarat-syarat al-sunnah mutawâtir, Pertama: periwayatan


yang disampaikan adalah untuk memberitahukan adanya
informasi sebagai ilmu pengetahuan dan mempunyai
kepastian, bukan atas dasar keraguan dan ketidak pastian.
Kedua: periwayatan yang disampaikan harus didasarkan
pada perasaan, bukan untuk atas dasar logika atau lainnya.
Ketiga: orang yang meriwayatkan sebuah al-sunnah harus
banyak tidak boleh sedikit jumlahnya. Hal ini tidak ada
batasan jumlah berapa orang yang meriwayatkannya,
tetapi banyaknya jumlah orang yang mampu meriwayatkan
al-sunnah menjadi sebuah ilmu pengetahuan dan
kepastian. Keempat: periwayat yang banyak ini tidak
berkolusi untuk menyampaikan al-sunnah dengan cara
berdusta atau merahasiakannya. Kelima: harus ada syarat
yang berlaku di seluruh urutan sanad. 126 Sedangkan syarat-
syarat khusus al-sunnah mutawâtir adalah periwayat
beragama islam dan mempunyai kompetensi dalam bidang
keilmuannya.
2. Al-Sunnah Ahâd.
Secara etimologi, ahâd berasal dari bahasa Arab berbentuk
kata majemuk dari kata ahâd yang berarti satu atau
individu. 127 Dan secara terminologi, al-sunnah yang

125
Ibid, juz II, hlm. 327.
126
Al-Khatîb al-Baghdâdi, Al-Faqîh wa al-Mutafaqqih, juz I, hlm. 96.
127
Al-Fayûmi, Al-Mishbâh al-Munîr, juz I, hlm. 650.
74
diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak
mencapai tingkatan mutawâtir.128
Hadits ahad terbagi menjadi 3 macam, yaitu : Masyhûr,
‘Azîz, dan Gharîb.
2.1. Masyhûr (atau juga dikenal dengan nama sunnah
Mustafîdl) menurut bahasa adalah “nampak”.
Sedangkan menurut istilah, sunnah masyhûr adalah :
“sunnah yang diriwayatkan oleh 3 (tiga) perawi atau
lebih pada setiap thabaqah (tingkatan) dan belum
mencapai batas mutawâtir”.129 Contohnya, sebuah
sunnah yang berbunyi :
‫إن هللا ال ٌقبض العلم انتزاعا ٌنتزعه من العباد ولكن ٌقبض العلم بقبض‬
‫العلماء حتى إذا لم ٌبق عالما اتخذ الناس رؤوسا جهاال فسئلوا فأفتوا بغٌر‬
‫علم فضلوا وأضلوا‬
Artinya: ”Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil
ilmu dengan melepaskan dari dada seorang hamba.
Akan tetapi akan melepaskan ilmu dengan mengambil
para ulama. Sehingga apabila sudah tidak terdapat
seorang yang ‘alim, maka orang yang bodoh akan
dijadikan sebagai pemimpin, lalu memberikan fatwa
tanpa didasari ilmu. Mereka sesat dan
130
menyesatkan”.
2.2. ‘Azîz secara bahasa artinya : yang sedikit, yang gagah,
atau yang kuat. sunnah ’Azîz menurut istilah ilmu
hadits adalah : “Suatu hadits yang diriwayatkan dengan
minimal dua sanad yang berlainan rawinya”.
Contohnya : Rasulullah SAW bersabda :
‫ال ٌؤمن أحدكم حتى أكون أحب إلٌه من والده وولده والناس أجمعٌن‬
Artinya: ”Tidaklah beriman salah seorang di antara
kamu hingga aku (Nabi) lebih dicintainya daripada
bapaknya, anaknya, serta serta seluruh manusia”. 131

128
Ibn al-Najjâr, Syarh al-Kaukâb al-Munîr, juz II, hlm. 345.
129
Ahmad ibn Alî Abu al-Fadlil Ibn Hajar al-’Asqalanî, Nuzhah al-Nadlar fî
Taudlîh Nukhbah al-Fikr (Beirut: Dâr Ihyâ’ Al-Turâts, tt.), hlm. 26.
130
Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhari, juz IV, hlm. 1467.
131
Ibid., juz II, hlm. 1074.
75
2.3. Gharîb secara bahasa berarti yang jauh dari
kerabatnya. Sedangkan sunnah Gharîb secara istilah
adalah : “sunnah yang hanya diriwayatkan oleh
seorang perawi secara sendiri”. Dan tidak
dipersyaratkan periwayatan seorang perawi itu
terdapat dalam setiap tingkatan (thabaqah)
periwayatannya, akan tetapi cukup terdapat pada satu
tingkatan atau lebih. Dan bila dalam tingkatan yang lain
jumlahnya lebih dari satu, maka itu tidak mengubah
statusnya (sebagai sunnah gharib). Sebagian ulama’
lain menyebut hadits ini sebagai Al-Fard. sunnah gharîb
dibagi menjadi dua : pertama; Gharîb Muthlaq,
disebut juga : Al-Fardul-Muthlaq; yaitu bilamana
kesendirian (gharabah) periwayatan terdapat pada asal
sanad (shahabat). Misalnya hadits Nabi SAW: ”Bahwa
setiap perbuatan itu bergantung pada niatnya” . 132
Hadits ini diriwayatkan sendiri oleh Umar bin Al-
Khaththab, lalu darinya hadits ini diriwayatkan oleh
‘Alqamah. Muhammad bin Ibrahim lalu
meriwayatkannya dari ‘Alqamah. Kemudian Yahya bin
Sa’id meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim.
Kemudian setelah itu, ia diriwayatkan oleh banyak
perawi melalui Yahya bin Sa’id. Dalam gharib muthlaq
ini yang menjadi pegangan adalah apabila seorang
shahabat hanya sendiri meriwayatkan sebuah hadits.
Kedua; Gharîb Nisbî, disebut juga : Al-Fardun-Nisbi;
yaitu apabila ke-gharîb-an terjadi pada pertengahan
sanadnya, bukan pada asal sanadnya. Maksudnya satu
hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang
perawi pada asal sanadnya, kemudian dari semua
perawi itu hadits ini diriwayatkan oleh satu orang
perawi saja yang mengambil dari para perawi tersebut.
Misalnya : Hadits Malik, dari Az-Zuhri (Ibnu Syihab),
dari Anas radliyallaahu ‘anhu : ”Bahwa Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam masuk kota Makkah

132
Ibid., juz V, hlm. 1572.
76
dengan mengenakan penutup kepala di atas
kepalanya”.133 Hadits ini hanya diriwayatkan oleh
Malik dari al-Zuhrî. Dinamakan dengan gharib nisbi
karena kesendirian periwayatan hanya terjadi pada
perawi tertentu. 134
Itulah garis besar penjelasan hadits dilihat dari segi
sampainya kepada kita. Pembagian antara hadits mutawatir
dan ahad sama sekali bukanlah masuk dalam ranah
diterima atau ditolaknya satu khabar/hadits.
Ulama telah bersepakat atas penggunaan al-sunnah dengan
riwayat ahâd ini.135 Dalil-dalil yang mendukung pendapat
ini, Pertama: bahwa Muhammad SAW dalam menjalankan
tugasnya sebagai Rasulullah selalu menyampaikan hukum-
hukum Allah seperti menarik pajak dan berdakwah,
semuanya itu dilakukan oleh beliau sendiri dan diberitakan
melalui al-sunnah. 136 Kedua: ijmâ’ sahabat Rasulullah SAW
yang menyatakan al-sunnah ahâd yang bersumber dari
Rasulullah SAW harus diterima dan dapat dijadikan sebagai
sumber hukum. 137 Ketiga: firman Allah SWT:
           
         

Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi
semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan
untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya”.138

133
Ibid., juz II, hlm. 1089.
134
Ibn Hajar al-’Asqalanî, Nuzhah al-Nadlar fî Taudlîh Nukhbah al-Fikr,
hlm. 28.
135
Ibn al-Najjâr, Syarh al-Kaukâb al-Munîr, juz II, hlm. 361-368.
136
Ibid, juz II, hlm. 375.
137
Ibid juz II, hlm. 369.
138
Surat at-Taubah: 122.
77
Bahwa Allah SWT memerintahkan kepada beberapa orang
(disini menunjukkan pada arti sedikit dan banyak) untuk
memberikan peringatan kepada kaumnya. sehingga hal ini
dapat menjadi hujjah kaum itu akhirnya dapat menjaga
dirinya setelah mendapat peringatan. 139 Dengan demikian
dapat dinyatakan bahwa khabar, al-sunnah, hadits ahâd
dapat dijadikan sebagai hujjah.

c. Sumber Hukum Ijmâ’


Secara etimologi ijmâ’ berasal dari bahasa Arab yang
berarti ketetapan hati dan kebulatan tekad 140 seperti dalam
َ َ‫( َفأَجْ ِمعُوا أ‬surat yunus: 71) atau dalam hadits Rasulullah
ayat ‫مْر ُك ْم‬
SAW: ‫ ال صٌام لمن لم ٌجمع الصٌام قبل الفجر‬artinya: ”tidak sah puasa
ramadhan seseorang yang tidak berketetapan hati (niat)
sebelum fajar”. 141 Atau dapat juga berarti kesepakatan atau
sependapat tentang sesuatu hal.142
Sedangkan secara terminologi ijmâ’ adalah kesepakatan
mujtahid umat Islam tentang hukum syara' dari peristiwa yang
terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia dan tidak ada
penjelasan nash dari al-Qur’ân dan al-sunnah.143

Dasar hukum ijmâ’ berupa al-Qur’ân, al-Sunnah dan akal


pikiran.
1. Al-Qur’ân; Allah SWT berfirman surat al-Nisa‘ ayat 59:
         
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”.
Kata ulil amri yang terdapat pada ayat di atas mempunyai
arti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi
urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan

139
Al-Qurthubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, juz VIII, hlm. 294.
140
Al-Jurjânî, al-Ta’rîfât, hlm. 2.
141
Ahmad bin Syu’aib abu ‘Abdurrahman al-Nasâi, Sunan al-Nasâi (Halb:
Maktaba al-Mathbû’ât al-Islâmiyah, 1986), juz IV, hlm. 197.
142
Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, juz XIII, hlm. 53.
143
Al-Amidî, Al-Ihkâm, juz I, hlm. 101.
78
dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa,
sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid.
Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah
sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu
peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan
dan dipatuhi oleh kaum muslimin. 144
Firman AIlah SWT surat ali Imran ayat 103:
     
Artinya: "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali
(agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai”.
Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu,
jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam
pengertian bersatu itu ialah berijmâ’ (bersepakat) dan
dilarang bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentual-
ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid. 145
2. Al-sunnah; Sabda Rasulullah SAW: ‫ال تجتمع أمتً على ضاللة‬
Artinya: "Umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan
kesalahan". 146
Apabila para mujtahid telah melakukan ijmâ’ dalam
menentukan hukum syara' dari suatu permasalahan
hukum, maka keputusan ijmâ’ itu hendaklah diikuti, karena
mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk
melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta.
Dan sabda Rasulullah SAW yang lain: ‫فمن أراد بحبوحة الجنة فٌلزم‬
‫الجماعة‬
Artinya : “Apabila seseorang menginginkan kemakmuran
surga, hendaknya selalu berjamaah”. 147
Dalam hadits ini Imam Syafi’i menyatakan: “Jika
keberadaan para mujtahid tersebar diseluruh penjuru
dunia, dan apabila tidak dimungkinkan bertemu langsung

144
Al-Qurthubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, juz V, hlm. 259.
145
Al-Qurthubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, juz IV, hlm. 159.
146
Ali bin Abu Bakar al-Haitsami, Mujma’ al-Zawâid wa Manba’ al-Fawâid
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1992), juz VII, hlm. 147.
147
Ahmad bin Syu’aib abu ‘Abdurrahman al-Nasâi, Sunan al-Nasâi al-
Kubra (Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1991), juz V, hlm. 387.
79
tetapi pendapatnya dapat sampai pada sejumlah mujtahid,
maka dapat terjadi ijmâ’ dalam menetapkan sebuah
hukum. Dan ketetapan para mujtahid ini dianggap sebagai
ijmâ’, dan apabila ada yang mengingkarinya maka harus
ditemukan bukti dan dalil baru untuk keputusan ijmâ’
tersebut”.148
3. Akal pikiran
Setiap ijmâ’ yang ditetapkan menjadi hukum syara', harus
dilakukan dan disesuaikan dengan asal-asas pokok ajaran
Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihâd
hendaklah mengetahui dasal-dasar pokok ajaran Islam,
batal-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihâd serta
hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihâd dan
dalam berijtihâd itu ia menggunakan nash, maka ijtihâdnya
tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin
dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam berijtihâd, ia
tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar
ijtihâdnya, maka dalam berijtihâd ia tidak boleh melampaui
kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh
menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyâs,
istihsân dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah
melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihâd
yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau
menyalahi al-Qur'ân dan al-sunnah, karena semuanya
dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang
mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas,
kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil
pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum
suatu peristiwa lebih utama diamalkan. 149

Rukun-rukun ijmâ’
Dari definisi dan dasar hukum ijmâ’ di atas, maka ulama
ushul fiqh menetapkan rukun-rukun ijmâ’ sebagai berikut:

148
Al-Syâfi’î, Al-Risâlah, hlm. 475.
149
‘Abdulkarîm Zaidân, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh, hlm. 183.
80
1. Adanya kesepakatan pendapat antara satu ulama dengan
pendapat ulama lain. 150
2. Para Mujtahid, yakni harus ada beberapa orang mujtahid
dikala terjadinya peristiwa dan para mujtahid itulah yang
melakukan kesepakatan (menetapkan hukum peristiwa itu.
Seandainya tidak ada beberapa orang mujtahid di waktu
terjadinya suatu peristiwa tentulah tidak akan terjadi ijmâ’,
karena ijmâ’ itu harus dilakukan oleh beberapa orang.151
Syarat sebagai mujtahid adalah mengetahui ilmu al-Qur’ân,
al-sunnah dan permasalahan ijmâ’, mempunyai kompetensi
dalam bidang ilmu ushul fiqih, menguasai ilmu bahasa arab.
3. Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh
mujtahid yang ada dalam dunia Islam. Jika kesepakatan itu
hanya dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada suatu
negara saja, maka kesepakatan yang demikian belum dapat
dikatakan suatu ijmâ’.
4. Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap
mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid
yang lain tentang hukum (syara') dari suatu peristiwa yang
terjadi pada masa itu. Jangan sekali-kali tersirat dalam
kesepakatan itu unsur-unsur paksaan, atau para mujtahid
yang diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga ia harus
menerima suatu keputusan. Kesepakatan itu dapat
dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan pernyataan
lisan, dengan perbuatan atau dengan suatu sikap yang
menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan hukum
yang telah disetujui oleh para mujtahid yang lain. Tentu
saja keputusan yang terbaik ialah keputusan sebagai hasil
suatu musyawarah yang dilakukan para mujtahid.
5. Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang
bulat dari seluruh mujtahid. Seandainya terjadi suatu
kesepakatan oleh sebahagian besar mujtahid yang ada,
maka keputusan yang demikian belum pasti ke taraf ijmâ’.

150
Al-Amidî, Al-Ihkâm, juz I, hlm. 137.
151
‘Abdulkarîm Zaidân, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh, hlm. 180.
81
Ijmâ’ yang demikian belum dapat dijadikan sebagai hujjah
syari'ah. 152

Macam-macam ijmâ’
Sekalipun sukar membuktikan apakah ijmâ’ benal-benar
terjadi, namun dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh
diterangkan macam-macam ijmâ’. Diterangkan bahwa ijmâ’ itu
dapat ditinjau dari beberapa segi dan tiap-tiap segi terdiri atas
beberapa macam.
Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijmâ’ terdiri atas:
1. ljma' sharîh, qouli, bayani, yaitu para mujtahid menyatakan
pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan
atau tulisan, seperti hukum masalah ini halal dan tidak
haram. 153
2. Ijmâ’ sukûti, iqrâri yaitu para mujtahid seluruh atau
sebahagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan
jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak
memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang
telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. 154
Contoh untuk Ijma’ sukûti adalah di adakannya adzan dua
kali untuk sholat Jum’at, yang di prakarsai oleh sahabat
Ustman bin Affan r.a. pada masa kekhalifahan beliau. Para
sahabat lainnya tidak ada yang memprotes atau menolak
ijma’ Beliau r.a. tersebut dan diamnya para sahabat lainnya
adalah tanda menerimanya mereka atas prakarsa tersebut.
Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan ijma
sukûti ini: ada yang menyatakan sebagai dalil qath’î dan ada
yang berpendapat sebagai dalil zhannî.
Sebab-sebab terjadinya perbedaan adalah: keadaan
diamnya sebagian mujtahid tersebut mengandung
kemungkinan adanya persetujuan atau tidak. Apabila
kemungkinan adanya persetujuan: maka hal ini adalah dalil
qath’î, dan apabila ada yang tidak menyetujui: maka hal itu

152
‘Abdulwahhâb Khallâf, ’Ilm Ushûl al-Fiqh, hlm. 51.
153
Al-Khatîb al-Baghdâdi, Al-Faqîh wa al-Mutafaqqih, juz XI, hlm. 170.
154
Ibid.
82
bukanlah sebuah dalil, dan apabila ada kemungkinan memberi
persetujuan tetapi dia tidak menyatakan: maka hal ini adalah
dalil zhannî.
Oleh karena itu, ijmâ’ sukûti tidak dapat dimutlakkan
keberadaan hukumnya, tetapi harus mempertimbangkan
adanya bukti dan kondisi para mujtahid yang diam tadi.
Sehingga apabila kesepakatan itu diduga kemungkinan besar
menyetujuinya dan memuaskan semua mujtahid, hal ini
dianggap sebagai dalil zhannî. Akan tetapi apabila ternyata
para mujtahid menyetujui maka dianggap sebagai dalil qath’î.
Dan apabila muncul pelanggaran dan ketidakpuasan maka
tidak dianggap sebagai dalil.155
Dalam hal ini ada perbedaan diantara ulama madzhab:
ulama malikiyah dan syafi’iyyah menyatakan ijmâ’ sukûti
bukan sebagai ijmâ’ dan dalil. Sedangkan menurut ulama
hanafiyah dan hanabilah menyatakan bahwa ijmâ’ ini dapat
dinyatakan sebagai ijmâ’ dan dalil qath’î. 156
Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijmâ’,
dapat dibagi kepada:
1. ljma' qath'î, yaitu hukum yang dihasilkan ijmâ’ itu adalah
sebagai dalil qath'î diyakini benar terjadinya, tidak ada
kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau
kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijmâ’
yang dilakukan pada waktu yang lain;
2. ljma' zhannî, yaitu hukum yang dihasilkan ijmâ’ itu zhannî,
masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa
atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil
ijtihâd orang lain atau dengan hasil ijmâ’ yang dilakukan
pada waktu yang lain. 157
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam
ijmâ’ yang dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi
atau orang yang melaksanakannya. Ijmâ’-ijmâ’ itu ialah:

155
Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwâ, juz XIX, hlm. 267-268.
156
Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh (Beirut: Dâr al-Fikr, 1999),
hlm. 51.
157
Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwâ, juz XIX, hlm. 267-270.
83
1. Ijmâ’ sahabat, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh para
sahabat Rasulullah SAW;
2. Ijmâ’ khulafaurrasyidin, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh
Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib.
Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa ke-
empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu
Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijmâ’ tersebut
tidak dapat dilakukan lagi;
3. Ijmâ’ shaikhan, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh Abu Bakar
dan Umar bin Khattab;
4. Ijmâ’ ahli Madinah, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh ulama-
ulama Madinah. Ijmâ’ ahli Madinah merupakan salah satu
sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki, tetapi
Madzhab Syafi'i tidak mengakuinya sebagai salah satu
sumber hukum Islam;
5. Ijmâ’ ulama Kufah, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh ulama-
ulama Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan ijmâ’ ulama
Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.158

Persyaratan bagi ahli ijmâ’


Dalam menentukan hukum ijmâ’ ini, para mujtahid yang
ingin bersepakat dalam sebuah hukum harus memenuhi
persyaratan berikut ini:
1. Mempunyai kapasitas intelektual sebagai mujtahid.
Sehingga apabila ada sekelompok orang awam yang tidak
mempunyai kompetensi keilmuan, kemudian bersepakat
atas keputusan hukum, hal ini tidak dinamakan sebagai
ijmâ’. Sebaliknya jika ada permasalahan hukum maka
para ahli ijmâ’ tersebut harus mempunyai kompetensi
keilmuan dalam bidang fiqih ketika mau membuat
kesepakatan bersama (ijmâ’).159
Apabila ada yang menyatakan bahwa sekelompok orang
awam yang bersepakat dianggap sebagai ijmâ’? hal ini

158
Ibid, juz XI, hlm. 341.
159
Ibn Qudâmah, Raudlat al-Nâzhir, hlm. 350-351.
84
harus mempunyai syarat bahwa mereka harus mengikuti
pendapat dan metodologi istinbath para mujtahid. 160
2. Kesepakatan bersama harus ditetapkan oleh pemikir
muslim. Sehingga tidak dinamakan ijmâ’ apabila ada
ketetapan yang didalamnya terdapat pemikir non muslim
dan murtad. Karena orang non muslim tidak masuk dalam
kategori orang mukmin. Seperti dalam firman Allah SWT
surat al-Nisa' ayat 115:
           

Artinya: ”Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah
jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang mukmin”.
Sedangkan orang fasiq yang sering berbuat dosa, maka
apabila pendapatnya menunjuk kepada adanya kebenaran
dan kemashlahatan maka masih dapat di masukkan
kedalam kelompok pemikir muslim. Karena orang fasiq
secara umum masih masuk dalam kategori sebagai orang
mukmin.161
3. Ijmâ’ yang ditetapkan harus mengikut sertakan seluruh
mujtahid. Maksudnya adalah tidak ditentukan jumlah
banyaknya, tetapi ditentukan ada yang menolak
keputusan bersama itu atau tidak? Apabila ada satu atau
dua orang yang mengingkari ketetapan hukum yang
dibuat bersama, maka hal ini tidak dapat dianggap
sebagai ijmâ’. 162

Obyek ijmâ’
Obyek ijmâ’ ialah semua peristiwa atau kejadian yang
tidak ada dasarnya dalam al-Qur’ân dan al-Hadits, peristiwa
atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu
mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah
SWT) bidang mu'amalat, bidang kemasyarakatan atau semua

160
Al-Khatîb al-Baghdâdi, Al-Faqîh wa al-Mutafaqqih, juz I, hlm. 168.
161
Ibn al-Najjâr, Syarh al-Kaukâb al-Munîr, juz II, hlm. 227-229.
162
Al-Amidî, Al-Ihkâm, Juz I, hlm. 235.
85
hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak
ada dasarnya dalam al-Qur’ân dan al-Hadits.

Fungsi ijma’ adalah

d. Sumber Hukum Qiyâs


Secara etimologi qiyâs berasal dari bahasa Arab “qâsa,
yaqîsu, qaisan” artinya pengukuran sesuatu dengan yang
lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya.163 Ada
juga yang mengartikan qiyâs dengan mengukur sesuatu atas
sesuatu yang lain dan kemudian menyamakan antara
keduanya. Ada kalangan ulama yang mengartikan qiyâs
sebagai mengukur dan menyamakan. Qiyâs berarti qadar
artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan
semisalnya.164 Qiyâs bisa Juga bermakna taswiyah, ta’dîl dan
tandzîr.165 Qiyâs adalah membandingkan satu hal dengan yang
lain, atau penyamaan terhadap dua hal. 166
Sedangkan secara terminologi terdapat beberapa definisi
berbeda yang saling berdekatan artinya. Diantara definisi-
definisi tersebut yakni:
1. Fakhruddîn al-Râzi menyebut qiyâs:
‫ أو نفٌه عنهما بأمر جامع بٌنهما‬، ‫حمل معلوم على معلوم فى إثبات حمكم لهما‬
‫من إثبات حكم أو صفة أو نفٌهما عنهما‬
Artinya: Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada
sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada
keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya
disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam
penetapan hukum atau peniadaan hukum. 167

163
Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 2008) hlm.
172.
164
Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, hlm. 3793
165
Al-Hâdî al-Kirru, Ushûl al-Tasyrî’ al-Islamî (Beirut: Dâr al-‘Arabiah, tt.),
hlm. 46.
166
Khalid Ramadhan Hasan, Mu’jam Ushûl al-Fiqh 1 (kairo: Raudhah,
1998), hlm. 226.
167
al-Razî, al-Mahshûl fi ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, juz V, hlm. 5.
86
2. Imam Baidhawî mendefinisikan:
‫إثبات مثل حكم معلوم فى معلوم أخر الشتراكهما فى علة الحكم عند المثبت‬
Artinya: Membawa (hukum) yang (belum) di ketahui
kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan
hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi
keduanya, baik hukum maupun sifat.168
3. Dr. Wahbah Zuhailî, mengutip al-Luma’ karangan Imam al-
Syîrazî memberi defenisi qiyâs:
‫إلحاق أمر غٌر منصوص على حكمه الشرعى بأمر منصوص على حكمه‬
‫إلشتراكهما فى علة الحكم‬
Artinya: Menghubungkan sesuatu perkara yang tidak ada
nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash
hukumnya karena keduanya berserikat dalam ‘Illat
hukum.169
Tanpa mengulas dan memperdebatkan masing-masing
defenisi, secara umum qiyâs merupakan penetapan suatu
hukum yang tidak memiliki nash, berdasarkan analogi hukum
yang memiliki nash, dengan syarat adanya kesamaan ‘illat.

Rukun-Rukun Qiyâs
Istinbath hukum berdasarkan qiyâs harus memunuhi
empat rukun. Bila salah satu rukunnya tidak terpenuhi, maka
analogi hukum menjadi cacat. Rukun tersebut adalah: al-ashl,
al-far’u, hukm al-ashl, dan al-‘Illah. Masing-masing rukun ini
akan dibahas satu persatu.
1. Al-ashl:
Al-ashl memiliki dua pengertian : (1) ‫( ما بنً علٌه غٌره‬sesuatu
yang dibangun diatasnya), (2) Sesuatu yang dapat diketahui
dengan sendirinya tanpa butuh bantuan lain.170
Ulama berbeda pendapat mengenai ashl bagi qiyâs. Dalam
contoh keharaman nabîdz yang dikiaskan pada keharaman
khamar, maka mana yang menjadi ashl qiyâs? Apakah nash

168
Al-Isnawî, Nihâyah al-Sûl Syarah Minhâj al-Wushûl li al-Qâdhî al-
Baidlâwî (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), hlm. 303.
169
Wahbah al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islamî, juz I, hlm. 603.
170
Al-Amidî, al-Ihkâm, juz III, hlm. 237.
87
yang mengharamkan khamar, atau khamar itu sendiri,
atau hukum yang terdapat dalam khamar- haram?.171
Bagi mutakallimun: Ashl adalah nash yang menunjukkan
keharaman khamar. Karena nash merupakan sandaran
atas keharamannya. Sedangkan fuqaha’ berpendapat, yang
menjadi ashl adalah khamar yang haram itu. Dan menurut
pendapat lain, ashl adalah hukum yang terdapat dalam
khamar.172
Ketiga pendapat tersebut menyisakan celah kritikan, sebab
defenisi mesti jamî’ wa mani’.173 Dan tanpa terlibat jauh
dalam perdebatan di atas. Pendapat yang lebih kuat adalah
apa yang dikemukakan oleh para fuqaha’ yaitu ashl bagi
qiyâs adalah khamar, yaitu perkara hukum (mahal al-
hukm) yang memiliki nash. Al-ashl disebut juga al-maqîs
‘alaih, al-mahmûl ‘alaih, dan al-musyabbah ‘alaih.
Sedangkan far’u adalah al-maqîs (yang dikiaskan).174
Para ulama ushul fiqih memberi banyak syarat-syarat yang
harus dipenuhi oleh ashl. Namun syarat yang dikemukakan
tumpang tindih dengan syarat hukum ashal. Menurut Dr.
Wahbah Zuhailî, syarat ashal hanya satu saja yaitu, bahwa
ashl bukan merupakan far’u bagi ashl yang lain. 175
2. Al-Far’u
Al-far’u adalah perkara yang belum memiliki nash dan
ijmâ’176 dan perkara yang dituntut penetapan hukumnya.177
Posisi al-far’u sebagai al-maqis bagi ashl.178 Jadi al-far’u
adalah peristiwa dan kejadian yang belum memiliki status
hukum, dan hendak dicari keputusan hukumnya melalui
metode qiyâs.

171
Ibid., juz III,hlm. 238.
172
Ibid., juz III, hlm. 238.
173
Ibid., juz III, hlm. 238-240.
174
‘Abdulwahhâb Khallâf, ’Ilm Ushûl al-Fiqh, hlm. 62.
175
Wahbah al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islamî, juz I, hlm. 634.
176
Ibid., juz I, hlm. 606.
177
al-Razî, al-Mahshûl fi ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, juz V, hlm. 19.
178
‘Abdulwahhâb Khallâf, ’Ilm Ushûl al-Fiqh, hlm. 60.
88
Al-far’u dapat menjadi al maqis bagi ashl bila memenuhi
syarat-syarat tertentu. Pada hakikatnya syarat al-far’u
yaitu:
a. Al-far’u tidak boleh mendahului ashl dalam penetapan
hukumnya179
b. Al-far’u tidak memiliki nash dan ijmâ’.180
c. Al-far’u memiliki kesamaan ‘Illah hukum ashl.181
Bila syarat-syarat-syarat di atas tidak dipenuhi al-far’u
maka qiyâs menjadi cacat. Karena al-far’u adalah perkara
yang belum ada penetapan hukumnya dan dianalogikan
kepada ashl. Proses analogi akan sempurna bila terdapat
kesamaan ‘Illah antara ashl dan far’u.
Bagi orang Indonesia, beras dikiaskan dengan gandum
dalam pengeluaran zakat. Beras merupakan far’u yang
ketetapan hukumnya belum ada dalam nash dan ijmâ’
serta penetapan hukumnya berlangsung setelah hukum
ashl. Beras dan diqiaskan terhadap gandum dikarenakan
kedua-duanya merupakan makanan pokok bagi penduduk
setempat.

3. Hukm al-Ashl
Hukm ashl adalah Hukum syar’I pada ashl yang diperoleh
dari nash. 182 Dalam contoh qiyâs nabîdz terhadap khamar,
yang menjadi hukum ashl adalah keharaman khamar.
Keharaman ini diperoleh dari nash.
Hukm ashl memiliki syarat-syarat tertentu. Imam al-Amidî
membuat delapan syarat hukum ashl, yaitu:183
a. Hukum ashl bersifat syar’i
b. Hukum ashl tsabît tidak mansûkh
c. Dalil penetapannya bersifat syar’i
d. Hukum ashl tidak lahir (cabang) dari hukum ashl lainnya

179
Wahbah al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islamî, juz I, hlm. 645.
180
‘Abdulwahhâb Khallâf, ’Ilm Ushûl al-Fiqh, hlm. 61.
181
al-Razî, al-Mahshûl fi ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, juz V, hlm. 37.
182
‘Abdulwahhâb Khallâf, ’Ilm Ushûl al-Fiqh, hlm. 61.
183
Al-Amidî, al-Ihkâm, juz V, hlm. 243-245.
89
e. Hukum ashl tidak lari (ma’dul) dari hukum-hukum qiyâs.
Lari dari hukum qiyâs terbagi dua. (1). Sesuatu yang
tidak diketahui maknanya seperti bilangan rakaat sholat,
jumlah nishab dan kafarat. Hal ini tidak bisa menjadi
qiyâs bagi yang lain. (2). Sesuatu yang telah disyariatkan
sejak awal dan tidak ada menyerupainya. Seperti
rukshah safar dan mengangkat tangan kanan ketika
bersumpah. Ini juga tidak dapat menjadi qiyâs.
f. Hukum ashl disepakati
g. Dalil penetapan hukum ashl bukan dalil penetapan atas
hukum far’u
h. Adanya dalil atas ‘Illah hukum ashl (terjadi perbedaan
pendapat)
Sedangkan DR. Wahbah Zuhailî menambahkan beberapa
syarat lainnya:184
a. Hukum ashl tidak bersifat khusus. Contoh: kekhususan
yang diperoleh Nabi saw atau diterimanya kesaksian
Khuzaimah sendirian –seharusnya dua saksi. Hal-hal
khusus ini tidak dapat dikiaskan dengan orang lain.
b. Hukum ashl mendahului hukum far’u.

4. Al-‘‘Illah
Pembahasan ‘Illah merupakan pembahasan yang banyak
menyedot perhatian para ulama. Karena ‘Illah merupakan
rukun yang paling menentukan dalam proses analogi
hukum. Defenisinya saja sudah banyak perdebatan.
Imam Ghazali memberi defenisi: al-washfu al-muatssiru fî
al-ahkâm bi ja’li al-syari’i la lidzâtihi (sifat yang
berkesesuaian terhadap hukum yang dibuat oleh Allah,
bukan karena sifat itu sendiri). Sedangkan Mu’tazilah
mengatakan: al-muatssiru li dzâtihi fî al-hukm. 185

184
Wahbah al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islamî, juz I, hlm. 637-638.
185
Al-Isnawî, Nihâyah al-Sûl, hlm. 319.
90
Al-Amidi mendefenisikan ‘Illah sebagai al-bâ’its ‘alâ al-
hukm (alasan hukum). Sedangkan ar-Razi: al-Muarrif lil
hukm.186
Defenisi diatas bercorak kalam dan mengundang banyak
perdebatan. Pengertian yang lebih mudah apa yang ditulis
oleh Abdul Wahhab Khallaf: Suatu sifat yang dibangun
diatasnya hukum ashl dan keberadaan sifat itu pada far’u
dapat disamakan dengan hukum ashl.187
‘Illah merupakan asas utama bagi qiyâs, dan kesamaan sifat
yang terdapat pada ashl dan far’u menghasilkan hukum
pada far’u.188 ‘‘Illah adalah pondasi hukum dan
keberadaannya menyebabkan keberadaan hukum lain. 189
Nabîdz menjadi haram disebabkan adanya ‘Illah
keharaman yang sama pada khamar, yaitu memabukkan.
Para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan syarat-
syarat ‘Illah sebagai asas terwujud qiyâs. Secara
keseluruhan ada 24 syarat yang mereka rumuskan190.
Sebagian syarat disepakati dan sebagian lain terjadi
perbedaan .Menurut Dr. Abdul Halim yang disepakati
sangat sedikit sekali -kalau tidak dikatakan tidak ada sama
sekali.191
Sedangkan menurut Abdul Wahhab Khallaf ada empat
syarat yang disepakati:192
a. ‘Illah harus bersifat zhâhir (washfan zhâhiran). Yaitu
dapat diketahui oleh panca indra. Seperti zat
memabukkan yang terdapat dalam khamar dan juga
nabîdz

186
Ibid.
187
‘Abdulwahhâb Khallâf, ’Ilm Ushûl al-Fiqh, hlm. 60.
188
Khalid Ramadhan Hasan, Mu’jam Ushûl al-Fiqh 1, hlm. 187.
189
Al-Hâdî al-Kirru, Ushûl al-Tasyrî’ al-Islamî, hlm. 47.
190
Wahbah al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islamî, juz I, hlm. 652.
191
‘Abdul Halîm ‘Abdurrahman, Mabâhits al-‘Illah fî al-Qiyâs (Beirut: Dâr
al-Basyâ’ir al-Islamiyyah, 2000), hlm. 190.
192
‘Abdulwahhâb Khallâf, ’Ilm Ushûl al-Fiqh, hlm. 68-70.
91
b. ‘Illah bersifat mundhabit. Maksudnya bahwa ‘Illah
memiliki ketetapan sifat yang tidak berbeda pada setiap
kondisi dan keadaan. Seperti zat memabukkan dalam
khamar dan Nabîdz, yang siapa saja meminumnya akan
membuat mabuk.
c. ‘Illah bersifat munasib. Bahwa ‘Illah memiliki keterkaitan
dengan maqasid syari’ah.
b. ‘Illah tidak bersifat terbatas pada ashl semata. Karena
jika hanya terdapat pada ashl maka tidak akan bisa
menjadi kiasan bagi far’u

Kehujjahan Qiyâs
Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan qiyâs.
Ada lima pendapat mengenai hal ini. 193
1. Jumhur ulama memandang bahwa qiyâs hujjah dan wajib
mengamalkannya berdasarkan syar’i.
2. Pendapat Qaffâl dan Abû Husain al-Bashri bahwa akal dan
naql menunjukkan kehujjahan qiyâs.
3. Pendapat al-Qasyânî, Nahrawanî memandang, bahwa qiyâs
wajib diamalkan dalam dua hal:
a. ‘Illah ashl ditetapkan oleh nash dengan jelas atau
dengan jalan ima’ (‫)اإلٌماء‬
b. Hukum far’u lebih utama dari hukum ashl. Seperti
keharaman memukul orang tua dikiaskan pada
keharaman berkata “ah”.
4. Mazhab Zhâhiri mengingkari kehujjahan qiyâs berdasarkan
syariat, meski secara akal bisa.
5. Mazhab Syiah dan Nizham dari mu’tazilah memandang
bahwa kehujjahan qiyâs mustahil secara akal.
Secara garis besar, lima pendapat ini dapat
dikelompokkan dalam dua pendapat yatiu antara menerima
kehujjahan qiyâs dan kelompok yang menolaknya. Berikut
dalil-dalil masing-masing:
1. Dalil madzhab yang menerima kehujjahan qiyâs
a. Al-qur’ân :

193
Al-Isnawî, Nihâyah al-Sûl, hlm. 305-306.
92
Surat al-Nisa ayat 59.
         
            
      
Ayat ini menjelaskan, bila terjadi sengketa maka
kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya yaitu al-qur’ân
dan sunnah. Dan Qiyâs, befungsi menggali hukum yang
menjadi perselisihan yang tidak ada nashnya dari al-
qur’ân dan sunnah untuk dikiaskan kepada hukum yang
diperselisihkan yang ada nashnya, karena keduanya
memiliki ‘illah yang sama yaitu adanya hukum yang
diperselisihkan. 194
Surat Ali Imran ayat 59.
              

Allah menyamakan penciptaan Nabi Isa dan Adam tanpa
seorang bapak, keterkaitan sama-sama tidak punya
bapak merupakan ‘Illah penyamaan kedua Nabi
tersebut.195
b. Sunnah:
Rasulullah mengutus Mu’âzd dan Abû Musa ke Yaman
sebagai qadhi. Rasulullah bertanya pada mereka. “
‫بما تقضٌان؟ فقاال إذا لم نجد الحكم فى السنة نقٌس األمر باألمر فما كان‬
‫ أصبتما‬: ‫ فقال علٌه الصالة والسالم‬.‫أقرب إلى الحق عملنا به‬
Hadits ini sangat jelas bahwa Rasulullah SAW
membenarkan qiyâs196
c. Ijmâ’:
Para sahabat ada mengeluarkan pendapat dengan cara
qiyâs seperti Abu Bakar dan ‘Umar. Pendapat mereka
tidak ada yang mengingkari. Maka ini dipandang sebagai
ijmâ’.197
d. ‘Aqlî:

194
Al-Hâdî al-Kirru, Ushûl al-Tasyrî’ al-Islamî, hlm. 50.
195
Ibid. hlm. 51
196
Al-Isnawî, Nihâyah al-Sûl, hlm. 307-308.
197
Ibid.
93
Akal tidak bisa menolak suatu perkara yang serupa dan
sama dalam hukum. Pengingkaran terhadap qiyâs
merupakan pengingkaran terhadap fitrah akal.
2. Dalil madzhab yang menolak kehujjahan qiyâs
a. Al-Qur’ân :
“‫” وال تقف ما لٌس لك به علم‬. Dalam qiyâs, hukum far’u belum
diketahui status hukumnya, dan qiyâs adalah zhannî,
mengikuti qiyâs berarti mengikuti sesuatu yang tidak
diketahui. 198
Firman Allah SWT surat al-Hujurat ayat 1
‫ٌأٌها اللذٌن أمنوا ال تقدموا بٌن ٌدي هللا ورسوله‬
Ayat ini melarang beramal dengan selain al-Qur’ân dan
sunnah. Menggunakan qiyâs berarti mendahului al-
Qur’ân dan sunnah.
b. Sunnah:
Sabda Rasulullah
‫تعمل هذه األمة برهة بالكتاب وبرهة بالسنة وبرهة بالقٌاس فإذا فعلوا ذالك‬
‫فقد ضلوا‬
Beramal dengan qiyâs akan berakibat kepada kesesatan.
c. Ijmâ’
Sebagian sahabat mencela penggunakan qiyâs. Dan tidak
ada pengingkaran hal tersebut. Maka ini menjadi sebuah
ijmâ’.
d. ‘Aqlî:
Menggunakan qiyâs akan menyebabkan perselisihan dan
pertikaian199. Dan ini dilarang oleh Allah dalam al-Qur’ân
surat al-Anfal: 47, " ‫" وال تنازعوا‬
Mengenai dalil-dalil diatas terjadi perdebatan hangat dan
panjang. Masing-masing pihak membantah dan menjawab
balik kritikan yang ada.
Diantara ulama yang cukup keras menolak hujjah adalah
Ibn Hazm. Dalam bukunya ia menjelaskan argumentasi
penolakannya terhadap qiyâs.200

198
Al-Hâdî al-Kirru, Ushûl al-Tasyrî’ al-Islamî, hlm. 54
199
Al-Isnawî, Nihâyah al-Sûl, hlm. 310.
94
Dilihat dari argumentasi yang disampaikan Ibn Hazm
terhadap qiyâs, ada dua hal yang menjadi basis penolakannya:
1. Bahwa Allah telah menurutkan syariat-syariat-Nya dengan
sempurna. Dia telah menentukan hukum-hukum-Nya. Apa
yang tidak disebutkan berarti mubah dan halal. Memakai
qiyâs berarti membuat hukum-hukum baru yang
bertentangan dengan syariat.
2. Penolakannya Ibn Hazm terhadap qiyâs bukan karena
kesimpulan hukum tersebut, melainkan cara memperoleh
hukum itu yang tidak tepat. Misalnya, firman Allah, surat al-
nur ayat 61:
‫أن تأكلوا من بٌوتكم أو بٌوت ءابائكم‬
Ayat di sini tidak menyebutkan kebolehan makan di rumah
anak, lalu dikiaskanlah kepada kebolehan makan dirumah
bapak. Metode ini tidak tepat. Bolehnya makan di rumah
anak bukan karena penerapan qiyâs, tapi karena adanya
nash yang membolehkan hal tersebut yaitu, sabda
Rasulullah SAW:
‫ان أطٌب ما أكل أحدكم من كسبه وان ولد أحدكم من كسبه‬

Pembagian qiyâs
Qiyâs dapat dibagi menjadi tiga macam 201, yaitu: Qiyâs
‘illat, Qiyâs dalalah dan Qiyâs syibih.
1. Qiyâs ‘illat ialah qiyâs yang mempersamakan ashl dengan
far’u, karena keduanya mempunyai persamaan ‘illat. Qiyâs
‘illat terbagi:
a. Qiyâs jali, ialah qiyâs yang ‘illatnya berdasarkan dalil
yang pasti, tidak ada kemungkinan lain selain dari ‘illat
yang ditunjukkan oleh dalil itu. Qiyâs jali terbagi
menjadi:

200
Ali ibn Ahmad ibn Sa’îd ibn Hazm al-Zhâhirî, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm
(Beirut: Dâr al-Afaq al-Jadîdah, tt.), juz VII, hlm. 56.
201
Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Departemen Agama, 1986), hlm.
139-142.
95
- Qiyâs yang ‘illatnya ditunjuk dengan kata-kata,
seperti memabukkan adalah ‘illat larangan minum
khamr, yang disebut dengan jelas dalam nash.
- Qiyâs mulawi ialah yang hukum pada far’u
sebenarnya lebih utama ditetapkan dibanding dengan
hukum pada ashal. Seperti haramnya hukum
mengucapkan kata “ah” kepada kedua orang tua
berdasarkan firman Allah surat al-Isra’ ayat 23 ‫وال تقل‬
‫لهما أف‬
Artinya: Maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya Perkataan “ah”
‘Illatnya ialah menyakiti hati kedua orang tua.
Bagaimana hukum memukul orang tua? Dari kedua
peristiwa itu nyatalah bahwa hati orang tua lebih
sakit bila dipukul anaknya dibanding dengan ucapan
“ah” yang diucapkan anaknya kepadanya. Karena itu
sebenarnya hukum yang ditetapkan bagi far’u lebih
utama dibanding dengan hukum yang ditetapkan
pada ashal.
- Qiyâs musawi, ialah qiyâs hukum yang ditetapkan
pada far’u sebanding dengan hukum yang ditetapkan
pada ashal, seperti menjual harta anak yatim
diqiyâskan kepada memakan harta anak yatim.
‘illatnya adalah sama-sama menghabiskan harta anak
yatim.
Memakan harta anak yatim haram hukumnya
berdasarkan firman Allah surat al-Nisa’: 10:
        
    
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan
harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka
itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan
masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Karena itu ditetapkan pulalah haram hukumnya
menjual harta anak yatim. Dari kedua peristwa ini
nampak hukum yang ditetapkan pada ashal sama
pantasnya dengan hukum yang ditetapkan pada far’u.
96
- Qiyâs al-adna, yaitu ‘illat yang ada pada far’u lebih
lemah dibandingkan dengan ‘illat yang ada pada ashl.
Artinya ikatan ‘illat yang ada pada far’u sangat lemah
disbanding ikatan ‘illat yang ada pada ashl.
Misalnya, mengqiyâskan apel pada gandum dalam hal
berlakunya riba fadhl, karena keduanya mengandung
‘illat yang sama yaitu sama-sama jenis makanan.
Dalam hadits Rosulullah saw. Dikatakan bahwa benda
sejenis apabila dipertukarkan dengan berbeda
kuantitas, maka perbedaan itu menjadi riba fadhl.
Dalam hadits tersebut diantaranya disebutkan
gandum (H.R Bukhori Muslim). Oleh sebab itu, Imam
al-Syafi’I mengatakan bahwa dalam jual beli apel pun
bisa berlaku riba fadhl. Akan tetapi, berlakunya
hukum riba pada apel lebih lemah dibandingkan
dengan yang berlaku pada gandum, karena ‘illat riba
al-fadhl pada gandum lebih kuat. 202
b. Qiyâs khafi, ialah qiyâs yang ‘illatnya munkin dijadikan
‘illat dan munkin pula tidak dijadikan ‘illat, seperti
mengqiyâskan sisa minuman burung buas kepada sisa
minuman binatang buas. ‘illatnya ialah kedua binatang
itu sama-sama minum dengan mulutnya, sehingga air
liurnya bercampur dengan sisa minumannya itu. ‘illat ini
mungkin dapat digunakan untuk sisa burung buas dan
mungkin pula tidak, karena mulut burung buas berbeda
dengan mulut binatang buas. Mulut burung buas terdiri
dari tulang atau zat tanduk. Tulang atau zat tanduk
adalah suci, sedang mulut binatang buas adalah daging,
daging binatang buas adalah haram, namun kedua-
duanya adalah mulut, dan sisa minuman. Yang
tersembunyi di sini adalah keadaan mulut burung buas
yang berupa tulang atau zat tanduk.
2. Qiyâs dalalah

202
Nasrun Harun, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1995), hlm.
75-76.
97
Qiyâs dalalah adalah qiyâs yang ‘illatnya tidak disebut,
tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan adanya ‘illat
untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa.
Seperti harta kanak-kanak yang belum baligh, apakah wajib
ditunaikan zakatnya atau tidak. Cara ulama yang
menetapkannya wajib mengqiyâskannya kepada harta
orang yang telah baligh, karena ada petunjuk yang
menyatakan ‘illatnya, yaitu kedua harta itu sama-sama
dapat bertambah atau berkembang. Tetapi madzhab
Hanafi, tidak mengqiyâskannya kepada harta orang yang
telah baligh, tetapi kepada ibadat, seperti shalat, puasa dan
sebagainya. Ibadat hanya diwajibkan kepada orang
mukallaf, termasuk di dalamnya orang yang telah baligh,
tetapi tidak diwajibkan kepada anak kecil (orang yang
belum baligh). Karena itu ia anak kecil tidak wajib
menunaikan zakat hartanya yang telah memenuhi syarat-
syarat zakat.
3. Qiyâs syibih
Qiyâs syibih adalah qiyâs yang far’u dapat diqiyâskan
kepada dua ashal atau lebih, tetapi diambil ashal yang lebih
banyak persamaannya dengan far’u. seperti hukum
merusak budak dapat diqiyâskan kepada hukum merusak
orang merdeka, karena kedua-duanya adalah manusia.
Tetapi dapat pula diqiyâskan kepada harta benda, karena
sama-sama merupakan hak milik. Dalam hal ini budak
diqiyâskan kepada harta benda karena lebih banyak
persamaannya dibanding dengan diqiyâskan kepada orang
merdeka. Sebagaimana harta budak dapat diperjual-
belikan, diberikan kepada orang lain, diwariskan,
diwakafkan dan sebagainya.
Beberapa Contoh Qiyâs
N Ashl/poko Furu’/caban ’Illat Hukum
o k g
1 Khamar Wiski, sabuh- Memabukkan Haram
sabu, ganja
2 Gandum Padi, jagung Makanan Wajib
pokok zakat
98
3 Berkata Menghardik, Menyakitkan Haram
”ah” memukul
4 Membunuh Membunuh Menyegeraka Tidak
ibu orang yang n sesuatu mendapat
memberi sebelum warisan
waris waktunya
5 Haji bagi Zakat harta Belum baligh Tidak
anak-anak anak-anak wajib
6 Mencatat Mencatat Sebagai bukti dianjurka
utang pernikahan n
7 Jual beli Sewa Kesibukan haram
ketika azan menyewa, yang
jum’at Bekerja, melalaikan
ngobrol shalat

»‫ ولٌقعد فً بٌته‬،‫ ولٌعتزل مسجدنا‬،‫ فلٌعتزلنا‬،ً‫من أكل ثوما ً أو بصال‬

‫س مِنْ أَحْ َس ِن‬ َ ِ‫ َولَب‬, ُ‫ان عِ ْندَ ه‬ َ ‫ب إِنْ َك‬ ِ ٌ‫الط‬‫اغ َت َس َل ٌَ ْو َم ا ْل ُج ُم َع ِة َواسْ َتنَّن َومَسَّن م َِن ِّط‬ ْ ‫َم ِن‬
َْ‫هللاُ أن‬
‫ ُث َّنم َر َك َع َما َشا َء َّن‬, ‫اس‬ ‫َّن‬
ِ ‫اب الن‬ ‫َّن‬ َ
َ ‫ َول ْم ٌَ َت َخط ِر َق‬, ‫ج ِد‬ ْ َ ُ
ِ ْ‫ ث َّنم َجا َء إِلى ال َمس‬, ‫ثِ ٌَ ِاب ِه‬
ْ ‫صلِّط ًَ َكا َن‬
َ ‫ت َكفَّن‬
‫ار ًة لِ َما َب ٌْ َن َها َو َبٌ َْن‬ َ ٌُ ‫صتَ إِ َذا َخ َر َ إِ َما ُم ُه َح َّنتى‬ َ ‫ ُث َّنم أَ ْن‬, ‫ٌَرْ َك َع‬
.‫ت َق ْبلَ َها‬ْ ‫ا ْل ُج ُم َع ِة ا َّنتلًِ َكا َن‬
Mandi, memakai wangi2an, bersiwak dan berpakaian
yang paling baik yang dimilikinya sebelum mengerjakan
shalat idul fitri dan adha diqiyaskan pada shalat jumat,
illatnya ada bersyukur atas nikmat Allah.

99
C. Sumber-Sumber Hukum Yang Tidak Disepakati
a. Sumber Hukum Istihsân
Secara etimologi istihsân adalah kata bentukan (musytaq)
dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Istihsân sendiri
kemudian berarti “kecenderungan seseorang pada sesuatu
karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat
lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah, meskipun hal itu
dianggap tidak baik oleh orang lain”. 203 Sedangkan secara
terminologi kata istihsân para ulama ushul fiqih mempunyai
definisi yang berbeda-beda, seperti yang ada dibawah ini:
1. Mengunggulkan dalil yang satu dari dalil yang lainnya yang
ada. Atau Mengamalkan dalil yang paling kuat di antara dua
dalil. Artinya adalah meninggalkan pemikiran (qiyâs)
terhadap hukum sebuah masalah dengan mengambil dalil
yang paling khusus.204
2. Menghindar dari proses qiyâs. Seperti diperbolehkan
masuk ke kolam renang dengan tanpa memperhitungkan
penetapan harga tertentu, padahal dalam proses qiyâs
bahwa pembayaran itu harus mempunyai standart yang
jelas.205
3. Mengambil kemaslahatan yang bersifat parsial dan
meninggalkan dalil yang bersifat umum/ menyeluruh.206
4. Meninggalkan salah satu ijtihâd yang tidak mencakup
seluruh lafazhnya karena pertimbangan yang lebih kuat
darinya. 207

203
Al-Jurjânî, al-Ta’rîfât, hlm. 4. Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, juz XIII, hlm.
117.
204
Ibn Qudâmah, Raudlat al-Nâzhir, hlm. 162.
205
Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwâ, juz IV, hlm. 46.
206
Ibrahîm bin Mûsa Abu Ishâq al-Syâtibi, Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-
Syarî’ah (Mesir: Maktabah al-Tijâriyah al-Kubro, tt.), juz IV, hlm. 205.
207
Ahmad bin Idrîs bin ‘Abdurrahmân al-Shonhajî Syihâbuddîn al-Qarâfî,
Nafâis al-Ushûl fi Syarh al-Mahshûl (Arab Saudi: Maktabah Nazzar
Musthofa al-Baz, 1998), juz IX, hlm. 4126.
100
5. Ungkapan tentang pengkhususan qiyâs dengan dalil yang
lebih kuat darinya.208
6. Memprioritaskan untuk meninggalkan tuntutan sebuah
dalil dengan cara pengkecualian, rukhsoh dan mu’ârodloh
karena sebagian tuntutannya bertentangan. 209
7. Sesuatu yang di anggap baik oleh seorang mujtahid
berdasarkan akalnya. 210
Dari uraian pengertian istihsân diatas, kita dapat melihat
bahwa inti dari istihsân adalah ketika seorang mujtahid lebih
cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan
hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam
pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum
yang pertama dan hal ini selalu berdasarkan atas adanya dalil
syar’i.
Proses istihsân tersebut harus memiliki sandaran.
Sehingga kemudian ada pendapat bahwa sesungguhnya
makna istihsân itu hanya ada dua. Definisi yang sahih dan
disepakati dan definisi yang batal dan disepakati
kebatalannya. Dan definisi yang terakhir dapat dinyatakan
sebagai definisi yang batal, karena istihsân adalah proses
pemikiran terhadap adanya beberapa dalil dan proses
pemikiran tanpa mengikut sertakan dalil syariat islam.
Dan berikut ini adalah penjelasan tentang perbedaan
pengertian istihsân yang benar dan yang salah:
1. Istihsân termasuk lafazh mujmal (universal), sehinggga
tidak dibenarkan menganggap kemutlakan hukumnya atas
dasar benar dan salah.
2. Apabila istihsân ditetapkan dan dijadikan sebagai proses
istinbâth hukum oleh seorang mujtahid, maka hal ini adalah
pengertian istihsân yang benar.
3. Apabila seorang mujtahid menolak istihsân dalam
menggunakannya sebagai istinbâth hukum dan mencaci

208
Al-Amidî, Al-Ihkâm, juz IV, hlm. 57.
209
Al-Syâtibi, Al-Muwâfaqât, juz IV, hlm. 208.
210
Ibn Qudâmah, Raudlat al-Nâzhir, hlm. 163.
101
maki yang menggunakannya, maka hal ini adalah
memberikan pengertian istihsân yang salah.
4. Telah disepakati kewajiban penggunaan istihsân dalam
pengertian yang benar sebagai istinbâth hukum dan tidak
ada pertentangan kewajiban penggunaan dalil yang lebih
unggul diantara beberapa dalil yang ada, tetapi hanya
sebatas perbedaan dalam memberikan uraian pengertian
istihsân.
5. Telah disepakati keharaman penggunaan istihsân dalam
pengertian yang salah sebagai istinbâth hukum. Menurut
ijmâ’ ulama bahwa tidak diperbolehkan memberikan
pernyataan dengan mengatas namakan perintah dan
larangan Allah tanpa menggunakan dalil yang jelas dan
shahih, apalagi jika dalam menetapkan hukum tersebut
hanya mengandalkan logika dan perasaan tanpa ada dalil.
211

Misalnya adalah pendapat yang dari Imam Ahmad bin


Hanbal yang menyatakan tayammum itu wajib dilakukan pada
setiap waktu shalat atas dasar Istihsân, sedangkan jika
menurut metode qiyâs maka tayammum mempunyai
kedudukannya yang sama dengan berwudhu, dan tidak
diwajibkan lagi berwudlu dengan menggunakan air pada
setiap waktu shalat, kecuali jika batal wudhunya. Hal ini
mempunyai arti bahwa, tayammum menurut kacamata qiyâs
seharusnya tidak perlu dilakukan pada setiap waktu shalat,
namun atas dasar Istihsân Imam Ahmad memandang ia wajib
dilakukan setiap waktu shalat berganti walau tidak batal
wudlunya.212

Sejarah Metode Istihsân


Penggunaan Istihsân tidak ditegaskan secara eksplisit dan
terperinci dalam nash al-Qur’ân ataupun al-Sunnah, tetapi hal
ini tidak menjadikan aplikasinya tidak ditemukan pada masa
sahabat Rasulullah SAW maupun tabi’in. Dan akan ditemukan

211
Al-Jîzâni, Ma’âlim Ushûl al-Fiqh, hlm. 224.
212
Ibn Qudâmah, Raudlat al-Nâzhir, hlm. 167.
102
penggunaan Istihsân di kalangan para sahabat dan tabi’in
secara umum termasuk dan tercakup dalam penggunaan
logika di kalangan mereka.
Penggunaan logika sendiri dibenarkan kedudukannya oleh
Rasulullah SAW, seperti dalam hadits Mu’âdz bin Jabal r.a. Hal
ini yang menjadikan para sahabat kemudian menjadikannya
sebagai salah satu rujukan ijtihâd mereka. Penggunaan logika
(ra’yu) tentu saja dengan pemahamannya yang luas, termasuk
di dalamnya metode qiyâs, Istihsân, Istishâb, Sadd adz-
Dzarî’ah, dan al-Mashlahah al-Mursalah. Ini harus
menunjukkan adanya pemahaman yang luas berkaitan dengan
maqâshid Syarî’ah. Seperti yang dikatakan oleh Umar bin al-
Khaththâb r.a. : “Jauhilah ra’yu! Karena sesungguhnya para
pemakai ra’yu itu adalah musuh-musuh Sunnah. Mereka tidak
lagi mampu memahami hadits-hadits dan berat bagi mereka
untuk meriwayatkannya, maka mereka pun mendahulukan
ra’yu atasnya.”213 Dibalik dari ucapan Umar bin al-Khaththâb
ini ada pemahaman yang jelas bahwa tidak semua ra’yu itu
tercela, selama ia berjalan di atas jalan Syariat.
DR. Sya’ban Muhammad Ismail memberikan contoh al-
Musyarrakah dengan menggunakan proses istinbâth hukum
istihsân di masa sahabat. Dalam masalah ini, sebagian sahabat
mengikutsertakan saudara kandung (seibu-sebapak) mayit
bersama saudara seibunya dalam memperoleh bagian
sepertiga dari warisan. Ini terjadi jika seorang istri wafat dan
meninggalkan seorang suami, seorang ibu, 2 saudara seibu
dan beberapa saudara sekandung. 214
Demikianlah hingga akhirnya di masa para imam
mujtahid, kata istihsân menjadi semakin sering didengar,
terutama dari Imam Abu Hanifah. Dimana dalam banyak
kesempatan, kata istihsân sering disandingkan dengan qiyâs.

213
Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah, I’lâm Al-Muwaqqi’în, juz I, hlm. 55.
214
Sya’bân Isma’îl, Ushûl al-Fiqh al-Muyassar (Kairo: Dâr al-Kitâb al-Jami’î,
1415), juz II, hlm. 29-31.
103
Sehingga sering dikatakan: “Secara qiyâs seharusnya demikian,
namun kami menetapkan ini berdasarkan istihsân.” 215

Kedudukan Istihsân
Penggunaan istihsân sebagai proses istinbâth hukum
menjadi masalah yang diperselisihkan oleh para ulama.
Berikut ini adalah kedudukan istihsân:
Pendapat pertama, menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah
dan Hanabilah bahwa istihsân dianggap sebagai proses
istinbâth hukum dan merupakan hujjah (dalil). 216 Dasar
hukumnya adalah:
1. Al-qur’ân surat al-Zumar ayat 55:
      
Artinya: “Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”.
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memerintahkan kita
untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan
bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang
memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini
menunjukkan bahwa istihsân adalah hujjah. 217
Dan firman Allah SWT surat al-Zumar ayat 17-18:
          
      
Artinya: “Dan orang-orang yang menjauhi Thaghut (yaitu)
tidak menyembah- nya dan kembali kepada Allah, bagi
mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu
kepada hamba- hamba-Ku, Yang mendengarkan Perkataan
lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya”
Ayat ini menegaskan pujian Allah bagi hambaNya yang
memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian

215
Ibid, juz II, hlm. 48-50.
216
Al-Syâtibi, Al-Muwâfaqât, Juz IV, hlm. 209. Ibn Qudâmah, Raudlat al-
Nâzhir, hlm. 167.
217
Muhammad bin ‘Umar Abu ‘Abdullah al-Râzi, Mafâtih al-Ghaib (Beirut:
Dâr al-Fikr, 1981), juz VII, hlm. 246.
104
tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang
disyariatkan oleh Allah. 218
2. Hadits Nabi SAW
ِ ‫هللا َح َسنٌن َو َما َرأَ ْوا َس ِّطٌ ًئا َفه َُو ِع ْندَ َّن‬
‫هللا َس ِّطٌ ٌن‬ َ ‫َف َما َرأَى ا ْلمُسْ لِم‬
ِ ‫ُون َح َس ًنا َفه َُو ِع ْن َد َّن‬
Artinya: “Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai
sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik.” 219
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik
oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia
pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan
istihsân.
3. Ijmâ’
Mereka mengatakan bahwa para ulama telah berijmâ’
dalam beberapa masalah yang dilandasi oleh istihsân,
seperti: Diperbolehkannya masuk ke dalam kolam renang
tanpa ada penetapan harga tertentu, penggantian air yang
digunakan dan jangka waktu pemakaiannya. 220
Pendapat kedua, menurut ulama Syafi’iyah dan Zhahiriyah
bahwa istihsân tidak dapat dijadikan proses istinbâth hukum
dan bukan merupakan hujjah (dalil). 221 Dasar hukumnya
adalah: Al-qur’ân surat al-Nisa‘ ayat 59:
          
       
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya)”.
Ayat ini menunjukkan adanya kewajiban kembali kepada
dalil nash al-Qur’ân dan al-Sunnah dalam menyelesaikan suatu
masalah, dan istihsân tidak dianggap sebagai proses merujuk
kepada dalil nash al-Qur’ân dan al-Sunnah. Dengan demikian,

218
Ibn Qudâmah, Raudlat al-Nâzhir, hlm. 167.
219
Ahmad bin Hanbal Abu ‘Abdullah al-Syaibânî, Musnad Ahmad bin
Hanbal (Kairo: Muassasah Qurtubah, tt.), juz I, hlm. 379.
220
Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwâ, juz IV, hlm. 46.
221
Ibn Hazm, Al-Ihkâm, juz VII, hlm. 975.
105
istihsân tidak dapat dijadikan sebagai proses istinbâth hukum.
222

Ibn Hazm menyatakan: “Para sahabat telah berijmâ’


untuk tidak menggunakan ra’yu, termasuk di dalamnya
Istihsân dan qiyâs. Umar bin al-Khathab radhiyallahu ‘anhu
mengatakan: ‘Jauhilah para pengguna ra’yu! Karena mereka
adalah musuh-musuh Sunnah”.223

Macam-Macam Istihsân
Para ulama yang mendukung penggunaan istihsân
membagi istihsân dalam terbagi menjadi: istihsân dengan
nash, ijmâ’, dhorurat, qiyâs khafî, ‘urf, dan mashlahah. 224
1. Istihsân dengan nash. Maknanya adalah meninggalkan
hukum berdasarkan qiyâs dalam suatu masalah menuju
hukum lain yang berbeda yang ditetapkan oleh al-Qur’ân
atau al-Sunnah.
Diantara contohnya adalah: Pertama: hukum wasiat, dalam
prespektif qiyâs maka wasiat tidak diperbolehkan, karena
hak kepemilikan tergantung pada waktu hilangnya
kepemilikan (setelah meninggalkanya orang yang
berwasiat. Tetapi hal ini mendapat pengecualian dari nash:
      
Artinya: “sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya
atau sesudah dibayar hutangnya”. 225 Dan jika ada yang
mengatakan: “hartaku ini aku sedekahkan”: hal ini jika
memakai proses qiyâs menunjukkan keharusan
mensedekahkan semua hartanya, tetapi jika memakai
proses istihsân maka menunjukkan membelanjakan
hartanya dengan berzakat:
   
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka”. 226

222
Ibn Hazm, Al-Ihkâm, juz VII, hlm. 977.
223
Ibid, Juz V, hlm. 759.
224
Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh, hlm. 86-90.
225
Surat al-Nisâ’: 12.
226
Surat al-Taubah: 103.
106
Kedua: hukumnya orang yang lupa makan atau minum saat
berpuasa, jika memakai qiyâs maka batal puasanya sebab
ada sesuatu yang masuk ke lambung jika seseorang makan
atau minum. Tetapi ada pengecualian dari Rasulullah SAW:
‫ َفإِ َّنن َما أَ ْط َع َم ُه َّن‬، ‫ص ْو َم ُه‬
ُ‫هللاُ َو َس َقاه‬ َ ‫َمنْ أَ َك َل َناسِ ًٌا َوهْ َو‬
َ ‫صائِ ٌنم َف ْل ٌُتِ َّنم‬
Artinya: “barang siapa makan atau minum dalam keadaan
lupa, maka wajib baginya menyempurnakan puasanya,
sesungguhnya Allah telah memberinya makan dan atau
minum”. 227
2. Istihsân dengan ijmâ’. Maknanya adalah terjadinya sebuah
ijmâ’ baik yang sharih maupun sukuti terhadap sebuah
hukum yang menyelisihi qiyâs atau kaidah umum.
Di antara contohnya adalah masalah penggunaan kamar
mandi umum (hammâm) tanpa adanya pembatasan waktu
dan kadar air yang digunakan. Secara qiyâs seharusnya hal
ini tidak dibenarkan, karena adanya ketidakjelasan (al-
jahalah) dalam waktu dan kadar air. Padahal para
penggunanya tentu tidak sama satu dengan yang lain. Akan
tetapi hal ini dibolehkan atas dasar Istihsân pada ijma yang
berjalan sepanjang zaman dan tempat yang tidak
mempersoalkan hal tersebut. 228
3. Istihsân dengan ‘urf. Artinya meninggalkan apa yang
menjadi konsekwensi qiyâs menuju hukum lain yang
berbeda karena ‘urf yang umum berlaku –baik ‘urf yang
bersifat perkataan maupun perbuatan. Salah satu contoh
Istihsân dengan ‘urf yang bersifat yang berupa perkataan
adalah jika seseorang bersumpah untuk tidak masuk ke
dalam rumah manapun, lalu ternyata ia masuk ke dalam
mesjid, maka dalam kasus ini ia tidak dianggap telah
melanggar sumpahnya, meskipun Allah menyebut mesjid
dengan sebutan rumah (al-bait) dalam firmal-Nya surat al-
Nur ayat 36:

227
Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, juz VII, hlm. 233. Muslim, Shahîh Muslim,
juz VII, hlm. 285.
228
Sya’bân Isma’îl, Ushûl al-Fiqh al-Muyassar, Juz II, hlm. 82.
107
            

Artinya: “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang
telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-
Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang”.
Namun ‘urf yang berlaku di tengah masyarakat
menunjukkan bahwa penyebutan kata “rumah” (al-bait)
secara mutlak tidak pernah digunakan untuk mesjid. Itulah
sebabnya, orang yang bersumpah tersebut tidak menjadi
batal sumpahnya jika ia masuk ke dalam mesjid. 229
4. Istihsân dengan dhorurat. yakni seorang mujtahid melihat
ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang
menyebabkan ia meninggalkan qiyâs, demi memenuhi
hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan.
Salah satu contohnya adalah ketika para ulama
mengatakan bahwa seorang yang berpuasa tidak dapat
dikatakan telah batal puasanya jika ia menelan sesuatu
yang sangat sulit untuk dihindari; seperti debu dan asap.
Maka jika benda-benda semacam ini masuk ke dalam
tenggorokan orang yang berpuasa, puasanya tetap sah dan
tidak menjadi batal karena hal tersebut. Dan ini
dilandaskan pada istihsân dengan kondisi darurat (sulitnya
menghindari benda semacam itu), padahal secara qiyâs
seharusnya benda apapun yang masuk ke dalam
tenggorokan orang yang berpuasa, maka itu membatalkan
puasanya. 230
5. Istihsân dengan Qiyâs Khafi. yakni seorang mujtahid
melihat ada suatu kemaslahatan yang menyebabkan ia
meninggalkan qiyâs jalî untuk mengunggulkan qiyâs khafî.
Penggunaannya berkebalikan dengan qiyâs jali, seperti
wakaf tanah pertanian, menurut qiyâs jali: wakaf ini
menyerupai akad penjualan perumahan dalam kepemilikan
penuh, maka termasuk didalamnya ini hak untuk tidak

229
Al-Syâtibi, Al-Muwâfaqât, juz IV, hlm. 117.
230
Ibid, Juz II, hlm. 85.

108
dilewati, dibuat jalan, istirahat minum dan sebagainya.
Sedangkan apabila menggunakan qiyâs khafi: maka wakaf
ini menyerupai akad sewa, sehingga termasuk didalamnya
masih ada hak untuk dilewati, dibuat jalan, istirahat minum
dan sebagainya.
6. Istihsân dengan mashlahah. Yakni jika ditemukan
kemashlahatan yang berada dalam sebuah permasalahan.
Seperti wasiat yang dilakukan oleh mahjûr (orang yang
dicegah atau larang untuk membelanjakan hartanya).
Menurut qiyâs maka wasiat ini tidak diperbolehkan, karena
termasuk mendiamkan hartanya. Tetapi menurut
kemashlahatan diperbolehkan adanya wasiat. Karena
wasiat jatuh saat orang yang mewasiatkan meninggal
dunia. Hal ini untuk memberikan kesempatan pada dia
untuk mendapatkan pahala wasiat, tetapi meniadakan
kedhoruratan saat hidupnya.

b. Sumber Hukum Mashlahah Mursalah


Secara etimologi mashlahah berasal dari bahasa arab yang
bermakna manfaat.231 Sedangkan secara terminologi, banyak
dari para ulama memberikan definisi mashlahah, seperti:
1. Imam Syâtibî menyatakan: “mashlahah adalah pemahaman
mengenai perlindungan hak-hak manusia dengan cara
menarik kemashlahatan dan menolak kerusakan, yang
mana akal tidak bebas untuk menemukan sebuah keadaan,
dan kesepakatan umat Islam bahwa jika didalam nash syar’î
tidak dijumpai yang sesuatu mengandung mashlahah maka
pendapat tersebut harus ditolak”.232
2. Ibn ‘Âsyûr menyatakan: “mashlahah adalah sifat perbuatan
yang menghasilkan sebuah kemanfaatan yang berlangsung

231
Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, juz IV, hlm. 2479.
232
Ibrahîm bin Mûsa Abu Ishâq al-Syâtibi, Al-I’tishâm (Beirut: Dâr al-
Ma’rifah, tt.), juz II, hlm. 113.
109
terus menerus dan ditetapkan berdasarkan pendapat
mayoritas ulama”.233
3. Al-Thûfî: “mashlahah adalah suatu upaya hukum untuk
mendatangkan sesuatu yang bermanfaat serta
menghindarkan diri dari sesuatu yang madlarat tanpa perlu
konfirmasi nash. Tolak ukur manfaat dan madarat ini bukan
saja dikembalikan pada maksud syara’ tetapi juga
dikembalikan kemanfaatan dan kebaikan manusia yang
ditetapkan berdasarkan hukum adat”. 234
Dari uraian tersebut maka sekiranya mashlahah yang
mempunyai hubungan erat dengan syarî’ah.235 Seperti:
1. Syarî’ah dibangun atas dasar kemashlahatan dan menolak
adanya kerusakan di dunia dan akhirat, Allah memberi
perintah dan larangan dengan alasan kemashlahatan.
2. Syarî’ah selalu berhubungan dengan kemashlahatan,
sehingga Rasulullah SAW mendorong umatnya untuk
melakukan kebaikan dan menjauhi kerusakan.
3. Tidak ada kemungkinan adanya pertentangan antara
syarî’ah dan kemashlahatan.
4. Syarî’ah selalu menunjukkan pada kemashlahatan
meskipun tidak diketahui keberadaan letak
kemashlahatannya, dan Allah memberi kepastian bahwa
semua kemashlahatan yang ada dalam syarî’ah tidak akan
menimbulkan kerusakan.
Dari paparan pengertian diatas, baik dari tinjauan
etimologi maupun terminologi kita bisa menarik konklusi
bahwa yang disebut dengan mashlahah adalah suatu
perbuatan hukum yang mengandung manfaat dan
ketentraman bagi semua manusia atau dirinya sendiri
terhadap jasmani, jiwa, akal serta rohani dengan tujuan untuk

233
Muhammad Thâhir bin ’Âsyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah
(Beirut: Muassasah Fuâd, 2004), juz II, hlm. 297.
234
Sulaimân bin ‘Abdulqawî bin ‘Abdulkarim Najâmuddîn Al-Thûfî, Syarh al-
Arba’în nawawi (Kairo: Dâr al-Fikr al-’Arabî, 1945), hlm. 18.
235
Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah, I’lâm Al-Muwaqqi’în, Juz III, hlm. 3. Ibn
Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwâ, juz XI, hlm. 344-345.
110
menjaga maqhâsid al-syari’ah. Keberpihakan mashlahah
terhadap hukum memberikan nilai manfaat bagi manusia
dalam menjalankan setiap perbuatan hukum far’iyyah.
Sehingga essensi mashlahah adalah sebagai standar dalam
memaknai hukum Islam secara universal, bukan diukur dengan
logika manusia yang cenderung mengedepankan aspek
rasionalitas dan mengagungkan akal dalam berpikir dan
bertindak. Dengan demikian, mashlahah mursalah sebagai
metode istinbânth mampu memberikan ruang gerak yang
lebih luas dalam pembentukan hukum Islam pada
permasalahan kontemporer.

Pembagian Mashlahah236
Dalam hal ini Mashlahat secara garis besar dibagi menjadi
tiga bagian :
1. Mashâlih Mu’tabiroh237 yakni mashlahah yang secara
langsung tekstual dijelaskan oleh nash atau ijmâ’ atau
dengan hukum yang disepakati oleh nash dan ijmâ’ dan
qiyâs. Dan mashlahah ini dibagi menjadi tiga: dhorûriyyah,
hâjiyah dan tahsîniyyah.
1.1 Dhorûriyyah. Yakni mashlahah yang menjadi dasar dan
yang terpenting bagi kehidupan beragama dan urusan
dunia. Jika hilang keberadaannya, maka rusaklah
kehidupannya, hilang kenikmatannya, dan akan
mendapatkan kerugian diakhirat. Mashlahah
dhorûriyyah ini dapat mencakup lima pokok tujuan
syarî’ah (ushûlul khomsah): memeliharara agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta. Contoh dari memelihara
agama yaitu perintah untuk jihad dan memerangi
orang-orang yang murtad, memelihara jiwa yaitu
adanya hukuman qishâs bagi pelaku pembunuhan
secara sengaja, memelihara akal yaitu adanya
penerapan sanksi atas peminum khamr, memelihara

236
Ibn Qudâmah, Raudlat al-Nâzhir, hlm. 165. Ibn al-Najjâr, Syarh al-
Kaukâb al-Munîr, juz IV, hlm. 433.
237
Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh, hlm. 92-93.
111
keturunan yaitu hukuman bagi pelaku perbuatan zina
dan memelihara harta yaitu adanya hukuman bagi
pelaku pencurian dan pemotongan tangan bagi orang
yang melakukannya. Semuanya ini berkaitan dengan
kemashlahatan.
1.2 Hâjiyyah. Yakni mashlahah yang menjadikan manusia
berupaya untuk menghilangkan kesulitan dalam
kehidupan beragama dan urusan dunianya. Jika hilang
keberadaannya, maka kehidupannya menjadi sempit
dan mendapatkan kesulitan, tetapi tidak sampai
menghancurkan kehidupannya maupun kerugian
diakhirat. Seperti jual beli, sewa menyewa dalam
hukum mu’âmalah, rukhsah dalam hukum ibadah,
gugur kewajiban bagi perempuan yang haidh, nifas.
1.3 Tahsîniyyah. Yakni mashlahah yang menjadikan
manusia berupaya untuk memperindah kebiasaan dan
memuliakan akhlaknya, dan jika hilang keberadaannya,
maka kehidupannya menjadi kurang indah dan kurang
mempesona, tetapi tidak sampai menghancurkan
kehidupannya maupun kerugian diakhirat. Seperti
bersuci, memakai minyak wangi, berhias diri saat akan
melakukan shalat, menjaga kebersihan lingkungan
untuk kenyamanan dalam lingkungan kampus
misalnya.
2. mashâlih Mulghoh.238 Dalam hal ini apabila ada bentuk
kemashlahatan tetapi berbenturan dengan nash qath’î,
maka menurut kesepakatan para ulama untuk tidak
menggunakan dalam kehidupan karena sudah jelas
ketidakabsahannya. Seperti persamaan perempuan dalam
hak waris ini berbenturan dengan nash al-Qur’ân ‫هللا‬ ّ ‫ٌوصٌكم‬
ّ ّ
‫( فً أوالدكم للذكرمثل حح األنثٌٌن‬surat al-Nisâ’: 11). Atau orang
yang menambah hartanya dengan cara riba, karena Allah
ّ ‫( وأحل‬surat al-Baqarah:
sudah menjelaskan ً‫هللا البٌع وح ّرم الرب‬
275).

238
‘Abdulkarîm Zaidân, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh, hlm. 237.
112
3. Mashâlih Mursalah.239 Mashlahah mursalah terdiri dari dua
kalimat yaitu mashlahah dan mursalah. Mashlahah sendiri
seperti diuraikan diatas secara etimologi berarti upaya
mengambil manfaat dan menghilangkan kerusakan. Dari
sini dapat dipahami, bahwa mashlahah mempunyai dua
term: adanya manfaat dan menjauhkan kerusakan. Adapun
mursalah dipahami sebagai sesuatu yang mutlak yaitu
mashlahah yang secara khusus tidak ada uraian yang
disampaikan oleh nash atau tidak ada perintah maupun
larangan. Dengan tidak adanya kaitan tersebut, maka
mashlahah bisa menjadi acuan dalam menentukan suatu
hukum. 240 Meskipun al-Qur’ân memuat kandungan
hukum/konstitusi, tetapi tidak secara detail mengulas
aspek juz’iyyat (terperinci). Tidak adanya nash khusus yang
memerintahkan ataupun melarangnya menjadi alasan yang
memungkinkan seseorang untuk menentukan hukum suatu
permasalahan yang berkembang pada saat sekarang ini
dengan tetap berpegang pada prinsip awal yaitu
memberikan manfaat dan menghilangkan madharat.
Seperti pengumpulan mushaf al-Qur’ân dan
menyatukannya pada masa Abu Bakar serta dibukukan
menjadi satu oleh pada zaman Utsman bin Affan sebagai
refensi utama.

Kedudukan Mashlahah Mursalah


Penggunaan mashlahah mursalah sebagai proses istinbâth
hukum menjadi masalah yang diperselisihkan oleh para ulama.
Menurut imam Ibn Taimiyyah: ”mendatangkan mashlahat dan
menolak madharat adalah pokok ajaran Islam sebagaimana
yang disepakati para ulama, tetapi mereka berbeda pendapat
tentang kedudukan mashlahah mursalah, ada yang
berpendapat bahwa hasil metode mashlahah mursalah dapat
dijadikan sebagai dalil dan hujjah, ada juga yang menolaknya
sebagai dalil karena menganggap mashlahah mursalah

239
Ibid.
240
al-Qarâfî, al-Furûq, juz VII, hlm. 124.
113
adalah proses logika atas hukum suatu masalah, dan
diragukan kebenarannya apalagi mengikut sertakan hawa
nafsunya. 241 Berikut ini adalah kedudukan mashlahah
mursalah:
Pendapat pertama, menurut ulama Syâfi’iyah dan
Zhâhiriyah bahwa mashlahah mursalah tidak dapat dijadikan
proses istinbâth hukum dan bukan merupakan hujjah (dalil).
242
Dasar hukumnya adalah: adanya kewajiban kembali kepada
dalil nash al-Qur’ân dan al-Sunnah dalam menyelesaikan suatu
masalah, dan mashlahah mursalah tidak dianggap sebagai
proses merujuk kepada dalil nash al-Qur’ân dan al-Sunnah.
Dengan demikian, mashlahah mursalah tidak dapat dijadikan
sebagai proses istinbâth hukum, apalagi proses istinbâth
hukumnya dengan menggunakan logika yang salah dan hanya
menuruti hawa nafsunya.243
Pendapat kedua, menurut ulama Hanafiyah, Mâlikiyah
dan Hanâbilah bahwa Mashlahah mursalah dianggap sebagai
proses istinbâth hukum dan merupakan hujjah (dalil). 244 Dasar
hukumnya adalah:
1. al-Qur’ân surat al-Hasyr ayat 2:
  
Artinya: ”Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi
pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan”.
Allah memerintahkan kepada menusia untuk senantiasa
menyelami hukum-hukum yang terkandung dalam Al-
Qur’ân untuk menentukan syari’at yang tidak disinggung
secara literal. Ini mengindikasikan tentang kebolehan umat
Islam untuk berijtihâd dengan melewati (mujawaz)teks
sekalipun asalkan tidak bertujuan untuk mendekonstruksi
ajaran Islam itu sendiri. 245

241
Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwâ, juz XI, hlm. 344.
242
Ibn Hazm, Al-Ihkâm, juz VIII, hlm. 583. Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushul
Fiqh, hlm. 93-94.
243
Al-Amidî, Al-Ihkâm, juz III, hlm. 134.
244
Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushul Fiqh, hlm. 93-94.
245
Al-Qurthubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, juz XVIII, hlm. 5.
114
Syarî’ah Islam dibangun atas dasar memelihara dan
mewujudkan adanya lemashlahatan demi adanya kasih
sayang dan kebahagiaan manusia. Sebagaimana dalam
firman Allah SWT surat al-Anbiya‘ ayat 107: ّ‫وما أرسلناك إال‬
‫رحمة للعالمٌن‬Artinya: ”Dan Tiadalah Kami mengutus kamu,
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
Atau dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 185: ‫ٌرٌد هللا‬
‫بكم الٌسر وال ٌرٌد بكم العسر‬Artinya: ”Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu”. Kedua ayat tersebut menunjukkan adanya
kemashlahatan dalam syarî’ah Islam, artinya kedudukan
mashlahah mursalah adalah sebagai ta’lil ahkam dan
menjadikannya sebagai proses istinbâth hukum
diperbolehkan adanya.
2. al-Sunnah
Rasullullah SAW memberikan kesempatan kepada para
sahabat untuk melakukan ijtihâd dalam tataran makna nash
Al-Qur’ân yang global tatkala nash secara eksplisit tidak
menerangkan secara jelas masalah tersebut tersebut,
Rasulullah SAW menetapkan metode ijtihâd ini kepada
umat setelahnya dan memberikan ruang selual-luasnya
selama masih dalam batasan yang sesuai. Contohnya dalam
hadits yang sudah terkenal yakni tatkala Rasulullah SAW.
memberikan persetujuan terhadap ijtihâd Mu’adz bin Jabal
yang terjadi saat hendak mengirimnya ke Yaman sebagai
seorang hakim. Rasulullah SAW. bertanya: “Apa yang
engkau lakukan apabila diajukan kepadamu sesuatu
perkara? Mu’adz bin Jabal menjawab: “Aku akan
menetapkan hukum dengan kitab Allah”. Kemudian beliau
bertanya lagi: “Jika kamu tidak menemukannya dalam kitab
Allah? Mu’adz bin Jabal menjawab: “Aku menetapkannya
dengan Sunnah Rasulullah”. “Dan jika tidak ada pula dalam
Sunnah Rasulullah? Mu’adz bin Jabal menjawab: “Aku
berijtihâd dengan sungguh-sungguh”. Kemudian itu Mu’adz
bin Jabal bercerita: kemudian Rasulullah SAW menepuk
dadaku dengan seraya berkata: “Segala puji bagi Allah yang
telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah,
115
terhadap jalan yang disukai oleh Rasulullah”. 246
Pada kesempatan lain Rasulullah SAW bersabda: “Bila
seorang Hakim memutuskan sesuatu perkara lalu ia
melakukan ijtihâd, kemudian hasilnya benar, maka ia
memperoleh dua pahala. Dan bila hasilnya salah, maka ia
mendapat satu pahala.” 247
Kedua hadits diatas menunjukkan flexibelitas Rasulullah
SAW yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada
umat Islan untuk berpikir dengan mengerahkan segala daya
upayanya dalam rangka menentukan hukum baru. Karena
Islam juga berkembang pesat diluar wilayah geografik dan
linguistik arabiyah, sehingga kesempatan yang diberikan
oleh Rasulullah harus benar-benar dimanfaatkan oleh
segenap umat islam. Perizinan beliau merupakan langkah
positif dalam memajukan dan mendinamisasikan hukum
Islam sehingga dapat diterima oleh umat tanpa keraguan.
3. Perbuatan Sahabat 248
Kesepakatan para sahabat untuk menghimpun mushhaf al-
Qur’ân pada masa Abu Bakar yang tidak dijelaskan secara
khusus oleh dalil atas pekerjaan tersebut. Kesepakatan para
sahabat untuk menghukum orang yang minum khamr
dengan 80 kali cambukan (jaldah). Sehingga Sayyidina Ali
berkata “orang yang mabuk menyebabkan tidak sadar, dan
orang yang tidak sadar suka melakukan kebohongan, maka
aku berpendapat untuk menghukum bagi pendusta”.
Khulafaur Rasyidin memutuskan untuk membayar para
pekerja/pengrajin (shanā’a). Sahabat memutuskan
hukuman (dibunuh) sekelompok orang oleh seorang jika
mereka bekerjasama dalam pembunuhan terhadap satu
orang tersebut.
4. Logika249

246
Syams al-Haqq, ’Awn al-Ma’bûd Syarh Sunan Abû Dâwûd, juz VI, hlm.
272.
247
Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, juz XIII, hlm. 318. Muslim, Shahîh
Muslim, juz V, hlm. 131.
248
Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh, hlm. 94-95.
116
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa pola
kehidupan manusia selalu dinamis dan konstitusi Islam
telah mencapai titik final yakni berupa al-Qur’ân dan al-
sunnah. Dengan berbagai kejadian selalu mengalami
perubahan dengan kadar yang berbeda, dan peristiwa yang
terjadi itu tidak bisa begitu saja lepas dari syariat karena
aturan dalam Islam selalu bersinergi dengan ruang dan
waktu sehingga keberadaan mashalahah mursalah
merupakan perwujudan proses istinbâth hukum yang
dibutuhkan dalam menentukan kepastian hukum atas
suatu masalah.
Syaikh al-Syinqîthî mempunyai pandangan yang menarik
dalam menengahi kedua pendapat diatas: ”para sahabat
menggunakan mashlahah mursalah sebagai metode berpikir
dalam menemukan dan menetapkan hukum karena proses
berpikir ini selalu menjauhkan dari upaya mendatangkan
madharat, dan semua madzhab berkaitan erat dengan
mashlahah mursalah meskipun mereka yang tidak setuju tidak
memberikan nama mashlahah mursalah. Tetapi dalam
metode istinbâth hukumnya mereka mewujudkan diri dan
mengatasnamakan pada kemashlahatan sebagai upaya untuk
memelihara keberlangsungan hukum Islam”.250
Dengan demikian perbedaan yang dimiliki dari kedua
kelompok diatas yang terlihat saling bertentangan ternyata
hanya berbeda dalam memberikan definisi yang sesuai, ada
yang memberikan nama mashlahah mursalah dan ada yang
menamakannya sebagai qiyâs.251 Sehingga kedua belah pihak
mempunyai kesamaan dalam kerangka berpikir yakni dalam
menetapkan hukum harus mempunyai nilai manfaat dan
mencegah adanya kerusakan. Nilai manfaat ini harus timbul
berkesesuaian dengan nash al-Qur’ân dan al-Sunnah serta nilai
maqâshid syari’âh. Artinya, Islam sangat memberikan ruang

249
Ibid, hlm. 94.
250
Muhammad al-Amîn al-Syinqîthî, Al-Mashâlih al-Mursalah (Madinah:
Markaz Syuûn al-Da’wah bi al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah, 1410), hlm. 21.
251
Ibn al-Najjâr, Syarh al-Kaukâb al-Munîr, juz IV, hlm. 170.
117
lebih terhadap kepentingan kemashlahatan umatnya, demi
menjamin kebutuhan primer (dharûriyât) manusia.
Mashlahah dapat dikategorikan sebagai dasar dalam
pertimbangan hukum tetapi tantangan yang terberat yang
harus dihadapi adalah keseriusan dalam membaca dan
memahami ketentuan syara’ dalam menghargai mashlahah,
hal ini dikarenakan sesuatu yang di pandang mashlahah oleh
akal manusia tidak secara otomatis dipandang mempunyai
nilai mashlahah menurut ketentuan syara’. Misalnya dalam
kasus hukuman mati bagi pelaku pidana korupsi (yang sudah
diterapkan di Republik Rakyat China, dan belum diterapkan di
Republik Indonesia). Padahal dalam hukum Islam dalam
menetapkan hukuman bagi pelaku pencurian adalah hukuman
potong tangan seperti dalam ayat surat al-Maidah ayat 38:
   
Hal ini dalam menetapkan hukuman mati bagi koruptor dapat
memberikan efek jera baginya dan bagi masyarakat agar
menghidari praktek korupsi, sehingga menjadikan Islam
sebagai agama rahmatan lil alamîn.

Syarat-Syarat Mashlahah Mursalah


Mashlahah mursalah mempunyai persyaratan yang jelas
untuk dijadikan sebagai proses istinbâth hukum:
1. Mashlahah ini tidak berbenturan dengan dalil nash maupun
ijmâ’.252
2. Mashlahah ini keberadaannya harus berpijak pada
pemeliharaan maqâshid syarî’ah.253
3. Sebuah kemashlahatan tidak dapat merubah ketetapan
hukum yang sudah ada yakni dalam dalil nash dan ijmâ’,
seperti menjalankan kewajiban, mengharamkan sesuatu
yang haram, sanksi hukum. 254

252
Al-Syinqîthî, Al-Mashâlih al-Mursalah, hlm. 21.
253
Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwâ, juz XI, hlm. 343.
254
Muhammad ibn Abî Bakar Abû ‘Abdullah Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah,
Ighôtsah al-Lahfân min Mashâyid al-Syaithôn (Beirut: Dâr al-Ma’rifah,
tt.), juz I, hlm. 330.
118
4. Sebuah kemashlahatan tidak dapat berbenturan dengan
kemashlahatan lain yang lebih unggul dan kuat
keberadaannya. 255
Sedangkan menurut syaikh Wahbah Zuhaili syarat-syarat
mashlahah mursalah adalah256:
1. Mashlahah mursalah harus berkesesuaian dengan
maqâshid syarî’ah sehingga tidak menghilangkan
keberadaan dalil nash maupun ijmâ’ yang bersifat qath’î.
Dan juga berkesesuaian dengan mashlahah yang telah
ditunjukkan keberadaannya oleh Allah dan RasulNya.
Kemashlahatan yang diambil sebagai hukum itu sifatnya
tidak aneh maupun mengada-ada. Maka keberadaan
mashlahah yang mempunyai sifat mengada-ada dan tidak
jelas maksudnya harus ditolak. Seperti seorang yang kaya
raya menyetubuhi istrinya di siang hari bulan ramadhan,
maka dia harus puasa dua bulan berturut-turut dan tidak
ada alasan demi kemashlahatan kemudian dia mengganti
puasanya dengan memerdekakan budak.
2. Mashlahah mursalah harus rasional. Yakni ketika
dihadapkan dengan akal, maka akalpun bisa menerimanya
yakni dengan mendatangkan manfaat dan menolak
kerusakan, seperti: saat ingin mengajukan perjanjian kredit
dalam perekonomian perbankan harus diadakan survey
rumah tinggal, pekerjaan dan penghasilan bulanan, hal ini
adalah untuk menghindari adanya penipuan, sehingga
perjanjian yang dilakukan mendatangkan manfaat bagi
kedua belah pihak dan menjauhkan dari kemadharatan.
3. Mashlahah mursalah harus universal. Yakni harus
mencakup semua kalangan umat Islam tidak boleh hanya
untuk kepentingan sebagian orang. Karena syarî’ah Islam
datang demi kepentingan seluruh umat dan tidak
membeda-bedakan jenis rasa, suku, bangsa dan agama.
Seperti memberikan perlakuan khusus bagi orang dari suku
X karena dia satu suku dengan presidennya, gubernurnya,

255
Al-Syinqîthî, Al-Mashâlih al-Mursalah, hlm. 21.
256
Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh, hlm. 94-95.
119
menterinya dan sebagainya, hal ini tidak dapat disebut
sebagai mashlahah.

Penerapan Mashlahah Mursalah Pada Masalah Kontemporer


1. Pemberian upah minimum bagi pekerja sektor riil. Ketika
melihat pada nash, maka tidak dijumpai mash yang
menunjukkan pada hukum masalah, al-Qur’ân dan al-
sunnah tidak memberi perintah kepada masalah ini, tetapi
hal ini menjadi kebutuhan penting bagi para pekerja sektor
riil seperti pekerja pabrik, karyawan supermarket dan
sebagainya yang bekerja selama delapan jam lebih, dan
mereka berhak mendapatkan upah yang layak untuk
mencukupi kebutuhan makanan, minuman, pakaian dan
tempat tinggal. Sehingga negara dalam hal ini pemerintah
Republik Indonesia wajib memberikan upah minimum yang
layak bagi para pekerja tersebut, demi kemashlahatan atas
kehidupannya.
2. Memasang rambu-rambu lalu lintas, lampu isyarat, lampu
penerangan jalan, dalam nash tidak dijumpai adanya
perintah ini, tetapi demi kemashlahatan dan kenyamanan
pengendara kendaraan maka harus dipasang rambu-rambu
lalu lintas tersebut dan demi menghindari kerusakan,
seperti kecelakaan, perampokan dan sebagainya.
3. Membuat kartu tanda penduduk, paspor, surat nikah
sebagai identitas dari seseorang, kemashlahatannya adalah
untuk mengetahui identitas yang jelas dari pemegang surat
tersebut demi keberlangsungan hidup, hal ini juga demi
menghindari kerusakan misalnya saat seseorang tersesat
dijalan dan tidak mempunyai identitas sama sekali maka
akan menyulitkan bagi orang lain untuk memberi tahu
dimana keberadaannya (walaupun hal ini bisa diumumkan
melalui media audio visual).
4. Memberikan hukuman mati dan hukuman potong tangan
bagi terpidana Koruptor mempunyai arti penting dalam
prespektif mashlahah mursalah, karena hal ini
memberikan nilai manfaat yang lebih dalam rangka
120
menjaga kewibawaan maqâshid syari’âh yakni
memelihara harta, sehingga memberikan efek jera yang
luar biasa kepada masyarakat untuk melakukan tindakan
preventif dari melakukan tindak pidana korupsi.

c. Sumber Hukum Istishhâb


Secara etimologi istishhâb berasal dari bahasa Arab dari
kata shahaba yang berarti mengikut sertakan atau mencari
sesuatu yang ada hubungannya.257 Sedangkan secara
terminologi istishhâb adalah penetapan (keberlakukan) hukum
terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa
hukum itu telah berlaku sebelumnya, atau meniadakan hukum
terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa
hukum itu telah tidak berlaku sebelumnya.258
Dari pengertian diatas hal ini menunjukkan bahwa
istishhâb merupakan penetapan hukum suatu perkara di masa
sekarang ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah
ditetapkan atau berlaku sebelumnya.
Contoh sederhananya adalah tatkala kita menetapkan
bahwa si X adalah pemilik rumah mobil –baik kepemilikannya
itu terjadi melalui proses jual-beli atau pewarisan-, maka
selama kita tidak menemukan ada dalil atau bukti yang
mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan dan
menetapkan bahwa si X adalah pemilik rumah atau mobil
tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan demikian dalam
proses istishhâb ini melanjutkan pemberlakuan hukum di
masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.
Contoh kedua adalah Telah terjadi perkawinan antara
laki-laki A dengan perempuan B, kemudian mereka berpisah
dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun.
Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan
laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena
ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada
perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka

257
Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, juz I hlm. 519.
258
Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah, I’lâm Al-Muwaqqi’în, juz I, hlm. 339.
121
telah lama berpisah. Berpegang dengan hukum yang telah
ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B,
adalah hukum yang ditetapkan dengan istishhâb.

Macam-macam Istishhâb
Para ulama menyebutkan ada beberapa macam istishhâb,
yaitu:
1. Istishhâb al-Bara’ah al-Ashliyah, atau bahwa hukum
asalnya seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan
tanggungan apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang
membebankan ia untuk melakukan atau
mempertanggungjawabkan sesuatu. Seperti peniadaan
kewajiban shalat wajib keenam. Karena apabila ada yang
menetapkan kewajiban shalat wajib selain shalat wajib
kelima (shubuh, zhuhur, ashar, maghrib dan ‘isya) maka
harus ditolak. 259 Karena tidak adanya dalil yang
membebankan hal itu.
Demikian juga jika ada seseorang yang menuduh bahwa
orang lain berhutang padanya, sementara ia tidak bisa
mendatangkan bukti terhadap tuduhan itu, maka orang
yang tertuduh dalam hal ini tetap berada dalam posisi
bebas dari hutang atas dasar al-Bara’ah al-Ashliyah ini.
2. Istishhâb berdasarkan dalil syar’î, yakni proses istishhâb
dengan menggunakan keumuman nash al-Qur’ân maupun
al-Sunnah dan menolak mengkhususkannya, dan juga
istishhâb yang menggunakan nash dan menolak
menghapuskannya. Dan menurut kesepakatan ulama
bahwa adanya keharusan untuk menggunakan keumuman
nash.260
3. Istishhâb terhadap ketetapan dan keberlangsungan hukum
yang telah ditunjukkan syara’ karena adanya sebab yang
menetapkannya sampai datang dalil atau bukti yang
memperselisihkannya. Seperti keberlangsungan
kepemilikan si X setelah melalui penetapan sebab jual beli

259
Ibn al-Najjâr, Syarh al-Kaukâb al-Munîr, juz IV, hlm. 404.
260
Ibn Qudâmah, Raudlat al-Nâzhir, hlm. 391.
122
misalnya, sehingga datang orang lain yang menghapus
kepemilikannya sebab hibah, warisan dan sebagainya. Dan
keberadaan istishhâb ini benar adanya. 261
4. Istishhâb hukum yang ditetapkan oleh ijmâ’ pada saat
berhadapan dengan masalah yang masih diperselisihkan. 262

Salah satu contohnya adalah bahwa para ulama telah


berijmâ’ akan batalnya shalat seorang yang bertayammum
karena tidak menemukan air saat ia menemukan air
sebelum shalatnya. Adapun jika ia melihat air pada saat
sedang mengerjakan shalatnya; apakah shalatnya juga batal
atas dasar istishhâb dengan ijmâ’ tersebut, atau shalat
tetap sah dan ia boleh tetap melanjutkannya?
Imam Abu Hanifah dan beberapa ulama lain –seperti al-
Ghazaly dan Ibnu Qudamah- berpendapat bahwa dalam
masalah ini istishhâb dengan ijmâ’ terdahulu tidak dapat
dijadikan landasan, karena berbedanya kondisi yang
disebutkan dalam ijmâ’. Oleh sebab itu, ia harus berwudhu
kembali.
Sementara Imam al-Syafi’i dan Abu Tsaur berpendapat
bahwa istishhâb ijmâ’ ini dapat dijadikan sebagai hujjah
hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Oleh sebab itu,
shalatnya tetap sah atas dasar istishhâb kondsi awalnya
yaitu ketiadaan air untuk berwudhu. 263

Kedudukan Istishhâb
Penggunaan istishhâb sebagai proses istinbâth hukum
menjadi masalah yang diperselisihkan oleh para ulama.
Berikut ini adalah kedudukan istishhâb:
Pendapat pertama, menurut ulama Mâlikiyah, Hanâbilah,
mayoritas ulama Syafî’iyah dan sebagian Hanafiyah bahwa

261
Ibid, hlm. 392.
262
Sya’bân Isma’îl, Ushûl al-Fiqh al-Muyassar, juz II, hlm. 109.
263
Ibn al-Najjâr, Syarh al-Kaukâb al-Munîr, juz IV, hlm. 407.
123
istishhâb dianggap sebagai proses istinbâth hukum dan
merupakan hujjah (dalil). 264 Dasar hukumnya adalah:
1. al-Qur’ân surat al-An‘am ayat 145:
             
           
             
Artinya: “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu
yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi
orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan
itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -
karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang
disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam
Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan
tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya
Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Dalam yat ini menunjukkan bahwa prinsip asalnya segala
sesuatu itu hukumnya mubah hingga datangnya dalil yang
menunjukkan pengharamannya. Hal ini ditunjukkan dengan
Firman Allah: “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak
menemukan...” . Pernyataan ini menunjukkan bahwa ketika
tidak ada ketentuan baru, maka ketentuan lama-lah yang
berlaku. 265
2. Al-sunnah
‫ال ٌنصرف حتى ٌسمع صوتا أو ٌجد رٌحا‬
Artinya: “janganlah dia meninggalkan shalatnya hingga dia
mendengarkan suara atau mencium bau.266
Dalam hadits ini, Rasulullah SAW memberi kepada kita
untuk tetap memberlakukan kondisi awal kita pada saat
mulai mengerjakan shalat (yaitu dalam keadaan suci)
meskipun ada keraguan bahwa wudhu’nya telah batal. Dan
Rasulullah melarang untuk meninggalkan shalat sehingga

264
Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh, hlm. 116.
265
Al-Qurthubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, juz VII, hlm. 116.
266
Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, juz I, hlm. 64. Muslim, Shahîh Muslim, juz
I, hlm. 276.
124
kita menemukan bukti bahwa wudhu’nya telah batal, yaitu
mendengar suara atau mencium bau.
5. Ijmâ’.
Ada beberapa masalah fiqih yang telah ditetapkan melalui
ijmâ’ atas dasar istishhâb. Diantaranya adalah bahwa para
ulama telah berijmâ’ bahwa jika seseorang ragu apakah ia
sudah bersuci, maka ia tidak boleh melakukan shalat,
karena dalam kondisi seperti ini ia harus merujuk pada
hukum asal bahwa ia belum bersuci. Ini berbeda jika ragu
apakah wudhu’nya sudah batal atau belum, maka dalam
kasus ini ia harus berpegang pada keadaan sebelumnya
bahwa ia telah bersuci dan kesucian itu belum batal. 267
Pendapat kedua, menurut mayoritas ulama Hanafiyah
bahwa istishhâb tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara
mutlak, baik dalam menetapkan hukum ataupun
menafikannya. 268 Alasannya adalah:
1. Menggunakan istishhâb berarti melakukan sesuatu dengan
tanpa landasan dalil. Dan setiap pengamalan yang tidak
dilandasi dalil adalah batil. Maka itu berarti bahwa
istishhâb adalah sesuatu yang batil.
2. Istishhâb akan menyebabkan terjadinya pertentangan
antara dalil, dan apapun yang menyebabkan hal itu maka ia
adalah batil. Ini adalah karena jika seseorang boleh
menetapkan suatu hukum atas dasar istishhâb, maka yang
lain pun bisa saja menetapkan hukum yang bertentangan
dengan itu atas dasar istishhâb pula. 269
Dengan melihat dalil-dalil yang disampaikan oleh kedua
belah pihak ini, terlihat bahwa dalil yang disampaikan oleh
pihak pertama jauh lebih kuat dari pendapat lainnya, yakni
bahwa jika tidak ada suatu bukti atau dalil yang mengubah
hukum atau label pada sesuatu menjadi hukum lain, maka

267
Sya’bân Isma’îl, Ushûl al-Fiqh al-Muyassar, juz II, hlm. 112.
268
Muhammad Amir Badsyah, Taisir al-Tahrir (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), juz
IV, hlm. 176.
269
Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh, hlm. 115.
125
yang berlaku dalam pandangan mereka adalah tetap hukum
yang pertama.
Para fuqaha pun bersepakat tentang adanya kaidah al-
yaqîn la yazûlu bi al-syakk dan kaidah inilah yang
sesungguhnya menjadi salah satu landasan kuat istishhâb ini.
Itulah sebabnya, hakin dalam pengadilan memberlakukan
prinsip yang sama dalam keputusan peradilan mereka. Dalam
hubungan suami-istri misalnya, jika tidak ada bukti bahwa
hubungan itu telah putus, maka sang qadhi tetap memutuskan
berlakunya hubungan itu seperti yang telah ada
sebelumnya.270
Maka dapat diperoleh pengertian secara jelas bahwa
hukum yang bersifat tetap dan pasti harus ditetapkan dan
berpedoman dengan dalil, dan dalil yang ada tersebut tidak
boleh saling bertentangan.contoh: apabila sesorang memiliki
harta yang diperolehnya melalui jual beli, warisan atau sebab
lain dengan cara yang halal dan benar maka hukumnya
menjadi hak milik penuh dan harta tersebut tidak bisa
berpindah tangan kecuali ada bukti lain yang datang
kemudian. Karena hak milik tersebut berpedoman pada
sebab-sebab pemerolehannya secara benar dan halal, maka
hal tersebut bersifat tetap dan pasti, dan tidak bisa dihapus
oleh keraguan yang tidak didasari dengan alat bukti yang kuat.

Syarat Istishhâb Dalam Istinbâth Hukum


Ada beberapa syarat yang harus diperhatikan dalam
menerapkan istishhâb ini sebagai dalil yang dapat dijadikan
sebagai pedoman dalam menghadapi permasalahan hukum
adalah dengan cara mencari dengan teliti dalil-dalil yang saling
berseberangan, sehingga dapat menjadi dalil-dalil yang
bersifat qathî maupun zhannî. 271 Dengan demikian
penerapan istishhâb ini pada akhirnya akan menjadi dalil-dalil
yang qathî ataupun zhannî.

270
Sya’bân Isma’îl, Ushûl al-Fiqh al-Muyassar, juz II, hlm. 116.
271
Ibn Qudâmah, Raudlat al-Nâzhir, hlm. 391.
126
1. Penerapan istishhâb sebagai dalil qathî, yakni jika ada dalil
yang bersifat qathî dengan meniadakan dalil yang saling
berseberangan, seperti peniadaan shalat wajib keenam.
2. Penerapan istishhâb sebagai dalil zhannî, yakni jika ada dalil
yang bersifat zhannî yang meniadakan dalil yang saling
bersebarangan. Maksudnya adalah jika ada dalil yang
berseberangan yang diketahui dan disangka ketetapannya
maka diunggulkan dengan cara melalui proses istinbâth
hukum istishhâb.272
3. Meninggalkan penerapan istishhâb sebagai dalil qathî jika
diketahui ada dalil yang saling berseberangan. Seperti
kewajiban puasa ramadhan.
4. Meninggalkan penerapan istishhâb sebagai dalil zhannî jika
disangka ada dalil yang saling bersebarangan.
Tetapi harus diketahui bahwa ada hal-hal yang perlu
untuk diperhatikan:
1. Istishhâb merupakan alternatif terakhir dalam berijtihâd,
hal ini digunakan agar dapat berlindung dari peniadaan
penggunaan dalil-dalil dari al-Qur’ân, al-sunnah, ijmâ’ dan
qiyâs. Dan jika meniadakan dalil-dalil ini tatkala tidak
menjumpai dalil atas hukum yang terjadi maka proses
istishhâb harus berlangsung demi kepastian hukum.
Sehingga istishhâb adalah paling lemahnya dalil. 273
2. Istishhâb terkadang bersesuaian dengan dalil yang bersifat
khusus lalu menjadi penguat dan pengokoh, dan kadang
istishhâb tidak bersesuaian dengan dalil yang lain tetapi
menjadi sandaran bagi peniadaan dalil yang saling
bersebarangan.274
3. Penerapan istishhâb harus berdasarkan atas peniadaan
dalil yang berseberangan dan harus berhati-hati dalam
menerapkannya. Seperti meluaskan proses istishhâb yang
sudah dijelaskan oleh nash, mayoritas ulama yang
meluaskan proses istishhâb ini sudah memahami nash yang

272
Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwâ, juz XIII, hlm. 121-122.
273
Ibid, juz XIII, hlm. 121.
274
Ibid, juz XIII, hlm. 122.
127
ada. Sehingga mereka tidak menghiraukan adanya isyarat,
tanda-tanda, tetapi tatkala tidak memahami nash maka
mereka meniadakannya dan menerapkan proses istishhâb
ini.275

Kaidah-kaidah yang Dibangun Atas Dasar Istishhâb


Dibawah ini ada beberapa contoh kaidah fiqhiyyah yang
dibangun dari proses istishhâb:
1. Kaidah ‫( الٌقٌن ال ٌزال بالشك‬al-yaqîn la yazûlu bi al-syakk) 276,
artinya: “sesuatu yang yakin keberadaannya tidak dapat
dihilangkan dengan adanya sesuatu yang meragukan”. Dan
kaidah ini termasuk dalam lima kaidah yang utama dan
meliputi permasalah fiqhiyyah.
2. Kaidah ‫( األصل بقاء ما كان على ما كان‬al-ashl baqâu mâ kâna alâ
mâ kâna),277 artinya: “hukum yang terkuat adalah tetapnya
apa yang telah ada atas apa yang telah ada”. Maksudnya
adalah tetap memberlakukan ketentuan hukum yang telah
ditetapkan pada masa lampau sampai datang ketentuan
hukum lain yang merubahnya.
3. Kaidah ‫( األصل براءة الذمة‬al-ashl barâah al-dzimmah),278
artinya: “hukum yang terkuat adalah terbebasnya
seseorang dari adanya tanggung jawab”.
4. Kaidah ‫( األصل العدم‬al-ashl al-‘adam),279 artinya: “hukum
yang terkuat (tatkala terjadi perselisihan) adalah tidak
adanya sesuatu”.

d. Sumber Hukum Sadd al-Dzarî’ah


Secara etimologi kata sadd al-dzarî’ah (‫)سد الذرٌعة‬
merupakan bentuk frase (idhafah) yang terdiri dari dua kata,
‫َّن‬
yaitu sadd (‫ ) َس ُّدد‬dan al-dzarî’ah (‫)الذ ِر ٌْ َعة‬. Secara etimologi, kata

275
Ibid, juz XXIII, hlm. 16.
276
Al-Suyûthî, Al-Asybâh wa al-Nazhâir, hlm. 90.
277
Ibid, hlm. 90.
278
Ibid, hlm. 95.
279
Ibid, hlm. 103.
128
al-sadd (‫ )ال َّنس ُّدد‬merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari ‫َس َّند‬
‫ ٌَ ُس ُّدد َس ًّدا‬. Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang
cacat atau rusak dan menimbun lobang. 280 Sedangkan al-
dzarî’ah (‫)الذ ِرٌ َْعة‬ ‫ َّن‬merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal
yang berarti jalan, sarana (wasilah)281 dan sebab terjadinya
sesuatu. Bentuk jamak dari al-dzarî’ah (‫)الذ ِر ٌْ َعة‬ ‫َّن‬ adalah al-
dzara’i (‫)الذ َرائِع‬. ‫َّن‬ 282

Pada awalnya, kata al-adzari’ah dipergunakan untuk unta


yang dipergunakan orang Arab dalam berburu. Si unta
dilepaskan oleh sang pemburu agar bisa mendekati binatang
liar yang sedang diburu. Sang pemburu berlindung di samping
unta agar tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika unta
sudah dekat dengan binatang yang diburu, sang pemburu pun
melepaskan panahnya. Karena itulah, menurut Ibn al-’Arabî,
kata al-dzarî’ah kemudian digunakan sebagai metafora
terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu
yang lain.283
Sedangkan secara terminologi menurut al-Qarâfî, sadd al-
dzarî’ah adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah)
sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski
suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah),
namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi
suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus mencegah
perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada, menurut
al-Syaukânî, al-dzarî’ah adalah masalah atau perkara yang
pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada
perbuatan yang dilarang (al-mahzhur) 284
Dalam karyanya al-Muwafaqât, al-Syâtibî menyatakan
bahwa sadd al-dzarî’ah adalah menolak sesuatu yang boleh
(jaiz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang

280
Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, juz III, hlm. 207.
281
Ibid, juz VIII, hlm. 93.
282
Ibid, juz III, hlm. 207.
283
Ibid.
284
al-Syaukânî, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 295.
129
(mamnu’).285 Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman,
sadd al-dzarî’ah adalah meniadakan atau menutup jalan yang
menuju kepada perbuatan yang terlarang.286 Sedangkan
menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara
tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang
dibolehkan. 287
Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa
sebagian ulama seperti al-Syâtibî dan al-Syaukânî
mempersempit al-dzarî’ah sebagai sesuatu yang awalnya
diperbolehkan. Namun al-Qarâfi dan Mukhtar Yahya
menyebutkan al-dzarî’ah secara umum dan tidak
mempersempitnya hanya sebagai sesuatu yang
diperbolehkan. Di samping itu, Ibn al-Qayyim juga
mengungkapkan adanya al-dzarî’ah yang pada awalnya
memang dilarang. Klasifikasi al-dzarî’ah oleh Ibn al-Qayyim
tersebut akan dibahas lebih lanjut di halaman berikutnya.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa
sadd al-dzarî’ah adalah menetapkan hukum larangan atas
suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan
maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain
yang dilarang.

Kedudukan Sadd al-Dzarî’ah


Sebagaimana halnya dengan qiyâs, dilihat dari aspek
aplikasinya, sadd al-dzarî’ah merupakan salah satu metode
pengambilan keputusan hukum (istinbâth al-hukm) dalam
Islam. Namun dilihat dari di sisi produk hukumnya, sadd al-
dzarî’ah adalah salah satu sumber hukum.
Tidak semua ulama sepakat dengan sadd adz-dzariah
sebagai metode dalam menetapkan hukum. Secara umum
berbagai pandangan ulama tersebut bisa diklasifikasikan

285
al-Syâtibi, Al-Muwâfaqât, juz III, hlm. 257-258
286
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum
Islam: Fiqh Islami (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986), hlm. 347.
287
Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah, I’lâm Al-Muwaqqi’în, juz II, hlm. 103.
130
dalam tiga kelompok, yaitu yang menerima sepenuhnya, yang
tidak menerima sepenuhnya dan yang menolak sepenuhnya.
1. Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai
metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki
dan mazhab Hambali. Para ulama di kalangan Mazhab
Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai
pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa
diterapkan lebih luas. Imam al-Qarâfî (w. 684 H), misalnya,
mengembangkan metode ini dalam karyanya Anwâr al-
Burûq fî Anwâ’ al-Furûq. Begitu pula Imam al-Syâtibî (w.
790 H) yang menguraikan tentang metode ini dalam
kitabnya al-Muwafaqât.
2. Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya
sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab
Hanafi dan mazhab al-Syâfi’î. Dengan kata lain, kelompok
ini menolak sadd al-dzarî’ah sebagai metode istinbâth pada
kasus tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus
yang lain. Contoh kasus Imam al-Syâfi’î menggunakan sadd
al-dzarî’ah, adalah ketika beliau melarang seseorang
mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Hal
ini menurut beliau akan menjadi sarana (dzarî’ah) kepada
tindakan mencegah memperoleh sesuatu yang dihalalkan
oleh Allah dan juga dzarî’ah kepada tindakan
mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal
air adalah rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh
siapapun. 288
Contoh kasus penggunaan sadd al-dzarî’ah oleh mazhab
Hanafi adalah tentang wanita yang masih dalam iddah
karena ditinggal mati suami. Si wanita dilarang untuk
berhias, menggunakan wewangian, celak mata, pacar, dan
pakaian yang mencolok. Dengan berhias, wanita itu akan
menarik lelaki. Padahal dia dalam keadaan tidak boleh
dinikahi. Karena itulah, pelarangan itu merupakan sadd al-

288
Ibid.
131
dzarî’ah agar tidak terjadi perbuatan yang diharamkan,
yaitu pernikahan perempuan dalam keadaan iddah. 289
3. Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai
metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Zahiri.
Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya
menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zhâhir al-
lafzh). Sementara sadd al-dzarî’ah adalah hasil penalaran
terhadap sesuatu perbuatan yang masih dalam tingkatan
dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang
kuat. Dengan demikian, bagi mereka konsep sadd al-
dzarî’ah adalah semata-mata produk akal dan tidak
berdasarkan pada nash secara langsung.
Ibnu Hazm (994-1064 M), salah satu tokoh ulama dari
mazhab Zahiri, bahkan menulis satu pembahasan khusus
untuk menolak metode sadd al-dzarî’ah dalam kitabnya al-
Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm. Ia menempatkan sub
pembahasan tentang penolakannya terhadap sadd al-
dzarî’ah dalam pembahasan tentang al-ihtiyâth (kehati-
hatian dalam beragama). Sadd al-dzarî’ah lebih
merupakan anjuran untuk bersikap warga dan menjaga
kehormatan agama dan jiwa agar tidak tergelincir pada
hal-hal yang dilarang. Konsep sadd al-dzarî’ah tidak bisa
berfungsi untuk menetapkan boleh atau tidak boleh
sesuatu. Pelarangan atau pembolehan hanya bisa
ditetapkan berdasarkan nash dan ijmâ’ (qath’i). Sesuatu
yang telah jelas diharamkan oleh nash tidak bisa berubah
menjadi dihalalkan kecuali dengan nash lain yang jelas
atau ijmâ’. Hukum harus ditetapkan berdasarkan
keyakinan yang kuat dari nash yang jelas atau ijmâ’.
Hukum tidak bisa didasarkan oleh dugaan semata.290
Contoh kasus penolakan kalangan al-Zhâhirî dalam
penggunaan sadd al-dzarî’ah adalah ketika Ibnu Hazm

289
‘AbdulGhâni al-Ghânimî al-Hanafî, al-Lubab fî Syarh al-Kitâb (Beirut: Dâr
al-Ma’rifah, 1997), juz I, hlm. 465.

290
Ibn Hazm, Al-Ihkâm, juz VI, hlm. 179-189.
132
begitu keras menentang ulama Hanafi dan Maliki yang
mengharamkan perkawinan bagi lelaki yang sedang dalam
keadaan sakit keras hingga dikhawatirkan meninggal. Bagi
kalangan Hanafi dan Maliki, perkawinan itu akan bisa
menjadi jalan (dzarî’ah) bagi wanita untuk sekedar
mendapatkan warisan dan menghalangi ahli waris lain
yang lebih berhak. Namun bagi Ibnu Hazm, pelarangan
menikah itu jelas-jelas mengharamkan sesuatu yang jelas-
jelas halal. Betapapun menikah dan mendapatkan warisan
karena hubungan perkawinan adalah sesuatu yang
halal.291
Meskipun terdapat ketidaksepakatan ulama dalam
penggunaan sadd al-dzarî’ah, namun secara umum mereka
menggunakannya dalam banyak kasus. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Wahbah al-Zuhailî, kontroversi di kalangan
empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali, hanya
berpusat pada satu kasus, yaitu jual beli kredit. Selain kasus
itu, para ulama empat mazhab banyak menggunakan sadd al-
dzarî’ah dalam menetapkan berbagai hukum tertentu.
Adapun tentang mazhab Zhâhiri yang menolak mentah-
mentah sadd al-dzarî’ah, hal itu karena mereka memang
sangat berpegang teguh pada prinsip berpegang kepada
Kitabullah dan Sunah. Dengan kata lain, semua perbuatan
harus diputuskan berdasarkan zhâhir nash dan zhâhir
perbuatan. Namun tentu terlalu berpegang secara tekstual
kepada tekstual nash juga bisa berbahaya. Hal itu karena sikap
demikian justru bisa mengabaikan tujuan syariah untuk
menghindari mafsadah dan meraih mashalahah. Jika memang
mafsadah jelas-jelas bisa terjadi, apalagi jika telah melewati
penelitian ilmiah yang akurat, maka sadd al-dzarî’ah adalah
sebuah metode hukum yang perlu dilakukan.
Dengan sadd al-dzarî’ah, timbul kesan upaya
mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas dihalalkan seperti
yang dituding oleh mazhab az-Zahiri. Namun agar tidak

291
Ali ibn Ahmad ibn Sa’îd ibn Hazm al-Zhâhirî, al-Mahalli bi al-Atsâr
(Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), juz XII, hlm. 378.
133
disalahpahami demikian, harus dipahami pula bahwa
pengharaman dalam sadd adz-dzariah adalah karena faktor
eksternal (tahrim li ghairih). Secara substansial, perbuatan
tersebut tidaklah diharamkan, namun perbuatan tersebut
tetap dihalalkan. Hanya karena faktor eksternal (li ghairih)
tertentu, perbuatan itu menjadi haram. Jika faktor eksternal
yang merupakan dampak negatif tersebut sudah tidak ada,
tentu perbuatan tersebut kembali kepada hukum asal, yaitu
halal.
Dasar Hukum Sadd Al-Dzarî’ah
1. Al-Qur’ân surat al-an’âm ayat 108:
            
           

Artinya: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-
sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada
Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan
kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”.
Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan
agama lain adalah al-dzarî’ah yang akan menimbulkan
adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci
maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism
defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan
membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang
sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci
maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama
lain merupakan tindakan preventif (sadd al-dzarî’ah).
Atau pada surat al-Baqarah ayat 104:
         
  
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi
katakanlah: “Unzhurna”, dan “Dengarlah”. Dan bagi orang-
orang yang kafir siksaan yang pedih”.
134
Pada surat al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami
adanya suatu bentuk pelarangan terhadap sesuatu
perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap dampak
negatif yang akan terjadi. Kata râ‘ina (‫)راعِ َنا‬ َ berarti: “Sudilah
kiranya kamu memperhatikan kami.” Saat para sahabat
menggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang Yahudi
pun memakai kata ini dengan nada mengejek dan
menghina Rasulullah SAW. Mereka menggunakannya
dengan maksud kata râ’inan (‫)را ِع َنا‬ َ sebagai bentuk isim fail
dari masdar kata ru’ûnah (‫ ) ُرع ُْونة‬yang berarti bodoh atau َ
tolol.292 Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat
Nabi SAW mengganti kata râ’ina yang biasa mereka
pergunakan dengan unzhurna yang juga berarti sama
dengan râ’ina. Dari latar belakang dan pemahaman
demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari
sadd al-dzarî’ah.293
2. Sunnah
‫صلَّنى هللاُ َعلَ ٌْ ِه َو َسلَّن َم‬
َ ِ‫ْن َعم ٍْرو َرضِ ًَ هللاُ َع ْن ُه َما َقا َل َقا َل َرسُو ُل هللا‬ ِ ‫َعنْ َع ْب ِد َّن‬
ِ ‫هللا ب‬
‫ْف ٌَل َعنُ الرَّنجُ ُل‬ْ َ ٌ‫إِنَّن مِنْ أَ ْك َب ِر ال َك َبائ ِِر أنْ ٌَل َع َن ال َّنر ُج ُل َوالِ َد ٌْ ِه قٌِ َل ٌَا َرسُو َل هللاِ َو َك‬
ْ َ ْ
‫َوالِ َد ٌْ ِه َقا َل ٌَسُبُّد ال َّنر ُج ُل أَ َبا الرَّن ج ُِل َف ٌَسُبُّد أَ َباهُ َو ٌَسُبُّد أ ُ َّنم ُه‬
Artinya: “Dari Abdullah bin ‘Amr RA, ia berkata, Rasulullah
SAW bersabda: “Termasuk di antara dosa besar seorang
lelaki melaknat kedua orang tuanya.” Beliau kemudian
ditanya, “Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat
kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, “Seorang lelaki
mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci
itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki
tersebut”.294
Hadis ini dijadikan oleh Imam al-Syâthibî sebagai salah satu
dasar hukum bagi konsep sadd al-dzarî’ah. Berdasarkan
hadits tersebut, menurut beliau, dugaan (zhann) bisa

292
al-Râzi, Mafâtih al-Ghaib, juz II, hlm. 261.
293
Al-Qurthubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, juz II, hlm. 56.
294
al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, juz V, hlm. 2228.
135
digunakan sebagai dasar untuk penetapan hukum dalam
konteks sadd al-dzarî’ah.295
3. Kaidah Fiqih
Di antara kaidah fiqih yang bisa dijadikan dasar
penggunaan sadd al-dzarî’ah adalah:
ِ ‫دَرْ ُء ا ْل َم َفاسِ ِد أَ ْولَى مِنْ َج ْل‬
َ ‫ب ا ْل َم‬
. ِ ِ‫صال‬
Artinya: “Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan
daripada meraih kebaikan (maslahah)”.296
Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup
masalah-masalah turunan di bawahnya. Berbagai kaidah
lain juga bersandar pada kaidah ini. Karena itulah, sadd al-
dzarî’ah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa
dipahami, karena dalam sadd al-dzarî’ah terdapat unsur
mafsadah yang harus dihindari.
4. Logika
Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu
perbuatan, maka mestinya ia juga membolehkan segala hal
yang akan mengantarkan kepada hal tersebut. Begitupun
sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka
mestinya ia pun melarang segala hal yang bisa
mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal ini senada
dengan ungkapan Ibnu Qayyim dalam kitab i’lâm al-
Mûwaqqi’în: ”Ketika Allah melarang suatu hal, maka Allah
pun akan melarang dan mencegah segala jalan dan
perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu
untuk menguatkan dan menegaskan pelarangan tersebut.
Namun jika Allah membolehkan segala jalan dan perantara
tersebut, tentu hal ini bertolak belakang dengan
pelarangan yang telah ditetapkan.”297

Macam-Macam al-Dzarî’ah

295
Al-Syâtibi, Al-Muwâfaqât, juz II, hlm. 360.
296
Al-Suyûthî, Al-Asybâh wa al-Nazhâir, hlm. 176.
297
Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah, I’lâm Al-Muwaqqi’în, juz II, hlm. 103.
136
Dilihat dari aspek akibat yang timbulkan, Ibnu al-Qayyim
mengklasifikasikan al-dzarî’ah menjadi empat macam,
yaitu:298
1. Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti
menimbulkan kerusakan (mafsadah). Hal ini misalnya
mengonsumsi minuman keras yang bisa mengakibatkan
mabuk dan perbuatan zina yang menimbulkan
ketidakjelasan asal usul keturunan.
2. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau
dianjurkan (mustahab), namun secara sengaja dijadikan
sebagai perantara untuk terjadi sesuatu keburukan
(mafsadah). Misalnya menikahi perempuan yang sudah
ditalak tiga agar sang perempuan boleh dikawini (at-tahlîl).
Contoh lain adalah melakukan jual beli dengan cara
tertentu yang mengakibatkan muncul unsur riba.
3. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun
tidak disengaja untuk menimbulkan suatu keburukan
(mafsadah), dan pada umumnya keburukan itu tetap
terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah)
yang kemungkinan terjadi tersebut lebih besar akibatnya
daripada kebaikan (maslahah) yang diraih. Contohnya
adalah mencaci maki berhala yang disembah oleh orang-
orang musyrik.
4. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun
terkadang bisa menimbulkan keburukan (mafsadah).
Kebaikan yang ditimbulkan lebih besar akibatnya daripada
keburukannya. Misalnya, melihat perempuan yang sedang
dipinang dan mengkritik pemimpin yang lalim.
Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama, al-Qarâfî
dan al-Syâtibî membagi al-dzarî’ah menjadi tiga macam, yaitu:
1. Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang
meskipun bisa menjadi jalan atau sarana terjadinya suatu
perbuatan yang diharamkan. Contohnya menanam anggur,
meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar; atau

298
Ibid. juz II, hlm. 104.
137
hidup bertetangga meskipun ada kemungkinan terjadi
perbuatan zina dengan tetangga.
2. Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci
maki berhala bagi orang yang mengetahui atau menduga
keras bahwa penyembah berhala tersebut akan membalas
mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain adalah
larangan menggali sumur di tengah jalan bagi orang yang
mengetahui bahwa jalan tersebut biasa dilewati dan akan
mencelakakan orang.
3. Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau
diperbolehkan, seperti memandang perempuan karena bisa
menjadi jalan terjadinya zina; dan jual beli berjangka
karena khawatir ada unsur riba.299

Perbedaan al-Dzarî’ah dengan Muqaddimah


Wahbah al-Zuhailî membedakan antara al-dzarî’ah
dengan muqaddimah. Beliau mengilustrasikan bahwa al-
dzarî’ah adalah laksana tangga yang menghubungkan ke
loteng. Sedangkan muqaddimah adalah laksana fondasi yang
mendasari tegaknya dinding.300
Dengan demikian, al-dzarî’ah dititikberatkan kepada
bahwa ia sekedar sarana dan jalan untuk mengantarkan
kepada perbuatan tertentu yang menjadi tujuannya. Ia bisa
menjadi suatu perbuatan terpisah yang berdiri sendiri.
Sedangkan muqaddimah dititikberatkan kepada bahwa ia
merupakan suatu perbuatan hukum yang memang bagian dari
rangkaian perbuatan hukum tertentu. Muqaddimah
merupakan perbuatan pendahuluan yang merupakan bagian
tak terpisahkan dari rangkaian perbuatan. Misalnya, sa’i
merupakan sesuatu perbuatan pendahuluan yang diwajibkan
dalam rangkaian haji. Sementara itu, haji sendiri merupakan
kewajiban.

Aplikasi Sadd al-dzarî’ah di Zaman Kontemporer

299
al-Qarâfî, al-Furûq, juz VI, hlm. 319
300
Wahbah al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islamî, hlm. 875.
138
Banyak sekali kasus sehari-hari yang sebenarnya
merupakan salah satu contoh kasus Sadd al-dzarî’ah. Hanya
saja karena istilahnya yang kurang populer sehingga
masyarakat kurang memperhatikannya. Contoh dalam
kehidupan sehari-hari:
1. Perbuatan yang akibatnya pasti menimbulkan kerusakan
atau bahaya. Maka hukumnya dilarang secara kesepakatan
ulama’. Contoh: menggali lubang dibelakang pintu rumah
atau dijalan umum.
2. Perbuatan yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan
bahaya, atau pada kebiasaannya berakibat kerusakan.
Hukumnya haram. Contoh: menjual senjata dimasa perang
atau banyak fitnah, menjual anggur untuk membuat khamr.
3. Perbuatan yang kebanyakan mengarah pada kerusakan
tetapi tidak sampai pada tingkat tinggi. Ulama’ berbeda
dalam menghukuminya, apakah ditarjihkan yang haram
atau yang halal. Imam Malik dan Imam Ahmad menetapkan
keharamannya. Contoh: menjual sesuatu yang didalamnya
ada barang riba.
4. Perbuatan yang jarang berakibat kerusakan atau bahaya.
Maka dalam hal ini hukumnya diperbolehkan. Contoh:
melihat lain jenis disaat melamar.301

e. Sumber Hukum ‘urf


‘Urf berasal dari kata bahasa Arab, Louis Ma’luf secara
etimologi memberi tiga arti ‘urf yang pertama berarti
mengaku, megetahui, apa yang diyakini karena telah
disaksikan oleh akal dan secara alami orang menganggap itu
benar. Yang kedua adalah kebaikan, rambut leher keledai,
ombak dan daging merah di atas kepala ayam, tampaknya apa
yang menjadi prinsip di arti yang kedua ini adalah sesuatu
yang menonjol dari sesuatu yang lain. Yang ketiga adalah

301
Sulaiman ‘Abdullah, Sumber Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1995),
hlm. 59-60.
139
mengenal dan kebaikan. 302 Sedangkan Ahmad Warson
mengartikan ‘urf dengan kebajikan, puncak dan adat yang
dipelihara. 303
Sedangkan secara terminologi ‘urf, meskipun mempunyai
banyak defenisi menurut beberapa ulama, tapi tampaknya
semuanya berpulang kepada satu ide, yakni kebiasaan yang
berlaku dalam masyarakat.
1. Abdul Wahab Khallaf memberikan defenisi ‘urf: “Sesuatu
yang telah dikenal dan dilakukan oleh banyak orang, baik
berupa perkataan, pebuatan ataupun kebiasaan untuk
meninggalkan sesuatu. Hal ini juga disebut dengan adat”. 304
2.
Harun Nasrun, yang mengutip definisi yang dituliskan oleh
Ahmad Fahmi Abu Sunnah dalam buku al-‘‘urf Wal ‘Adah Fi
Ra’yil Fuqaha, megajukan defenisi ‘urf: “Sesuatu yang
dilakukan berulang-ulang tanpa adanya hubungan
rasional”. 305
3. Zakiyuddin Sa’ban memberikan definisi ‘urf: “Apa yang
sudah menjadi kebiasaan manusia dan mereka setujui baik
itu dalam perbuatan yang sudah tersebar luas di kalangan
mereka ataupun perkataan yang apabila diucapkan mereka
mengetahui artinya dengan khusus yang tidak akan ada arti
lain yang terpikirkan bagi mereka ketika mendengar kata
tersebut”.306
4. Fadhil abdul Wahid Abdurrahman member definisi ‘urf:
“Apa yang sudah berjalan dan menjadi kebiasaan orang-

302
Louis Ma’luf, al-Munjid fâ al-Lughah Wa Al-A’lâm (Beirut: Dâr Masyriq,
1982), hlm. 500.
303
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir (Yogyakarta : Pustaka
Progressif, 1984), hlm. 911.
304
‘Abdulwahhâb Khallâf, ’Ilm Ushûl al-Fiqh, hlm. 89.
305
Nasrun Harun, Ushul Fiqh 1, hlm. 138.
306
Zakiyuddin Sa’ban, Ushûl al-Fiqh al-Islamî (Kairo: Dâr Nahdlah ‘Arabiyah,
1968), hlm. 192.
140
orang dalam pergaulan mereka baik berupa praktek atau
perkataan, hal inilah yang disebut dengan adat”. 307
Tampaknya semua Ulama Ushul Fikih tidak jauh berbeda
dalam memberikan defenisi ‘urf ini. Meskipun dengan redaksi
yang berbeda hampir semuanya-sepanjang pembahasan kami-
memberikan konsep ‘urf dengan hal, tradisi, kebiasaan
mayoritas orang baik dalam praktek ataupun dalam
perkataan.308 Meskipun demikian ada beberapa ulama yang
memberikan definisi ‘urf secara khusus, yakni ‘urf tidak dalam
arti umum, tapi ‘urf yang boleh menjadi pertimbangan dalam
penetapan hukum. Seperti yang disampaikan oleh
Muhammad Zakariya al-Bardisiî bahwa ‘urf adalah apa yang
sudah menjadi kebiasaan manusia dan mereka menyetujui
dan mengerjakannya baik dalam bentuk praktek ataupun
perkataan yang tidak bertentang dengan Alquran al-Karim
ataupun Sunnah Nabi. 309
Dari beberapa defenisi diatas juga dapat difahami bahwa
kebanyakan ulama tidak membedakan adat, sunnah sebelum
mendapat konotasi praktek Nabi dengan ‘urf. akan tetapi
banyak dari mereka yang mengatakan bahwa hanya ‘urf dalam
prakteklah yang disebut dengan adat.
Dari beberapa definisi di atas juga dapat difahami, bahwa
‘urf itu mencakup hal-hal yang begitu luas, baik dalam
kebiasaan pribadi individual seseorang dalam kehidupan
sehari-hari ataupun kebiasaan ornag dalam berfikir. Selain itu
‘urf atau juga adat bisa muncul dari sebab yang alami seperti
cepatnya seorang anak menjadi baligh di daerah tropis, dan
lain sebagainya.
Bila kita sependapat bahwa ‘urf ini sama dengan sunnah
atau tradisi, maka memang kita akan menemukan peran ‘urf
yang sungguh signifikan dalam pembentukan hukum Islam.

307
Fadhil ‘Abdul Wahid ‘Abdurrahman, al-Anmudzaj fî Ushûl al-Fiqh
(Baghdad: Ma’arif, 1969), hlm. 157.
308
‘Abdulwahhâb Khallâf, ’Ilm Ushûl al-Fiqh, hlm. 89.
309
Muhammad Zakariya al-Bardisî, Ushûl al-Fiqh (Kairo: Maktab an-
Nahdlah al-Mishriyah, 1959), hlm. 183.
141
Baik itu sunnah orang-orang Arab sebelum Islam ataupun
sesudahnya.

Macam-Macam ‘Urf
Mayoritas ulama, biasanya membagi ‘urf ini berdasarkan
kebolehannya menjadi bahan pertimbangan dasar hukum.
Selain itu, ‘urf juga dibagi berdasarkan keumuman berlakunya
di sebuah masyarakat dan berdasarkan bentuknya apakah
berupa praktek ataukah perkataan.
Dari segi bentuknya atau objeknya ‘urf ini biasanya dibagi
oleh para ulama menjadi dua macam yaitu:
1. ‘Urf lafzhi (‫ )لفطى عرف‬yakni kebiasaan masyarakat dalam
mempergunakan lafal/ungkapan tertentu, sehingga ada
makna khusus yang terlintas dalam pikiran mereka,
meskipun sebenarnya dalam kaidah bahasa ungkapan itu
bisa mempunyai arti lain. Beberapa contoh klasik yang akan
kita temui dalam banyak literatur Ushul Fikih untuk ‘urf
dalam bentuk ini adalah kata walad, yang arti sebenarnya
bisa berupa putra atau putri seperti dalam firman Allah
SWT surat al-nisa’ ayat 11:
        
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bagian seorang anak
lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”
Akan tetapi kebiasaan orang-orang Arab memahami kata
walad dengan arti anak laki-laki.
Selain itu kata dâbbah yang sebenarnya berarti binatang
melata, oleh penduduk Iraq difahami sebagai keledai.
Contoh yang berkenaan dengan hukum adalah kata thalâq
dalam bahasa Arab, yang sebenarnya berarti lepas atau
melepaskan, tapi kemudian difahami dengan konotasi
putusnya ikatan perkawinan. Maka seseorang suami yang
mengatakan kepada istrinya: “thalaqtuki”, maka terjadi
talak dalam pernikahan mereka.
2. ‘Urf ‘amali (‫ )العملى العرف‬adalah kebiasaan masyarakat yang
berkaitan dengan perbuatan atau mua’malah. Seperti jual-
beli tanpa ijab dan qabul, yang itu sudah menjadi kebiasaan
142
masyarakat. Atau garansi dalam membeli sesuatu, spserti
garansi jam bahwa jam itu bagus untuk waktu tertentu.
Atau jual beli dengan antaran barang tanpa tambahan
biaya. Atau memberikan mahar dalam pernikahan di
kalangan masyarakat Arab sebelum datangnya Islam. Dan
lain sebagainya.
Dari segi cakupannya, ataupun keberlakuannya di
kalangan masyarakat maka ‘urf ini dibagi menjadi dua bagian
juga, yakni ‘urf yang umum dan yang khusus:
1. ‘Urf yang umum (‫ )العام العرف‬adalah adalah tradisi atau
kebiasaan yang berlaku secara luas di dalam masyarakat
dan di seluruh daerah. Akan tetapi kami tidak mendapatkan
batasan yang jelas tentang batasan dan cakupan ‘urf yang
umum ini. Apakah hanya dengan berlakunya sebuah
kebiasaan di kalangan mayoritas masyarakat ‘urf itu bisa
disebut dengan ‘urf ‘âmm atau tidak. Ataukah ‘urf yang
hanyak berlaku di Tapanuli Selatan saja bisa dikatakan ‘urf
yang umum atau tidak. Tapi tampaknya batasannya
hanyalah berdasarkan tingkatannya, seperti ‘urf yang
berlaku dikalangan mayoritas masyarakat Gunung Tua bisa
dikatakan ‘urf ‘âmm pada tingkatan ‘urf Gunung Tua saja.
Maka apabila ‘urf itu tidak berlaku umum pada masyarakat
lainnya di Padang Bolak, maka ‘urf itu bisa dikatakan ‘urf
khâsh pada tingkatan ‘urf Padang Bolak. Akan tetapi ada
satu ilmuwan yang memberikan batasan yang lebih jelas
dari yang lain, yakni Amir Syarifuddin. Menurut beliau ‘urf
‘âmm adalah ‘urf yang berlaku hampir diseluruh dunia
sementara ‘urf khâsh hanya berlaku pada sebagain kaum,
bangsa. Beliau mengajukan contoh seperti menganggukkan
kepala. 310
2. ‘Urf yang khusus (‫ )الخاص العرف‬adalah kebiasaan yang
berlaku pada masyarakat tertentu dan di daerah tertentu
atau dikalangan tertentu. Meskipun para ulama Ushul Fikih
tidak mensyaratkan zaman tertentu dalam

310
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), hlm.
363.
143
mengkategorikan ‘urf yang khusus ini, tapi dari beberapa
contoh yang sering mereka ajukan terlihat bahwa waktu
juga termasuk kondisi yang bisa membedakan sesuatu
apakah ia termasuk dari ‘urf yang umum atau yang khusus.
‘Urf ditinjau dari keabsahannya menurut syari’at, maka
‘urf ini dibagi menjadi dua bagian yaitu ‘urf yang baik (‫العرف‬
ٌ‫ ) الصح‬dan ‘urf yang jelek (‫) الفاسد العرف‬, konsepnya adalah
apakah ia sesuai dan sejalan dengan syari’ah atau tidak.
1. ‘Urf shahih (‫ ) الصحٌ العرف‬adalah kebiasaan yang berlaku di
tengah-tengah masyarakat yang tidakbertentangan dengan
Alquran al-Karim ataupun Sunnah Nabi, tidak
menghilangkan kemashlahatan mereka dan tidak pula
membawa mudharat bagi mereka. Misalnya bercadar bagi
wanita yang merupakan kebiasaan wanita-wanita Arab
sebelum datangnya Islam atau seperti menetapkan konsep
haram oleh masyarakat Arab untuk beribadah dan
berdamai. Ada banyak contoh-contoh yang bisa kita
dapatkan dalam kajian sejarah dimana kemudian Alquran
al-Karim ataupun Sunnah menetapkan sebuah kebiasaan
menjadi salah satu bagian dari hukum Islam, meskipun
setelah diberi aturan tambahan. Selain cadar dan konsep
haram, kita juga bisa melihat mahar, sunnah atau tradisi,
denda, polygami dan lain sebagainya.
2. ‘Urf fâsid (‫ ) الفاسد العرف‬adalah kebiasaan yang bertentangan
dengan dalil-dalil syara’. Seperti praktek riba’ yang sudah
mewabah dalam kalangan bangsa Arab sebelum datangnya
Islam, atau juga meminum minuman keras. Setelah
datangnya Islam maka ‘urf-’urf yang seperti ini ditentang
dan dikikis baik secara perlahan-lahan maupun langsung.
Kalau untuk masa sekarang, mungkin kita mengenal
kebiasaan yang berlaku luas dikalangan masyarakat
Indonesia, yaitu marpangir, yakni berpergian kesuatu
tempat tanpa ada batasan yang jelas antara wanita dan
laki-laki dan mandi bersama-sama, kebiasaan ini dilakukan
untuk menyambut bulan puasa.

Kehujjahan ‘Urf
144
Para ulama Ushul sepakat bahwa ‘urf yang tidak
bertentangan dengan dalil-dalil Syara’ haruslah dijaga dan
dipertimbangkan dalam menetapkan hukum. Nashrun Haroen
mengatakan bahwa ‘urf yang tidak bertentangan dengan dalil-
dalil syara’ini bisa dijadikan sebagai hujjah. 311 Memang harus
kita ingat bahwa dalam kajian ‘urf ini berada dibawah judul as-
istidlâl. Sedangkan as-istidlâl sendiri berarti: “(mengmbil dalil
dalam) perkara yang tidak ada dalam nash maupun ijmâ’ atau
qiyâs”. 312
Dalam beberapa literatur yang telah kami baca, tidak ada
ulama yang secara jelas mengatakan bahwa ‘urf bisa dijadikan
sebagai dasar penetapan hukum dan sebagai sumber hukum.
Tapi rata-rata mereka mengatakan bahwa ‘urf yang shahih ini
harus dijaga dan dipertimbangkan oleh ulama yang akan
berijtihad ataupun bagi seorang hakim yang akan
memutuskan perkara.
Akan tetapi akan banyak kita temukan pernyataan-
pernyataan yang mengindikasikan bahwa ‘urf yang shahih ini
bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Seperti pernyataan
‫الثابت بالعرف كالثابت بالنص‬
Artinya: “Yang ditetapkan melalui ‘urf seperti yang
ditetapkan melalui nash”.
‫العرف شرٌعة محكمة‬
Artinya: “‘urf adalah hukum”.
‫العادة م حكمة‬
Artinya: “Adat itu sebagai hukum”.
Dalam kajian Harun Nashrun, beliau mengatakan bahwa
Imam al-Syâthibî dan Ibn Qayyim al-Jauziyah menerima dan
menjadikan ‘urf sebagai dalil syara’ dalam menetapkan hukum
apabila tidak ada nash yang menjelaskan tentang masalah
tersebut.313

311
Nasrun Harun, Ushul Fiqh 1, hlm. 142.
312
‘Abdul Hamid Hakim, Al-Bayân (Ponorogo: Darussalam Press, 1999),
hlm. 33.
313
Ibid.
145
Memang dalam beberapa keputusan para ulama baik
pada masa klasik ataupun modern tentu tidak akan terlepas
sepenuhnya dari ‘urf ini. Banyak keputusan-keputusan yang
mereka ambil dengan mempertimbangkan ‘urf ini. Seperti
Imam syafi’i yang mempunyai Qaul Jadid dan Qaul Qadim,
yang lama di Baghdad dan setelahnya di Mesir. Menurut
sebagian para pengkaji, tidak diragukan lagi hal itu merupakan
pengaruh dari ‘urf yang berbeda yang berlaku pada kedua
penduduk kota tersebut. 314 Atau seperti ulama-ulama
mazhab Hanafiyah yang memperbolehkan guru Alquran, imam
sholat, mua’dzzin untuk mengambil upah dari pekerjaan
mereka meskipun ulama terdahulu dari mazhab mereka tidak
memperbolehkan hal tersebut.
Tapi tentu saja semua sepakat bahwa ‘urf ini berlaku
sebagai dalil hukum, hanya dalam masalah yang tidak ada
aturannya dalam Alquran al-Karim maupun Sunnah. Selain itu
‘urf yang dipakai juga tentu ‘urf yang tidak bertentang dengan
keduanya.
Selain masalah apakah ‘urf bisa dijadikan dalil dan sumber
penetapan hukum, ada juga masalah yang diajukan oleh
banyak ulama Ushul, yakni ‘urf bisa dijadikan sebagai
pengkhusus bagi dalil nash yang umum, dan pengikat bagi dalil
nash yang mutlaq. 315
Ada suatu pendapat yang perlu kita perhatikan, yakni
pendapat imam al-Qarâfî: “Dengan mempelajari dengan
seksama dalam maslah ‘urf, contoh-contohnya, apa yang
dikatakan oleh para ahli Ushul Fikih dan Fikih, akan menjadi
jelas bahwa dalam suatu perkara, ‘urf itu bukanlah dalil yang
berdiri sendiri dari syari’at, hukumnya tidaklah berdasarkan
‘urf itu sendiri akan tetapi hanya dalil yang akan
mengantarkan kita untuk bisa memahami maksud yang
diingini oleh redaksi-redaksi nash dan maksud dari perkataan
orang-orang yang terlibat di dalamnya, juga menjadi

314
‘Abdulwahhâb Khallâf, Mashadir al-Tasyrî’ al-Islamî fî mâ La Nushûsha
fîhi (Saudi: tp, 1945), hlm. 127.
315
Zakiyuddin Sa’ban, Ushûl al-Fiqh al-Islamî, hlm. 203.
146
pengkusus bagi dalil yang umum dan pengikat bagi dalil yang
mutlaq”.316
Alasan mereka yang menerima ‘urf bisa dikatakan sebagai
berikut:
1. Al-Qur’ân surat al-Hajj ayat 78:
      
Artinya: “dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu suatu
kesempitan dalam agama”.
Maka menurut mereka yang menerima ‘urf sebagai dalil,
suatu penetepan hukum tanpa menlihat ‘urf atau dengan
kata lain dengan melawan dan tidak sesuai ‘urf yang shahih
adalah suatu kesempitan dalam agama, dan itu
bertentangan dengan ayat diatas.
2. Sunnah:
ِ ‫هللا َح َسنٌن َو َما َرأَ ْوا َس ِّطٌ ًئا َفه َُو ِع ْندَ َّن‬
‫هللا َس ِّطٌ ٌن‬ َ ‫َف َما َرأَى ا ْلمُسْ لِم‬
ِ ‫ُون َح َس ًنا َفه َُو ِع ْن َد َّن‬
Artinya: “Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai
sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik.” 317
3. Kemudian, menurut mereka ada juga beberapa praktek
Nabi yang menerima ‘urf Madinah, seperti ketika
menetapkan jual beli aroya dan salam karena melihat itu
sudah menjadi ‘urf penduduk Madinah. Padahal
sebelumnya beliau sudah bersabda:
‫نهى عن بٌع المعدوم‬
Artinya: “Dilarang untuk menjual yang tidak diketahui
keberadaanya”.
Tidak diragukan lagi bahwa banyak hukum yang
ditetapkan oleh Alquran al-Karim merupakan penetapan dan
penjagaan ‘urf orang-orang Arab, seperti banyak contoh yang
telah kita sebutkan diatas. Abdul Wahab Khallaf pernah
menyatakan bahwa Statis dalam ayat-ayat atau hadits
bagaimanapun adalah kesesatan dalam agama dan
merupakan kebodohan dan ketidaktahuan atas tujuan-tujuan
kaum muslim yang sekarang dan yang lampau. 318

316
‘Abdulwahhâb Khallâf, Mashadir al-Tasyrî’, hlm. 130.
317
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz I, hlm. 379.
318
‘Abdulwahhâb Khallâf, Mashadir al-Tasyrî’, hlm. 691.
147
Badrul Mutawalli, yang berpendapat bahwa penetapan
‘urf itu dalilnya bukan ‘urf itu sendiri tapi ada dalil yang lain. 319
Artinya dia menolak ‘urf sebagai dalil penetapan hukum.
Merekapun yang menolak ‘urf sebagai dalil, tetap saja tidak
menolak bahwa ‘urf itu juga berpengaruh dalam penetapan,
tapi bukan sebagai dalil dan sumber akan tetapi sebagai bahan
pertimbangan.

Pengaruh Dan Peran ‘Urf Dalam Penetapan Hukum


Bangsa Arab, pada akhir abad keenam adalah bangsa yang
tidak mempunyai kekuatan politik yang tidak jelas. Dengan
tidak adanya kekuatan politik maka mereka juga tidak ada
menganut sistem hukum ataupun sistem peradilan yang baku
yang menyelasaikan perkara-perkara mereka. Dalam konsep
mereka hukum adalah sunnah kurang lebih mirip dengan adat
atau ‘urf. Bagi mereka ‘urf, adat, sunnah adalah hukum yang
harus tetap dijalankan dan keputusan hakim harus seusai
dengan ‘urf yang telah berlaku di kalangan mereka.
Setelah datangnya Islam, banyak ‘urf ini ditolak, diterima
ataupun ditetapkan meski dengan menambahi aturan baru.
Seperti penggunaan cadar, poligami, mengasuh anak yatim,
konsep sunnah, konsep haram, mahar dalam pernikahan, dan
lain sebagainya.
Sedangkan beberapa contoh yang sering ulama Ushul
ajukan dalam bentuk perbuatan Nabi adalah seperti
membolehkan jual-beli salâm dan aroya. Begitu juga dengan
Sahabat-Sahabat seperti Khalifah Rasyidah. Sekarang kita
mengenal sunnah Abu Bakar r.a, Umar bin Khattab r.a,
Utsman bin Affan r.a dan Ali bin Abi Thalib.
Pada masa selanjutnya, sebelum Imam Syafi’i menulis al-
Risalah, banyak para Imam dan ulama yang mendasarkan
beberapa keputusan hukum mereka berdasarkan sunnah.
Meskipun mereka tidak mendasarkan keputusan itu sebagai
sunnah sebagai dasar hukum akan tetapi sunnah yang diklaim

319
Badrul Mutawalli al-Birr al-Wasith, Taysîr Ushûl al-Fiqh (Kairo: Dâr
Nahdlah ‘Arabiyah, tt.), hlm. 342.
148
sebagai sunnah yang paling dekat dengan Sunnah Rasulullah
SAW. Imam Malik tentu saja adalah orang yang paling kuat
untuk mengklaim bahwa sunnah Madinah adalah sunnah yang
paling dekat dengan Rasulullah SAW. Selain itu di Syiria ada
Imam al-Auza’i dan Imam Abu Hanifah di Iraq.
Setelah Imam Syafi’i merumuskan ar-Risalah, yang
dianggap sebagai Ushul Fikih pertama, meskipun beliau tidak
menerima beberapa dasar penetapan hukum yang sudah
berlaku luas pada saat itu seperti ra’yu dan dan sunnah selain
Sunnahn Nabi, akan tetapi tentu saja memberikan peluang
untuk kedua hal tersebut untuk masuk kedalam hukum, akan
tetapi harus dengan dasar dan dalil syara’ yang jelas baik dari
Alquran al-Karim, Sunnah Nabi, Ijmâ’ atau Qiyâs. Akan tetapi
meskipun demikian, beberapa peneliti berpendapat bahwa
adanya qaul jadidi dan qaul qadim Imam syafi’i tidak terlepas
dari pertimbangan ‘urf. 320
Selain itu beberapa ketetapan hukum dalam beberapa
mazahab juga sering berubah-yang menurut para pengkaji
merupakan pengaruh ‘urf -seperti kebolehan mengambil upah
dari mengajarkan Alquran al-Karim, adzan, imam sholat, jual-
beli dengan syarat, dan sebagainya dalam mazhab Hanafiyah.
Imam Malik memperboleh menjual buah-buahan yang belum
terlihat sepenuhnya, keputusan ini diambil karena di Madinah
memang itu sudah menjadi ‘urf.
Memang tentulah hukum seperti ini akan terus berubah
seiring berubahnya tempat dan waktu. Ada suatu pernyataan
yang terkenal yang berkaitan dengan perbedaan pendapat
dalam mengambil keputusan. Pendapat itu berbunyi:
“Sesungguhnya hal itu berasal dari perbedaan waktu dan
masa bukan perbedaan alasan dan bukti”. 321

Syarat-Syarat ‘Urf

320
Fadhil ‘Abdul Wahid ‘Abdurrahman, al-Anmudzaj fî Ushûl al-Fiqh, hlm.
158.
321
Zakiyuddin Sa’ban, Ushûl al-Fiqh al-Islamî, hlm. 194.
149
Para ulama Ushul menyatakan bahwa sutau ‘urf baru
dapat dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan
hukum Syara’ apabila memenuhi sayarat-syarat sebagai
berikut:
1. ‘Urf itu harus berlaku secara umum dalam mayoritas
kalangan masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh
mayoritas masyarakat tersebut, baik itu ‘urf dalam bentuk
praktek, perkataan, umum dan khusus.
2. ‘Urf itu memang telah memasyarakat sebelumnya.
3. ‘Urf tidak bertentangan dengan apa yang diungkapkan
secara jelas dalam suatu transaksi. Seperti apabila dalam
suatu transaksi dikatakan secara jelas bahwa si pembeli
akan membayar uang kirim barang, sementara ‘urf yang
berlaku adalah si penjuallah yang menanggung ongkos
kirim, maka dalam kasus seperti ‘urf tidak berlaku.
4. ‘Urf tidak bertentang dengan nash, sehingga menyebabkan
hukum yang dikandung nash tersebut tidak bisa diterapkan.
‘Urf seperti ini tidak dapat dijadikan dalil syara’ karena
kehujjahan ‘urf baru bisa diterima apabila tidak ada nash
yang mengandung hukum permasalahan yang dihadapi. 322

Pertentangan ‘Urf Dengan Dalil Syara’


Apabila ada urf yang berlaku dalam masyarakat
bertentangan dengan nash baik Alquran al-Karim maupun
Hadits, maka para ulama Ushul merincinya sebagai berikut:
1. Apabila bertetantangan dengan nash yang khusus yang
menyebabkan tidak berfungsinya hukum yang dikandung
dalam nash tersebut, maka dalam kasus ini tentu saja ‘urf
tidak dapat dipakai dan dijadikan sebagai dalil. Seperti
menceraikan wanita dan mengawininya kembali tanpa
sesuka hati oleh laki-laki. ‘Urf seperti ini berlaku dikalngan
bangsa Arab sebelum datangnya Islam. Maka kemudian
setelah datangnya Islam, syari’at menetapkan iddah.
2. Apabila bertentangan dengan nash yang bersifat umum,
maka ada perbedaan pendapat didalamnya. Menurut

322
Nasrun Harun, Ushul Fiqh 1, hlm. 144.
150
Mushtafa Ahmad az-Zarqa’, apabila ‘urf itu telah ada ketika
datangnya nash yang bersifat umum tersebut, maka perlu
dibedakan antara ‘urf ‘amali dan ‘urf lafzhi. ‘Urf lafzhi bisa
diterima. Maka nash dengan suatu redaksi harus difahami
sesuai ‘urf lafzhi yang berlaku saat itu kecuali ada indikator
yang menunjukkan bahwa maksud dari redaksi nash itu
tidaklah seperti arti yang difahami dalam ‘urf, seperti kata
walad yang biasanya difahami dengan arti anak laki-laki,
tapi kemudian dalam surah an-Nisa ayat 11, disitu diberikan
indikator lain bahwa walad disini adalah anak laki-laki
maupun perempuan.
Sedangkan dalam ‘urf amali terjadi perbedaan pendapat
didalamnya. Menurut mazhab Hanafiyah, apabila ‘urf yang
ada adalah ‘urf umum, maka itu bisa mengkhususkan nash
yang umum tersebut. Karena pengkhususan tersebut tidak
membuat hukum yang dikandung nash tersebut tidak dapat
diamalkan. Misalnya Rasul yang membolehkan jual-beli
salaam :
(‫نهى عن بٌع ما لٌس لإلنسان و رخص فى السلم )رواه البخارى و أبو داود‬
Artinya: “Nabi melarang menjual sesuatu yang tidak dimiliki
oleh manusia dan beliau memberi keringanan dalam jual-
beli pesanan”.
Akad seperti ini telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat
Madinah sebelum Rasul datang kesana.
3. Sedangkan untuk ‘urf yang terbentuk belakangan setelah
datangnya nash yang bersifat umum, maka segala bentuk
dan macam-maca ‘urf itu tidak bisa dijadikan dalil. Untuk
hal ini, ulama Fikih sepakat menolak kehujjahan urf
tersebut. Akan tetapi apabila illat suatu nash adalah ‘urf
‘amali, maka ketika illat itu hilang maka hukumnya pun
berubah. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Yusuf.
Seperti Hadits Nabi yang berarti: “diamnya seorang wanita
adalah persetujuannya”, ini berdasarkan ‘urf pada masa itu,
yang mana mayoritas ketika ia ditanya apakah ia mau
menikah dengan si Fulan, ia diam saja dan itu menunjukkan
persetujuannya. Akan tetapi bila keadaanya sudah berubah
seperti sekarang ini, maka diamnya wanita tidak bisa
151
dipatok sebagai perserujuannya, karena ‘urf sudah
berubah. Akan tetapi jumhur ulama tidak sependapat
dengan Abu Yusuf.
4. Adapun dalam pertentangan antara ‘urf dengan qiyâs,
ulama dari kalangan Hanafiyyah dan Malikiyyah lebih
mendahulukan ‘urf, karena ‘urf dalam masalah yang tidak
ada nashnya menempati posisi ijmâ’. Menurut Ahmad az-
Zarqa’ bahwa baik Syafi’iyyah dan Hanabilah secara
prinsipil lebih mendahulukan ‘urf dari pada qiyâs.
5. Sedangkan dalam pertentangan ‘urf dengan al-maslahah
al-mursalah, maka menurut ulama Malikiyyah, ‘urf lebih
didahulukan, begitu juga dengan mazhab Syafi’i dan
Hanbali.
6. Adapun dalam pertentang ‘urf dengan istihsân, karena
ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah tidak menerima istihsân,
maka otomatis mereka menggunakan ‘urf. 323

Beberapa Kaidah Fikhiyyah Yang Berkaitan Dengan ‘Urf


Ada beberapa kaidah fiqhiyyah yang berhubungan dengan
‘urf. di antaranya adalah:
1. Adat itu adalah hukum (‫) محكمة العادة‬.
2. Apa yang ditetapkan oleh syara’ secara umum tidak ada
ketentuan yang rinci di dalamnya dan juga tidak ada dalam
bahasa maka ia dikembalikan kepada ‘urf.
( ‫)العرف إلى فٌه ٌرجع اللغة فى ال و فٌه له ضابط ال و مطلقا الشرع به ورد ما‬.
Abdul Hamid Hakim mendasarkan dua kaidah atas pada al-
Qur’ân surat al-A’raf ayat 199:
      
Artinya: “Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang
mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada
orang-orang yang bodoh”.
3. Tidak dingkari bahwa perubahan hukum disebabkan oleh
perubahan zaman dan tempat.
‫ال ٌنكر تغٌر األحكام بتغٌر األزمنة و األمكنة‬
4. Yang baik itu jadi ‘urf seperti yang disyaratkan jadi syarat.

323
Ibid. hlm. 145.
152
‫المعروف عرفا كالمشروط شرطا‬
5. Yang ditetapkan melalui ‘urf seperti yang ditetapkan
melalui nash.
‫الثابت بالعرف كالثابت بالنص‬
Tapi perlu diperhatikan bahwa hukum disini bukanlah
seperti hukum yang dietapkan melalui Alquran dan Sunnah
akan tetapi hukum yang ditetapkan melalui ‘urf itu sendiri.
324
Wallahu a’lâm bi al-shawâb.

324
‘Abdul Hamid Hakim, Mabâdi Awwaliyah (Jakarta: Sa’diyah Putra, tt.),
hlm. 37.
153

Anda mungkin juga menyukai