21
Muhammad Khudlori Bik, Tarîkh Tasyrî’ (Lebanon: Dar Al-Kutub al-
’Ilmiyah, 2008), hlm. 114.
19
Rasulullah SAW menepuk dadaku dengan seraya berkata:
“Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk
kepada utusan Rasulullah, terhadap jalan yang disukai oleh
Rasulullah”.22
Pada masa Rasulullah SAW juga ada beberapa sahabat
besar yang mampu untuk memberikan fatwa terhadap
masalah yang tidak ditemukan nashnya dalam Al-Qur’ân dan
Al-sunnah.23
22
Abu al-Thayyib Muhammad Syams al-Haqq, ’Awn al-Ma’bûd Syarh Sunan
Abû Dâwûd (Beirut: Dâr al-Fikr, 1979), juz VI, hlm. 272.
23
‘Abdulkarîm Zaidân, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh (Baghdad: Muassasah
Qurthuba, 1976), hlm. 14.
20
sahabat berupaya untuk melakukan ijtihâd, dari hasil ijtihâd
tersebut mereka memberikan fatwa hukum. Dan ketika ada
kesepakatan diantara para sahabat dalam memberikan fatwa
maka dapat disebut sebagai ijmâ’. Dengan demikian dari masa
sahabat ini muncul istilah ijmâ’, sehingga sumber hukum Islam
pada masa sahabat berupa Al-Qur’ân, Al-sunnah, ijma dan
qiyâs. Disini akan diberikan contoh seperti yang dilakukan oleh
sahabat Umar Bin Khattab ra. ketika menulis surat kepada
sahabat Abu Musa Al-Asy’ari ra: ”Pemahaman yang aku
berikan sudah jelas adanya seperti yang telah aku tunjukkan
kepadamu, bahwa apabila ada hukum yang tidak ditemukan
nashnya dalam Al-Qur’ân dan Al-sunnah, maka berusahalah
untuk menggunakan metode qiyâs dan berilah contoh yang
benar, dengan demikian berpedomanlah pada apa yang kamu
ketahui sehingga mendapatkan ridlo Allah dan kamu akan
mendapatkan kebenaran...”.24
Contoh yang lain adalah ketika sahabat Ali Bin Abi Thalib
ra. menjatuhkan hukuman 80 (delapan puluh) kali cambukan
bagi peminum minuman keras, karena menganalogikan
hukuman bagi penuduh zina: “Saya berpendapat bahwa
meminum minuman keras akan memabukkan, orang yang
mabuk akan berbicara tidak jelas (tidak menggunakan akal
sehatnya), orang yang berbicara tidak jelas dianggap sebagai
orang-orang yang membuat-buat kebohongan, dengan
demikian saya berpendapat bahwa hukuman 80 (delapan
puluh) kali cambukan bagi peminum minuman keras adalah
benar karena menganalogikan hukuman bagi penuduh zina”. 25
24
Muhammad ibn Abî Bakar Abû ‘Abdullah ibn Al-Qayyim al-Jauziyah,
I’lâm al-Muwaqqi’în ‘an Rabb al-‘Âlamîn (Beirut: Maktabah al-’Ashriyyah,
1470), juz I, hlm. 85.
25
Muhammad ibn Isma’il Abû ‘Abdullah al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî
(Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1407), juz VIII, hlm. 185. Muslim Abu Husain al-
Naisabury, Shahîh Muslim (Kairo: Dâr Ali al-Kutub, 1996), juz II, hlm. 56.
21
26
iddah wanita hamil. Dalilnya firman Allah SWT surat al-
Thalaq ayat 4:
Artinya: “dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya”.
Surat thalaq ini turun kepada Rasulullah SAW setelah
turunnya surat al-baqarah ayat 234:
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu
dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari”.
Pendapat dari sahabat ibn mas’ud tersebut sebagai
isyarat adanya salah satu kaidah ushuliyyah:
ظشح ةزنكٚ ُسخ انُض انساةق ٔ ٌ نىٚ انُض انالدق
artinya: dalil nash yang datang kemudian menghapus dalil
nash yang terdahulu, meskipun belum ada keterangan yang
menunjukkannya”.27
26
Ahmad ibn Alî Abu al-Fadlil ibn Hajar al-’Asqalanî, Fath al-Bâri Syarh
Shahîh al-Bukhârî (Beirut: Dâr Al-Ma’rifat, 1379), juz VIII, hlm. 655.
27
Muhammad Bin Ahmad Abu ‘Abdullah al-Qurthubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-
Qur’ân (Beirut: Dâr Ihyâ’ Al-Turâts, tt.), juz III, hlm. 174.
22
dengan demikian maka pada masa ini metode-metode
penemuan hukum mengalami pertumbuhan yang luar biasa.
Tetapi apabila kita melihat dengan jelas, pada masa ini
ada beberapa tabi’in yang berpegang teguh pada dhahir nya
nash, dan sangat jarang menggunakan qiyâs sebagai metode
penemuan hukum, mereka disebut Ahli Hadits (berada di
daerah Hijaz) mereka dipimpin oleh sahabat Abdullah Bin
Umar ra (beliau sangat jarang sekali menggunakan qiyâs
kecuali apabila ada kepentingan yang mendesak), ada juga
tabi’in Said Bin Al-Musayyab ra (beliau yang mengumpulkan
hadits-hadits Rasulullah SAW, fatwa sahabat Abu Bakar, Umar
dan Utsman ra.
Adapun penyebab ahli hadits berpedoman pada dhahir
nya nash adalah:
a. Terpengaruh kepada sahabat Abdullah Bin Umar ra dalam
menggunakan metode penemuan hukum.
b. Mereka mempunyai banyak hadits Rasulullah SAW,
pendapat sahabat, dan mereka berada ditempat turunnya
wahyu Allah.
c. Permasalahan hukum yang mereka hadapi masih sangat
sedikit, disebabkan budaya hidup mereka yang
sederhana.28
Sebaliknya, ada beberapa tabi’in yang hidup di Irak yang
lebih banyak menggunakan akal sehatnya dalam menemukan
hukum baru, mereka disebut sebagai Ahli Ra ’yu, mereka juga
menyandarkan hukum pada kemashlahatan, berusaha
mencari ‘illat 29 hukum dan melaksanakan hukum tersebut.
Meskipun demikian, mereka selalu mengembalikan kepada Al-
sunnah apabila keputusan hukum mereka bertentangan
dengan batasan-batasan kaidah hukum, atau apabila akal
sehat mereka bertentangan dengan Al-sunnah. Mereka
28
Khudlori Bik, Tarîkh Tasyrî’, hlm. 132.
29
‘Illat adalah “ ” انٕطف انظاْش انًُضتط انًُاسب نهذكىartinya: kualitas yang jelas
dan dapat diterapkan dalam setiap individu (peristiwa), dan bersesuaian
(dengan ruang dan waktu) bagi hukum. (Praja, Juhaya S, Filsafat Hukum
Islam. (Bandung: Pusat penerbitan Universitas, 1995), hlm. 67).
23
menggunakan metode tersebut salah satunya adalah tempat
tinggal yang jauh dari tanah tempat turunnya wahyu. Ahli
Ra’yu ini dipimpin oleh sahabat Abdullah bin mas’ud ra dan
tabiin ‘Alqamah An-Nakha’i, ibrahim An-Nakha’i.
Adapun penyebab Ahli Ra’yu berpedoman pada akal
sehatnya adalah:
a. Terpengaruh kepada sahabat Abdullah bin mas’ud ra dan
tabiin ‘Alqamah An-Nakha’i, ibrahim An-Nakha’i dalam
metode penemuan hukum.
b. Irak merupakan daerah yang banyak dihuni oleh sahabat,
seperti Abdullah bin mas’ud, saad bin abi waqash, abu
musa al-asy’ari, anas bin malik, dimana mereka cukup puas
dengan hadits yang ada dan tidak berusaha untuk mencari
hadits dari sahabat lain.
c. Munculnya banyak permasalahan hukum yang baru,
banyak penemuan-penemuan berbagai bidang ilmu.30
30
Muhammad Abû Zahrah, Tarîkh Al-Madzâhib Al-Islâmiyah (Kairo: Dâr al-
Fikr al-Arabî, tt.), hlm. 17.
31
Khudlori Bik, Tarîkh Tasyrî’ Tasyrî’, hlm. 196.
24
sahabi, istihsân, sad dzarai’, mashlahah mursalah dan
sebagainya.32
Dengan demikian dapat diketahui bahwa para imam
mujtahid mempunyai methodologi istinbath hukum yang
berbeda-beda, dan keputusan hukum yang dihasilkan juga
berbeda, tetapi pada intinya adalah sama yakni
menghantarkan pada keputusan hukum yang benar dan sesuai
dengan maksud Allah SWT. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa
pada waktu itu muncul sikap fanatik dari madzhab yang ada,
perbedaan pendapat, mendukung salah satu imam madzhab.
Kemudian imam Syafi’i ra datang membawa methodologi
istinbath dan kaidah hukum yang dapat menghimpun semua
methode yang ada.
32
ibid.
25
qiyâs, ijmâ’, ijtihâd, persyaratan menjadi mufti dan
pembahasan lainnya.
Selain itu imam Syafi’i juga menulis buku yang isinya
penjelasan metode istinbath hukum ketika terjadi perbedaan
pendapat seperti: kitab ibthal al-istihsân¸ buku ini ditulis untuk
menolak penggunaan istihsân dalam istinbath hukum. Kitab
ikhtilaf al-hadits, buku ini ditulis dalam rangka kompromi
terhadap nash yang saling bertentangan. Kitab jama’ al-ilmi,
buku ini ditulis untuk menetapkan kehujjahan khabar ahad
dan kewajiban dalam mengaplikasikannya, dan buku ini
ditujukan untuk menjawab pendapat orang yang menolak
keberadaan hadits ahad, sehingga beliau mendapat julukan
ahli makkah, pejuang sunnah berkat pendapatnya yang
mendukung keberadaan hadits ahad yang pada saat itu masih
diremehkan keberadaannya dan tidak diaplikasikan dalam
kehidupan.
Ada beberapa ulama yang menggunakan methodologi
yang disusun oleh imam Syafi’i tetapi kemudian mereka
berbeda methodologi sewaktu mengaplikasikannya, hal ini
dikarenakan:
a. Beberapa ulama ada yang berpedoman pada methodologi
yang disusun oleh imam Syafi’i secara total dalam istinbath
hukum.
b. beberapa ulama yang lain berpedoman pada sebagian
methodologi imam Syafi’i dan mencampurkan methodologi
dari imam lain. Seperti madzhab hanafiah: mereka
berpedoman pada methodologi imam syafi’i dan
menambahkan istihsân, ’urf. Madzhab malikiyah juga
berpedoman pada methodologi imam Syafi’i dan
menambahkan ijmâ’ ahli madinah, istihsân, mashlahah
mursalah, sad dzarai’.33
33
Ahmad Mahmûd al-Syâfi’î, Ushûl al-Fiqh al-Islamî (Beirut: Mansyûrat al-
Halabî, 2002), hlm. 13.
26
Setelah pembahasan tentang buku Ar-Risalah, disini dapat
disimpulkan bahwa para ulama dalam merumuskan
methodologi istinbath hukum menempuh tiga metode, yaitu
metode Mutakallimin, Metode Fuqaha’, dan Konvergensi
antara keduanya.
a. Metode Mutakallimin34
Para ulama dalam aliran ini ketika melakukan istinbath
hukum menggunakan metode dalam ilmu kalam seperti:
menetapkan kaidah-kaidah dan masalah ushul fiqh yang
dibangun dengan alasan-alasan yang kuat baik naqli atau aqli
tanpa terikat dengan hukum furu’ yang telah ada pada
mazhab apapun. Ulama aliran ini mendasarkan diri pada
logika, menghilangkan fanatisme bermadzhab, mempersedikit
pembahasan pada masalah hukum furu’ dan apabila
membahas masalah hukum furu’, hal itu dianggap sebagai
contoh-contoh pelebaran pembahasan saja.
Dan tujuan penulisan kitab-kitab aliran ini adalah agar
menjadi acuan standar dalam istinbath, bukan untuk membela
fiqh imamnya. Di antara ulama yang termasuk dalam
kelompok ini adalah Ulama Mu’tazilah, Malikiyah, Syafi’iyyah
dan Hanbaliyah.
Di antara kitab-kitab Ilmu Ushul Fiqh dalam aliran ini,
yaitu :
1. Kitab Al-Mu’tamad disusun oleh Abdul Husain Muhammad
bin Aliy al-Bashriy al-Mu’taziliy asy-Syafi’iy (wafat pada
tahun 463 Hijriyah),
2. Kitab Al-Burhan disusun oleh Abdul Ma’aliy Abdul Malik bin
Abdullah al-Jawainiy an-Naisaburiy asy-Syafi’iy yang
terkenal dengan nama Imam Al-Huramain ( wafat pada
tahun 487 Hijriyah),
3. Kitab AI Mushtashfa disusun oleh Abu Hamid Muhammad
bin Muhammad Al Ghazaliy Asy Syafi’iy ( wafat pada tahun
505 Hijriyah).
Dalam perkembangannya masih banyak karya para ulama
yang mengikuti metode ini.
34
Ibid.
27
b. Metode Fuqaha’ (hanafiyah)
Para ulama dalam aliran ini ketika melakukan istinbath
hukum menggunakan metode yang berbeda dari aliran
mutakallimin, hal ini dikarenakan mereka memulai
pembahasan dari menetapkan kaidah-kaidah ushul fiqh
terhadap hukum-hukum furu’ yang diperoleh melalui imam-
imam mazhab mereka dimana para ulama telah meletakkan
dasar kaidah yang nantinya akan digunakan dalam
beristinbath hukum atas hukum furu’.
Ada beberapa ulama bahkan terkadang terlalu berlebihan
dalam membela imam mereka. Dan apabila mereka
menemukan pertentangan kaidah dalam masalah furu’ yang
telah ditetapkan oleh madzhabnya, maka mereka
berpedoman pada kesepakatan dan hukum furu’ yang telah
ada sebelumnya. Aliran ini disebut juga aliran hanafiyah.
Untuk memperjelas perbedaan metode yang digunakan
oleh kedua aliran diatas, berikut adalah penjelasan singkatnya:
1. Aliran mutakallimin menetapkan kaidah-kaidah ushul fiqh
berdasarkan pada dalil hukum Islam. Sedangkan aliran
fiqaha’ mendasarkan diri pada hukum furu’ yang diperoleh
dari imam madzhab.
2. Aliran fuqaha’ apabila mereka menemukan pertentangan
kaidah dalam masalah furu’ yang telah ditetapkan oleh
madzhabnya, maka mereka berpedoman pada kesepakatan
dan hukum furu’ yang telah ada sebelumnya. 35
Kitab kitab aliran mereka:
1. Al-Jashshash disusun oleh Abu Bakar Ahmad bin Ali (wafat
tahun 380 H),
2. Al-Manar kitab yang disusun oleh Hafidhuddin ‘Abdullah
bin Ahmad An- Nasafiy (wafat pada tahun 790 H), dan
syarahnya yang terbaik yaitu Misykatul Anwar.
Contoh dari perbedaan kedua aliran ini adalah tentang
syarat wajib shalat adalah sebab masuknya waktu.
Ulama bersepakat tentang masuknya waktu shalat
sebagai syarat wajib, dan melakukan shalat sebelum dan
35
Ibid.
28
sesudah masuknya waktu shalat dianggap tidak sah shalatnya.
Tetapi ulama berbeda pendapat perihal bagian waktu yang
dijadikan sebagai syarat wajibnya sahalat.
Aliran mutakallimin berpendapat: sebab masuknya waktu
shalat adalah pada bagian awal waktu, ketika sudah masuk
waktunya shalat maka setiap orang Islam harus segera
melaksanakannya dalam waktu yang sudah ditentukan
batasannya. Meskipun demikian setiap orang bebas
menentukan waktunya selama masih dalam batasan waktu
shalat. 36 Dalilnya adalah surat al-Isra’ ayat 78:
Artinya: “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari
tergelincir sampai gelap malam”.
Lafadz dalam ayat ini menerangkan adanya
waktu-waktu shalat, yakni: tergelincir matahari untuk waktu
shalat Zhuhur dan Ashar, gelap malam untuk waktu Magrib
dan Isya. Sedangkan shalat subuh waktunya adalah
37 yakni pada waktu terbitnya fajar.
Dengan demikian Allah SWT menjadikan tergelincirnya
matahari dan gelapnya malam beserta terbitnya fajar sebagai
sebab dan syarat wajib shalat dan setiap orang Islam wajib
melaksanakannya ketika waktu tersebut datang sampai
habisnya waktu. Dan apabila ada kepentingan yang
menghalanginya (seperti lupa, tertidur dan sebagainya) shalat
pada waktunya maka dia wajib melakukan qhada’. Apabila
tidak ada kepentingan (seperti dia menganggap remeh shalat)
hal ini menjadikannya tidak wajib melakukan shalat.
Aliran hanafiah berpendapat: sebab masuknya waktu
shalat adalah bagian dari pelaksanaan, apabila melaksanakan
shalat masih dalam batasan waktu shalat hal ini merupakan
sebab dan syarat wajib shalat. Apabila belum bisa
melaksanakan shalat sampai waktunya tersisa sedikit hal ini
merupakan bagian dari waktu shalat. Apabila sudah
36
Sya’bân Isma’îl, Ushûl al-Fiqh Târî khuhu wa Rijâ luhu (Riyâdl: Dâr al-
Marîkh, 1401), hlm. 31.
37
Surat al-Isra’: 78.
29
melampaui batas waktunya dan belum mengerjakan shalat,
maka hal ini menjadi sebab bagi orang tesebut untuk
melaksanakan shalat. 38
Dalilnya adalah: mereka menggunakan hukum furu’ yang
telah ditetapkan oleh imam madzhabnya dan tidak
berpedoman pada Al-Qur’ân dan Al-sunnah:
1. Seseorang wajib melaksanakan shalat pada waktunya,
apabila ada halangan yang menghalangi dia shalat sampai
keluar waktunya, maka dia tidak wajib melakukan shalat
pada waktu itu.
2. Mereka memahami hukum furu’ bahwa bagian awal waktu
shalat bukan merupakan sebab dan syarat wajib shalat. Hal
ini disebabkan apabila menjadi sebab maka termasuk
ketetapan wajib dalam tanggungan orang tersebut apa
adanya, dan dia tidak terbebaskan dari tanggungan setelah
ada kepentingan kecuali harus melaksanakan kewajiban
atau mengqhadla’nya.
3. Mereka berpendapat bahwa seseorang apabila
melaksanakan shalat di awal waktunya maka shalatnya sah.
Dengan demikian bahwa bagian akhir dari waktu shalat
bukan sebab dan syarat sahnya, karena apabila menjadi
sebab maka shalat pada awal waktunya menjadi tidak sah,
karena dianggap melaksanakan shalat sebelum adanya
waktu sebagai sebab dan syarat sah shalat.
Dengan demikian ulama hanafiyah menyatakan: sebab
dan syarat wajib shalat adalah bagian awal waktunya, apabila
tidak bias melaksanakan maka berpindah sebabnya pada
bagian waktu berikutnya, dan hal ini berlangsung sampai sisa
waktu shalat yang merupakan bagian dari waktu shalat wajib
yang dijelaskan oleh bagian waktu yang menjadi sebab.
Apabila telah keluar dari waktu shalat dan seorang muslim
belum melaksanakan shalat hal ini disandarkan pada sebab
waktu seluruhnya. 39
38
Muhammad ibn Ahmad Abû Bakar al-Sarakhsî, Ushûl al-Sarakhsî (Beirut:
Dâr al-Ma’rifat, 1393), juz I, hlm. 33.
39
Sya’bân Isma’îl, Ushûl al-Fiqh Târî khuhu wa Rijâ luhu, hlm. 31.
30
c. Konvergensi
Metode yang menggabungkan dan mengkombinasikan
antara kedua pendekatan. Metode ini juga sering disebut
dengan tariqah al-jam’an. Ciri ulama mazhab ini adalah
dengan sikapnya yang rasional dan juga kadang tradisional.
Diantara ulama-ulama yang mempunyai ide ini adalah
sebagai berikut: Mudhafaruddin Ahmad bin ‘Aliy As Sya’atiy Al
Baghdadiy (wafat pada tahun 694 Hijriyah) dengan menulis
kitab Badi’un Nidham yang merupakan paduan kitab yang
disusun oleh Al Bazdawiy dengan kitab Al Ihkam fi Ushulil
Ahkam yang ditulis oleh Al Amidiy.
Dalam kaitan dengan pembahasan Ilmu Ushul Fiqh ini,
perlu dikemukakan bahwa Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Musa
Al-Syâtibî y ( wafat pada tahun 760 Hijriyah) telah menyusun
sebuah kitab Ilmu Ushul Fiqh, yang diberi nama A1
Muwafaqat. Dalam kitab tersebut selain dibahas kaidah-
kaidah juga dibahas tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
Kitab Ushul Fiqh oleh Syaikh Muhammad A1 Khudlariy Bak
(wafat pada tahun 1345 Hijriyah/ 1927 Masehi). Pada modern
ini ilmu Ushul Fiqh mencapai perkembangan yang gemilang,
walaupun demikian masih banyak kritikan oleh para ulama
kontemporer yang ingin mengembangkan ilmu ini dan
ataupun sengaja ingin mengkritisi karya literatur maupun
buah pemikiran para ulama salaf. 40 Wallahu a’lâm bi al-
shawâb.
40
Ibid. hlm. 38-40.
31
Rakyu adalah aliran dalam ushul-fiqh yang teori-teorinya
dibangun atau disusun sesudah fiqh terbentuk. Artinya,
mujtahid ini mengamati perilaku orang-orang mukallaf yang
ada pada masyarakat, kemudian dia memproduk fiqh secara
induktif. Setelah itu disusunlah ushul-fiqh untuk dasar-dasar
pengembangannya, di samping kaidah fiqhnya juga. Karena
itu, uruf (tradisi), mashalih al-mursalah, dan istihsan di-ambil
sebagai dasar hukum fiqh. Ushul-fiqh aliran ini dipakai oleh
Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, dan Mu’tazilah. Dalil-dalil ini,
biasanya dirumuskan berdasarkan istiqra (penelitian) untuk
mencari bentuk fiqh.
Sebaliknya, jika mujtahid itu menyusun ushul-fiqh dulu,
kemudian memproduki fiqh berdasarkan ushul-fiqh tadi,
berati ushul fiqh ini disebut aliran mutakallimin. Aliran ini
berfikir deduktif, dengan menyesuaikan perilaku umat (af’al
al-mukallafin), kepada teori-teori ushul-fiqh tadi. Aliran ini
dipakai antara lain oleh Mazhab Syafi’iy, Mazhab Hanbali,
Mazhab Zhahiri, dan Mazhab Syi’ah Itsna Asyariyah. Aliran ini
tidak mau memakai ‘uruf, mashalih al-mursalah, dan istihsan,
karena semua dalil ini bisa bertentangan dengan qiyas ‘am.
Aliran ini, tambahan dalil pokoknya adalah istish-hab, yaitu
dalil yang memandang persoalan hokum, selama tidak ada
dalil yang mengubah maka tetap berlaku sampai sekarang dan
masa depan.
Ushul fiqh model ini agak sempit dan seperti membatasi
diri pada kondisi lapangan tertentu, terutama jika kita melihat
perkembangan kehidupan yang cepat berubah. Akibatnya,
teori-teori ushul-fiqh hanya terpaku pada pemahaman dasar
(al-Qur’an, al-Hadits, al-Ijma’ dan al-Qiyas) dan beberapa dalil
yang berorientasi ke belakang seperti istishhab, dan syara’
man qablana. Dengan kata lain, ada kelemahan bagi aliran ini,
yaitu kurang menghargai fenomena dan realitas. Berbeda
dengan aliran rakyu yang menggunakan dalil ‘uruf dan
32
istihsan, bisa masuk ke dalam rangka (a) Ushuliyun bisa
mengolah semua permasalahan yang muncul di tengah
masyara-kat, dengan teori-teori ushul-fiqhnya. (b) Ushuliyun
bisa berhubungan langsung secara akrab dengan masyarakat
yang memakai mazhab tertentu (c) Ushuliyun dapat
menguraikan latar belakang secara penuh, sehingga uraian
fiqhnya bisa mengangkat dalil-dalil kulli dengan meninggalkan
dalil juz’iy yang sama-sama zhanni.
33