Muhammad Ramadhani
M.Aditya Rizky
Ahmad Aziz Siddiq
Mahasiswa Universitas Islam Internasional Darullughah wad da’wah
A.Pendahuluan
Ilmu ushul fiqih merupakan cabang ilmu dalam Islam yang memiliki kedudukan sangat penting.
Dalam diskursus hukum Islam, ushul fiqih merupakan konsep logis yang menjadi rumusan
hukum. Dalam sejarah yurisprudensinya, ushul fiqih memiliki perjalanan panjang hingga
mengalami kodifikasi dan tersusun dengan sistematis.
Di masa Rasulullah saw, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami
hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat
penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw.
Para sahabat ra menyaksikan dan berinteraksi langsung dengan turunnya Al-Qur’an dan
mengetahui dengan baik sunnah Rasulullah saw, di samping itu mereka adalah para ahli bahasa
dan pemilik kecerdasan berpikir serta kebersihan fitrah yang luar biasa, sehingga sepeninggal
Rasulullah saw mereka pun tidak memerlukan perangkat teori (kaidah) untuk dapat berijtihad,
meskipun kaidah-kaidah secara tidak tertulis telah ada dalam dada-dada mereka yang dapat
mereka gunakan di saat memerlukannya.
Pada masa tabi’in cara mengistinbath hukum semakin berkembang. Diantara mereka
ada yang menempuh metode maslalah atau metode qiyas disamping berpegang pula
pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada masa tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan
mengenai hukum sebagai konskuensi logisdari perbedaan metode yang digunakan oleh para
ulama ketika itu.
Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in atau pada masa Al-
Aimmat Al-Mujtahidin. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah istinbath yang digunakan juga
semakin jelas beragam bentuknya. Abu Hanifah misalnya menempuh metode qiyas dan istihsan.
1
Sementara Imam Malik berpegang pada amalan mereka lebih dapat dipercaya dari pada hadis
ahad).
Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman RasulullahSAW, sahabat,
tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun
demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan
kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri.
PEMBAHASAN
1.Masa Nabi
Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Al-Quran dan Assunnah.
Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum
kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rasulullah SAW menetapkan hukum
kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan Hadits atau Sunnah.Hal ini
antara lain dapat diketahui dari sabda Rasulullah SAW sebagai berikut :
“Sesungguhnya saya memberikan keputusan kepada kamu melalui pendapatku dalam hal-
hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku.” (HR. AbuDaud dari Ummu Salamah).
Hasil ijtihad Rasulullah ini secara otomatis menjadi sunnah bagi UmatIslam. Hadits
tentang pengutusan Mu’az Ibn Jabal ke Yaman sebagai qadi,menunjukkan perijinan
yang luas untuk melakukan ijtihad hukum pada masa Nabi. Dalam pengutusan ini Nabi
bersabda :
2
serayamengatakan segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik utusan Rasulnyapada sesuatu
yang diridhai oleh Allah dan rasulnya.”
Hadits ini secara tersurat tidak menunjukkan adanya upaya Nabi untuk mengembangkan
Ilmu Ushul Fiqh, tapi secara tersirat jelas Nabi telah memberikan keluasan dalam
mengembangkan akal untuk menetapkan hukumyang belum tersurat dalam Al-Quran dan
Sunnah
Dorongan untuk melakukan ijtihad itu tersirat juga dalam hadits Nabi yang menjelaskan tentang
pahala yang diperoleh seseorang yang melakukan ijtihad sebagai upaya yang sungguh-sungguh
dalam mencurahkan pemikiran baik hasil usahanya benar atau salah.
Sebagai contoh hasil ijtihad para sahabat, yaitu : Umar bin Khattab RA tidak menjatuhkan
hukuman potong tangan kepada seseorang yang mencuri karena kelaparan (darurat/terpaksa).
Dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa wanita yang suaminya meninggal dunia dan belum
dicampuri serta belum ditentukan maharnya, hanya berhak mendapatkan mut'ah.
Dari contoh-contoh ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, demikianpula oleh para
sahabatnya baik di kala Rasulullah SAW masih hidup atau setelah beliau wafat, tampak
3
adanya cara-cara yang digunakannya, sekalipun tidakdikemukakan dan tidak disusun
kaidah-kaidah (aturan-aturan)nya; sebagaimana yang kita kenal dalam Ilmu Ushul Fiqh
Pada masa tabi'in tabi'it-tabi'in dan para imam mujtahid, di sekitar abad IIdan III Hijriyah wilayah
kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-
orang yang bukan bangsa Arab atau tidakberbahasa Arab dan beragam pula situasi dan
kondisinya serta adat istiadatnya.Banyak diantara para ulama yang bertebaran di daerah-daerah
tersebut dan tidaksedikit penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam.
Dengan semakin tersebarnya agama Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah
tersebut,menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang
tidakdidapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Untuk itu paraulama yang
tinggal di berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.
Karena banyaknya persoalan-persoalan hukum yang timbul dan karena pengaruhkemajuan ilmu
pengetahuan dalam berbagai bidang yang berkembang denganpesat yang terjadi pada masa ini,
kegiatan ijtihad juga mencapai kemajuan yangbesar dan lebih bersemarak.
Dalam pada itu, pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan danperdebatan antara para
ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yangditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan
tersebut, bukan saja antara ulama satudaerah dengan daerah yang lain, tetapi juga antara para
ulama yang sama-samatinggal dalam satu daerah.Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para
ulamauntuk menyusun kaidah-kaidah syari'ah yakni kaidah-kaidah yang bertaliandengan
tujuan dan dasar-dasar syara' dalam menetapkan hukum dalam berijtihad.
Dalam situasi ini, muncullah dua madrasah besar yang mencerminkan metode mereka dalam
berijtihad:
4
Perbedaan dua madrasah ini terletak pada banyaknya penggunaan hadits atau qiyas dalam
berijtihad. Madrasah ahlir-ra’yi lebih banyak menggunakan qiyas (analogi) dalam berijtihad, hal
ini disebabkan oleh:
-Sedikitnya jumlah hadits yang sampai ke ulama Irak dan ketatnya seleksi hadits yang mereka
lakukan, hal ini karena banyaknya hadits-hadits palsu yang beredar di kalangan mereka sehingga
mereka tidak mudah menerima riwayat seseorang kecuali melalui proses seleksi yang ketat. Di
sisi lain masalah baru yang mereka hadapi dan memerlukan ijtihad begitu banyak, maka mau
tidak mau mereka mengandalkan qiyas (analogi) dalam menetapkan hukum. Masalah-masalah
baru ini muncul akibat peradaban dan kehidupan masyarakat Irak yang sangat kompleks.
-Mereka mencontoh guru mereka Abdullah bin Mas’ud ra yang banyak menggunakan qiyas
dalam berijtihad menghadapi berbagai masalah.
Sedangkan madrasah ahli hadits lebih berhati-hati dalam berfatwa dengan qiyas, karena situasi
yang mereka hadapi berbeda, situasi itu adalah:
-Banyaknya hadits yang berada di tangan mereka dan sedikitnya kasus-kasus baru yang
memerlukan ijtihad.
-Contoh yang mereka dapati dari guru mereka, seperti Abdullah bin Umar ra, dan Abdullah bin
‘Amr bin ‘Ash, yang sangat berhati-hati menggunakan logika dalam berfatwa.
Perbedaan kedua madrasah ini melahirkan perdebatan sengit, sehingga membuat para ulama
merasa perlu untuk membuat kaidah-kaidah tertulis yang dibukukan sebagai undang-undang
bersama dalam menyatukan dua madrasah ini. Di antara ulama yang mempunyai perhatian
terhadap hal ini adalah Al-Imam Abdur Rahman bin Mahdi rahimahullah (135-198 H). Beliau
meminta kepada Al Imam Asy-Syafi’i rahimahullah (150-204 H) untuk menulis sebuah buku
tentang prinsip-prinsip ijtihad yang dapat digunakan sebagai pedoman. Maka lahirlah kitab Ar-
Risalah karya Imam Syafi’i sebagai kitab pertama dalam ushul fiqh.
Hal ini tidak berarti bahwa sebelum lahirnya kitab Ar-Risalah prinsip prinsip ushul fiqh tidak ada
sama sekali, tetapi ia sudah ada sejak masa sahabat ra dan ulama-ulama sebelum Syafi’i, akan
tetapi kaidah-kaidah itu belum disusun dalam sebuah buku atau disiplin ilmu tersendiri dan masih
berserakan pada kitab-kitab fiqh para ‘ulama. Imam Syafi’i lah orang pertama yang menulis buku
5
ushul fiqh, sehingga Ar Risalah menjadi rujukan bagi para ulama sesudahnya untuk
mengembangkan dan menyempurnakan ilmu ini.
Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ra memang pantas untuk memperoleh kemuliaan
ini, karena beliau memiliki pengetahuan tentang madrasah ahlil-hadits dan madrasah ahlir-ra’yi.
Beliau lahir di Ghaza, pada usia 2 tahun bersama ibunya pergi ke Mekkah untuk belajar dan
menghafal Al-Qur’an serta ilmu fiqh dari ulama Mekkah. Sejak kecil beliau sudah mendapat
pendidikan bahasa dari perkampungan Huzail, salah satu kabilah yang terkenal dengan kefasihan
berbahasa. Pada usia 15 tahun beliau sudah diizinkan oleh Muslim bin Khalid Az-Zanjiy – salah
seorang ulama Mekkah – untuk memberi fatwa.
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru kepada Imam penduduk Madinah, Imam Malik
bin Anas ra (95-179 H) dalam selang waktu 9 tahun – meskipun tidak berturut-turut – beserta
ulama-ulama lainnya, sehingga beliau memiliki pengetahuan yang cukup dalam ilmu hadits dan
fiqh Madinah. Lalu beliau pergi ke Irak dan belajar metode fiqh Irak kepada Muhammad bin
Hasan Asy-Syaibani ra (wafat th 187 H), murid Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit ra
(80-150 H).
Dari latar belakangnya, kita melihat bahwa Imam Syafi’i memiliki pengetahuan tentang kedua
madrasah yang berbeda pendapat, maka beliau memang orang yang tepat untuk menjadi orang
pertama yang menulis buku dalam ilmu ushul. Selain Ar-Risalah, Imam Syafi’i juga memiliki
karya lain dalam ilmu ushul, seperti: kitab Jima’ul-ilmi, Ibthalul-istihsan, dan Ikhtilaful-hadits.
Dapat kita simpulkan bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan munculnya penulisan ilmu ushul
fiqh:
-Mulai melemahnya kemampuan bahasa Arab di sebagian umat Islam akibat interaksi dengan
bangsa lain terutama Persia.
-Munculnya banyak persoalan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan memerlukan kejelasan
hukum, sehingga kebutuhan akan ijtihad kian mendesak.
6
1.Aliran Syafi’iyah dan Jumhur Mutakalimin (Ahli Kalam)
Permasalahan yang di dukung naqli dapat di jadikan kaidah.Terlalu difokuskan pada masalah
teoritis,sering tidak bisa menyentuhpermasalahan praktis. Aspek bahasa sangat dominan
seperti penentuan tentangtahsin (menganggap sesuatu itu baik dan dicapai akal atau
tidak),dan taqbih(menanggap sesuatu itu buruk dan dicapai akal atau tidak ).
Biasanya berkaitandengan pembahasan tentang hakim (pembuat hukum syara) yang berkaitan
puladengan masalah aqidah. Seringkali terjebak terhadap masalah yang tidak mungkinterjadi dan
terhadap kema’shuman Rosulallah SAW.
Karena dalam menyusun teorinya aliran ini banyak di pengaruhi oleh furu’yang ada dalam
mazhab mereka berusaha untuk menetapkan kaidah-kaidah yang mereka susun terhadapfuru’
apabila sulit,mereka mengubah kaidah baru agar bisa diterapkan padamasalah furu’
tersebut.
Kitab : Al-ushul (Imam Abu Hasan Al-karkhi), Al-ushul (Abu Bakar Al-Jashshash),Ushul Al-
sarakhsi (Imam Al-sarakhsi), ta’sis n-nazhar (Imam Abu ZaidAl-Dabusi) dan Al-kasyaf Al-Asrar
(Imam Al-Bazdawi).
Kitab-kitab ushul yang menggabungkan kedua teori :1. At-tahrir disusun oleh kalam Ad-din
Ibnu Al-Humam Al-Hanafi(w.861 H)2. Tanqih al-ushul ,disusun oleh Shadr Asy-Syari’ah
(w.747.H)3. Jam’u Al-Jawami , disusun oleh Taj Ad-din Abdul Al-Wahab As-SubkiAsy-Syafi’i
7
C.KESIMPULAN
.2. Karena timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahuihukumnya. Untuk itu, para
ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan
rujukan dalammenggali dan menetapkan hukum maka disusunlah kitab Ushul Fiqh.
3. Bahwa kegiatan ulama dalam penulisan Ushul Fiqh merupakan salahsatu upaya dalam menjaga
keasrian hukum syara. Dan menjabarkanya kehidupan sosial yang berubah-ubah itu, kegiatan
tersebut dimualipada abad ketiga hijriyah. Ushul Fiqh terus berkembang
menujukesempurnaanya hingga abad kelima dan awal abad 6H abad tersbutmerupakan abad
keemasan penulisan ilmu Ushul Fiqh karena banyakulama yang memusatkan perhatianya pada
bidang Ushul Fiqh danjuga muncul kitab-kitab Fiqh yang menjadi standar dan rujukan
untukUshul Fiqh selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA