101
AL-MAQĂŞID AL-SYARI’AH
DALAM SEJARAH PERKEMBANGAN FIQIH ISLAM
Imran Anwar Kuba1
Abstract: Islamic law developing points out a religion's thinking dynamics that alone and
figuring marks sense bump among religion, cultural social developing where sentences it
growing. While on the other side, historikal's evolution Islamic law developing no nonsense
have provided framework to Islamic thinking or more correct it actual working divides Islamic
developing characteristic. In common Rasulullah saw. have given basic to best friends while
front with jurisdictional problem. Who did by par a best friend on Rasulullah saw term, was
looked on as ijtihād in istinbāt's mean sentences that seb enarnya remembers law decision
making at that moment still lie on-hand Rasulullah. Even pencetus this flow Abu Ishāq al-
Syātibiy (w. 790 H), are not departing of zero, amun with its expertise feels equal to find,
accumulate and organizes ulama's conceptual terminologies in advance and merekontruksi is
fiqih's suggestions earlier one more dominant berkutat in text interpretation discourse. This flow
in contrast to previous flow just work through theory explanation bases ushul's theory or links
problem uş ūl by furu's problem. But tries to dig up aspect that constitute Syari's establishment
at, which is emphasis on orients ushul fiqih’s study to the effect establishment Syari’ah or more
one to be known by al-Maqāşid al-Syari’ah.
Abstrak: Perkembangan hukum Islam menunjukkan suatu dinamika pemikiran keagamaan itu
sendiri dan menggambarkan adanya benturan antara agama, perkembangan sosial-budaya
dimana hukum itu tumbuh. Sementara di sisi lain, evolusi historikal perkembangan hukum
Islam secara sungguh-sungguh telah menyediakan framework bagi pemikiran Islam atau lebih
tepatnya actual working bagi karakteristik perkembangan Islam. Secara umum Rasulullah saw.
telah memberikan dasar berijtihād kepada para sahabat ketika berhadapan dengan persoalan
hukum. Hasil ijtihād yang dilakukan oleh para sahabat pada masa Rasulullah saw. belum
dianggap sebagai ijtihād dalam arti istinbāt hukum yang sebenarnya mengingat pengambilan
keputusan hukum pada saat itu masih berada di tangan Rasulullah. Meski pencetus aliran ini
Abu Ishāq al-Syātibiy (w.790 H), tidak berangkat dari nol, namun dengan kepiawaiannya ia
sanggup menemukan, mengakumulasi dan mengorganisasikan istilah-istilah konseptual ulama
sebelumnya dan merekontruksi usul fiqih yang sebelumnya lebih dominan berkutat dalam
wacana interpretasi teks. Aliran ini berbeda dengan aliran sebelumnya hanya membahas
pemaparan teori berlandaskan teori ushul atau menghubungkan masalah uşūl dengan masalah
furu’. Tetapi berusaha menggali aspek yang mendasari penetapan Syari’at, yaitu penekanan
pada orientasi kajian ushul fikih terhadap tujuan penetapan Syari’ah atau yang lebih dikenal
dengan al-Maqāşid l-Syari’ah.
I. Pendahuluan
1
Dosen Luar Biasa Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum UIN Alauddin Makasar
Secara historis umat Islam membuktikan relevansi dan dinamika hukum Islam.
Tantangan yang timbul oleh perubahan sosial dalam sejarah umat Islam menuntut para
mujtahid untuk memberikan solusi hukum karena memang konsekwensi sebagai ajaran
terakhir diwahyukan menuntut agar syari’ah Islam memiliki dinamika yang sangat
tinggi, mampu mengatasi segala macam persoalan baru yang timbul oleh perubahan
sosial (sosial change).
Perkembangan hukum Islam menunjukkan suatu dinamika pemikiran
keagamaan itu sendiri dan menggambarkan adanya benturan antara agama,
perkembangan sosial-budaya dimana hukum itu tumbuh. Sementara di sisi lain, evolusi
historikal perkembangan hukum Islam secara sungguh-sungguh telah menyediakan
framework bagi pemikiran Islam atau lebih tepatnya actual working bagi karakteristik
perkembangan Islam sendiri. Sehingga kajian yang mendalam tentang sejarah
perkembangan hukum Islam ) (تاريخ تشريع االسالمtidak semata-mata historical value
tetapi juga menawarkan berbagai kemungkinan baru bagi perkembangan hukum Islam
berikutnya.
Hal ini sejalan dengan karakteristik hukum Islam, bahwa tidak hanya sekedar
memenuhi kebutuhan masyarakat zamannya, tetapi lebih dari juga menyiapkan suatu
warisan berharga untuk pembangunan hukum masa depan. Sebab wacana tentang
pembentukan dan pengembangan hukum Islam melalui ijtihād memang sangat erat
kaitannya dengan perubahan sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat.
Antara ijtihād di satu pihak dan perubahan sosial di lain pihak terdapat sebuah
interaksi. Ijtihād, baik secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh
perubahan-perubahan sosial yang diakibatkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta peradaban umat manusia sedangkan disadari bahwa perubahan-
perubahan sosial harus diberi arah oleh hukum sehingga dapat mewujudkan
kemaslahatan umat.
Dalam kajian sejarah perkembangan hukum Islam ) (تاريخ تشريع االسالم
periodesasi yang digambarkan oleh para ulama, perkembangan fikih dan ilmu usul fikih
tidak dapat dipisahkan sebab produk hukum yang terlahir bersifat waqi’iyyah yaitu
untuk memberikan solusi hukum terhadap persoalan yang ada pada saat itu, Sementara
disisi lain pengkodifikasian usul fikih nanti terjadi pada masa imam mujtahid.
Untuk itu dalam pembahasan ini akan diuraikan tentang perkembangan ilmu
usul fiqih dari masa risālah2 hingga periode Abū Ishāq al-Syatibi.
II. Pembahasan
A. Ijtihād Sebelum Usul Fiqih Terkodifikasi
2
Masa risālah adalah masa dimana Rasulullah saw hidup bersama para sahabat, yang bermula
dari turunnya wahyu pertama dan berakhir dengan wafatnya Rasulullah saw. Muhammad al-Gazāli,
Fiqh al-Syirah (Cet II : Kairo : Dār al Kitāb al Arabiy, 1986), h.15
Ketika Nabi Muhammad saw masih hidup segala permasalahan yang muncul di
masyarakat beliau jawab sendiri, baik melalui dengan wahyu maupun melalui hadis.
Dengan demikian, cukuplah al-Qur’an dan hadis yang menjadi pegangan ummat Islam
dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sebab dalam ajaran Islam, yang mempunyai
otoritas tertinggi dalam penetapan hukum hanya Allah swt.
Dalam posisi Rasulullah saw. sebagai pemberi penjelasan ( )المبينtentu tidak
lepas dari segala aspek kehidupan manusia namun secara umum telah memberikan
dasar kepada para sahabat dalam berijtihād ketika berhadapan dengan persoalan hukum
yang muncul di tengah masyarakat. Bahwa ijtihād itu telah ada sejak Rasulullah saw
Hal tersebut bisa ditelusuri melalui riwayat berikut :
إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم: أنه سمع رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يقول, عن عمرو بن العاص رضي هللا عنه
3
. إذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر, أصاب فله أجران
)(رواه البخارى عن إبن العاص
Artinya:
“Dari ‘Amr bin Al-Ash r.a, ia mendengar Rasulullah saw bersabda “apabila
seorang hakim menetapkan hukum lalu ia berijtihād dan ijtihādnya tersebut
benar maka ia mendapat dua pahala, dan apabila ijtihādnya tersebut salah maka
ia mendapat satu pahala”. (H.R. al- Bukhāri)
Nabi Muhammad saw sendiri telah memberikan isyarat akan kebolehan
melakukan ijtihād yang tampak dalam bentuk qiyās dalam hadis yang menyangkut
kasus yang dihadapi oleh Umar bin al-Khattāb4 yang mencium isterinya pada saat
berpuasa. Ketika Umar menanyakan apakah hal tersebut membatalkan puasa, Nabi saw
menjawabnya:
فصمه: فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم. ال بأس به: أريت لو تمضمضت بماء وأنت صائم ؟ قلت
)( رواه الدرامى عن عمر
Artinya:
“Bagaimanakah pendapatmu jika kamu berkumur-kumur dengan air sementara
engkau berpuasa?”. Umar menjawab: “tidak apa-apa”. Lalu Rasulullah saw.
Bersabda: jika demikian maka lanjutkan puasamu!”. (H.R. al-Darāmiy dari
Riwayat Umar)
3
Al-Bukhāri, Shahih al- Bukhāri, (Cet IV : Kairo – Egypt : Dār al-“ilmi, 1990 ), II, h. 91.
4
Nama lengkapnya adalah a-Farouq Umar bin al-Khattāb bin Nufā’il, lahir pada tahun 40
Sebelum Hijrah, termasuk diantara sepuluh orang sahabat Nabi yang dijamin masuk Surga, salah satu dari
putrinya yaitu Ummu al-Mu’minin Hafsah Binti Umar dipersunting oleh Nabi, ia adalah
Khulafaurrasyidin yang kedua dengan gelar Amir al-Mu’minin, yang sangat terkenal dengan terobosan-
terobosannya dalam berijtihad, terutama ketika ia tidak memberlakukan hukum potong tangan pada masa
paceklik yang terjadi pada masa pemerintahannya dan juga ketika ia tidak memberikan jatah zakat kepada
Muallafah al-Qulubûhum. Ia meriwayatkan 537 Hadis dari Rasulullah, beliau wafat dibunuh secara tragis
oleh Abu Lu’lu’ al-Majusi ketika sedang mengimani shalat subuh pada tahun 23 H. Lihat Muhammad
Ibrahim al-Shiddiqi,Dalil al-Falihin. ( Cet I : Makkah al-Mukarramah – KSA : Maktabah al-Faisaliyah,
t.th) II , h. 45.
Demikian kasus yang dihadapi oleh dua orang sahabat Nabi sementara dalam
perjalanan ketika masuk waktu shalat mereka bertayamum karena tidak ada air. Seusai
melaksanakan shalat tiba-tiba mereka mendapatkan air. Karena waktu masih
memungkinkan salah seorang diantara mereka mengulangi shalatnya, sementara yang
lain tidak mengulangi karena beranggapan shalat yang telah ia lakukan tetap sah. Lalu
keduanya mengisahkan hal tersebut kepada Rasulullah saw, Rasul membenarkan kedua
pendapat mereka. Kepada yang tidak mengulangi shalat Rasul berkata : أصبت السنة
( وأجزتك صالتكpendapat kamu sudah sesuai dengan sunnah dan shalat yang kamu
kerjakan sah). Sementara kepada yang mengulangi shalatnya Nabi mengatakan: لك األجر
( مرتينbagi kamu dua kali pahala).5
Salah satu contoh yang paling menarik dari persoalan ini adalah kasus yang
dihadapi oleh Khaulah Binti Tsa’labah6 yang di zhihār7 oleh suaminya Aus bin
Tsamith. Hal ini diajukan kepada Rasulullah saw. untuk meminta keputusan hukum.
Rasul mengatakan bahwa hal tersebut merupakan thalaq. Khaulah kemudian mendebat
Rasul dan menganggap kejadian tersebut bukan thalaq.
Peristiwa inilah yang menjadi penyebab turunnya wahyu ) ( أسباب النزولpada
surah QS. Al-Mujādilah /58: 1-4:
5
Lihat Ibnu Qayyim al-Jauzi’, I’lām al-Muwāqa’in ‘an Rab al- Alamin (Cet I : Beyrut –Lebanon
: Dār al-Jai, 1987) I, h.204.
6
Nama lengkapnya Khaulah binti Tsa’labah bin Mālik al-Khazrajiah, Salah seorang sahabat yang
digelari ( قد سمع هللا لهAllah mendengar ucapannya) lihat selengkapnya Mahmūd Abdullah al Ūkāz, Al
Ahkām al Syar’iyyah fi Ba’di al Ayātal Qur’aniyah (Cet I : Kairo: Jāmiah al Azhar Pub, 1998) H. 183
7
Dzihar adalah mengatakan kepada isterinya: kamu bagiku seperti punggung ibuku dengan
maksud dia tidak boleh lagi menggauli isterinya, sebagaimana ia tidak boleh menggauli ibunya. menurut
adat Jahiliyah kalimat zhihar seperti itu sudah sama dengan menthalak isteri. Maka Khaulah mengadukan
hal itu kepada Rasulullah saw., Rasulullah menjawab, bahwa dalam hal Ini belum ada keputusan dari
Allah. dan pada riwayat yang lain Rasulullah mengatakan: Engkau Telah diharamkan bersetubuh dengan
dia. lalu Khaulah berkata: Suamiku belum menyebutkan kata-kata thalak Kemudian Khaulah berulang
kali mendesak Rasulullah supaya menetapkan suatu Keputusan dalam hal ini, sehingga Kemudian
turunlah ayat ini dan ayat-ayat berikutnya. Ibid.
Terjemahnya:
“1.Sesungguhnya Allah Telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan
gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada
Allah. dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya
Allah Maha mendengar lagi Maha melihat 2. Orang-orang yang menzhihar
isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal)
tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita
yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh
mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah
Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.3. Orang-orang yang menzhihar isteri
mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan,
Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri
itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.4.Barangsiapa yang tidak mendapatkan
(budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum
keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi
makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya. dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada
siksaan yang sangat pedih”.
Secara umum Rasulullah saw. telah memberikan dasar berijtihād kepada para
sahabat ketika berhadapan dengan persoalan hukum. Satu hal yang perlu diingat bahwa
hasil ijtihād yang dilakukan oleh para sahabat pada masa Rasulullah Saw belum
dianggap sebagai ijtihād dalam arti istinbāt hukum yang sebenarnya mengingat
pengambilan keputusan hukum pada saat itu masih berada di tangan Rasulullah. Tetapi
dalam persoalan dimana Rasulullah tidak mendapat petunjuk wahyu, beliau membuka
peluang kepada para sahabat untuk memberikan argumentasi hal ini boleh jadi Rasul
mengikuti apa yang disarankan (baca: hasil ijtihād) para sahabat.
Dalam peristiwa perang Badar Rasulullah saw. menentukan suatu tempat untuk
mengistirahatkan pasukan Islam, namun salah seorang sahabat yaitu Hubāb bin Munzir
bertanya apakah penentuan tempat istirahat tersebut atas petunjuk wahyu atau
berdasarkan pemikiran Rasul sendiri? Rasul menjawab atas pertimbangan pemikiran
sendiri, saat itu para sahabat menyarankan tempat yang lebih cocok berdasarkan strategi
perang, Rasulullah mengikuti saran para sahabat. 8
8
Secara lengkap hadis tersebut dalam Ibnu Majāh , Sunan Ibn Maj āh (Kairo : Egypt Matba’ah
al Misriyah, 1924) II, h.16
Contoh lain penggunaan qiyās yang pernah dilakukan oleh rasul adalah ketika
para sahabat bertanya tentang pahala menggauli isteri, lalu rasul menjawab9 :
أرايتم لو: : أيأتى احدنا شهوته ويكون له فيها أجر ؟ قال صلى هللا عليه وسلم: قالو, وفى بضع احدكم صدقة...
فكذالك إذا وضعها فى الحالل كان له اجر,وضعتها فى الحرام أكان فيها وزر ؟
“…dalam setiap anggota tubuh kamu terdapat pahala sedekah, mereka para
sahabat bertanya: apakah kita mendapatkan pahala ketika menggauli isteri?
Rasulullah saw. menjawab: “berdosakah seseorang jika berzina? demikian pula
sebaliknya kalau dilakukan dengan cara yang halal maka kita akan mendapat
pahala”.
Jika kita membawa peristiwa tersebut dalam kerangka ilmu usul fiqih maka
dapat dikatakan bahwa embrio pemikiran ijithad telah muncul pada masa Rasul. Dalam
berinteraksi dengan persoalan yang muncul Rasul memang telah meletakkan pondasi
ilmu usul fiqih yang kelak akan menjadi acuan bagi generasi berikutnya.
Setelah Rasulullah saw. wafat gairah untuk melakukan ijtihād semakin
berkembang, hal ini disebabkan oleh dua hal:
1. Kuantitas persoalan fiqih semakin meningkat seiring dengan perluasan wilayah
Islam.
2. Tidak ada lagi pemegang otoritas tunggal, sehingga mengharuskan para sahabat
dan tabi’in mencari solusi dalam memecahkan persoalan-persoalan fikihiyah.
Hal ini dipelopori oleh para pemuka sahabat, terutama al-khulafā al-Rasyidīn
yaitu: Abu Bakar,10 Umar, Usman bin Affan,11 Ali,12 demikian juga para sahabat
yang lainnya.
Salah satu contoh yang berkaitan dengan ijtihād Abu Bakar tentang harta
peninggalan Rasulullah setelah terpilih menjadi khalifah. Dalam Q.S. Al-Nisā/4: 11.
9
Selengkapnya hadis ini dalam muslim, Shahih Muslim bi Syarhi al Nawawi (Cet I: Kairo –
Egypt : Matba’ah al Risalah, t.th) VII, h.91-92
10
Nama lengkapnya Abdullah bin Abi Qahāfah Usman bin Āmir, yang lebih dikenal dengan Abu
Bakar al-Shiddiq. Ia merupakan al-khulafa al-Rasyidin yang pertama, termasuk diantara sepuluh orang
sahabat yang dijamin masuk surga. Lahir di Mekkah al-Mukarramah pada tahun 51 sebelum Hijrah dan
wafat pada tahun 13 H. beliau meriwayatkan 142 Hadis . Lihat Muh.Ibrahim al-Shiddiqiy, Op.cit. II, h.
22.
11
Nama lengkapnya adalah Usman bin Affan bin Abi al-Ash, adalah al-khulafā al-Rasyidīn yang
ketiga, termasuk diantara sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk surga. Lahir di Mekkah al-
Mukarramah pada tahun 47 sebelum Hijrah. Wafat terbunuh secara tragis pada peristiwa berdarah al-
fitnah al-kubra pada tahun 35 H. beliau meriwayatkan 142 Hadis Rasulullah saw. Lihat Muh.Ibrahim al-
Shiddiqiy, Ibid. II, h. 142.
12
Nama lengkapnya adalah Ali bin Abu Thalib, adalah menantu Rasulullah dari putrinya Fatimah
al-Zahrah binti Muhammad. Al-Khulafā al-Rasyidīn yang keempat, termasuk diantara sepuluh orang
sahabat yang dijamin masuk surga. Lahir di Mekkah al-Mukarramah pada tahun 23 sebelum Hijrah , dan
wafat terbunuh di kufah pada tahun 40 H.Lihat Muh.Ibrahim al-Shiddiqiy,. Ibid. II, h.49
ditetapkan bahwa anak sebagai ahli waris berhak mendapat harta warisan apabila orang
tuanya meninggal dunia :
Terjemahnya:
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu
yaitu : bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan“
Ketika putri Rasul Fātimah al-Zahra mendatangi khalifah untuk meminta bagian
warisan selaku ahli waris dari Rasul, Abu Bakar menolak untuk memberikannya
dengan pertimbangan bahwa keumuman lafaz dari QS. Al-Nisā/4: 11. telah di takhşis
oleh hadis :
)(رواه الترمذى ما تركناه صدقة, نحن معاشر االنبياء ال نورث
Artinya:
“Kami sekalian para Nabi tidak mewariskan harta benda, apa yang kami
tinggalkan adalah sedekah.” (H.R. al Tirmidzi)
Dengan sendirinya harta peninggalan Rasul dimasukkan kedalam bait al māl
dan ahli waris Rasul menjadi tanggungan bait al-māl yang merupakan kewenangan
khalifah saat itu.
Khalifah kedua Umar bin Khattāb juga telah memberikan patokan berijtihād
dalam menghadapi persoalan yang membutuhkan solusi hukum, hal ini terlihat dalam
surat yang dilayangkan kepada salah seorang Gubernur Abu Musa al Asy’ari13 :
Adalah khalifah ke empat Adalah Ali bin Abi Thālib yang melakukan ijtihād
terhadap sanksi bagi yang meminum khamar dalam al-Qur’an memang ditegaskan
bahwa khamar itu haram, namun sanksi bagi peminumnya tidak ditetapkan. Ali
berpendapat bahwa sanksi peminum khamar adalah 80 kali dera karena pelanggaran
atau tindakan meminum khamar diqiyāskan kepada penuduh berzina, dengan
mengatakan14 :
وإذا هذى إفترى وعلى المفترى ثمنون جلدة, إنه إذا شرب هذى
Artinya:
“Apa dia minum (khamar) maka ia akan mabuk, kalau ia mabuk maka ia akan
mengada-ada dengan tuduhan yang tidak benar, sementara orang yang mengada-
ada dengan tuduhan yang tidak benar ganjarannya delapan puluh kali dera
(cambuk)”.
Kedekatan Rasulullah di satu pihak dan upaya memberi dan menerima
pengetahuan antara sahabat dan Rasulullah yang berlangsung di berbagai tempat di
pihak lain, telah menciptakan kesinambungan perkembangan pemikiran usul fiqih di
masa tabi’in, sebab dimasa para tabi’in menimba ilmu dari para sahabat yang berada di
13
Nama lengkapnya adalah : Abu Musa Abdullah al Asy’ari , ia riwayatkan 63 hadis , wafat di
usia 60 tahun di Mekkah pada Tahun 44 H, Muhammad bin Ibrahim al-Shiddiq, Op.cit., h. 80.
14
Muhammmad Salam Madkour , Manāhhij al Ijtihād fi al Islām (Cet I : Kuwait, Jāmiah al
Kuwait ,1974) h. 76
tengah mereka, sehingga lahirlah yang di kalangan tabi’in yang dikenal dengan فقهاء
( السبعةfuqāha tujuh) yaitu :15
1. Said bin Musayyab (w. 94 H.)
2. Urwah bin Zubair (w. 94 H.)
3. Abu Bakar bin Abdul Rahman (w. 94.)
4. Ubaidillah bin Utbah bin Mas’ud (w. 98 H.)
5. Kharij bin Zaid (w. 99 H.)
6. Qasim bin Muhammad (w. 106 H.)
7. Sulaiman bin Yasar (w. 107 H.)
Interaksi yang terus berlangsung antara sahabat dengan tabi’in telah membawa
pengaruh positif terhadap perkembangan Ijtihād. Pada abad II H. bermunculan ulama
usul fiqih, seperti :
1. Ibnu Abi Lail (w. 148 H.)
2. Abū Hanifa (w. 158 H.)
3. Zufar bin Huzail (w. 158 H.)
4. Abu Yusuf (w. 182 H.)
5. Muhammad bin Hasan al-Syaibāni (w. 189 H)
6. Mālik bin Anas (w. 189 H)
7. Abd. Rahman bin Qasim (w. 191 H)
Sementara itu perkembangan ijtihād dan fiqih semakin pesat sebagaimana yang
dikenal dalam sejarah perkembangan hukum Islam ) ( تاريخ التشريع االسالمي
mengindikasikan hal tersebut. Pada masa Rasulullah saw. dan masa sahabat (dari awal
abad I sampai akhir abad II H) bisa disebut sebagai fase pertumbuhan, sementara pada
masa tabi’in dan tiga kurun waktu berikutnya disebut fase pembinaan dan
pengkodifikasian fikih Islam yang berlangsung sejak akhir abad I hingga paruh pertama
abad IV Hijriyah16.
Pada fase kedua ini peradaban Islam termasuk fikih mengalami puncak kejayaan
pada hampir segala bidang, periode yang identik dengan periode keemasan itu lahir pula
mujtahid yang dikenal dengan ( االئمة األربعةimam mazhab yang empat).
Selain itu sejarah juga mencatat mujtahid yang terkenal pada periode ini:
1. Zaid bin Ali bin al-Husain (80-122 H.)
2. Ja’far al-Şādiq ( 80-148 H.)
3. Abdul Rahman al-Auzā’i ( 88-157 H.)
4. Dawud bin Ali bin Khalaf al-Zahiri ( 244-330 H.)
Zaid bin Ali bin al-Husain dan Ja’far al-Şādiq adalah imam dari mazhab syi’ah,
sementara mazhab fikih Abdul Rahman al-Auzā’i dan Dawud bin Ali bin Khalaf al-
Zahiri sudah dianggap punah karena berbeda dengan mazhab fikih yang berkembang
sampai sekarang ini.
15
Rasyād Hasan Khalil, Op.cit. h.104 .
16
Lihat Ibid, h.223
Dalam sejarah terdapat perbedaan tentang tokoh yang pertama kali menyusun
kaidah uśūl fiqih. Pendukung mazhab Abū Hanifah berpendapat bahwa yang pertama
kali menjelaskan metode istinbaţ dalam ilmu usul fikih adalah Abū Hanifah dalam
bukunya الراي17, diikuti oleh kedua orang muridnya Abū Yusūf18, Muhammad al
Syaibāni 19, disusul oleh Muhammad Idris al Syāfi’i dalam bukunya الرسالة.
Sementara di kalangan Syi’āh Imāmiyah juga mengakui bahwa yang pertama
kali menyusun kitab uśūl fiqih adalah Abū Ja’far Muhammad al Baqir ibn Ali Zain al
Ābidin20 dilanjutkan oleh putranya Abu Abdullah Ja’far al-Şādiq21. Sementara dari
kalangan jumhur ulama berpendapat bahwa yang pertama kali menyusun kitab ilmu
usul fiqih adalah Muhammad Idris al Syafi’i dalam bukunya الرسالة.
Para ulama sepakat bahwa aspek usul fiqih itu memang sudah ada sejak zaman
Rasulullah saw. yang menjadi polemik adalah siapa yang menyusun ilmu usul fiqih itu
sebagai ilmu tersendiri.
Apabila karya usul fikih itu sendiri yang menjadi standar dalam menentukan
penulisan dan penyusunan awal ilmu usul fiqih maka kitab Muhammad Idris al Syafi’i
الرسالةdapat dikatakan sebagai pioner dalam ilmu ini. Menurut Ibnu Khaldun22 bahwa
yang pertama kali menulis tentang ilmu usul fiqih adalah imam Syafi’i melalui الرسالة,
Syāfi’i mengemukakan tentang kaidah ushul fiqih seperti al-amr, al-nahyi, al-bayān,
nasakh, ‘illat dalam qiyās23, ini terjadi pada akhir abad II dan awal abad III H24.
Walaupun kitab الرسالةmerupakan karya yang pertama disusun dalam ilmu usul
fiqih, namun dalam rentang waktu berikutnya pemikiran ushul fiqih tidak hanya
17
Pengantar Abu al-Wafā al Afgāni dalam Abi Bakar Muhammad al Sarhāsī Uśūl al Sarhasī ,
jilid I (cet I : Dār alKutub al Ilmiah : Beyrut-Lebanon . 1993 ) h.3
18
Nama Lengkapnya adalah Ābū Yusūf Ya’kub bin Ibrāhim bin Habib al Anşarī, salah seorang
murid utama imam Abū Hanifah , wafat tahun 181 H, dantara karyanya adalah : أدب القاضي, كتاب الخراج
. lihat Muhammad al Gazāli Op.cit , h.38
19
Nama Lengkapnya adalah Muhammad bin Hasan al Syaibāni, lahir tahun 131 H dan wafat
pada tahun 189 H, diantara karyanya adalah : المبسوط. Lihat ibid.
20
Ia adalah Imam Syi’ah yang V, lahir Tahun 80 H. dan wafat Tahun 114 H. Abū Zahrah ,
Tarikh Al Mazāhib al Islamiyah fi al Siyāsah wa Aqāid wa Tarikh al Mazahib al Fikihiyyah ( Cet I :
Dār al Fiqr , t.th) h. 690
21
Dalam doktrin Syiah Imamiyah, Abu Abdullah Ja’far Shadiq adalah Imam yang VI
menggantikan bapaknya Muhammad al Bāqir. Ibid h.50
22
Nama lengkapnya adalah Abdul Rahman bin Muhammad bin Hasan, lahir pada tahun 732 H.
Dan wafat pada tahun 808 H. Lihat Ibn Khaldun. Muqaddimah, (Cet I : Kairo-Egypt : Dār Fiqr al-Arabiy,
1989) h. 4.
23
Lihat Ibid. H. 455.
24
Pada abad III adalah masa pemerintahan Bani Abbasiyah, pada masa ini terjadi perkembangan
pesat dalam kegiatan Ilmiyah yang ditandai dengan gerakan terjemah buku-buku yunani kedalam bahasa
Arab, hampir bisa dipastikan bahwa tidak ada ilmu keagamaan (Islam) yang berkembang sesudah dinasti
Abbasiyah ini kecuali prinsip-prinsip dasarnya telah diletakkan pada masa tersebut termasuk diantaranya
ushul fiqih. Lihat Ahmad Amin Duha al-Islam (Cet I : Kairo-Egypt : Maktabah Nahdah al-Misriyah,
1952) II h. 13
didominasi oleh pemikiran al-Syāfi’i, pemikiran lain yang juga turut mewarnai
perkembangan ilmu ushul fikih adalah pemikiran Abu Hanifah. Sehingga pada masa
berikutnya terlihat bermunculan aliran dalam ilmu usul fiqih.
Sebagai titik lemah dari aliran ini adalah pemikiran mereka kurang langsung
menyentuh realitas kehidupan masyarakat dan terlalu terikat dengan kaidah uşuliyah
yang mereka tetapkan. Sebab mereka memberikan penekanan pada aspek teori. Namun
di sisi lain hal tersebut membantu para ulama untuk melakukan penggalian hukum
dengan landasan teori yang telah mereka tetapkan.
Kitab usul fikih dalam aliran ini antara lain:
a. Al-Ta’rif wa al-Irsyād fi Tartib Turq al-Ijtihād oleh Abu Bakar al-Baqilāniy
al-Māliki (W. 403 H)
b. Al-Luma’ oleh Abu Ishaq al-Syarazi (W. 489 H)
c. Al-Burhān oleh Abu Ma’āli al-Juwaini (W. 478 H)
d. Al-‘Amda oleh Qadi’ Abu Hasan Abdul Jabbar al-Mu’tazilliy (W. 415 H)
e. Al-Mu’tamid oleh Abu Husain al-Basri (W. 436 H)
f. Al-Mustafa, al-Mankhul dan Syifa’u al-Galil oleh Abu Hamid Al-Gazhali
(W. 505 H)
Namun di antara kitab-kitab usul fikih mutakallimin tersebut yang menjadi kitab
standar adalah: al-Mu’tamid, al-Amda, al-Burhān, dan al-Mustasfa. Keempat kitab
inilah yang menjadi referensi ulama dalam usul fikih aliran mutakallimin sejak abad V
H.29
Lalu ulama yang datang pada periode berikutnya mengumpulkan ide pokok
keempat kitab tersebut yaitu imam Fakhruddin al-Rāzi (W. 606 H) dalam kitabnya al-
Mahşūl fi ‘Ilmi al-Uşūl dan Syaifuddin Abu Hasan Ali al-Amidi (W. 631 H) dalam
kitabnya al-Ihkam fi Uşūl al-Ahkām.
Kedua kitab ini kemudian mendapat perhatian serius di kalangan ulama uşūliy
mutakallimin generasi berikut dengan meringkas diantara ringkasan kitab al-mahshūl
adalah:
1. al-Tahşīl min al-Mahşūl oleh Sirajuddin al-Armawiy (w. 682 H)
2. al-Haşīl min al-Mahşūl oleh Taqyuddin al-Armawiy (w. 652 H) kedua kitab
ini diringkas oleh Syihābuddin al-Qarāfi’ dalam kitabnya : Tanqih al-Fuşūl
3. al-Manhāj al-Wuşūl ila ‘Ilmi Uşūl oleh Qādhi al-Baidhāwi’ (w. 675 H)
Kemudian kitab al-Manhāj al-Manhaj al-Wuşūl ila ‘Ilmi Uşūl karya al-
Baidhāwi ini yang menarik perhatian para ulama generasi berikutnya, di antara ulama
yang mensyarah kitab al-Manhāj al-Manhaj al-Wuşūl ila ‘Ilmi Uşūl adalah :
1. al-Ibhāj fi Syarh al Minhāj oleh Taqyuddin al-Sabki (w. 756 H) dan
putranya Tajuddin al-Sabki (w. 771 H)
2. Manāhij al-Uqūl Syarh al-Minhāj al-Wuşūl ila ‘Ilmi Uşūl oleh Muhammad
bin Hasan al-Badakhsyi (w. 862 H)
29
Lihat kata pengantar Dr. Abdul hamid Abu Zanida dalam al-Tahshīl min al-Mahshūl oleh
Sirajuddin al-Armawiy (Cet I : Beyrut-Lebanon : Muassasah al-Risalāh, 1988) I, h. 66.
3. Mi’raj al-Minhāj Syarh al-Minhāj al-Wushūl ila ‘Ilmi Uşūl oleh Syamsuddin
Muhammad al-Jaziriy (w. 711 H)
4. Nihāya al-Sūl fi Syarh al-Minhāj al-Wuşūl ila ‘Ilmi Uşūl oleh Jamaluddin
al-Asnāwi (w. 772 H)
Kitab Nihāya al-Sūl fi Syarh al-Minhāj al-Wuşūl ila ‘Ilmi Uşūl ini yang menjadi
buku pegangan dalam mata kuliyah ushul fiqih Fakultas Syari’ah pada Universitas al-
Azhar. Buku ini yang dikaji ulang oleh Muhammad Abu Nur Zuhairi lewat karyanya
Usul Fiqih sehingga bahasannya lebih sederhana dan mudah dipahami. Demikian upaya
yang ditempuh oleh Sya’ban Muhammad Ismail dalam kitab Tahzib Syarh al-Aznawi
‘ala al-Minhāj al-Wuşūl ila ‘Ilmi Uşūl.
Sementara kitab al-Ihkām karya al-‘Amidi mendapat perhatian para ulama di
antaranya : Muntaha al-Sūl wa al-Amal fi Ilmi al-Uşūl wa al-Jadal oleh Ibn al-Hajab
(w. 646 H) lalu kitab al-Muntaha diringkas lagi oleh pengarangnya dengan al-
Mukhtasar al-Muntaha.
Kitab yang disebutkan terakhir inilah yang banyak menarik perhatian para ulama
generasi berikutnya, diantara syarh kitab al-Mukhtasar al-Muntaha adalah :
1. Syarh al-Mukhtasar al-Muntaha oleh Qutubuddin Mahmud al-Syairāzi al-
Allamah (w. 710 H)
2. Syarh al-Mukhtasar al-Muntaha oleh Syamsuddin Mahmud al-Asfahāni (w.
749 H)
3. Syarh al-Mukhtasar al-Muntaha oleh ‘Ad al-Din al-Ijiy (w. 756 H)
Syarh al-Mukhtasar al-Muntaha oleh ‘Ad al-Din al-Ijiy (w. 756 H) mendapat
perhatian dari kalangan ulama, terbukti dengan adanya Hasyiah yaitu :
1. Hasyiah Syarh al-Mukhtasar al-Muntaha lil ‘Ad al-Din al-Ijiy oleh
Sahabuddin al-Taftazāni (w. 791 H)
2. Hasyiah Syarh al-Mukhtasar al-Muntaha lil ‘Ad al-Din al-Ijiy oleh
Syarifuddin al-Jarjani (w. 816 H).
1. Uşūl al-Jassās oleh Abu Bakar al-Rāzi al-Jassās al-Hanafi (w. 370 H)
2. Taqwim al-Adillah oleh Abu Zaid al-Dabūsi (w. 430 H)
3. Uşūl al-Bazdāwi oleh al-Bazdāwi (w. 482 H)
4. Uşūl al-Sarkhasiy oleh Abu Bakar al-Sarkhasiy (w. 483 H)
5. Manār al-Anwār oleh Hafizduddin al-Nasafi (w. 710 H)
Kitab Manār al-Anwār memiliki banyak syarh diantaranya Nasafi
1. Syarhu al-Manār oleh ‘Azzuddin Abdul Malik (w. 855 H)
Lalu Syarhu al-Manar oleh ‘Azzuddin Abdul Malik ini mendapat perhatian di
kalangan ulama untuk mengarang Hāsyiat yang merupakan penyerapan dari kitab
Syarhu al-Manār oleh ‘Azzuddin Abdul Malik ini, diantaranya adalah :
1. Hāsyiat Syarhu al-Manar oleh Syaikh ‘Azmi Zādih (w. 1013 H);
2. Hāsyiat Syarhu al-Manar oleh Syaikh Radhi’u al-Din al-Halabiy (w.972 H).
3. Aliran Gabungan
Aliran gabungan muncul sebagai upaya untuk memadukan antara aliran fuqāha
(Hanafiyah) dan aliran mutakallimin (Syafi’iyah). Sebab bagaimanapun juga di antara
kedua aliran sebelumnya terdapat kekurangan dan kelebihan, aliran ini berupaya untuk
mengambil sisi positif dari kedua aliran yang terdapat sebelumnya.30
Dalam mengemukakan kaidah usul fiqih, aliran ini tidak hanya membatasi diri
terikat dengan teori ushul fiqih yang telah mereka terapkan akan tetapi di samping itu
dalam kajian mereka memperhatikan penyesuain dengan hukum furu’iyah yang telah
ada sebagaimana yang terdapat dalam kitab :
1. Badi’ al-Nizām oleh Muzaffaruddin al-Saātiy (w. 694 H) kitab ini
merupakan gabungan antara kitab Uşūl al-Bazdāwi dari aliran Fuqaha dan
al-Ihkām fi Uşūl al-Ahkām dari aliran Mutakallimin.
2. Tanqih al- Uşūl oleh Sadr Syari’ah Ibn Mas’ud al-Bukhāri (w. 747 H) kitab
ini merupakan gabungan kitab al-Mahşūl fi Ilm al-Uşūl dari aliran
Mutakallimin dan kitab Uşūl al-Bazdāwi dari aliran Fuqahā.
30
Lihat Muh. Amin al-Damsyiqi, Op.cit ih. 45.
31
Lihat Ibid. h. 48.
3. Takhrij Furu’ ala al-Uşūl oleh Syihabuddin al-Zinjani (w. 656 H) kitab ini
lebih membahas persoalan ushul yang menjadi silang pendapat antara dua
mazhab fiqih yaitu Syafi’iyah dan Hanafiyah, sebab hal ini akan
berpengaruh dalam pembahasan fiqih pada mazhab tersebut.
4. Miftah al-Wuşūl ila Bina’i al-Furu’ ala al-Uuşūl oleh Syarif al-Tilmisaniy
al-Malikiy (w. 771 H). Kitab ini membahas persoalan ushuliyah yang
menjadi perbedaan pendapat dalam tiga mazhab fiqih yaitu : Hanafiyah,
Malikiyah dan Syafi’iyah, lalu menjelaskan pengaruh dari perbedaan
tersebut dalam furu’iyah.
5. Al-Tamhid fi Takhrij Furu’ ala al-Uşūl oleh Jamaluddin al-Asnawi (w.772
H)
6. Asar al-Ikhtilāf fi Qawā’id al-Uuşūliyah fi Ikhtilāfi al-Fuqāha oleh Mustafa
Said al-Khan (l. 1433 H) yang merupakan kitab ushul fikihi muqārin
(perbandingan) antara mazhab fiqih, buku ini merupakan disertasi yang
diajukan pada Fakultas Syari’ah Universitas al-Azhar.
Ishāq al-Syātibi ilmu usul fiqih tidak pernah lagi mendapat pengembangan, Kitab ushul
fiqih aliran ini adalah : al-Muwāfaqāt fi Uşūl al-Syari’ah oleh al-Syātibiy.
III. Simpulan
Pada masa sahabat, ijtihād benar-benar berfungsi sebagai alat untuk
mengistinbat hukum, bahkan dipandang sebagai kebutuhan yang harus dilaksanakan
untuk memberikan solusi terhadap persoalan yang ketentuan hukumnya secara tegas
tidak terdapat dalam al-Qur’an dan hadis.32
Secara sederhana, pemikiran uśul fiqih dapat terlihat dari mekanisme dan
rujukan yang dipergunakan oleh para sahabat dalam memecahkan masalah hukum.
Setelah periode sahabat berakhir, datang periode tabi’in dimulai sejak Hasan bin Ali33
menyerahkan jabatan Khalifah kepada Muāwiyah bin Abi Sofyān34 tahun 41 H.
Periode tabi’in merupakan masa peralihan. Peralihan yang dimaksud yaitu masa
sahabat yang hidup bersama (baca: berguru) kepada Rasul dengan masa tabi’ tabi’in
yang sama sekali tidak pernah bertemu dengan Rasul.
Kondisi ini menjadikan tabi’in sebagai perintis ke arah sistimatisasi penalaran
dan pengembangan hukum Islam. Hal ini bisa dibuktikan dengan lahirnya dua aliran
dalam berijtihād, aliran Hijāz yang berorientasi aśār atau hadis, dan aliran Iraq yang
berorientasi ra’yu atau penalaran.
Daftar Pustaka
Abdullah bin Abdul al-Rahman al-Daramiy, Sunan al-Daramiy, Cet II : Beyrut-
Lebanon : Dār al-Fiqr, t.th.
Abdul Hamid Abu Zanida dalam al-Tahshīl min al-Mahshūl oleh Sirajuddin al-
Armawiy, Cet I : Beyrut-Lebanon : Muassasah al-Risalāh, 1988.
Al-Bukhāri, Shahih al- Bukhāri, Cet IV : Kairo – Egypt : Dār al-‘ilmi, 1990.
Ibnu Majāh , Sunan Ibn Maj āh, Kairo : Egypt Matba’ah al Misriyah, 1924,
Ibnu Qayyim al-Jauzi’, I’lām al-Muwāqa’in ‘an Rab al- Alamin (Cet I : Beyrut Lebanon
: Dār al-Jai, 1987
Mahmūd Abdullah al-Ūkāz, Al-Ahkām al-Syar’iyyah fi Ba’di al-Ayātal Qur’aniyah,
Cet I : Kairo: Jāmiah al Azhar Pub, 1998.
Muhammad al-Gazāli, Al- Fikh al-Syirah, Cet II : Kairo : Dār al Kitāb al Arabiy, 1986.
Muhammad Ibrahim al-Shiddiqi, Dalil al-Falihin, Cet I : Makkah al-Mukarramah
KSA : Maktabah al-Faisaliyah, t.th.
32
Dalam al Qur’an pelarangan Khamar diterapkan secara berangsur, diawali bahwa mudharat
khamar lebih besar dari manfaatnya QS Al-Baqarah/ 2 : 19, lalu orang yang hendak shalat dilarang
meminum khamar QS An-Nisa/ 4 : 43, kemudian pengharaman secara mutlak QS Al-Maidah/5 : 90.
Ketiga ayat tersebut tidak menyebutkan sanksi bagi peminum khamar.
33
Nama lengkapnya Hasan bin Ali bin Abi Thālib, Cucu Nabi dari hasil perkawinan Fatimah
binti Muhammad dengan Ali., Muhammad al Ghazali Op.cit. h.151
34
Nama lengkapnya Muawiyah bin Abi Sofyan bin Sahar bin harb bin Umayyah , Pendiri
dinasti Umayyah, lahir di Makkah tahun 50 sebelum Hijrah wafat di Madinah tahun 60 H, Op.cit. h. 64.