Anda di halaman 1dari 15

PERADILAN PADA MASA KHULAFA AL-RASYIDIN

Disusun Oleh :
Yunia Eli Zahela (2111110003)
A. Pendahuluan
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW status sebagai Rasulullah tidak dapat diganti
oleh siapapun (khatami al-anbiya’ wa al-mursalin), tetapi kedudukan beliau yang kedua sebagai
pimpinan kaum muslimin mesti segera ada gantinya. Orang itulah yang dinamakan “Khalifah”
artinya yang menggantikan Nabi menjadi kepala kaum muslimin (pimpinan komunitas Islam)
dalam memberikan petunjuk ke jalan yang benar dan melestarikan hukum-hukum Agama Islam.
Dialah yang menegakkan keadilan yang selalu berdiri diatas kebenaran.
Maka setelah Nabi Muhammad SAW wafat, pemuka-pemuka Islam segera
bermusyawarah untuk mencari pengganti Rasulullah SAW. Setelah terjadi perdebatan sengit
antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin, akhirnya terpilihlah sahabat Abu Bakar sebagai
Khalifah, artinya pengganti Rasul SAW yang kemudian disingkat menjadi Khalifah atau Amirul
Mu’minin.
Keputusan Rasulullah SAW yang tidak menunjuk penggantinya sebelum beliau wafat
dan menyerahkan pada forum musyawarah para sahabat merupakan produk budaya Islam yang
mengajarkan bagaimana cara mengendalikan negara dan pemerintah secara bijaksana dan
demokratis. Sejak saat itulah Islam memasuki periode baru yang dipimpin oleh Khulafaur
Rasydin, terjadi beberapa perubahan dalam corak pemerintahan dan islam semakin berkembang.
Khulafaur Rasydin yang terdiri dari Abu Bakar As-shidiq, Umar bin Khatab, Usman bin Afan,
serta Ali bin Abi Thalib memberikan warna tersendiri pada perkembangan peradilan Islam dan
akan dibahas lebih mendalam dalam makalah ini.
Setelah Nabi Muhammad Saw., sahabat, sebagai generasi Islam pertama, meneruskan ajaran dan
misi kerasulan. Berita meninggalnya Nabi Muhammad Saw. merupakan peristiwa yang
mengejutkan sahabat. Sebelum jenazah Nabi dikubur, sahabat telah berusaha memilih
penggantinya sebagai pemimpin negara. Abu Bakar adalah sahabat pertama yang terpilih
menjadi pemimpin umat Islam. Abu Bakar digantikan oleh Umar bin Khattab, Umar bin Khattab
digantikan oleh Usman bin Affan, dan Usman bin Affan digantikan oleh Ali bin Abi Thalib.
Empat pemimpin umat tersebut dikenal sebagai Khulafa al-Rasyidun (para pemimpin yang
diridhai).1
Abu al-Hasan al-Mawardi (disingkat al-Mawardi) dalam bukunya al-Ahkam al-Sulthaniyah
(hukum pemerintahan) menyatakan bahwa tugas utama seorang khalifah adalah menjaga
kesatuan umat dan pertahanan negara. Untuk itu ia mempunyai beberapa hak tertentu. Ia berhak
memaklumkan perang dan membangun tentara untuk menjaga keamanan dan batas negara. Ia
1
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2003), cet. III, hlm.
37.

1
harus menegakkan keadilan dan kebenaran. la harus berusaha agar semua lembaga negara
memisahkan antara yang baik dengan yang tidak baik, melarang hal-hal yang tercela, menurut
ketentuan Al-Qur'an. Ia mengawasi jalannya pemerintahan dan menarik pajak sebagai sumber
keuangan negara. Ia menjadi hakim yang mengadili sengketa hukum, menghukum mereka yang
melanggar hukum dan melarang segala macam penindasan. Ia mensahkan soal-soal akidah dan
hukum yang sudah disepakati oleh ahli-ahli hukum. la tidak berhak mencampuri kekuasaan
Sulthah al-Tasyri'iyah (legislatif). Dengan kekuasaan Sulthah al-Tanfiziyah (eksekutif) yang
dimilikinya ia melakukan sentralisasi untuk menjaga persatuan umat.
Pengangkatan seorang khalifah dapat terjadi (1) dengan persetujuan masyarakat sebagai
yang terjadi dalam kasus Abu Bakar, atau dengan (2) penunjukan khalifah sebelumnya seperti
dalam kasus Umar. Jika diperlukan, pemilihan dapat dibentuk suatu badan khusus
menyelenggarakan pemilihan itu. Sesudah dipilih khalifah harus berjanji bahwa ia akan
memenuhi kewajiban yang dipercayakan kepadanya. Ia harus melaksanakan janjinya dengan
setia. Sebab tanggung jawab dan kewajibannya sebagai kepala negara jauh lebih berat dari pada
hak-hak istimewa yang ada padanya. Ia mendapat janji setia (bai'at) dari rakyat atau wakil-
wakilnya yang memenuhi syarat.2

A. Peradilan pada Masa Abu Bakar


Abu Bakar adalah ahli hukum yang tinggi mutunya. Ia memerintah dari tahun 632 sampai
634 M. Sebelum masuk Islam, ia terkenal sebagai orang yang jujur dan disegani, ikut aktif
mengembangkan dan menyiarkan Islam. Atas usaha dan seruannya banyak orang terkemuka
memeluk agama Islam yang kemudian terkenal sebagai pahlawan-pahlawan Islam ternama. Dan
karena hubungannya yang sangat dekat dengan Nabi Muhammad Saw., beliau mempunyai
pengertian yang dalam tentang jiwa Islam lebih dari yang lainnya. Karena itu pula pemilihannya
sebagai khalifah pertama adalah tepat sekali.
Di masa Abu Bakar tidak tampak ada suatu perubahan dalam lapangan peradilan ini,
karena kesibukannya memerangi sebagian kaum muslimin yang murtad sepeninggal Rasulullah
Saw., dan kaum pembangkang menunaikan zakat dan urusan-urusan politik dan pemerintahan
lainnya, di samping belum meluasnya wilayah kekuasaan Islam pada masa itu. Dalam masalah
peradilan, Abu Bakar mengikuti jejak Nabi Muhammad Saw., yakni ia sendirilah yang
memutuskan hukum di antara umat Islam di Madinah. Sedangkan para gubernurnya memutuskan
hukum di antara manusia di daerah masing-masing di luar Madinah. Adapun sumber hukum
pada Abu Bakar adalah Al-Qur'an, Sunnah, dan Ijtihad setelah pengkajian dan musyawarah
dengan para sahabat. Dapat dikatakan bahwa pada masa pemerintahan Abu Bakar ada tiga

2
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2006) hlm. 170.

2
kekuatan, pertama, quwwat al-syari'ah (legislatif). Kedua, quwwat al-qadhaiyyah (yudikatif di
dalamnya masuk peradilan) dan ketiga, quwwat al-tanfiziyyah (eksekutif).3
Diriwayatkan, bahwa pada masa Abu Bakar, urusan peradilan diserahkan kepada Umar
bin Khattab selama dua tahun lamanya, namun selama itu tidak pernah terjadi adanya sengketa
yang perlu dihadapkan ke muka pengadilan, karena dikenalnya Umar sebagai orang yang sangat
keras dan juga karena faktor pribadi-pribadi kaum Muslim pada masa itu yang dikenal sebagai
sangat saleh dan toleran terhadap sesama Muslim, sehingga faktor inilah yang sangat membantu
tidak terwujudnya selisih sengketa di antara mereka.7 Selama dua tahun, hanya terdapat dua
orang yang berselisih dan mengadukan permasalahannya kepada Umar karena beliau terkenal
dengan ketegasan yang dimilikinya. Selain itu, Abu Bakar juga mengutus Anas sebagai hakim ke
Bahrain. Maka tercatatlah dalam sejarah orang yang pertama kali menjadi qadhi dalam Islam
pada awal masa khalifah al-Rasyidin adalah Umar bin Khattab.4
Diberitahukan oleh al-Baghawy dari Maimun bin Mihran, katanya: "Adalah Abu Bakar
apabila menghadapi suatu perkara dan apabila datang sesuatu pengaduan kepadanya,
memerhatikan kandungan Al-Qur'an. Jika ada dalam Al Qur'an hukum tentang perkara yang
telah timbul itu, beliau pun menghukumkan perkara itu dengan ketetapan yang ada dalam Al-
Qur'an. Jika tidak mendapatkan hukumnya dalam Al-Qur'an, beliau memerhatikan Sunnah yang
beliau telah mengetahuinya. Jika beliau memperoleh Sunnah dalam perkara itu, beliau pun
memutuskannya menurut ketetapan Sunnah.5 Apabila tidak juga beliau dapati sesuatu ketetapan
dalam sunnah, pergilah beliau menanyakan hadis-hadis Nabi tentang itu kepada para sahabat lalu
beliau memutuskan perkara menurut hadis yang beliau dapati dari seseorang yang dipercaya.
Jika tak ada sesuatu hadis yang dapat diriwayatkan kepadanya sesudah beliau menanyakan ke
sana kemari, beliau mengumpulkan ahli-ahli ilmu dan orang-orang yang terkemuka dari para
sahabat untuk berembuk dan berunding. Maka apa yang disepakati oleh ahli perundingan itu,
itulah yang beliau pergunakan untuk menetapkan hukum dan menyelesaikan serta memutuskan
pertikaian". Demikian sikap Abu Bakar dalam memutuskan suatu hukum.6
Ringkasnya, langkah-langkah yang dilakukan Abu Bakar dalam istinbath al-ahkam
adalah sebagai berikut.
1. Mencari ketentuan hukum dalam Al-Qur'an. Apabila ada, ia putuskan berdasarkan
ketetapan yang ada dalam Al-Qur'an.
2. Apabila tidak menemukannya dalam Al-Qu'ran, ia mencari ketentuan hukum
dalam Sunnah; bila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada dalam
Sunnah.
3. Apabila tidak menemukannya dalam Sunnah, ia berta nya kepada sahabat lain
apakah Rasulullah Saw. telah memutuskan persoalan yang sama pada zamannya.

3
"Muhammad Salim Madkur, Peradilan dalam Islam, alih bahasa Imron AM, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993), cet. IV,
hlm. 41.
4
Samir Aliyah, alih bahasa Asmuni Solihan Zamakhsyari, Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam,
(Jakarta: Khalifa, 2004) hlm. 302.
5
"Abdul Wahab Najjar, Khulafa al-Rasyidin, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1990), cet. II, hlm. 205.
6
"Muhammad Salam Madkur, loc.cit. Samir 'Aliyah, loc.cit.

3
Jika ada yang tahu, ia menyelesaikan persoalan tersebut berda....sarkan
keterangan dari yang menjawab setelah memenuhi beberapa syarat.7
4.
Jika tidak ada sahabat yang memberikan keterangan, ia mengumpulkan para
pembesar sahabat dan bermusya warah untuk meyelesaikan persoalan yang
dihadapi. Jika ada kesepakatan di antara mereka, ia menjadikan kesepakatan itu
sebagai keputusan.

Doktor „Athiyyah Mushthofâ Musyrafah menukil dari Syaikh Muhammad Bakhît al-
Muthî‟î di dalam kitabnya yang berjudul; Hakîkat al-`Islâmi wa `Ushûl al-Hukm:

"... ‫"و في خالفة أ بي بكر تو لى عسر بن الخطاب الفضاء فكان أول قاض في اإلسالم لخاليفة‬

(… dan pada kekhalifahan Abu Bakar, beliau (Abu Bakar) menganggkat Umar bin
al-Khatthâb sebagai hakim, maka adanya Umar adalah awal-awalnya hakim di
dalam Islam bagi khalifah)

Menurut Doktor „Athiyyah, pendapat al-Muthî‟î ini tidak dapat dibenarkan. Ini
dikarenakan Umar adalah khalifah yang paling awal menentukan para hakim yang
dikhususkan untuk menjadi hakim bagi pertikaian yang terjadi di antara manusia.
Sedangkan Abu Bakar RA hanya mewakilkannya kepada Umar bin al-Khattab
kadang-kadang untuk melihat kasus-kasus agar dicarikan inti pertikaiannya. Hanya
saja, kekuasaan yudisial ini tidak dimiliki Umar secara khusus, Umar juga tidak
disebut hakim pada zaman Khalifah Abu Bakar RA. Umar juga tidak hanya bertugas
sebagai hakim kadang-kadang, malahan Umar mendapatkan tugas menjadi imam dan
lainnya.8

Langkah-langkah Abu Bakar dalam Istinbath Hukum, sebagai berikut :


1. Mencari ketentuan hukum dalam Al-Qur‟an. Apabila ada, ia putuskan berdasarkan
ketetapan yang ada dalam Al-Qur‟an.
2. Apabila tidak menemukannya dalam A1-Qu‟ran, ia mencari ketentuan hukum dalam
Sunnah; bila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada dalam Sunnah.
3. Apabila tidak menemukannya dalam Sunnah, ia bertanya kepada sahabat lain apakah
Rasulullah Saw. Telah memutuskan persoalan yang sama pada zamannya. Jika ada
yang tahu, ia menyelesaikan persoalan tersebut berdasarkan keterangan dari yang
menjawab setelah memenuhi beberapa syarat.

7
"Athiyah Masyrafah, al-Qadha fi al-Islam, (Mesir: Syirkat al-Syarqi al-Ausath, 1966), cet. II, hlm. 93.
8
Jaih Mubarak, op.cit., hlm. 39.

4
4. Jika tidak ada sahabat yang memberikan keterangan, ia mengumpulkan para
pembesar sahabat dan bermusyawarah untuk meyelesaikan persoalan yang dihadapi.
Jika ada kesepakatan di antara mereka, ia menjadikan kesepakatan itu sebagai
keputusan.

B. Peradilan pada Masa Umar bin Khattab


Setelah Abu Bakar meninggal dunia, Umar menggantikan kedudukannya sebagai
Khalifah ke-2. Pemerintahan Umar bin Khattab ini berlangsung dari tahun 634 sampai 644 M.
Satu hal yang perlu dicatat terlebih dahulu tentang kebijakan kebijakan Umar dalam melanjutkan
usaha pendahulunya adalah: (1) Umar turut aktif menyiarkan agama Islam. la melanjutkan usaha
Abu Bakar meluaskan daerah Islam sampai ke Palestina, Syria, Irak, dan Persia di sebalah Utara
serta ke Mesir di Barat Daya; (2) menetapkan tahun Islam yang terkenal dengan tahun Hijriah
berdasarkan peredaran bulan (gamariyah), dibandingkan dengan tahun Masehi (miladiyah) yang
didasarkan pada peredaran matahari. Perbedaan di an tara tahun ini setiap tahun adalah 11 hari.
Penetapan tahun Hijriah ini dilakukan Umar pada 638 M; (3) Sikap tolerannya terhadap pemeluk
agama lain. Hal ini terbukti ketika beliau hendak mendirikan masjid di Jerussalem (Palestina).
Beliau minta izin kepada pemuka agama lain di sana, padahal beliau adalah pemimpin dunia
waktu itu.
Ketika Islam semakin tersebar, masalah hukum semakin bertambah, dan semakin meluas
pula peranan para gubernur. Oleh karena itu Umar bin Khattab memisahkan peradilan (yudikatif)
dari pemerintahan (eksekutif), dan mengangkat beberapa orang sebagai hakim selain para
gubernur. Umar mengangkat Abu Darda' sebagai hakim di Madinah, Syuraih sebagai hakim di
Bashrah, dan Abu Musa al-'Asy'ari sebagai hakim di Kufah.13 Umar melakukan hal yang sama
dengan Abu Bakar. Sebelum mengumpulkan sahabat untuk bermu syawarah, ia bertanya kepada
sahabat lain: "Apakah kalian mengetahui bahwa Abu Bakar telah memutuskan kasus yang
sama?" Jika pernah, ia mengikuti keputusan itu. Jika tidak ada, ia mengumpulkan sahabat dan
bermusyawarah untuk meyelesaikannya. Sebagaimana yang dikutip dari (Umar Sulaiman al-
Asyqar, 1991: 75). Salah satu wasiat Umar ra. kepada seorang qadhi (hakim) pada zamannya,
yaitu Syu raih.9

Wasiat tersebut adalah:

9
Muhammad Daud Ali, op.cit., hlm. 175. Samir Aliyah, loc.cit.

5
1. Berpeganglah kepada Al-Qur'an dalam menyelesaikan

2. kasus.

3. Apabila tidak ditemukan dalam Al-Qur'an, hendaklah engkau berpegang kepada Sunnah.

4. Apabila tidak didapatkan ketentuannya dalam Sunnah,

5.
berijtihadlah.

Kepada Abu Musa al-Asy'ari, Umar pernah berpesan yang isinya mengandung pokok-pokok
penyelesaian perkara di muka sidang, yang ternyata disambut dan diterima di kalangan 'Ulama
serta dihimpunlah daripadanya pokok-pokok hukum. Isi suratnya sebagai berikut.

"Amma ba'du. Sesungguhnya memutuskan perkara adalah fardhu yang dikokohkan dan sunnah yang
harus diikuti. Lalu pahamilah apabila diajukan kepadamu (suatu perkara), dan putuskanlah apabila telah
jelas (kedudukannya), karena sebenarnya tidaklah ada artinya bicara soal keadilan tanpa ada
pelaksanaannya. Sama ratakanlah manusia (pihak-pihak yang berpekara) dalam majelismu, dalam
pandanganmu, dan dalam keputusanmu, sehingga orang yang berpangkat tidak akan mengharapkan
penyelewenganmu, dan orang yang lemah tidak sampai putus asa mendambakan keadilanmu. Bukti itu
wajib atas penggugat (penuduh), sedangkan sumpah itu wajib atas pihak yang menolak
(gugatan/tuduhan). Dan boleh mengadakan perdamaian di antara kaum Muslim, kecuali perdamaian yang
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Barangsiapa yang mendakwakan sesuatu hak
yang tiada ada di tempatnya, atau suatu bukti, maka berilah tempo kepadanya sampai ia dapat
membuktikan dakwaannya, kemudian kalau ia dapat membuktikannya, maka berikanlah haknya itu, tetapi
kalau ia tidak mampu membuktikannya, karena yang demikian itu lebih mantap bagi keuzurannya dan
lebih menampakkan barang yang tersembunyi. Janganlah sekali-kali menghalangi kepadamu, sesuatu
keputusan yang telah engkau jatuhkan hari ini, kemudian engkau tinjau kembali, lalu engkau memperoleh
petunjuk agar engkau kembali kepada kebenaran, karena sesungguhnya kebenaran itu harus didahulukan,
tidak dapat dibatalkan oleh apa pun, sedang kembali kepada kebenaran itu lebih baik daripada terus
bergelimang dalam kebatilan. Orang orang Islam itu dianggap adil sebagian mereka terhadap sebagian
yang lain, kecuali orang yang pernah memberikan kesaksian palsu atau orang yang pernah dijatuhi
hukuman had, atau orang yang diragukan tentang asal-usulnya, karena sesungguhnya Allah yang
mengetahui rahasia-rahasia manusia dan menghindarkan hukuman atas mereka, kecuali dengan adanya
bukti-bukti atau sumpah-sumpah. Kemudian 10pahamilah dengan sungguh sungguh tentang perkara yang

10
Jaih Mubarok, op.cit., hlm. 40.

6
diajukan kepadamu, yang tidak terdapat ketentuan hukumnya di dalam Al-Qur'an dan tidak terdapat pula
dalam Sunnah Nabi Muhammad Saw., kemudian bandingkanlah perkara-perkaran itu, dan perhatikanlah
perkara yang serupa hukumnya dengan perkara-perkara itu,kemudian pegangilah mana hukum yang
menurut pendapatmu lebih diridhai Allah dan lebih mendekati kebenaran. Hindarkanlah dirimu dari
marah, pikiran yang kacau, rasa jemu, menyakiti orang yang berpekara, dan bersikap keras pada waktu
mengha dapi mereka, karena memutus perkara di tempat yang benar adalah termasuk pekerjaan yang
dipahalai Allah dan membawa nama baik. Maka barangsiapa memurnikan niatnya demi mencari
kebenaran, walaupun merugikan diri sendiri, maka Allah akan memberinya kecukupan, dan barangsiapa
berlagak memiliki keahlian yang tidak ada pada dirinya, maka pasti Allah akan membuka rahasia
kejelekannya itu, karena sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal dari hamba-Nya kecuali amal
yang didasari dengan ikhlas, lalu bagaimanakah persangkaanmu tentang pahala dari Allah, baik yang
akan segera diberikan maupun yang ada di dalam perbendaharaan rahmat-Nya"

Para hakim pada masa Umar merujuk kepada Al-Qur'an Jika tidak mendapati hukum dalam Al-
Qur'an mereka mencarinya dalam Sunnah. Tapi jika mereka tidak mendapat kan sesuatu di
dalamnya, mereka bertanya kepada fuqaha mujtahidin, apakah di antara mereka terdapat orang
yang mengerti sesuatu dalam Sunnah mengenai perkara yang dihadapi. Jika didapatkan, mereka
berpedoman dengan apa yang dikatakan orang yang mengetahuinya tersebut setelah dilakukan
upaya penguatan. Jika tidak didapatkan, mereka berijtihad secara kolektif jika topik
permasalahan terdapat hubungan dengan prinsip-prinsip dasar jamaah, dan berijtihad secara
individu dalam masalah-masalah sektoral yang khusus dengan individu. ¹7

Berikut ini adalah sebagian contoh kasus peradilan pada masa Umar bin Khattab, sebagaimana
dikutip dari kitab Turats al-Khulafa al-Rasyidin, yaitu:

a. Masalah nasab
Seorang anak mengaku di depan Umar bahwa seorang wanita adalah ibunya. Maka,
wanita tersebut datang dengan beberapa orang yang bersaksi bahwa dia belum menikah dan anak
tersebut telah berbohong. Umar pun memerintahkan untuk menghukumnya dengan had qazaf
(tuduhan zina). Lalu, hal tersebut terdengar oleh Ali, maka dia mengintervensi perkara ini dan
menawarkan kepada anak tersebut agar menikahi wanita yang diakui sebagai ibunya. Wanita itu
pun berteriak: "Allah, Allah, itu neraka. Demi Allah, dia adalah anakku". Kemudian dia
mengakui bahwa keluarganya telah menikahinya dengan seseorang tanpa kerelaannya, lalu ia
mengandung anak ini darinya, dan suaminya pergi berperang lalu terbunuh. Kemudian dia

7
mengirimkan anaknya kepada kaum yang bersedia merawatnya, dan tidak mengakuinya sebagai
anak. Maka, Ali menetapkan nasab anak tersebut dengan 18 wanita yang ditunjukinya.11

b. Masalah makar perempuan.


Seorang perempuan sangat tertarik kepada seorang pemuda, maka dia menuangkan zat
putih pada bajunya dan di antara dua pahanya. Lalu perempuan itu mengadu kepada Umar bin
Khattab dengan mengatakan bahwa pemuda tersebut memperkosanya seraya mengisyaratkan
bekas-bekas yang dibuatnya. Pemuda itu pun menolak dakwaan tersebut, dan Umar mengalihkan
masalah ini kepada Imam Ali. Ali memerin tahkan untuk diambilkan air panas lalu dituangkan
pada baju, dan mengeraslah zat yang putih tersebut, sehingga tampak jelas letak kebenaran sebab
kecerdasan Ali dan kecermatan pandangannya. Demikianlah bentuk penyelesaian secara
kimiawi. Akhirnya, Imam Ali bertanya kepada wanita tersebut dan dia mengakui rekayasanya
sehingga tuduhannya tersebut ditolak.

Di antara hakim di masa Umar adalah Abu Maryam lyas bin Shabih al-Hanafi, yang diangkat
sebagai hakim di Bashrah, kemudian dipecat berdasarkan laporan masyarakat tentang kelemahannya.
Pentecatan itu disebabkan bahwa Umar mendengar ketika Abu Maryam sedang menyelesaikan
perselisihan dua orang tentang uang satu dinar, maka Abu Maryam mendamaikan keduanya dengan
menyerahkan dinar dari uangnya sendiri. Maka Umar menulis surat kepadanya, "sesungguhnya saya
tidak menugaskan kamu untuk memu tuskan hukum di antara manusia dengan uang kamu. Tapi saya
menugaskan kamu agar kamu memutuskan di antara mereka dengan kebenaran"

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, keadaan daerah kekuasaan Islam semakin luas dan
pemerintahan menghadapi berbagai masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya, disebabkan
terjadinya pertemuan beberapa kebudayaan, sehingga Umar perlu untuk memisahkan kekuasaan
Eksekutif dan Yudikatif (Kekuasaan Peradilan dan Pemerintahan).

Para hakim pada masa Umar merujuk kepada Al-Qur‟an. Jika tidak mendapati hukum dalam
Al-Qur‟an mereka mencarinya dalam Sunnah. Tapi jika mereka tidak mendapatkan sesuatu di
dalamnya, mereka bertanya kepada fuqaha mujtahidin, apakah di antara mereka terdapat orang yang
mengerti sesuatu dalam Sunnah mengenai perkara yang dihadapi. Jika didapatkan, mereka
berpedoman dengan apa yang dikatakan orang yang mengetahuinya tersebut setelah dilakukan upaya

11
Ibid., hlm. 306.

8
penguatan. Jika tidak didapatkan, mereka berijtihad secara kolektif jika topik permasalahan terdapat
hubungan dengan prinsip-prinsip dasarjamaah, dan berijtihad secara individu dalam masalah-masalah
sektoral yang khusus dengan individu.12
Di antara hakim di masa Umar adalah Abu Maryam Iyas bin Shabih al-Hanafi, yang diangkat
sebagai hakim di Bashrah, kemudian dipecat berdasarkan laporan masyarakat tentang kelemahannya.
Pemecatan itu disebabkan bahwa Umar mendengar ketika Abu Maryam sedang menyelesaikan
perselisihan dua orang tentang uang satu dinar, maka Abu Maryam mendamaikan keduanya dengan
menyerahkan dinar dari uangnya sendiri. Maka Umar menulis Surat kepadanya, “sesungguhnya saya
tidak menugaskan kamu untuk memu- tuskan hukum di antara manusia dengan uang kamu. Tapi
saya menugaskan kamu agar kamu memutuskan di antara mereka dengan kebenaran”.

C. Peradilan pada Masa Usman bin Affan


Pemerintahan Usman bin Affan berlangsung dari tahun 644-656 M. Ketika dipilih, Usman
telah berusia 70 tahun. Di masa pemerintahannya perluasan daerah Islam diteruskan ke Barat sampai
ke Maroko, ke Timur menuju India, dan ke Utara bergerak menuju Konstantinopel.

Usman bin Affan adalah orang pertama yang mengkhu suskan kantor untuk peradilan,
sedangkan peradilan dalam masa dua khalifah sebelumnya dilaksanakan di masjid. Usman selalu
bermusyawarah dengan Ali dan yang lain sebelum mengeluarkan hukum. Usman pernah
menawarkan jabatan peradilan kepada Abdullah bin Umar, namun ditolak meskipun Usman
mendesak, dan Abdullah bin Umar berkata kepadanya: "apakah kamu tidak mendengar Rasulullah
Saw. bersabda: "barangsiapa yang mohon perlindungan kepada Allah, maka lindungilah dia", dan
saya berlindung kepada Allah jika saya menjabat dalam peradilan"

Peradilan pada masa Usman sama seperti peradilan di masa dua sahabat sesudahnya. Usman
mengutus petugas petugas sebagai pengambil pajak dan penjaga batas-batas wilayah untuk menyeru
amar ma'ruf nahi munkar, dan terha dap masyarakat yang bukan Muslim (ahli dzimmah) berlaku
kasih sayang dan lemah lembut serta berlaku adil terhadap mereka. Utsman memberikan hukuman

12
Ibid., hlm. 307.

9
cambuk terhadap orang yang biasa minum arak, dan mengancam setiap orang yang berbuat bid'ah
dikeluarkan dari kota Madinah, dengan demikian keadaan masyarakat selalu dalam kebenaran.13

Usman bin Affan tidak mengangkat hakim di Madinah hingga dia meninggal dunia. Salah
satu contoh kasus yang langsung diselesaikan Usman, yaitu Ali bin Abi Thalib pada masa Umar telah
membangun pematang untuk menutup aliran air antara tanahnya dan tanah Thalhah bin Abdullah,
lalu keduanya mengadukan perkara tersebut kepada Usman bin Affan. Maka, Usman pergi bersama
kedua belah pihak ke tempat pematang hingga dia melihatnya. Kemudian dia berkata: "Saya melihat
tidak ada bahaya yang disebabkan pematang ini, dan dia juga telah ada sejak masa Umar. Sebab
jika pematang ini sebagai kezaliman niscaya Umar tidak akan membiarkannya" Tindakan yang
dilakukan oleh Usman ini adalah serupa pada masa kita ini dengan pembuktian materi yang
dilakukan oleh hakim dengan melihat langsung tempat kejadian perkara.

D. Peradilan pada Masa Ali bin Abi Thalib


Ali bin Abi Thalib memerintah dari tahun 656-662 M. Sejak kecil ia dididik dan diasuh oleh
Nabi Muhammad Saw. Ali sering kali ditunjuk oleh Nabi menggantikan beliau menye lesaikan
masalah-masalah penting. Semasa pemerintahannya Ali tidak banyak dapat berbuat untuk
mengembangkan hukum Islam, karena keadaan negara tidak stabil. Di sana sini timbul bibit-bibit
perpecahan yang serius dalam tubuh umat Islam.

Nabi Muhammad Saw. telah bersaksi bahwa peradilan sebagaimana yang diputuskan Ali,
atau umatku yang terbaik peradilannya adalah Ali, atau yang terbaik peradilannya di antara kamu
adalah Ali. Para sahabat juga bersaksi, di antaranya Abdullah bin Mas'ud dan Abu Hurairah, bahwa
Ali adalah penduduk Madinah yang terbaik hukumnya. Umar juga berkata tentang dia: "yang terbaik
hukumnya di antara kami adalah Ali". Bahkan Umar berlindung kepada Allah Swt. dari kesulitan
yang terjadi jika tidak terdapat Abu al-Hasan. di mana dia mengatakan, „jikalau bukan Ali, niscaya
Umar akan binasa".14

13
Muhammad Daud Ali, op.cit., hlm.
14
Samir 'Aliyah, lo.cit.,

10
Ali menetapkan hukum diantara manusia di Madinah. Ketika keluar ke Bashrah dia
mengangkat Abdullah bin Abbas sebagai gantinnyadi Madinah, dan mengangkat Abu Aswad al-
Du‟ali dalam masalah pemerintahan di Bashrah dan sekaligus dalam peradilan. Namun kemudian,
dia dipecat setelah beberapa waktu karena banyaknya dia berbicara. Sebab bicaranya melebihi
pembicaraan dua pihak yang berseteru (penggugat dan tergugat). Ali mengangkat al-Nakha'i sebagai
Gubernur di Ustur. Ali berpesan agar al-Nakha'i bertakwa kepada Allah Swt. agar hatinya diliputi
rasa kasih sayang dan kecintaan kepada rakyat, dan agar bermusyawarah dan memilih penasihat-
penasihat. Ali juga menjelaskan tentang siasat pemerintahan. Ia berkata (memesan) tentang khusus
urusan qadhi: "di antara rakyatmu yang engkau pandang mampu yang tidak disibukkan oleh urusan-
urusan lain dan anjurkanlah agar mereka bersabar dalam usaha mengungkapkan tabir yang
menyelimuti rahasia perkara yang sebenarnya".

Berikut sebagian contoh kasus yang terjadi pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib.
Seorang pemuda mengaku di depan Imam Ali bahwa bapaknya pergi bersama beberapa orang dalam
berpergian. Ketika pulang, mereka mendalihkan bahwa bapaknya telah meninggal dan tidak
meninggalkan harta apa pun, Maka, Amir al-Mukminin memerintahkan dua seperti polisi untuk
masing-masing tertuduh dengan cermat tentang kapan kepergian mereka, dan bagaimana didapatkan
hartanya. Juga tentang bagaimana dia dimakamkan, di mana tempat tempatnya, dan pertanyaan-
pertanyaan yang mendetails itu. Namun ternyata jawaban masing-masing itu berbeda dengan yang
lain. Dia memerintahkan untuk menahan mereka, dan masing-masing mengira bahwa kawannya telah
mengaku. Ketika itulah mereka mengakui masalah sebenarnya. Akhirnya, Imam Ali menetapkan
denda kepada mereka dan hukuman mati dengan qishash. Peristiwa ini menetapkan tentang bolehnya
memisahkan para terdakwa untuk mencermati permasalahan yang sebenarnya, dan bahwa pengakuan
yang muncul akibat tersebut dinilai benar dan tidak ada unsur paksaan.

Pada masa khalifa al-rasyidin ini terkenal seorang qadhi yang amat bijaksana yang bernama
Syuraih. Pada saat diangkat sebagai hakim, Syuraih bin al-Harits bukanlah seorang yang tidak
dikenal oleh masyarakat Madinah atau seorang yang kedudukannya tidak terdeteksi oleh ulama dan
Ahli Ra'yi dari kalangan para pembesar Sahabat dan Tabi'in. Orang-orang besar dan generasi dahulu,
telah mengetahui kecerdasan dan kecerdikan Syuraih yang sangat tajam, akhlaknya yang mulia dan

11
pengalaman hidupnya yang lama dan mendalam. Dia adalah seorang berkebangsaan Yaman dan
keturunan Kindah, mengalami hidup yang tidak sebentar pada masa jahiliah.15

Ketika jazirah Arab telah bersinar dengan cahaya hidayah, dan sinar Islam telah menembus
bumi Yaman, Syuraih termasuk orang-orang pertama yang beriman kepada Allah Swt. dan Rasul
Nya serta menyambut dakwah hidayah dan kebenaran. Waktu itu mereka telah mengetahui
keutamaannya dan mengakui akhlak dan keistimewaannya. Mereka sangat menyayangkan dan
bercita-cita andaikata dia ditakdirkan untuk datang ke Madinah lebih awal sehingga bertemu
Rasulullah Saw. sebe lum beliau kembali kepada Tuhannya, dan mentransfer ilmu beliau yang jernih
bersih secara langsung, bukan melalui perantara dan supaya beruntung mendapatkan predikat "sa
habat" setelah mengenyam nikmatnya iman. Dengan begitu, dia akan dapat menghimpun segala
kebaikan. Akan tetapi, dia sudah ditakdirkan untuk tidak bertemu dengan Rasulullah Saw.

Umar al-Faruq ra. tidaklah tergesa-gesa, ketika menem patkan seorang Tabi'in pada posisi
besar di lembaga peradilan, sekalipun pada waktu itu langit-langit Islam masih bersinar dengan
bintang-bintang sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Waktu telah membuktikan
kebenaran firasat Umar dan ketepatan tindakannya di mana Syuraih menjabat sebagai hakim di
tengah kaum muslimin sekitar enam puluh tahun berturut-turut tanpa putus.

Pengakuan terhadap kapasitasnya dalam jabatan ini dila kukan secara silih berganti sejak dari
pemerintahan Umar, Usman, Ali hingga Muawiyah radhiyallahu anhum. Begitu pula dia diakui oleh
para khalifah Bani Umayah pasca Mua wiyah, hingga akhirnya pada zaman pemerintahan al-Hajjaj
dia
meminta dirinya dibebaskan dari jabatan tersebut. Dan pada waktu itu dia telah berumur 107 tahun,
di mana hidupnya diisi dengan segala keagungan dan kebesaran.

Sejarah Peradilan Islam telah bergelimang dengan sikap Syuraih yang menawan dan berkibar
dengan ketundukan kalangan elite dan awam kaum muslimin terhadap Syariat Allah Swt. yang
ditegakkan Syuraih dan penerimaan me reka terhadap hukum-hukum-Nya. Buku-buku induk penuh
dengan keunikan, berita, perkataan, dan tindakan tokoh langka satu ini.

15
Muhammad Daud Ali, op.cit., hlm. 180.

12
Di antara contohnya adalah, bahwa suatu hari Ali bin Abi Thalib ra. kehilangan baju besinya
yang sangat disu kainya dan amat berharga baginya. Tidak lama dari itu, dia menemukannya berada
di tangan orang kafir dzimmi. Orang itu sedang menjualnya di pasar Kufah. Ketika beliau melihatnya,
beliau mengetahui dan berkata: "Ini adalah baju besiku yang jatuh dari ontaku pada malam anu, di
tempat anu." Lalu kafir dzimmi itu berkata: "Ini adalah baju besiku dan sekarang ada di tanganku,
wahai amirul mu'minin." Lalu Ali berkata: "Itu adalah baju besiku, aku belum pernah menjualnya
atau memberikannya kepada siapa pun, hingga kemudian bisa jadi milik kamu."

Lalu orang kafir itu berkata: "Mari kita putuskan melalui seorang hakim kaum muslimin."
Lalu Ali ra. berkata: "Kamu benar, mari kita ke sana." Kemudian keduanya pergi mene mui Syuraih
al-Qadhi, dan ketika keduanya telah berada di tempat persidangan, Syuraih berkata kepada Ali ra.
"Ada
apa wahai amirul mu'minin?" Lalu Ali ra. menjawab: "Aku telah menemukan baju besiku di bawa
orang ini, baju besi itu telah terjatuh dariku pada malam anu dan di tempat anu. Kini ia telah berada
di tangannya tanpa melalui jual beli ataupun hibah." Lalu Syuraih berkata kepada orang kafir itu:
"Dan apa jawabmu, wahai orang laki-laki?” Lalu dia menjawab: "Baju besi ini adalah milikku dan ia
ada di tanganku tapi aku tidak menuduh Amirul mu'minin berdusta." Maka Syuraih menoleh ke arah
Ali ra. dan berkata: "Aku tidak meragukan bahwa anda adalah orang yang jujur dalam perkataanmu,
wahai amirul mu'minin, dan bahwa baju besi itu adalah milikmu, akan is tetapi anda harus
mendatangkan dua orang saksi yang bersaksi atas kebenaran apa yang anda klaim tersebut."

Lalu Ali ra. berkata: "Baiklah! Budakku Qanbar dan anakku al-Hasan akan bersaksi
untukku." Maka Syuraih berkata: "Akan tetapi kesaksian anak untuk ayahnya tidak boleh, wahai
Amirul mu'minin." Lalu Ali ra. berkata: "Ya Subhanallah!. Orang dari ahli surga tidak diterima
kesaksiannya!. Apakah anda tidak mendengar bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: "al-Hasan dan
al-Husain adalah dua pemuda ahli surga." Lalu Syuraih berkata: "Benar wahai Amirul mu'minin!
namun aku saja tidak menerima kesaksian anak untuk ayahnya." Setelah itu Ali menoleh ke arah
orang kafir itu dan berkata: "Ambillah, karena aku tidak mempunyai saksi selain keduanya." Maka

13
kafir dzimmi itu berkata: "Akan tetapi, aku bersaksi bahwa baju besi itu adalah milikmu, wahai
amirul mu'minin."16

Kemudian dia meneruskan perkataannya: “Ya Allah! Kok ada amirul mu‟minin
menggugatku dihadapan hakim yang diangkatnya sendiri, namun hakimnya malah meme nangkan
perkaraku terhadapnya!! Aku bersaksi bahwa agama yang menyuruh ini pastilah agama yang hak.
Dan aku bersaksi bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwasanya
Muhammad adalah hamba dan utusan Allah." Ketahuilah wahai Qadhi, bahwa baju besi ini adalah
benar milik amirul mu'minin. Aku mengikuti tentara yang sedang berangkat ke Shiffin (Suatu daerah
di Syria, di sana terjadi peperangan besar antara Ali ra. dan Muawiyah) lalu menemukan baju besi
terjatuh dari unta berwarna abu-abu, lalu ." Maka Ali ra. berkata kepadanya, "Karena memungutnya."
engkau telah masuk Islam, maka aku menghibahkannya kepadamu, dan aku memberimu juga seekor
kuda."

Kesimpulan

Ketika para khalifah dihadapkan suatu perkara kepada mereka dan disuruh memberikan
fatwa hukum, maka para khalifah mencari ketentuan hukumnya dalam Kitaballah, bila tidak
menemukan ketentuan hukum dalam al-Qur‟an maka mereka mencarinya dalam sunnah Nabi
dan Ijma‟.

Seperti Abu Bakar, umar, atau dengan menyumpah pembawa sunnah tersebut atas
kebenarannya sebagaimana yang dilakukan Ali bin Abi Thalib. Pada periode ini, para Qadli
belum mempunyai sekretaris atau catatan yang menghimpun hukum-hukum produk Qadlanya,
karena Qadli lah yang melaksanakan sendiri segala keputusan yang dikeluarkannya, demikian
juga qadli pada masa itu belum mempunyai tempat kusus (Gedung Pengadilan), sehingga mula-
mula seorang qadli hanya berada di rumah, kemudian pihak-pihak yang berpekara itu datang
kerumahnya, lalu diperiksa dan diputuskan disitu juga. Kemudian dalam perkembangan
selanjutnya, masjidlah yang dijadikn tempat untuk menyelesaikan segala sengketa dimana fungsi
masjid yang sebenarnya tidaklah sebatas hanya untuk melakukan sembahyang saja, tetapi
merupakan pusat bagi pemecahan segala urusan sosial, seperti pengadilan, pengajaran, dan
memecahkan berbagai masalah

16
Samir 'Aliyah, op.cit., hlm. 306.

14
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Salim Madkur. (1993). Peradilan Dalam Islam . Suabaya: Pt. Bina Ilmu.
Prof. Dr. Alaiddin Koto, M.A. (2016). Sejarah Peradilan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Samir Aliyah. (2004). Peradilan Adat Dalam Islam. Jakarta: Khalifah.

15

Anda mungkin juga menyukai