Anda di halaman 1dari 14

M.

Rosyid Ridlo
M. Fatikhurrozaq
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Semenjak wafatnya Rasulullah SAW,makin banyak masalah baru dalam hukum


mulai muncul hal itu menimbulkan kebingungan dalam penentuan hukum tersebut.Para
sahabat pengganti Rasulullah SAW atau yang biasa disebut Khulafaurrasyidin beristinbat
dengan pemikiranmereka masing-masing namun tidak menyimpang dari hukum yang
ditetapkan dalam Al Quran dan Hadist.
Khulafaurrasyidinsemenjak hidupnya dekat dengan Rasulullah SAW, sehingga
mereka mengetahui aspek hukum islam, Namun seiring perkembangan zaman banyak
permasalahan baru yang mana hukumnya belum terdapat dimasa Rasulullah sehingga
membutuhkan pemikiran para sahabat. Mereka berfatwa sesuai ijtihad yang telah mereka
lakukan.Dan menjadikan ijtihad mereka sebagai hukum islam yang sesuai perkembangan
zaman.
Dari penguraian diatas kita sebagai umat islam harusmengetahui fatwa sahabat
sebagai metode istinbat hukum islam yang dulu menjadi kontroversi dikalangan sahabat
lain. Oleh karena itu dalam makalah ini kami akan membahas fatwa-fatwa yang
dikeluarkan sahabat untuk menentukan hukum islam yang kemudian hukum itu dipakai
sampai sekarang.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian fatwa?
2. Apa saja ijtihad di masa Khulafa ar-Rasyidin?
3. Apa maksud ijtihad jamai dan ijtihad fardhi?

1 | Page

BAB II
PEMBAHASAN
A. Fatwa
1. Pengertian

Fatwa secara syariat bermakna, Penjelasan hukum syariat atas suatu permasalahan
dari permasalahan-permasalahan yang ada, yang didukung oleh dalil yang berasal dari AlQuran, Sunnah Nabawiyyah, dan ijtihad.Fatwa merupakan perkara yang sangat urgen
bagi manusia, dikarenakan tidak semua orang mampu menggali hukum-hukum syariat jika
mereka diharuskan memiliki kemampuan itu, yakni hingga mencapai taraf kemampuan
berijtihad, niscaya pekerjaan akan

terlantar, dan roda kehidupan akan terhenti.

[Mafaahim al-Islaamiyyah, juz 1, hlm. 240].


Menurut Prof. Amir Syarifuddin, fatwa atau ifta berasal dari kata afta, yang berarti
memberikan penjelasan. Secara definisi fatwa yaitu usaha memberikan penjelasan tentang
hukum syara oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya. 1 Fatwa Sahabat
adalah jawaban, pendapat, atau putusan atas sebuah hukum yang disampaikan atau
diberikan oleh Sahabat Nabi. Selain menerangkan tentang maksud dari sebuah ayat AlQur'an dan maksud dari sebuah Hadis, para sahabat juga memberikan sebuah fatwa terkait
sebuah hal dimana pada zaman Muhammad masih hidup tidak ada hal tersebut. Setiap
fatwa yang mereka berikan, bukanlah berdasarkan pada akal mereka saja, tetapi tetap
berasaskan Al-Qur'an dan Hadis. Oleh karena itu, Jumhur Ulama atau Sekumpulan ulama
ahli Hukum Islam telah sepakat bahwa pendapat para sahabat dapat dijadikan dalil atas
sebuah hukum perkara. Diantara banyaknya Sahabat Nabi, sahabat yang banyak
memberikan fatwa antara lain Ali bin Abi Talib, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas,
dan lain sebagainya.2
Dari rumusan itu dapat diketahui hakikat dan ciri-ciri berfatwa sebagai berikut :
1) Ia adalah usaha memberikan penjelasan.
2) Penjelasan yang diberikan itu adalah tentang hukum syara yang diperoleh melalui
hasil ijtihad.
3) Yang memberikan penjelasan itu adalah orang yang ahli dalam bidang yang
dijelaskannya itu.

1 Mardani, Ushul Fiqih, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hlm. 374.


2http://id.wikipedia.org/wiki/Fatwa_SahabatdiaksesJumat, 24 April 2015 pukul 14.30
WIB

2 | Page

4) Penjelasan itu diberikan kepada orang yang bertanya yang belum mengetahui

hukumnya. 3
Fatwa adalah bahasa arab, yang berarti jawaban pertanyaan, atau hasil ijtihad
atau ketetapan hukum. Maksudnya ialah ketetapan atau keputusan hukum tentang
sesuatu masalah atau peristiwa yang dinyatakan oleh seorang mujtahid, sebagai hasil
ijtihadnya.
Sebagai contohnya ialah bila A seorang mujtahid dihadapkan kepada persoalan nikah tanpa
wali, kemudian ia A memikirkannya dengan menggunakan dalil-dali Syari atau dengan
menggunakan cara-cara mengistimbathkan hukum, kemudian mengambil kesimpulan
bahwa tidak sah menikah tanpa wali. Kesimpulan pendapat atau ketetapan hukum yang
dikemukakan A ini disebut fatwa. Sedang si A yang berfatwa disebut mufti.
Fatwa sahabat dengan ijtihadnya dalam istinbat hukum islam tidak serta merta
keinginan dan keegoisan sendiri melainkan sesuai dengan syarat ijtihad yang sudah
ditentukan. Adapun ijtihad khulafaurrasyidin diukur dengan batasan-batasan ijtihad, yaitu:
1) Bahwa ijtihad harus berupa usaha yang sungguh-sungguh seorang mujtahid. hal ini

2)

3)
4)

5)

terpenuhi pada khulafaurrasyidin karena mereka seorang mujtahid dan ijtihad


mereka dilakukan ditengah-tengah kesulitan yang sedang dihadapi. Seperti
ijtihadnya Abu Bakar dalam memerangi nabi palsu dan orang yang tidak mau
membayar zakat.
Bahwa tujuan ijtihad adalah untuk mencapai hukum syara yang bersifat dhanni
(hukum yang masih bisa dikembangkan). Seperti ijtihadnya Umar bin Khattab
tidak memberikan bagian zakat pada al muallafQulubuhum.
Bahwa yang dituju ijtihad adalah hukum yang bersifat operasional (amali). Seperti
ijtihadnya Utsman bin Affan dalam pengumpulan Al Quran dalam satu dialek.
Bahwa cara untuk mendapatkan hukum yang dituju dengan istinbat yaitu upaya
seorang mujtahid atau fiqih dalam menggali hukum islam dari sumber-sumbernya.
Seperti ijtihad Abu Bakar memerangi umat islam yang tidak membayar zakat,
sekalipun sudah ada nash yaitu hadist Rasulullah namun Abu Bakar menganalisa
bahwa kalam yang dipakai itu kalam khabar bukan kalam nahi karena Nahi
menunjukkan keharusan meninggalkan. Jika dilakukan maka menunjukkan
keharaman.
Obyek ijtihad harus diambil dari dalil-dalil nas yang dzanni (belum ada dalilnya
sama sekali).4

2. Kedudukan Fatwa dalam Hukum Islam

3 Mardani, Ushul Fiqih, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hlm. 374.


4Sobirin, Ijtihad Khulafa al-Rasyidin, (Semarang:RaSAIL Media Group,2008) hlm 218
3 | Page

Fatwa mempunyai kedudukan tinggi dalam agama Islam. Fatwa dipandang sebagai
salah satu alternative yang bisa memecahkan kebekuan dalam perkembangan hukum Islam
dan ekonomi Islam. Fatwa merupakan salah satu alternatif untuk menjawab perkembangan
zaman yang tidak tercover dengan nash-nash keagamaan (An-nushush al-syariyah).Nashnash keagamaan telah berhenti secaara kuantitasnya, akan tetapi secara diametral
permasalahan dan kasus semakin berkembang pesat seiring dengan perkembangan zaman.
Dalam kondisi seperti inilah fatwa menjadi salah satu alternatif jalan ke luar mengurai
permasalahan dan peristiwa yang muncul.
Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum islam untuk memberikan
jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi oleh umat Islam. Bahkan umat Islam
pada umumnya menjadikan fatwa sebagai rujukan di dalam bersikap dan bertingkah laku.
Sebab, posisi fatwa di kalangan masyarakat umum, laksana dalil di kalangan para
mujtahid. Artinya, kedudukan fatwa bagi warga masyarakat yang awam terhadap ajaran
agama Islam, seperti dalil bagi mujtahid.5
B. Ijtihad Di Masa Khulafa ar-Rasyidin

Sebelum kita mambahas mengenai ijtihad dimasa Khulafaurrasyidin perlu diketahui


bahwasanya ijtihad menurut bahasa berasal dari kata ijtahada-yajtahidu ijtihaadanyang
berarti usaha keras atau pengerahan daya upaya untuk memperoleh sesuatu. sedang ijtihad
secara terminologi bermakna pengerahan segala kesanggupan seorang faqih untuk
memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara. Berikut ini adalah
contoh ijtihad para Khulafaurrasyidin:

1. Ijtihad Abu Bakar dan latar belakang pemikirannya.

Memerangi orang yang tidak mau membayar zakat


a. Pokok permasalahan
Setelah Rasulullah wafat Abu Bakar di angkat menjadi pengganti Rasul
dalam segi pemerintahannya. Di masa pemerintahannya muncul orang-orang yang
enggan membayar zakat dan mengaku dirinya sebagai nabi. Karena hal itu
akhirnya Abu Bakar mengajak musyawarah para sahabat untuk menentukan sikap
dan tindakan kepada mereka. Dalam musyawarah tersebut muncul dua pendapat:
pendapat pertama( kubu Abu Bakar ) mereka semua harus diperangi sebagaimana
mereka yang murtad dan pendapat kedua ( kubu Umar bin Khottob ) mereka
5 Mardani, Ushul Fiqih, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hlm. 375-377
4 | Page

harus diperangi kecuali mereka yang ingkar membayar zakat , sebab mereka
masih beriman. Namun setelah diputuskan akhirnya pendapat pertamalah yang
dilaksanakan. Adapun hadist tentang ijtihad Abu Bakar pada masalah ini:



:
:


:




:






:
1 : 24 :

Artinya :
Abu Hurairah r.a. berkata: Ketika Nabi saw. wafat, dan Abubakar Assiddiq
r.a. terangkat sebagai khalifah, dan terjadilah orang-orang yang murtad (ya'ni
telah menolak sebagian dari kewajiban-kewajiban dalam Islam). Maka Umar r.a.
berkata kepada Abuba-kar r.a.: Bagaimana, atau dengan alasan apakah anda akan
memerangi orang-orang itu, padahal Nabi saw. telah bersabda: Aku diperin-tah
memerangi orang-orang itu sehingga mereka mengakui La ilaha illallah, maka
siapa telah mengakuinya (mengucapkannya) berarti terpelihara daripadaku harta
dan jiwanya, kecuali menurut hak Islam, dan perhitungan mereka terserah kepada
Allah. Jawab Abubakar r.a.: Demi Allah aku akan memerangi orang yang
membedakan antara kewajiban shalat dengan kewajiban zakat, sebab zakat itu
kewajiban harta kekayaan, demi Allah jika mereka menolak kewa-jiban zakat
meskipun sebesar anak kambing, yang biasa mereka serahkan kepada Nabi saw.
pasti akan aku perangi mereka karena menolak zakat itu. Kemudian Umar r.a.
berkata: Demi Allah, benar-benar Allah telah membuka hati Abubakar r.a.
sehingga saya sadar bahwa itulah yang benar (Bukhari, Muslim).6
6Muhammad Fuad Abdul Baqi, Terjemahan Lulu Wal Marjan, (Semarang:Pustaka Nuun,2012) hlm5
5 | Page

b. Latar belakang pemikiran Abu Bakar


Pertimbangan yang melatarbelakangi Abu Bakar mengambil sikap tersebut
adalah
1) Abu bakar telah menangkap dengan tajam semua yang terjadi saat itu dan
beliau menyadari betul bahwasanya tuntutan mereka mengandung bahaya
untuk masa depan.
2) Zakat merupakan rukun islam yang wajib ditunaikan dan pada zaman
rasulullah juga wajib bagi umat islam membayar zakat sehingga pada
zaman abu bakar hal itu harus tetap dilaksanakan juga.
3) Jika abu bakar mengambil sikap kompromi dengan mereka berarti beliau
telah membuka pintu kemaksiatan yang lain. Dari sini nampaknya Abu
bakar menggunakan metode sad al-zariah.
2. Ijtihad Umar Bin Khattab dan latar belakang pemikirannya.

Berkaitan Hukuman Potong Tangan Terhadap pencuri


a. Pokok masalah
Dalam al-Quran surat Al Maidah ayat 38 menyebutkan bahwa orang yang
mencuri hukumannya adalah potong tangan. Di masa Rasulullah dan Abu Bakar
menerapkan hukum seperti itu dengan syarat pelaku pencurian yangmencapai satu
nisab dan besarnya nisab barang harus delapan majni. Namun pada pemerintahan
Umar berbeda. Suatu hari umar dihadapkan pada pencuri yang bernama Alamah
Al-Hatib bin Abi Baltaah. Pencuri itu mengakui perbuatannya dan umar pun
segera memerintahkan agar dilakukan potong tangan.Pada waktu itu sedang
musim kelaparan.Masyarakat kekurangan persediaan makanan karena terjadi
kemarau panjang selama sembilan bulan terus menerus tidak ditimpa hujan.
Ketika hukuman segera dijalankan, tiba-tiba Umar melarangnya sambil
mengatakan bahwa seandainya ia tidak tahu bahwa orang itu melakukan
pencurian karena kelaparan niscaya akan ia potong tangannya. Kemudian pencuri
itupun segera dibebaskan karena keadaan dhorurot atas dasar pendapat Umar
tersebut.
b. Latar Belakang Pemikiran Umar
1) Pencurian yang dilakukan pada masa Umar adalah pada waktu musim
kelaparan,sehingga orang yang melakukan pencurian belum tentu didorong
oleh kejahatan jiwanya tetapi mungkin didorong oleh kebutuhan mendesak
untuk mempertahankan hidupnya. Atas dasar itu maka demi kepentingan
kemaslahatan kaum muslimin hukuman potong tangan tersebut ditiadakan
untuk sementara dalam suatu kondisi(dhorurot).

6 | Page

2) Ada sebuah hadist yang menjelaskan bahwa nabi SAW tidak memotong tangan

pencuri yang melakukan pencurian didaerah pertempuran dan pada waktu


berlangsungnya pertempuran. Hal itu disebabkan agar kekuatan tetap utuh dan
terpusat dalam menghadapi kaum kafir atau agar jangan sampai dimanipulir
oleh pihak lawan sebagai bahan provokasi tentang ketidakbaikan islam. Umar
pun berfikir bahwa pada masa perang nabi SAW mengecualikan suatu hukum
guna menjaga kemaslahatan kaum muslimin, maka sekarang juga sama
kondisinya.7
3. Ijtihad Utsman bin Affan dan Latar Belakang Pemikirannya.

Berkaiatan dengan pembukuan Al quran dalam satu bentuk rasm yang


mencakup tujuh huruf.
a. Pokok masalahnya
Masalah ini berpangkal pada hadist Nabi berbunyi: Sesungguhnya Al Quran
diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah dari pada tujuh dialek itu, (H.R. alBukhori dan Muslim). Memang penulisan al-Quran pada masa Rasulullah dan
masa Abu Bakar terdiri atas tujuh rasm, sehingga terjadi keragaman bacaan. Pada
saat pasukan muslim mulai mengarahkan konsentrasi kepada penaklukkan Armenia
dan Azarbijan, di mana pasukan ini terdiri dari penduduk Syam dan Irak, terjadilah
pertentangan dan perpecahan di antara mereka. Huzaifah Al Yamani melihat,
bahwa sebab dari perselisihan itu adalah adanya perbedaan bacaan dalam rasm alQuran, karena yang berkembang saat itu tujuh huruf bentuk tulisan. Juga disertai
kebiasaan dan keyakinan bahwa yang satu merasa benar, sementara yang lain
dianggap salah dan tersesat, sampai-sampai saling mengkafirkan satu sama lain.
Akhirnya Huzaifah pun melaporkan hal itu pada Usman. Ternyata di Madinah
Usman mengalami hal yang sama. Para guru Al quran mengajarkan dengan bacaan
masing-masing sehingga mereka bertengkar seprti anak kecil,masing-masing
mengingkari bacaan lain. Untuk menindaklanjuti kasus tersebut akhirnya Usman
memilih empat orang untuk menyalin mushaf-mushaf dalam satu rasm. Mereka
adalah Zaid Bin Tsabit, Abdullah Bin Zubair, Said Bin al-Ash, dan Abdurrahman
Bin Haris Bin Hisyam Hal itu terjadi pada tahun 24 H dan berakhir pada 25 H.
b. Latar belakang pemikirannya
1) Ketika penaklukan Islam terhadap wilayah-wilayah lain semakin meluas, para

sahabat rasul menyebar ke berbagai wilayah tersebut. Mereka mengajarkan AlQuran kepada para penduduk dengan bacaan mereka masing-masing, dan juga

7Sobirin, Ijtihad Khulafa al-Rasyidin, (Semarang:RaSAIL Media Group,2008) hlm 149-187


7 | Page

mengajarkan masalah keagamaan. Sehingga ditakutkan antara umat islam saling


mengkafirkan satu sama lain karena masalah bacaan Al-Quran.
2) Ijtihad Utsman didasarkan pada Saad al-zariah yaitu untuk menutupi
kemungkinan timbulnya perbedaan pendapat dalam Al-Quran. Al-Quran yang
diturunkan Ala sabati ahruf artinya dengan 7 redaksi bermacam-macam, hal itu
dapat membuka peluang hafalan sahabat dengan yang lain berbeda, namun
perbedaan disini tidak mengubah makna. Namun dapat mengarahkan keragaman
pemahanan terhadap islam, selanjutnya menimbulkan pertentangan dikalangan
umat islam. Usaha Ustman dalam rangka mengumpulkan Al-Quran dengan satu
dilaek tersebut disetujui oleh para sahabat untuk menjaga keutuhan dan
keseragaman Al-Quran.

4. Ijtihad Ali Bin Abi Thalib dan latar belakang pemikirannya.

Berkaitan dengan hukuman peminum minuman keras.


a. Pokok masalahnya

Dalam Al quran terdapat larangan meminum khamr yang keharamanya


ditetapkan secara berangsur-angsur dari QS. Al-Baqarah ayat 219 lalu QS. An-Nisa
ayat 43 dan terakhir QS Al-Maidah ayat 90. Dari tiga ayat tersebut tidak terdapat
sanksi bagi peminum khamr, namun dijelaskan dalam sunnah Rasulullah. Pada
masa Nabi peminum khamr didera 40 kali, tetapi di masa Umar ditambah menjadi
80 kali atas saran Ali bin Abi tha lib.
b. Latar belakang pemikirannya
1) Pendapat Ali dalam penetapan hukuman tersebut diqiyaskan pada penuduh
zina(qazaf).
2) Banyak orang semakin menjadi-jadi meminum khamr dan meremehkan hukum
Allah.
3) Keputusan ali merupakan pertimbangan Saad Al-Zariah karena Ali melihat
dampak negatif setelah orang meminum khamr, disamping itu moral masyarakat
semakin merosot.8
C. PENGERTIAN QAULU SHAHABI

8Sobirin, IjtihadKhulafa al-Rasyidin, Semarang:RaSAIL Media Group,2008 hlm196-199


8 | Page

Dalam beberapa literatur kitab ushul fiqh, ada perbedaan penyebutan untuk qaulu
shahabi. Ada yang memakai fatwa shahabi, ada juga yang memakai mazhab shahabi,
namun esensi penjelasannya adalah sama. Meskipun begitu, Abd. Rahman Dahlan dalam
bukunya berpendapat bahwa istilah qaulu shahabi dan mazhab sahabi tidak persis sama.
Pada intinya, beliau berpendapat bahwa qaulu shahabi merupakan pendapat perorangan,
yang antara satu pendapat sahabat dengan pendapat sahabat lainnya dapat berbeda.
Sedangkan mazhab shahabi merupakan pendapat bersama. Maka dalam hal ini,
sebenarnya mazhab shahabi lebih tepat disebut dengan istilah ijma shahabi.
Kata Qaul adalah mashdar dari qaala-yaquulu qaulan yang arti mashdar tersebut
adalah perkataan. Shahabi artinya adalah sahabat atau teman. Tetapi yang
dimaksudkan disini adalah sahabat Nabi atau yang pernah bertemu dengan Nabi dan mati
dalam islam. Jadi yang di maksud dengan Qaul Shahabi disini adalah pendapat, atau
fatwa para shahabat nabi SAW, tentang suatu kasus yang belum dijelaskan hukumnya
secara tegas didalam al-quran dan sunnah.
Qaul shahabi dalam ilmu ushul fiqh adalah:



fatwa sahabat (Nabi) yang berbentuk ucapan dengan dasar (pendapat) pribadinya.9
Sahabat adalah orang-orang yang bertemu Rasulullah SAW. Yang langsung
menerima risalahnya, dan mendengarkan langsung penjelasan syariat dari beliau sendiri
Jumhur fuqaha telah menetapkan bahwa pendapat mereka dapat dijadikan hujjah sesudah
dalil-dalil nash.10 Definisi yang dikemukakan oleh al-Imam Ahmad Ibn Hanbal Sahabat
adalah orang yang pernah hidup bersama nabi, sehari atau sebulan atau sesaat atau
hanya melihatnya.11 Pendapat ini kurang mengena, karena banyak orang-orang yang
bertemu dengan Rasulullah (termasuk orang Badui) dengan waktu yang sebentar, tetapi
dengan itu tidak serta merta mereka dapat dikatakan adil. Imam al-Waqidi berpendapat
bahwa sahabat adalah setiap orang yang melihat Rasul dalam keadaan baligh, Islam dan
sudah mampu memahami urusan agama. Namun pengertian ini dikritik oleh Al-Iroqi yang
mengatakan bahwa batasan baligh akan menghilangkan kesahabatan Abdullah bin Abbas,

9 A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 163.
10 Moh. Abu Zahrah, Ushul Fiqih,(Jakarta:Pustaka Firdaus,2010),cet.13, hal.328.
11 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ihtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet.4, hlm.
197.

9 | Page

Abdullah bin Zubair, Hasan dan Husain yang telah ditetapkan sebagai sahabat dan banyak
meriwatkan hadits dari Rasululah.12
Said bin Musayyab berpendapat bahwa sahabat adalah orang-orang yang hidup
bersama Rasul selama satu atau dua tahun dan pernah ikut berperang bersamanya satu
atau dua kali. Pendapat ini tidak disetujui oleh mayoritas ulama, karena akan berimbas
pada sahabat yang tidak pernah ikut berperang. Padahal Jarir bin Abdullah adalah sahabat
yang belum pernah ikut berperang bersama Rasul.
Menurut Ibnu Hajar, definisi paling shahih adalah yang diberikan jumhur
muhadditsin, yaitu sahabat adalah orang yang pernah bertemu dengan nabi dalam
keadaan dia beriman dan meninggal dalam keadaan Islam. Orang yang bertemu dengan
nabi tapi belum memeluk Islam, maka ia tidak dipandang sebagai sahabat. Orang yang
semasa dengan Nabi dan beriman kepadanya, tetapi tidak memjumpainya, seperti Najasi,
atau menjumpai Nabi setelah Nabi wafat, seperti Abu Dzuaib Khuwailid bin Khalid alKhadzali juga tidak disebut sahabat.
Macam-Macam Qaulu Shahabi
Para ulama membagi qaulu shahabi ke dalam beberapa macam, di antaranya:
1. Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad. Dalam hal ini

para ulama semuanya sepakat bahwa perkataan sahabat bisa dijadikan hujjah. Karena
kemungkinan sima dari Nabi SAW sangat besar, sehingga perkataan sahabat dalam
hal ini bisa termasuk dalam kategori al-Sunnah, meskipun perkataan ini adalah hadits
mauquf. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam as-Sarkhasi dan beliau memberikan contoh
perkataan sahabat dalam hal-hal yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad seperti,
perkataan Ali bahwa jumlah mahar yang terkecil adalah sepuluh dirham, perkataan
Anas bahwa paling sedikit haid seorang wanita adalah tiga hari sedangkan paling
banyak adalah sepuluh hari.
Namun contoh-contoh tesebut ditolak oleh beberapa ulama Syafiiyah, bahwa hal-hal
tersebut adalah permasalahan-permasalahan yang bisa dijadikan objek ijtihad. Dan
pada kenyataannya baik jumlah mahar dan haid wanita berbeda-beda dikembalikan
kepada kebiasaan masing-masing.
2. Perkataan sahabat yang disepakati oleh sahabat yang lain. Dalam hal ini perkataan
sahabat adalah hujjah karena masuk dalam kategori ijma.
3. Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak
diketahui ada sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya. Dalam hal inipun bisa
12 Muh. Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Haditsi Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirud: Dar al-Fikr, 2006), hlm.
375.

10 | P a g e

dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma sukuti, bagi mereka yang berpandapat
bahwa ijma sukuti bisa dijadikan hujjah.
4. Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya atau ijtihadnya sendiri. Qaul alShahabi yang seperti inilah yang menjadi perselisihan di antara para ulama mengenai
keabsahannya sebagai hujjah dalam fiqh Islam.13

Adapun Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar menambahkan beberapa poin


mengenai macam-macam qaul as-shahabi ini, di antaranya:
1. Perkataan Khulafa Ar-Rasyidin dalam sebuah permasalahan. Dalam hal ini para ulama

sepakat untuk menjadikannya hujjah. Sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits,


Hendaklah kalian mengikuti Sunnahku dan Sunnah para Khulafa Ar-Rasyidin
setelahku
2. Perkataan seorang sahabat yang berlandaskan pemikirannya dan ditentang oleh
sahabat yang lainnya. Dalam hal ini sebagian ulama berpendapat bahwa perkataan
sahabat ini tidak bisa dijadikan hujjah. Akan tetapi sebagian ulama lainnya dari
kalangan Ushuliyyin dan fuqaha mengharuskan untuk mengambil perkataan satu
sahabat.
Setelah dijelaskan di atas bahwa perkataan sahabat memiliki beberapa macam
variasi, semua ulama sepakat bahwa perkataan sahabat yang diperselisihkan keabsahannya
sebagai hujjah adalah:
1. Perkataan sahabat yang berasal dari pendapat dan ijtihadnya sendiri
2. Perkataan sahabat terhadap permasalahan yang bisa dijadikan objek ijtihad
3. Perkataan sahabat yang tidak tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak

ada sahabat yang mengingkari pendapat tersebut.


4. Perkataan sahabat terhadap suatu permasalahan yang tidak ada nash yang sharih baik
Al-Quran ataupun As-Sunnah.
5. Perkataan sahabat yang sampai kepada generasi sesudahnya, seperti tabiin dan
berlanjut hingga ke zaman sekarang.
Contoh Qaulu Shahabi
1. Fatwa Aisyah yang menjelaskan batas maksimal kehamilan seorang wanita adalah 2

(dua) tahun melalui ungkapannya Anak tidak berada didalam perut ibinya lebih dari
dua tahun.
2. Fatwa anas bin malik yang menerangkan tentang minimal haid wanita yaitu 3 (tiga)
hari
13 Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar,DR. Al-wadhih Fi Ushul Fiqh, (Dar-Al-Nafais, 2001) Hal.
134-135

11 | P a g e

3. Fatwa umar bin khath-thab tentang laki-laki yang menikahi wanita dalam masa idah

harus dipisahkan, dan diharamkan baginya untuk menikahi wanita tersebut untuk.

12 | P a g e

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Fatwa yaitu usaha memberikan penjelasan tentang hukum syara oleh ahlinya kepada
orang yang belum mengetahuinya. ciri-ciri berfatwa diantaranya Ia adalah usaha
memberikan penjelasan, penjelasan yang diberikan mengenai hukum syara yang diperoleh
dari hasil ijtihad, yang memberikan penjelasan merupakan orang yang ahli dalam bidang
ijtihad, dan penjelasan diberikan kepada orang yang belum mengetahuinya. Kedudukan
Fatwa dalam Hukum Islam yaitu Fatwa merupakan salah satu alternatif penting untuk
menjawab perkembangan zaman yang tidak tercover dengan nash-nash keagamaan (Annushush al-syariyah).
Ijtihad Khulafa ar-rasyidin antara lain:
a. Ijtihad Abu Bakar As-Siddiq dalam memerangi orang yang tidak mau membayar
zakat.
b. Ijtihad Umar bin Khattab tentang hukuman potong tangan terhadap pencuri.
c. Ijtihad Ustman bin Affan tentang pengumpulan Al-Quran dalam satu Rasm.
d. Ijtihad Ali bin Abi Thalib tentang hukuman bagi peminum minuman keras.
Contoh Qaulu Shahabi
4. Fatwa Aisyah yang menjelaskan batas maksimal kehamilan seorang wanita adalah 2

(dua) tahun melalui ungkapannya Anak tidak berada didalam perut ibinya lebih dari
dua tahun.
5. Fatwa anas bin malik yang menerangkan tentang minimal haid wanita yaitu 3 (tiga)
hari
6. Fatwa umar bin khath-thab tentang laki-laki yang menikahi wanita dalam masa idah
harus dipisahkan, dan diharamkan baginya untuk menikahi wanita tersebut untuk.
B. KRITIK SARAN

Dengan terselesaikannya makalah ini, mungkin masih banyak kesalahan-kesalahan


yang penulis tidak mengetahuinya, maka penulis mengarapakan adanya kritik dan saran
yang mampu membuat penulis lebih berhati-hati lagi dalam menyelesaikan tugas yang
diberikan. Atas perhatiannya, kami ucapkan terimakasih.

13 | P a g e

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Baqi, M. Fuad, Terjemahan Lulu Wal Marjan, Semarang:Pustaka Nuun,2012
Amiruddin, Zen.Ushul Fiqih, Yogyakarta:TERAS,2009
Al-Asyqar, Muhammad Sulaiman Abdullah. 2001. Al-wadhih Fi Ushul Fiqh. Dar-AlNafais.
Al-Khatib, Muh. Ajjaj. 2006. Ushul al-Haditsi Ulumuhu wa Musthalahuhu. Beirud: Dar
al-Fikr.
Dahlan, Abd. Rahman Dahlan, 2010. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. 1997. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ihtiar Baru Van
Hoeve.
Djalil, A. Basiq Djalil. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Jazuli, A. 2000. Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam). Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013
Muin, A. dkk. Ushul Fiqh II, Jakarta: IAIN Jakarta, 1986
Shidiq, Sapiudin. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011
Shobirin. Ijtihad Khulafa Al-Rasyidin. Semarang: RaSAIL, 2008
Syafe,i, Rachmat.Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999
Syukur, Asywadie. 1990. Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih.
Surabaya: Bina Ilmu.
Umam, Khairul, dkk 2000. Ushul Fiqih I. Bandung: Pustaka Setia.
Zahrah, Moh. 2010. Ushul Fiqih. Jakarta:Pustaka Firdaus.
http://id.wikipedia.org/wiki/Fatwa_Sahabat diakses Jumat, 24 April 2015 pukul 14.30
WIB

14 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai