Rosyid Ridlo
M. Fatikhurrozaq
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1 | Page
BAB II
PEMBAHASAN
A. Fatwa
1. Pengertian
Fatwa secara syariat bermakna, Penjelasan hukum syariat atas suatu permasalahan
dari permasalahan-permasalahan yang ada, yang didukung oleh dalil yang berasal dari AlQuran, Sunnah Nabawiyyah, dan ijtihad.Fatwa merupakan perkara yang sangat urgen
bagi manusia, dikarenakan tidak semua orang mampu menggali hukum-hukum syariat jika
mereka diharuskan memiliki kemampuan itu, yakni hingga mencapai taraf kemampuan
berijtihad, niscaya pekerjaan akan
2 | Page
4) Penjelasan itu diberikan kepada orang yang bertanya yang belum mengetahui
hukumnya. 3
Fatwa adalah bahasa arab, yang berarti jawaban pertanyaan, atau hasil ijtihad
atau ketetapan hukum. Maksudnya ialah ketetapan atau keputusan hukum tentang
sesuatu masalah atau peristiwa yang dinyatakan oleh seorang mujtahid, sebagai hasil
ijtihadnya.
Sebagai contohnya ialah bila A seorang mujtahid dihadapkan kepada persoalan nikah tanpa
wali, kemudian ia A memikirkannya dengan menggunakan dalil-dali Syari atau dengan
menggunakan cara-cara mengistimbathkan hukum, kemudian mengambil kesimpulan
bahwa tidak sah menikah tanpa wali. Kesimpulan pendapat atau ketetapan hukum yang
dikemukakan A ini disebut fatwa. Sedang si A yang berfatwa disebut mufti.
Fatwa sahabat dengan ijtihadnya dalam istinbat hukum islam tidak serta merta
keinginan dan keegoisan sendiri melainkan sesuai dengan syarat ijtihad yang sudah
ditentukan. Adapun ijtihad khulafaurrasyidin diukur dengan batasan-batasan ijtihad, yaitu:
1) Bahwa ijtihad harus berupa usaha yang sungguh-sungguh seorang mujtahid. hal ini
2)
3)
4)
5)
Fatwa mempunyai kedudukan tinggi dalam agama Islam. Fatwa dipandang sebagai
salah satu alternative yang bisa memecahkan kebekuan dalam perkembangan hukum Islam
dan ekonomi Islam. Fatwa merupakan salah satu alternatif untuk menjawab perkembangan
zaman yang tidak tercover dengan nash-nash keagamaan (An-nushush al-syariyah).Nashnash keagamaan telah berhenti secaara kuantitasnya, akan tetapi secara diametral
permasalahan dan kasus semakin berkembang pesat seiring dengan perkembangan zaman.
Dalam kondisi seperti inilah fatwa menjadi salah satu alternatif jalan ke luar mengurai
permasalahan dan peristiwa yang muncul.
Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum islam untuk memberikan
jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi oleh umat Islam. Bahkan umat Islam
pada umumnya menjadikan fatwa sebagai rujukan di dalam bersikap dan bertingkah laku.
Sebab, posisi fatwa di kalangan masyarakat umum, laksana dalil di kalangan para
mujtahid. Artinya, kedudukan fatwa bagi warga masyarakat yang awam terhadap ajaran
agama Islam, seperti dalil bagi mujtahid.5
B. Ijtihad Di Masa Khulafa ar-Rasyidin
harus diperangi kecuali mereka yang ingkar membayar zakat , sebab mereka
masih beriman. Namun setelah diputuskan akhirnya pendapat pertamalah yang
dilaksanakan. Adapun hadist tentang ijtihad Abu Bakar pada masalah ini:
:
:
:
:
:
1 : 24 :
Artinya :
Abu Hurairah r.a. berkata: Ketika Nabi saw. wafat, dan Abubakar Assiddiq
r.a. terangkat sebagai khalifah, dan terjadilah orang-orang yang murtad (ya'ni
telah menolak sebagian dari kewajiban-kewajiban dalam Islam). Maka Umar r.a.
berkata kepada Abuba-kar r.a.: Bagaimana, atau dengan alasan apakah anda akan
memerangi orang-orang itu, padahal Nabi saw. telah bersabda: Aku diperin-tah
memerangi orang-orang itu sehingga mereka mengakui La ilaha illallah, maka
siapa telah mengakuinya (mengucapkannya) berarti terpelihara daripadaku harta
dan jiwanya, kecuali menurut hak Islam, dan perhitungan mereka terserah kepada
Allah. Jawab Abubakar r.a.: Demi Allah aku akan memerangi orang yang
membedakan antara kewajiban shalat dengan kewajiban zakat, sebab zakat itu
kewajiban harta kekayaan, demi Allah jika mereka menolak kewa-jiban zakat
meskipun sebesar anak kambing, yang biasa mereka serahkan kepada Nabi saw.
pasti akan aku perangi mereka karena menolak zakat itu. Kemudian Umar r.a.
berkata: Demi Allah, benar-benar Allah telah membuka hati Abubakar r.a.
sehingga saya sadar bahwa itulah yang benar (Bukhari, Muslim).6
6Muhammad Fuad Abdul Baqi, Terjemahan Lulu Wal Marjan, (Semarang:Pustaka Nuun,2012) hlm5
5 | Page
6 | Page
2) Ada sebuah hadist yang menjelaskan bahwa nabi SAW tidak memotong tangan
sahabat rasul menyebar ke berbagai wilayah tersebut. Mereka mengajarkan AlQuran kepada para penduduk dengan bacaan mereka masing-masing, dan juga
Dalam beberapa literatur kitab ushul fiqh, ada perbedaan penyebutan untuk qaulu
shahabi. Ada yang memakai fatwa shahabi, ada juga yang memakai mazhab shahabi,
namun esensi penjelasannya adalah sama. Meskipun begitu, Abd. Rahman Dahlan dalam
bukunya berpendapat bahwa istilah qaulu shahabi dan mazhab sahabi tidak persis sama.
Pada intinya, beliau berpendapat bahwa qaulu shahabi merupakan pendapat perorangan,
yang antara satu pendapat sahabat dengan pendapat sahabat lainnya dapat berbeda.
Sedangkan mazhab shahabi merupakan pendapat bersama. Maka dalam hal ini,
sebenarnya mazhab shahabi lebih tepat disebut dengan istilah ijma shahabi.
Kata Qaul adalah mashdar dari qaala-yaquulu qaulan yang arti mashdar tersebut
adalah perkataan. Shahabi artinya adalah sahabat atau teman. Tetapi yang
dimaksudkan disini adalah sahabat Nabi atau yang pernah bertemu dengan Nabi dan mati
dalam islam. Jadi yang di maksud dengan Qaul Shahabi disini adalah pendapat, atau
fatwa para shahabat nabi SAW, tentang suatu kasus yang belum dijelaskan hukumnya
secara tegas didalam al-quran dan sunnah.
Qaul shahabi dalam ilmu ushul fiqh adalah:
fatwa sahabat (Nabi) yang berbentuk ucapan dengan dasar (pendapat) pribadinya.9
Sahabat adalah orang-orang yang bertemu Rasulullah SAW. Yang langsung
menerima risalahnya, dan mendengarkan langsung penjelasan syariat dari beliau sendiri
Jumhur fuqaha telah menetapkan bahwa pendapat mereka dapat dijadikan hujjah sesudah
dalil-dalil nash.10 Definisi yang dikemukakan oleh al-Imam Ahmad Ibn Hanbal Sahabat
adalah orang yang pernah hidup bersama nabi, sehari atau sebulan atau sesaat atau
hanya melihatnya.11 Pendapat ini kurang mengena, karena banyak orang-orang yang
bertemu dengan Rasulullah (termasuk orang Badui) dengan waktu yang sebentar, tetapi
dengan itu tidak serta merta mereka dapat dikatakan adil. Imam al-Waqidi berpendapat
bahwa sahabat adalah setiap orang yang melihat Rasul dalam keadaan baligh, Islam dan
sudah mampu memahami urusan agama. Namun pengertian ini dikritik oleh Al-Iroqi yang
mengatakan bahwa batasan baligh akan menghilangkan kesahabatan Abdullah bin Abbas,
9 A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 163.
10 Moh. Abu Zahrah, Ushul Fiqih,(Jakarta:Pustaka Firdaus,2010),cet.13, hal.328.
11 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ihtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet.4, hlm.
197.
9 | Page
Abdullah bin Zubair, Hasan dan Husain yang telah ditetapkan sebagai sahabat dan banyak
meriwatkan hadits dari Rasululah.12
Said bin Musayyab berpendapat bahwa sahabat adalah orang-orang yang hidup
bersama Rasul selama satu atau dua tahun dan pernah ikut berperang bersamanya satu
atau dua kali. Pendapat ini tidak disetujui oleh mayoritas ulama, karena akan berimbas
pada sahabat yang tidak pernah ikut berperang. Padahal Jarir bin Abdullah adalah sahabat
yang belum pernah ikut berperang bersama Rasul.
Menurut Ibnu Hajar, definisi paling shahih adalah yang diberikan jumhur
muhadditsin, yaitu sahabat adalah orang yang pernah bertemu dengan nabi dalam
keadaan dia beriman dan meninggal dalam keadaan Islam. Orang yang bertemu dengan
nabi tapi belum memeluk Islam, maka ia tidak dipandang sebagai sahabat. Orang yang
semasa dengan Nabi dan beriman kepadanya, tetapi tidak memjumpainya, seperti Najasi,
atau menjumpai Nabi setelah Nabi wafat, seperti Abu Dzuaib Khuwailid bin Khalid alKhadzali juga tidak disebut sahabat.
Macam-Macam Qaulu Shahabi
Para ulama membagi qaulu shahabi ke dalam beberapa macam, di antaranya:
1. Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad. Dalam hal ini
para ulama semuanya sepakat bahwa perkataan sahabat bisa dijadikan hujjah. Karena
kemungkinan sima dari Nabi SAW sangat besar, sehingga perkataan sahabat dalam
hal ini bisa termasuk dalam kategori al-Sunnah, meskipun perkataan ini adalah hadits
mauquf. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam as-Sarkhasi dan beliau memberikan contoh
perkataan sahabat dalam hal-hal yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad seperti,
perkataan Ali bahwa jumlah mahar yang terkecil adalah sepuluh dirham, perkataan
Anas bahwa paling sedikit haid seorang wanita adalah tiga hari sedangkan paling
banyak adalah sepuluh hari.
Namun contoh-contoh tesebut ditolak oleh beberapa ulama Syafiiyah, bahwa hal-hal
tersebut adalah permasalahan-permasalahan yang bisa dijadikan objek ijtihad. Dan
pada kenyataannya baik jumlah mahar dan haid wanita berbeda-beda dikembalikan
kepada kebiasaan masing-masing.
2. Perkataan sahabat yang disepakati oleh sahabat yang lain. Dalam hal ini perkataan
sahabat adalah hujjah karena masuk dalam kategori ijma.
3. Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak
diketahui ada sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya. Dalam hal inipun bisa
12 Muh. Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Haditsi Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirud: Dar al-Fikr, 2006), hlm.
375.
10 | P a g e
dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma sukuti, bagi mereka yang berpandapat
bahwa ijma sukuti bisa dijadikan hujjah.
4. Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya atau ijtihadnya sendiri. Qaul alShahabi yang seperti inilah yang menjadi perselisihan di antara para ulama mengenai
keabsahannya sebagai hujjah dalam fiqh Islam.13
(dua) tahun melalui ungkapannya Anak tidak berada didalam perut ibinya lebih dari
dua tahun.
2. Fatwa anas bin malik yang menerangkan tentang minimal haid wanita yaitu 3 (tiga)
hari
13 Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar,DR. Al-wadhih Fi Ushul Fiqh, (Dar-Al-Nafais, 2001) Hal.
134-135
11 | P a g e
3. Fatwa umar bin khath-thab tentang laki-laki yang menikahi wanita dalam masa idah
harus dipisahkan, dan diharamkan baginya untuk menikahi wanita tersebut untuk.
12 | P a g e
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Fatwa yaitu usaha memberikan penjelasan tentang hukum syara oleh ahlinya kepada
orang yang belum mengetahuinya. ciri-ciri berfatwa diantaranya Ia adalah usaha
memberikan penjelasan, penjelasan yang diberikan mengenai hukum syara yang diperoleh
dari hasil ijtihad, yang memberikan penjelasan merupakan orang yang ahli dalam bidang
ijtihad, dan penjelasan diberikan kepada orang yang belum mengetahuinya. Kedudukan
Fatwa dalam Hukum Islam yaitu Fatwa merupakan salah satu alternatif penting untuk
menjawab perkembangan zaman yang tidak tercover dengan nash-nash keagamaan (Annushush al-syariyah).
Ijtihad Khulafa ar-rasyidin antara lain:
a. Ijtihad Abu Bakar As-Siddiq dalam memerangi orang yang tidak mau membayar
zakat.
b. Ijtihad Umar bin Khattab tentang hukuman potong tangan terhadap pencuri.
c. Ijtihad Ustman bin Affan tentang pengumpulan Al-Quran dalam satu Rasm.
d. Ijtihad Ali bin Abi Thalib tentang hukuman bagi peminum minuman keras.
Contoh Qaulu Shahabi
4. Fatwa Aisyah yang menjelaskan batas maksimal kehamilan seorang wanita adalah 2
(dua) tahun melalui ungkapannya Anak tidak berada didalam perut ibinya lebih dari
dua tahun.
5. Fatwa anas bin malik yang menerangkan tentang minimal haid wanita yaitu 3 (tiga)
hari
6. Fatwa umar bin khath-thab tentang laki-laki yang menikahi wanita dalam masa idah
harus dipisahkan, dan diharamkan baginya untuk menikahi wanita tersebut untuk.
B. KRITIK SARAN
13 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Baqi, M. Fuad, Terjemahan Lulu Wal Marjan, Semarang:Pustaka Nuun,2012
Amiruddin, Zen.Ushul Fiqih, Yogyakarta:TERAS,2009
Al-Asyqar, Muhammad Sulaiman Abdullah. 2001. Al-wadhih Fi Ushul Fiqh. Dar-AlNafais.
Al-Khatib, Muh. Ajjaj. 2006. Ushul al-Haditsi Ulumuhu wa Musthalahuhu. Beirud: Dar
al-Fikr.
Dahlan, Abd. Rahman Dahlan, 2010. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. 1997. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ihtiar Baru Van
Hoeve.
Djalil, A. Basiq Djalil. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Jazuli, A. 2000. Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam). Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013
Muin, A. dkk. Ushul Fiqh II, Jakarta: IAIN Jakarta, 1986
Shidiq, Sapiudin. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011
Shobirin. Ijtihad Khulafa Al-Rasyidin. Semarang: RaSAIL, 2008
Syafe,i, Rachmat.Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999
Syukur, Asywadie. 1990. Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih.
Surabaya: Bina Ilmu.
Umam, Khairul, dkk 2000. Ushul Fiqih I. Bandung: Pustaka Setia.
Zahrah, Moh. 2010. Ushul Fiqih. Jakarta:Pustaka Firdaus.
http://id.wikipedia.org/wiki/Fatwa_Sahabat diakses Jumat, 24 April 2015 pukul 14.30
WIB
14 | P a g e