Disusun oleh:
Harya Anisa (2111110016)
Ida Sentia Peronisa (2111110012)
Dosen pengampu:
Dr.Iim Fahimah,M.Ag.
PENULIS
i
DAFTAR ISI
C. Tujuan ...................................................................................................... 2
C. Kewarisan Khuntsa................................................................................... 6
A. Kesimpulan .............................................................................................. 9
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam menentukan ahli waris yang berhak atau tidak berhak menjadi ahli
waris serta dalam menentukan hak-hak dan kewajiban ahli waris terhadap harta
peninggalan kerabatnya yang telah meninggal banyak menimbulkan
masalahmasalah di mana salah satunya mengenai masalah kedudukan anak dalam
kandungan sebagai ahli waris, karena apabila seseorang meninggal dunia,
sedangkan ia meninggalkan kerabat yang hamil, misalnya istri (janda), ibu, anak
perempuan, menantu perempuan, saudara perempuan dan lain-lain, maka ada
persoalan kewarisan yang perlu diselesaikan. Persoalan ini adalah adakah
hubungan kewarisan antara pewaris (orang yang meninggal dunia) dengan bayi
(anak) dalam kandungan kerabatnya tersebut.2
Selain itu juga seorang anak yang masih berada dalam kandungan ibunya tidak
dapat dipastikan atau masih kabur apakah ia (anak yang dalam kandungan
tersebut) saat dilahirkan nantinya dalam keadaan hidup atau tidak, dan belum
dapat ditentukan si bayi yang dalam kandungan tersebut berjenis kelamin laki-laki
atau berjenis kelamin perempuan, selain itu juga apakah anak dalam kandungan
itu kembar atau tidak, sedangkan ketiga hal tersebut (keadaan hidup atau mati dan
jenis kelamin laki-laki atau perempuan serta kembar atau tidaknya) sangat penting
1Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih, Jilid 3, Dana Bhakti Wakaf, yogyakarta, 1995, h. 4.
2Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Cet. 1, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999,
h. 16
1
artinya dalam mengadakan pembagian harta warisan si pewaris, termasuk dalam
penentuan porsinya/bagiannya.
Salah satu syarat ahli waris adalah hidup ketika pewaris meninggal, anak dalam
kandungan sudah bisa dianggap hidup walaupun itu hidup secara hukum. Dengan
demikian anak dalam kandungan harus di perhitungkan sebagai ahli waris. Perlu
diketahui juga, anak dalam kandungan sebagai ahli waris disebut juga dalam ilmu
ushul fiqh ahliyatul wujub yang tidak sempurna, ia pantas menerima hak namun
belum mampu memenuhi kewajiban.3
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
3 Amir Syarifuddin, Permasalahan dalam Pelaksanaan Faraid, (Padang: IAIN-IB Press, , 1999) , h. 10.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Pada dasarnya pembagian hak warisan dalam Islam secara jelas telah
dijelaskan secara rinci dalam al-Qur’an, hadist maupun atsar pendapat para
sahabat. Namun terkait pembahasan rinci mengenai apakah anak dalam
kandungan sebagai ahli waris atau tidak menurut fiqh Islam yang perlu kita rujuk
pertama adalah Al Qur’an dan Sunnah sebagai sumber utama syari’ah Islam.
Dalam Al Qur’an Surat Annisa’ ayat 11 disebutkan :
ً َت َواحِ دَة ْ س ۤا ًء فَ ْوقَ اثْنَتَي ِْن َفلَ ُه َّن ثُلُثَا َما ت ََركَ ۚ َوا ِْن كَان َ ِّٰللاُ فِ ْْٓي ا َ ْو ََل ِدكُ ْم لِلذَّك َِر مِثْ ُل َح ِظ ْاَلُ ْنثَيَي ِْن ۚ فَا ِْن كُ َّن ن
ص ْيكُ ُم ه
ِ ي ُْو
ُس ِم َّما ت ََركَ ا ِْن َكانَ لَهٗ َولَد ٌ ۚ فَا ِْن لَّ ْم يَكُ ْن لَّهٗ َولَد ٌ َّو َو ِرثَهٗ ْٓ اَبَ ٰوهُ فَ ِِلُ ِم ِه ُ سد ُّ َلبَ َو ْي ِه ِلكُ ِل َواحِ ٍد ِم ْن ُه َما ال
َ ِ ْف ۗ َو ُ النص ِ فَلَ َها
ص ْي بِ َها ْٓ ا َ ْو دَي ٍْن ۗ ٰابَ ۤا ُؤكُ ْم َوا َ ْبن َۤا ُؤكُ ۚ ْم ََل تَد ُْر ْونَ اَيُّ ُه ْم ِ ُس م ْۢ ِْن بَعْ ِد َو
ِ صيَّ ٍة ي ُّْو ُّ ث ۚ فَا ِْن َكانَ لَهٗ ْٓ ا ِْخ َوة ٌ فَ ِِلُ ِم ِه ال
ُ سد ُ ُالثُّل
ض ًة مِنَ ه
ّٰللاِ ۗ ا َِّن ه
َ َّٰللاَ َكان
ع ِل ْي ًما َح ِك ْي ًما َ ب لَكُ ْم نَ ْفعًا ۗ فَ ِر ْيُ ا َ ْق َر
3
Dalam ayat di atas Allah hanya menjelaskan tentang perbandingan bagian anak
laki-laki dan perempuan dalam warisan orang tuanya. Tidak dijelaskan apakah
anak yang dimaksud adalah anak yang sudah lahir atau anak yang masih dalam
kandungan. Oleh sebab itu jawaban dari pertanyaan berhakkah anak yang masih
dalam kandungan ibunya terhadap harta warisan atau tidak, belum kita temukan
jawaban pasti dari Al Qur’an, karenanya pemahaman “anak” jika dalam Al
Qur’an dikaitkan dengan kelahirannya sebagai ahli waris masih bersifat zhanny
sehingga bisa ditafsirkan dan dikaji lebih lanjut.
Para ulama telah sepakat dalam menetapkan syarat-syarat seorang ahli waris
yang berhak mendapatkan warisan adalah yang pada saat kematian pewaris jelas
nyata ada dan hidupnya. Para ulama juga sepakat bahwa janin yang masih dalam
kandungan ibunya termasuk ahli waris yang berhak diperhitungkan sebagai ahli
waris dengan syarat sudah berwujud di dalam rahim ibunya pada saat pewaris
meninggal, dan hidup pada saat dilahirkan.4 Ditetapkannya janin/bayi dalam
kandungan sebagai orang yang berhak menjadi ahli waris karena janin/bayi
termasuk dalam kategori ahliyatul wujub, yaitu orang yang pantas menerima hak,
tapi belum mampu melakukan kewajiban. 5
4 Al-Qadhi al-Mustasyar al-Syaikh Husain Yusuf Ghazali, al-Mawarist „ala al- Mazahib al-Arba‟ah, (Mesir: Dar al-Fikri,
2003), h. 230.
5 Sri Hidayati, Anak Dalam Kandungan, dalam buku Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia,
(Jakarta: Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2012), h. 396.
6 Ibid.
4
Terhadap anak dalam kandungan sebagai ahli waris terdapat dua keraguan
dalam teknis pembagian hak warisannya yaitu maujud (ada)-nya dan hidupnya dia
ketika pewaris meninggal ditambah kesamaran kondisi anak dalam kandungan
apakah laki-laki atau perempuan, tunggal atau kembar. Oleh karena keraguan itu,
para ulama klasik memelihara hak anak dalam kandungan itu dengan
memauqufkan (menunda) pembagian harta warisan sampai anak itu lahir atau
membagi kepada ahli waris lain dengan memberikan kemungkinan asumsi jumlah
terbesar yang diterima anak dalam kandungan itu. Dari uraian di atas Penulis
berkesimpulan bahwa dalam fikih bahwa anak dalam kandungan adalah ahli
waris, walaupun dalam kajian fiqh klasik pembagian hak kewarisan anak dalam
kandungan hanya bisa terlaksana ketika anak itu lahir.
1. Dengan cara menunggu setelah bayi tersebut lahir. Hal ini akan
memudahkan untuk menentukan status anak dalam kandungan, apakah benar-
benar ahli waris yang dapat dibuktikan melalui test Deoxyribounucleic Acid atau
biasa disebut test DNA. Sehubung dengan diketahuinya anak tersebut sudah lahir
maka akan jelas terlihat jenis kelamin bayi tersebut, laki-laki atau perempuan.
2. Apabila ahli waris yang lain menghendaki pembagian itu segera dilakukan
tanpa menunggu kelahiran bayi tersebut, maka harta warisan dapat dibagi dengan
memperhitungkan bagian bayi itu untuk 1 (satu) orang, sekalipun dapat pula lahir
dalam keadaan kembar. Hal tersebut perlu adanya jaminan bahwa ahli waris yang
menerima itu mau mengembalikan warisan yang menjadi hak bayi tersebut,
jikalau anak dalam kandungan lahir dalam keadaan kembar. Jika tidak ada
jaminan untuk itu, maka pembagian ditangguhkan/ditunggu kalau sudah
melahirkan.
5
C. Kewarisan Khuntsa
Pengertian al-khuntsa (banci) dalam bahasa Arab diambil dari kata khanatsa
berarti ‘lunak‘ atau ‘melunak‘. Misalnya, khanatsa wa takhannatsa, yang berarti
apabila ucapan atau cara jalan seorang laki-laki menyerupai wanita: lembut dan
melenggak-lenggok. Karenanya dalam hadits sahih dikisahkan bahwa Rasulullah
saw. bersabda: “Allah SWT melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan
wanita yang menyerupai laki-laki.”8
Ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan ulama mengenai pemberian hak
waris kepada banci musykil ini:
Khuntsa diberikan bagian yang terkecil dari dua perkiraan laki-laki dan
perempuan, sedangkan ahli waris lain diberikan bagian yang terbesar dari dua
perkiraan laki-laki dan perempuan.
Semua ahli waris termasuk khuntsa diberikan bagian yang terkecil dan
meyakinkan dari dua perkiraan, dan sisanya ditahan (di-tawaquf-kan) sampai
persoalan khuntsa menjadi jelas, atau sampai ada perdamaian untuk saling-
menghibahkan (tawahub) di antara para ahli waris.
Semua ahli waris termasuk khuntsa diberikan separuh dari dua perkiraan
laki-laki dan perempuan (nilai tengah dari dua perkiraan).
Imam Hambali berpendapat seperti Imam Syafii dalam hal khuntsa masih
dapat diharapkan menjadi jelas status jenis kelaminnya. Tetapi dalam hal
status khuntsa tidak dapat diharapkan menjadi jelas, pendapat beliau
mengikuti pendapat Imam Maliki.
6
Contoh perhitungan warisan khuntsa:
Contoh 1:
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang anak
yang Khuntsa.
Penyelesaiannya:
· Jika dianggap laki-laki, berarti ahli waris ada dua orang anak laki-laki.
Keduanya dalam hal ini adalah sebagai ‘ashabah bin-nafsi dan mewarisi seluruh
harta dengan masing-masing memperoleh 1/2 bagian.
· Jika dianggap perempuan, berarti ahli warisnya seorang anak laki-laki dan
seorang anak perempuan. Dalam hal ini, mereka adalah sebagai ‘ashabah bil-ghair
dengan ketentuan bagian anak laki-laki sama dengan dua kali bagian anak
perempuan. Jadi anak laki-laki memperoleh 2/3, sedangkan anak perempuan
memperoleh 1/3.
Contoh 2:
Penyelesaiannya:
· Jika diperkirakan perempuan (dalam hal ini terjadi ‘aul dari asal masalah 6
menjadi 9):
7
- Dua sdr lk seibu : 2/9 x Rp 36 juta = Rp 8 juta
- Khuntsa (Sdr pr sebapak) : 3/9 x Rp 36 juta = Rp 12 juta
Contoh 3:
Seseorang wafat dengan meninggalkan ahli waris seorang ibu, seorang saudara
perempuan kandung, 2 orang saudara laki-laki seibu, dan seorang saudara seibu
yang khuntsa.
Penyelesaiannya:
Dalam kasus ini, ahli waris yang khuntsa adalah saudara seibu. Karena bagian
warisan saudara seibu, menurut Al-Qur’an, baik laki-laki maupun perempuan
adalah sama saja, yaitu 1/6 jika seorang diri, atau 1/3 dibagi sama rata jika
lebih dari seorang, maka kasus khuntsa di sini tidak mempengaruhi bagian
warisan untuk semua ahli waris. Jadi pembagiannya adalah sebagai berikut:
8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menjabarkan secara rinci pembahasan mengenai hak waris anak dalam
kandungan ada sebuah kesimpulan yang dapat ditarik, sesuai dengan perumusan
masalah, yaitu: Bahwa dalam fikih konvensional, anak dalam kandungan adalah
ahli waris yang berhak menerima warisan jika padanya terdapat sebab-sebab
kewarisan (perkawinan, kekerabatan, dan memerdekakan budak).
Semua ahli waris termasuk khuntsa diberikan bagian yang terkecil dan
meyakinkan dari dua perkiraan, dan sisanya ditahan (di-tawaquf-kan) sampai
persoalan khuntsa menjadi jelas, atau sampai ada perdamaian untuk saling-
menghibahkan (tawahub) di antara para ahli waris.
9
DAFTAR PUSTAKA
M.Yusuf, Op.cit.
http://www.damandiri.or.id/file/yurniwatiunpadbab1.pdf
10