Anda di halaman 1dari 13

Mata Kuliah Dosen Pengampu

Fikih Mawaris Rahmat Fadillah, M.H.

MAKALAH

ANAK PEREMPUAN

Disusun Oleh

Kelompok II (Dua)

Siti Maisyarah 190102030259

Jamal Abdillah 190102030388

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN

FAKULTAS SYARIAH

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA

2021
Daftar Isi
Kata Pengantar........................................................................................................................
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah….............................................................................................
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………………
C. Tujuan Penulisan………………………………………………………………………
BAB II
Pembahasan
A. Dasar Hukum/Dalil Tentang Pembagian Kewarisan Anak Perempuan………………..
B. Contoh Kasus dari Pembagian Kewarisannya…………………………………………
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan…………………………………………………………………………….
B. Kritik/Saran…………………………………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………..
KATA PENGANTAR
Puji Syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat, taufik
dan hidayah-Nya sehingga kami selaku pemakalah dari kelompok 2 dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dalam keadaan yang cukup sederhana. Dan semoga makalah ini
dapat dipahami maknanya dan memperluas wawasan para audiens dalam studi keilmuan
tentang mawaris.
Dalam penulisan makalah ini kami mengucapkan terima kasih yang sebanyak
banyaknya kepada audiens yang dengan senang hati mau membaca dan memahami makalah
kami, yang tidak hanya bertanya tanpa mengetahui paparan yang kami tuangkan dalam
makalah ini.
Semoga bermanfaat dan berharap semoga mendapat keberkahan dari Allah karena
kesungguhan dalam menutut ilmu ini dan dapat di implementasikan serta diingat sebagai nilai
Ibadah. Amiiin Yaa Robbal ‘Alamiiin

Wassalam.

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum kewarisan merupakan hukum yang mengatur tentang segala sesuatu yang
berkenaan dengan peralihan hak dan/atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang
setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam Kompilasi Hukum Islam
disebutkan Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi
ahli waris dan berapa bagian masing-masingnya. Dengan demikian pada intinya hukum
kewarisan mengatur tentang cara peralihan harta milik seseorang yang telah meninggal dunia
kepada seseorang yang masih hidup menurut ketentuan yang telah ditetapkan.
Al-Qur‟an sebagai sumber utama Hukum Islam telah mengatur mengenai masalah
kewarisan ini secara relatif detail, baik berkenaan dengan subjek hukumnya (siapa-siapa
yang menjadi ahli waris) maupun mengenai hak bagian masing-masing ahli waris
tersebut, sebagaimana termaktub dalam firman Allah SWT dalam Al-Qur‟an surat (QS)
An-Bisa‟ ayat 7-14, QS. An- Nisa‟ ayat 33, QS. An-Nisa‟ ayat 176 dan QS. Al-
Anfal ayat 75.
Diantara permasalahan kewarisan yang perlu mendapat kajian dan pemikiran kritis
adalah berkenaan dengan kedudukan dan hak anak perempuan dalam hukum kewarisan.
Inti persoalannya menyangkut dengan kedudukan anak perempuan ketika ia mewarisi
bersama-sama dengan saudara atau bersama- sama dengan paman dan juga apakah anak
perempuan dapat menghabiskan seluruh harta atau hanya mendapat 1/3 bila anak perempuan
itu sendiri dan mendapat 2/3 apabila anak perempuan tersebut dua orang atau lebih dan dua
orang dan kepada siapakah sisa harta warisan itu diberikan apabila tidak ada ahfi waris lain
yang berkedudukan sebagai „ashabah.
OIeh karena itu menurut penulis permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini
sangat relevan dan urgen untuk dikaji dan dianalisis lebih lanjut dan hasilnya pasti akan
bermanfaat balk bagi penulis sendiri, para pembaca dan komunitas masyarakat muslim pada
umumnya.
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka permasalahan yang akan dikaji
lebih lanjut dalam pembahasan tulisan ini adalah bagaimanakah kedudukan dan hak anak
perempuan menurut hukum kewarisan islam.
B. Rmusan Masalah
1. Apa dasar Hukum dari kewarisan mengenai anak perempuan?
2. Bagaimana pembagian kewarisan anak perempuan?
3. Bagaimana contoh kasus dalam kewarisan anak perempuan?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dasar hokum tentang kewarisan anak perempuan dalam islam.
2. Mengetahui bagaimana system pembagian waris terhadap anak perempuan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Dasar Hukum Pembagian Kewarisan Anak Perempuan

Pembahasan tentang kedudukan anak perempuan dalam hukum kewarisan Islam


ini menyangkut dengan suatu kondisi di mana seseorang meninggal dunia meninggalkan
anak perempuan (seorang atau lebih) bersama dengan saudara, baik laki-laki, maupun
perempuan. Persoalan yang muncul adalah apakah keberadaan anak perempuan dapat
menghijab (menghalangi atau mengurangi) hak saudara dalam menerima warisan dan
kemungkinan persoalan ini muncul disebabkan dalam ayat 11 Surat An-Nisa‟
sudah ditemukan secara tegas hak bagian atau porsi bagi anak perempuan, baik dalam
keadaan ia sendirian (mendapat 1/2) maupun dalam keadaan ia lebih dari seorang (mendapat
2/3), sedangkan apabila ia mewarisi bersama dengan saudara-saudara pewaris, tidak terdapat
nash yang tegas yang mengaturnya.1

Untuk membahas permasalahan ini perlu dikaji pengertian dan kata Aulad yang
terdapat dalam ayat 11 dan 12 surat An-Nisa‟ tersebut dan juga ada kaitannya dengan
ayat 176 surat An-Nisa‟.

Q.S An Nisa Ayat 11 :

‫ْن ۚ َف ِانْ ُكنَّ ن َِس ۤا ًء‬ َ ْ ُ ‫اْل‬ ِّ ْ َ َّ ُ ‫اَل‬ ْ َ ٓ ْ ‫ص ْي ُكم هّٰللا‬


ِ ‫ي‬ ‫ي‬
َ ‫ث‬ ‫ن‬ ‫ا‬ ‫ظ‬ ‫ح‬
َ ‫ل‬
ُ ‫ِث‬ ‫م‬ ‫ر‬ِ ‫ك‬ ‫ذ‬ ‫ِل‬ ‫ل‬ ‫م‬
ْ ‫ك‬ ‫د‬
ِ ‫و‬ ‫ا‬ ‫ِي‬ ‫ف‬ ُ ُ ِ ‫ي ُْو‬
ۗ ُ‫ص ف‬ ْ ‫ت َوا ِح َد ًة َف َل َه ا ال ِّن‬ َ ‫ْن َف َلهُنَّ ُثلُ َث ا َم ا َت َر‬
ْ ‫ك ۚ َو ِانْ َك ا َن‬ ِ ‫َف ْو َق ْاث َن َتي‬
‫ان َل ٗه َو َل ٌد ۚ َف ِانْ لَّ ْم‬ َ ‫ك ِانْ َك‬ َ ‫َواِل َ َب َو ْي ِه لِ ُك ِّل َوا ِح ٍد ِّم ْن ُه َما ال ُّس ُدسُ ِممَّا َت َر‬
‫ان َل ٗ ٓه ا ِْخ َوةٌ َفاِل ُ ِّم ِه‬ َ ‫ث ۚ َف ِانْ َك‬ ُّ ‫َي ُكنْ لَّ ٗه َو َل ٌد وَّ َو ِر َث ٗ ٓه اَ َب ٰوهُ َفاِل ُ ِّم ِه‬
ُ ُ‫الثل‬
‫ْن ۗ ٰا َب ۤاؤُ ُك ْم َواَ ْب َن ۤاؤُ ُك ۚ ْم اَل‬
ٍ ‫ص يْ ِب َه ٓا اَ ْو دَ ي‬ ِ ‫ص َّي ٍة ي ُّْو‬ ِ ‫الس ُدسُ ِم ۢنْ َبعْ ِد َو‬ ُّ
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
‫ان َعلِ ْي ًم ا‬ َ ‫ْض ًة م َِّن ِ ۗ اِنَّ َ َك‬ َ ‫َت ْدر ُْو َن اَ ُّي ُه ْم اَ ْق َربُ َل ُك ْم َن ْف ًع ا ۗ َف ِري‬
‫َح ِك ْيمًا‬
1
Iman Jauhari, Kedudukan dan Hak-Hak Anak Perempuan Dalam Hukum Kewarisan Islam,
http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2, hlm : 13
11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika
anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo
harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini
adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Q.S surah An Nisa ayat 176 :

‫ت‬
ٌ ‫ُخ‬
ْ ‫س لَ هُ َو لَ ٌد َو لَ هُ أ‬ َ َ‫ إِ ِن ْام ُر ٌؤ َه ل‬1ۚ ‫ْك اَل لَ ِة‬
َ ‫ك لَ ْي‬ َ ‫يك ْم فِ ي ال‬
ُ ِ‫ك قُ ِل اللَّ هُ ُي ْف ت‬
َ َ‫يَ ْس َت ْف تُ ون‬

‫ فَِإ ْن َك ا َن تَ ا ا ْث نَ َت ْي ِن َف لَ ُه َم ا‬1ۚ ‫ َو ُه َو يَ ِر ُث َه ا إِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَ َه ا َو لَ ٌد‬1ۚ‫ف َم ا َت َر َك‬ ْ ِ‫َف لَ َه ا ن‬


ُ ‫ص‬
ِّ ‫لذ َك ِر ِم ثْ ل َح‬
1ۗ ‫ظ ا أْل ُ ْن َث َي ْي ِن‬ َّ ِ‫ َو إِ ْن َك انُوا إِ ْخ َو ًة ِر َج ا اًل َو نِس اء فَ ل‬1ۚ‫ان ِم َّم ا َت ر َك‬
ً َ
ِ َ‫الث لُ ث‬
ُّ
ُ َ
ِ ٍ ِ ِ ْ ‫ي ب يِّ ن اللَّ هُ لَ ُك م أ‬
ٌ‫ َو اللَّ هُ ب ُك ِّل َش ْي ء َع ل يم‬1ۗ ‫َن تَ ض لُّ وا‬ ْ ُ َُ

Artinya : Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi
fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki
mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika
saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-
saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian
dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu
tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Kata ‘Aulad’ adalah bentuk jamak (plural) dari Walad yang berarti anak, baik laki-
laki maupun perempuan, karena apabila yang dimaksud dengan anak laki-laki, maka ia
disebut ibn dan apabila yang dimaksud adalah anak perempuan maka disebut
dengan bint.17 Pengertian jamak (plural) di sini dapat berlaku dalam garis horizontal
yang berarti beberapa orang anak dalam garis yang sama, dapat juga berlaku dalam garis
vertikal yang berarti anak dan keturunannya (cucu, cicit dan sebagainya).2

Jumhur ulama sepakat dalam menafsirkan kata Walad - Aulad yang terdapat dalam
surat An-Nisa‟ ayat 11 dan 12 dengan arti anak laki-laki dan perempuan,
sehingga konsekuensinya sebagaimana diterangkan dalam ayat tersebut, dengan adanya
anak pewaris (baik laki-laki ataupun perempuan) maka akan mengurangi hak ibu dari
1/3 menjadi 1/6, hak suami dari 1/2 menjadi 1/4, hak isteri dari 1/4 menjadi 1/8 dan ayah
mendapat 1/6 apabila tidak ada anak laki-laki atau perempuan. Meskipun dalam hal persoalan
yang lain, kedudukan ayah sebagai ashabah tertutup dengan adanya anak laki-laki dan
apabila yang ada hanya anak perempuan maka kemungkinan ayah menjadi ashabah
masih terbuka.3

Dalam Al-Qur‟an surat An-Nisa‟ ayat 11 telah ditetapkan secara jelas dan tegas
mengenai hak anak perempuan dalam hukum kewarisan yaitu apabila ia sendiri mendapatkan
1/2 (seperdua) bagian dan apabila ia lebih dari satu maka haknya adalah 2/3 (dua
pertiga) bagian.

mayoritas ulama lainnya berpendapat bahwa walaupun hanya ada dua orang anak
perempuan, mereka berhak mendapatkan 2/3 (dua pertiga) bagian. Dasarnya adalah hadis
yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Jabir Bin Abdullah yang menjelaskan bahwa Nabi pernah
menetapkan hak bagian 2/3 (dua pertiga) kepada dua orang anak perempuan Sa‟ad Bin
Rabi‟. Di samping didasarkan kepada hadis tersebut, jumhur ulama juga
mengqiaskan/ menganalogikan hak ini kepada ketentuan dalam ayat 176 Surat An-
Nina‟ yang menjelaskan hukum tentang hak bagian dua orang saudara perempuan adalah 2/3
(dua pertiga). Oleh karena itu maka dua orang anak perempuan juga berhak
mendapatkan 2/3 (dua pertiga) bagian dari harta warisan yang ditinggalkan orang
tuanya.4

2
Ibid
3
Ibid Hlm : 14
4
Ibid Hlm : 15
Di negara Indonesia, kedudukan anak perempuan dalam kewarisan Islam dapat dilihat
dalam rumusan Pasal 176 KHI, yang menyebutkan “anak perempuan menjadi ahli waris
bersama-sama anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan
anak perempuan”. Ketentuan pasal ini sangat bersesuaian dengan ketentuan yang dijelaskan
Allah Subhana Wata’la di dalam Al-Quran surat Annisa (4: 11).5

Jadi Sistem kewarisan Islam menempatkan anak perempuan pada kedudukan yang
sama dengan anak laki-laki, yaitu sama-sama berhak menjadi ahli waris. Hanya saja terdapat
perbedaan mengenai besarnya bagian yang diterima, yaitu bagian anak laki-laki lebih besar
dari anak perempuan, yaitu dua bagian dari anak perempuan.6

B. Contoh Kasus dari Pembagian Kewarisannya

Riwayat dari jabir bin Abdullah, Hadis ini dibukukan oleh imam ahmad, abu dawud
dan tirmizi. Jabir menceritakan bahwa telah datang isteri sa’ad bin rabi’ kepada rasulullah,
menyampaikan persoalannya dengan berkata: Ya Rasulullah, ini ada dua orang anak
perempuan sa’ad bin rabi dari saya, yang bapa keduanya telah mendapat syahid dale perang
uhud ketika berperang bersamamu di perang Uhud itu; dalam pada itu paman kedua anak ini
mengambil semua harta keduanya dan tidak disisakannya sesuatu juapun, sedangkan
keduanya tidak dapat dikawinkan kecuali mereka mempunyai harta yang memadai. Demikian
isi dari pengaduan istri Sa’ad bin Rabi yang bernama Habibah binti zaid bin abi zuher. Maka
turunlah ketika itu ayat kewarisan dala Q.S An nisa ayat 11-12. maka Rasulullah menyuruh
panggil kedua anak perempuan sa’ad itu.7

setelah mereka datang Rasulullah berkata kepadanya: berikan kepada kedua anak
perempuan sa’ad dua per tiga (2/3) harta peninggalan sa’ad, dan kepada ibuya seperdelapan
(1/8), sedangkan sisanya untuk engkau. Menurut Al Maraghy, para ahli hukum kewarisan
islam sepakat bahwa inilah kasus pertama dalam pembagian harta warisan menurut ketentuan
Al- Qur’an.

5
Emy Eliamega Saragih*, Mustamam & Mukidi, Journal of Education ; Humaniora and Social Sciences (JEHSS),
Kedudukan Anak Perempuan dalam Pembagian Harta Warisan menurut Hukum Islam, Vol. 2 No. 2 (Desember ,
2019), Hlm : 312.
6
Ibid.
7
http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/viewFile/809/734 hlm : 642.
Jadi pembahagian harta peninggalan Sa’ad bin Rabi’ itu oleh rasul adalah seperti
terlihat pada gambar berikut, : yaitu

P = Sa’ad bin Rabi’ = Pewaris

a dan b dua orang anak perempuan Sa’ad C P D

=2/3 = 16/24
a b
C= istri=1/8= 3/24

D=saudara laki laki kandung Sa’ad bin Rabi’= sisa = 1 – (16/24+3/24)= 5/24.

Pembagian Waris Anak Perempuan Menurut Siti Musdah Mulia Berbeda dengan Siti
Musdah Mulia, beliau memberikan kritik terhadap pembagian waris dalam Islam yang selama
ini diterapkan di Indonesia. Menurutnya pembagian warisan untuk laki-laki dan perempuan
disamaratakan mengingat zaman sekarang perempuan juga menjadi tulang punggung dalam
rumah tangganya. Sehingga, Siti Musdah Mulia melakukan interpretasi dan
rekontekstualisasi mengenai ayat waris yang sesuai dengan kondisi sosial masyarakat
Indonesia. Misalnya, dalam pembagian warisan, harta diberikan kepada yang memiliki akses
terdekat dengan pewaris. Dalam hal ini, perempuan merupakan pihak yang merawat orang
tua, baik selama sakit maupun sehat. Akan tetapi, ketika pembagian warisan laki-laki lah
yang justru mendapatkan bagian lebih banyak daripada perempuan. Menurut Siti Musdah
Mulia hal ini ialah ketidakadilan yang harus mendapat perhatian

Dasar mengenai laki-laki memiliki beban dan tanggung jawab yang lebih besar
daripada perempuan sehingga mempengaruhi besar kecilnya bagian warisan tidak dapat
dibenarkan untuk saat ini. Hal ini dikarenakan secara sosiohistoris ketika wahyu diturunkan
dengan saat ini sudah sangat berbeda. Saat ini, perempuan memberi nafkah dan bekerja untuk
keluarganya sudah menjadi hal yang lumrah yang tidak ditemukan pada bangsa arab kala
itu.18 Dengan demikian, Siti Musdah Mulia membangun trobosan guna mendorong keadilan
gender dalam pembagian waris anak laki-laki dan perempuan, beliau mengajukan formulasi
baru mengenai pembagian waris yaitu 1:1 atau tidak dapat diterapkan pada abad 21 ini.
Mengingat Indonesia bukanlah Arab, yang mana membeli mahar tidak perlu harta dari
warisan serta dalam realitas keluarga di Indonesia laki-laki dan perempuan juga sama-sama
bekerja.
Menurut Irma Devita Purnamasari dalam bukunya Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan
Bijak Memahami Masalah Hukum Waris (hal. 35-38), pembagian kelompok ahli waris
terbagi menjadi tiga:

1. Dzulfaraidh (ashabul furudh/dzawil furudh)

Yaitu ahli waris yang menerima bagian pasti (sudah ditentukan bagiannya). Misalnya, ayah
sudah pasti menerima sebesar 1/3 bagian jika pewaris memiliki anak; atau 1/6 bagian jika
pewaris memiliki anak. Artinya, bagian para ahli waris ashabul furudh/dzulfaraidh inilah
yang dikeluarkan terlebih dahulu dalam perhitungan pembagian warisan. Setelah bagian para
ahli waris dzulfaraidh ini dikeluarkan, sisanya baru dibagikan kepada ahli waris yang
menerima bagian sisa (‘ashabah) seperti anak pewaris dalam hal anak pewaris terdiri dari
laki-laki dan perempuan.

2. Dzulqarabat (‘ashabah)

Yaitu para ahli waris yang mendapatkan bagian yang tidak tertentu, mereka memperoleh
warisan sisa setelah bagian para ahli waris dzulfaraidh tersebut dikeluarkan.

3. Dzul-arham (dzawil arham)

Merupakan kerabat jauh, yang baru tampil sebagai ahli waris jika ahli waris
dzulfaraidh/ashabul furuds dan ahli waris ‘ashabah.

Yang tergolong dzul arham adalah:

- cucu laki-laki dan perempuan dari anak perempuan


- Anak laki-laki dan perempuan dari cucu perempuan
- Kakek dari pihak ibu dan nenek dari pihak kakek (ibu-kakek)
- Anak perempuan dari saudara laki-laki (sekandung, sebapak, atau seibu)
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu.
- Anak saudara perempuan sekandung, sebapak, dan sibu.
- Bibi (saudara perempuan bapak) dan saudara perempuan kakek.
- Paman seibu dengan bapak dan saudara laki-laki yang seibu dengan kakek.
- Saudara laki-laki dan perempuan dari ibu, serta
- Anak perempuan paman dan bibi pihak ibu (saudara perempuan dari ibu)
Jadi, setiap ahli waris itu sudah ada bagiannya masing-masing. Bagian untuk anak
adalah: anak perempuan bila hanya seorang, ia mendapat separuh bagian, bila dua orang atau
lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan
bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki dua berbanding satu dengan
anak perempuan.

Dalam konteks pertanyaan Anda, pembagian warisan diantara A, B, C dan D tidak


dapat dibagi sama rata karena harus tunduk pada pembagian sesuai dengan besaran yang
ditetapkan dalam KHI. Kecuali anak berjenis kelamin sama sehingga bagiannya sama.

Contoh Perhitungan :

Karena Anda tidak secara spesifik menyebutkan jenis kelamin anak dari pewaris serta siapa
saja ahli waris selain anak-anak pewaris. Untuk itu kami akan ilustrasikan perhitungan waris
sebagai berikut:

Contoh ini kami sarikan dari buku dengan judul yang sama karya Irma Devita Purnamasari
(hal. 37-38). Ahli waris dari Amir adalah ayah dan ibu Amir, serta istri dan 3 orang anak
Amir, yaitu Ahmad, Anita dan Annissa sehingga pembagiannya sebagai berikut:

Ayah, ibu dan istri Amir merupakan ahli waris dzulfaraidh, yang bagiannya sudah ditentukan.
Oleh karena Amir memiliki anak, bagian ayah dan ibu Amir adalah // serta istri Amir
mendapatkan // bagian.

Sisanya diberikan kepada anak-anak Amir, sebagai ahli waris dzulqurabat (ashabah), dengan
sistem pembagian: anak laki-laki 2 kali lebih besar dari pada anak perempuan, dengan
perbandingan = 2:1.

Perhitungannya sebagai berikut:

Bagian dari harta Amir dan istrinya dikeluarkan terlebih dahulu, yaitu sebanyak
setengahnya. Sedangkan, setengah bagiannya lagi (dianggap = 1) dibagikan:

- Ayah dan ibu masing-masing mendapatkan 1/6 bagian, atau 4/24 bagian atau 16/96
bagian.
- Istri mendapatkan 1/8 bagian, atau 3/24, atau 12/96 bagian.
- Sisanya, yaitu 24/24 – (4/24 + 4/24 +3/24) = 24/24 – 11/24 = 13/24 bagian dibagikan
kepada Ahmad, Anita, dan Annissa dengan perbandingan= 2:1:1
Bagian Ahmad = 2/4 x 13/24 = 26/96

Bagian Anita = ¼ x 12/24 = 13/96

Bagian Annisa ¼ x 12/24= 13/96

- Bagian : Ayah + Ibu + Istri + Ahmad + Anita + Annissa

= 16/96+ 16/96+ 12/96+ 26/96+ 13/96+ 13/96= 96/96= 1

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama;

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

Irma Devita Purnamasari. Kiat-Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Memahami Masalah hukum
Waris. Bandung: Penerbit Kaifa, 2012

Mohammad Daud Ali. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata hukum Islam di
Indonesia, Edisi Keenam. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada, 1998

17Siti Musdah Mulia, “Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan dalam Perkawinan dan
Keluarga”, Yayasan Jurnal Perempuan, 73 (2012), 132.

18Ibid., 137. 19Endang Sriani, “Fiqih Mawaris Kontemporer: Pembagian Waris Berkeadilan
Gender”, Tawazun: Journal of Sharia Economic Law, 1: 2, (September, 2018), 145. 20Siti Musdah
Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, 20.

Anda mungkin juga menyukai