Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Waris/Faraid
Disusun oleh :
2020
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2
Mg. Sri Wiyarti, Hukum Adat Dalam Pembinaan Hukum Nasional. Bagian B, Surakarta:Universitas
Sebelas Maret, 2000, hal. 4.
3
Surini Ahlan dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat, Jakarta: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005, hal. 11.
4
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: PT. Gunung Agung,1995, hal.
161.
akibatnya bagi para ahli waris.5 Keberadaan hukum waris sangat penting dalam
proses pembagian warisan, karena dengan keberadaanya tersebut mampu
menciptakan tatanan hukumnya dalam kehidupan masyarakat.
2. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud Ashab Al-Furudl ?
b. Apa yang dimaksud Ashabil Ashabah ?
c. Apa yang dimaksud Dhawil Arham ?
3. Tujuan Masalah
a. Untuk mengetahui Ashab Al-Furudl
b. Untuk mengetahui Ashabil Ashabah
c. Untuk mengetahui Dhawil Arham
PEMBAHASAN
1. Ashab Al-Furudl
a. Pengertian Ashab Al-Furudl
5
4Effendi Perangin, Hukum Waris, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010, hal. 3.
Secara bahasa (etimologi), kata fardh mempunyai beberapa arti yang berbeda
yaitu al-qath “ketetapan yang pasti”, at-taqdir “ketentuan” dan al-bayan “penjelasan”.
Sedangkan menurut istilah (terminologi), fardh ialah bagian dari warisan yang telah
ditentukan.Definisi lainnya menyebutkan bahwa fardh ialah bagian yang telah
ditentukan secara syar’i untuk ahli waris tertentu. Di dalam Al-Qur’an, kata furudh
muqaddarah (yaitu pembagian ahli waris secara fardh yang telah ditentukan jumlahnya)
merujuk pada 6 macam pembagian, yaitu separuh (1/2), seperempat (1/4 ), seperdelapan
( 1/8), dua pertiga ( 2/3), sepertiga ( 3/3), dan seperenam (6/6 ).6
b. Macam-macam Ashabul Furudh
a. Suami
b. Isteri.
6
Komite fakultas syariah universitas Al-Azhar; hukum waris, cet. 1, Jakarta: Senayan Abadi Publishing,
2004, hal.106.
7
Hasbiyahllah, Belajar mudah Ilmu Waris, cet. 1 , Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007,hal.19.
yaitu ahli waris yang mendapatkan harta warisan disebabkan karena nasab
atau keturunan.8 Ashabul Furudh Nasabiyyah ini terdiri dari:
a. Ayah;
b. Ibu;
c. Anak perempuan;
i. Kakek;
9
۞ ك أَ ْز ٰ َو ُج ُك ْم ِإن لَّ ْم يَ ُكن لَّه َُّن َولَ ٌد
َ ۚ َولَ ُك ْم نِصْ فُ َما تَ َر
8
Ibid,. hal 20
9
https://tafsirweb.com/1544-quran-surat-an-nisa-ayat-12.html
ت فَلَهَا نِصْ فُ َما تَ َركَ ۚ َوهُ َو يَ ِرثُهَٓا إِن لَّ ْم يَ ُكن لَّهَا ٌ ْس لَهۥُ َولَ ٌد َولَ ٓۥهُ أُ ْخ َ َك قُ ِل ٱهَّلل ُ يُ ْفتِي ُك ْم فِى ْٱل َك ٰلَلَ ِة ۚ إِ ِن ٱ ْم ُر ٌؤ ۟ا هَل
َ ك لَي َ َيَ ْستَ ْفتُون
ِ ََولَ ٌد ۚ فَإِن َكانَتَا ْٱثنَتَ ْي ِن فَلَهُ َما ٱلثُّلُث
10
ك
َ ان ِم َّما ت ََر
2. Ashabil Ashabah
‘Ashabah terbagi menjadi dua bagian, yakni „ashabah nasabiyah (karena nasab)
dan „ashabah sababiyah (karena sebab memerdekakan hamba sahaya). Mengenai
„ashabah nasabiyah para ahli faraidh membaginya menjadi tiga bagian yaitu:
a) ‘Ashabah bin nafs
‘Ashabah bin nafs ialah tiap-tiap kerabat laki-laki yang dipertalikan dengan si
mati tanpa diselingi oleh orang perempuan.12 Mereka mendapatkan bagian sisa
karena status dirinya tanpa disebabkan oleh orang lain.
Golongan ahli waris „ashabah bin nafs yaitu mereka dari golongan ahli waris
laki-laki kecuali saudara laki-laki seibu. Ditambah dengan mu‟tiq dan mu‟tiqah
(oranglaki-laki atau perempuan yang memerderdekakan hamba sahaya)13 prinsip
10
https://tafsirweb.com/1708-quran-surat-an-nisa-ayat-176.html
11
Fatchur Rahman, hlm. 339
12
ibid
13
Ahmad Rofiq, hlm. 74
penerimaan ahli waris ashab al-ushbah ini berdasarkan kedekatan kekerabatannya,
yakni kekerabatan yang paling dekatlah yang berhak menerima bagian sisa setelah
diambil ahli waris ashabul furudh.
b) ‘Ashabah bi al-ghair
‘Ashabah bi al-ghair adalah tiap wanita yang mempunyai furudh tapi dalam
mewaris menerima ashabah memerlukan orang lain dan dia bersekutu dengannya
untuk menerima ashabah.14
Orang-orang yang menjadi ashabah bil ghair tersebut adalah ahli waris
perempuan yang menjadi ashabah beserta ahli waris laki-laki yang sederajat
dengannya, jika ahli waris laki-laki itu tidak ada maka ia tidak menjadi ashabah
melainkan menjadi ashabul furudh. Ahli waris penerima ashabah bil ghair tersebut
adalah:
(1) Anak perempuan bersamaan dengan anak laki-laki.
(2) Cucu perempuan garis laki-laki bersamaan dengan cucu laki-laki garis laki-
laki.
menerima dua kali bagian perempuan. Dasarnya adalah QS. an-Nisa yang
berbunyi:
14
TM. Hasbi ash-Shiddiqy, hlm. 173
15
Ahmad Rofiq, hlm. 74
dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan
perempuan, Maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang
saudara perempuan.
c) ‘Ashabah ma’a al-ghair
Ashabah ma’a al ghair adalah tiap wanita yang memerlukan orang lain dalam
menerima ashabah sedangkan orang lain itu tidak bersekutu menerima ashabah
tersebut.16 Artinya ahli waris Ashabah ma’a al ghair menerima bagian sisa karena
kebersamaannya dengan ahli waris lain yang tidak menerima bagian sisa. Apabila
ahli waris lain tersebut tidak ada maka ia menerima bagian tertentu, mereka yang
berhak mendapat bagian ashabah ma’a al-ghairi adalah:
3. Dhawil Arham
Dzawil arham adalah keluarga yang tidak memiliki hak waris menurut furudh
dan bukan termasuk ashabah.17 Dengan kata lain mereka bukan termasuk ashabul
furudh dan bukan termasuk ashabah.
Pemberian hak waris kepada dzawil arham menjadi perdebatan dalam kalangan
fuqoha apakah mereka itu mendapatkan warisan atau tidak. Para ulama imam
mujtahid didalam masalah ini ada dua kelompok sebagaimana juga para sahabat.
a) Dzawil arham tidak bisa mewaris sama sekali karena tidak tercantum dalam
al-Qur’an dan hadis, maka apabila harta peninggalan tidak ada yang bisa
menghabiskan diserahkan kepada baitul mal untuk kepentingan umum. Pendapat ini
adalah pendapat Imam Syafi‟i dan Imam Malik yang mengikuti pendapat sahabat
16
TM, Hasbi as-Shiddiqy, hlm. 153
17
Muhammad Thaha Abul Ela Khalifah, Ahkamul Mawaris: 1400 Mas‟alah Miratsiyah, Terj. Tim Kuais
Media Kreasindo, Hukum Waris Pembagian Warisan Berdasarkan Syariat Islam, Solo: Tiga Serangkai,
th. 2007, hlm. 541
Zaid bin Stabit dan Ibnu Abbas.
b) Dzawil arham bisa mewaris ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan
Imam Ahmad bin Hambal mengikuti pendapat sahabat Ali bin Abi Thalib, Umar,
dan Ibnu Mas’ud.