Anda di halaman 1dari 13

DZAWIL FURUD DAN ASHABAH

Disusun Oleh :
Kelompok 9

Novia Faresa (1910202002)


Siska Handayani (1910202030)
M. Muzaki Fathurrahman (1930202211)

Dosen Pengampu:
Romli, M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya kepada kami kemampuan, kekuatan, serta keberkahan baik
waktu, tenaga, maupun pikiran sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Dzawil Furudz dan Ashabah”.
Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Bapak Romli, M.Pd selaku dosen pengampu Mata Kuliah Fikih Munakahat
dan Mawaris yang telah banyak memberikan bimbingan dan dukungan kepada
kami dalam pembuatan makalah ini. Serta pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan, baik materi maupun pikirannya.
Jika dalam penulisan makalah terdapat berbagai kesalahan dan kekurangan
kami minta maaf atas kesalahannya. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah ini. Semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan daan pengalaman bagi para pembaca.

Palembang, 11 Maret 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..............................................................................................i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ...............................................................................1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN .........................................................................................3
A. Pembagian Ahli Waris dalam Dzawil Furudz ..............................................3
B. Pembagian Ahli Waris dalam Ashabah........................................................7
BAB III PENUTUP .................................................................................................9
A. Simpulan ......................................................................................................9
B. Saran .............................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 10

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu hukum yang mengatur hubungan sesama manusia yang
ditetapkan Allah adalah hukum kewarisan yang mengatur tentang harta warisan,
yaitu harta yang telah ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal. Harta
tersebut memerlukan pengaturan tentang siapa yang berhak menerimanya,
berapa jumlahnya, dan bagaimana cara mendapatkannya.1
Pada prinsipnya setiap ahli waris yang telah mempunyai sebab-sebab
mewarisi, seperti adanya ikatan perkawinan, pertalian darah, atau nasab, ikatan
perwalian dalam pembebasan budak, dan telah memenuhi syarat untuk
mempusakai, misalnya hidupnya orang mewarisi di saat wafat orang yang
mewariskan hartanya, serta tidak terdapat salah satu dari penghalang-
penghalang mewarisi adalah cakap untuk mewarisi.2
Di dalam hukum kewarisan islam, orang-orang yang menjadi ahli waris dan
bagian masing-masing telah ditetapkan dalam Al-Qur’an maupun hadits
Rasulullah Saw. Sebagaimana yang tersirat di dalam firman Allah Swt dalam
surat An-Nisa’ ayat 7 bahwa hukum islam mempunyai nilai-nilai keadilan dan
persamaan yang tinggi. Hal ini berarti laki-laki dan perempuan sama-sama
menjadi ahli waris dari ibuk-bapak, dan kerabatnya dengan bagian masing-
masing seperti yang Allah Swt tetapkan di dalam Al-Qur’an.
Ketetapan tentang bagian-bagian masing-masing ahli waris itu telah diatur
dalam agama islam dengan sedemikian rupa, setiap muslim berkewajiban
mentaati seluruh aturan hukum waris yang dianjurkan oleh agama islam. Al-
Qur’an sebagai kitab pedoman telah menggariskan secara rinci seperangkat
ayat-ayat hukum kewarisan, yang di dalamnya telah ditentukan porsi atau
bagian secara pasti bagi masing-masing ahli waris sebagai Dzawil Furudz dan
Ashabah.3

1
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 3
2
Fatcurrahman, Hukum Waris dalam Islam, (Bandung: Al-Ma’rif, 2009), hlm. 221
3
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 18

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pembagian ahli waris dalam Dzawil furudz?
2. Bagaimana pembagian ahli waris dalam ashabah?

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembagian Ahli Waris dalam Dzawil Furudz
Secara bahasa (etimologi), kata fardh mempunyai beberapa arti yang
berbeda yaitu al-qath “ketetapan yang pasti”, at-taqdir “ketentuan” dan al-
bayan “penjelasan”. Sedangkan menurut istilah (terminologi), fardh ialah
bagian yang telah ditentukan secara syar’i untuk ahli waris tertentu.4
Definisi lainnya menyebutkan bahwa fardh ialah bagian yang telah
ditentukan secara syar’i untuk ahli waris tertentu. Di dalam Al-Qur’an,
kata furudh muqaddarah (yaitu pembagian ahli waris secara fardh yang telah
ditentukan jumlahnya) merujuk pada 6 macam. Sedangkan pengertian Ashaabul
Furudh atau dzawil furudh adalah para ahli waris yang menurut syara’ sudah
ditentukan bagian-bagian tertentu mereka mengenai tirkah, atau orang-orang
yang berhak menerima waris dengan jumlah yang ditentukan oleh Syar’i.
Pembagian yaitu 1/2 1/3 1/8 1/6 1/3 dan 2/3 para ahli waris yang mendapat
menurut angka-angka tersebut dinamai ahli waris dzawil furudh.5
Jadi dapat disimpulkan bahwa dzawil furudh adalah ketentuan-ketentuan
yang telah ditetapkan oleh Allah di dalam Al-Qur’an menngenai siapa-siapa
saja dan berapa hak-hak yang harus di berikan kepada tiap-tiap ahli waris yang
ditinggalkan. Tidak semua kerabat dapat dikatakan sebagai ahli waris, adapun
sebab-sebab yang harus dipenuhi agar seseorang dapat menjadi bagaian dari
dzawil furudh yaitu Ashabul Furudh Sababiyah dan Ashabul Furudh
Nasabiyyah.
1. Macam-macam Dzawil Furudh /Ashabul Furudh
Adapun Ashaabul Furudh terbagi menjadi dua macam, yaitu :6
a. Ashabul Furudh Sababiyah, yaitu ahli waris yang mendapatkan harta
warisan disebabkan karena hubungan pernikahan atau memerdekakan
budak. Dalam hukum islam kelompok ahli waris ini terdiri dari:

4
Asman, Hukum Waris: Panduan Dasar Untuk Keluarga Muslim Kajian Teori, Praktik, dan
contoh, (Medan: Insan Cendekia Mandiri, 2021), hlm. 56
5
Muhammad Ajib, Fiqih Hibah dan Waris, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2019), hlm. 68
6
Ibid., hlm. 68-70

3
1) Hubungan darah, terdiri dari: golongan laki-laki, yaitu ayah, anak-
laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan kakek.
2) Hubungan perkawinan, terdiri dari duda dan janda. Apabila semua
ahli waris ada, maka yang berhak menerima warisan hanya anak,
ayah, ibu janda dan duda.
b. Ashabul Furudh Nasabiyyah, yaitu ahli waris yang mendapatkan harta
warisan disebabkan karena nasab, hubungan darah atau
keturunan. Apabila ahli waris ada, maka Ashabul Furudh Nasabiyyah
laki-laki yang mendapat warisan adalah anak laki-laki dan ayah.
Adapun yang termasuk ahli waris Ashabul Furudh Nasabiyyah
perempuan adalah:
1) Ibu;
2) Nenek drai garis ibu
3) Nenek dari garis ayah
4) Cucu perempuan garis laki-laki;
5) Saudara perempuan sekandung;
6) Saudara perempuan seayah;
7) Saudara laki-laki seibu;
Apabila semua ahli waris perempuan tersebut ada ketika ahli waris
meninggal dunia, maka yang dapat menerima bagian adalah Ibu, anak
perempuan, cucu perempuan garis laki-laki dan saudara perempuan
sekandung.
2. Bagian Masing-masing Ashabul Furudh/ Dzawil Furudh
Dari segi hak atas harta warisan, ahli waris dibagi menjadi tiga yaitu dzawil
furudh, ashabah, dzawil arham. Berikut ini penjelasan mengenai bagain masing-
masing dari ashabul furudh atau dzawil furudh:7
a. Furudh yang mendapatkan setengah (1/2), ahli waris yang menerima Ini
adalah
1) Anak perempuan, bila ia hanya seorang diri saja
2) Saudara perempuan bila (kandung atau seayah) ia hanya seorang saj
3) Suami, bila pewaris tidak ada meninggalkan anak

7
Ibid., hlm. 71-72

4
b. Furudh 1 / 4 ahli waris yang menerima furudh ini adalah
1) Suami, bila pewaris (istri) meninggalkan anak
2) Istri, bila pewaris (suami) meninggalkan anak
c. Furudh 1/8 ahli waris yang menerima furudh ini adalah, istri, bila pewaris
meninggalkan anak.
d. Furudh 1/6 ahli waris yang menerima furudh ini adalah
1) Ayah, bila pewaris anak
2) Kakek, bila pewaris tidak meninggalkan anak
3) Ibu, bila pewaris meninggalkan anak
4) Ibu, bila pewaris meninggalkan beberapa saudara
5) Nenek, bila pewaris tidak meninggalkan anak
6) Seorang sudara seibu laki laki atau perempuan
e. Furudh 1/3 ahli waris yang menerima furudh ini adalah furudh 1/3 ahli
waris yang menerima huruf ini adalah
a) Ibu, bila ia mewarisi bersama ayah dan pewaris tidak meninggalkan
anak atau saudara
b) Saudara seibu laki-laki atau perempuan, bila terdapat lebih dari seorang
f. Furudh 2/3 ahli waris yang menerima furudh ini adalah
a) Anak perempuan bila ia lebih dari dua orang
b) Saudara perempuan kandung atau seayah, bila laki-laki keturunan anak
laki-laki, baik sederajat dengannya atau bahkan lebih di bawahnya
3. Kaidah Pembagian Ashabul Furudh
Membagai warisan dalam islam sebenarnya tidak terlalu rumit asalkan
sudah mengetahui kaidah standar yang berlaku. Dalam pembagaian warisan
para pakar ilmu faraidh lebih banyak mengunakan metode Mencari Asal
Masalah. Berikut ini penjelasan mengenai Metode yang sering dipakai oleh
pakar ilmu faraidh.
a. Metode Mencari Asal Masalah
Metode mencari asal masalah adalah cara menyelesaikan pembagaian
harta warisan dengan mencari dan menetapkan asal masalah dari fardh dari

5
masing-masing ahli waris. Ada beberapa istilah yang membantu dalam
mencari asal masalah. Seperti:8
1) Tamasul atau mumatsalah, seperti 2 saudara perempuan
sekandung dan saudara seibu . Angka asal masalahnya adalah 3.
2) Tadakhul atau mudakhalah, Seperti ahli waris istri dan anak
perempuan . Asal masalahnya adalah 8.
3) Tawaquf atau muwafaqah, Misalnya, ahli waris istri , dan ibu dan anak
perempuan . Antara angka 8 dan 6 adalah angka muwafaqah Angka asal
masalahnya adalah mengalikan angka penyebut yang satu dengn hasil
bagi angka penyebut yang lain. 8 x (6:2) = 24 atau 6 x(8:2) = 24.
4) Tabayun atau mubayanah,[11] Seperti ahli waris suami dan ibu . Maka
angka asal masalahnya adalah 2x3 = 6.
4. Langkah-langkah Perhitungan Dengen Metode Asal Masalah
Metode mencari asal masalah ini sering digunakan dalam pembagian harta
warisan hingga saat ini. Adapun prosedur atau langkah-langkah perhitungan
harta warisan dalam metode asal masalah, yaitu:9
1) Menentukan bagaian para ahli waris, baik yang menerima fardh tertentu
maupun yang menerima sisa.
2) Menentukan asal masalah, asal masalah yaitu kelipatan persekutuan
terkecil KPK dari angka penyebut fardh para ahli waris. Misalnya jika
fardh-fardh para Ashhabul furudh yang akan menerima warisan terdiri
dari 1/2 1/3 1/6 maka asal masalahnya adalah 6 yaitu KPK dari 2,3 dan
6 dengan melihat Kombinasi yang mungkin dari ke enam macam fardh
para ahli waris golongan Ashhabul furudh maka asal masalah yang
mungkin ada 7 macam yaitu 2 3 4 6 8 12 dan 24 dalam hal semua ahli
waris dari golongan ‘ashabah, maka asal masalahnya dengan
menghitung jumlah kepala jika semuanya laki-laki (‘ashabah bin-nafsi)
atau semuanya perempuan (‘ashabah ma’al- ghair) setiap orang
dihitung memiliki satu kepala jika gabungan laki-laki dan perempuan

8
Achamad Yani, Faraidh dan Mawaris, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 66-67
9
Ibid., hlm. 69

6
(‘ashabah bil ghoir) maka yang laki-laki dihitung 2 Kepala Bidang yang
perempuan hitung satu kepala.
3) Menentukan saham, yang harus diterima oleh masing-masing ahli waris
dengan cara mengalikan fardh mereka masing-masing dengan asal
masalah.
4) Mencari nilai satu saham, yaitu dengan membagi harta peningalan
dengan asal masalah sehingga diketahui penerimaan masing-masing ahli
waris. Dalam hal ini, jumlah harta yang diterima masing-masing ahli
waris adalah sama dengan jumlah saham dikalikan dengan nilai satu
saham.
B. Pembagian Ahli Waris dalam Ashabah
1. Pengertian Ashabah
Ashabah dalam ilmu waris secara istilah ialah ahli waris yang berhak
menerima harta warisan sisa dengan tidak ditentukan bagiannya. Ashabah
merupakan golongan ahli waris tertentu dengan bagian yang tidak ditentukan
bagiannya oleh nash melainkan menerima bagian sisa setelah diserahkan
kepada ahli waris Ashabul Furud.10
Ashabah dikelompokkan tiga macam, yaitu Pertama, ahli waris’ ashabah
bin nafsi, yaitu ahli waris ashabah ahli waris yang tidak bersama-sama dengan
ahli waris yang lain, kelompok ahli waris ini adalah anak laki-laki, cucu,
saudara kandung, saudara seayah, dan paman. Kedua, ahli waris ashabah bil-
ghairi, yaitu ahli waris menjadi ahli waris ashabah disebabkan karena ditarik
oleh ahli waris ashabah yang lain, yaitu anak perempuan ditarik oleh anak laki-
laki dan cucu perempuan ditarik oleh saudara kandung atau saudara seayah. Dan
yang ketiga, adalah ahli waris ashabah ma’al gharii, ialah ahli waris yang
menjadi ashabah karena bersama-sama dengan ahli waris yang lain, seperti
saudara bersama-sama anak perempuan.11
﴾١٤﴿ َ‫ص َبةٌ ِإنَّا ِإذًا لَّخَا ِس ُرون‬ ِ ُ‫قَالُواْ لَئِ ْن أ َ َكلَه‬
ُ ُ‫الذئْبُ َونَحْ ن‬
ْ ‫ع‬

10
Yusida Fitriyati, ”Kedudukan Ashabah Dalam Kasus ‘Aul Menurut Ibnu Abbas” Nurani:
Jurnal Kajian Syariah dan Masyarakat. Vol. 14, No. 2, 2014, hlm. 2
11
Komari, “Dinamisasi Dan Elastisitas Hukum Kewarisan Islam,” Jurnal Hukum dan
Peradilan Vol. 1, No. 2, 2012, hlm. 467

7
Artinya: “Mereka berkata: “Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang
kami golongan (yang kuat), sesungguhnya kami kalau demikian adalah orang-
orang yang merugi”.
2. Macam-Macam Ashabah
Ada dua macam pembagian ashabah di dalam ilmu faraidl, yakni ‘ashabah
sababiyah dan ashabah nasabiyah. ‘Ashabah sababiyah adalah ashabah karena
adanya sebab, yaitu sebab memerdekakan budak. Ketika seorang budak yang
telah dimemerdekakan meninggal dunia dan tidak memiliki kerabat secara
nasab maka sang tuan yang mengambil memerdekakannya bisa mewarisi harta
peninggalannya secara ashabah, sebagai balasan atas kebaikannya yang telah
memerdekakan sang budak.
Sedangkan ashabah nasabiyah adalah ashabah karena adanya hubungan
nasab dengan si mayit. Mereka yang masuk dalam kategori ini adalah semua
orang laki-laki yang telah disebutkan dalam pembahasan para penerima waris
dari pihak laki-laki selain suami dan saudara laki-laki se-ibu, keduanya hanya
menerima dari bagian pasti saja.
Dengan demikian maka yang termasuk dalam ashabah nasabiyah adalah
bapak, kakek, anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, saudara laki-laki
sekandung, saudara laki-laki sebapak, anak laki-laki dari saudara laki-laki
sekandung, anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak, paman sekandung, dan
anak laki-lakinya paman sebapak. Mereka semua adalah para ahli waris yang
bisa mendapatkan warisan secara ashabah. Meskipun bapak dan kakek
terkadang bisa mengambil warisan melalui bagian pasti.12

12
Asman, Hukum Waris Panduan Dasar Untuk Keluarga Muslim, (Sumatra Barat: Insan
Cendekia Mandiri, 2021), hlm. 73

8
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dzawil Furudh adalah ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah di
dalam Al-Qur’an menngenai siapa-siapa saja dan berapa hak-hak yang harus di
berikan kepada tiap-tiap ahli waris yang ditinggalkan. Tidak semua kerabat dapat
dikatakan sebagai ahli waris, adapun sebab-sebab yang harus dipenuhi agar
seseorang dapat menjadi bagaian dari dzawil furudh yaitu Ashabul Furudh
Sababiyah dan Ashabul Furudh Nasabiyyah.
Ashabul Furudh adalah orang-orang yang berhak menerima waris yang sudah
ditentukan bagian-bagiannya menurut ketentuan syara’. Ashabul Furudh terbagi
menjadi 2 macam, yaitu Ashabul Furudh Sababiyah (karena hubungan pernikahan:
suami dan istri) danAshabul Furudh Nasabiyyah (karena hubungan nasab atau
keturunan: anak perempuan, cucu perempuan, ibu, bapak, nenek, kakek, saudara
perempuan sekandung, saudara perempuan seayah dan saudara perempuan/ laki-
laki seibu).
Bagian ahli waris masing-masing ialah (suami, seorang anak perempuan,
seorang cucu perempuan, seorang saudara perempuan sekandung, dan seorang
saudara perempuan seayah), (ibu dan saudara laki-laki/ perempuan seibu 2 orang
atau lebih), (2 anak perempuan/ lebih, 2 cucu perempuan/ lebih, 2 saudara
perempuan sekandung/ lebih, 2 saudara perempuan seayah/ lebih), (ibu, ayah,
nenek, kakek, cucu perempuan, saudara perempuan seayah, seorang saudara
perempuan/ laki-laki seibu), (suami dan istri), (istri), dengan syaratnya masing-
masing.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan sangat jauh
dari kesempurnaan. Tentunya penulis akan terus memperbaiki makalah dengan
mengacu pada sumber yang dapat dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah
diatas.

9
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Yani. (2016). Faraidh dan Mawaris. Jakarta: Kencana
Asman. (2021). Hukum Waris: Panduan Dasar Untuk Keluarga Muslim Kajian
Teori dan Praktik, dan contoh. Medan: Insan Cendekia Mandiri.
Asman. (2021). Hukum Waris Panduan Dasar Untuk Keluarga Muslim. Sumatera
Barat: Insan Cendikia Mandiri.
Fatcurrahman. (2009). Hukum Waris dalam Islam. Bandung: Al-Ma’rif.
Fitriyati Yusida. (2014). Kedudukan Ashabah Dalam Kasus Aul Menurut Ibnu
Abbas. Nurani: Jurnal Kajian Syariah dan Masyarakat.
Komari. (2012). Dinamisasi dan Elastisitas Hukum Kewarisan Islam. Jurnal
Hukum dan Peradilan.
Muhammad Ajib. (2019). Fiqih Hibah dan Waris. Jakarta: Rumah Fiqih
Publishing.
Syarifuddin Amir. (2005). Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana
Syarifuddin Amir. (2004). Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana

10

Anda mungkin juga menyukai