Anda di halaman 1dari 20

KEWARISAN DZAWIL ARHAM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Mawaris

Dosen Pengampu: Abdul Haris, M.HI

Disusun Oleh:
Azka Qotrunada 220201110049
Irwan Agustian Mustofa 220201110070
Calista Salsabilla Sudrajat 220201110175
Fauziah Nabila 220201110180
Mochammad Syamsul Anwar 220201110194

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2024
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
taufiq, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah
dengan lancar. Sholawat dan salam semoga selalu terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.,
keluarga, sahabat, dan para umatnya yang senantiasa menjalankan sunnah-sunnahnya hingga
nanti di hari kiamat. Alhamdulillah kami diberi kesempatan, kemudahan, dan kelancaran dalam
menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Fiqh Mawaris yang berjudul Kewarisan Dzawil
Arham

Saya mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Fiqh Mawaris,
yaitu Bapak Abdul Haris, M.HI. yang telah memberi tugas makalah ini. Semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat, inspirasi, dan menambah pengetahuan pembaca.
Tak ada gading yang tak retak. Begitu pula dengan tugas yang kita buat ini yang masih
jauh dari kesempurnaan. Kami memohon maaf apabila ada kekurangan ataupun kesalahan pada
teknik penulisan maupun materi. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan agar tugas
ini menjadi lebih baik serta berguna di masa yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi para pembaca dan bagi kami khususnya, sebagai penulis.

Malang, 13 Maret 2024

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................................................... 2
BAB I .............................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 4
A. Latar Belakang ..................................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 5
C. Tujuan Penulisan .................................................................................................................. 5
BAB II ............................................................................................................................................. 6
PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 6
A. Pengertian dzawil arham...................................................................................................... 6
B. Syarat-syarat pemberian hak waris bagi dzawil arham ....................................................... 7
C. Prinsip pembagian warisan kepada dzawil arham ............................................................... 7
D. Dasar Hukum Al-Qur’an dan Hadits ................................................................................... 8
E. Pendapat para ulama terkait dengan warisan dzawil arham .............................................. 10
F. Pandangan Kompilasi Hukum Islam terkait waris dzawil arham ...................................... 14
G. Cara pembagian waris dzawil arham ................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... 20

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Didalam agama Islam setiap permasalahan atau problematika yang muncul di dalam
kehidupan sehari-hari manusia tentu terdapat solusi dalam penyelesaiannya, seperti dalam hal
warisan. Waris merupakan salah satu bentuk permasalhan yang akan sering muncul didalam
kehidupan masyarakat, maka dari itu, dalam agama Islam terdapat suatu ilmu yang disebut
sebagai Fiqh Mawaris, Dimana ilmu tersebut membahas seputar pembagian harta warisan serta
membahas seluruh problematika yang ada di dalamnya, seperti kasus ketika para ahli waris
merasa bagian yang didapatkan tidak sesuai atau bisa jadi tidak sama sekali mendapatkan harta
warisan karena disebabkan satu dan lain hal.

Ahli waris merupakan orang yang memiliki hubungan darah dengan pewaris atau
mayyit namun tidak semua yang memiliki hubungan darah dengan pewaris mendapatkan bagian
tetap seperti yang ada di dalam al-Qur’an (ashabul furud), kemudian bagaimana jika pewaris
tidak meninggalkan ahli waris ashabul furud, bagimana jika harta warisan tersebut dibagiakan
kepada orang-orang yang masih memiliki hubungan darah walau dari jalur keturunan
perempuan (dzawil arham). Ternyata para ulama telah lebih dulu membahas tentang hukum
waris bagi ahli waris dzawil arham. Dzawil arham adalah ahli waris yang tidak termasuk dalam
golongan ahli waris ashabul furud dan ashabah atau golongan ahli waris yang mendapat bagian
sisa dari harta warisan.

Ulama’ berbeda pendapat mengenai kebolehan atas pembagian warisan kepada ahli
waris dzawil arham, sebagian ada yang berpendapat bahwa golongan ahli waris dzawil arham
mendapatkan bagian dari harta warisan yang tinggalkan pewaris dengan alasan jika pewaris
tidak memiliki ahli waris ashabul furud dan ashabah. Sebaliknya sebagian ulama’
lainnyaseperti imam Syafi’i tidak memperbolehkan golongan dzawil arham mendapatkan harta
warisan jika pewaris tidak memiliki ahli waris ashabul furud dan ashabah tetapi harta tersebut
harus diserahkan kepada baitul mal.

4
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Dzawil Arham?
2. Apa saja syarat-syarat pembagian hak waris dzawil arham?
3. Bagaimana prinsip dari pembagian hak waris dzawil arham?
4. Bagaimana dasar hukum dari Al-Qur’an dan Hadits terkait waris dzawil arham?
5. Bagaimana pendapat para ulama terkait dengan warisan dzawil arham?
6. Bagaimana pandangan Kompilasi Hukum Islam terkait waris dzawil arham?
7. Bagaimana cara pembagian waris dzawil arham?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Dzawil Arham?
2. Untuk mengetahui syarat-syarat pembagian hak waris dzawil arham?
3. Untuk mengetahui prinsip dari pembagian hak waris dzawil arham?
4. Untuk mengetahui dasar hukum dari Al-Qur’an dan Hadits terkait waris dzawil
arham?
5. Untuk mengetahui pendapat para ulama terkait dengan warisan dzawil arham?
6. Untuk mengetahui pandangan Kompilasi Hukum Islam terkait waris dzawil
arham?
7. Untuk mengetahui cara pembagian waris dzawil arham?

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dzawil arham


Arham merupakan bentuk jamak dari "rahim" dalam bahasa Arab berarti "tempat
pembentukan atau penyimpanan janin dalam perut ibu." Dikembangkan lagi hingga
menjadi "kerabat" dari ayah dan ibu. Tidak diragukan lagi, maksud ini didasarkan pada
adanya Rahim, yang menyatukan asal mereka. Oleh karena itu, kata "Rahim" sering
digunakan dengan arti "kerabat", baik dalam bahasa Arab maupun dalam syariat Islam Allah
Swt berfirman :

ِ َِّ َِٰ ِ
‫يم‬ ِ َ ‫ص ِوُرُك ْم ِِف ْاْل َْر َح ِام َكْي‬
ُ ‫ف يَ َشاءُ ۚ ََل إلَهَ إَل ُه َو الْ َعز ُيز ا ْْلَك‬ َ ُ‫ُه َو الَّذي ي‬

“Dialah yang membentuk kamu dalam Rahim sebagaimana dikehendaki-Nya. Tak ada
Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang Maha Perkasa Bijaksana” (Q.S Ali
Imron : 6)

Dengan demikian, kata kekerabatan dengan kalimat arham/Rahim termasuk sebuah


kiasan atau majas dalam pengertian dzawil arham secara Bahasa, kekerabatan ini termasuk
dari ash-habul furudh, ashabah, ataupun yang lainnya. Dalam artian kaliat ini mencakup
alfuru’ (keturunan), al ushul (leluhur), dan al hawasyi (ahli waris menyimpang). 1

Jadi, Dzawil arham adalah semua ahli waris yang memiliki tali kekerabatan dengan
pewaris selain ashabul furudh dan ashabah, baik laki-laki maupun perempuan. Sebagai
contoh, cucu perempuan dari anak perempuan, bibi dari pihak bapak dan ibu, keponakan
perempuan, paman dari pihak ibu, keponakan laki-laki dari saudara perempuan, dll. Ibn
Rusyd berpendapat bahwa, ahli waris yang termasuk dalam dzawil arham adalah : 2
a. Cucu (laki-laki atau perempuan) garis perempuan.
b. Anak perempuan dan cucu perempuan saudara laki-laki (bint al-akh).

1
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul mawaris fil fiqhil Islami, penerjemah Addys Aldizar dan
Faturrahman (Jakarta: Senayan Abadi Publishing) 337-338.
2
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada 2021), hlm. 79.

6
c. Anak perempuan dan cucu perempuan saudara-saudara perempuan (bint
alukh).
d. Anak perempuan dan cucu perempuan paman (bint al-‘amm).
e. Paman seibu (al-‘amm li al-umm).
f. Anak dan cucu saudara-saudara laki-laki seibu (aulad al-akh li al-umm).
g. Saudara perempuan bapak (al-‘ammah).
h. Saudara-saudara ibu (al-khal atau al-khalah).
i. Kakek dari garis ibu (al-jadd min jihat al-umm).
j. Nenek dari pihak kakek (al-jaddah min jihat al-jadd).

B. Syarat-syarat pemberian hak waris bagi dzawil arham

Dzawil arham mendapat hak mewarisi jika dipenuhi dua syarat sebagai berikut:
a) Tidak ada shahibul fardh; jika ada, mereka tidak hanya akan mengambil bagian yang ada,
tetapi juga akan mengambil sisanya karena merupakan hak mereka secara radd. Ketahuilah
bahwa ahli waris secara al-radd memiliki prioritas lebih tinggi daripada dzawil arham
dalam penerimaan waris.
b) Tidak ada penta'shib (‘ashabah), karena jika tidak ada shahibul fardh, maka ashabah akan
mengambil seluruh hak waris. Namun, jika shahibul fardh hanya terdiri dari suami atau
istri, maka ashabah akan menerima hak warisnya secara fardh, dan sisa harta warisan akan
diberikan kepada dzawil arham. Ini karena kedudukan hak suami atau istri di atas hak fardh.

C. Prinsip pembagian warisan kepada dzawil arham

Adapun mengenai cara pembagian warisan kepada dzawil arham ada tiga prinsip,
yang kemudian lebih dikenal dengan nama golongan yaitu:3
a) Prinsip Ahlur-Rahmi, setiap kerabat berhak atas waris yang sama, tanpa membedakan
jenis kelamin atau tingkat kekerabatan. Karena mereka tidak mempertimbangkan
kekerabatan atau kekuatan ahli waris, penganut mazhab ini disebut sebagai ahlurrahmi.
Mereka berprinsip bahwa hak-hak seluruh ahli waris dibagi karena kekerabatan.
Mazhab ini tidak terkenal, bahkan tidak masuk akal, dan ditolak. Oleh karena itu, tidak
ada seorang pun dari ulama atau para imam mujtahid yang mengakui atau menganut

3
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada 2021), hlm. 83

7
pendapat ini dengan alasan bahwa itu benar-benar bertentangan dengan kaidah
syar'iyah yang populer dalam bidang ilmu mawaris.
b) Prinsip Ahlul At-Tanzil berpendapat bahwa keturunan ahli waris ditempatkan pada
kedudukan induk atau pokok ahli waris asalnya. Mereka tidak mempertimbangkan ahli
waris yang ada atau masih hidup, tetapi yang lebih dekat dari Ashabul Furudh dan para
ashabah mereka. Oleh karena itu, hak ahli waris yang ada diberikan sesuai dengan
bagian ahli waris yang lebih dekat, yaitu pokoknya. Ulama Maliki dan Syafi'i
kontemporer juga setuju dengan ini. Mazhab ini bersandar pada riwayat marfu atau
sampai sanadya tentang bagaimana Rasulullah SAW memberikan hak waris kepada
seorang Bibi atau saudara perempuan ayah atau ibu, ketika tidak ada ahli waris lain.
Dia memberikan 2/3 bagian kepada Bibi atau dari pihak ayah, dan sepertiga lagi
kepada Bibi atau dari pihak ibu.
c) Prinsip Al-Qarabah, yang mengatur pemberian bagian warisan kepada ahli waris
dzawil arham, bergantung pada prinsip kekerabatan yang dekat. Mazhab ahl-al-
qarabah adalah yang menganut prinsip ini. Menurut prinsip al-qarabah, dzawil arham
dikelompokkan sesuai dengan pembagian "ashabah" untuk menentukan dekat atau
jauhnya kekerabatan. Pengelompokkan dzawil arham menurut prinsip al-qarabah
adalah sebagai berikut :
d)
1. Al-Bunuwwah adalah keturunan al-muwarrits, yang tidak termasuk ashab alfurudl
dan ashab al-‘ashabah,seperti cucu yang merupakan garis keturunan perempuan.
2. Al-Ubuwwah yaitu kelompok leluhur yang tidak termasuk ashab al-furdl dan ashab
al’ashabah, seperti kakek ghairu shahih dan nenek ghairu shahihah (ayahnya ibu).
3. Al-Ukhuwwah adalah kelompok keturunan saudara-saudara yang tidak termasuk
dalam ashab al-furudl dan al-‘ashabah, seperti anak laki-laki saudara perempuan.
4. Al-‘Umumah adalah keturunan dari kakek atau nenek. Ini tidak termasuk ashab al-
furudl dan ashab al-ashabah, seperti saudara ibu laki-laki dan perempuan.

D. Dasar Hukum Al-Qur’an dan Hadits

Adapun dalil-dalil yang dijadikan dasar oleh para ulama dalam Mazhab ini
adalah sebagai berikut:
1. Firman allah swt.
8
ِ‫اّلل‬ ِ َ‫ض ِِف كِ ت‬
َّ ‫اب‬ ٍ ْ‫أَو ََلَٰ بِبَ ع‬ ِ
ْ ‫َوأُولُو ْاْل َْر َح ا م بَ عْ ضُ ُه ْم‬
“dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-
mewarisi) didalam kitab Allah”.4
Ayat ini menjadi dalil bahwa Allah SWT. Memberikan ketentuan untuk mewarisi bagi
dzawil arhām. Mereka adalah kerabat secara umum, sedangkan orang yang paling dekat
hubungannya adalah ashābul furūdl dan 'ashabāh yang bagiannya dari masing-masing
tersebut sudah dijelaskan dalam nash. Jika salah satu dari kerabat terdekat itu tidak ada,
kerabat yang diutamakan adalah kerabat yang masih mempunyai hibungan rahim,
sekalipun jauh nasabnya. Sebab berdasarkan ayat datas, mereka masih dipandang
sebagai kerabat yang berhak medapatkan warisan, jika tidak ada ahli waris lain.
2. Firman Allah SWT
ِ ‫ص يب ِِمَّا تَ ر َك ا لْوالِ َد‬
ِ ِ ِ‫ان و ْاْلَقْ رب و َن ولِلن‬
ِ ِ ِ ‫ص‬ ِ ِ
‫ان َو ْاْلَقْ َربُو َن‬ َ َ ٌ َ‫س اء ن‬ ٌ َ‫لرِ َج ال ن‬
َ َ ُ َ َ ‫يب ِمَّا تَ َر َك ا لْ َوال َد‬
“bagi laki-laki ada hak dan bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya,
dan bagi wanita ada bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya”.5
Tidak diragukan lagi bahwa mereka adalah kerabat yang berhak mendapatkan warisan
berdasarkan lafal umum diatas, sekalipun mereka bukan ashābul furūdl dan 'ashabāh.
3. Para ulama dalam Mazhab ini juga berargumentasi dengan hadits Nabi SAW., yang
diriwayatkan oleh Miqdam bin Ma’dikarib. Rasulullah SAW. Bersabda, “barang siapa
yang meninggalkan harta, maka hartanya itu adalah untuk ahli warisnya. Aku adalah
ahli waris yang tidk mempunyai ahli waris. Aku bisa mengikat dan mewarisi. Paman
dari pihak ibu adalah ahli waris orang yang tidak mempunyai ahli waris. Dia bisa
mengikat dan mewarisi. (HR Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah). dari hadits-hadits
diatas, satu dengan yang lainnya saling menguatkan dan hal ini menunjukkan bahwa
hak waris bisa diperoleh oleh dzawil arhām, apabila tidak ada ahli waris selain mereka.6

4
Surat Al-Ahzab Ayat 6 | Tafsirq.com
5
Surat An-Nisa' Ayat 7 | Tafsirq.com
6
Ma’rif Fadlun, “Pembagian Waris Bagi Dzawil Arham Menurut Imam As-Syafi’i dan Imam Abu Hanifah”, 2019,
Hal.66

9
E. Pendapat para ulama terkait dengan warisan dzawil arham
Berkembang pesatnya agama Islam juga turut serta diimbangi dengan muncul dan
lahirnya para ulama atau ahli-ahli keislaman baik itu yang belajar langsung dengan Rasulullah
(Sahabat) ataupun yang sudah turun temurun dari guru ke murid-muridnya. Oleh karna itu,
dalam konsep fiqh Mawaris “Dzawil Arham” ini terdapat perbadaan pendapat didalamnya
yang kemudian diklasifikasi menjadi dua kelompok:
1. Pendapat dari Zaid bin Tsabit r.a, Ibnu Abbas r.a, dan termasuk juga pendapat dari Imam
Malik dan Imam Syafi’I rahimahumullah menyatakan bahwa dzawil arham atau para
kerabat tidak berhak menerima waris. Lebih jauh merek mengatakan bahwa bila harta
waris tidak ada ashhabul fardh atau ashhabah yang mengambilnya, maka seketika itu
dilimpahkan kepada Baitul mal kaum muslim untuk dijadikan disalurkan demi
kepentingan masyarakat Islam pada umumnya. Dengan demikian, tidak dibenarkan jika
harta tersebut diberikan kepada dzawil arham. 7
Adapun Imam Malik dan Imam Syafi’i memiliki beberapa landasan sebagai
dasar akan pendapat mereka ini, yaitu:
a. Asal pemberian hak waris atau asal penerima hak waris adalah dengan adanya nash
syar’I dan qath’i dari Al-Qur’an atau sunnah. Dalam hal ini tidak ada satupun nash
yang pasti dan kuat yang menyatakan wajibnya dzawil arham untuk mendapat waris.
Jadi, apabila hak waris diberikan kepada mereka itu artinya kita memberikan hak waris
tanpa dilandasi dalil yang pasti dan kuat itu termasuk perbuatan batil. 8
b. Rasulullah saw. ketika ditanya tentang hak waris bibi, baik dari garis ayah maupun dari
ibu, beliau saw. menjawab: "Sesungguhnya Jibril telah memberitahukan kepadaku
bahwa dari keduanya tidak ada hak menerima waris sedikit pun."
Sangat jelas betapa dekatya kekerabatan saudara Perempuan ayah ataupun saudara
perempuan ibu dibandingkan kerabat lainnya. Maka jika keduanya tidak berhak untuk
menerima harta waris, kerabat lain pun demikian. Sebab, tidak mungkin dan tidak
dibenarkan bila kita memberikan hak wars kepada kerabat lain, sedangkan bibi tidak
mendapatkannya. Hal demikian dalam dunia fiqih dikenal dengan istilah tarjih bilaa

7
Muhammad Ali Ash Shabuny, Hukum Kewarisan Islam, Surabaya: Al Ikhlas Hal.213
8
Muhammad Ali Ash-Shabuny, Pembagian Waris Menurut Islam, Terj. A.M. Basmallah, (Jakarta: Gema
Insani, 1995) h. 145

10
murajjih yang berarti batil. Dengan dasar ini dapat dipetik pengertian bahwa karena
Rasulullah saw. tidak memberikan hak wars kepada para bibi, maka tidak pula kepada
kerabat yang lain.
c. Harta peninggalan, bila ternyata tidak ada ahli warisnya secara sah dan benar baik dari
ashhabul furudh-nya ataupun para 'ashabahnya bila diserahkan ke baitulmal akan dapat
mewujudkan kemaslahatan umum, sebab umat Islam akan ikut merasakan faedah dan
kegunaannya. Namun sebaliknya, bila diserahkan kepada kerabatnya, maka kegunaan
dan faedahnya akan sangat minim, dan hanya kalangan mereka saja yang
merasakannya. Padahal dalam kaidah ushul figih telah ditegaskan bahwa kemaslahatan
mum harus lebih diutamakan daripada kemaslahatan pribadi. Atas dasar inilah maka
baitulmal lebih diutamakan untuk menyimpan harta waris yang tidak ada ashhabul
furudh dan 'ashabahnya ketimbang para kerabat.
2. Pendapat dari Umar bin Khattab, Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Thalib dan termasuk
didalamnya pendapat dari Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal Rahimahullah
menyatakan bahwa dzawil arham (kerabat) berhak mendapat bila tidak ada ashhabul
furudh, ataupun 'ashabah yang menerima harta pewaris. Lebih jauh golongan kedua in
mengatakan bahwa dzawil arham adalah lebih berhak untuk menerima harta wars
dibandingkan lainnya, sebab mereka memiliki kekerabatan dengan pewaris. Karena itu
mereka lebih diutamakan untuk menerima harta tersebut daripada baitulmal.

a). Adapun pendapat dari Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad ini juga memiliki
beberapa hal yang menjadi dasar akan pendapat mereka, yaitu:

Beliau berdua mendasari pendapatnya dari Al-Qur’an dalam Surah Al- Anfal ayat 75:

ِ َ‫ض ِِف كِت‬ ِ َ ِ‫والَّ ِذين آمنُوا ِمن ب ع ُد وهاجروا وجاه ُدوا مع ُكم فَأُوَٰلَئ‬
‫اب‬ ُ ‫ك مْن ُك ْم ۚ َوأُولُو ْاْل َْر َح ِام بَ ْع‬
ٍ ‫ض ُه ْم أ َْوَ ََٰل بِبَ ْع‬ ْ َ َ َ َ َ َُ ََ َْ ْ َ َ َ
ِ ٍ ِ َّ ‫اّللِ ۗ إِ َّن‬
ٌ ‫اّللَ ب ُك ِل َش ْيء َعل‬
‫يم‬ َّ

“Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak


terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." Q.S. 33 (al-Anfal) : 75

11
Makna yang mendasar dari dalil ini ialah bahwa Allah SWT telah menyatakan atau
bahkan menegaskan dalam Kitab-Nya bahwa para kerabat lebih berhak untuk
mendapatkan atau menerima hak waris daripada yang lain. Di sini, lafazh arham yang
berarti kerabat adalah umum, termasuk ashhabul furudh, para 'ashabah, serta selain
keduanya. Pendek kata, makna kata itu mencakup kerabat yang mempunyai hubungan
rahim atau lebih umumnya hubungan darah.9 Ayat tersebut seolah-olah menyatakan
bahwa yang disebut kerabat siapapun mereka, baik ashhabul furudh, para 'ashabah, atau
selain dari keduanya merekalah yang lebih berhak untuk menerima hak waris ketimbang
yang bukan kerabat. Bila pewaris mempunyai kerabat dan kebetulan ia meninggalkan
harta waris, maka berikanlah harta waris itu kepada kerabatnya dan janganlah
mendahulukan yang lain. Jadi, atas dasar inilah maka para kerabat pewaris lebih berhak
untukmenerima hak waris ketimbang baitulmal.

Hal in juga berdasarkan firman-Nya yang lain dalam QS. An-Nisa ayat 7:

‫يب ِِمَّا تَ َر َك‬ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ‫ص‬ ِ ِ ِ


ٌ َ‫ل لرِ َج ال ن‬
ٌ ‫يب ِمَّا تَ َر َك ا لْ َوال َد ان َو ْاْلَقْ َربُو َن َول لن سَ اء نَص‬
ِ َ‫ان و ْاْلَقْ رب و َن ِِمَّا قَلَّ ِم نْ ه أَو َك ثُ ر ۚ ن‬
‫ص يبًا مَ ْف ُروضً ا‬ ِ ِ
َ ْ ُ ُ َ َ ‫ا لْ َوال َد‬
"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan
bagi wanita ada hak bagian (pula) dan harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya,
baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan." Q.S.04 (an-Nisa): 7

Melalui ayat ini Allah SWT menyatakan bahwa kaum laki-laki dan Wanita
mempunyai hak untuk menerima warisan yang ditinggalkan kerabatnya, baik sedikit
ataupun banyak. Seperti yang disepakati oleh jumhur ulama bahwa yang dimaksud
dengan dzawil arham adalah para kerabat. Dengan demikian, mereka (dzawil arham)
berhak untuk menerima warisan. Kemudian, sebagaimana dinyatakan oleh mayoritas
ulama bahwa ayat di atas me-nasakh (menghapus) kebiasaan pada awal munculnya
Islam, pada masa itu kaum muslimin saling mewarisi disebabkan menolong dan hijrah.

9
Muhammad Ali Ash-Shabuny, Pembagian Waris Menurut Islam, Terj. A.M. Basmallah, (Jakarta: Gema
Insani, 1995), h. 147

12
Dengan turunnya ayat ini, maka yang dapat saling mewarisi hanyalah antara sesama
kerabat (dzawil arham). Oleh karena itu, para kerabatlah yang paling berhak untuk
menerima harta peninggalan seorang pewaris.

b). Adapun dalil dari Sunnah Nabawiyah adalah

Seperti yang diberitakan dalam sebuah riwayat mashur, dalam riwayat ini
dikisahkan. Ketika Tsabit bin ad- Dahjah meninggal dunia, maka Rasulullah saw.
bertanya kepada Qais bin Ashim, "Apakah engkau mengetahui nasab orang ini?" Qais
menjawab, "Yang kami ketahui orang itu dikenal sebagai asing nasabnya, dan kami
tidak mengetahui kerabatnya, kecuali hanya anak laki-laki dari saudara
perempuannya, yaitu Abu Lubabah bin Abdul Mundir. Kemudian Rasul pun
memberikan harta warisan peninggalan Tsabit kepada Abu Lubabah bin
Abdul Mundzir.

Keponakan laki-laki dari anak saudara perempuan tidak lain hanyalah merupakan
kerabat, yang bukan dari ashhabul furudh dan bukan pula termasuk 'ashabah. Dengan
pemberian Rasulullah saw. akan hak wars kepada dzawil arham menunjukkan dengan
tegas dan pasti bahwa para kerabat berhak menerima harta waris bila ternyata pewaris
tidak mempunyai ashhabul furudh yang berhak untuk menerimanya atau para 'ashabah.
Dalam suatu atsar diriwavatkan dari Umar bin Khathab r.a. bahwa suat ketika Abu
Ubaidah bin Jarrah mengajukan persoalan kepada Umar. Abu Ubaidah menceritakan
bahwa Sahal bin Hunaif telah meninggal karena terkena anak panah yang dilepaskan
seseorang. Sedangkan Sahal tidak mempunyai kerabat kecuali hanya paman, yakni
saudara laki-laki bunya. Umar menanggapi masalah itu dan memerintahkan kepada
Abu Ubaidah untuk memberikan harta peninggalan Sahal kepada pamannya. Karena
sesungguhnya aku telah mendengar bahwa Rasulullah saw. bersabda:

"(Saudara laki-laki ibu) berhak menerima waris bagi mayit yang tidak mempunyai
keturunan atau kerabat yang berhak untuk menerimanya)."

Atsar ini yang di dalamnya Umar al-Faruq memberitakan sabda Rasulullah saw.
merupakan dalil yang kuat bahwa kerabat lebih berhak menerima harta waris
peninggalan pewaris ketimbang baitulmal. Kalaulah baitulmal lebih berhak untuk

13
menampung harta peninggalan pewaris yang tidak mempunyai ahli waris dari ashhabul
furudh dan 'ashabah-nya, maka Umar bin Khathab pasti tidak akan memerintahkan
kepada Abu Ubaidah Ibnul Jarrah r.a. untuk memberikan kepada paman Sahal tersebut.
Sebab, Umar bin Khathab r.a adalah seorang khalifah Islam yang dikenal sangat
mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Dan hal ini terbukti
seperti yang banyak dikisahkan dalam kitab-kitab tarikh.

Jadi kelompok kedua ini menyanggah dalil yang dikemukakan oleh Imam Malik
dan Imam Syafi' bahwa hadits itu kemungkinannya ada sebelum turunnya ayat di atas.
Atau, mungkin juga bahwa bibi (baik dari ayah atau ibu) tidak berhak mendapat waris
ketika berbarengan dengan ashhabul fürudh atau para 'ashabah.” Sehingga dapat
dipahami bahwa pendapat jumhur ulama (kelompok kedua) lebih rajih (kuat dan
akurat), karena memang merupakan pendapat mayoritas sahabat, tabi'in, dan imam
mujahidin.

Melihat kenyataan demikian, para ulama dari mazhab Maliki dan mazhab Syafi'i
mutakhirin memberikan fatwa dengan mendahulukan para kerabat ketimbang
baitulmal, khususnya setelah abad ketiga Hijriah, ketika pengelolaan baitulmal tidak
lagi teratur sehingga terjadi penyalahgunaan. Dengan demikian, dapat kita katakana
bahwa kedua kelompok ulama tersebut pada akhirnya bersepakat untuk lebih
mengutamakan pemberian harta wars kepada kerabat ketimbang baitulmal. Hal ini
dapat terlihat tentunya dengan melihat dan mempertimbangkan kemaslahatan yang ada,
dari mulai akhir abad ketiga Hijriah hingga masa saat ini.

F. Pandangan Kompilasi Hukum Islam terkait waris dzawil arham


Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia melalui pasal 185 telah menentukan hak
waris dzawil arham (khususnya rumpun pertama) melalui ketentuan hak ahli waris
pengganti. Sebagaimana disebutkan bahwa “Ahli yang meninggal lebih dahulu daripada si
pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut
dalam pasal 173. Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli
waris yang sederajat dengan yang diganti.” Pasal ini memang tidak sepenuhnya bisa disebut
dengan hukum terapan dzawil arham berhak mewarisi, namun setidaknya bisa dihubungkan
ketika struktur kasus ini diillustrasikan dengan cucu perempuan (dari anak perempuan) bisa

14
menggantikan posisi anak perempuan pewaris yang meninggal dunia lebih dahulu. Cucu
perempuan (bint al bint) adalah rumpun pertama dzawil arham.
Penerimaan ahli waris pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam termasuk hukum
adat yang telah diterima oleh hukum Islam seperti konsep teori receptive a contrario10
Sajuti Thalib tersebut. Dalam sejarah disahkannya pasal ahli waris pengganti dalam
Kompilasi Hukum Islam KH. Azhar Basyir yang memimpin rapat penyusunan KHI tersebut
dan pasal ahli waris pengganti disahkan melalui kesepakatan para ulama dan perguruan
tinggi. Hak waris dalam pasal 185 Kompilasi Hukum Islam ditafsirkan hanya sebatas cucu,
tetapi dalam praktiknya cucu dialihkan kedudukannya sebagai ahli waris sebagai anak dari
si pewaris.
Konsep ahli waris pengganti di dalam Kompilasi Hukum Islam dapat dirumuskan
sebagai berikut:

1.Dalam Kompilasi Hukum Islam yang termasuk ahli waris pengganti adalah dalam garis
keturunan saja dan tidak berlaku untuk garis perkawinan, seperti dalam setiap kasus
ditetapkannya ahli waris pengganti dikhususkan untuk cucu.
2.Dalam Kompilasi Hukum Islam bagian yang diterima ahli waris pengganti tidak boleh
melebihi atau boleh sama dari bagian ahli waris sederajatnya. Hal tersebut sejalan dengan
telah diterapkan dalam Penetapan Pengadilan Agama Makassar Nomor
3/Pdt.P/2011/PA.Mks, yang ditetapkan sebagai ahli waris St. Hawang adalah anak-anaknya
dan 2 (dua) orang cucunya yang menggantikan tempat ibunya.
3.Dalam Kompilasi Hukum Islam kedudukan cucu baik cucu dari garis keturunan laki-laki
maupun garis keturunan perempuan berhak menjadi ahli waris pengganti. Dari pernyataan
tersebut sistem kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam menganut asas keadilan
seimbang11, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan atau tidak mengenal dzawil arham.
4.Dalam Kompilasi Hukum Islam cucu dijadikan posisinya sebagai anak dari si pewaris bukan
cucu. Jadi, rumusan ini dapat diketahui adanya penggantian tempat dalam kewarisan
Kompilasi Hukum Islam.

10
Habiburrahman, “Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia”, (Disertasi Pascasarjana UIN Sunan
Gunung Jati Bandung, 2011), hlm. 16.
11
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), hlm. 26..

15
G. Cara pembagian waris dzawil arham
Diantara ulama fiqh ada beberapa pendapat mengenai tata cara pembagian hak waris
kepada para kerabat dan ada 3 pendapat sebagai berikut :
1. Menurut Ahlur-Rahmi

Mazhab ini dikenal dengan sebutan ahlur-rahmi disebabkan orang-orang yang


menganut pendapat ini tidak mau membedakan antara satu ahli waris dengan ahli waris
yang lain dalam hal pembagian, mereka juga tidak menganggap kuat serta lemahnya
kekerabatan seseorang. Yang menjadi landasan mereka ialah bahwa seluruh ahli waris
menyatu haknya karena adanya ikatan kekerabatan. Mengenai cara pembagian hak waris
para kerabat, ahlur-rahmi menyatakan bahwa semua kerabat berhak mendapat waris secara
rata, tanpa membedakan jauh-dekatnya kekerabatan, dan tanpa membeda-bedakan antara
laki-laki dengan perempuan.
➢ Contohnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang cucu perempuan keturunan anak
perempuan, seorang keponakan perempuan dari saudara perempuan, bibi dari pihak ayah
(saudara perempuan ayah), bibi dari pihak ibu (saudara perempuan ibu), dan keponakan
laki-laki keturunan saudara laki-laki seibu .Maka dalam hal ini mereka mendapatkan
bagian waris secara rata, tanpa melebihkan atau mengurangi salah seorang dari ahli waris
yang ada.

.Tetapi mazhab ini tidak masyhur, bahkan dhaif dan tertolak. Karenanya tidak ada
satu pun dari ulama atau para imam mujtahid vang mengakuinya apalagi mengikuti
pendapat ini dengan alasan telah sangat nyata bertentangan dengan kaidah syar'iyah yang
masyhur dalam disiplin ilmu mawarits.
2. Menurut Ahlut-Tanzil

Golongan ini disebut ahlut-tanzil dikarenakan mereka mendudukkan keturunan ahli


waris pada kedudukan pokok (induk) ahli waris asalnya. Mereka tidak memperhitungkan
ahli waris yang ada (yang masih hidup), tetapi melihat pada yang lebih dekat dari ashhabul
furudh dan para ashabahnya. Dengan demikian, mereka akan membagikan hak ahli waris
yang ada sesuai dengan bagian ahli waris yang lebih dekat, yakni pokoknya. Inilah
pendapat mazhab Imam Ahmad bin Hambal, juga merupakan pendapat para ulama
mutakhir dari kalangan Maliki dan Syafi'I

16
➢ Bila seseorang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan anak perempuan,
keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan sekandung, dan keponakan perempuan
keturunan saudara laki-laki seayah. Maka keadaan ini dapat dikategorikan sama dengan
meninggalkan anak perempuan, saudara perempuan sekandung, dan saudara laki-laki
seayah.
Oleh karena itu, pembagiannya seperti berikut:
1) Cucu perempuan keturunan anak perempuan mendapat 1/2 bagian
2) Keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan sekandung mendapat 1/2 bagian 3)
Keponakan perempuan keturunan saudara laki-laki seayah tidak mendapat bagian karena
terhalang oleh keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan sekandung. Sebab
keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan sekandung di sini sebagai ashabah,
karena itu ia mendapatkan sisanya.12

3. Menurut Ahlul Qarabah


Mazhab ini merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib r.a. dan diikuti oleh para ulama
mazhab Hanafi. Menurut Ahlul Qarabah, hak waris para dzawil arham ditentukan dengan
melihat derajat kekerabatan mereka kepada pewaris. Hal ini, menurut mereka, dilakukan
dengan mengqiyaskannya pada hak para ashabah, berarti yang paling berhak diantara
mereka (para ashabah) adalah yang paling dekat kepada pewaris dari segi dekat dan
kuatnya kekerabatan. kemudian barulah yang lebih kuat di antara kerabat yang ada. Selain
itu, pelaksanaannya tetap mengikuti kaidah umum pembagian waris, yakni bagian laki-laki
adalah dua kali bagian wanita. Di samping itu, mazhab ketiga ini telah mengelompokkan
dan membagi dzawil arham menjadi empat golongan, kemudian menjadikan masing-
masing golongan mempunyai cabang dan keadaannya. Keempat golongan tersebut adalah:
➢ a. Orang-orang yang bernisbat kepada pewaris, yakni:
1) Cucu dari keturunan anak perempuan, dan seterusnya ke bawah, baik laki-laki ataupun
perempuan
2) Cicit dari keturunan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan seterusnya ke
bawah, baik laki-laki ataupun perempuan.

12
Laras Shesa, Keterjaminan Kedudukan Dzaul Arham Dalam Kewarisan Islam Melalui Wasiat Wajibah, Fakultas
Syariah IAIN Curup, Vol.3, No.2, 2018, hal, 438

17
➢ b. Orang-orang yang dinisbati kekerabatan oleh pewaris, yakni:
1) Kakek yang bukan sahih, dan seterusnya ke atas, seperti ayah dari ibu, ayah dari ayahnya
ibu (kakek dari ibu).
2) Nenek yang bukan sahih, dan seterusnya ke atas, seperti ibu dari ayahnya ibu, ibu dari
ibu ayahnya ibu.
➢ c. Orang-orang yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris, yakni:
1) Keturunan saudara perempuan sekandung, atau yang seayah, atau yang seibu, baik
keturunan laki-laki ataupun perempuan
2) Keturunan perempuan dari saudara laki-laki sekandung, atau seayah, seibu, dan
seterusnya.
3) Keturunan dari saudara laki-laki seibu dan seterusnya.
➢ d. Orang-orang yang bernisbat kepada kedua kakek pewaris atau kedua nenek pewaris,
yakni:
1) Bibi (saudara perempuan ayah) pewaris, baik bibi kandung, seayah, atau seibu.
Kemudian paman (saudara laki-laki ibu) pewaris, dan bibi (saudara perempuan ibu), dan
paman (saudara ayah) ibu.
2) Seluruh keturunan kelompok diatas.
3) Bibi dari ayah pewaris, baik yang kandung, seayah, ataupun seibu. Juga semua
pamannya dan bibinya (paman dan bibi dari ayah). Juga pamannya (saudara ayah) yang
seibu (mencakup semua paman dan bibi dari ibu, baik yang kandung maupun yang seayah).
4) Seluruh keturunan kelompok diatas.
5) Paman kakak yang seibu, dan juga paman nenek. Kemudian paman dan bibi, baik dari
ayah maupun ibu, dari kakek dan nenek.
6) Seluruh keturunan kelompok diatas.
Dengan demikian, menurut ahlul qarabah, yang pertama kali berhak menerima
waris adalah keturunan pewaris (anak, cucu, dan seterusnya). Bila mereka tidak ada, maka
pokoknya: ayah, kakek, dan seterusnya. Jika tidak ada juga, maka barulah keturunan
saudara laki-laki (keponakan). Bila mereka tidak ada, maka barulah keturunan paman (dari
pihak ayah dan ibu).Jika tidak ada, maka barulah keturunan mereka yang sederajat dengan
mereka, seperti anak perempuan dari paman kandung atau seayah.Dengan demikian,

18
berdasarkan urutan tersebut dapat disimpulkan bahwa kelompok ahli waris yang lebih awal
disebutkan dapat menggugurkan kelompok berikutnya.13

13
Laras Shesa, Keterjaminan Kedudukan Dzaul Arham Dalam Kewarisan Islam Melalui Wasiat Wajibah, Fakultas
Syariah IAIN Curup, Vol.3, No.2, 2018, hal, 445

19
DAFTAR PUSTAKA

Ash Shabuny, Ali Muhammad. Hukum Kewarisan Islam. Surabaya: Al Ikhlas.


Ash Shabuny, Ali Muhammad, Pembagian Waris Menurut Islam, Terj. A.M. Basmallah. Jakarta:
Gema Insani. 199.
Fadlun, Ma’rif. Pembagian Waris Bagi Dzawil Arham Menurut Imam As-Syafi’i dan Imam Abu
Hanifah”. 2019.
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Disertasi Pascasarjana UIN
Sunan Gunung Jati Bandung, 2011
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul mawaris fil fiqhil Islami, penerjemah
Addys Aldizar dan Faturrahman (Jakarta: Senayan Abadi Publishing) 337-338
Rofiq, Ahmad. Fiqh Mawaris. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2021
Shesa, Laras. Keterjaminan Kedudukan Dzaul Arham Dalam Kewarisan Islam Melalui Wasiat
Wajibah, Fakultas Syariah IAIN Curup, No.2, 2018.
Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam Jakarta: Prenada Media Group, 2012.
.

20

Anda mungkin juga menyukai