Anda di halaman 1dari 16

GHARAWAYN DAN MUSYARAKAH

Dosen pengampu: Abdul Haris, M.HI

Disusun oleh :

Khalida Azzahra (210201110025)

Fadilla Nur Khoiriyah (210201110026)

Alfiyah Balghis Algafriyah (210201110027)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada ke hadirat Allah ‫الى‬/‫سبحانه وتع‬. yang
telah memberikan rahmat, taufik serta hidayahnya sehingga makalah ini dapat
dikerjakan dengan tepat waktu. Shalawat dan salam tak lupa kami haturkan
kepada junjungan nabi agung kita yakni Nabi Muhammad ‫ﷺ‬. yang telah
menuntun kita dari jalan gelap gulita menuju jalan yang terang benderang. Dalam
pembuatan makalah ini, penulis telah memberikan usaha yang terbaik serta kami
dalam keadaan sehat tanpa kekurangan suatu apapun.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Mawaris
yang judul “Gharawayn dan Musyarakah”. Kami mengucapkan terimakasih
kepada teman-teman terlebih kepada Bapak Abdul Haris,.M.HI selaku dosen
pengampu mata kuliah yang telah memberikan kami dorongan dan motivasi,
sehingga kami dapat mengerjakan serta menyelesaikan makalah ini. Serta penulis
mengucapkan terimakasih banyak kepada para pihak yang telah berpartisipasi
dalam pembuatan penulisan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, makalah ini masih jauh dari kata sempurna baik
dari segi tata bahasa, penggunaan tanda baca, susunan kalimatnya serta kurangnya
riset yang mendalam. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca agar penulisan makalah ini dapat menjadi lebih
baik lagi. Dengan demikian, kami meminta maaf yang sebesar-besarnya atas
kesalahan dan kekurangannya. Semoga dengan adanya makalah ini dapat
menambah wawasan serta memberikan manfaat bagi kita semua.

Malang, 10 April 2023

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu ketentuan hukum Islam yang diatur secara terperinci
adalah masalah kewarisan, baik itu diatur melalui ketetapan Allah dalam
al-Qur’an maupun ketetapan Rasulullah ‫ﷺ‬. dalam haditsnya. Jika
terdapat masalah-masalah kewarisan yang belum diatur oleh keduanya,
maka berperanlah lembaga ijma atau ijtihad para sahabat, imam-imam
madzhab dan mujtahid-mujtahid kenamaan yang berfungsi memecahkan
persoalan tersebut.
Masalah kewarisan tersebut dikenal dengan sebutan ilmu
mawarist atau ilmu faraidh yang telah ada sejak masa Rasulullah ‫ﷺ‬
dan pertama kali diturunkan dalilnya pada QS. An-Nisa’ ayat (11) yang
artinya:
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua
orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari
dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika
anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta.
Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika
orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-
bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia
buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Dari nash tersebut, Rasulullah kemudian bersabda tentang urgensi
dari mempelajari dan mengajarkan ilmu mawaris dalam hadits beliau
‫ﷺ‬. yang artinya:
“Pelajarilah Al-Qur'an dan ajarkanlah kepada manusia (orang banyak)
dan pelajarilah faraidh dan ajarkanlah kepada orang banyak, karena
sesungguhnya aku adalah manusia yang pada suatu ketika akan mati dan
ilmu pun akan terangkat (hilang) dan boleh jadi akan ada dua orang
bersengketa (berselisih) dalam faraid dan masalahnya, dan mereka tidak
menjumpai orang yang memberi tahu kepada mereka (hukum-hukumnya
dan penyelesaiannya).” (HR. Ahmad Tirmidzi dan Nasa'i).
Berdasarkan hadits tersebut, fuqaha yang hidup semasa dengan
nabi dan setelahnya menetapkan hukum mempelajari ilmu mawaris adalah
fardhu kifayah. Ilmu ini menjadi bagian sangat penting untuk dipelajari
agar dalam pelaksanaan pembagian harta warisan tidak terjadi kesalahan
serta dapat dilaksanakan dengan seadil-adilnya, sebab dengan mempelajari
hukum kewarisan Islam, maka seorang muslim akan dapat menunaikan
hak-hak yang berkenaan dengan harta warisan setelah ditinggalkan oleh si
pewaris (muwarits) dan disampaikan kepada ahli waris (mauruts) yang
berhak untuk menerimanya.
Seiring dengan perkembangan Islam kala itu, semakin beragam
pula permasalahan mawaris dalam masyarakat. Ditemukan permasalahan-
permasalahan baru seputar kewarisan yang tidak diatur secara eksplisit
dalam nash, baik Al-Qur’an maupun hadits, sehingga muncul cabang ilmu
fiqh mawaris yang digagas oleh para sahabat dan fuqaha sepeninggal
Rasulullah ‫ﷺ‬. Salah satu sahabat yang mengadakan pembaruan
hukum dalam fiqh mawaris ialah Umar bin Khattab r.a. Umar telah banyak
mengambil kebijakan dalam hukum yang tidak sesuai dengan teks ayat-
ayat Al-Qur’an. Salah satu gagasan beliau dalam fiqh mawaris ialah kasus
Gharawayn dan musyarakah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Gharawayn dan musyarakah?
2. Bagaimana sejarah munculnya permasalahan Gharawayn dan
musyarakah?
3. Bagaimana contoh permasalahan Gharawayn dan musyarakah serta
penyelesaiannya?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari Gharawayn dan musyarakah.
2. Mengetahui dan memahami asal usul terbentuknya Gharawayn dan
musyarakah.
3. Memahami contoh permasalahan Gharawayn dan musyarakah serta
penyelesaiannya
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Gharawayndan Musyarakah


1. Gharawayn
Secara bahasa Gharawayn berasal dari kata ‫رة‬//‫غ‬-‫رارة‬//‫غ‬-‫ر‬//‫يغ‬- ‫ر‬//‫( غ‬gharra
yagharru gharaaratan- ghurratan) yang memiliki arti menjadi putih (bersinar). 1
Gharawayn dijadikan sebagai metode penyelesaian dua masalah kewarisan dalam
Islam yang menjadi kebijakan pada zaman Umar bin Khattab r.a. yang berkaitan
dengan bagian ibu ketika ia bersama dengan ayah dan salah satu suami atau istri
pewaris.
Ulama lain mengartikan Gharawayn sebagai bentuk ganda dari Gharra
(tasniyah) yang berarti “bintang cemerlang”. Masalah ini disebut juga masalah
‘Umariyatain, dinisbahkan kepada penggagas utamanya yaitu Umar bin Khattab.
Dan Syihab al Din al Ramly menyebutnya dengan Gharibatain, karena masalah
tersebut tidak ada yang menandinginya.2
Jadi, dapat disimpulkan Gharawayn adalah pemecahan dua masalah
kewarisan yang diputuskan oleh Umar bin Khattab r.a. ketika ditemukan suami
atau istri yang mewarisi bersama ayah dan ibu pewaris dengan cara yang adil
sehingga diperumpamakan sebagai bintang yang terang karena jelas dan
gamblang.
2. Pengertian Musyarakah
Musyarakah biasanya sering disebut dengan musyarrikah atau disebut juga
dengan himariyah yaitu saudara sekandung disekutukan dengan saudara seibu
dalam kasus ahli warisnya suami, ibu/nenek, seorang atau lebih saudara
sekandung (laki-laki saja atau laki-laki bersama perempuan), dan dua atau lebih
saudara seibu (baik laki-laki atau perempuan).3
Dalam hal ini sesuai dengan ketentuan:

1
Ma’luf al-Yasu’iy dan Totel al-Yasu’iy, “Al-Munjid Fi Lughah Wa A’lam”, (Beirut: Dar al-
Mashreq, 2005), hlm. 546.
2
Ahmad Rofiq, “Fiqh Mawaris”, Lembaga Studi Islam dan Kemayarakatan (LSIK), Raja
Grafindo Persada, Jakarta, cet 1, 1937, hal.103-104.
3
Wahbah al-Zuhaili, “al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu”, Jld. 10, (Damsyik: Dar al-Fikr, 2006),
Hlm. 7807; Hasbiyallah, “Belajar Mudah Ilmu Waris”, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2007),
Hlm.110.
1. Suami mendapatkan ½, karena pewaris tidak mempunyai anak.
2. Ibu/nenek mendapatkan 1/6, karena pewaris mempunyai beberapa saudara.
3. Saudara (i) seibu mendapatkan 1/3, karena lebih dari satu.
4. Saudara laki-laki sekandung menjadi ashabah bin nafsi, atau saudara
sekandung laki-laki dan perempuan menjadi ashabah bil ghairi.

Setelah dibagikan, ternyata harta warisan habis terbagi untuk dzawil


furudh, sementara saudara sekandung yang menjadi ashabah tidak mendapatkan
apa-apa.

B. Sejarah Gharawayn dan Musyarakah


1. Gharawayn
Perhitungan tentang kewarisan telah ada pada masa Rasulullah ‫ﷺ‬
dengan berlandaskan pada Q.S. An-Nisa (4) : 11, Q.S An-Nisa (4) : 12 dan hadits
riwayat Bukhari dan Muslim yang berbunyi:4
‫ َفَم ا‬, ‫ َقاَل َر ُسوُل ِهَّللَا صلى هللا عليه وسلم ( َأْلِح ُقوا َاْلَفَر اِئَض ِبَأْهِلَها‬: ‫ َقاَل‬-‫َع ِن اْبِن َعَّباٍس – َر ِض َي ُهَّللَا َع ْنُهَم ا‬
‫َبِقَي َفُهَو َأِلْو َلى َر ُج ٍل َذ َك ٍر ) ُم َّتَفٌق َع َلْيِه‬
Artinya : “Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: “Berikan bagian
warisan kepada ahli warisnya, selebihnya adalah milik laki-laki yang paling
dekat.” (HR.Muttafaq alaih).

Nash diatas menyatakan bahwa bagian ahli waris yakni istri mendapatkan
¼ harta (tirkah) dan ibu mendapatkan ⅓ tirkah, sedangkan ayah mendapatkan
seluruh sisa harta karena sebagai satu-satunya Ashabah Ghairu Binafsih. Dalam
pembahasan Gharawayn pewaris hanya meninggalkan ahli waris diantaranya
yakni suami, ibu dan ayah saja atau istri, ibu dan ayah. Sehingga, apabila merujuk
pada perhitungan hukum waris Islam maka, tidak akan sesuai dengan hukum asal
dalam Q.S. An-Nisa (4) : 11 yang menyebutkan bagian laki-laki dengan
perempuan yakni dengan perbandingan 2:1, melainkan hasil perhitungan
menunjukkan kemiripan atau kesamaan antara laki-laki dengan perempuan.

4
Abdullah bin Abdurrohman Al-Bassam. Taudhihul Ahkam Min Bulughil Marom: Bab Faraidh.
https://www.masjidal-jihad.com/tausiyah/bab-faraidh-kitab-taudhih-al-ahkam-hadits-ke-1/
Kemajuan dalam suatu peradaban membuat konflik-konflik baru yang
tidak ada dalam Nash ini muncul.5 Oleh karena itu, untuk mengisi kekosongan
hukum salah satu Khulafaur Rasyidin yakni Umar bin Khattab r.a membuat
sebuah terobosan baru dengan melakukan sebuah ijtihad yang kemudian
mencetuskan sebuah hukum baru berlandaskan kepada qiyas sebagai
yurisprudensi. Hasil dari ijtihad tersebut dikenal dengan sebutan Gharawayn
(Umariyatain).
Dengan demikian, untuk mngetahui apakah suatu kasus itu tergolong
khusus (Gharawayn) atau tidak dapat dilihat dari siapa ahli warisnya. Apabila ahli
waris hanya terdiri dari suami, ayah dan ibu atau istri, ayah dan ibu maka, masalah
ini dinamakan gharawayn. Untuk lebih memahami dapat dilihat pada tabel 1.1 dan
1.2.

Tabel 1.1. Jika ahli waris adalah isteri, ibu dan ayah (pewaris laki-laki)
Ahli waris Bagian Asal Masalah = 12 Keterangan

Isteri 1/4 ¼ x12 = 13


Tidak sesuai
Ibu 1/3 1/3 x 12 = 4 dengan kaidah 2:1
karena bagian

Asabah ayah hampir sama


Ayah Sisa dari 12 - 7 = 5
Binafsih dengan bagian ibu

Tabel 1.2. Jika ahli waris adalah suami, ibu dan ayah (pewaris perempuan)
Ahli waris Bagian Asal Masalah = 6 Keterangan

5
Muhammad Ali Mahmudi, “Ketentuan Gharawayn dalam Pasal 178 Ayat(2) Kompilasi Hukum
Islam Perspektif Teori Maslahah Muhammad Sa’id Ramadlan Al-Butiy” (Uin Maulana Malik
Ibrahim Malang, 2016).
Suami ½ 1/2 x 6 = 3
Bagian ayah
Ibu 1/3 1/3 x 6 = 2 setengah lebih
kecil dari bagian
Asabah ibu yakni 1:2
Ayah Sisa dari 6 - 5 = 1
Binafsih

Umar bin Khattab dalam masalah Gharawayn tetap memberikan bagian ⅓


untuk bagian ibu baik bersama ayah maupun isteri/suami yang aslinya adalah ibu
mendapatkan ¼ apabila bersama dengan suami dan mendapatkan bagian ⅙
bersama dengan isteri berdasarkan kaidah “faliummihi al-thuluthu”. Akan tetapi,
yang dimaksud dengan “al-thuluthu” dalam konsep Gharawayn bukan ⅓ dari
seluruh harta peninggalan, melainkan ⅓ setelah harta diambil oleh isteri/suami.
lebih lanjut dapat dilihat pada tabel 2.1 dan 2.2.

Tabel 2.1. Jika ahli waris adalah isteri, ibu dan ayah (pewaris suami/laki-laki)
dalam konsep Gharawayn
Ahli waris Bagian Asal Masalah = 12 Keterangan

Isteri ¼ ¼ x12 = 3 (sisa 9)

Bagian ayah dan


Ibu 1/3 sisa 1/3 x 9 = 4
ibu berbanding 2:1

Ayah Asabah Binafsih Sisa dari 12 - 6 = 6

Tabel 2.2. Jika ahli waris adalah suami, ibu dan ayah (pewaris perempuan) dalam
konsep Gharawayn
Ahli waris Bagian Asal Masalah = 6 Keterangan
Suami ½ 1/2 x 6 = 3
Bagian ayah dan
Ibu 1/3 sisa 1/3 x 6 = 1
ibu berbanding
2:1
Ayah Asabah Binafsih Sisa dari 6 – 4 = 2

2. Musyarakah
Musyarakah juga sama seperti Gharawaynyang mana muncul dan
ditetapkan oleh sahabat yakni Umar bin Khattab. Konsep musyarakah ini
disepakati oleh beberapa sahabat lainnya salah satunya Zaid bin Tsabit yang
kemudian menjadi salah satu dasar dalam pendapat madzhab Imam Syafi’i.6
Masalah musyarakah merupakan masalah khusus yang menyelesaikan
kewarisan antara saudara seibu (dalam perkara ini, laki-laki dan perempuan sama)
dengan saudara laki-laki seibu sebapak. Adapun dalam kasus muyarakah ahli
waris terdiri dari suami, ibu atau nenek, saudara seibu lebih dari 1 orang dan
saudara laki-laki seibu sebapak. Untuk lebih lanjut dapat melihat dari tabel 3.1.

Tabel 3.1. jika menggunakan pembagian biasa.


Ahli Waris Jumlah Bagian Asal Masalah = 6 Ket.

Suami ½ 1/2 x 6 = 3 Dari


perhitungan
Ibu 1/6 1/6 x 6 = 1
ini saudara
Sdr pr si 2 seibu
1/3 1/3 x 6 = 2
Sdr lk si 2 sebapak
tidak
Ashabah bi
Sdr lk sisb 5 Nihil mendapat
nafsi
bagian

6
Musthafa Al-Khin, Al-Fiqhul Manhaji; Darul Qalam, Damaskus.1992, juz V.hlm.113.
Dari tabel diatas dapat kita ketahui apabila masalah ahli warisnya adalah
suami, ibu atau nenek, saudara seibu lebih dari satu orang, dan saudara laki-laki
seibu sebapak dalam perhitungan warisnya menggunakan rumus biasa maka, akan
terdapat keganjalan. Hal ini karena ahli waris yang hanya sebagai saudara seibu
dari mayit mendapatkan bagian, sedangkan saudara seibu sebapak mayit (saudara
kandung) tidak mendapatkan bagiannya karena tidak terdapat sisa harta. Oleh
karena itu, untuk menjawab persoalan ini terciptalah konsep musyarakah yang
perhitungannya sebagaimana dalam tabel 3.2.

Tabel 3.2. jika penyelesaiannya menggunakan konsep musyarakah


Ahli Waris Jumlah Bagian Asal Masalah = 6 x 9 SM = 54
Suami ½ 1/2 x 6 = 3 x 9 27

Ibu 1/6 1/6 x 6 = 1 x 9 9

Sdr pr si 2
1/3
Sdr lk si 2 1/3 x 6 = 2 x 9 18
Sdr lk sisb 5

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa saudara laki-laki seibu


sebapak mendapatkan bagiannya yakni 18/54 sehingga lebih tepat jika
menggunakan cara musyarakah. Dalam kasusnya konsep musyarakah hanya dapat
digunakan apabila saudara seibu mendapat bagian warisan, sedangkan saudara
laki-laki seibu sebapak tidak mendapatkan bagian. Adapun untuk saudara seibu
sebapak yang menjadi sayarat hanyalah saudara seibu sebapak laki-laki (sisb) saja,
sedangkan saudara perempuan seibu sebapak (sisb) tidak. Hal ini karena jika ada
saudara laki-laki seibu sebapak maka saudara perempuan seibu sebapak akan
menjadi asabah bil ghairihi. Dan apabila saudara seibu hanya 1 maka, tidak perlu
menggunakan konsep musyarakah karena pasti akan sisa.7

7
Suhrawardi K.lubis, Komis Simanjuntak. Hukum Waris Islam (Lengkap & Praktis). (Jakarta :
Sinar Grafika, 2004). Hlm. 142-143.
C. Contoh Permasalahan Gharawayn dan Musyarakah serta Penyelesaiannya
1. Gharawayn
Dalam pembahasan Gharawayn, hanya terdapat dua varian kasus yang
mungkin terjadi. Kasus pertama yakni apabila ahli waris terdiri dari suami,
ibu, dan bapak. Sementara kasus kedua terjadi apabila ahli waris terdiri dari
istri, ibu, dan bapak. Pada dasarnya titik permasalahannya yaitu jika si mayit
tidak meninggalkan anak, sehingga ibu memperoleh bagian ⅓ dari harta
keseluruhan.

Namun, jika pembagiannya demikian, maka ayah akan memperoleh


bagian yang lebih sedikit daripada ibu. Oleh karena itu, bagian ibu dipangkas
menjadi ⅓ sisa dari harta yang telah dibagikan. Dengan tujuan agar si ibu
tidak mendapat bagian lebih banyak dari si ayah sebagaimana kaidah asal
bahwa laki-laki mendapatkan dua kali bagian dari wanita.

a) Ahli waris terdiri dari suami, ibu, dan bapak


Harta warisan: Rp.60.000.000

Ahli Waris JP AM

Rp.30.000.000 (sisa
Suami ½ x Rp.60.000.000
Rp.30.000.000)

⅓ x Rp.30.000.000 (sisa
Ibu Rp.10.000.000
suami)

Bapak ‘Ashabah Rp.20.000.000

Jumlah Rp.60.000.000

b) Ahli waris terdiri dari istri, ibu, dan bapak


Harta warisan: Rp.90.000.000
Ahli Waris JP AM

Rp.22.500.000 (sisa
Istri ¼ x Rp.90.000.000
Rp.67.500.000)

Ibu ⅓ x Rp.67.500.000 (sisa istri) Rp.22.500.000

Bapak ‘Ashabah Rp.45.000.000

Jumlah Rp.90.000.000

2. Musyarakah
Musyarakah terjadi apabila si mayit meninggalkan suami, ibu atau
nenek, dua orang saudara seibu atau lebih, dan saudara laki-laki kandung. Inti
dari permasalahan Musyarakah adalah saat ahli warisnya sebagaimana
tersebut di atas, maka saudara kandung laki-laki tidak akan mendapatkan
warisan karena ia adalah sebagai ‘ashabah.

Contoh Harta warisan sebesar : Rp.360.000.000

Ahli waris:

Ahli Waris Bagian AM = 6 Perolehan Harta

Suami ½ 3 3/6 x 360 jt = 180 jt

Ibu ⅙ 1 ⅙ x 360 jt = 60 jt

2 Saudara Seibu
⅓ 2 2/6 x 360 jt = 120 jt
Saudara LK kandung
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa
eksistensi Gharawayndan musyarakah dalam fiqh mawaris adalah sebagai
terobosan terbaru guna menjawab persoalan yang belum ada ketentuannya
didalam Nash.

DAFTAR RUJUKAN
Al-Bassam, Abdullah bin Abdurrohman. Taudhihul Ahkam Min Bulughil Marom:
Bab Faraidh. https://www.masjidal-jihad.com/tausiyah/bab-faraidh-kitab
taudhih-al-ahkam-hadits-ke-1/
Al-Khin, Musthafa. Al-Fiqhul Manhaji; Darul Qalam, Damaskus.1992, juz
V.hlm.113.
al-Zuhaili ,Wahbah. “al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu”, Jld. 10, (Damsyik: Dar
al-Fikr, 2006), Hlm. 7807; Hasbiyallah, “Belajar Mudah Ilmu Waris”,
(Bandung, Remaja Rosdakarya, 2007), Hlm.110.
Ma’luf al-Yasu’iy dan Totel al-Yasu’iy, “Al-Munjid Fi Lughah Wa A’lam”,
(Beirut: Dar al-Mashreq, 2005), hlm. 546.
Mahmudi, Muhammad Ali. “Ketentuan Gharawayn Dalam Pasal 178 Ayat(2)
Kompilasi Hukum Islam Perspektif Teori Maslahah Mhammad Sa’id
Ramadlan Al-Butiy.” Uin Maulana Malik Ibrahim Malang, 2016.

K.lubis, Suhrawardi. Simanjuntak, Komis. Hukum Waris Islam (Lengkap &


Praktis). (Jakarta : Sinar Grafika, 2004). Hlm. 142-143.

Rofiq, Ahmad. “Fiqh Mawaris”, Lembaga Studi Islam dan Kemayarakatan


(LSIK), Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet 1, 1937, hal.103-104.

Anda mungkin juga menyukai