BAB II
ITIHAD DAN
PERKEMBANGANNYA
A. Pendahuluan
Bagi setiap muslim, segala apa yang dilakukan dalam kehi-
dupannya harus sesuai dengan kehendak Allah, sebagai realisasi dari
keimanan kepada-Nya. Kehendak. Allah tersebut dapat ditemukan
dalam kumpulan wahyu yang disampaikan melalui Nabi-Nya (Al-
Qur’an) dan penjelasan yang diberikan oleh Nabi mengenai wahyu
Allah tersebut (sunah).
Kehendak atau titah Allah yang berhubungan dengan perbuatan
manusia, di kalangan ahli ushul disebut “hukum syara”, sedangkan
bagi kalangan ahli fiqh, “hukum syara” “adalah pengaruh titah Allah
terhadap perbuatan manusia tersebut.
Seluruh kehendak Allah tentang perbuatan manusia itu pada
dasarnya terdapat dalam Al-Qur’an dan penjelasannya dalam
Sunah Nabi. Tidak ada yang luput satu pun dari Al-Qur’an. Namun
Al-Qur’an itu bukanlah kitab hukum dalam pengertian ahli figh
karena di dalamnya hanya terkandung titah dalam bentuk suruhan
dan larangan atau ungkapan lain yang bersamaan dengan itu; de-
ngan istilah lain, Al-Qur’an itu mengandung norma hukum. Untuk
memformulasikan titah Allah itu ke dalam bentuk hukum syara’
(menurut istilah ahli fiqh) diperlukan suatu usaha pemahaman dan
penelusuran.
Secara garis besar, ada dua bentuk karakteristik hukum syara’
dilihat dari penunjukannya terhadap hukum, yaitu:
1. Diantara hukum syara’ ada yang dapat dipahami dengan mu-
dah karena titah Allah itu cukup jelas artinya dan pasti tujuan-
nya, umpamanya:USHULFIQH JILID 2
254
a, Larangan berkata kasar kepada orang tuanya dapat dengan
mudah dipahami dari firman Allah dalam surat al-Israa’
(17): 23 Ay eae
(OF 1g SY 5 SILL S596
Janganlah kamu ucapkan kepada keduanya kata ‘ah’ dan
jangan kamu hardik keduanya ...
b. Wudhu merupakan prasyarat yang harus dilakukan sebe-
lum melakukan shalat, dengan mudah dapat dipahami dari
firman Allah dalam surat al-Maaidab (5): 6:
eb 5 pL 2 Sa Sy As 1 al gat 1
(+ saolall) .... gia}
Hai orang-orang yang beriman bila kamu hendak mendirikan
shalat, cucilah mukamu dan kedua tanganmu sampai siku....
c. Yang melakukan perbuatan zina dikenai sanksi dera seratus
kali, dengan mudah dapat dipahaimi dari firman Allah dalam
surat an-Nuur (24): 2:
6 BULL 2 ey AL ele pan ches
CF ola SLL Lege 5S USB SIF sal 5
Pezina perempuan dan pezina laki-laki deralah masing-
masingnya seratus kali dera ...
Dalam beberapa contoh di atas, tampak bahwa hukum itu
dapat dipahami dengan mudah dari firman Allah, karena me-
mang penunjukannya terhadap hukum cukup jelas.
Kadang kala hukum tidak dapat ditemukan dari apa yang ter-
surat dalam firman Allah secara jelas; namun dapat dipahami
melalui pemahaman akan maksud sebuah Jafaz, oleh karena
hukum itu “tersirat” di balik /afaz tersebut. Umpamanya:
a. Hukum memukul orang tua tidak terdapat dalam Al-Qur’an,
namun dapat dipahami melalui pemahaman akan larangan
berkata kasar kepada orang tua sebagaimana tersebut dalam
ayat di atas. Alasannya, bahwa berkata kasar saja sudah
dilarang, apalagi memukul.Bab 3 (a> |jtihad dan Perkembangannya
b. Hukum meminum minuman beralkohol tidak tersebut dalam
Al-Qur’an, namun dapat diketahui melalui pemahaman kita
akan haramnya minum khamar yang tersebut secara jelas
dalam Al-Qur’an surat al-Maaidab (5): 90:
ASM class 4 ally 4 IH gaT gl
(Fe sgaslallys Hess Golhe SN cei $F,
Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamar dan
judi, berhala dan bertenung itu adalah perbuatan keji dari
perbuatan setan; oleh karenanya jaubilab ...
Kita dapat memahami hukum haramnya meminum mi-
numan beralkohol karena minuman beralkohol itu sama
dengan khamar dalam sifat memabukkannya.
Memahami hukum dalam dua contoh tersebut tidaklah semudah
memahami hukum dalam tiga contoh sebelumnya, karena dalam
hal ini dibutuhkan daya nalar, dan tidak semua orang dapat mema-
haminya dengan baik.
Contoh lainnya adalah mengenai hubungan nasab seseorang
kepada leluhurnya: apakah kepada ayahnya atau kepada ibunya?
Hal ini tidak ditemukan ketentuan hukumnya secara jelas dalam
Al-Qur’an. Dan tidak dapat dicari jawabannya dari yang tersirat di
balik lafaz Al-Qur’an. Juga tidak ditemukan titik kesamaan dengan
apa yang terdapat dalam Al-Qur’an untuk disamakan hukumnya.
Meskipun demikian kita harus yakin bahwa jawabannya pasti ada
dalam kandungan Al-Qur’an, Untuk mendapatkannya diperlukan
pengerahan daya nalar secara maksimal.
Untuk mencari ketentuan hukum mengenai hubungan nasab itu,
kita temukan firman Allah dalam surat al-Bagarah (2): 233:
(XVY 8 Ball) os 922 E 5285 G5 Mo dgal jes
Kewajiban si ayah memberi nafkah dan pakaian kepada mereka
secara patut.
Ayat ini memang secara langsung tidak menunjukkan hukum
hubungan nasab, juga tidak mengisyaratkan adanya hubungan nasab.
Gi 255USHUL FIQH JILID 2
Namun digunakannya ungkapan 4 $13) dengan arti kesungguhan atau sepenuh hati atau
serius. Contohnya dapat kita temukan dalam surat al-An‘aam
(6): 109:
ieee by oA He
Ora pls Yl) ocleslags aaly| gacals
Mereka bersumpah dengan Allah sesungguh-sunggub sumpah.
b. Jubdun (A¢) dengan arti kesanggupan atau kemampuan yang
di dalamya terkandung arti sulit, berat, dan susah. Contohnya,
firman Allah dalam surat at-Taubah (9): 79:
. 292 oat oh kne ot Kio oe
(v4 why gall) End SFB OME WS Se S TEINS
Dan orang-orang yang tidak memperoleh selain sekadar kesang-
gupannya, maka orang munafik itu menghina mereka.
Pengubahan kata dari ja ha da (44%) atau ja hi da (442) men-
jadi ij ta ha da (Ag!) dengan cara menambahkan dua huruf, yaitu
“alif” di awalnya dan “ta” antara huruf jim” dan “ha”, mengandung
enam maksud, satu di antara maksudnya yang tepat adalah untuk
“mubalaghah” (asa), yaitu dalam pengertian “sangat”.
Bila kata ja ha da dihubungkan dengan dua bentuk mashdar-nya
tersebut, pengertiannya berarti “kesanggupan yang sangat “ atau
“kesungguhan yang sangat.”
G 257USHULFIQH JILID 2
Bila arti kata (etimologis) ini dihubungkan dengan arti istilah
(definitif) tentang ijtihad, akan terlihat keserasian artinya karena
pada kata ijtihad itu memang terkandung arti kesanggupan dan ke-
mampuan yang maksimal dan harus dilakukan dengan kesungguhan
serta sepenuh hati.
2. Ijtihad Menurut Istilah Teknis Hukum (Definisi)
Banyak rumusan yang diberikan mengenai definisi “ijtihad”,
tetapi satu sama lainnya tidak mengandung perbedaan yang prin-
sip, bahkan kelihatan saling menguatkan dan menyempurnakan. Di
antara definisi tersebut adalah:
A yaukani dalam kitabnya Irsyad al-Fubuli memberi-
Mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syar‘i
yang bersifat amali melalui cara istinbath.
Dalam definisi ini digunakan kata bazlu al-was‘i untuk men-
jelaskan bahwa ijtihad itu adalah usaha besar yang memerlukan
pengerahan kemampuan. Hal ini berarti bila usaha itu ditem-
puh dengan tidak sepenuh hati dan tidak bersungguh-sungguh,
maka tidak dinamakan ijtihad.
Penggunaan kata syar‘i mengandung arti bahwa yang dihasil-
kan dalam usaha ijtihad adalah hukum syar‘i atau ketentuan
yang menyangkut tingkah laku manusia, Sebagai fasal (kata
pemisah) dalam definisi itu, kata syar‘i ini mengeluarkan dari
pengertian ijtihad bentuk usaha menemukan sesuatu yang ber-
sifat aqli, lughawi, dan hissi. Pengerahan kemampuan untuk
menemukan yang demikian tidak disebut ijtihad.
Selanjutnya dalam definisi itu juga disebutkan mengenai cara
menemukan hukum syar‘i, yaitu melalui istinbath (bLsxl)
yang pengertiannya memungut atau mengeluarkan sesuatu dari
dalam kandungan Jafaz. Hal ini berarti bahwa ijtihad itu ada-
lah usaha memahami Jafaz dan mengeluarkan hukum dari lafaz
tersebut. Sebagai fasal (kata pemisah) dalam definisi, kata ini
258 @Bab3 (eb ljtihad dan Perkembangannya
mengeluarkan dari pengertian ijtihad bentuk usaha mengeluar-
kan hukum dari nash yang memang secara jelas telah menun-
juk kepada hukum tersebut.
Ibnu Subki memberikan definisi sebagai berikut:
oth Ent oe & le shee aN aeailt eke
Pengerahan kemampuan seorang faqih untuk menghasilkan
dugaan kuat tentang hukum syar‘i.
Dibandingkan dengan definisi al-Syaukani, Ibnu Subki menam-
bahkan lafaz al-faqib sesudah kata bazlu dan kata zhan sebe-
lum kata hukum syar‘i.
Dengan penambahan kata fagib, mengandung arti bahwa yang
mengerahkan kemampuan dalam ijtihad itu bukanlah semba-
rang orang, tetapi orang yang telah mencapai derajat tertentu
yang disebut fagih, karena hanya orang fagih-lah yang dapat
berbuat demikian. Usaha yang dilakukan orang awam yang ti-
dak mempunyai pengetahuan tentang figh bukan ijtihad.
Kata zhan yang ditambahkan Ibnu Subki mengandung arti
bahwa yang dicari dan dicapai dengan usaha ijtihad itu hanya-
lah dugaan kuat tentang hukum Allah, bukan hukum Allah itu
sendiri, karena hanya Allah yang Maha Mengetahui maksud-
nya secara pasti, sedangkan Allah sendiri tidak mengungkap-
kan ketentuan hukum-Nya secara pasti. Kalau sudah ada fir-
man Allah yang pasti dan jelas tentang hukum, maka tidak
perlu ada ijtihad lagi, sebagaimana disinggung di atas.
Saifuddin al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam, menyempurna-
kan dua definisi sebelumnya dengan penambahan kata:
SBM ye Sal Nips nts dsty
dalam bentuk yang dirinya merasa tidak mampu berbuat lebih
daripada itu.
Definisi al-Amidi itu selengkapnya adalah:
bsdy pie Legs cial ha eotiit kes)
259USHUL FIQH JILID 2
Pengerahan kemampuan dalam memperoleh dugaan kuat ten-
tang sesuatu dari hukum syara’ dalam bentuk yang dirinya me-
rasa tidak mampu berbuat lebih dari itu.
Penambahan fasal dalam definisi al-Amidi tersebut mengandung
arti bahwa pengerahan kemampuan tersebut dilakukan secara mak-
simal. Dengan demikian, pengerahan kemampuan secara sembrono,
asal-asalan atau sekadarnya saja, tidak dinamakan ijtihad.
Dari menganalisis ketiga definisi di atas dan membandingkannya
dapat diambil hakikat dari ijtihad itu sebagai berikut:
a. Ijtihad adalah pengerahan daya nalar secara maksimal;
b. Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah mencapai dera-
jat tertentu di bidang keilmuan yang disebut fagih;
c. Produk atau yang diperoleh dari usaha ijtihad itu adalah du-
gaan yang kuat tentang hukum syara’ yang bersifat amaliah;
d. Usaha ijtihad ditempuh melalui cara-cara istinbath.
C. Hukum Berijtihad
Yang dimaksud dengan hukum berijtihad di sini ialah hukum
dari orang yang melakukan jjtihad, baik dari tujuan hukum taklifi,
maupun hukum wadh‘. Karena yang berwenang melakukan ijtihad
itu adalah orang yang telah mencapai tingkat faqih (sebagaimana
disebutkan dalam definisi di atas), maka mabkum ‘alaib-nya (subjek
atau orang yang dikenai oleh hukum) di sini adalah orang yang faqih.
Membicarakan hukum berijtihad seorang fagih dapat dilihat
dari dua segi. Pertama dari segi hasil ijtihadnya itu adalah untuk
kepentingan yang diamalkannya sendiri; seperti menentukan arah
kiblat pada waktu akan melakukan shalat. Kedua dari segi bahwa
mujtahid itu adalah seorang mufti yang fatwanya akan diamalkan
oleh umat atau pengikutnya.
Selanjutnya hukum berijtihad seorang fagih dapat dilihat dari
segi prinsip umum dalam menetapkan hukum, tanpa memandang
kepada keadaan dan kondisi apa pun, atau dengan melihat kepada
260 |Bab 3 Ca ljtihad dan Perkembangannya
keadaan dan kondisi tertentu.
Secara umum, hukum ijtihad itu adalah wajib. Artinya, seorang
myjtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan
hukum syara’ dalam hal-hal yang syara’ sendiri tidak menetapkan-
nya secara jelas dan pasti. Adapun dalil tentang kewajiban untuk
berijtihad itu dapat dipahami dari firman Allah dalam Al-Qur’an:
1. Surat al-Hasyr (59): 2:
(Fs deal) shag y sity 3ic2t6
Maka ambil iktibarlah hai orang-orang yang punya pandangan.
Dalam ayat ini Allah menyuruh orang-orang yang mempunyai
pandangan (faqib) untuk mengambil iktibar atau pertimbang-
an dalam berpikir. Perintah untuk mengambil iktibar ini se-
sudah Allah menjelaskan malapetaka yang menimpa Ahli Ki-
tab (Yahudi) disebabkan oleh tingkah mereka yang tidak baik.
Seorang fagih akan dapat mengambil kesimpulan dari ibarat
Allah tersebut bahwa kaum mana pun akan mengalami aki-
bat yang sama bila mereka berlaku seperti kaum Yahudi yang
dijelaskan dalam ayat ini, Cara mengambil iktibar ini merupa-
kan salah satu bentuk dari ijtihad. Karena dalam ayat ini Al-
lah menyuruh mengambil iktibar berarti Allah juga menyuruh
berijtihad, sedangkan suruhan itu pada dasarnya adalah untuk
wajib.
2. Surat an-Nisaa’ (4): 59:
(04 celadll) ong GANGA SIS Se SAE ISAS
Maka jika kamu berselisih pabam tentang sesuatu kembalikanlah
kepada Allah dan Rasul ...
Allah menyuruh mengembalikan sesuatu yang diperselisihkan
kepada Allah dan Rasul. Yang diperselisihkan itu biasanya se-
suatu yang tidak ditetapkan Allah secara jelas dan tegas dalam
firman-Nya. Sedangkan perintah mengembalikannya kepada
Allah dan Rasul berarti menghubungkan hukumnya kepada
apa yang pernah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an atau
a 261USHUL FIQH JILID 2
yang ditetapkan Rasul dalam Sunah. Cara seperti ini disebut qi-
yas (Lill). Sedangkan giyas itu merupakan salah satu bentuk
ijtihad. Karena itu, suruhan (perintah) Allah untuk mengemba-
likan sesuatu kepada Allah dan Rasul ini berarti suruhan untuk
berijtihad dan setiap suruhan itu pada dasarnya adalah untuk
wajib.
Seorang mujtahid dalam kehidupan sehari-harinya pada waktu
mengamalkan ajaran agama sering menemukan hal-hal yang perlu
diselesaikan dengan ijtihad. Bertaklid kepada orang lain tidak di-
perbolehkan bagi seseorang yang memiliki kualifikasi sebagai mujta-
hid. Kalau tidak diperbolehkan bertaklid, berarti ia harus berijtihad.
Kalau tidak berijtihad, maka ia tidak akan dapat beramal, karena
tidak memperoleh petunjuk dari dalil yang kuat.
Dalam kedudukannya sebagai fagih yang pendapatnya akan
diikuti dan diamalkan oleh orang lain yang minta fatwa tentang
sesuatu, maka hukum berijtihad tergantung kepada keadaan kondisi
mujtahid dan umat di sekitarnya.
Bila seorang faqih ditanya tentang hukum suatu kasus yang telah
berlaku, sedangkan ia hanya satu-satunya fagib yang dapat melaku-
kan ijtihad dan ia merasa kalau tidak melakukan ijtihad pada saat
itu akan berakibat kasus tersebut luput dari hukum, maka hukum
berijtihad bagi faqih tersebut adalah wajib ‘ain (exe's),
Bila seorang fagih ditanya tentang hukum suatu kasus yang
berlaku, sedangkan ia adalah satu-satunya faqih waktu itu, tetapi ia
tidak khawatir akan luputnya kasus tersebut dari hukum, atau pada
waktu itu ada beberapa orang fagih yang mampu melakukan ijtihad,
maka hukum berijtihad bagi fagib tersebut adalah wajib kifayah
(oS els), Hal ini berarti bahwa bila untuk menetapkan hukum
sutau kasus tersebut telah ada seorang faqib yang tampil untuk
berijtihad, maka fagih yang lain bebas dari kewajiban berijtihad.
Namun bila tidak ada seorang fagih pun yang berijtihad, sehingga
hukumnya luput, maka semua fagih yang ada di situ berdosa, karena
meninggalkan kewajiban kifdyah.
Bila keadaan yang ditanyakan kepada faqih tersebut belum ter-
jadi secara praktis, tetapi umat menghendaki ketetapan hukumnya
262 aBab 3 > litihad dan Perkembangannya
untuk mengantisipasi timbulnya kasus tersebut, maka ijtihad dalam
hal ini hukumnya hanyalah swnat (duu); artinya tidak berdosa fagih
tersebut bila tidak melakukan ijtihad, namun bila ia berijtihad akan
lebih baik.
Berijtihad itu hukumnya haram (¢\~) untuk kasus yang telah ada
hukumnya dan ditetapkan berdasarkan dalil yang sharih dan qath‘i,
atau bila orang yang melakukan ijtihad itu belum mencapai tingkat
faqib. Jadi, haramnya hukum jjtihad dalam hal ini adalah pertama
karena ijtihad tidak boleh dilakukan bila telah ada nash yang sharih
dan gath‘i yang mengaturnya, kedua karena orang yang berijtihad
tidak (belum) memenuhi syarat yang dituntut untuk ijtihad.
Dalam menghadapi suatu kasus yang sudah terjadi dalam ke-
nyataan atau belum terjadi, dan kasus tersebut belum diatur secara
jelas dalam nash Al-Qur’an maupun sunah, sedangkan orang yang
memiliki kualifikasi sebagai mujtahid ada beberapa orang, maka
dalam hal ini hukum berijtihad bagi seorang faqib hukumnya mubah
(c+) atau boleh.
D. Perkembangan Ijtihad
Persoalan utama dalam membahas perkembangan jjtihad adalah:
semenjak kapan ijtihad itu mulai ada (berlaku); apakah pada masa
kini ini masih berlaku dan bagaimana kemungkinan berlakunya
untuk masa mendatang.
Kalau membicarakan awal berlakunya ijtihad tentu kita akan
menoleh ke masa paling dini dari keberadaan hukum Islam, yaitu
semenjak masa hidupnya Nabi. Para ulama berbeda pendapat men-
genai apakah ijtihad telah berlaku pada masa Nabi. Hal ini karena
secara umum diketahui bahwa ijtihad itu diperlukan pada waktu
tidak menemukan petunjuk Allah secara jelas tentang suatu masalah
dan tidak ditemukan pula petunjuk dari Nabi; sedangkan selama
Nabi masih hidup tidak mungkin petunjuk secara nash sudah tidak
ada lagi, karena ayat Al-Qur’an masih turun dan Nabi masih dapat
menyampaikan petunjuknya. Tetapi di sisi lain, dalam banyak kasus
banyak ditemukan bahwa Nabi sendiri dalam menghadapi suatu
masalah sering menggunakan daya nalarnya sebagaimana yang lazim
@ 263USHUL FIQH JILID 2
dilakukan seorang mujtahid dalam menghadapi masalah hukum.
Oleh karena itu, keberadaan ijtihad pada masa Nabi masih menjadi
perbincangan di kalangan ulama.
1. Ijtihad pada Masa Nabi
Pembicaraan mengenai ijtihad pada masa Nabi mengandung
beberapa bahasan, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh Nabi dan ijtihad
yang dilakukan oleh sahabat pada masa Nabi. Kemudian, kedua
bahasan ini ditinjau dari segi kedudukannya sebagai dalil hukum
yang berdiri sendiri.
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah Nabi pernah
melakukan ijtihad, dan apakah Nabi boleh berijtihad. Hal ini tim-
bul, di antaranya karena di satu sisi ada firman Allah dalam surat
an-Najm (53): 2-3:
(EY eel) ERLE sha) oH ye SLES
Dan tiadalah ia (Nabi) berbicara dengan hawa nafsunya; ucap-
annya itu tiada lain dari wahyu yang diwahyukan.
Di sisi lain Nabi dalam kedudukannya sebagai manusia biasa
berbicara dan melakukan sesuatu yang tentu tidak mungkin ke-
seluruhannya sebagai wahyu.
1. Jumhur ulama berpendapat bahwa Nabi boleh dan mungkin
saja melakukan ijtihad. Mereka berargumen berdasarkan dalil
Al-Qur’an, sunah dan argumen akal atau logika.
Di antara dalil Al-Qur’an yang mereka kemukakan adalah fir-
man Allah dalam surat al-Hasyr (59): 2:
( + fool) Las sites pases
Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai
orang-orang yang mempunyai pandangan.
Para ulama memahami ayat ini sebagai dalil melakukan ijti-
had. Perintah melakukan ijtihad dalam ayat ini berlaku secara
umum yang berlaku untuk umat juga untuk Nabi yang dikenai
titah Allah dalam ayat ini. Mereka mengemukakan contoh ka-
sus ijtihad Nabi dengan mengetengahkan asbabal-nuzul (kasus
264 7 giBab 3 a> ljtihad dan Perkembangannya
yang menyebabkan turunnya) surat al-Anfaal (8): 67:
OY JW 2 W358 5 5 slds Swale
3
Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia
dapat melumpubkan musubnya di muka bumi.
Kemudian surat at-Taubab (9): 43:
as
Negi Wincs 6 esi sdscis
(2% dy gall) GyalZalh
Semoga Allah memaafkanmu, mengapa kamu memberi izin
kepada mereka (untuk pergi berperang) sebelum jelas bagimu
orang-orang yang benar dan sebelum kamu ketahui orang-orang
yang dusta.
Dalam ayat pertama Allah mencela Nabi karena meninggalkan
tawanan Perang Badar dengan uang tebusan. Kasus ini muncul
waktu menghadapi tawanan Perang Badar, Pada waktu Nabi
menanyakan pendapat Abu Bakar, Abu Bakar mengemukakan
pendapat supaya tawanan itu ditahan saja dan tidak dibunuh
dengan harapan mereka berguna bagi Islam. Umar ibn Khat-
tab mengemukakan pendapat agar tawanan itu dibunuh saja,
karena mungkin akan merugikan Islam. Selanjutnya Nabi ber-
pikir untuk mempertimbangkan langkah yang harus diambil,
kemudian mengambil kesimpulan untuk menahan saja tawan-
an tersebut sebagaimana yang disarankan Abu Bakar. Ternya-
ta yang terjadi kemudian tawanan itu merugikan Islam hingga
Nabi menyesal dan menangis bersama Abu Bakar, Dalam peris-
tiwa inilah datangnya teguran Allah tersebut.
Dalam ayat kedua juga Allah menegur Nabi karena berbuat
kekeliruan mengizinkan orang-orang yang kemudian tampak
kemunafikannya dalam perang Tabuk yang merugikan Islam,
hingga Allah menegurnya.
Dalam kedua ayat tersebut Allah menegur atau mencela Nabi
atas apa yang telah diperbuatnya. Adanya kritik Allah atas apa
yang telah diperbuat Nabi itu menunjukkan bahwa apa yang
265USHUL FIQH JILID 2
266
diperbuat Nabi dalam kedua kasus tersebut adalah semata atas
hasil buah pikirannya dan tidak berdasarkan wahyu. Hal itu
berarti Nabi telah melakukan ijtihad.
Adapun dalil yang berasal dari Hadis Nabi yang menyatakan
bahwa Nabi melakukan ijtihad, cukup banyak. Di antaranya
hadis yang diriwayatkan Bukhari dan muslim dengan sanad
dari Rafi’ Ibn Khudeij yang berkata bahwa Nabi SAW datang
ke Madinah, Waktu itu ada penduduk sedang mengawinkan
kurma, kemudian beliau berkata, “Seandainya tidak kamu
buat seperti itu akan lebih baik.” Lantas petani itu meninggal-
kan cara tersebut, tetapi ternyata kemudian buahnya berku-
rang. Ia menyampaikan hal itu kepada Nabi, dan berkata Nabi,
“Sesungguhnya saya ini adalah, manusia sepertimu. Bila saya
menyuruhmu dalam hal urusan agamamu ikutilah. Tetapi bila
saya menyuruhmu melakukan sesuatu berdasarkan ijtihad sa-
ya, saya hanya seorang manusia biasa.”
Dalam bentuk lain, Nabi sering menetapkan suatu keputusan,
kemudian turun ayat yang membetulkan keputusan itu. Kemu-
dian Nabi pun meninggalkan apa yang telah diputuskannya
dan mengikuti apa yang ditetapkan Allah. Hal ini menunjuk-
kan bahwa apa yang ditetapkan Nabi itu bukan atas dasar pe-
tunjuk wahyu, tetapi semata hasil ijtihad beliau sendiri.
Golongan ulama kalam al-Asy‘ariyah dan kebanyakan Mu’ta-
zilah, Abu Ali al Jubbai dan anaknya Hasyim berpendapat bah-
wa tidak boleh dan tidak pernah Nabi SAW melakukan ijtihad
dalam bidang hukum syara’. Mereka mengemukakan argumen
sebagai berikut:
a. Firman Allah dalam surat an-Najm (53): 3-4:
eth 228 92 28H 242 tain
(EY spell) SPST 53) Gc Shlyz Ghisle 5
dan tiada ia berbicara dam hawa nafsunya, tetapi tidak lain
dari wahyu yang diwahyukan.
Ayat ini menunjukkan bahwa segala yang diucapkan Nabi
itu adalah wahyu yang diwahyukan Allah dan bukan hasil
ijtihadnya.Bab 3 a. |jtihad dan Perkembangannya
b. Dalam menghadapi suatu masalah hukum, Nabi dapat
sampai kepada suatu ketentuan yang meyakinkan, yaitu jika
sudah turun wahyu Allah, atau menunggu sampai datang
wahyu seandainya wahyu belum turun. Bila Nabi mampu
menemukan cara yang meyakinkan, yaitu melalui wahyu,
tentu tidak akan memutuskan suatu masalah dengan keten-
tuan yang bersifat zhanni, yaitu ijtihad.
c. Sering terjadi Nabi tidak memberikan jawaban atas suatu
pertanyaan yang diajukan kepadanya. Seandainya Nabi
dapat melakukan jjtihad tentu Nabi tidak perlu menunggu
turunnya wahyu, tetapi dapat langsung memberikan jawab-
an dengan ijtihad.
d. Ijtihad itu adalah karya akal dan berkemungkinan sekali
untuk salah; sedangkan Nabi dalah orang yang ma’shum
(terpelihara atau terhindar dari kesalahan).
e. Jjtihad itu boleh berlaku seandainya tidak ada nash yang
mengaturnya, baik nash Al-Qur’an maupun sunah. Selagi
Nabi masih hidup tidak dapat dikatakan bahwa nash sudah
tidak ada. Dan selama itu pula tidak boleh ada ijtihad.
Argumen yang dikemukakan dua kelompok yang berbeda itu
tidak terlepas dari kelemahan-kelemahan yang menjadi sasaran
sanggahan dari pihak lain, sebagaimana keduanya juga mem-
punyai segi kekuatan yang digunakan oleh kelompok itu untuk
menegakkan pendapatnya.
3. Di antara pendapat ulama yang mengatakan boleh dan yang
mengatakan tidak boleh Nabi berijtihad, ada segolongan ula-
ma yang mengambil jalan tengah. Mereka berpendapat bah-
wa Nabi dapat dan pernah melakukan jjtihad dalam urusan
keduniaan terutama dalam masalah perang, tetapi tidak ber-
ijtihad dalam urusan hukum syara’. Alasannya, karena hal itu
sering terjadi sebagaimana dalam contoh di atas.
2. Metode Ijtihad Nabi
Suatu kenyataan bahwa Nabi telah melakukan ijtihad sehu-
bungan dengan adanya pertanyaan shahabat yang dihadapkan
ag : 267USHUL FIQH JILID 2
kepadanya. Tentang bagaimana caranya dan metode apa yang di-
gunakan Nabi dalam melakukan ijtihad itu, kelihatannya jawaban
yang diberikan Nabi adalah dalam bentuk ijtihad dengan mencari
kesamaan dengan kasus yang telah ditemukan hukumnya dalam
wahyu atau sunah yang telah berlangsung. Cara seperti ini dalam
ijtihad disebut giyas. Contohnya adalah sebagai berikut:
le
Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan lainnya dari
Tbnu Abbas menerangkan bahwa seorang perempuan dari suku
Juhainah datang kepada Nabi Muhammad SAW dan berka-
ta, “Ibu saya bernazar untuk melakukan haji. Ia belum per-
nah melakukan haji yang dinazarkan itu sampai ia meninggal.
Perempuan itu bertanya, “Apakah boleh saya menghajikan-
nya?” Nabi menjawab, “Ya, hajikanlah. Bagaimana pendapat-
mu seandainya ibumu berutang apakah engkau akan mem-
bayarkannya? Bayarkanlah utangnya kepada Allah, karena
utang kepada Allah itu lebih layak untuk dibayarkan.”
Dalam hadis ini Nabi menghubungkan untuk memenuhi pe-
laksanaan haji yang dinazarkan (sebagai utang kepada Allah),
kepada membayar utang yang wajib dibayar. Di sini terlihat
bahwa Nabi dalam memutuskan perkara dengan memberikan
pertimbangan atas pendapatnya melalui cara qiyas.
Nabi menetapkan boleh dan tidak batalnya puasa orang yang
mencium istrinya. Dalam menetapkan hukum itu Nabi menya-
makannya dengan berkumur-kumur dengan air pada waktu
berpuasa yang telah dinyatakan bahwa hukumnya tidak mem-
batalkan puasa. Kasus ini diriwayatkan Abu Daud dalam su-
nahnya bahwa Umar ibn Khattab mengadukan masalah kepa-
da Nabi karena ia telah mencium istrinya padahal ia sedang
berpuasa. Nabi berkata, “Bagaimana pendapatmu seandainya
kamu berkumur-kumur dengan air?” Ucapan beliau ini berarti
bahwa jika tidak batal puasa bila berkumur-kumur dengan ait,
maka begitu pula tidak batal puasa bila mencium istri.
Kekuatan Ijtihad Nabi dalam Menetapkan Hukum
Berdasarkan kepada pendapat ulama bahwa Nabi pernah,
dapat dan boleh berijtihad, bagaimana kekuatan hasil ijtihadnya
268Bab 3 Ce Ijtihad dan Perkembangannya
dalam penetapan hukum. Segala yang berasal dari Nabi berupa
perkataan, perbuatan dan takrir Nabi mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat untuk diikuti umatnya. Namun apakah kekuatan
hukumnya itu karena berupa sunah yang wajib diikuti atau karena
hasil ijtihad Nabi.
Lazimnya, segala yang berasal dari pikiran (nalar) Nabi diung-
kapkan dalam bentuk ucapan, perbuatan, dan takqrir, disebut sunah
Nabi yang wajib diikuti. Dalam hal ini ada perbedaan mengenai cara
dalam proses untuk sampai kepada apa yang diucapkan, diperbuat,
dan ditakqrirkan Nabi tersebut: apakah melalui wahyu atau ijtihad
Nabi. Bagi ulama yang membolehkan Nabi berijtihad, tentu akan
mengatakan bahwa cara yang dilakukan Nabi dalam menghasilkan
sunahnya itu adalah melalui ijtihad. Sejauh tidak ada teguran dari
Allah SWT ia tetap mempunyai kekuatan hukum. Hal ini berarti
bahwa ijtihad Nabi telah mendapat pengesahan dari wahyu.
Bagi ulama yang mengatakan bahwa Nabi tidak berijtihad akan
mengatakan bahwa cara yang ditempuh oleh Nabi sampai meng-
hasilkan sunahnya adalah wahyu, sehingga tidak perlu menunggu
pengesahan dari wahyu, karena cara untuk menghasilkan sunah
itu sendiri adalah wahyu. Seandainya kemudian turun wahyu yang
meralat apa yang telah disampaikan oleh Nabi, maka yang berlaku
adalah wahyu itu dan penjelasan Nabi sebelumnya yang telah diralat
tidak berlaku lagi.
Persoalan apakah ijtihad Nabi itu mempunyai kekuatan hukum
secara mandiri atau karena dikuatkan oleh wahyu, menjadi perbin-
cangan di kalangan ulama. Namun kelihatannya perbedaan pendapat
di kalangan ulama dalam hal ini tidak berpengaruh secara praktis
terhadap keterikatan umat untuk mengikutinya dalam kedudukan-
nya sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Nabi. Kalau memang
demikian halnya, maka apa gunanya menampilkan keadaan Nabi
melakukan ijtihad itu. Menurut Salam Madzkur, gunanya adalah
untuk memberi contoh kepada umat bagaimana menghadapi suatu
persoalan hukum seandainya wahyu telah terhenti. Juga untuk
mengajarkan cara-cara yang harus ditempuh bagi melakukan ijtihad.
@ : 269USHUL FIQH JILID 2
4. Ijtihad Sahabat pada Masa Nabi
Bila pada masa hidup Nabi ternyata Nabi sendiri melakukan
ijtihad, para sahabat juga ada yang melakukan jjtihad, baik dalam
kasus yang terjadi di tempat dan sepengetahuan Nabi, maupun yang
terjadi di tempat jauh dan tidak sepengetahuan dari Nabi. Alasan
sahabat berijtihad untuk kasus yang terjadi jauh dari Nabi, adalah
karena terpaksa untuk menetapkan ketentuan hukumnya sedangkan
untuk menghubungi dan meminta jawaban dari Nabi terlalu lama
(memakan waktu) jika tempatnya jauh. Adapun sahabat yang beri-
jtihad dalam menetapkan hukum bagi kasus yang terjadi di tempat
yang dekat Nabi, adalah karena ada rasa aman; seandainya salah
pun tentu akan segera dibetulkan Nabi.
Di antara ijtihad yang dilakukan sahabat sewaktu Nabi masih
hidup di tempat yang dekat Nabi umpamanya ‘Amr bin Ash yang
bertayamum padahal waktu itu ada air, karena ia merasa khawatir
jika berwudhu dengan air akan sakit, sebab cuaca sangat dingin.
Tindakan ini dilakukan Amru bin Ash karena ia menemukan ke-
sukaran berwudhw’ memakai air karena cuaca dingin sebagaimana
kesukaran berwudhw’ karena tidak ada air. Ia juga mengetahui ada
ayat Al-Qur’an yang menerangkan: “bila tidak menemukan air ber-
tayamumlab.” Apa yang dilakukan Amru tersebut segera diketahui
Nabi. Ternyata Nabi tidak melarang tindakannya itu.
Jitihad sahabat untuk kasus yang terjadi jauh dari Nabi adalah
umpamanya yang terjadi pada serombongan sahabat ketika melaku-
kan perjalanan dalam peristiwa abzab. Nabi menyuruh mereka untuk
shalat Ashar di kampung Bani Quraizhah. Sewaktu dalam perjalanan,
mereka memasuki waktu Ashar. Sebagian di antara mereka berhenti
dan melakukan shalat Ashar dan tidak mau menangguhkan shalat
Asharnya. Sedangkan yang sebagian lagi tidak mau berhenti untuk
shalat dan terus melanjutkan perjalanan hingga sampai di kampung,
Bani Quraizhah waktu malam, baru melakukan shalat Ashar di sana.
Dalam kasus tersebut, kedua kelompok sahabat itu telah mela-
kukan ijtihad. Kelompok pertama memahami suruhan Nabi itu
menurut arti dan jiwanya. Sedangkan yang kedua memahaminya
menurut lahir (teks)-nya. Apa yang dilakukan oleh kedua kelompok
ini dibenarkan Nabi.
270 . =|Bab 3 Qe» |jtihad dan Perkembangannya
Hadis yang populer mengenai sikap Mu‘adz ibn Jabal untuk
melakukan ijtihad, menunjukkan bahwa ia berijtihad sewaktu ia
berada di Yaman dan ternyata dibenarkan bahkan dipuji Nabi.
Meskipun dalam kenyataan memang telah terjadi ijtihad sahabat
waktu Nabi masih hidup, baik bagi yang berada dekat di sekitar
Nabi maupun bagi yang jauh dari Nabi, namun tentang kebolehan
berlangsungnya ijtihad pada waktu Nabi itu masih diperbincangkan
oleh para ulama, terutama bila dihubungkan kepada ijtihad sebagai
sumber tasyr’’.
ie
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa jjtihad sahabat pada
masa Nabi memang telah terjadi dan boleh terjadi. Mereka
mengemukakan argumen sebagai berikut:
a. Titah Allah yang menyuruh orang beriman untuk berijtihad
dalam surat al-Hasyr (59): 2:
oe? 4 S
(Y _dedl) Lash S515 1 5s
Ambil iktibarlah wahai orang-orang yang punya pandangan.
Titah ini berlaku secara umum baik pada waktu Nabi masih
hidup maupun setelah Nabi meninggal.
b. Dalam kenyataan telah terjadi ijtihad shahabat pada waktu
Nabi, baik dilakukan di tempat yang dekat Nabi, maupun
jauh dari Nabi. Ternyata mereka mendapat persetujuan dari
Nabi yang menunjukkan kebolehannya.
Sebagian ulama kalam, di antaranya Abu Ali al-Jubbai dan Ib-
nu Hisyam berpendapat tidak ada atau tidak boleh ijtihad sa-
habat waktu Nabi masih hidup, dengan alasan:
a. Ijtihad itu boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa, yaitu
ketika timbul masalah hukum dan tidak ada nash yang
memberikan jawaban. Sedangkan bila Nabi masih hidup,
maka tidak dapat dikatakan bahwa sudah tidak ada nash
wahyu lagi.
b. Hasil (produk) ijtihad itu adalah zhanni, sedangkan hukum
yang ditetapkan dengan nash bersifat gath‘i (meyakinkan).
Jika ada yang gath‘i, maka tidak boleh menetapkan hukum
secara zhanni,
271USHUL FIQH JILID 2
3. Sebagian ulama mengambil jalan tengah, yaitu boleh melaku-
kan ijtihad bagi sahabat yang berdomisili jauh dari keberadaan
Nabi karena keterpaksaan mereka untuk melakukan ijtihad da-
lam menghadapi timbulnya masalah hukum. Sedangkan bagi
sahabat yang tinggal dekat dengan Nabi, tidak boleh melaku-
kan ijtihad karena mereka dapat mengetahui hukum secara
pasti dengan cara langsung menanyakannya kepada Nabi, se-
hingga mereka tidak terpaksa harus berijtihad.
Masalah lain yang diperbincangkan ulama sekitar kekuatan
ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah mengenai: di mana
letak kekuatan ijtihad yang dilakukan sahabat tersebut, pada hasil
ijtihadnya itu sendiri atau karena adanya pembenaran dari Nabi.
Dari perbincangan para ulama, tampak bahwa mereka tidak melihat
kekuatan hasil ijtihad sahabat waktu Nabi itu pada hasil ijtihad itu
sendiri, tetapi pada pengakuan yang diberikan Nabi, baik secara
terang-terangan membenarkannya atau tidak diketahui adanya pe-
nolakan dari Nabi. Hal ini berarti hasil ijtihad sahabat pada masa
Nabi tidak mempunyai kekuatan hukum secara mandiri, tetapi
membutuhkan pengakuan dari Nabi.
5. Ijtihad pada Masa Sahabat
Bila pada masa Nabi masih hidup telah terjadi ijtihad yang
dilakukan Nabi atau oleh para sahabat ketika tidak ditemukan pe-
tunjuk dalam menghadapi suatu masalah hukum karena tempatnya
berjauhan dari Nabi atau wahyu terlambat turun, maka setelah Nabi
wafat pelaksanaan ijtihad oleh para shahabat semakin banyak terjadi.
Penyebab sering terjadinya ijtihad itu adalah karena masalah yang,
menuntut jawaban hukum semakin banyak, sebab semakin maju
dan berkembangnya kehidupan sosial yang memunculkan masalah
baru yang memerlukan jawaban hukum, sedangkan wahyu sebagai
sumber hukum sudah terhenti sama sekali, baik wahyu yang tertulis
(Al-Qur’an), maupun wahyu tidak tertulis (Sunah Nabi).
Di bawah ini akan dikemukakan beberapa contoh ijtihad pada
masa sahabat.
1, Ketika Nabi baru wafat, timbul masalah siapa yang akan men-
272 - aBab 3 a> |jtihad dan Perkembangannya
jadi pemimpin umat pengganti kedudukan beliau. Nabi sendiri
tidak memberi petunjuk apa-apa dan wahyu yang berkenaan
dengan pergantian pemimpin pun tidak ada yang secara tegas
dan jelas menerangkannya. ‘Terjadilah perbincangan yang me-
luas dengan menggunakan akal (daya nalar) sebagai dalil. Hasil
dari perbincangan itu adalah penunjukan Abu Bakar sebagai
pemimpin yang disebut kbalifab. Dasar pemikiran penunjukan
Abu Bakar ini ialah karena ia pernah menggantikan kedudukan
Nabi sebagai Imam shalat jamaah pada saat Nabi sakit. Ka-
lau Abu Bakar pernah menjadi imam shalat yang merupakan
pemimpin dalam hal keagamaan, tentu tepat pula untuk men-
duduki jabatan khalifah sebagai pemimpin keduniaan.
Pada waktu Nabi masih hidup bahkan sampai meninggalnya
wahyu Allah yang disebut Al-Qur’an itu belum terkumpul,
tetapi terekam dalam hafalan para sahabat yang menghafalnya.
Dalam suatu perang melawan kaum kafir banyak penghafal Al-
Qur’an yang meninggal. Dikhawatirkan hilangnya kumpulan
wahyu Allah dengan meninggalnya semua penghafal. Timbul-
lah ide untuk mengumpulkan Al-Qur’an, tetapi petunjuk dari
wahyu dan dari Nabi untuk itu tidak ada. Namun karena ide
tersebut baik, dalam rangka menjaga keutuhan wahyu, maka
terlaksanalah pengumpulan wahyu Al-Qur’an itu, meskipun
belum tersusun secara teratur sebagaimana dalam bentuknya
yang sekarang. Ini adalah hasil ijtihad sahabat.
Dalam masa pemerintahan Abu Bakar terjadi pembangkangan
dari sebagian pemeluk Islam. Ada yang murtad dari Islam dan
ada pula yang ingkar dari membayar zakat. Terhadap orang
yang murtad ada petunjuk dalam nash, yaitu hukum bunuh,
Tetapi tidak ada ketentuan hukum untuk orang yang ingkar
membayar zakat. Pada waktu Nabi masih hidup, mereka mem-
bayar zakat dengan patuh sehingga Nabi tidak merasa perlu
melakukan tindakan atau ketentuan hukum bagi orang yang
ingkar membayar zakat. Kalau Abu Bakar bertindak lemah,
maka akan semakin banyak orang yang ingkar membayar
zakat. Sebagian sahabat, termasuk Umar, berpendapat tidak
273USHUL FIQH JILID 2
274
perlu memerangi (membunuh) orang yang ingkar membayar
zakat itu. Tetapi Abu Bakar akhirnya menetapkan memerangi
dan membunuh orang-orang yang ingkar membayar zakat itu.
Ini adalah hasil ijtihad Abu Bakar.
Pada waktu ‘Umar menjadi khalifah, beliau merasa perlu mem-
bentuk dewan-dewan dalam pemerintahannya; mencetak mata
uang sebagai alat tukar dalam perdagangan; membentuk pasu-
kan tentara yang tetap untuk membela agama Islam dan kaum
muslim, dan tindakan lain yang sebelumnya belum pernah ada
dan tidak ada petunjuknya dari wahyu maupun dari Sunah
Nabi. ‘Umar menetapkan berdasarkan ijtihadnya dengan per-
timbangan bagi kepentingan umum dalam melaksanakan pe-
merintahan.
Dalam pelaksanaan hukum, ‘Umar ibn Khatab melihat banyak
permasalahan sosial yang meskipun sudah ada petunjuk sebe-
lumnya (dari mash atau sunah Nabi) namun dalam kenyataan
di masyarakat waktu itu menuntutnya untuk memahami kem-
bali petunjuk tersebut.
Di antara masalah tersebut adalah:
a. Meskipun Al-Qur’an menetapkan adanya hak zakat bagi
kaum mualaf, namun Umar melihat tidak ada baiknya lagi
mualaf mendapatkan hak zakat.
b. Meskipun dalam Al-Qur’an ada petunjuk tentang pem-
bagian harta rampasan termasuk tanahnya, namun Umar
tidak membagi-bagikan tanah rampasan di Irak kepada
anggota pasukan perang, tetapi tetap digarap oleh pemilik
tanah dengan kewajiban si penggarap membayar dari hasil
garapannya yang kemudian disebut kharaj. Umar melihat
bahwa itulah cara yang terbaik bagi kepentingan umum.
c. Meskipun Nabi pernah memberikan petunjuk tentang hu-
kuman yang dibebankan kepada peminum khamar, yaitu
dera 40 kali, namun Umar pada masanya menganggap
tidak mempan lagi, sehingga ditetapkan bahwa sanksi bagi
peminum khamar menjadi 80 kali.
d. Meskipun terhadap pencuri ada petunjuk Al-Qur’an untukBab 3 a. |jtihad dan Perkembangannya
memotong tangannya bila memenuhi persyaratan yang di-
tentukan Nabi, namun Umar pernah tidak melaksanakan
hukuman itu terhadap pencuri karena keadaan pada waktu
itu dalam masa paceklik.
Beberapa contoh tindakan Umar pada masa pemerintahannya
itu, ditetapkan Umar berdasarkan ijtihadnya dengan pertim-
bangan bagi kemaslahatan.
5. ‘Utsman ibn ‘Affan pada waktu menjadi khalifah banyak me-
netapkan kebijaksanaan berdasarkan ijtihadnya yang berbeda
dari pendahulunya, di antaranya:
a. Pada masa Nabi dan begitu pula pada masa Abu Bakar dan
Umar menjadi khalifah, azan shalat Jum‘at sebelum khatib
naik mimbar hanya satu kali, karena dengan satu kali itu
dirasa sudah cukup untuk memberi tahu masuknya waktu
shalat Jumat. Karena jamaah pada waktu Usman semakin
banyak, dirasakan tidak cukup lagi kalau azan itu hanya
satu kali, oleh karena itu beliau menetapkan berdasarkan
ijtihadnya dengan memberlakukan azan Jum‘at sebanyak
dua kali sebelum khatib naik mimbar.
b. Nabi telah memberi petunjuk tentang tindakan dalam
menghadapi unta yang sesat, yaitu dibiarkan lepas mencari
makan sendiri dan tidak boleh ditangkap. Pada masa khali-
fah ‘Utsman ternyata sudah banyak orang berakhlak buruk
dan bertangan jahil yang suka mengambil hak orang lain
dengan cara yang tidak sah. Kemudian ‘Utsman menetapkan
kebijaksanaan lain dengan ijtihadnya yang berbeda dengan
yang dilakukan oleh pendahulunya yang juga berbeda de-
ngan petunjuk Nabi, yaitu unta itu harus ditangkap dan
dijual kemudian hasil penjualannya diserahkan kepada si
pemilik unta yang datang kemudian. Pertimbangan yang
dilakukan ‘Utsman adalah kalau unta yang sesat itu tidak
ditangkap sebagaimanan petunjuk Nabi, maka akan dicuri
orang dan hilanglah hak pemiliknya, sedangkan kalau unta
itu ditangkap dan dijual, maka hak orang akan terpelihara.
6. Waktu ‘Ali ibn Abi Thalib memerintah sebagai khalifah, beli-
@ 275USHUL FIQH JILID 2
au juga banyak melakukan ijtihad dan dikenal memiliki daya
nalar yang brillian dalam berijtihad. Di antaranya ketetapan
terhadap peminum khamar dengan dera 80 kali dera. Pertim-
bangannya bukan sebagaimana pendapat ‘Umar sebelumnya
(supaya jera), tetapi karena bila orang minum khamar sampai
mabuk, ia akan meracau yang dalam ucapannya akan menuduh
orang berzina dengan seenaknya. Untuk mencegah terjadi hal
itu dikenakanlah hukuman berat bagi peminum khamar seperti
yang dikenakan kepada penuduh zina.
Beberapa contoh di atas hanyalah sebagian kecil praktik ijtihad
di kalangan sahabat, baik dalam kedudukannya sebagai khalifah
maupun sebagai penduduk muslim biasa yang kemudian dicatat
sebagai ijtihad yang dilakukan para sahabat.
6.
Bentuk Ijtihad Sahabat
Ijtihad shahabat setelah wafatnya Nabi dapat dikelompokkan
kepada beberapa bentuk sebagai berikut:
ac
276.
Jjtihad dalam bentuk memberikan penjelasan terhadap nash
yang telah ada, baik nash Al-Qur’an maupun Sunah Nabi.
Umpamanya jjtihad sahabat dalam memahami firman Allah
dalam surat an-Nisaa’ (4): 11:
BA sAeS a Asie RLM sels Jas 55
BO 4 aye 4
(1) cela eMac al 595 15 55 AS
Bagi kedua orang iby bapaknya masing-masing mendapat
seperenam bila pewaris meninggalkan anak. Bila pewaris tidak
meninggalkan anak yang mewarisinya adalah dua orang ibu
bapaknya maka ibunya mendapat sepertiga.
Zaid ibn Tsabit menafsirkan hak ibu sepertiga dalam keadaan
tidak ada anak adalah bila yang menjadi ahli warisnya hanya-
lah ibu dan bapaknya saja. Bila bersama mereka ada suami
atau istri, maka hak ibu bukan sepertiga dari harta, tetapi se-
pertiga dari sisa harta sesudah diberikan kepada abli waris lain,
yaitu suami atau istri.Bab 3 a> |jtihad dan Perkembangannya
Penafsir lain seperti Ibnu ‘Abbas memahami hak ibu yang se-
pertiga itu dalam keadaan ada ahli waris lain atau tidak. Ia
tidak merasa perlu men-ta‘wil-kan dari sepertiga harta menjadi
sepertiga sisa harta.
Di sini terlihat bahwa suatu ketentuan hukum yang sudah ada
dalam nash masih memerlukan jijtihad dan menimbulkan pe-
nafsiran yang berbeda di kalangan sahabat penafsir itu.
2. Tjtihad untuk menetapkan hukum yang baru bagi kasus yang
muncul melalui cara mencari perbandingannya dengan ke-
tetapan hukum yang telah ada penjelasannya dalam nash un-
tuk ditetapkan bagi kasus tersebut. Ijtihad dengan cara ini con-
tohnya adalah dalam menetapkan jabatan khalifah sesudah
wafatnya Nabi. Dalam hal ini-dengan cara meng-qiyas-kan ja-
batan khalifah (pemimpin urusan dunia) kepada jabatan imam
shalat berjama‘ah yang pernah diserahkan Nabi kepada Abu
Bakar. Jalan pikiran para sahabat waktu menetapkan jabatan
khalifah untuk Abu Bakar ini adalah melalui giyas.
Dalam menghadapi masalah baru yang tidak ada nash-nya,
juga tidak dapat mencari bandingannya dengan apa yang te-
lah ditetapkan dalam nash, sahabat menempuh bentuk ijtihad
dengan ra’yu, yaitu menggunakan jiwa syara’ sebagai acuan
dalam istinbath. Kepentingan umum atau maslahat selalu di-
jadikan pertimbangan dalam menggunakan ra’yu sebagai ca-
ra dalam berijtihad. Umpamanya dalam menetapkan untuk
mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an (pada masa Abu
Bakar); menetapkan dewan-dewan, membentuk pasukan ten-
tara yang tetap dan mencetak mata uang pada masa (Umar ibn
Khattab); menyatukan bentuk bacaan Al-Qur’an dan memba-
kar yang lainnya pada masa (Utsman ibn ‘Affan).
7. Sasaran Ijtihad Sahabat
Dari contoh ijtihad yang dilakukan para sahabat terlihat ada
dua hal yang menjadi sasaran ijtihadnya, yaitu:
1. Masalah baru yang terjadi sesudah masa Nabi yang tidak me-
reka temukan jawabnya secara jelas dalam nash, baik nash
@ ’ . 277USHUL FIQH JILID 2
278
Al-Qur’an maupun Sunah Nabi. Cara yang mereka tempuh
untuk memberikan jawaban terhadap masalah ini adalah de-
ngan merujukkannya kepada nash itu sendiri; baik dengan cara
mencari apa yang tersirat di balik /afaz yang ada itu, atau de-
ngan cara merentangkan /afaz yang ada kepada masalah baru
tersebut. Contohnya:
a. Dalam menetapkan hukum keharaman memukul orang tua
yang memang secara jelas tidak disebutkan secara tersurat
dalam nash, para sahabat mencarinya dari apa yang tersirat
di balik /afaz yang menetapkan keharaman mengucapkan
“uf? (berkata kasar) kepada orang tua.
b. Untuk menetapkan haramnya meminum minuman beral-
kohol para sahabat menetapkan hukumnya dengan cara
merentangkan larangan Allah dalam meminum khamar yang
tersebut dalam Al-Qur’an kepada minuman yang beralkohol
tersebut.
Ijtihad terhadap hal-hal yang telah-ada ketentuan hukumnya
dalam nash, namun penerapan hukum itu menurut secara apa
adanya sudah sulit dilaksanakan dalam keadaan tertentu se-
hingga sahabat memerlukan pemahaman lain yang berbeda
dengan apa yang ditetapkan sebelumnya. Contohnya:
a. ‘Umar ibn Khattab menetapkan sanksi bagi peminum
khamar dengan dera 80 kali; berbeda dengan yang ditetap-
kan Nabi dalam sunahnya, yaitu 40 kali dera. Pertimbangan
“Umar adalah bahwa pada waktu itu dengan hukuman 40
kali dera sudah tidak cukup lagi untuk menjerakan peminum
khamar.
b. ‘Utsman ibn ‘Affan menetapkan adzan shalat Jum‘at dua
kali berbeda dengan yang ditetapkan Nabi sebelumnya, yai-
tu satu kali. Pertimbangannya karena keadaan masyarakat
telah berkembang sehingga dengan hanya satu kali adzan,
tujuan disyariatkannya adzan untuk memberi tahu waktu
zuhur untuk melaksanakan Jum‘at sudah tidak cukup lagi.
Termasuk dalam bentuk kedua di atas adalah penangguhan hu-
kum yang ditetapkan karena situasi dan kondisi tidak memung-Bab3 Ca |itihad dan Perkembangannya
kinkan penerapan hukum tersebut atau dirasa tidak perlu lagi
menerapkannya dalam keadaan tertentu. Contoh dalam hal
ini umpamanya ‘Umar tidak memberikan hak menerima zakat
kepada mualaf dengan pertimbangan bahwa pada waktu itu
tidak perlu lagi mualaf itu dijinakkan hatinya dengan pembe-
rian zakat. ‘Umar juga menangguhkan hukum potong tangan
terhadap pencuri pada musim kelaparan, dengan pertimbangan
orang tersebut melakukan pencurian untuk mempertahankan
hidupnya.
8. Rujukan Sahabat dalam Berijtihad
Pada waktu sahabat melakukan ijtihad kelihatannya mereka
mengikuti cara ijtihad yang ditunjukkan oleh Nabi semasa hidupnya.
Bila menghadapi suatu persoalan yang memerlukan jawaban hukum,
pertama kali selalu mencarikan jawabannya dari ayat-ayat Al-Qur’an,
baik menurut yang tersurat dalam lahir lafaznya, maupun dari yang
tersirat di balik Jafaz itu. Bila tidak mereka temukan jawabannya
dalam Al-Qur’an, mereka mencari jawabannya dari sunnah yang
ditinggalkan Nabi. Bila tidak mereka temukan dalam Sunah, baru
menggunakan ra‘yu. Dalam penggunaan ra ‘yu ini sedapat mungkin
mereka mencari padanannya dalam Al-Qur’an dan Sunah untuk
menetapkan berdasarkan qiyds. Bila qiyds ini tidak dapat mereka
gunakan karena tidak ada padanannya dalam nash, mereka menggu-
nakan maslahat sebagai rujukan dalam menetapkan hukumnya.
Dalam menetapkan hukum berdasarkan ijtihad ini, kadang-
kadang para sahabat bermusyawarah terlebih dahulu sehingga hu-
kum yang ditetapkan itu merupakan hukum yang telah disepakati,
sebagaimana kesepakatan mereka dalam menetapkan jabatan kha-
lifah untuk Abu Bakar, yang mulanya merupakan pendapat pribadi.
Adakalanya juga hukum yang dihasilkan melalui ijtihad itu hanya
berbentuk pendapat pribadi dan tidak melalui suatu musyawarah.
Dalam hal ini timbul pendapat dari shahabat lainnya yang tidak sama
dengan pendapat sebelumnya. Contoh dalam hal ini umpamanya
hak ibu dalam kewarisan bila bersama dengan ayah dan istri atau
suami. Zaid ibn Tsabit menetapkan hak ibu adalah sepertiga sisa
harta, sedangkan menurut Ibn Abbas hak ibu adalah sepertiga harta.
g@ ’ 279USHUL FIQH JILID 2
9, Ijtihad pada Masa Tabi’in
Masa tabi’in adalah suatu masa sesudah sahabat. Tabi‘in itu,
pengertiannya secara arti kata adalah “pengikut”, sedangkan dalam
arti yang biasa digunakan adalah “orang-orang yang mengikut saha-
bat.” Tabi‘in ini tidak pernah bertemu dengan Nabi, tetapi mereka
bertemu dan mendapati orang-orang yang langsung bertemu dengan
Nabi (sahabat).
Dalam masa tabi‘in ini Islam semakin luas wilayahnya, ke-
hidupan masyarakat juga semakin maju dan kompleks. Penganut
Islam pun bukan lagi hanya orang-orang Arab, tetapi sudah berbaur
dengan bangsa lain yang berbeda-beda bahasanya. Perkembangan
ini menyebabkan pengetahuan umat Islam akan sumber Islam, yaitu
Al-Qur’an dan Sunah yang berbahasa Arab itu tidak lagi sesempurna
orang sebelumnya. Di samping itu, permasalahan kehidupan yang
memerlukan jawaban hukum semakin meningkat yang lebih menun-
tut pelaksanaan ijtihad.
Cara ulama tabi’in melakukan ijtihad adalah mengikuti cara
yang sudah dirintis sebelumnya oleh sahabat. Mereka menggunakan
Al-Qur’an dan Sunah Nabi sebagai rujukan utama. Selanjutnya
mereka mengikuti jjma’ sahabat. Jika tidak ditemukan dalam ijma’,
mereka berpedoman kepada hasil ijtihad pribadi dari sahabat yang
mereka anggap kuat dalilnya. Di samping itu, mereka menggunakan
ra’yu sebagaimana yang dilakukan sahabat. Dalam penggunaan
ra’yu sedapat mungkin mereka tempuh melalui qgiyas, bila mereka
menemukan padanan masalahnya dengan apa yang terdapat dalam
nash. Bila tidak mungkin, mereka menempatkan maslahat umum
sebagai bahan rujukan dalam berijtihad.
Dalam masa ini terlihat cara mereka melakukan Ijtihad mengarah
kepada dua bentuk, yaitu:
1. Kalangan sahabat yang lebih banyak menggunakan hadis atau
sunah dibanding dengan penggunaan ra‘yu. Cara Ijtihad se-
perti ini berkembang di kalangan ulama Madinah dengan to-
kohnya Sa‘id ibn al-Musayyab. Kalangan sahabat ini kemudian
berkembang dengan sebutan “Madrasah Madinah.”
2. Kalangan sahabat yang lebih banyak menggunakan ra‘yu di-
280 . aBab3_ x [itihad dan Perkembangannya
bandingkan dengan penggunaan sunnah. Cara ijtihad seperti
ini berkembang di kalangan ulama Kufah dengan tokohnya
Ibrahim al-Nakha‘i. Kalangan sahabat ini kemudian berkem-
bang dengan sebutan “Madrasah Kufah.”
Kenapa ulama Madinah lebih banyak menggunakan hadis ke-
timbang ra‘yu dan kenapa pula ulama Kufah atau Irak lebih banyak
menggunakan ra‘yu ketimbang hadis? Hal ini dapat dipahami dengan
melihat kepada kondisi dan perkembangan masyarakat di dua lokasi
yang berbeda ini.
Kufah atau Irak adalah suatu wilayah yang lebih maju kehidupan
masyarakatnya, sehingga masalah hukum yang dihadapinya sangat
kompleks. Letaknya yang berjauhan dengan pusat kedudukan Nabi
menyebabkan Hadis Nabi yang sampai begitu terbatas. Hal inilah
yang menyebabkan ulamanya dalam berijtihad lebih cenderung
(terdorong) untuk menggunakan ra‘yu. Sedangkan Madinah adalah
suatu wilayah yang kehidupan masyarakatnya masih sederhana,
sehingga masalah hukum yang dihadapinya tidak begitu kompleks.
Di sisi lain mereka hidup di kalangan kaum yang berdekatan dengan
Nabi sehingga banyak mempunyai koleksi hadis. Karena itu perma-
salahan hukum yang timbul sebagian besar telah dapat diberikan
jawabannya dengan Hadis Nabi yang banyak mereka ketahui. Hal
ini menyebabkan mereka tidak begitu terdorong untuk menggunakan
ra‘yu.
Hasil yang dicapai oleh ijtihad ulama tabi‘in ini, meskipun
mereka mengikuti petunjuk dari cara ijtihad ulama sahabat, namun
dalam beberapa hal mereka berbeda pendapat dengan ulama sahabat,
bahkan berbeda dengan apa yang berlaku pada waktu Nabi. Ali ibn
Abi Thalib dan sebagian ulama shahabat menerima kesaksian salah
seorang suami istri terhadap yang lain dalam peradilan. Begitu pula,
meraka menerima kesaksian anak-anak terhadap orang tua dan
kesaksian orang tua terhadap anak-anak. Tetapi Qadhi Syureih dan
sebagian ulama tabi’in tidak menerima kesaksian seperti ini, karena
adanya unsur tuhmab dan kecintaan yang akan memengaruhi mereka
dalam kesaksiannya.
Dalam masa Nabi dan masa sahabat, perempuan biasa keluar
& : 281USHUL FIQH JILID 2
rumah untuk pergi ke masjid asal tidak memakai wewangian. Ulama
tabi‘in menetapkan tidak bolehnya perempuan keluar rumah untuk
pergi ke masjid karena pada masa itu banyak orang yang usil dan
fasik yang akan mengganggu perempuan yang keluar rumah.
Sa‘id ibn al-Musayyab sebagai mujtahid tabi‘in banyak meng-
hasilkan ijtihad yang kelihatannya berbeda dengan apa yang diketa-
hui sebelumnya. Seperti pendapatnya yang mengatakan bahwa
seorang istri yang ditalak tiga yang akan kembali kepada suaminya
yang pertama adalah cukup jika telah melakukan akad nikah dengan
suami kedua dan tidak perlu bercampur terlebih dahulu. Beliau ber-
dalil dengan umumnya firman Allah dalam surat al- Bagarab ( (2): 230:
(18 8 ANNABEL 5 56K 25; Seis deSegabals
Jika dia (suami) mentalak (talak tiga), maka tidak halal dia (istri)
baginya hingga dia kawin dengan suami lain.
Pendapat ini berbeda dengan pendapat ulama shahabat yang
berpedoman kepada Hadis Nabi yang menyatakan bahwa istri yang
ditalak tiga itu baru boleh nikah lagi dengan suami pertamanya bila
dia telah bercampur dengan suami kedua dan tidak cukup hanya
dengan akad nikah.
Sa‘id ibn al-Musayyab juga memfatwakan bolehnya seseorang,
yang sedang junub untuk membaca Al-Qur’an asal tidak memegang
mushaf Al-Qur’an itu. Pendapat ini berbeda dengan pendapat ulama
sebelumnya.
Masa tabi’in ini dalam hal pelaksanaan ijtihad dikenal sebagai
masa perantara antara masa sahabat dengan masa imam mujtahid,
karena metode ijtihad yang dilakukan ulama sahabat diperdalam
dan dipolakan dalam masa tabi’in ini. Hasil yang telah dicapai masa
tabi’in inilah yang dikembangkan secara sistematis dan terstruktur
oleh para imam mujtahid.
10. Ijtihad pada Masa Imam Mazhab
Telah dijelaskan bahwa kegiatan ijtihad pada masa “tabi‘in”
dianggap sebagai perantara antara ijtihad pada masa sahabat dengan
ijtihad pada masa imam mazhab. Hal ini berarti pada masa tabi‘in
282 . aBab 3 eb Ijtihad dan Perkembangannya
telah dirintis usaha ijtihad yang kemudian dikembangkan dengan
sistematis pada masa imam-imam mazhab.
Pada masa sebelumnya ijtihad sudah mempola pada dua ben-
tuk, yaitu yang lebih banyak menggunakan ra’yu yang ditampilkan
“Madrasah Kufah”, dan pola yang lebih banyak menggunakan hadis
atau sunah yang ditampilkan “Madrasah Madinah.” Masing-masing
madrasah menghasilkan para mujtahid yang kenamaan.
Pada masa ini para mujtahid lebih menyempurnakan lagi karya
ijtihadnya antara lain dengan cara meletakkan dasar dan prinsip-prin-
sip pokok dalam berijtihad yang kemudian disebut “ushul”. Langkah
dan metode yang mereka tempuh dalam berijtihad melahirkan
kaidah-kaidah umum yang dijadikan pedoman oleh generasi berikut-
nya dalam mengembangkan pendapat pendahulunya. Dengan cara
ini, setiap mujtahid dapat menyusun pendapatnya secara sistematis,
terinci dan operasional yang kemudian disebut “figh”. Mujtahid
yang mengembangkan rumusan ilmu ushul dan manbaj (metode)
tersendiri disebut “mujtahid mandiri” (S&allazeel),
Dalam berijtihad, mereka langsung merujuk kepada dalil syara’
dan menghasilkan temuan orsinal. Karena antar para mujtahid itu
dalam berijtihad menggunakan ilmu ushul dan metode yang berbeda,
maka hasil yang mereka capai juga tidak selalu sama. Jalan yang
ditempuh seorang mujtahid dengan menggunakan ilmu ushul dan
metode tertentu untuk menghasilkan suatu pendapat tentang hu-
kum, kemudian disebut “mazhab” dan tokoh mujtahidnya dinamai
“imam mazhab.”
Pendapat tentang hukum hasil temuan imam mazhab itu di-
sampaikan kepada umat dalam bentuk “fatwa” untuk dipelajari, di-
ikuti dan diamalkan oleh orang-orang yang kemudian menjadi murid
dan pengikutnya secara tetap. Selanjutnya para murid dan pengikut
imam itu menyebarluaskan mazhab imamnya sehingga mazhabnya
berkembang dan bertahan dalam kurun waktu yang lama bahkan
sampai sekarang dan mewarnai umat Islam di seluruh belahan bumi.
Di antara mazhab fiqh dan imamnya yang terkenal adalah:
1. Mazhab Hanafiyah. Imamnya Abu Hanifah (80-150 H);
2. Mazhab Malikiyah. Imamnya Malik ibn Anas (93-179 H);
g : 283USHUL FIQH JILID 2
3. Mazhab Syafi‘iyah. Imamnya Muhammad ibn Idris al-Syafi‘i
(150-204 H);
4, Mazhab Hanabilah. Imamnya Ahmad ibn Hanbal (164-241H);
5. Mazhab Zhahiri. Imamnya Dawud ibn Ali al-Asbahani (202-
270 H);
6. Mazhab Zaidiyah. Imamnya Zaid ibn Ali Zainul Abidin (80-
122 H);
7. Mazhab Ja’fariyah. Imamnya Ja’far al-Shadiq (80-148 H).
(Dua madzhab yang terakhir, adalah mazhab figh di kalangan
Syi‘ah.)
Di antara murid dan pengikut Imam Abu Hanifah ialah: Abu
Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari(lahir 113 H); Zufar ibn Huzail
ibn Qeis al-Kufi (lahir 110 H); Muhammad ibn Hasan al-Syaibani
(lahir 132 H); dan Hasan ibn Ziyad al-Lu’lui. Keempat murid dan
sahabat Abu Hanifah ini merupakan pengembang dari madzhab
Hanafiyah.
Di antara murid imam dan pengikut Imam Malik adalah
Muhammad ibn Abdu al-Wahab dan Abdu al-Rahman ibn al-Qasim
dari Mesir; Abdullah Ziyad ibn Abdu al-Rahman al-Qurthubi, Isa
ibn Dinar al-Andalusi; Abu al-Hasan Ali ibn Ziyad al-Tunisi dan
Sahnun dari Afrika.
Di antara murid dan pengikut Imam Syafi‘i ialah: Abu Tsaur,
al-Hasan ibn Shabbah al-Za’farani dan Ahmad ibn Hanbal dari
Irak; Yusuf ibn Yahya al-Buwaithi, Abu Ibrabim Ismail ibn Yahya
al-Muzani dan al-Rabi’ ibn Sulaiman al-Muradi dari Ulama Mesir.
Di antara murid dan pengikut Imam Ahmad ibn Hanbal
ialah: Shalih ibn Ahmad ibn Hanbal dan Abdullah ibn Ahmad ibn
Muhammad ibn Hani’ Abu Bakar al-Astram, Abdul Malik ibn Mahran
al-Maimuni dan Ahmad ibn Muhammad ibn al-Hajjaj al-Maruzi.
Ada juga imam mujtahid yang tidak mempunyai banyak murid
dan pengikut yang mengembangkan dan menyebarluaskan mazhab-
nya, sehingga lama-kelamaan mazhab tersebut kurang populer dan
ada yang sekarang tidak dikenal lagi, padahal mungkin di masa lalu
merupakan sebuah mazhab yang kuat. Contohnya mazhab Auza’i
284 ° aBab3 (ae. ljtihad dan Perkembangannya
yang muncul di Syam dengan imamnya Abu Abdu al-Rahman ibn
Muhammad al-Auza’i (lahir 88 H), dan mazhab Thabari dengan
imamnya Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Thabari (lahir di
Tibristan, 224 H).
Metode dan hasil ijtihad para imam mazhab itu dikembangkan
oleh para muridnya. Kalau para imam mazhab yang disebut “mujta-
hid mandiri” menghasilkan temuan di bidang hukum yang orisinal
dan baru, maka ijtihad pada masa berikutnya (masa murid imam
mazhab) kebanyakan hanya menyempurnakan hasil temuan imam
mazhab terdahulu. Kegiatan ijtihadnya lebih banyak berbentuk
“takbrij” (~2>5)) dan “tafri” (eS), Pengertian takbrij di sini ialah
menetapkan hukum atas suatu kejadian dengan cara menghubung-
kannya kepada hukum yang telah ditetapkan oleh imam mazhab
karena antara dua kejadian itu ada kesamaan. Hasil temuan murid
imam madzhab ini disandarkan kepada temuan imam mazhab.
Dengan cara takhrij tersebut, pendapat imam mazhab yang tadinya
sederhana semakin diperluas dan dikembangkan oleh para murid
dan pengikutnya.
Adapun yang dimaksud dengan tafri’ ialah mengembangkan
dan menguraikan pendapat imam mazhab menjadi lebih jelas dan
terperinci. Meskipun pada mulanya imam mazhab mengungkapkan
pendapatnya dalam bentuk dasar pemikiran dan bersifat umum,
tetapi kemudian berkembang di tangan murid dan pengikutnya.
Usaha para murid dan pengikut imam mazhab tersebut dalam
menghadapi masalah hukum adalah sebagaimana yang dilakukan
para imam mazhab yang diikutinya, yaitu dengan menggunakan ke-
mampuan daya nalar. Karena itu usaha mereka juga disebut ijtihad.
Bedanya dengan ijtihad para imam mazhab adalah jika ijtihad imam
mazhab menggunakan ilmu ushul dan metode hasil temuannya sendi-
ri, sedangkan ijtihad para murid dan pengikut imam mazhab tidak
menggunakan ilmu ushul dan metode basil temuannya sendiri, tetapi
mengikuti ilmu ushul dan metode yang sudah dirancang oleh imam
mazhab. Karena itu, jika imam mazhab disebut “mujtahid mutlak”
(Gules agonal!) atau “mujtahid mandiri” karena kepeloporannya,
maka para murid dan pengikut imam mazhab disebut “mujtahid
mazhab” (Pid ayeu),
g@ : 285USHUL FIQH JILID 2
Para mujtahid mazhab ini dalam usaha menggali dan me-
rumuskan hukum suatu masalah yang dihadapi di samping merujuk
kepada pendapat imam mazhab, juga selalu memperhatikan situasi
dan kondisi di tempat mujtahid itu berada sehingga semua hukum
hasil ijtihadnya itu dapat diikuti serta diamalkan oleh pengikutnya,
dan ketentuan hukum sebagai norma teoretis selalu aktual dalam
kehidupan sesuai dengan waktu dan tempat berlakunya.
Hasil ijtihad para imam mazhab itu setelah melalui penyempur-
naan di tangan murid-muridnya, disusun secara sitematis sehingga
menghasilkan kitab-kitab fiqgh mazhab. Ketentuan hukum dalam
kitab-kitab figh itulah yang diikuti para pengikutnya sebagai pe-
doman dalam kehidupan sehari-hari dan jadi rujukan para hakim
dalam menyelesaikan perkara. Kitab-kitab figh peninggalan imam
mazhab ini merupakan salah satu faktor utama bagi kelangsungan
dan perkembangan pemikiran mazhab tersebut hingga sekarang.
11. Ijtihad pada Masa Sesudah Imam Mazhab
Secara langsung atau melalui tangan para muridnya, para imam
mazhab telah berhasil menyusun hasil ijtihadnya dalam bentuk kitab
figh yang jadi pedoman beramal bagi pengikutnya. Ini merupakan
peninggalan yang sangat berharga bagi pembinaan dan perkembang-
an hukum. Di satu sisi kitab-kitab figh tersebut bermanfaat sebagai
pedoman yang memudahkan pengikutnya dalam menerapkan hu-
kum, karena hampir segala persoalan yang timbul dapat ditemukan
jawabannya dengan membuka kitab fiqh tersebut. Namun di sisi
lain berdampak negatif terhadap perkembangan ijtihad, karena para
pengikut mazhab itu merasa puas, sehingga tidak perlu dan tidak
terdorong untuk berijtihad. Hal ini akhirnya melemahkan bahkan
menghilangkan daya ijtihad.
Bila pengikut imam mazhab menemukan suatu peristiwa yang
memerlukan jawaban hukum, mereka tidak lagi melakukan ijtihad
tetapi cukup mengikuti apa yang telah ditetapkan imam mazhab
sebelumnya, kadang-kadang tanpa mempertanyakan relevansi dan
ketepatan. Dalil yang digunakan imam mazhab itu untuk peristi-
wa baru yang muncul kemudian. Juga tidak dipersoalkan apakah
pendapat imam mazhab itu masih dapat diterapkan di tempat dan
286 @Bab 3 Ca Iitihad dan Perkembangannya
masa kemudian yang sudah jauh berubah. Masa ini biasa disebut
masa taqlid (4.1%) yang berlangsung lama.
Kegiatan ulama yang sebelumnya disibukkan oleh penelitian,
penggalian dan penemuan hukum Allah dengan melakukan ijtihad
sehingga menghasilkan pemikiran hukum yang baru dan orisinal,
pada masa taqlid ini, para ulama lebih cenderung untuk hanya mem-
bolak-balik khitab figh terdahulu atau hanya membanding-banding-
kan pendapat para imam mazhab untuk mengambil pendapat yang
dianggapnya paling kuat.
Di antara ulama ada yang giat membuat syarah (>) kitab figh
yang ada sehingga kitab aslinya dalam bentuk sederhana, menjadi
lebih luas. Kemudian kitab “syarah” itu diperluas lagi oleh ulama
lainnya dalam bentuk kitab “hasyigh” (4 +t ), Selanjutnya kitab-ki-
tab fikih yang telah disyarah dan dihasyiahkan secara panjang lebar
itu dibuat ringkasannya yang disebut khulashah. Kegiatan syarah,
hasyiah, dan kbulasah tersebut mewarnai kegiatan ulama pada masa
taqlid.
Figh yang digunakan dalam masa taklid adalah hasil ijtihad
imam mazhab di masa lalu dengan situasi dan kondisi pada masa
lalu. Banyak di antara hasil ijtihad imam mazhab itu yang sudah sulit
untuk dilaksanakan karena situasi dan kondisinya telah berubah
dan berbeda jauh, namun ulama belakangan tidak memiliki hasrat
dan merasa tidak mampu melakukan ijtihad untuk mengembangkan
hukum hasil pemikiran ulama terdahulu tersebut. Akibatnya, fiqh
lama yang biasa disebut sebagai hukum Islam itu kehilangan daya
aktualitasnya.
Kondisi pada masa pudarnya kegiatan ijtihad dan berkembang-
nya taklid itu diperparah lagi dengan keadaan negara-negara yang
berpenduduk muslim yang hampir semuanya jatuh di bawah penja-
jahan kolonial Barat. Secara berangsur-angsur hukum Barat diber-
lakukan oleh penguasa kolonial di negara jajahannya. Ketentuan
hukum dalam figh yang pada mulanya masih diterapkan sebagai
hukum positif di samping hukum Barat, kemudian terdesak oleh hu-
kum Barat yang mendominasi hukum di negara Islam (yang mayori-
tas berpenduduk muslim). Di beberapa negara, fiqh yang dahulunya
| «| 287USHULFIQH JILID 2
melingkupi seluruh bidang hukum, akhirnya yang tersisa sebagai
hukum positif hanyalah figh abwal al-syakhsiyab yang melingkupi
pernikahan dan kewarisan, di samping soal ibadat.
Dengan diberlakukannya hukum Barat hampir di semua negeri
yang beragama Islam, maka bidang fiqh di luar ibadat dan abwal
al-syakhsiyah, seperti fiqh mu‘amalat, jinayat, murafa’at atau
peradilan dan siyasah kehilangan daya positifnya dan hanya ting-
gal sebagai pedoman yang tidak mengikat. Hal ini berarti bahwa
hanya dalam bidang yang terbatas itu umat Islam mengikuti dan
menjalankan hukum Allah. Masa ini berlangsung sangat lama dan
sudah barang tentu berdampak negatif terhadap perkembangan dan
pelaksanaan hukum Islam (figh).
12. Kebangkitan Kembali Daya Jjtihad
Masa kemunduran ijtihad atau masa taqlid yang panjang ber-
dampak negatif terhadap kehidupan hukum Islam atau fiqh. Fiqh
yang selama ini diamalkan secara penuh dalam seluruh bidang
kehidupan, tetapi kemudian yang diamalkan hanyalah ibadah dan
bidang yang dianggap berkaitan langsung dengan agama, yaitu per-
kawinan dan kewarisan. Keadaan ini berlangsung hampir di semua
negeri yang beragama Islam. Hal ini berarti bahwa hanya dalam
bidang yang terbatas itu umat Islam mengikuti hukum Allah; se-
dangkan dalam bidang lain umat Islam mengikuti dan menjalankan
bukan hukum Allah.
Mungkin terdorong oleh rasa berdosa berkepanjangan karena
dalam kegiatan sehari-hari melaksanakan hukum bukan hukum
Islam yang diancam Allah dalam Al-Qur’an (al-Maaidab (5):44, 45,
dan 47), dalam perkembangan selanjutnya semakin nyata kesadaran
dari sebagian umat Islam untuk mengembalikan kejayaan hukum
Islam dengan cara memberlakukan kembali hukum Islam secara
aktual dalam mengatur kehidupan umat Islam dengan tujuan untuk
menjadikan hukum Islam sebagai tuan di rumah sendiri. Semangat
reaktualisasi hukum Islam itu kemudian semakin bergema di seluruh
dunia Islam.
Mengembalikan hukum Islam sebagai hukum yang berlaku dan
positif untuk mengatur kehidupan umat Islam secara menyeluruh
288 aBab 3 («> |jtihad dan Perkembangannya
sudah merupakan keinginan bersama. Namun untuk menjadikan
hukum Islam yang terhimpun dalam kitab-kitab figh karya mujtahid
masa lalu itu menemukan kesulitan karena figh tersebut merupakan
hasi
tihad yang sesuai dengan kondisi dan situasi pada tempat dan
masa lalu. Sedangkan untuk masa kini, sudah banyak pemikiran
atau ketentuan dalam kitab fiqh lama yang sulit dilaksanakan se-
cara aktual. Kesulitan penerapan ketentuan figh itu adalah dalam
hampir seluruh bidang fiqh, baik dalam bidang ibadat, dan terlebih
lagi dalam bidang mu‘amalat yang mengatur pergaulan umat Islam
dalam berbagai persoalan kehidupannya.
Sekadar contoh, kesulitan penerapan figh tempo dahulu untuk
masa kini dapat dilihat dalam ilustrasi di bawah ini.
1. Di antara syarat sahnya pemindahan hak milik (dari penjual
ke pembeli) dalam jual beli adalah adanya ijab-qabul di tempat
transaksi, yaitu ucapan yang jelas dari si pembeli, “Saya telah
membeli barang ini dengan harga sekian,” yang kemudian di-
jawab oleh si penjual, “Saya telah-menjual barang ini dengan
harga sekian.” Kalau persyaratan ijab-qabul itu masih diber-
lakukan dalam dunia perdagangan yang begitu besar dan kom-
pleks di masa sekarang, tentu akan menimbulkan kehebohan
pasar.
2. Semua kitab figh ulama Ahlu sunah dalam hukum kewaris-
an menetapkan bahwa cucu yang berhak menerima warisan
sebagai furud atau ashabah hanyalah anak dari anak laki-la-
ki, sedangkan anak dari anak perempuan tidak berhak sama
sekali kecuali sebagai zu! arham yang kemungkinannya untuk
mendapat warisan sangat kecil sekali. Hukum seperti ini han-
ya mungkin berlaku dalam bentuk susunan kekerabatan patri-
lineal (mengikuti garis ayah). Memberlakukan figh mawarits
seperti ini di dunia Islam yang rata-rata sudah hidup dalam
susunan kerabat parental (mengikuti garis ayah-ibu) tidaklah
relevan lagi:
3. Hampir dalam semua kitab fiqh mazhab, tidak ada ketentuan
tentang pencatatan perkawinan dan tentang batas usia minimal
bagi seseorang untuk dibolehkan nikah. Kalau figh lama itu
a 289USHUL FIQH JILID 2
digunakan untuk masa sekarang yang sudah berkembang dan
berubah dengan pesat kehidupannya, maka pelaksanaan per-
kawinan akan kacau.
4, Begitu pula dalam semua kitab fiqh yang mengatur tentang
perceraian dibicarakan bolehnya terjadi perceraian di mana
saja, kapan saja, dan oleh siapa saja; tidak mesti di pengadilan.
Kalau ketentuan ini diberlakukan pula waktu sekarang, maka
akan rusaklah kehidupan rumah tangga.
Agar hukum Islam tetap aktual untuk mengatur kehidupan umat
Islam di masa kini diperlukan hukum Islam dalam bentuknya yang
baru dan tidak mesti dengan mengambil alih semua figh yang lama.
Hal ini menghendaki adanya usaha tajdid atau reformulasi fiqh. Di
antara caranya adalah dengan memahami kembali dalil syara’ yang
menjadi rujukan para mujtahid tempo dahulu serta menjadikan situa-
sidan kondisi umat waktu sekarang sebagai bahan pertimbangan
dalam menetapkan hukum sebagaimana yang juga dilakukan oleh
mujtahid tempo dahulu.
Usaha reaktualisasi hukum Islam melalui reformulasi figh telah
berlangsung di dunia Islam semenjak akhir abad XIX dan semakin
terlihat pada awal abad XX yang terus berlangsung hingga saat ini.
Ada dua bentuk dalam usaha ijtihad baru tersebut:
1. Menghimpun bagian-bagian tertentu dari kitab figh mazhab
yang relevan untuk diberlakukan dalam mengatur kehidupan
manusia kemudian meramunya menjadi suatu kesatuan yang
utuh. Cara seperti ini biasa disebut talfik. Hampir semua hu-
kum perkawinan yang berlaku di dunia Islam masa kini diru-
muskan dalam bentuk talfik. Melalui talfik, keterikatan kepada
satu mazhab tertentu yang berlaku selama ini telah melonggar.
2. Mencoba memahami kembali dalil nash yang dijadikan rujuk-
an mujtahid yang ada untuk menghasilkan rumusan baru yang
disebut reinterpretasi.
290 GiBab 3 a> litihad dan Perkembangannya
E. Unsur Pokok dalam Jjtihad
Dari gambaran umum tentang ijtihad yang diuraikan di atas ter-
lihat bahwa ijtihad itu adalah kegiatan orang yang memenuhi syarat
tertentu dalam melakukan penggalian terhadap hukum Allah dari
petunjuk atau dalil tertentu dan merumuskannya dalam bentuk hu-
kum tertentu. Dari sini tampak bahwa unsur pokok dalam berijtihad
adalah: (1) orang yang melakukan ijtihad yang disebut “mujtahid”,
(2) dugaaan kuat tentang hukum Allah yang terdapat dalam penunjuk
yang menjadi sasaran ijtihad, yang disebut “mujtahad”. Pembicaraan
tentang syarat-syarat berijtihad meliputi kedua unsur pokok tersebut.
1. Syarat Menjadi Mujahid
Dalam literatur Ushul Figh terlihat bahwa para ahli ushul mem-
berikan rumusan yang berbeda tentang syarat mujahid. Perbedaan
rumusan itu banyak ditentukan oleh titik pandang yang berbeda
tentang mujtahid. Dari rumusan yang berbeda itu terlihat ada kesa-
maan di antara mereka dalam memandang dua titik pada seseorang
mujtahid itu, yaitu tentang kepribadiannya dan tentang kemampuan-
nya. Untuk kedua hal tersebut para ahli menetapkan syarat atau
kriteria tertentu yang tanpa syarat dan kriteria itu seseorang tidak
akan dapat melakukan ijtihad, dan kalaupun ia melakukan ijtihad,
maka hasilnya diragukan kebenarannya.
1. Syarat yang berhubungan dengan kepribadian. Syarat kepriba-
dian menyangkut dua hal:
a. Syarat umum yang harus dimiliki seorang mujtahid adalah
telah balig dan berakal.
Seseorang mujahid itu harus telah dewasa, karena hanya
pada orang yang telah dewasa dapat ditemukan adanya
kemampuan. Orang yang belum dewasa atau anak-anak
tidak akan mungkin melakukan ijtihad.
Kemudian, seseorang mujahid itu harus berakal atau sem-
purna akalnya, karena pada orang yang berakal ditemukan
adanya kemampuan ilmu dan ijtihad itu sendiri adalah suatu
karya ilmiah. Orang yang tidak sempurna akalnya seperti
orang gila tidak akan mungkin melakukan ijtihad.
@ 291USHUL FIQH JILID 2
292
Dua syarat tersebut merupakan sebagian dari syarat pembe-
banan hukum syara’ secara penuh terhadap seseorang, yang
disebut “taklif”. Ada dua syarat taklif yang tidak terdapat
di sini, yaitu syarat “kemerdekaan”, dan “laki-laki”. Kedua
syarat itu ditemukan dalam beberapa persyaratan taklif. Hal
ini mengandung arti bahwa berijtihad itu dapat dilakukan
oleh hamba sahaya, karena ternyata banyak hamba sahaya
mempunyai kemampuan berijtihad yang tidak kalah dari
orang merdeka. Ijtihad juga dapat dilakukan oleh per-
empuan; karena dalam kenyataannya banyak perempuan
yang mempunyai kemampuan ilmiah yang setara (melebihi)
kemampuan laki-laki.
Syarat kepribadian khusus. Ijtihad itu merupakan karya
ilmiah secara umum. Namun yang dilakukan dan dihasilkan
dalamnya adalah hukum yang dinisbatkan kepada Allah.
Oleh karena itu dituntut pada seorang mujtahid adanya
persyaratan kepribadian khusus yaitu keimanan. Ia harus
beriman kepada Allah secara sempurna, baik yang berke-
naan dengan zat, sifat dan perbuatan-Nya. Ia percaya akan
keberadaan dan kemahakuasaan Allah dan percaya akan
adanya hukum Allah yang mengatur segala segi kehidupan
manusia. Ia percaya kepada kerasulan Nabi Muhammad
SAW.dan percaya pula akan fungsi beliau sebagai penyampai
dan penjelas hukum Allah kepada umat manusia.
Imam al-Ghazali mensyaratkan sifat adil dalam kepri-
badian ini. Yang dimaksud dengan adil di sini adalah adil
yang dipersyaratkan dalam periwayatan hadis dan dalam
kewalian, yaitu malakah atau potensi yang melekat dalam
pribadi seseorang yang tidak memungkinkannya untuk
melakukan dosa besar dan tidak berketerusan dalam ber-
buat dosa kecil. Selanjutnya al-Gazali membatasi sifat adil
ini pada waktu menyampaikan hasil ijtihadnya untuk dapat
diterima oleh orang lain, bukan untuk kesahihan suatu hasil
ijtihad. Hal ini berarti bahwa sifat adil itu bukan terhadap
diri si Mujtahid (yang melakukan ijtihad), tetapi untuk dan
terhadap orang lain yang akan menjalankan hasil ijtihadnya.2.
Bab 3 (Ce. ljtihad dan Perkembangannya
Adapun beberapa sifat tambahan, seperti: zuhud, wara’,
tawadbw’, dan lainnya tidak merupakan persyaratan untuk
sahnya sebuah ijtihad, tetapi merupakan sifat keutamaan
bagi seseorang mufti yang menyampaikan hasil ijtihadnya.
Syarat yang berhubungan dengan kemampuan.
Seseorang harus memiliki kemampuan akademis untuk meneli-
ti dan menggali hukum syara’ dari dalil-dalilnya serta meru-
muskannya dalam formulasi hukum. Untuk dapat mencapai
kemampuan seperti ini diperlukan beberapa syarat yang secara
kumulatif harus terdapat pada diri seorang mujtahid atau se-
bagai conditio sine qua non. Syarat-syarat tersebut adalah se-
bagai berikut:
a. Mengetahui “ilmu alat”, dalam hal ini adalah bahasa Arab,
karena sumber pokok hukum syara’, yaitu Al-Qur’an dan
Sunah berbahasa Arab.
Pengetahuan akan bahasa Arab ini meliputi seluruh segin-
ya seperti ilmu nahwu, sharaf, bayan, ma‘ani, dan badi’.
Dengan kemampuan itu seorang mujahid dapat menggali
maksud dari kehendak Allah dalam Al-Qur’an secara tepat.
Dengan pengetahuan bahasa Arab membuat pandangan
seorang mujtahid terhadap dalil syara’ menjadi benar dan
cara menghasilkan hukum dari dalil pun dapat secara tepat
untuk mencapai kekuatan hukum.
Tentang kualitas kemampuan bahasa Arab yang dituntut
sebagai syarat berijtihad ini, ada beberapa pendapat yang
di antaranya adalah:
1) Menurut Ibnu Subki cukup pada tingkat pertengahan
saja.
2) Al-Ghazali menentukan batas kemampuan tertentu yang,
memungkinkan seorang mujtahid dapat membedakan
ucapan yang sharih, zhabir, mujmal, haqiqat, dan majaz:,
memisahkan antara yang ‘am dan khds, antara mubkam
dan mutasyabib, muthlaq dan muqayyad, antara nash,
fatwa dan mafhum. Tidak disyaratkan mencapai
peringkat seperti ahli bahasa yang bernama al-Khalil.
293USHUL FIQH JILID 2
294
3) Abu Ishaq al-Syathibi tidak menuntut batas tertentu,
namun menyatakan bahwa kualitas hasil ijtihad yang
dicapai seorang mujtahid sejalan dengan kemampuan
bahasanya. Bila dalam bahasa Arab ia baru dalam taraf
awal, maka ia pun dalam taraf awal dalam pemahaman
syari‘at. Bila pengetahuan bahasanya mencapai taraf
pertengahan, ia baru mencapai taraf pertengahan
dalam pemahaman syariat. Taraf pertengahan ini
belum mencapai peringkat akhir. Bila ia mencapai
derajat akhir dalam pemahaman bahasa, begitu pula
ia mencapai derajat akhir dalam pemahaman syariat.
Dengan pemahaman tingkat derajat akhir dalam syariat
akan mencapai kekuatan hujjah.
Pengetahuan tentang Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber asasi hukum syara’. Karena itu
seorang mujtahid harus mempunyai pengetahuan yang baik
tentang Al-Qur’an. Persyaratan ini disepakati oleh semua
ulama, karena tidak mungkin seseorang dapat memahami
syariah, apalagi menggali dan merumuskannya tanpa memi-
liki pengetahuan tentang Al-Qur’an.
Al-Qur’an mempunyai cakupan bahasan yang luas sekali.
Karena tidak mungkin seseorang mempunyai kedalaman
ilmu tentang Al-Qur’an secara menyeluruh, maka para
ulama membatasi kewajiban mengenai ilmu tersebut pada
ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an yang jumlahnya sekitar
500 ayat. Jumlah itu pun tidak perlu dihafal luar kepa-
la, tetapi cukup mengetahui tempatnya sehingga mudah
me-murajaah-nya sewaktu-waktu diperlukan. Dalam waktu
sekarang, murajaah ayat-ayat Al-Qur’an telah dipermudah
dengan adanya bermacam petunjuk seperti kitab dengan
nama “al-Mu’jam” dan program komputer.
Meskipun tidak ada kewajiban untuk menghafal Al-Qur’an,
namun peringkat tertinggi bagi orang yang mengetahui Al-
Qur'an ialah bila ia hafal Al-Qur’an secara sempurna dan
memahami artinya secara keseluruhan serta mengetahuiBab 3 Ce litihad dan Perkembangannya
pula kandungan hukum di dalamnya secara terperinci.
Seorang mujtahid harus mempunyai pemahaman yang baik
tentang bahasa Al-Qur’an, sehingga ia dapat mengetahui
dan memisahkan antara yang muhkamat dan mutasytabi-
bat; manthiig dan mafbtim; muthlag dan mugayyad; antara
haqiqat dan majaz; antara sharih dan kindyah; antara amar
wujub dan bukan wujitb, nahi tabrim dan bukan tabrim;
dan hal lain-lain yang berkenaan dengan bahasa Al-Qur’an.
Pengetahuan yang berkaitan dengan dan menunjang kepa-
da pengetahuan terhadap Al-Qur’an yang harus diketahui
oleh setiap mujtahid adalah ilmu asbab al-nuzul, yaitu
pengetahuan tentang sebab latar belakang turunnya sebuah
ayat hukum. Ayat-ayat hukum biasanya diturunkan Allah
sebagai jawaban atas suatu kasus yang terjadi, sehingga
pemahaman tentang asbabal-nuzul yang melatarbelakangi
turunnya suatu ayat hukum, akan menambah kedalaman
pengetahuan akan maksud ayat hukum tersebut.
Selanjutnya, pengetahuan akan qirdat (cara membaca) akan
menambah kedalaman untuk mengetahui arti dan maksud
suatu ayat Al-Qur’an karena dengan adanya perbedaan
(aliran) dalam girdat akan menimbulkan perbedaan arti ayat
Al-Qur’an dalam keadaan tertentu. Karena itu, pengetahuan
tentang qirdat itu akan menambah pemahaman tentang ayat
hukum.
Selain itu, seorang mujtahid harus mengetahui secara baik
tentang nasakh dan mansukh dalam Al-Qur’an, sehingga
ia dapat mengetahui tentang ayat hukum dalam Al-Qur’an
yang hukumnya telah di-nasakh, meskipun teksnya masih
terdapat dalam Al-Qur’an. Juga mengetahui tentang ayat
yang me-nasakh-nya. Persyaratan tambahan ini tentunya
dikhususkan bagi ulama yang meyakini bahwa di dalam
Al-Qur’an terdapat nasakb dan mansiikh. Ulama yang tidak
mengakui adanya nasakh dan mansukh dalam Al-Qur’an
tentunya tidak melihat relevansinya persyaratan ini.
Memahami Hadis Nabi
295USHULFIQH JILID 2
296
Seorang mujahid harus mempunyai pengetahuan tentang
hadis atau sunah Nabi sebagai sumber kedua hukum
Islam. Di antara fungsi hadis adalah sebagai penjelasan
terhadap Al-Qur’an. Pemahaman akan hadis tersebut me-
liputi keseluruhannya, baik yang gauliyah, fi’liyah maupun
taqririyah.
Seorang mujtahid harus mengetahui, mana hadis yang ber-
daya hukum (sunnah tasyr'iyab) dan yang tidak berdaya
hukum (sunnah ghairu tasyri’iyah). Dari sinilah dapat
diketahui kandungan hadis yang wajib diikuti dan mana
yang tidak wajib diikuti serta mengetahui hadis yang tidak
boleh diikuti karena merupakan hak khusus bagi Nabi.
Ruang lingkup hadis (sunah) Nabi itu luas sekali, meliputi
keseluruhan bidang kehidupan. Tidak mungkin ilmu seorang
mujahid menjangkau keseluruhannya. Karena itu para ahli
membatasi persyaratan pengetahuan mujtahid mengenai
hadis, diutamakan pada hadis yang berkenaan dengan
hukum-hukum taklifiyabh yang memungkinkannya untuk
menemukan hukum dalam hadis tersebut. Dalam hal ini pun,
tidak disyaratkan harus menghafal hadis tersebut di luar
kepala, tetapi cukup mengetahui tempatnya yang memung-
kinkan untuk merujuknya pada saat diperlukan. Dewasa ini
usaha untuk mencari Hadis Nabi telah dipermudah dengan
munculnya petunjuk mencari hadis yang disebut “mu’jam”,
juga yang disusun melalui program komputer.
Pengetahuan seorang mujahid tentang Hadis Nabi ini, juga
harus sampai memungkinkan untuk mengetahui dan me-
misahkan antara hadis yang mutawatir dengan yang abdd;
antara yang shahih, hasan, dan dha‘if. la juga dituntut
untuk dapat mengetahui antara hadis yang maqbul (dapat
diterima untuk dijadikan dalil hukum) dan yang mardid
(ditolak kebenarannya). Persoalan hadis tersebut dapat
diketahui melalui pengetahuannya tentang jarh dan ta’dil
(kritik hadis).
Selanjutnya ia harus mengetahui pula tentang bahasa ArabBab 3 Ca litihad dan Perkembangannya
yang terdapat dalam matan (teks) hadis dan dapat memisah-
kan antara yang haqiqat dan mafaz, antara kinayah dengan
shdrib, antara yang musytarak dan murédif, antara yang
‘am dan yang khas; antara yang mutlag dan mugayyad; dan
lain-lain yang berkenaan dengan bahasa hadis.
Seorang mujtahid juga harus mengetahui tentang asbab
al-wurdd (peristiwa latar belakang datangnya) hadis-hadis
hukum itu yang dapat menambah pengetahuannya tentang
hukum yang terkandung di dalam suatu hadis.
Karena pada Hadis Nabi juga oleh sebagian ulama diyakini
berlaku ndsikh dan mansikh, maka seorang mujahid pun
harus mengetahui hadis yang telah di-nasakh dan hadis atau
ayat Al-Qur’an yang me-nasakh-nya. Dengan demikian, ia
tidak akan berdalil dengan hadis yang jelas telah di-nasakh.
Pengetahuan tentang Ijmd’ Ulama
Setiap mujtahid harus mempunyai pengetahuan tentang
ijma’ ulama. Dengan demikian, ia akan mengetahui kasus
atau peristiwa hukum apa saja yang ketentuan hukumnya
telah di-ijma’-kan ulama, setidaknya dalam hal-hal yang
menyangkut pokok-pokok kewajiban agama dan hal yang
harus diketahui setiap muslim secara dhartiri, seperti wa-
jibnya shalat, zakat, puasa, dan haji serta kewajiban pokok
lainnya. Begitu pula mengenai hal yang secara jelas telah
dilarang Allah seperti haramnya zina, makan daging babi,
dan lain-lain sebagainya yang merupakan larangan pokok
dalam agama yang harus diketahui setiap muslim. Meskipun
larangan mengenai hal itu ketentuan hukumnya telah jelas
dalam bentuk nash yang ditetapkan Allah, namun formu-
lasinya dalam bentuk hukum secara terinci adalah hasil
karya ijtihad yang dikukuhkan dengan ijmd’ ulama. Ijma’
ini mempunyai kekuatan yang mengikat dan tidak dapat
diingkari.
Dalam hampir semua literatur yang membicarakan tentang
syarat-syarat mujahid, selalu menyatakan pengetahuan
tentang ijmd’ ini sebagai syarat. Di antara alasannya adalah
297USHUL FIQH JILID 2
298
supaya seorang mujahid tidak menetapkan hukum yang
menyalahi apa yang telah ditetapkan ijmd’. Hal ini me-
ngandung arti bahwa sesuatu hukum yang telah ditetapkan
berdasarkan ijmd’ tidak boleh dibatalkan. Hal ini sesuai
dengan pandangan umum dari jumhur ulama yang me-
nyatakan bahwa nasikh dan mansikh tidak berlaku dalam
ijma’. Memang pernah dinukilkan pendapat beberapa orang
ulama termasuk Fakhrul Islam (al-Razi) yang membolehkan
berlakunya nasakh pada ima’. Tentunya maksud ijmd’ yang
dapat di-nasakb di sini adalah ijma’ yang tidak mempunyai
landasan yang kuat dan tidak termasuk yang menyangkut
persoalan pokok agama seperti disebutkan di atas.
Keharusan seorang mujahid mengetahui ijmd’ di sini
menurut pendapat ulama yang tidak membolehkan ber-
lakunya nasakh dalam ijmd’, tujuannya adalah supaya
hasil ijtihadnya tidak menyalahi apa yang telah diputuskan
hukumnya secara ijma’, Bagi ulama yang membolehkan
berlakunya nasakh dalam ijmd’, tujuannya adalah supaya
seorang mujahid dapat mengetahui alasan hukum para
ulama di saat mereka melahirkan ketentuan hukum dengan
ijma’ tersebut, sehingga kalau dalam perkembangan waktu
dan kondisi tertentu alasan hukum tersebut tidak ditemu-
kan lagi, tentu tidak salahnya ulama mujahid yang datang
kemudian menetapkan hukum yang tidak sama dengan apa
yang sebelumnya telah ditetapkan oleh ijma’.
Pengetahuan seorang mujtahid tentang ijma’ juga harus
sampai memungkinkan untuk mengetahui hukum-hukum
yang mengandung perbedaan pendapat terutama di kalang-
an ulama sahabat dan tabi‘in serta dalil-dalil yang me-
reka gunakan. Sehubungan dengan persyaratan ini Salam
Madzkur menukilkan beberapa pendapat ulama terdahulu.
Umpamanya Qatadah mengatakan bahwa orang yang tidak
mengetahui perbedaan pendapat ulama berarti ia belum
mencium bau fiqh. Hisyam al-Razi mengatakan bahwa
orang yang tidak mengetahui perbedaan pendapat ulama
ia belum bernama faqih.Bab3 Ce Iitihad dan Perkembangannya
Lebih lanjut seseorang mujahid harus mengetahui metode
istinbath yang digunakan oleh ulama sebelumnya sehingga
ia mampu membedakan antara metode ijtihad yang paling
tepat dan yang lebih dekat kepada nash. Menurut Imam
al-Syafi‘i bahwa seseorang jangan menghindarkan diri dari
mendengar dan memerhatikan pendapat ulama terdahulu
yang mungkin berbeda dengannya, karena dengan cara itu
ia akan mendapat tambahan pengetahuan.
Pengetahuan tentang giyds
Qiyas disepakati oleh ulama jumhur sebagai salah satu
cara untuk menemukan hukum Allah, Oleh karena itu,
setiap yang akan menggali dan menemukan hukum Allah
(berijtihad) harus mempunyai pengetahuan tentang qiyds.
Ja harus mengetahui metode qiyds serta mengetahui pokok-
pokok istinbath yang memungkinkannya membedakan dan
memilih hukum yang paling dekat kepada tujuan syara’.
Pengetahuan tentang qiyés menyangkut beberapa bidang:
1) Mengetahui hukum-hukum ashal yang ditetapkan
nash sehingga dapat menghubungkan suatu kasus
baru kepada hukum ashal itu. Juga mengetahui ‘illat
dan alasan hukum dan hukum yang ditetapkan nash
supaya dapat menetapkan hukum suatu kasus baru
yang mengandung ‘illat dan alasan hukum yang sama
dengan yang ditetapkan nash.
2) Mengetahui secara baik kaidah-kaidah giyds dan
persyaratan penggunaannya, sehingga ia tidak akan
menggunakan qiyds dalam ijtihadnya untuk kasus
yang tidak mungkin ditetapkan hukumnya berdasarkan
qiyas.
3) Mengetahui metode yang digunakan oleh mujahid
sahabat dalam menemukan ‘illat hukum dan sifat-sifat
yang mereka pandang sebagai asas dalam menetapkan
hukum.
f. Pengetahuan tentang maksud Syéri’ dalam menetapkan
hukum.
299USHUL FIQH JILID 2
300
Tiadalah Syéri’ (Pembuat Hukum, yaitu Allah) menet
apkan hukum tanpa maksud tertentu. Artinya setiap
hukum yang ditemukan dalam Al-Qur’an pasti ada
tujuannya, meskipun dalam beberapa tempat kita tidak
dapat mengetahuinya. Setiap mujtahid harus dapat
mengetahui maksud Syéri’ dalam menetapkan suatu
hukum, sehingga dengan demikian saat mencari dan
menggali hukum melalui ijihad, ia dapat berpedoman
kepada tujuan Syari’ tersebut.
Secara umum tujuan Sy4ri’ dalam menetapkan hukum
adalah untuk kemaslahatan umat, baik dalam bentuk
mewujudkan suatu manfaat untuk manusia, maupun
dalam bentuk menghindarkan madarat dari manusia.
Bila seorang mujahid dalam ijtihadnya tidak menemu-
kan petunjuk dalam bentuk nash, maka ia akan
menggali untuk menemukan (menetapkan) hukum yang
tidak bertentangan dengan maksud umum dari tujuan
Sydri’ tersebut.
Di samping itu, ia juga harus mengetahui tujuan hukum
dari suatu kasus yang sudah ditetapkan dalam nash,
schingga ia dapat merentangkan hukum dalam nash itu
kepada kasus lain yang mengandung tujuan dan ‘illat
hukum yang sama dengan yang terdapat dalam nash.
Seorang mujahid juga harus mengetahui kepentingan
umat dan kemaslahatan insani yang dianggap oleh
Sydri’ sebagai maslahat, karena pengetahuan tentang
maslahat insani itu merupakan prinsip pokok dari
prinsip pokok lainnya, supaya ia dapat memisahkan
antara kemaslahatan yang hakiki dari kemaslahatan
hanya semata bersifat dugaan. Seorang mujahid harus
mengetahui perbuatan yang mendatangkan maslahat
dan yang mendatangkan mudarat. Ia dapat menimbang
di antara keduanya dan mendahulukan menolak kemu-
daratan ketimbang menarik kemaslahatan.
Pengetahuan tentang Ushul FiqhBab3 Cb Ijtihad dan Perkembangannya
Seorang mujahid harus mempunyai pengetahuan yang
cukup tentang ushul figh, karena ilmu ini mempelajari
apa-apa yang diperlukan untuk berijtihad. Dengan
ilmu ini ia akan mampu mengembalikan furu’ kepada
ashal dengan cara yang mudah. Sebaliknya, bila ia
kurang menguasai ilmu ushul figh, maka akan menemui
kesulitan untuk mengembalikan masalah tersebut dan
mungkin keliru.
Dalam ilmu ushul figh terdapat petunjuk melakukan
ijtihad. Al-Ghazali menyatakan bahwa ilmu ushul figh
merupakan satu di antara tiga ilmu yang harus dikuasai
setiap mujahid; dua lainnya adalah hadis dan bahasa
Arab, Salam Madzkur menukil pendapat al-Razi yang
mengatakan bahwa ilmu ushul figh adalah ilmu yang
paling penting dimiliki setiap mujahid.
Demikianlah syarat-syarat penting yang harus dimiliki se-
tiap mujahid yang dapat ditemukan dalam hampir semua
literatur yang membicarakan syarat berijtihad. Tidak sep-
erti yang dapat ditemukan dalam sebagian literatur ushul
figh, dalam buku ini, syarat pengetahuan tentang nasakh
dan mansukh tidak dibahas secara terpisah sebagai satu
persyaratan tersendiri, tetapi dimasukkan dalam syarat
pengetahuan tentang Al-Qur’an dan hadis.
Beberapa syarat bagi mujahid yang diperselisihkan ulama, ti-
dak disebutkan sebagai syarat dalam buku ini. Di antaranya seperti
syarat tentang:
a.
Pengetahuan tentang ilmu furw’ atau fiqh. Al-Ghazali mencan-
tumkan syarat ini untuk orang yang akan berijtihad di masa
kini, meskipun tidak diperlukan pada masa sahabat. Menurut
Salam Madzkur, di antara ulama yang tidak mempersyaratkan
penguasaan ilmu fiqh adalah Abu Ishak al-Asfarini dan Abu
Manshur. Pendapat ini memang masuk akal karena ilmu figh
merupakan hasil karya ijtihad.
Pengetahuan tentang ilmu manthiq, untuk dapat menghasil-
kan kesahihan pemahaman dan kebaikan perhitungan. Namun
301USHULFIQH JILID 2
sebagian ulama tidak mensyaratkannya dengan alasan bahwa
kalangan sahabat, tabi’in dan imam-imam mujahid dapat me-
lakukan jjtihad padahal pada waktu itu ilmu manthiq itu be-
lum populer.
Pengetahuan tentang ilmu Ushul al-Din juga ada yang meng-
anggapnya sebagai salah satu syarat dalam ijtihad. Ulama
Mu’tazilah cenderung kepada pendapat ini. Namun ulama
jumhur tidak mensyaratkannya. Al-Amidi dalam hal ini menga-
takan bahwa disyaratkannya ilmu ushul al-din adalah untuk
yang bersifat dharuriyat seperti tentang adanya Allah dengan
segala sifat-Nya, tetapi tidak diperlukan pengetahuan yang
mendalam tentang ilmu tersebut.
Pembagian dan Jenis Ijtihad
Bila kita telusuri literatur ushul figh, maka pembahasan tentang,
pembagian dan macam-macam ijtihad, terdapat bentuk pembahasan
yang berbeda. Ada yang tidak memisahkan antara keduanya. Namun
ada
yang membahas kedua masalah itu secara terpisah, masing-ma-
sing dibahas tersendiri secara luas dan mendalam. Karena kedua
masalah tersebut berkaitan erat, maka dalam buku ini keduanya
dibahas dalam satu bahasan.
a
Pembagian Ijtibad
Ada beberapa pendapat ahli ushul mengenai pembagian ijtihad,
di antaranya:
a
302
Mahdi Fadhl Allah membagi ijtihad menjadi dua bagian:
a. Ijtibad muthlaq (SMaa2\ 21), yaitu ijtihad yang melingkupi
semua masalah hukum, tidak memilah-milahnya dalam
bentuk bagian-bagian masalah hukum tertentu. Atau bisa
disebut dengan ijtihad paripurna. Ulama yang mempunyai
kemampuan dalam ijtihad muthlaq ini disebut mujtahid
muthlaq (gas), yaitu seorang faqih yang mempunyai
kemampuan meng-istinbath-kan seluruh bidang hukum
dari dalil-dalilnya; atau mempunyai kemampuan meng-is-
tinbath-kan hukum dari sumber-sumber hukum yang diakui
secara syar‘ dan ‘aqli.Bab3 Ces [itihad dan Perkembangannya
b. Ijtibad juz-i (9742!) atau ijtibad parsial. Karya ijtihad
seperti ini adalah kajian mendalam tentang bagian tertentu
dari hukum dan tidak mendalami bagian yang lain. Pelaku
(mujahid)-nya disebut mujabid juz-i (5% +) atau muj-
tabid spesialis, yaitu faqih yang mempunyai kemampuan
mengistinbathkan sebagian tertentu dari hukum syara’ dari
sumbernya yang muktabar tanpa kemampuan meng-istin-
bath-kan semua hukum.
Imam mujtahid yang empat (Maliki, Syafi‘i, Hanbali dan
Ahmad) termasuk kepada bagian pertama (mujahid muth-
Jaq) dan kebanyakan myjahid lainnya termasuk bagian yang
kedua (mujabid juz-i).
2. Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya, Ushul Fiqh, memba-
gi ijtihad dari segi bentuk karya ijtihadnya, kepada dua bagian:
a. Ijtibad istinbathi (bL"S\), yaitu kegiatan ijtihad yang
berusaha menggali dan menemukan hukum dari dalil-dalil
yang telah ditentukan. Ini disebut juga ijtihad yang pari-
purna dan secara khusus berlaku di kalangan sekelompok
ulama yang berfungsi mencari hukum furu’ yang amaliah
dari dalilnya yang terinci. Imam mujahid yang populer itu
termasuk dalam kelompok ini.
Ijtibad al-istinbathiy ini adalah bentuk asli dari ijtihad itu
sedang yang melaksanakannya adalah mujtahid muthlaq
atau mujtahid dalam arti sebenarnya. Contoh dalam hal
ini umpamanya ijtihad yang dilakukan oleh imam mazhab
yang empat yang menghasilkan mazhab empat yang populer.
b. Ijtibad tathbiqi (see), yaitu kegiatan ijtihad yang bu-
kan untuk menemukan dan menghasilkan hukum, tetapi
menerapkan hukum hasil temuan imam mujahid terdahulu
kepada kejadian yang muncul kemudian. Masalah hukum
dalam kejadian yang muncul kemudian tersebut ditetapkan
hukumnya dengan menghubungkannya kepada hukum yang
telah ditetapkan imam terdahulu. Dalam hal ini memang
tampak ada upaya pengerahan daya ijtihad, namun tidak
ag 303USHULFIQH JILID 2
3.
304
| menghasilkan hukum yang baru atau orisinal serta tidak
menggunakan dalil syara’ yang muktabar sebagai bahan
rujukan, tetapi hanya merujuk kepada hukum-hukum yang
telah ditemukan mujahid terdahulu.
Bila pada jjtihad istinbathi disebut ijtihad dalam arti se-
benarnya, dilakukan oleh mujtahid muthlaq dengan cara
langsung merujuk kepada Al-Qur’an dan hadis dan menng-
hasilkan mazhab tersendiri, maka ijtihad tathbigi bukan
langsung merujuk kepada nash Al-Qur’an dan sunnah,
tetapi kepada pendapat yang sudah dirintis imam mazhab
sebelumnya dan dilakukan oleh mujtahid yang selalu
mengaitkan dirinya kepada imam mazhab tertentu yang
disebut mujtabid fi al-mazhab seperti yang dihasilkan oleh
Abu Yusuf dalam mazhab Hanafi, al-Muzani dalam mazhab
Syafii, dan Sahnun dalam mazhab Maliki.
Menurut Ibn Subki, kegiatan ijtibad tathbiqi (yang menerapkan
hasil ijtihad mujahid terdahulu) di atas, terbagi kepada dua:
a. Takhrij al-abkam (g&3Shés_3é)yaitu menetapkan hukum
terhadap suatu kejadian yang baru dengan cara meng-
hubungkannya kepada hukum yang pernah ditetapkan oleh
imam mujahid terdahulu. Dalam kejadian yang baru tersebut
ada kesebandingan dengan kejadian yang hukumnya telah
ditetapkan oleh imam mujtahid terdahulu. Dalam hal ini
pendapat imam mujahid terdahulu direntangkan kepada
kejadian yang baru, seolah-olah apa yang baru ditetapkan
melalui takhrij al-abkdm tersebut adalah juga pendapat
(qaul) imam mujtahid terdahulu, Pendapat hasil perentang-
an ini disebut gaulun mukbarrajiin (99), Sedangkan
pendapat imam mujtahid (penemunya), disebut qaulun
manshushun (\2 92> 3 38).
Ijtihad takbriji ini berada dalam lingkup ijtihad mazhab
bukan jjtibal muthlaq. Contoh dalam bentuk ini dalam
fatwa kontemporer umpamanya apa yang dihasilkan oleh
Wahbah al-Zuhaili tentang masalah “siapa yang bertangung
jawab membayar ganti rugi atas kendaraan umum yangBab 3 > ljtihad dan Perkembangannya
mengalami kecelakaan yang menyebabkan meninggalnya
penumpang kendaraan umum itu. Zuhaili mencari hubun-
gannya kepada pendapat mazhab terdahulu yaitu mazhab
Hanafi dalam kasus pengembala ternak yang beriringan
yang merusak tanaman orang yang memerlukan ganti rugi.
Tidak mungkin ganti rugi itu diberatkan kepada pengemudi
sendiri, tapi juga kepada pemilik perusahaan atau kepada
pemerintah dalam bentuk asuransi.
Dalam hal ini, diperlukan upaya untuk membedakan an-
tara ketentuan hukum yang ditemukan sendiri oleh imam
mujahid dengan ketentuan hukum hasil perentangan dari
pendapat (gaul)-nya itu.
Dengan adanya usaha takbrij, maka hukum hasil temuan
seorang imam mujahid menjadi berkembang di tangan para
pengikutnya yang juga melakukan ijtihad. Generasi berikut-
nya yang menemukan hukum dalam satu masalah, maka
menjadi bervariasi, sehingga kadang-kadang menimbulkan
keraguan di kalangan pengikutnya mengenai pendapat mana
yang secara praktis patut diikuti. Untuk menghadapi ma-
salah inilah, maka diperlukan tarjih sebagai upaya mencari
pendapat yang terkuat.
b. Tarjih c*' yaitu usaha untuk menemukan kejelasan
sebagai pegangan di kemudian hari’ bagi para pengikut
seorang imam mujahid dengan memilih dan memilah mana
yang terkuat di antara pendapat yang berkembang di an-
tara berbagai pendapat ulama mujtahid untuk diikuti dan
dijalankan.
b. Macam-macam Ijtibad
Dalam menetapkan macam-macam ijtihad para ahli membagi
ijtihad dengan melihat kepada beberapa titik pandang yang berbeda:
1. Katya ijtihad dilihat dari segi dalil yang dijadikan pedoman,
ada tiga macam:
a. _Ijtihad baydni (Seal YW), yaitu ijtihad untuk menemukan
hukum yang terkadung dalam vash, namun sifatnya zhanni,
baik dari segi ketetapannya maupun dari segi penunjuk-
a 305USHUL FIQH JILID 2
306
annya. Lapangan jjtibad bayani ini hanya dalam batas
pemahaman terhadap nash dan menguatkan salah satu di
antara beberapa pemahaman yang berbeda. Dalam hal ini,
hukumnya tersurat dalam nash, namun tidak memberikan
penjelasan yang pasti. Ijtihad di sini hanya memberikan
penjelasan hukum yang pasti dari dalil zash itu. Umpamanya
menetapkan keharusan ber’iddah tiga kali suci terhadap
istri yang dicerai dalam keadaan tidak hamil dan pernah
dicampuri, berdasarkan firman Allah dalam Al-Qur’an surat
al-Bagarah (2): 228:
Berg ice 4 et ae
(YA 33 il), SSE gL Gai Stabe 5
Istri-istri yang tertalak hendaknya ber‘iddab tiga kali quru’.
Dalam ayat itu memang disebutkan batas waktu ‘iddah
yaitu tiga kali guru’, namun /afaz quru’ itu memiliki dua
pengertian yang berbeda: bisa berarti suci, bisa juga berarti
haid. Ijtihad untuk menetapkan pengertian quru’ dengan
memahami beberapa petunjuk (qarinah) yang ada disebut
ijtibad bayani.
Tjtihad qiyasi (g-\@\ale~%), yaitu ijtihad untuk menggali
dan menetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang tidak
ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash—baik secara
gath‘i maupun secara zhanni,—juga tidak ada ijma’ yang
telah menetapkan hukumnya. Jjtihad dalam hal ini untuk
menetapkan hukum suatu kejadian (peristiwa) dengan meru-
juk pada kejadian yang telah ada hukumnya, karena antara
dua peristiwa itu ada kesamaan dalam’illat hukumnya.
Dalam hal ini, mujahid menetapkan hukum suatu kejadian
berdasarkan pada kejadian yang telah ada nash-nya. Ijtihad
seperti ini adalah melalui metode qiyds dan istibsan.
Dalam ijtihad bentuk pertama (bayéni), hukumnya “tersu-
rat” dalam nash tetapi ada ketidakpastian maksudnya, dan
ijtihad digunakan untuk mencari kepastian hukumnya itu.
Dalam ijtihad bentuk kedua ini (qiydsi), hukumnya memang
tidak “tersurat”, tetapi “tersirat” dalam dalil yang ada.
Untuk mencari hukum di balik yang “tersirat” diperlukan