Anda di halaman 1dari 91
BAB II ITIHAD DAN PERKEMBANGANNYA A. Pendahuluan Bagi setiap muslim, segala apa yang dilakukan dalam kehi- dupannya harus sesuai dengan kehendak Allah, sebagai realisasi dari keimanan kepada-Nya. Kehendak. Allah tersebut dapat ditemukan dalam kumpulan wahyu yang disampaikan melalui Nabi-Nya (Al- Qur’an) dan penjelasan yang diberikan oleh Nabi mengenai wahyu Allah tersebut (sunah). Kehendak atau titah Allah yang berhubungan dengan perbuatan manusia, di kalangan ahli ushul disebut “hukum syara”, sedangkan bagi kalangan ahli fiqh, “hukum syara” “adalah pengaruh titah Allah terhadap perbuatan manusia tersebut. Seluruh kehendak Allah tentang perbuatan manusia itu pada dasarnya terdapat dalam Al-Qur’an dan penjelasannya dalam Sunah Nabi. Tidak ada yang luput satu pun dari Al-Qur’an. Namun Al-Qur’an itu bukanlah kitab hukum dalam pengertian ahli figh karena di dalamnya hanya terkandung titah dalam bentuk suruhan dan larangan atau ungkapan lain yang bersamaan dengan itu; de- ngan istilah lain, Al-Qur’an itu mengandung norma hukum. Untuk memformulasikan titah Allah itu ke dalam bentuk hukum syara’ (menurut istilah ahli fiqh) diperlukan suatu usaha pemahaman dan penelusuran. Secara garis besar, ada dua bentuk karakteristik hukum syara’ dilihat dari penunjukannya terhadap hukum, yaitu: 1. Diantara hukum syara’ ada yang dapat dipahami dengan mu- dah karena titah Allah itu cukup jelas artinya dan pasti tujuan- nya, umpamanya: USHULFIQH JILID 2 254 a, Larangan berkata kasar kepada orang tuanya dapat dengan mudah dipahami dari firman Allah dalam surat al-Israa’ (17): 23 Ay eae (OF 1g SY 5 SILL S596 Janganlah kamu ucapkan kepada keduanya kata ‘ah’ dan jangan kamu hardik keduanya ... b. Wudhu merupakan prasyarat yang harus dilakukan sebe- lum melakukan shalat, dengan mudah dapat dipahami dari firman Allah dalam surat al-Maaidab (5): 6: eb 5 pL 2 Sa Sy As 1 al gat 1 (+ saolall) .... gia} Hai orang-orang yang beriman bila kamu hendak mendirikan shalat, cucilah mukamu dan kedua tanganmu sampai siku.... c. Yang melakukan perbuatan zina dikenai sanksi dera seratus kali, dengan mudah dapat dipahaimi dari firman Allah dalam surat an-Nuur (24): 2: 6 BULL 2 ey AL ele pan ches CF ola SLL Lege 5S USB SIF sal 5 Pezina perempuan dan pezina laki-laki deralah masing- masingnya seratus kali dera ... Dalam beberapa contoh di atas, tampak bahwa hukum itu dapat dipahami dengan mudah dari firman Allah, karena me- mang penunjukannya terhadap hukum cukup jelas. Kadang kala hukum tidak dapat ditemukan dari apa yang ter- surat dalam firman Allah secara jelas; namun dapat dipahami melalui pemahaman akan maksud sebuah Jafaz, oleh karena hukum itu “tersirat” di balik /afaz tersebut. Umpamanya: a. Hukum memukul orang tua tidak terdapat dalam Al-Qur’an, namun dapat dipahami melalui pemahaman akan larangan berkata kasar kepada orang tua sebagaimana tersebut dalam ayat di atas. Alasannya, bahwa berkata kasar saja sudah dilarang, apalagi memukul. Bab 3 (a> |jtihad dan Perkembangannya b. Hukum meminum minuman beralkohol tidak tersebut dalam Al-Qur’an, namun dapat diketahui melalui pemahaman kita akan haramnya minum khamar yang tersebut secara jelas dalam Al-Qur’an surat al-Maaidab (5): 90: ASM class 4 ally 4 IH gaT gl (Fe sgaslallys Hess Golhe SN cei $F, Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamar dan judi, berhala dan bertenung itu adalah perbuatan keji dari perbuatan setan; oleh karenanya jaubilab ... Kita dapat memahami hukum haramnya meminum mi- numan beralkohol karena minuman beralkohol itu sama dengan khamar dalam sifat memabukkannya. Memahami hukum dalam dua contoh tersebut tidaklah semudah memahami hukum dalam tiga contoh sebelumnya, karena dalam hal ini dibutuhkan daya nalar, dan tidak semua orang dapat mema- haminya dengan baik. Contoh lainnya adalah mengenai hubungan nasab seseorang kepada leluhurnya: apakah kepada ayahnya atau kepada ibunya? Hal ini tidak ditemukan ketentuan hukumnya secara jelas dalam Al-Qur’an. Dan tidak dapat dicari jawabannya dari yang tersirat di balik lafaz Al-Qur’an. Juga tidak ditemukan titik kesamaan dengan apa yang terdapat dalam Al-Qur’an untuk disamakan hukumnya. Meskipun demikian kita harus yakin bahwa jawabannya pasti ada dalam kandungan Al-Qur’an, Untuk mendapatkannya diperlukan pengerahan daya nalar secara maksimal. Untuk mencari ketentuan hukum mengenai hubungan nasab itu, kita temukan firman Allah dalam surat al-Bagarah (2): 233: (XVY 8 Ball) os 922 E 5285 G5 Mo dgal jes Kewajiban si ayah memberi nafkah dan pakaian kepada mereka secara patut. Ayat ini memang secara langsung tidak menunjukkan hukum hubungan nasab, juga tidak mengisyaratkan adanya hubungan nasab. Gi 255 USHUL FIQH JILID 2 Namun digunakannya ungkapan 4 $13) dengan arti kesungguhan atau sepenuh hati atau serius. Contohnya dapat kita temukan dalam surat al-An‘aam (6): 109: ieee by oA He Ora pls Yl) ocleslags aaly| gacals Mereka bersumpah dengan Allah sesungguh-sunggub sumpah. b. Jubdun (A¢) dengan arti kesanggupan atau kemampuan yang di dalamya terkandung arti sulit, berat, dan susah. Contohnya, firman Allah dalam surat at-Taubah (9): 79: . 292 oat oh kne ot Kio oe (v4 why gall) End SFB OME WS Se S TEINS Dan orang-orang yang tidak memperoleh selain sekadar kesang- gupannya, maka orang munafik itu menghina mereka. Pengubahan kata dari ja ha da (44%) atau ja hi da (442) men- jadi ij ta ha da (Ag!) dengan cara menambahkan dua huruf, yaitu “alif” di awalnya dan “ta” antara huruf jim” dan “ha”, mengandung enam maksud, satu di antara maksudnya yang tepat adalah untuk “mubalaghah” (asa), yaitu dalam pengertian “sangat”. Bila kata ja ha da dihubungkan dengan dua bentuk mashdar-nya tersebut, pengertiannya berarti “kesanggupan yang sangat “ atau “kesungguhan yang sangat.” G 257 USHULFIQH JILID 2 Bila arti kata (etimologis) ini dihubungkan dengan arti istilah (definitif) tentang ijtihad, akan terlihat keserasian artinya karena pada kata ijtihad itu memang terkandung arti kesanggupan dan ke- mampuan yang maksimal dan harus dilakukan dengan kesungguhan serta sepenuh hati. 2. Ijtihad Menurut Istilah Teknis Hukum (Definisi) Banyak rumusan yang diberikan mengenai definisi “ijtihad”, tetapi satu sama lainnya tidak mengandung perbedaan yang prin- sip, bahkan kelihatan saling menguatkan dan menyempurnakan. Di antara definisi tersebut adalah: A yaukani dalam kitabnya Irsyad al-Fubuli memberi- Mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syar‘i yang bersifat amali melalui cara istinbath. Dalam definisi ini digunakan kata bazlu al-was‘i untuk men- jelaskan bahwa ijtihad itu adalah usaha besar yang memerlukan pengerahan kemampuan. Hal ini berarti bila usaha itu ditem- puh dengan tidak sepenuh hati dan tidak bersungguh-sungguh, maka tidak dinamakan ijtihad. Penggunaan kata syar‘i mengandung arti bahwa yang dihasil- kan dalam usaha ijtihad adalah hukum syar‘i atau ketentuan yang menyangkut tingkah laku manusia, Sebagai fasal (kata pemisah) dalam definisi itu, kata syar‘i ini mengeluarkan dari pengertian ijtihad bentuk usaha menemukan sesuatu yang ber- sifat aqli, lughawi, dan hissi. Pengerahan kemampuan untuk menemukan yang demikian tidak disebut ijtihad. Selanjutnya dalam definisi itu juga disebutkan mengenai cara menemukan hukum syar‘i, yaitu melalui istinbath (bLsxl) yang pengertiannya memungut atau mengeluarkan sesuatu dari dalam kandungan Jafaz. Hal ini berarti bahwa ijtihad itu ada- lah usaha memahami Jafaz dan mengeluarkan hukum dari lafaz tersebut. Sebagai fasal (kata pemisah) dalam definisi, kata ini 258 @ Bab3 (eb ljtihad dan Perkembangannya mengeluarkan dari pengertian ijtihad bentuk usaha mengeluar- kan hukum dari nash yang memang secara jelas telah menun- juk kepada hukum tersebut. Ibnu Subki memberikan definisi sebagai berikut: oth Ent oe & le shee aN aeailt eke Pengerahan kemampuan seorang faqih untuk menghasilkan dugaan kuat tentang hukum syar‘i. Dibandingkan dengan definisi al-Syaukani, Ibnu Subki menam- bahkan lafaz al-faqib sesudah kata bazlu dan kata zhan sebe- lum kata hukum syar‘i. Dengan penambahan kata fagib, mengandung arti bahwa yang mengerahkan kemampuan dalam ijtihad itu bukanlah semba- rang orang, tetapi orang yang telah mencapai derajat tertentu yang disebut fagih, karena hanya orang fagih-lah yang dapat berbuat demikian. Usaha yang dilakukan orang awam yang ti- dak mempunyai pengetahuan tentang figh bukan ijtihad. Kata zhan yang ditambahkan Ibnu Subki mengandung arti bahwa yang dicari dan dicapai dengan usaha ijtihad itu hanya- lah dugaan kuat tentang hukum Allah, bukan hukum Allah itu sendiri, karena hanya Allah yang Maha Mengetahui maksud- nya secara pasti, sedangkan Allah sendiri tidak mengungkap- kan ketentuan hukum-Nya secara pasti. Kalau sudah ada fir- man Allah yang pasti dan jelas tentang hukum, maka tidak perlu ada ijtihad lagi, sebagaimana disinggung di atas. Saifuddin al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam, menyempurna- kan dua definisi sebelumnya dengan penambahan kata: SBM ye Sal Nips nts dsty dalam bentuk yang dirinya merasa tidak mampu berbuat lebih daripada itu. Definisi al-Amidi itu selengkapnya adalah: bsdy pie Legs cial ha eotiit kes) 259 USHUL FIQH JILID 2 Pengerahan kemampuan dalam memperoleh dugaan kuat ten- tang sesuatu dari hukum syara’ dalam bentuk yang dirinya me- rasa tidak mampu berbuat lebih dari itu. Penambahan fasal dalam definisi al-Amidi tersebut mengandung arti bahwa pengerahan kemampuan tersebut dilakukan secara mak- simal. Dengan demikian, pengerahan kemampuan secara sembrono, asal-asalan atau sekadarnya saja, tidak dinamakan ijtihad. Dari menganalisis ketiga definisi di atas dan membandingkannya dapat diambil hakikat dari ijtihad itu sebagai berikut: a. Ijtihad adalah pengerahan daya nalar secara maksimal; b. Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah mencapai dera- jat tertentu di bidang keilmuan yang disebut fagih; c. Produk atau yang diperoleh dari usaha ijtihad itu adalah du- gaan yang kuat tentang hukum syara’ yang bersifat amaliah; d. Usaha ijtihad ditempuh melalui cara-cara istinbath. C. Hukum Berijtihad Yang dimaksud dengan hukum berijtihad di sini ialah hukum dari orang yang melakukan jjtihad, baik dari tujuan hukum taklifi, maupun hukum wadh‘. Karena yang berwenang melakukan ijtihad itu adalah orang yang telah mencapai tingkat faqih (sebagaimana disebutkan dalam definisi di atas), maka mabkum ‘alaib-nya (subjek atau orang yang dikenai oleh hukum) di sini adalah orang yang faqih. Membicarakan hukum berijtihad seorang fagih dapat dilihat dari dua segi. Pertama dari segi hasil ijtihadnya itu adalah untuk kepentingan yang diamalkannya sendiri; seperti menentukan arah kiblat pada waktu akan melakukan shalat. Kedua dari segi bahwa mujtahid itu adalah seorang mufti yang fatwanya akan diamalkan oleh umat atau pengikutnya. Selanjutnya hukum berijtihad seorang fagih dapat dilihat dari segi prinsip umum dalam menetapkan hukum, tanpa memandang kepada keadaan dan kondisi apa pun, atau dengan melihat kepada 260 | Bab 3 Ca ljtihad dan Perkembangannya keadaan dan kondisi tertentu. Secara umum, hukum ijtihad itu adalah wajib. Artinya, seorang myjtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara’ dalam hal-hal yang syara’ sendiri tidak menetapkan- nya secara jelas dan pasti. Adapun dalil tentang kewajiban untuk berijtihad itu dapat dipahami dari firman Allah dalam Al-Qur’an: 1. Surat al-Hasyr (59): 2: (Fs deal) shag y sity 3ic2t6 Maka ambil iktibarlah hai orang-orang yang punya pandangan. Dalam ayat ini Allah menyuruh orang-orang yang mempunyai pandangan (faqib) untuk mengambil iktibar atau pertimbang- an dalam berpikir. Perintah untuk mengambil iktibar ini se- sudah Allah menjelaskan malapetaka yang menimpa Ahli Ki- tab (Yahudi) disebabkan oleh tingkah mereka yang tidak baik. Seorang fagih akan dapat mengambil kesimpulan dari ibarat Allah tersebut bahwa kaum mana pun akan mengalami aki- bat yang sama bila mereka berlaku seperti kaum Yahudi yang dijelaskan dalam ayat ini, Cara mengambil iktibar ini merupa- kan salah satu bentuk dari ijtihad. Karena dalam ayat ini Al- lah menyuruh mengambil iktibar berarti Allah juga menyuruh berijtihad, sedangkan suruhan itu pada dasarnya adalah untuk wajib. 2. Surat an-Nisaa’ (4): 59: (04 celadll) ong GANGA SIS Se SAE ISAS Maka jika kamu berselisih pabam tentang sesuatu kembalikanlah kepada Allah dan Rasul ... Allah menyuruh mengembalikan sesuatu yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul. Yang diperselisihkan itu biasanya se- suatu yang tidak ditetapkan Allah secara jelas dan tegas dalam firman-Nya. Sedangkan perintah mengembalikannya kepada Allah dan Rasul berarti menghubungkan hukumnya kepada apa yang pernah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an atau a 261 USHUL FIQH JILID 2 yang ditetapkan Rasul dalam Sunah. Cara seperti ini disebut qi- yas (Lill). Sedangkan giyas itu merupakan salah satu bentuk ijtihad. Karena itu, suruhan (perintah) Allah untuk mengemba- likan sesuatu kepada Allah dan Rasul ini berarti suruhan untuk berijtihad dan setiap suruhan itu pada dasarnya adalah untuk wajib. Seorang mujtahid dalam kehidupan sehari-harinya pada waktu mengamalkan ajaran agama sering menemukan hal-hal yang perlu diselesaikan dengan ijtihad. Bertaklid kepada orang lain tidak di- perbolehkan bagi seseorang yang memiliki kualifikasi sebagai mujta- hid. Kalau tidak diperbolehkan bertaklid, berarti ia harus berijtihad. Kalau tidak berijtihad, maka ia tidak akan dapat beramal, karena tidak memperoleh petunjuk dari dalil yang kuat. Dalam kedudukannya sebagai fagih yang pendapatnya akan diikuti dan diamalkan oleh orang lain yang minta fatwa tentang sesuatu, maka hukum berijtihad tergantung kepada keadaan kondisi mujtahid dan umat di sekitarnya. Bila seorang faqih ditanya tentang hukum suatu kasus yang telah berlaku, sedangkan ia hanya satu-satunya fagib yang dapat melaku- kan ijtihad dan ia merasa kalau tidak melakukan ijtihad pada saat itu akan berakibat kasus tersebut luput dari hukum, maka hukum berijtihad bagi faqih tersebut adalah wajib ‘ain (exe's), Bila seorang fagih ditanya tentang hukum suatu kasus yang berlaku, sedangkan ia adalah satu-satunya faqih waktu itu, tetapi ia tidak khawatir akan luputnya kasus tersebut dari hukum, atau pada waktu itu ada beberapa orang fagih yang mampu melakukan ijtihad, maka hukum berijtihad bagi fagib tersebut adalah wajib kifayah (oS els), Hal ini berarti bahwa bila untuk menetapkan hukum sutau kasus tersebut telah ada seorang faqib yang tampil untuk berijtihad, maka fagih yang lain bebas dari kewajiban berijtihad. Namun bila tidak ada seorang fagih pun yang berijtihad, sehingga hukumnya luput, maka semua fagih yang ada di situ berdosa, karena meninggalkan kewajiban kifdyah. Bila keadaan yang ditanyakan kepada faqih tersebut belum ter- jadi secara praktis, tetapi umat menghendaki ketetapan hukumnya 262 a Bab 3 > litihad dan Perkembangannya untuk mengantisipasi timbulnya kasus tersebut, maka ijtihad dalam hal ini hukumnya hanyalah swnat (duu); artinya tidak berdosa fagih tersebut bila tidak melakukan ijtihad, namun bila ia berijtihad akan lebih baik. Berijtihad itu hukumnya haram (¢\~) untuk kasus yang telah ada hukumnya dan ditetapkan berdasarkan dalil yang sharih dan qath‘i, atau bila orang yang melakukan ijtihad itu belum mencapai tingkat faqib. Jadi, haramnya hukum jjtihad dalam hal ini adalah pertama karena ijtihad tidak boleh dilakukan bila telah ada nash yang sharih dan gath‘i yang mengaturnya, kedua karena orang yang berijtihad tidak (belum) memenuhi syarat yang dituntut untuk ijtihad. Dalam menghadapi suatu kasus yang sudah terjadi dalam ke- nyataan atau belum terjadi, dan kasus tersebut belum diatur secara jelas dalam nash Al-Qur’an maupun sunah, sedangkan orang yang memiliki kualifikasi sebagai mujtahid ada beberapa orang, maka dalam hal ini hukum berijtihad bagi seorang faqib hukumnya mubah (c+) atau boleh. D. Perkembangan Ijtihad Persoalan utama dalam membahas perkembangan jjtihad adalah: semenjak kapan ijtihad itu mulai ada (berlaku); apakah pada masa kini ini masih berlaku dan bagaimana kemungkinan berlakunya untuk masa mendatang. Kalau membicarakan awal berlakunya ijtihad tentu kita akan menoleh ke masa paling dini dari keberadaan hukum Islam, yaitu semenjak masa hidupnya Nabi. Para ulama berbeda pendapat men- genai apakah ijtihad telah berlaku pada masa Nabi. Hal ini karena secara umum diketahui bahwa ijtihad itu diperlukan pada waktu tidak menemukan petunjuk Allah secara jelas tentang suatu masalah dan tidak ditemukan pula petunjuk dari Nabi; sedangkan selama Nabi masih hidup tidak mungkin petunjuk secara nash sudah tidak ada lagi, karena ayat Al-Qur’an masih turun dan Nabi masih dapat menyampaikan petunjuknya. Tetapi di sisi lain, dalam banyak kasus banyak ditemukan bahwa Nabi sendiri dalam menghadapi suatu masalah sering menggunakan daya nalarnya sebagaimana yang lazim @ 263 USHUL FIQH JILID 2 dilakukan seorang mujtahid dalam menghadapi masalah hukum. Oleh karena itu, keberadaan ijtihad pada masa Nabi masih menjadi perbincangan di kalangan ulama. 1. Ijtihad pada Masa Nabi Pembicaraan mengenai ijtihad pada masa Nabi mengandung beberapa bahasan, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh Nabi dan ijtihad yang dilakukan oleh sahabat pada masa Nabi. Kemudian, kedua bahasan ini ditinjau dari segi kedudukannya sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri. Para ulama berbeda pendapat tentang apakah Nabi pernah melakukan ijtihad, dan apakah Nabi boleh berijtihad. Hal ini tim- bul, di antaranya karena di satu sisi ada firman Allah dalam surat an-Najm (53): 2-3: (EY eel) ERLE sha) oH ye SLES Dan tiadalah ia (Nabi) berbicara dengan hawa nafsunya; ucap- annya itu tiada lain dari wahyu yang diwahyukan. Di sisi lain Nabi dalam kedudukannya sebagai manusia biasa berbicara dan melakukan sesuatu yang tentu tidak mungkin ke- seluruhannya sebagai wahyu. 1. Jumhur ulama berpendapat bahwa Nabi boleh dan mungkin saja melakukan ijtihad. Mereka berargumen berdasarkan dalil Al-Qur’an, sunah dan argumen akal atau logika. Di antara dalil Al-Qur’an yang mereka kemukakan adalah fir- man Allah dalam surat al-Hasyr (59): 2: ( + fool) Las sites pases Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan. Para ulama memahami ayat ini sebagai dalil melakukan ijti- had. Perintah melakukan ijtihad dalam ayat ini berlaku secara umum yang berlaku untuk umat juga untuk Nabi yang dikenai titah Allah dalam ayat ini. Mereka mengemukakan contoh ka- sus ijtihad Nabi dengan mengetengahkan asbabal-nuzul (kasus 264 7 gi Bab 3 a> ljtihad dan Perkembangannya yang menyebabkan turunnya) surat al-Anfaal (8): 67: OY JW 2 W358 5 5 slds Swale 3 Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpubkan musubnya di muka bumi. Kemudian surat at-Taubab (9): 43: as Negi Wincs 6 esi sdscis (2% dy gall) GyalZalh Semoga Allah memaafkanmu, mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk pergi berperang) sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang dusta. Dalam ayat pertama Allah mencela Nabi karena meninggalkan tawanan Perang Badar dengan uang tebusan. Kasus ini muncul waktu menghadapi tawanan Perang Badar, Pada waktu Nabi menanyakan pendapat Abu Bakar, Abu Bakar mengemukakan pendapat supaya tawanan itu ditahan saja dan tidak dibunuh dengan harapan mereka berguna bagi Islam. Umar ibn Khat- tab mengemukakan pendapat agar tawanan itu dibunuh saja, karena mungkin akan merugikan Islam. Selanjutnya Nabi ber- pikir untuk mempertimbangkan langkah yang harus diambil, kemudian mengambil kesimpulan untuk menahan saja tawan- an tersebut sebagaimana yang disarankan Abu Bakar. Ternya- ta yang terjadi kemudian tawanan itu merugikan Islam hingga Nabi menyesal dan menangis bersama Abu Bakar, Dalam peris- tiwa inilah datangnya teguran Allah tersebut. Dalam ayat kedua juga Allah menegur Nabi karena berbuat kekeliruan mengizinkan orang-orang yang kemudian tampak kemunafikannya dalam perang Tabuk yang merugikan Islam, hingga Allah menegurnya. Dalam kedua ayat tersebut Allah menegur atau mencela Nabi atas apa yang telah diperbuatnya. Adanya kritik Allah atas apa yang telah diperbuat Nabi itu menunjukkan bahwa apa yang 265 USHUL FIQH JILID 2 266 diperbuat Nabi dalam kedua kasus tersebut adalah semata atas hasil buah pikirannya dan tidak berdasarkan wahyu. Hal itu berarti Nabi telah melakukan ijtihad. Adapun dalil yang berasal dari Hadis Nabi yang menyatakan bahwa Nabi melakukan ijtihad, cukup banyak. Di antaranya hadis yang diriwayatkan Bukhari dan muslim dengan sanad dari Rafi’ Ibn Khudeij yang berkata bahwa Nabi SAW datang ke Madinah, Waktu itu ada penduduk sedang mengawinkan kurma, kemudian beliau berkata, “Seandainya tidak kamu buat seperti itu akan lebih baik.” Lantas petani itu meninggal- kan cara tersebut, tetapi ternyata kemudian buahnya berku- rang. Ia menyampaikan hal itu kepada Nabi, dan berkata Nabi, “Sesungguhnya saya ini adalah, manusia sepertimu. Bila saya menyuruhmu dalam hal urusan agamamu ikutilah. Tetapi bila saya menyuruhmu melakukan sesuatu berdasarkan ijtihad sa- ya, saya hanya seorang manusia biasa.” Dalam bentuk lain, Nabi sering menetapkan suatu keputusan, kemudian turun ayat yang membetulkan keputusan itu. Kemu- dian Nabi pun meninggalkan apa yang telah diputuskannya dan mengikuti apa yang ditetapkan Allah. Hal ini menunjuk- kan bahwa apa yang ditetapkan Nabi itu bukan atas dasar pe- tunjuk wahyu, tetapi semata hasil ijtihad beliau sendiri. Golongan ulama kalam al-Asy‘ariyah dan kebanyakan Mu’ta- zilah, Abu Ali al Jubbai dan anaknya Hasyim berpendapat bah- wa tidak boleh dan tidak pernah Nabi SAW melakukan ijtihad dalam bidang hukum syara’. Mereka mengemukakan argumen sebagai berikut: a. Firman Allah dalam surat an-Najm (53): 3-4: eth 228 92 28H 242 tain (EY spell) SPST 53) Gc Shlyz Ghisle 5 dan tiada ia berbicara dam hawa nafsunya, tetapi tidak lain dari wahyu yang diwahyukan. Ayat ini menunjukkan bahwa segala yang diucapkan Nabi itu adalah wahyu yang diwahyukan Allah dan bukan hasil ijtihadnya. Bab 3 a. |jtihad dan Perkembangannya b. Dalam menghadapi suatu masalah hukum, Nabi dapat sampai kepada suatu ketentuan yang meyakinkan, yaitu jika sudah turun wahyu Allah, atau menunggu sampai datang wahyu seandainya wahyu belum turun. Bila Nabi mampu menemukan cara yang meyakinkan, yaitu melalui wahyu, tentu tidak akan memutuskan suatu masalah dengan keten- tuan yang bersifat zhanni, yaitu ijtihad. c. Sering terjadi Nabi tidak memberikan jawaban atas suatu pertanyaan yang diajukan kepadanya. Seandainya Nabi dapat melakukan jjtihad tentu Nabi tidak perlu menunggu turunnya wahyu, tetapi dapat langsung memberikan jawab- an dengan ijtihad. d. Ijtihad itu adalah karya akal dan berkemungkinan sekali untuk salah; sedangkan Nabi dalah orang yang ma’shum (terpelihara atau terhindar dari kesalahan). e. Jjtihad itu boleh berlaku seandainya tidak ada nash yang mengaturnya, baik nash Al-Qur’an maupun sunah. Selagi Nabi masih hidup tidak dapat dikatakan bahwa nash sudah tidak ada. Dan selama itu pula tidak boleh ada ijtihad. Argumen yang dikemukakan dua kelompok yang berbeda itu tidak terlepas dari kelemahan-kelemahan yang menjadi sasaran sanggahan dari pihak lain, sebagaimana keduanya juga mem- punyai segi kekuatan yang digunakan oleh kelompok itu untuk menegakkan pendapatnya. 3. Di antara pendapat ulama yang mengatakan boleh dan yang mengatakan tidak boleh Nabi berijtihad, ada segolongan ula- ma yang mengambil jalan tengah. Mereka berpendapat bah- wa Nabi dapat dan pernah melakukan jjtihad dalam urusan keduniaan terutama dalam masalah perang, tetapi tidak ber- ijtihad dalam urusan hukum syara’. Alasannya, karena hal itu sering terjadi sebagaimana dalam contoh di atas. 2. Metode Ijtihad Nabi Suatu kenyataan bahwa Nabi telah melakukan ijtihad sehu- bungan dengan adanya pertanyaan shahabat yang dihadapkan ag : 267 USHUL FIQH JILID 2 kepadanya. Tentang bagaimana caranya dan metode apa yang di- gunakan Nabi dalam melakukan ijtihad itu, kelihatannya jawaban yang diberikan Nabi adalah dalam bentuk ijtihad dengan mencari kesamaan dengan kasus yang telah ditemukan hukumnya dalam wahyu atau sunah yang telah berlangsung. Cara seperti ini dalam ijtihad disebut giyas. Contohnya adalah sebagai berikut: le Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan lainnya dari Tbnu Abbas menerangkan bahwa seorang perempuan dari suku Juhainah datang kepada Nabi Muhammad SAW dan berka- ta, “Ibu saya bernazar untuk melakukan haji. Ia belum per- nah melakukan haji yang dinazarkan itu sampai ia meninggal. Perempuan itu bertanya, “Apakah boleh saya menghajikan- nya?” Nabi menjawab, “Ya, hajikanlah. Bagaimana pendapat- mu seandainya ibumu berutang apakah engkau akan mem- bayarkannya? Bayarkanlah utangnya kepada Allah, karena utang kepada Allah itu lebih layak untuk dibayarkan.” Dalam hadis ini Nabi menghubungkan untuk memenuhi pe- laksanaan haji yang dinazarkan (sebagai utang kepada Allah), kepada membayar utang yang wajib dibayar. Di sini terlihat bahwa Nabi dalam memutuskan perkara dengan memberikan pertimbangan atas pendapatnya melalui cara qiyas. Nabi menetapkan boleh dan tidak batalnya puasa orang yang mencium istrinya. Dalam menetapkan hukum itu Nabi menya- makannya dengan berkumur-kumur dengan air pada waktu berpuasa yang telah dinyatakan bahwa hukumnya tidak mem- batalkan puasa. Kasus ini diriwayatkan Abu Daud dalam su- nahnya bahwa Umar ibn Khattab mengadukan masalah kepa- da Nabi karena ia telah mencium istrinya padahal ia sedang berpuasa. Nabi berkata, “Bagaimana pendapatmu seandainya kamu berkumur-kumur dengan air?” Ucapan beliau ini berarti bahwa jika tidak batal puasa bila berkumur-kumur dengan ait, maka begitu pula tidak batal puasa bila mencium istri. Kekuatan Ijtihad Nabi dalam Menetapkan Hukum Berdasarkan kepada pendapat ulama bahwa Nabi pernah, dapat dan boleh berijtihad, bagaimana kekuatan hasil ijtihadnya 268 Bab 3 Ce Ijtihad dan Perkembangannya dalam penetapan hukum. Segala yang berasal dari Nabi berupa perkataan, perbuatan dan takrir Nabi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat untuk diikuti umatnya. Namun apakah kekuatan hukumnya itu karena berupa sunah yang wajib diikuti atau karena hasil ijtihad Nabi. Lazimnya, segala yang berasal dari pikiran (nalar) Nabi diung- kapkan dalam bentuk ucapan, perbuatan, dan takqrir, disebut sunah Nabi yang wajib diikuti. Dalam hal ini ada perbedaan mengenai cara dalam proses untuk sampai kepada apa yang diucapkan, diperbuat, dan ditakqrirkan Nabi tersebut: apakah melalui wahyu atau ijtihad Nabi. Bagi ulama yang membolehkan Nabi berijtihad, tentu akan mengatakan bahwa cara yang dilakukan Nabi dalam menghasilkan sunahnya itu adalah melalui ijtihad. Sejauh tidak ada teguran dari Allah SWT ia tetap mempunyai kekuatan hukum. Hal ini berarti bahwa ijtihad Nabi telah mendapat pengesahan dari wahyu. Bagi ulama yang mengatakan bahwa Nabi tidak berijtihad akan mengatakan bahwa cara yang ditempuh oleh Nabi sampai meng- hasilkan sunahnya adalah wahyu, sehingga tidak perlu menunggu pengesahan dari wahyu, karena cara untuk menghasilkan sunah itu sendiri adalah wahyu. Seandainya kemudian turun wahyu yang meralat apa yang telah disampaikan oleh Nabi, maka yang berlaku adalah wahyu itu dan penjelasan Nabi sebelumnya yang telah diralat tidak berlaku lagi. Persoalan apakah ijtihad Nabi itu mempunyai kekuatan hukum secara mandiri atau karena dikuatkan oleh wahyu, menjadi perbin- cangan di kalangan ulama. Namun kelihatannya perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini tidak berpengaruh secara praktis terhadap keterikatan umat untuk mengikutinya dalam kedudukan- nya sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Nabi. Kalau memang demikian halnya, maka apa gunanya menampilkan keadaan Nabi melakukan ijtihad itu. Menurut Salam Madzkur, gunanya adalah untuk memberi contoh kepada umat bagaimana menghadapi suatu persoalan hukum seandainya wahyu telah terhenti. Juga untuk mengajarkan cara-cara yang harus ditempuh bagi melakukan ijtihad. @ : 269 USHUL FIQH JILID 2 4. Ijtihad Sahabat pada Masa Nabi Bila pada masa hidup Nabi ternyata Nabi sendiri melakukan ijtihad, para sahabat juga ada yang melakukan jjtihad, baik dalam kasus yang terjadi di tempat dan sepengetahuan Nabi, maupun yang terjadi di tempat jauh dan tidak sepengetahuan dari Nabi. Alasan sahabat berijtihad untuk kasus yang terjadi jauh dari Nabi, adalah karena terpaksa untuk menetapkan ketentuan hukumnya sedangkan untuk menghubungi dan meminta jawaban dari Nabi terlalu lama (memakan waktu) jika tempatnya jauh. Adapun sahabat yang beri- jtihad dalam menetapkan hukum bagi kasus yang terjadi di tempat yang dekat Nabi, adalah karena ada rasa aman; seandainya salah pun tentu akan segera dibetulkan Nabi. Di antara ijtihad yang dilakukan sahabat sewaktu Nabi masih hidup di tempat yang dekat Nabi umpamanya ‘Amr bin Ash yang bertayamum padahal waktu itu ada air, karena ia merasa khawatir jika berwudhu dengan air akan sakit, sebab cuaca sangat dingin. Tindakan ini dilakukan Amru bin Ash karena ia menemukan ke- sukaran berwudhw’ memakai air karena cuaca dingin sebagaimana kesukaran berwudhw’ karena tidak ada air. Ia juga mengetahui ada ayat Al-Qur’an yang menerangkan: “bila tidak menemukan air ber- tayamumlab.” Apa yang dilakukan Amru tersebut segera diketahui Nabi. Ternyata Nabi tidak melarang tindakannya itu. Jitihad sahabat untuk kasus yang terjadi jauh dari Nabi adalah umpamanya yang terjadi pada serombongan sahabat ketika melaku- kan perjalanan dalam peristiwa abzab. Nabi menyuruh mereka untuk shalat Ashar di kampung Bani Quraizhah. Sewaktu dalam perjalanan, mereka memasuki waktu Ashar. Sebagian di antara mereka berhenti dan melakukan shalat Ashar dan tidak mau menangguhkan shalat Asharnya. Sedangkan yang sebagian lagi tidak mau berhenti untuk shalat dan terus melanjutkan perjalanan hingga sampai di kampung, Bani Quraizhah waktu malam, baru melakukan shalat Ashar di sana. Dalam kasus tersebut, kedua kelompok sahabat itu telah mela- kukan ijtihad. Kelompok pertama memahami suruhan Nabi itu menurut arti dan jiwanya. Sedangkan yang kedua memahaminya menurut lahir (teks)-nya. Apa yang dilakukan oleh kedua kelompok ini dibenarkan Nabi. 270 . =| Bab 3 Qe» |jtihad dan Perkembangannya Hadis yang populer mengenai sikap Mu‘adz ibn Jabal untuk melakukan ijtihad, menunjukkan bahwa ia berijtihad sewaktu ia berada di Yaman dan ternyata dibenarkan bahkan dipuji Nabi. Meskipun dalam kenyataan memang telah terjadi ijtihad sahabat waktu Nabi masih hidup, baik bagi yang berada dekat di sekitar Nabi maupun bagi yang jauh dari Nabi, namun tentang kebolehan berlangsungnya ijtihad pada waktu Nabi itu masih diperbincangkan oleh para ulama, terutama bila dihubungkan kepada ijtihad sebagai sumber tasyr’’. ie Kebanyakan ulama berpendapat bahwa jjtihad sahabat pada masa Nabi memang telah terjadi dan boleh terjadi. Mereka mengemukakan argumen sebagai berikut: a. Titah Allah yang menyuruh orang beriman untuk berijtihad dalam surat al-Hasyr (59): 2: oe? 4 S (Y _dedl) Lash S515 1 5s Ambil iktibarlah wahai orang-orang yang punya pandangan. Titah ini berlaku secara umum baik pada waktu Nabi masih hidup maupun setelah Nabi meninggal. b. Dalam kenyataan telah terjadi ijtihad shahabat pada waktu Nabi, baik dilakukan di tempat yang dekat Nabi, maupun jauh dari Nabi. Ternyata mereka mendapat persetujuan dari Nabi yang menunjukkan kebolehannya. Sebagian ulama kalam, di antaranya Abu Ali al-Jubbai dan Ib- nu Hisyam berpendapat tidak ada atau tidak boleh ijtihad sa- habat waktu Nabi masih hidup, dengan alasan: a. Ijtihad itu boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa, yaitu ketika timbul masalah hukum dan tidak ada nash yang memberikan jawaban. Sedangkan bila Nabi masih hidup, maka tidak dapat dikatakan bahwa sudah tidak ada nash wahyu lagi. b. Hasil (produk) ijtihad itu adalah zhanni, sedangkan hukum yang ditetapkan dengan nash bersifat gath‘i (meyakinkan). Jika ada yang gath‘i, maka tidak boleh menetapkan hukum secara zhanni, 271 USHUL FIQH JILID 2 3. Sebagian ulama mengambil jalan tengah, yaitu boleh melaku- kan ijtihad bagi sahabat yang berdomisili jauh dari keberadaan Nabi karena keterpaksaan mereka untuk melakukan ijtihad da- lam menghadapi timbulnya masalah hukum. Sedangkan bagi sahabat yang tinggal dekat dengan Nabi, tidak boleh melaku- kan ijtihad karena mereka dapat mengetahui hukum secara pasti dengan cara langsung menanyakannya kepada Nabi, se- hingga mereka tidak terpaksa harus berijtihad. Masalah lain yang diperbincangkan ulama sekitar kekuatan ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah mengenai: di mana letak kekuatan ijtihad yang dilakukan sahabat tersebut, pada hasil ijtihadnya itu sendiri atau karena adanya pembenaran dari Nabi. Dari perbincangan para ulama, tampak bahwa mereka tidak melihat kekuatan hasil ijtihad sahabat waktu Nabi itu pada hasil ijtihad itu sendiri, tetapi pada pengakuan yang diberikan Nabi, baik secara terang-terangan membenarkannya atau tidak diketahui adanya pe- nolakan dari Nabi. Hal ini berarti hasil ijtihad sahabat pada masa Nabi tidak mempunyai kekuatan hukum secara mandiri, tetapi membutuhkan pengakuan dari Nabi. 5. Ijtihad pada Masa Sahabat Bila pada masa Nabi masih hidup telah terjadi ijtihad yang dilakukan Nabi atau oleh para sahabat ketika tidak ditemukan pe- tunjuk dalam menghadapi suatu masalah hukum karena tempatnya berjauhan dari Nabi atau wahyu terlambat turun, maka setelah Nabi wafat pelaksanaan ijtihad oleh para shahabat semakin banyak terjadi. Penyebab sering terjadinya ijtihad itu adalah karena masalah yang, menuntut jawaban hukum semakin banyak, sebab semakin maju dan berkembangnya kehidupan sosial yang memunculkan masalah baru yang memerlukan jawaban hukum, sedangkan wahyu sebagai sumber hukum sudah terhenti sama sekali, baik wahyu yang tertulis (Al-Qur’an), maupun wahyu tidak tertulis (Sunah Nabi). Di bawah ini akan dikemukakan beberapa contoh ijtihad pada masa sahabat. 1, Ketika Nabi baru wafat, timbul masalah siapa yang akan men- 272 - a Bab 3 a> |jtihad dan Perkembangannya jadi pemimpin umat pengganti kedudukan beliau. Nabi sendiri tidak memberi petunjuk apa-apa dan wahyu yang berkenaan dengan pergantian pemimpin pun tidak ada yang secara tegas dan jelas menerangkannya. ‘Terjadilah perbincangan yang me- luas dengan menggunakan akal (daya nalar) sebagai dalil. Hasil dari perbincangan itu adalah penunjukan Abu Bakar sebagai pemimpin yang disebut kbalifab. Dasar pemikiran penunjukan Abu Bakar ini ialah karena ia pernah menggantikan kedudukan Nabi sebagai Imam shalat jamaah pada saat Nabi sakit. Ka- lau Abu Bakar pernah menjadi imam shalat yang merupakan pemimpin dalam hal keagamaan, tentu tepat pula untuk men- duduki jabatan khalifah sebagai pemimpin keduniaan. Pada waktu Nabi masih hidup bahkan sampai meninggalnya wahyu Allah yang disebut Al-Qur’an itu belum terkumpul, tetapi terekam dalam hafalan para sahabat yang menghafalnya. Dalam suatu perang melawan kaum kafir banyak penghafal Al- Qur’an yang meninggal. Dikhawatirkan hilangnya kumpulan wahyu Allah dengan meninggalnya semua penghafal. Timbul- lah ide untuk mengumpulkan Al-Qur’an, tetapi petunjuk dari wahyu dan dari Nabi untuk itu tidak ada. Namun karena ide tersebut baik, dalam rangka menjaga keutuhan wahyu, maka terlaksanalah pengumpulan wahyu Al-Qur’an itu, meskipun belum tersusun secara teratur sebagaimana dalam bentuknya yang sekarang. Ini adalah hasil ijtihad sahabat. Dalam masa pemerintahan Abu Bakar terjadi pembangkangan dari sebagian pemeluk Islam. Ada yang murtad dari Islam dan ada pula yang ingkar dari membayar zakat. Terhadap orang yang murtad ada petunjuk dalam nash, yaitu hukum bunuh, Tetapi tidak ada ketentuan hukum untuk orang yang ingkar membayar zakat. Pada waktu Nabi masih hidup, mereka mem- bayar zakat dengan patuh sehingga Nabi tidak merasa perlu melakukan tindakan atau ketentuan hukum bagi orang yang ingkar membayar zakat. Kalau Abu Bakar bertindak lemah, maka akan semakin banyak orang yang ingkar membayar zakat. Sebagian sahabat, termasuk Umar, berpendapat tidak 273 USHUL FIQH JILID 2 274 perlu memerangi (membunuh) orang yang ingkar membayar zakat itu. Tetapi Abu Bakar akhirnya menetapkan memerangi dan membunuh orang-orang yang ingkar membayar zakat itu. Ini adalah hasil ijtihad Abu Bakar. Pada waktu ‘Umar menjadi khalifah, beliau merasa perlu mem- bentuk dewan-dewan dalam pemerintahannya; mencetak mata uang sebagai alat tukar dalam perdagangan; membentuk pasu- kan tentara yang tetap untuk membela agama Islam dan kaum muslim, dan tindakan lain yang sebelumnya belum pernah ada dan tidak ada petunjuknya dari wahyu maupun dari Sunah Nabi. ‘Umar menetapkan berdasarkan ijtihadnya dengan per- timbangan bagi kepentingan umum dalam melaksanakan pe- merintahan. Dalam pelaksanaan hukum, ‘Umar ibn Khatab melihat banyak permasalahan sosial yang meskipun sudah ada petunjuk sebe- lumnya (dari mash atau sunah Nabi) namun dalam kenyataan di masyarakat waktu itu menuntutnya untuk memahami kem- bali petunjuk tersebut. Di antara masalah tersebut adalah: a. Meskipun Al-Qur’an menetapkan adanya hak zakat bagi kaum mualaf, namun Umar melihat tidak ada baiknya lagi mualaf mendapatkan hak zakat. b. Meskipun dalam Al-Qur’an ada petunjuk tentang pem- bagian harta rampasan termasuk tanahnya, namun Umar tidak membagi-bagikan tanah rampasan di Irak kepada anggota pasukan perang, tetapi tetap digarap oleh pemilik tanah dengan kewajiban si penggarap membayar dari hasil garapannya yang kemudian disebut kharaj. Umar melihat bahwa itulah cara yang terbaik bagi kepentingan umum. c. Meskipun Nabi pernah memberikan petunjuk tentang hu- kuman yang dibebankan kepada peminum khamar, yaitu dera 40 kali, namun Umar pada masanya menganggap tidak mempan lagi, sehingga ditetapkan bahwa sanksi bagi peminum khamar menjadi 80 kali. d. Meskipun terhadap pencuri ada petunjuk Al-Qur’an untuk Bab 3 a. |jtihad dan Perkembangannya memotong tangannya bila memenuhi persyaratan yang di- tentukan Nabi, namun Umar pernah tidak melaksanakan hukuman itu terhadap pencuri karena keadaan pada waktu itu dalam masa paceklik. Beberapa contoh tindakan Umar pada masa pemerintahannya itu, ditetapkan Umar berdasarkan ijtihadnya dengan pertim- bangan bagi kemaslahatan. 5. ‘Utsman ibn ‘Affan pada waktu menjadi khalifah banyak me- netapkan kebijaksanaan berdasarkan ijtihadnya yang berbeda dari pendahulunya, di antaranya: a. Pada masa Nabi dan begitu pula pada masa Abu Bakar dan Umar menjadi khalifah, azan shalat Jum‘at sebelum khatib naik mimbar hanya satu kali, karena dengan satu kali itu dirasa sudah cukup untuk memberi tahu masuknya waktu shalat Jumat. Karena jamaah pada waktu Usman semakin banyak, dirasakan tidak cukup lagi kalau azan itu hanya satu kali, oleh karena itu beliau menetapkan berdasarkan ijtihadnya dengan memberlakukan azan Jum‘at sebanyak dua kali sebelum khatib naik mimbar. b. Nabi telah memberi petunjuk tentang tindakan dalam menghadapi unta yang sesat, yaitu dibiarkan lepas mencari makan sendiri dan tidak boleh ditangkap. Pada masa khali- fah ‘Utsman ternyata sudah banyak orang berakhlak buruk dan bertangan jahil yang suka mengambil hak orang lain dengan cara yang tidak sah. Kemudian ‘Utsman menetapkan kebijaksanaan lain dengan ijtihadnya yang berbeda dengan yang dilakukan oleh pendahulunya yang juga berbeda de- ngan petunjuk Nabi, yaitu unta itu harus ditangkap dan dijual kemudian hasil penjualannya diserahkan kepada si pemilik unta yang datang kemudian. Pertimbangan yang dilakukan ‘Utsman adalah kalau unta yang sesat itu tidak ditangkap sebagaimanan petunjuk Nabi, maka akan dicuri orang dan hilanglah hak pemiliknya, sedangkan kalau unta itu ditangkap dan dijual, maka hak orang akan terpelihara. 6. Waktu ‘Ali ibn Abi Thalib memerintah sebagai khalifah, beli- @ 275 USHUL FIQH JILID 2 au juga banyak melakukan ijtihad dan dikenal memiliki daya nalar yang brillian dalam berijtihad. Di antaranya ketetapan terhadap peminum khamar dengan dera 80 kali dera. Pertim- bangannya bukan sebagaimana pendapat ‘Umar sebelumnya (supaya jera), tetapi karena bila orang minum khamar sampai mabuk, ia akan meracau yang dalam ucapannya akan menuduh orang berzina dengan seenaknya. Untuk mencegah terjadi hal itu dikenakanlah hukuman berat bagi peminum khamar seperti yang dikenakan kepada penuduh zina. Beberapa contoh di atas hanyalah sebagian kecil praktik ijtihad di kalangan sahabat, baik dalam kedudukannya sebagai khalifah maupun sebagai penduduk muslim biasa yang kemudian dicatat sebagai ijtihad yang dilakukan para sahabat. 6. Bentuk Ijtihad Sahabat Ijtihad shahabat setelah wafatnya Nabi dapat dikelompokkan kepada beberapa bentuk sebagai berikut: ac 276. Jjtihad dalam bentuk memberikan penjelasan terhadap nash yang telah ada, baik nash Al-Qur’an maupun Sunah Nabi. Umpamanya jjtihad sahabat dalam memahami firman Allah dalam surat an-Nisaa’ (4): 11: BA sAeS a Asie RLM sels Jas 55 BO 4 aye 4 (1) cela eMac al 595 15 55 AS Bagi kedua orang iby bapaknya masing-masing mendapat seperenam bila pewaris meninggalkan anak. Bila pewaris tidak meninggalkan anak yang mewarisinya adalah dua orang ibu bapaknya maka ibunya mendapat sepertiga. Zaid ibn Tsabit menafsirkan hak ibu sepertiga dalam keadaan tidak ada anak adalah bila yang menjadi ahli warisnya hanya- lah ibu dan bapaknya saja. Bila bersama mereka ada suami atau istri, maka hak ibu bukan sepertiga dari harta, tetapi se- pertiga dari sisa harta sesudah diberikan kepada abli waris lain, yaitu suami atau istri. Bab 3 a> |jtihad dan Perkembangannya Penafsir lain seperti Ibnu ‘Abbas memahami hak ibu yang se- pertiga itu dalam keadaan ada ahli waris lain atau tidak. Ia tidak merasa perlu men-ta‘wil-kan dari sepertiga harta menjadi sepertiga sisa harta. Di sini terlihat bahwa suatu ketentuan hukum yang sudah ada dalam nash masih memerlukan jijtihad dan menimbulkan pe- nafsiran yang berbeda di kalangan sahabat penafsir itu. 2. Tjtihad untuk menetapkan hukum yang baru bagi kasus yang muncul melalui cara mencari perbandingannya dengan ke- tetapan hukum yang telah ada penjelasannya dalam nash un- tuk ditetapkan bagi kasus tersebut. Ijtihad dengan cara ini con- tohnya adalah dalam menetapkan jabatan khalifah sesudah wafatnya Nabi. Dalam hal ini-dengan cara meng-qiyas-kan ja- batan khalifah (pemimpin urusan dunia) kepada jabatan imam shalat berjama‘ah yang pernah diserahkan Nabi kepada Abu Bakar. Jalan pikiran para sahabat waktu menetapkan jabatan khalifah untuk Abu Bakar ini adalah melalui giyas. Dalam menghadapi masalah baru yang tidak ada nash-nya, juga tidak dapat mencari bandingannya dengan apa yang te- lah ditetapkan dalam nash, sahabat menempuh bentuk ijtihad dengan ra’yu, yaitu menggunakan jiwa syara’ sebagai acuan dalam istinbath. Kepentingan umum atau maslahat selalu di- jadikan pertimbangan dalam menggunakan ra’yu sebagai ca- ra dalam berijtihad. Umpamanya dalam menetapkan untuk mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an (pada masa Abu Bakar); menetapkan dewan-dewan, membentuk pasukan ten- tara yang tetap dan mencetak mata uang pada masa (Umar ibn Khattab); menyatukan bentuk bacaan Al-Qur’an dan memba- kar yang lainnya pada masa (Utsman ibn ‘Affan). 7. Sasaran Ijtihad Sahabat Dari contoh ijtihad yang dilakukan para sahabat terlihat ada dua hal yang menjadi sasaran ijtihadnya, yaitu: 1. Masalah baru yang terjadi sesudah masa Nabi yang tidak me- reka temukan jawabnya secara jelas dalam nash, baik nash @ ’ . 277 USHUL FIQH JILID 2 278 Al-Qur’an maupun Sunah Nabi. Cara yang mereka tempuh untuk memberikan jawaban terhadap masalah ini adalah de- ngan merujukkannya kepada nash itu sendiri; baik dengan cara mencari apa yang tersirat di balik /afaz yang ada itu, atau de- ngan cara merentangkan /afaz yang ada kepada masalah baru tersebut. Contohnya: a. Dalam menetapkan hukum keharaman memukul orang tua yang memang secara jelas tidak disebutkan secara tersurat dalam nash, para sahabat mencarinya dari apa yang tersirat di balik /afaz yang menetapkan keharaman mengucapkan “uf? (berkata kasar) kepada orang tua. b. Untuk menetapkan haramnya meminum minuman beral- kohol para sahabat menetapkan hukumnya dengan cara merentangkan larangan Allah dalam meminum khamar yang tersebut dalam Al-Qur’an kepada minuman yang beralkohol tersebut. Ijtihad terhadap hal-hal yang telah-ada ketentuan hukumnya dalam nash, namun penerapan hukum itu menurut secara apa adanya sudah sulit dilaksanakan dalam keadaan tertentu se- hingga sahabat memerlukan pemahaman lain yang berbeda dengan apa yang ditetapkan sebelumnya. Contohnya: a. ‘Umar ibn Khattab menetapkan sanksi bagi peminum khamar dengan dera 80 kali; berbeda dengan yang ditetap- kan Nabi dalam sunahnya, yaitu 40 kali dera. Pertimbangan “Umar adalah bahwa pada waktu itu dengan hukuman 40 kali dera sudah tidak cukup lagi untuk menjerakan peminum khamar. b. ‘Utsman ibn ‘Affan menetapkan adzan shalat Jum‘at dua kali berbeda dengan yang ditetapkan Nabi sebelumnya, yai- tu satu kali. Pertimbangannya karena keadaan masyarakat telah berkembang sehingga dengan hanya satu kali adzan, tujuan disyariatkannya adzan untuk memberi tahu waktu zuhur untuk melaksanakan Jum‘at sudah tidak cukup lagi. Termasuk dalam bentuk kedua di atas adalah penangguhan hu- kum yang ditetapkan karena situasi dan kondisi tidak memung- Bab3 Ca |itihad dan Perkembangannya kinkan penerapan hukum tersebut atau dirasa tidak perlu lagi menerapkannya dalam keadaan tertentu. Contoh dalam hal ini umpamanya ‘Umar tidak memberikan hak menerima zakat kepada mualaf dengan pertimbangan bahwa pada waktu itu tidak perlu lagi mualaf itu dijinakkan hatinya dengan pembe- rian zakat. ‘Umar juga menangguhkan hukum potong tangan terhadap pencuri pada musim kelaparan, dengan pertimbangan orang tersebut melakukan pencurian untuk mempertahankan hidupnya. 8. Rujukan Sahabat dalam Berijtihad Pada waktu sahabat melakukan ijtihad kelihatannya mereka mengikuti cara ijtihad yang ditunjukkan oleh Nabi semasa hidupnya. Bila menghadapi suatu persoalan yang memerlukan jawaban hukum, pertama kali selalu mencarikan jawabannya dari ayat-ayat Al-Qur’an, baik menurut yang tersurat dalam lahir lafaznya, maupun dari yang tersirat di balik Jafaz itu. Bila tidak mereka temukan jawabannya dalam Al-Qur’an, mereka mencari jawabannya dari sunnah yang ditinggalkan Nabi. Bila tidak mereka temukan dalam Sunah, baru menggunakan ra‘yu. Dalam penggunaan ra ‘yu ini sedapat mungkin mereka mencari padanannya dalam Al-Qur’an dan Sunah untuk menetapkan berdasarkan qiyds. Bila qiyds ini tidak dapat mereka gunakan karena tidak ada padanannya dalam nash, mereka menggu- nakan maslahat sebagai rujukan dalam menetapkan hukumnya. Dalam menetapkan hukum berdasarkan ijtihad ini, kadang- kadang para sahabat bermusyawarah terlebih dahulu sehingga hu- kum yang ditetapkan itu merupakan hukum yang telah disepakati, sebagaimana kesepakatan mereka dalam menetapkan jabatan kha- lifah untuk Abu Bakar, yang mulanya merupakan pendapat pribadi. Adakalanya juga hukum yang dihasilkan melalui ijtihad itu hanya berbentuk pendapat pribadi dan tidak melalui suatu musyawarah. Dalam hal ini timbul pendapat dari shahabat lainnya yang tidak sama dengan pendapat sebelumnya. Contoh dalam hal ini umpamanya hak ibu dalam kewarisan bila bersama dengan ayah dan istri atau suami. Zaid ibn Tsabit menetapkan hak ibu adalah sepertiga sisa harta, sedangkan menurut Ibn Abbas hak ibu adalah sepertiga harta. g@ ’ 279 USHUL FIQH JILID 2 9, Ijtihad pada Masa Tabi’in Masa tabi’in adalah suatu masa sesudah sahabat. Tabi‘in itu, pengertiannya secara arti kata adalah “pengikut”, sedangkan dalam arti yang biasa digunakan adalah “orang-orang yang mengikut saha- bat.” Tabi‘in ini tidak pernah bertemu dengan Nabi, tetapi mereka bertemu dan mendapati orang-orang yang langsung bertemu dengan Nabi (sahabat). Dalam masa tabi‘in ini Islam semakin luas wilayahnya, ke- hidupan masyarakat juga semakin maju dan kompleks. Penganut Islam pun bukan lagi hanya orang-orang Arab, tetapi sudah berbaur dengan bangsa lain yang berbeda-beda bahasanya. Perkembangan ini menyebabkan pengetahuan umat Islam akan sumber Islam, yaitu Al-Qur’an dan Sunah yang berbahasa Arab itu tidak lagi sesempurna orang sebelumnya. Di samping itu, permasalahan kehidupan yang memerlukan jawaban hukum semakin meningkat yang lebih menun- tut pelaksanaan ijtihad. Cara ulama tabi’in melakukan ijtihad adalah mengikuti cara yang sudah dirintis sebelumnya oleh sahabat. Mereka menggunakan Al-Qur’an dan Sunah Nabi sebagai rujukan utama. Selanjutnya mereka mengikuti jjma’ sahabat. Jika tidak ditemukan dalam ijma’, mereka berpedoman kepada hasil ijtihad pribadi dari sahabat yang mereka anggap kuat dalilnya. Di samping itu, mereka menggunakan ra’yu sebagaimana yang dilakukan sahabat. Dalam penggunaan ra’yu sedapat mungkin mereka tempuh melalui qgiyas, bila mereka menemukan padanan masalahnya dengan apa yang terdapat dalam nash. Bila tidak mungkin, mereka menempatkan maslahat umum sebagai bahan rujukan dalam berijtihad. Dalam masa ini terlihat cara mereka melakukan Ijtihad mengarah kepada dua bentuk, yaitu: 1. Kalangan sahabat yang lebih banyak menggunakan hadis atau sunah dibanding dengan penggunaan ra‘yu. Cara Ijtihad se- perti ini berkembang di kalangan ulama Madinah dengan to- kohnya Sa‘id ibn al-Musayyab. Kalangan sahabat ini kemudian berkembang dengan sebutan “Madrasah Madinah.” 2. Kalangan sahabat yang lebih banyak menggunakan ra‘yu di- 280 . a Bab3_ x [itihad dan Perkembangannya bandingkan dengan penggunaan sunnah. Cara ijtihad seperti ini berkembang di kalangan ulama Kufah dengan tokohnya Ibrahim al-Nakha‘i. Kalangan sahabat ini kemudian berkem- bang dengan sebutan “Madrasah Kufah.” Kenapa ulama Madinah lebih banyak menggunakan hadis ke- timbang ra‘yu dan kenapa pula ulama Kufah atau Irak lebih banyak menggunakan ra‘yu ketimbang hadis? Hal ini dapat dipahami dengan melihat kepada kondisi dan perkembangan masyarakat di dua lokasi yang berbeda ini. Kufah atau Irak adalah suatu wilayah yang lebih maju kehidupan masyarakatnya, sehingga masalah hukum yang dihadapinya sangat kompleks. Letaknya yang berjauhan dengan pusat kedudukan Nabi menyebabkan Hadis Nabi yang sampai begitu terbatas. Hal inilah yang menyebabkan ulamanya dalam berijtihad lebih cenderung (terdorong) untuk menggunakan ra‘yu. Sedangkan Madinah adalah suatu wilayah yang kehidupan masyarakatnya masih sederhana, sehingga masalah hukum yang dihadapinya tidak begitu kompleks. Di sisi lain mereka hidup di kalangan kaum yang berdekatan dengan Nabi sehingga banyak mempunyai koleksi hadis. Karena itu perma- salahan hukum yang timbul sebagian besar telah dapat diberikan jawabannya dengan Hadis Nabi yang banyak mereka ketahui. Hal ini menyebabkan mereka tidak begitu terdorong untuk menggunakan ra‘yu. Hasil yang dicapai oleh ijtihad ulama tabi‘in ini, meskipun mereka mengikuti petunjuk dari cara ijtihad ulama sahabat, namun dalam beberapa hal mereka berbeda pendapat dengan ulama sahabat, bahkan berbeda dengan apa yang berlaku pada waktu Nabi. Ali ibn Abi Thalib dan sebagian ulama shahabat menerima kesaksian salah seorang suami istri terhadap yang lain dalam peradilan. Begitu pula, meraka menerima kesaksian anak-anak terhadap orang tua dan kesaksian orang tua terhadap anak-anak. Tetapi Qadhi Syureih dan sebagian ulama tabi’in tidak menerima kesaksian seperti ini, karena adanya unsur tuhmab dan kecintaan yang akan memengaruhi mereka dalam kesaksiannya. Dalam masa Nabi dan masa sahabat, perempuan biasa keluar & : 281 USHUL FIQH JILID 2 rumah untuk pergi ke masjid asal tidak memakai wewangian. Ulama tabi‘in menetapkan tidak bolehnya perempuan keluar rumah untuk pergi ke masjid karena pada masa itu banyak orang yang usil dan fasik yang akan mengganggu perempuan yang keluar rumah. Sa‘id ibn al-Musayyab sebagai mujtahid tabi‘in banyak meng- hasilkan ijtihad yang kelihatannya berbeda dengan apa yang diketa- hui sebelumnya. Seperti pendapatnya yang mengatakan bahwa seorang istri yang ditalak tiga yang akan kembali kepada suaminya yang pertama adalah cukup jika telah melakukan akad nikah dengan suami kedua dan tidak perlu bercampur terlebih dahulu. Beliau ber- dalil dengan umumnya firman Allah dalam surat al- Bagarab ( (2): 230: (18 8 ANNABEL 5 56K 25; Seis deSegabals Jika dia (suami) mentalak (talak tiga), maka tidak halal dia (istri) baginya hingga dia kawin dengan suami lain. Pendapat ini berbeda dengan pendapat ulama shahabat yang berpedoman kepada Hadis Nabi yang menyatakan bahwa istri yang ditalak tiga itu baru boleh nikah lagi dengan suami pertamanya bila dia telah bercampur dengan suami kedua dan tidak cukup hanya dengan akad nikah. Sa‘id ibn al-Musayyab juga memfatwakan bolehnya seseorang, yang sedang junub untuk membaca Al-Qur’an asal tidak memegang mushaf Al-Qur’an itu. Pendapat ini berbeda dengan pendapat ulama sebelumnya. Masa tabi’in ini dalam hal pelaksanaan ijtihad dikenal sebagai masa perantara antara masa sahabat dengan masa imam mujtahid, karena metode ijtihad yang dilakukan ulama sahabat diperdalam dan dipolakan dalam masa tabi’in ini. Hasil yang telah dicapai masa tabi’in inilah yang dikembangkan secara sistematis dan terstruktur oleh para imam mujtahid. 10. Ijtihad pada Masa Imam Mazhab Telah dijelaskan bahwa kegiatan ijtihad pada masa “tabi‘in” dianggap sebagai perantara antara ijtihad pada masa sahabat dengan ijtihad pada masa imam mazhab. Hal ini berarti pada masa tabi‘in 282 . a Bab 3 eb Ijtihad dan Perkembangannya telah dirintis usaha ijtihad yang kemudian dikembangkan dengan sistematis pada masa imam-imam mazhab. Pada masa sebelumnya ijtihad sudah mempola pada dua ben- tuk, yaitu yang lebih banyak menggunakan ra’yu yang ditampilkan “Madrasah Kufah”, dan pola yang lebih banyak menggunakan hadis atau sunah yang ditampilkan “Madrasah Madinah.” Masing-masing madrasah menghasilkan para mujtahid yang kenamaan. Pada masa ini para mujtahid lebih menyempurnakan lagi karya ijtihadnya antara lain dengan cara meletakkan dasar dan prinsip-prin- sip pokok dalam berijtihad yang kemudian disebut “ushul”. Langkah dan metode yang mereka tempuh dalam berijtihad melahirkan kaidah-kaidah umum yang dijadikan pedoman oleh generasi berikut- nya dalam mengembangkan pendapat pendahulunya. Dengan cara ini, setiap mujtahid dapat menyusun pendapatnya secara sistematis, terinci dan operasional yang kemudian disebut “figh”. Mujtahid yang mengembangkan rumusan ilmu ushul dan manbaj (metode) tersendiri disebut “mujtahid mandiri” (S&allazeel), Dalam berijtihad, mereka langsung merujuk kepada dalil syara’ dan menghasilkan temuan orsinal. Karena antar para mujtahid itu dalam berijtihad menggunakan ilmu ushul dan metode yang berbeda, maka hasil yang mereka capai juga tidak selalu sama. Jalan yang ditempuh seorang mujtahid dengan menggunakan ilmu ushul dan metode tertentu untuk menghasilkan suatu pendapat tentang hu- kum, kemudian disebut “mazhab” dan tokoh mujtahidnya dinamai “imam mazhab.” Pendapat tentang hukum hasil temuan imam mazhab itu di- sampaikan kepada umat dalam bentuk “fatwa” untuk dipelajari, di- ikuti dan diamalkan oleh orang-orang yang kemudian menjadi murid dan pengikutnya secara tetap. Selanjutnya para murid dan pengikut imam itu menyebarluaskan mazhab imamnya sehingga mazhabnya berkembang dan bertahan dalam kurun waktu yang lama bahkan sampai sekarang dan mewarnai umat Islam di seluruh belahan bumi. Di antara mazhab fiqh dan imamnya yang terkenal adalah: 1. Mazhab Hanafiyah. Imamnya Abu Hanifah (80-150 H); 2. Mazhab Malikiyah. Imamnya Malik ibn Anas (93-179 H); g : 283 USHUL FIQH JILID 2 3. Mazhab Syafi‘iyah. Imamnya Muhammad ibn Idris al-Syafi‘i (150-204 H); 4, Mazhab Hanabilah. Imamnya Ahmad ibn Hanbal (164-241H); 5. Mazhab Zhahiri. Imamnya Dawud ibn Ali al-Asbahani (202- 270 H); 6. Mazhab Zaidiyah. Imamnya Zaid ibn Ali Zainul Abidin (80- 122 H); 7. Mazhab Ja’fariyah. Imamnya Ja’far al-Shadiq (80-148 H). (Dua madzhab yang terakhir, adalah mazhab figh di kalangan Syi‘ah.) Di antara murid dan pengikut Imam Abu Hanifah ialah: Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari(lahir 113 H); Zufar ibn Huzail ibn Qeis al-Kufi (lahir 110 H); Muhammad ibn Hasan al-Syaibani (lahir 132 H); dan Hasan ibn Ziyad al-Lu’lui. Keempat murid dan sahabat Abu Hanifah ini merupakan pengembang dari madzhab Hanafiyah. Di antara murid imam dan pengikut Imam Malik adalah Muhammad ibn Abdu al-Wahab dan Abdu al-Rahman ibn al-Qasim dari Mesir; Abdullah Ziyad ibn Abdu al-Rahman al-Qurthubi, Isa ibn Dinar al-Andalusi; Abu al-Hasan Ali ibn Ziyad al-Tunisi dan Sahnun dari Afrika. Di antara murid dan pengikut Imam Syafi‘i ialah: Abu Tsaur, al-Hasan ibn Shabbah al-Za’farani dan Ahmad ibn Hanbal dari Irak; Yusuf ibn Yahya al-Buwaithi, Abu Ibrabim Ismail ibn Yahya al-Muzani dan al-Rabi’ ibn Sulaiman al-Muradi dari Ulama Mesir. Di antara murid dan pengikut Imam Ahmad ibn Hanbal ialah: Shalih ibn Ahmad ibn Hanbal dan Abdullah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Hani’ Abu Bakar al-Astram, Abdul Malik ibn Mahran al-Maimuni dan Ahmad ibn Muhammad ibn al-Hajjaj al-Maruzi. Ada juga imam mujtahid yang tidak mempunyai banyak murid dan pengikut yang mengembangkan dan menyebarluaskan mazhab- nya, sehingga lama-kelamaan mazhab tersebut kurang populer dan ada yang sekarang tidak dikenal lagi, padahal mungkin di masa lalu merupakan sebuah mazhab yang kuat. Contohnya mazhab Auza’i 284 ° a Bab3 (ae. ljtihad dan Perkembangannya yang muncul di Syam dengan imamnya Abu Abdu al-Rahman ibn Muhammad al-Auza’i (lahir 88 H), dan mazhab Thabari dengan imamnya Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Thabari (lahir di Tibristan, 224 H). Metode dan hasil ijtihad para imam mazhab itu dikembangkan oleh para muridnya. Kalau para imam mazhab yang disebut “mujta- hid mandiri” menghasilkan temuan di bidang hukum yang orisinal dan baru, maka ijtihad pada masa berikutnya (masa murid imam mazhab) kebanyakan hanya menyempurnakan hasil temuan imam mazhab terdahulu. Kegiatan ijtihadnya lebih banyak berbentuk “takbrij” (~2>5)) dan “tafri” (eS), Pengertian takbrij di sini ialah menetapkan hukum atas suatu kejadian dengan cara menghubung- kannya kepada hukum yang telah ditetapkan oleh imam mazhab karena antara dua kejadian itu ada kesamaan. Hasil temuan murid imam madzhab ini disandarkan kepada temuan imam mazhab. Dengan cara takhrij tersebut, pendapat imam mazhab yang tadinya sederhana semakin diperluas dan dikembangkan oleh para murid dan pengikutnya. Adapun yang dimaksud dengan tafri’ ialah mengembangkan dan menguraikan pendapat imam mazhab menjadi lebih jelas dan terperinci. Meskipun pada mulanya imam mazhab mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk dasar pemikiran dan bersifat umum, tetapi kemudian berkembang di tangan murid dan pengikutnya. Usaha para murid dan pengikut imam mazhab tersebut dalam menghadapi masalah hukum adalah sebagaimana yang dilakukan para imam mazhab yang diikutinya, yaitu dengan menggunakan ke- mampuan daya nalar. Karena itu usaha mereka juga disebut ijtihad. Bedanya dengan ijtihad para imam mazhab adalah jika ijtihad imam mazhab menggunakan ilmu ushul dan metode hasil temuannya sendi- ri, sedangkan ijtihad para murid dan pengikut imam mazhab tidak menggunakan ilmu ushul dan metode basil temuannya sendiri, tetapi mengikuti ilmu ushul dan metode yang sudah dirancang oleh imam mazhab. Karena itu, jika imam mazhab disebut “mujtahid mutlak” (Gules agonal!) atau “mujtahid mandiri” karena kepeloporannya, maka para murid dan pengikut imam mazhab disebut “mujtahid mazhab” (Pid ayeu), g@ : 285 USHUL FIQH JILID 2 Para mujtahid mazhab ini dalam usaha menggali dan me- rumuskan hukum suatu masalah yang dihadapi di samping merujuk kepada pendapat imam mazhab, juga selalu memperhatikan situasi dan kondisi di tempat mujtahid itu berada sehingga semua hukum hasil ijtihadnya itu dapat diikuti serta diamalkan oleh pengikutnya, dan ketentuan hukum sebagai norma teoretis selalu aktual dalam kehidupan sesuai dengan waktu dan tempat berlakunya. Hasil ijtihad para imam mazhab itu setelah melalui penyempur- naan di tangan murid-muridnya, disusun secara sitematis sehingga menghasilkan kitab-kitab fiqgh mazhab. Ketentuan hukum dalam kitab-kitab figh itulah yang diikuti para pengikutnya sebagai pe- doman dalam kehidupan sehari-hari dan jadi rujukan para hakim dalam menyelesaikan perkara. Kitab-kitab figh peninggalan imam mazhab ini merupakan salah satu faktor utama bagi kelangsungan dan perkembangan pemikiran mazhab tersebut hingga sekarang. 11. Ijtihad pada Masa Sesudah Imam Mazhab Secara langsung atau melalui tangan para muridnya, para imam mazhab telah berhasil menyusun hasil ijtihadnya dalam bentuk kitab figh yang jadi pedoman beramal bagi pengikutnya. Ini merupakan peninggalan yang sangat berharga bagi pembinaan dan perkembang- an hukum. Di satu sisi kitab-kitab figh tersebut bermanfaat sebagai pedoman yang memudahkan pengikutnya dalam menerapkan hu- kum, karena hampir segala persoalan yang timbul dapat ditemukan jawabannya dengan membuka kitab fiqh tersebut. Namun di sisi lain berdampak negatif terhadap perkembangan ijtihad, karena para pengikut mazhab itu merasa puas, sehingga tidak perlu dan tidak terdorong untuk berijtihad. Hal ini akhirnya melemahkan bahkan menghilangkan daya ijtihad. Bila pengikut imam mazhab menemukan suatu peristiwa yang memerlukan jawaban hukum, mereka tidak lagi melakukan ijtihad tetapi cukup mengikuti apa yang telah ditetapkan imam mazhab sebelumnya, kadang-kadang tanpa mempertanyakan relevansi dan ketepatan. Dalil yang digunakan imam mazhab itu untuk peristi- wa baru yang muncul kemudian. Juga tidak dipersoalkan apakah pendapat imam mazhab itu masih dapat diterapkan di tempat dan 286 @ Bab 3 Ca Iitihad dan Perkembangannya masa kemudian yang sudah jauh berubah. Masa ini biasa disebut masa taqlid (4.1%) yang berlangsung lama. Kegiatan ulama yang sebelumnya disibukkan oleh penelitian, penggalian dan penemuan hukum Allah dengan melakukan ijtihad sehingga menghasilkan pemikiran hukum yang baru dan orisinal, pada masa taqlid ini, para ulama lebih cenderung untuk hanya mem- bolak-balik khitab figh terdahulu atau hanya membanding-banding- kan pendapat para imam mazhab untuk mengambil pendapat yang dianggapnya paling kuat. Di antara ulama ada yang giat membuat syarah (>) kitab figh yang ada sehingga kitab aslinya dalam bentuk sederhana, menjadi lebih luas. Kemudian kitab “syarah” itu diperluas lagi oleh ulama lainnya dalam bentuk kitab “hasyigh” (4 +t ), Selanjutnya kitab-ki- tab fikih yang telah disyarah dan dihasyiahkan secara panjang lebar itu dibuat ringkasannya yang disebut khulashah. Kegiatan syarah, hasyiah, dan kbulasah tersebut mewarnai kegiatan ulama pada masa taqlid. Figh yang digunakan dalam masa taklid adalah hasil ijtihad imam mazhab di masa lalu dengan situasi dan kondisi pada masa lalu. Banyak di antara hasil ijtihad imam mazhab itu yang sudah sulit untuk dilaksanakan karena situasi dan kondisinya telah berubah dan berbeda jauh, namun ulama belakangan tidak memiliki hasrat dan merasa tidak mampu melakukan ijtihad untuk mengembangkan hukum hasil pemikiran ulama terdahulu tersebut. Akibatnya, fiqh lama yang biasa disebut sebagai hukum Islam itu kehilangan daya aktualitasnya. Kondisi pada masa pudarnya kegiatan ijtihad dan berkembang- nya taklid itu diperparah lagi dengan keadaan negara-negara yang berpenduduk muslim yang hampir semuanya jatuh di bawah penja- jahan kolonial Barat. Secara berangsur-angsur hukum Barat diber- lakukan oleh penguasa kolonial di negara jajahannya. Ketentuan hukum dalam figh yang pada mulanya masih diterapkan sebagai hukum positif di samping hukum Barat, kemudian terdesak oleh hu- kum Barat yang mendominasi hukum di negara Islam (yang mayori- tas berpenduduk muslim). Di beberapa negara, fiqh yang dahulunya | «| 287 USHULFIQH JILID 2 melingkupi seluruh bidang hukum, akhirnya yang tersisa sebagai hukum positif hanyalah figh abwal al-syakhsiyab yang melingkupi pernikahan dan kewarisan, di samping soal ibadat. Dengan diberlakukannya hukum Barat hampir di semua negeri yang beragama Islam, maka bidang fiqh di luar ibadat dan abwal al-syakhsiyah, seperti fiqh mu‘amalat, jinayat, murafa’at atau peradilan dan siyasah kehilangan daya positifnya dan hanya ting- gal sebagai pedoman yang tidak mengikat. Hal ini berarti bahwa hanya dalam bidang yang terbatas itu umat Islam mengikuti dan menjalankan hukum Allah. Masa ini berlangsung sangat lama dan sudah barang tentu berdampak negatif terhadap perkembangan dan pelaksanaan hukum Islam (figh). 12. Kebangkitan Kembali Daya Jjtihad Masa kemunduran ijtihad atau masa taqlid yang panjang ber- dampak negatif terhadap kehidupan hukum Islam atau fiqh. Fiqh yang selama ini diamalkan secara penuh dalam seluruh bidang kehidupan, tetapi kemudian yang diamalkan hanyalah ibadah dan bidang yang dianggap berkaitan langsung dengan agama, yaitu per- kawinan dan kewarisan. Keadaan ini berlangsung hampir di semua negeri yang beragama Islam. Hal ini berarti bahwa hanya dalam bidang yang terbatas itu umat Islam mengikuti hukum Allah; se- dangkan dalam bidang lain umat Islam mengikuti dan menjalankan bukan hukum Allah. Mungkin terdorong oleh rasa berdosa berkepanjangan karena dalam kegiatan sehari-hari melaksanakan hukum bukan hukum Islam yang diancam Allah dalam Al-Qur’an (al-Maaidab (5):44, 45, dan 47), dalam perkembangan selanjutnya semakin nyata kesadaran dari sebagian umat Islam untuk mengembalikan kejayaan hukum Islam dengan cara memberlakukan kembali hukum Islam secara aktual dalam mengatur kehidupan umat Islam dengan tujuan untuk menjadikan hukum Islam sebagai tuan di rumah sendiri. Semangat reaktualisasi hukum Islam itu kemudian semakin bergema di seluruh dunia Islam. Mengembalikan hukum Islam sebagai hukum yang berlaku dan positif untuk mengatur kehidupan umat Islam secara menyeluruh 288 a Bab 3 («> |jtihad dan Perkembangannya sudah merupakan keinginan bersama. Namun untuk menjadikan hukum Islam yang terhimpun dalam kitab-kitab figh karya mujtahid masa lalu itu menemukan kesulitan karena figh tersebut merupakan hasi tihad yang sesuai dengan kondisi dan situasi pada tempat dan masa lalu. Sedangkan untuk masa kini, sudah banyak pemikiran atau ketentuan dalam kitab fiqh lama yang sulit dilaksanakan se- cara aktual. Kesulitan penerapan ketentuan figh itu adalah dalam hampir seluruh bidang fiqh, baik dalam bidang ibadat, dan terlebih lagi dalam bidang mu‘amalat yang mengatur pergaulan umat Islam dalam berbagai persoalan kehidupannya. Sekadar contoh, kesulitan penerapan figh tempo dahulu untuk masa kini dapat dilihat dalam ilustrasi di bawah ini. 1. Di antara syarat sahnya pemindahan hak milik (dari penjual ke pembeli) dalam jual beli adalah adanya ijab-qabul di tempat transaksi, yaitu ucapan yang jelas dari si pembeli, “Saya telah membeli barang ini dengan harga sekian,” yang kemudian di- jawab oleh si penjual, “Saya telah-menjual barang ini dengan harga sekian.” Kalau persyaratan ijab-qabul itu masih diber- lakukan dalam dunia perdagangan yang begitu besar dan kom- pleks di masa sekarang, tentu akan menimbulkan kehebohan pasar. 2. Semua kitab figh ulama Ahlu sunah dalam hukum kewaris- an menetapkan bahwa cucu yang berhak menerima warisan sebagai furud atau ashabah hanyalah anak dari anak laki-la- ki, sedangkan anak dari anak perempuan tidak berhak sama sekali kecuali sebagai zu! arham yang kemungkinannya untuk mendapat warisan sangat kecil sekali. Hukum seperti ini han- ya mungkin berlaku dalam bentuk susunan kekerabatan patri- lineal (mengikuti garis ayah). Memberlakukan figh mawarits seperti ini di dunia Islam yang rata-rata sudah hidup dalam susunan kerabat parental (mengikuti garis ayah-ibu) tidaklah relevan lagi: 3. Hampir dalam semua kitab fiqh mazhab, tidak ada ketentuan tentang pencatatan perkawinan dan tentang batas usia minimal bagi seseorang untuk dibolehkan nikah. Kalau figh lama itu a 289 USHUL FIQH JILID 2 digunakan untuk masa sekarang yang sudah berkembang dan berubah dengan pesat kehidupannya, maka pelaksanaan per- kawinan akan kacau. 4, Begitu pula dalam semua kitab fiqh yang mengatur tentang perceraian dibicarakan bolehnya terjadi perceraian di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja; tidak mesti di pengadilan. Kalau ketentuan ini diberlakukan pula waktu sekarang, maka akan rusaklah kehidupan rumah tangga. Agar hukum Islam tetap aktual untuk mengatur kehidupan umat Islam di masa kini diperlukan hukum Islam dalam bentuknya yang baru dan tidak mesti dengan mengambil alih semua figh yang lama. Hal ini menghendaki adanya usaha tajdid atau reformulasi fiqh. Di antara caranya adalah dengan memahami kembali dalil syara’ yang menjadi rujukan para mujtahid tempo dahulu serta menjadikan situa- sidan kondisi umat waktu sekarang sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum sebagaimana yang juga dilakukan oleh mujtahid tempo dahulu. Usaha reaktualisasi hukum Islam melalui reformulasi figh telah berlangsung di dunia Islam semenjak akhir abad XIX dan semakin terlihat pada awal abad XX yang terus berlangsung hingga saat ini. Ada dua bentuk dalam usaha ijtihad baru tersebut: 1. Menghimpun bagian-bagian tertentu dari kitab figh mazhab yang relevan untuk diberlakukan dalam mengatur kehidupan manusia kemudian meramunya menjadi suatu kesatuan yang utuh. Cara seperti ini biasa disebut talfik. Hampir semua hu- kum perkawinan yang berlaku di dunia Islam masa kini diru- muskan dalam bentuk talfik. Melalui talfik, keterikatan kepada satu mazhab tertentu yang berlaku selama ini telah melonggar. 2. Mencoba memahami kembali dalil nash yang dijadikan rujuk- an mujtahid yang ada untuk menghasilkan rumusan baru yang disebut reinterpretasi. 290 Gi Bab 3 a> litihad dan Perkembangannya E. Unsur Pokok dalam Jjtihad Dari gambaran umum tentang ijtihad yang diuraikan di atas ter- lihat bahwa ijtihad itu adalah kegiatan orang yang memenuhi syarat tertentu dalam melakukan penggalian terhadap hukum Allah dari petunjuk atau dalil tertentu dan merumuskannya dalam bentuk hu- kum tertentu. Dari sini tampak bahwa unsur pokok dalam berijtihad adalah: (1) orang yang melakukan ijtihad yang disebut “mujtahid”, (2) dugaaan kuat tentang hukum Allah yang terdapat dalam penunjuk yang menjadi sasaran ijtihad, yang disebut “mujtahad”. Pembicaraan tentang syarat-syarat berijtihad meliputi kedua unsur pokok tersebut. 1. Syarat Menjadi Mujahid Dalam literatur Ushul Figh terlihat bahwa para ahli ushul mem- berikan rumusan yang berbeda tentang syarat mujahid. Perbedaan rumusan itu banyak ditentukan oleh titik pandang yang berbeda tentang mujtahid. Dari rumusan yang berbeda itu terlihat ada kesa- maan di antara mereka dalam memandang dua titik pada seseorang mujtahid itu, yaitu tentang kepribadiannya dan tentang kemampuan- nya. Untuk kedua hal tersebut para ahli menetapkan syarat atau kriteria tertentu yang tanpa syarat dan kriteria itu seseorang tidak akan dapat melakukan ijtihad, dan kalaupun ia melakukan ijtihad, maka hasilnya diragukan kebenarannya. 1. Syarat yang berhubungan dengan kepribadian. Syarat kepriba- dian menyangkut dua hal: a. Syarat umum yang harus dimiliki seorang mujtahid adalah telah balig dan berakal. Seseorang mujahid itu harus telah dewasa, karena hanya pada orang yang telah dewasa dapat ditemukan adanya kemampuan. Orang yang belum dewasa atau anak-anak tidak akan mungkin melakukan ijtihad. Kemudian, seseorang mujahid itu harus berakal atau sem- purna akalnya, karena pada orang yang berakal ditemukan adanya kemampuan ilmu dan ijtihad itu sendiri adalah suatu karya ilmiah. Orang yang tidak sempurna akalnya seperti orang gila tidak akan mungkin melakukan ijtihad. @ 291 USHUL FIQH JILID 2 292 Dua syarat tersebut merupakan sebagian dari syarat pembe- banan hukum syara’ secara penuh terhadap seseorang, yang disebut “taklif”. Ada dua syarat taklif yang tidak terdapat di sini, yaitu syarat “kemerdekaan”, dan “laki-laki”. Kedua syarat itu ditemukan dalam beberapa persyaratan taklif. Hal ini mengandung arti bahwa berijtihad itu dapat dilakukan oleh hamba sahaya, karena ternyata banyak hamba sahaya mempunyai kemampuan berijtihad yang tidak kalah dari orang merdeka. Ijtihad juga dapat dilakukan oleh per- empuan; karena dalam kenyataannya banyak perempuan yang mempunyai kemampuan ilmiah yang setara (melebihi) kemampuan laki-laki. Syarat kepribadian khusus. Ijtihad itu merupakan karya ilmiah secara umum. Namun yang dilakukan dan dihasilkan dalamnya adalah hukum yang dinisbatkan kepada Allah. Oleh karena itu dituntut pada seorang mujtahid adanya persyaratan kepribadian khusus yaitu keimanan. Ia harus beriman kepada Allah secara sempurna, baik yang berke- naan dengan zat, sifat dan perbuatan-Nya. Ia percaya akan keberadaan dan kemahakuasaan Allah dan percaya akan adanya hukum Allah yang mengatur segala segi kehidupan manusia. Ia percaya kepada kerasulan Nabi Muhammad SAW.dan percaya pula akan fungsi beliau sebagai penyampai dan penjelas hukum Allah kepada umat manusia. Imam al-Ghazali mensyaratkan sifat adil dalam kepri- badian ini. Yang dimaksud dengan adil di sini adalah adil yang dipersyaratkan dalam periwayatan hadis dan dalam kewalian, yaitu malakah atau potensi yang melekat dalam pribadi seseorang yang tidak memungkinkannya untuk melakukan dosa besar dan tidak berketerusan dalam ber- buat dosa kecil. Selanjutnya al-Gazali membatasi sifat adil ini pada waktu menyampaikan hasil ijtihadnya untuk dapat diterima oleh orang lain, bukan untuk kesahihan suatu hasil ijtihad. Hal ini berarti bahwa sifat adil itu bukan terhadap diri si Mujtahid (yang melakukan ijtihad), tetapi untuk dan terhadap orang lain yang akan menjalankan hasil ijtihadnya. 2. Bab 3 (Ce. ljtihad dan Perkembangannya Adapun beberapa sifat tambahan, seperti: zuhud, wara’, tawadbw’, dan lainnya tidak merupakan persyaratan untuk sahnya sebuah ijtihad, tetapi merupakan sifat keutamaan bagi seseorang mufti yang menyampaikan hasil ijtihadnya. Syarat yang berhubungan dengan kemampuan. Seseorang harus memiliki kemampuan akademis untuk meneli- ti dan menggali hukum syara’ dari dalil-dalilnya serta meru- muskannya dalam formulasi hukum. Untuk dapat mencapai kemampuan seperti ini diperlukan beberapa syarat yang secara kumulatif harus terdapat pada diri seorang mujtahid atau se- bagai conditio sine qua non. Syarat-syarat tersebut adalah se- bagai berikut: a. Mengetahui “ilmu alat”, dalam hal ini adalah bahasa Arab, karena sumber pokok hukum syara’, yaitu Al-Qur’an dan Sunah berbahasa Arab. Pengetahuan akan bahasa Arab ini meliputi seluruh segin- ya seperti ilmu nahwu, sharaf, bayan, ma‘ani, dan badi’. Dengan kemampuan itu seorang mujahid dapat menggali maksud dari kehendak Allah dalam Al-Qur’an secara tepat. Dengan pengetahuan bahasa Arab membuat pandangan seorang mujtahid terhadap dalil syara’ menjadi benar dan cara menghasilkan hukum dari dalil pun dapat secara tepat untuk mencapai kekuatan hukum. Tentang kualitas kemampuan bahasa Arab yang dituntut sebagai syarat berijtihad ini, ada beberapa pendapat yang di antaranya adalah: 1) Menurut Ibnu Subki cukup pada tingkat pertengahan saja. 2) Al-Ghazali menentukan batas kemampuan tertentu yang, memungkinkan seorang mujtahid dapat membedakan ucapan yang sharih, zhabir, mujmal, haqiqat, dan majaz:, memisahkan antara yang ‘am dan khds, antara mubkam dan mutasyabib, muthlaq dan muqayyad, antara nash, fatwa dan mafhum. Tidak disyaratkan mencapai peringkat seperti ahli bahasa yang bernama al-Khalil. 293 USHUL FIQH JILID 2 294 3) Abu Ishaq al-Syathibi tidak menuntut batas tertentu, namun menyatakan bahwa kualitas hasil ijtihad yang dicapai seorang mujtahid sejalan dengan kemampuan bahasanya. Bila dalam bahasa Arab ia baru dalam taraf awal, maka ia pun dalam taraf awal dalam pemahaman syari‘at. Bila pengetahuan bahasanya mencapai taraf pertengahan, ia baru mencapai taraf pertengahan dalam pemahaman syariat. Taraf pertengahan ini belum mencapai peringkat akhir. Bila ia mencapai derajat akhir dalam pemahaman bahasa, begitu pula ia mencapai derajat akhir dalam pemahaman syariat. Dengan pemahaman tingkat derajat akhir dalam syariat akan mencapai kekuatan hujjah. Pengetahuan tentang Al-Qur’an Al-Qur’an adalah sumber asasi hukum syara’. Karena itu seorang mujtahid harus mempunyai pengetahuan yang baik tentang Al-Qur’an. Persyaratan ini disepakati oleh semua ulama, karena tidak mungkin seseorang dapat memahami syariah, apalagi menggali dan merumuskannya tanpa memi- liki pengetahuan tentang Al-Qur’an. Al-Qur’an mempunyai cakupan bahasan yang luas sekali. Karena tidak mungkin seseorang mempunyai kedalaman ilmu tentang Al-Qur’an secara menyeluruh, maka para ulama membatasi kewajiban mengenai ilmu tersebut pada ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an yang jumlahnya sekitar 500 ayat. Jumlah itu pun tidak perlu dihafal luar kepa- la, tetapi cukup mengetahui tempatnya sehingga mudah me-murajaah-nya sewaktu-waktu diperlukan. Dalam waktu sekarang, murajaah ayat-ayat Al-Qur’an telah dipermudah dengan adanya bermacam petunjuk seperti kitab dengan nama “al-Mu’jam” dan program komputer. Meskipun tidak ada kewajiban untuk menghafal Al-Qur’an, namun peringkat tertinggi bagi orang yang mengetahui Al- Qur'an ialah bila ia hafal Al-Qur’an secara sempurna dan memahami artinya secara keseluruhan serta mengetahui Bab 3 Ce litihad dan Perkembangannya pula kandungan hukum di dalamnya secara terperinci. Seorang mujtahid harus mempunyai pemahaman yang baik tentang bahasa Al-Qur’an, sehingga ia dapat mengetahui dan memisahkan antara yang muhkamat dan mutasytabi- bat; manthiig dan mafbtim; muthlag dan mugayyad; antara haqiqat dan majaz; antara sharih dan kindyah; antara amar wujub dan bukan wujitb, nahi tabrim dan bukan tabrim; dan hal lain-lain yang berkenaan dengan bahasa Al-Qur’an. Pengetahuan yang berkaitan dengan dan menunjang kepa- da pengetahuan terhadap Al-Qur’an yang harus diketahui oleh setiap mujtahid adalah ilmu asbab al-nuzul, yaitu pengetahuan tentang sebab latar belakang turunnya sebuah ayat hukum. Ayat-ayat hukum biasanya diturunkan Allah sebagai jawaban atas suatu kasus yang terjadi, sehingga pemahaman tentang asbabal-nuzul yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat hukum, akan menambah kedalaman pengetahuan akan maksud ayat hukum tersebut. Selanjutnya, pengetahuan akan qirdat (cara membaca) akan menambah kedalaman untuk mengetahui arti dan maksud suatu ayat Al-Qur’an karena dengan adanya perbedaan (aliran) dalam girdat akan menimbulkan perbedaan arti ayat Al-Qur’an dalam keadaan tertentu. Karena itu, pengetahuan tentang qirdat itu akan menambah pemahaman tentang ayat hukum. Selain itu, seorang mujtahid harus mengetahui secara baik tentang nasakh dan mansukh dalam Al-Qur’an, sehingga ia dapat mengetahui tentang ayat hukum dalam Al-Qur’an yang hukumnya telah di-nasakh, meskipun teksnya masih terdapat dalam Al-Qur’an. Juga mengetahui tentang ayat yang me-nasakh-nya. Persyaratan tambahan ini tentunya dikhususkan bagi ulama yang meyakini bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat nasakb dan mansiikh. Ulama yang tidak mengakui adanya nasakh dan mansukh dalam Al-Qur’an tentunya tidak melihat relevansinya persyaratan ini. Memahami Hadis Nabi 295 USHULFIQH JILID 2 296 Seorang mujahid harus mempunyai pengetahuan tentang hadis atau sunah Nabi sebagai sumber kedua hukum Islam. Di antara fungsi hadis adalah sebagai penjelasan terhadap Al-Qur’an. Pemahaman akan hadis tersebut me- liputi keseluruhannya, baik yang gauliyah, fi’liyah maupun taqririyah. Seorang mujtahid harus mengetahui, mana hadis yang ber- daya hukum (sunnah tasyr'iyab) dan yang tidak berdaya hukum (sunnah ghairu tasyri’iyah). Dari sinilah dapat diketahui kandungan hadis yang wajib diikuti dan mana yang tidak wajib diikuti serta mengetahui hadis yang tidak boleh diikuti karena merupakan hak khusus bagi Nabi. Ruang lingkup hadis (sunah) Nabi itu luas sekali, meliputi keseluruhan bidang kehidupan. Tidak mungkin ilmu seorang mujahid menjangkau keseluruhannya. Karena itu para ahli membatasi persyaratan pengetahuan mujtahid mengenai hadis, diutamakan pada hadis yang berkenaan dengan hukum-hukum taklifiyabh yang memungkinkannya untuk menemukan hukum dalam hadis tersebut. Dalam hal ini pun, tidak disyaratkan harus menghafal hadis tersebut di luar kepala, tetapi cukup mengetahui tempatnya yang memung- kinkan untuk merujuknya pada saat diperlukan. Dewasa ini usaha untuk mencari Hadis Nabi telah dipermudah dengan munculnya petunjuk mencari hadis yang disebut “mu’jam”, juga yang disusun melalui program komputer. Pengetahuan seorang mujahid tentang Hadis Nabi ini, juga harus sampai memungkinkan untuk mengetahui dan me- misahkan antara hadis yang mutawatir dengan yang abdd; antara yang shahih, hasan, dan dha‘if. la juga dituntut untuk dapat mengetahui antara hadis yang maqbul (dapat diterima untuk dijadikan dalil hukum) dan yang mardid (ditolak kebenarannya). Persoalan hadis tersebut dapat diketahui melalui pengetahuannya tentang jarh dan ta’dil (kritik hadis). Selanjutnya ia harus mengetahui pula tentang bahasa Arab Bab 3 Ca litihad dan Perkembangannya yang terdapat dalam matan (teks) hadis dan dapat memisah- kan antara yang haqiqat dan mafaz, antara kinayah dengan shdrib, antara yang musytarak dan murédif, antara yang ‘am dan yang khas; antara yang mutlag dan mugayyad; dan lain-lain yang berkenaan dengan bahasa hadis. Seorang mujtahid juga harus mengetahui tentang asbab al-wurdd (peristiwa latar belakang datangnya) hadis-hadis hukum itu yang dapat menambah pengetahuannya tentang hukum yang terkandung di dalam suatu hadis. Karena pada Hadis Nabi juga oleh sebagian ulama diyakini berlaku ndsikh dan mansikh, maka seorang mujahid pun harus mengetahui hadis yang telah di-nasakh dan hadis atau ayat Al-Qur’an yang me-nasakh-nya. Dengan demikian, ia tidak akan berdalil dengan hadis yang jelas telah di-nasakh. Pengetahuan tentang Ijmd’ Ulama Setiap mujtahid harus mempunyai pengetahuan tentang ijma’ ulama. Dengan demikian, ia akan mengetahui kasus atau peristiwa hukum apa saja yang ketentuan hukumnya telah di-ijma’-kan ulama, setidaknya dalam hal-hal yang menyangkut pokok-pokok kewajiban agama dan hal yang harus diketahui setiap muslim secara dhartiri, seperti wa- jibnya shalat, zakat, puasa, dan haji serta kewajiban pokok lainnya. Begitu pula mengenai hal yang secara jelas telah dilarang Allah seperti haramnya zina, makan daging babi, dan lain-lain sebagainya yang merupakan larangan pokok dalam agama yang harus diketahui setiap muslim. Meskipun larangan mengenai hal itu ketentuan hukumnya telah jelas dalam bentuk nash yang ditetapkan Allah, namun formu- lasinya dalam bentuk hukum secara terinci adalah hasil karya ijtihad yang dikukuhkan dengan ijmd’ ulama. Ijma’ ini mempunyai kekuatan yang mengikat dan tidak dapat diingkari. Dalam hampir semua literatur yang membicarakan tentang syarat-syarat mujahid, selalu menyatakan pengetahuan tentang ijmd’ ini sebagai syarat. Di antara alasannya adalah 297 USHUL FIQH JILID 2 298 supaya seorang mujahid tidak menetapkan hukum yang menyalahi apa yang telah ditetapkan ijmd’. Hal ini me- ngandung arti bahwa sesuatu hukum yang telah ditetapkan berdasarkan ijmd’ tidak boleh dibatalkan. Hal ini sesuai dengan pandangan umum dari jumhur ulama yang me- nyatakan bahwa nasikh dan mansikh tidak berlaku dalam ijma’. Memang pernah dinukilkan pendapat beberapa orang ulama termasuk Fakhrul Islam (al-Razi) yang membolehkan berlakunya nasakh pada ima’. Tentunya maksud ijmd’ yang dapat di-nasakb di sini adalah ijma’ yang tidak mempunyai landasan yang kuat dan tidak termasuk yang menyangkut persoalan pokok agama seperti disebutkan di atas. Keharusan seorang mujahid mengetahui ijmd’ di sini menurut pendapat ulama yang tidak membolehkan ber- lakunya nasakh dalam ijmd’, tujuannya adalah supaya hasil ijtihadnya tidak menyalahi apa yang telah diputuskan hukumnya secara ijma’, Bagi ulama yang membolehkan berlakunya nasakh dalam ijmd’, tujuannya adalah supaya seorang mujahid dapat mengetahui alasan hukum para ulama di saat mereka melahirkan ketentuan hukum dengan ijma’ tersebut, sehingga kalau dalam perkembangan waktu dan kondisi tertentu alasan hukum tersebut tidak ditemu- kan lagi, tentu tidak salahnya ulama mujahid yang datang kemudian menetapkan hukum yang tidak sama dengan apa yang sebelumnya telah ditetapkan oleh ijma’. Pengetahuan seorang mujtahid tentang ijma’ juga harus sampai memungkinkan untuk mengetahui hukum-hukum yang mengandung perbedaan pendapat terutama di kalang- an ulama sahabat dan tabi‘in serta dalil-dalil yang me- reka gunakan. Sehubungan dengan persyaratan ini Salam Madzkur menukilkan beberapa pendapat ulama terdahulu. Umpamanya Qatadah mengatakan bahwa orang yang tidak mengetahui perbedaan pendapat ulama berarti ia belum mencium bau fiqh. Hisyam al-Razi mengatakan bahwa orang yang tidak mengetahui perbedaan pendapat ulama ia belum bernama faqih. Bab3 Ce Iitihad dan Perkembangannya Lebih lanjut seseorang mujahid harus mengetahui metode istinbath yang digunakan oleh ulama sebelumnya sehingga ia mampu membedakan antara metode ijtihad yang paling tepat dan yang lebih dekat kepada nash. Menurut Imam al-Syafi‘i bahwa seseorang jangan menghindarkan diri dari mendengar dan memerhatikan pendapat ulama terdahulu yang mungkin berbeda dengannya, karena dengan cara itu ia akan mendapat tambahan pengetahuan. Pengetahuan tentang giyds Qiyas disepakati oleh ulama jumhur sebagai salah satu cara untuk menemukan hukum Allah, Oleh karena itu, setiap yang akan menggali dan menemukan hukum Allah (berijtihad) harus mempunyai pengetahuan tentang qiyds. Ja harus mengetahui metode qiyds serta mengetahui pokok- pokok istinbath yang memungkinkannya membedakan dan memilih hukum yang paling dekat kepada tujuan syara’. Pengetahuan tentang qiyés menyangkut beberapa bidang: 1) Mengetahui hukum-hukum ashal yang ditetapkan nash sehingga dapat menghubungkan suatu kasus baru kepada hukum ashal itu. Juga mengetahui ‘illat dan alasan hukum dan hukum yang ditetapkan nash supaya dapat menetapkan hukum suatu kasus baru yang mengandung ‘illat dan alasan hukum yang sama dengan yang ditetapkan nash. 2) Mengetahui secara baik kaidah-kaidah giyds dan persyaratan penggunaannya, sehingga ia tidak akan menggunakan qiyds dalam ijtihadnya untuk kasus yang tidak mungkin ditetapkan hukumnya berdasarkan qiyas. 3) Mengetahui metode yang digunakan oleh mujahid sahabat dalam menemukan ‘illat hukum dan sifat-sifat yang mereka pandang sebagai asas dalam menetapkan hukum. f. Pengetahuan tentang maksud Syéri’ dalam menetapkan hukum. 299 USHUL FIQH JILID 2 300 Tiadalah Syéri’ (Pembuat Hukum, yaitu Allah) menet apkan hukum tanpa maksud tertentu. Artinya setiap hukum yang ditemukan dalam Al-Qur’an pasti ada tujuannya, meskipun dalam beberapa tempat kita tidak dapat mengetahuinya. Setiap mujtahid harus dapat mengetahui maksud Syéri’ dalam menetapkan suatu hukum, sehingga dengan demikian saat mencari dan menggali hukum melalui ijihad, ia dapat berpedoman kepada tujuan Syari’ tersebut. Secara umum tujuan Sy4ri’ dalam menetapkan hukum adalah untuk kemaslahatan umat, baik dalam bentuk mewujudkan suatu manfaat untuk manusia, maupun dalam bentuk menghindarkan madarat dari manusia. Bila seorang mujahid dalam ijtihadnya tidak menemu- kan petunjuk dalam bentuk nash, maka ia akan menggali untuk menemukan (menetapkan) hukum yang tidak bertentangan dengan maksud umum dari tujuan Sydri’ tersebut. Di samping itu, ia juga harus mengetahui tujuan hukum dari suatu kasus yang sudah ditetapkan dalam nash, schingga ia dapat merentangkan hukum dalam nash itu kepada kasus lain yang mengandung tujuan dan ‘illat hukum yang sama dengan yang terdapat dalam nash. Seorang mujahid juga harus mengetahui kepentingan umat dan kemaslahatan insani yang dianggap oleh Sydri’ sebagai maslahat, karena pengetahuan tentang maslahat insani itu merupakan prinsip pokok dari prinsip pokok lainnya, supaya ia dapat memisahkan antara kemaslahatan yang hakiki dari kemaslahatan hanya semata bersifat dugaan. Seorang mujahid harus mengetahui perbuatan yang mendatangkan maslahat dan yang mendatangkan mudarat. Ia dapat menimbang di antara keduanya dan mendahulukan menolak kemu- daratan ketimbang menarik kemaslahatan. Pengetahuan tentang Ushul Fiqh Bab3 Cb Ijtihad dan Perkembangannya Seorang mujahid harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang ushul figh, karena ilmu ini mempelajari apa-apa yang diperlukan untuk berijtihad. Dengan ilmu ini ia akan mampu mengembalikan furu’ kepada ashal dengan cara yang mudah. Sebaliknya, bila ia kurang menguasai ilmu ushul figh, maka akan menemui kesulitan untuk mengembalikan masalah tersebut dan mungkin keliru. Dalam ilmu ushul figh terdapat petunjuk melakukan ijtihad. Al-Ghazali menyatakan bahwa ilmu ushul figh merupakan satu di antara tiga ilmu yang harus dikuasai setiap mujahid; dua lainnya adalah hadis dan bahasa Arab, Salam Madzkur menukil pendapat al-Razi yang mengatakan bahwa ilmu ushul figh adalah ilmu yang paling penting dimiliki setiap mujahid. Demikianlah syarat-syarat penting yang harus dimiliki se- tiap mujahid yang dapat ditemukan dalam hampir semua literatur yang membicarakan syarat berijtihad. Tidak sep- erti yang dapat ditemukan dalam sebagian literatur ushul figh, dalam buku ini, syarat pengetahuan tentang nasakh dan mansukh tidak dibahas secara terpisah sebagai satu persyaratan tersendiri, tetapi dimasukkan dalam syarat pengetahuan tentang Al-Qur’an dan hadis. Beberapa syarat bagi mujahid yang diperselisihkan ulama, ti- dak disebutkan sebagai syarat dalam buku ini. Di antaranya seperti syarat tentang: a. Pengetahuan tentang ilmu furw’ atau fiqh. Al-Ghazali mencan- tumkan syarat ini untuk orang yang akan berijtihad di masa kini, meskipun tidak diperlukan pada masa sahabat. Menurut Salam Madzkur, di antara ulama yang tidak mempersyaratkan penguasaan ilmu fiqh adalah Abu Ishak al-Asfarini dan Abu Manshur. Pendapat ini memang masuk akal karena ilmu figh merupakan hasil karya ijtihad. Pengetahuan tentang ilmu manthiq, untuk dapat menghasil- kan kesahihan pemahaman dan kebaikan perhitungan. Namun 301 USHULFIQH JILID 2 sebagian ulama tidak mensyaratkannya dengan alasan bahwa kalangan sahabat, tabi’in dan imam-imam mujahid dapat me- lakukan jjtihad padahal pada waktu itu ilmu manthiq itu be- lum populer. Pengetahuan tentang ilmu Ushul al-Din juga ada yang meng- anggapnya sebagai salah satu syarat dalam ijtihad. Ulama Mu’tazilah cenderung kepada pendapat ini. Namun ulama jumhur tidak mensyaratkannya. Al-Amidi dalam hal ini menga- takan bahwa disyaratkannya ilmu ushul al-din adalah untuk yang bersifat dharuriyat seperti tentang adanya Allah dengan segala sifat-Nya, tetapi tidak diperlukan pengetahuan yang mendalam tentang ilmu tersebut. Pembagian dan Jenis Ijtihad Bila kita telusuri literatur ushul figh, maka pembahasan tentang, pembagian dan macam-macam ijtihad, terdapat bentuk pembahasan yang berbeda. Ada yang tidak memisahkan antara keduanya. Namun ada yang membahas kedua masalah itu secara terpisah, masing-ma- sing dibahas tersendiri secara luas dan mendalam. Karena kedua masalah tersebut berkaitan erat, maka dalam buku ini keduanya dibahas dalam satu bahasan. a Pembagian Ijtibad Ada beberapa pendapat ahli ushul mengenai pembagian ijtihad, di antaranya: a 302 Mahdi Fadhl Allah membagi ijtihad menjadi dua bagian: a. Ijtibad muthlaq (SMaa2\ 21), yaitu ijtihad yang melingkupi semua masalah hukum, tidak memilah-milahnya dalam bentuk bagian-bagian masalah hukum tertentu. Atau bisa disebut dengan ijtihad paripurna. Ulama yang mempunyai kemampuan dalam ijtihad muthlaq ini disebut mujtahid muthlaq (gas), yaitu seorang faqih yang mempunyai kemampuan meng-istinbath-kan seluruh bidang hukum dari dalil-dalilnya; atau mempunyai kemampuan meng-is- tinbath-kan hukum dari sumber-sumber hukum yang diakui secara syar‘ dan ‘aqli. Bab3 Ces [itihad dan Perkembangannya b. Ijtibad juz-i (9742!) atau ijtibad parsial. Karya ijtihad seperti ini adalah kajian mendalam tentang bagian tertentu dari hukum dan tidak mendalami bagian yang lain. Pelaku (mujahid)-nya disebut mujabid juz-i (5% +) atau muj- tabid spesialis, yaitu faqih yang mempunyai kemampuan mengistinbathkan sebagian tertentu dari hukum syara’ dari sumbernya yang muktabar tanpa kemampuan meng-istin- bath-kan semua hukum. Imam mujtahid yang empat (Maliki, Syafi‘i, Hanbali dan Ahmad) termasuk kepada bagian pertama (mujahid muth- Jaq) dan kebanyakan myjahid lainnya termasuk bagian yang kedua (mujabid juz-i). 2. Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya, Ushul Fiqh, memba- gi ijtihad dari segi bentuk karya ijtihadnya, kepada dua bagian: a. Ijtibad istinbathi (bL"S\), yaitu kegiatan ijtihad yang berusaha menggali dan menemukan hukum dari dalil-dalil yang telah ditentukan. Ini disebut juga ijtihad yang pari- purna dan secara khusus berlaku di kalangan sekelompok ulama yang berfungsi mencari hukum furu’ yang amaliah dari dalilnya yang terinci. Imam mujahid yang populer itu termasuk dalam kelompok ini. Ijtibad al-istinbathiy ini adalah bentuk asli dari ijtihad itu sedang yang melaksanakannya adalah mujtahid muthlaq atau mujtahid dalam arti sebenarnya. Contoh dalam hal ini umpamanya ijtihad yang dilakukan oleh imam mazhab yang empat yang menghasilkan mazhab empat yang populer. b. Ijtibad tathbiqi (see), yaitu kegiatan ijtihad yang bu- kan untuk menemukan dan menghasilkan hukum, tetapi menerapkan hukum hasil temuan imam mujahid terdahulu kepada kejadian yang muncul kemudian. Masalah hukum dalam kejadian yang muncul kemudian tersebut ditetapkan hukumnya dengan menghubungkannya kepada hukum yang telah ditetapkan imam terdahulu. Dalam hal ini memang tampak ada upaya pengerahan daya ijtihad, namun tidak ag 303 USHULFIQH JILID 2 3. 304 | menghasilkan hukum yang baru atau orisinal serta tidak menggunakan dalil syara’ yang muktabar sebagai bahan rujukan, tetapi hanya merujuk kepada hukum-hukum yang telah ditemukan mujahid terdahulu. Bila pada jjtihad istinbathi disebut ijtihad dalam arti se- benarnya, dilakukan oleh mujtahid muthlaq dengan cara langsung merujuk kepada Al-Qur’an dan hadis dan menng- hasilkan mazhab tersendiri, maka ijtihad tathbigi bukan langsung merujuk kepada nash Al-Qur’an dan sunnah, tetapi kepada pendapat yang sudah dirintis imam mazhab sebelumnya dan dilakukan oleh mujtahid yang selalu mengaitkan dirinya kepada imam mazhab tertentu yang disebut mujtabid fi al-mazhab seperti yang dihasilkan oleh Abu Yusuf dalam mazhab Hanafi, al-Muzani dalam mazhab Syafii, dan Sahnun dalam mazhab Maliki. Menurut Ibn Subki, kegiatan ijtibad tathbiqi (yang menerapkan hasil ijtihad mujahid terdahulu) di atas, terbagi kepada dua: a. Takhrij al-abkam (g&3Shés_3é)yaitu menetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang baru dengan cara meng- hubungkannya kepada hukum yang pernah ditetapkan oleh imam mujahid terdahulu. Dalam kejadian yang baru tersebut ada kesebandingan dengan kejadian yang hukumnya telah ditetapkan oleh imam mujtahid terdahulu. Dalam hal ini pendapat imam mujahid terdahulu direntangkan kepada kejadian yang baru, seolah-olah apa yang baru ditetapkan melalui takhrij al-abkdm tersebut adalah juga pendapat (qaul) imam mujtahid terdahulu, Pendapat hasil perentang- an ini disebut gaulun mukbarrajiin (99), Sedangkan pendapat imam mujtahid (penemunya), disebut qaulun manshushun (\2 92> 3 38). Ijtihad takbriji ini berada dalam lingkup ijtihad mazhab bukan jjtibal muthlaq. Contoh dalam bentuk ini dalam fatwa kontemporer umpamanya apa yang dihasilkan oleh Wahbah al-Zuhaili tentang masalah “siapa yang bertangung jawab membayar ganti rugi atas kendaraan umum yang Bab 3 > ljtihad dan Perkembangannya mengalami kecelakaan yang menyebabkan meninggalnya penumpang kendaraan umum itu. Zuhaili mencari hubun- gannya kepada pendapat mazhab terdahulu yaitu mazhab Hanafi dalam kasus pengembala ternak yang beriringan yang merusak tanaman orang yang memerlukan ganti rugi. Tidak mungkin ganti rugi itu diberatkan kepada pengemudi sendiri, tapi juga kepada pemilik perusahaan atau kepada pemerintah dalam bentuk asuransi. Dalam hal ini, diperlukan upaya untuk membedakan an- tara ketentuan hukum yang ditemukan sendiri oleh imam mujahid dengan ketentuan hukum hasil perentangan dari pendapat (gaul)-nya itu. Dengan adanya usaha takbrij, maka hukum hasil temuan seorang imam mujahid menjadi berkembang di tangan para pengikutnya yang juga melakukan ijtihad. Generasi berikut- nya yang menemukan hukum dalam satu masalah, maka menjadi bervariasi, sehingga kadang-kadang menimbulkan keraguan di kalangan pengikutnya mengenai pendapat mana yang secara praktis patut diikuti. Untuk menghadapi ma- salah inilah, maka diperlukan tarjih sebagai upaya mencari pendapat yang terkuat. b. Tarjih c*' yaitu usaha untuk menemukan kejelasan sebagai pegangan di kemudian hari’ bagi para pengikut seorang imam mujahid dengan memilih dan memilah mana yang terkuat di antara pendapat yang berkembang di an- tara berbagai pendapat ulama mujtahid untuk diikuti dan dijalankan. b. Macam-macam Ijtibad Dalam menetapkan macam-macam ijtihad para ahli membagi ijtihad dengan melihat kepada beberapa titik pandang yang berbeda: 1. Katya ijtihad dilihat dari segi dalil yang dijadikan pedoman, ada tiga macam: a. _Ijtihad baydni (Seal YW), yaitu ijtihad untuk menemukan hukum yang terkadung dalam vash, namun sifatnya zhanni, baik dari segi ketetapannya maupun dari segi penunjuk- a 305 USHUL FIQH JILID 2 306 annya. Lapangan jjtibad bayani ini hanya dalam batas pemahaman terhadap nash dan menguatkan salah satu di antara beberapa pemahaman yang berbeda. Dalam hal ini, hukumnya tersurat dalam nash, namun tidak memberikan penjelasan yang pasti. Ijtihad di sini hanya memberikan penjelasan hukum yang pasti dari dalil zash itu. Umpamanya menetapkan keharusan ber’iddah tiga kali suci terhadap istri yang dicerai dalam keadaan tidak hamil dan pernah dicampuri, berdasarkan firman Allah dalam Al-Qur’an surat al-Bagarah (2): 228: Berg ice 4 et ae (YA 33 il), SSE gL Gai Stabe 5 Istri-istri yang tertalak hendaknya ber‘iddab tiga kali quru’. Dalam ayat itu memang disebutkan batas waktu ‘iddah yaitu tiga kali guru’, namun /afaz quru’ itu memiliki dua pengertian yang berbeda: bisa berarti suci, bisa juga berarti haid. Ijtihad untuk menetapkan pengertian quru’ dengan memahami beberapa petunjuk (qarinah) yang ada disebut ijtibad bayani. Tjtihad qiyasi (g-\@\ale~%), yaitu ijtihad untuk menggali dan menetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash—baik secara gath‘i maupun secara zhanni,—juga tidak ada ijma’ yang telah menetapkan hukumnya. Jjtihad dalam hal ini untuk menetapkan hukum suatu kejadian (peristiwa) dengan meru- juk pada kejadian yang telah ada hukumnya, karena antara dua peristiwa itu ada kesamaan dalam’illat hukumnya. Dalam hal ini, mujahid menetapkan hukum suatu kejadian berdasarkan pada kejadian yang telah ada nash-nya. Ijtihad seperti ini adalah melalui metode qiyds dan istibsan. Dalam ijtihad bentuk pertama (bayéni), hukumnya “tersu- rat” dalam nash tetapi ada ketidakpastian maksudnya, dan ijtihad digunakan untuk mencari kepastian hukumnya itu. Dalam ijtihad bentuk kedua ini (qiydsi), hukumnya memang tidak “tersurat”, tetapi “tersirat” dalam dalil yang ada. Untuk mencari hukum di balik yang “tersirat” diperlukan

Anda mungkin juga menyukai