BAB II
TUJUAN UMUM PEMBINAAN
HUKUM ISLAM
(MAQASHID AL-SYARI’AH )
A. Pengertian Magashid al-Syari’ah:
Magashid al-Syariah terdiri dari dua kata yaitu maqashid dan
al-syari’ah yang hubungan antara satu dan lainnya dalam bentuk
mudbaf dan mudhafun ilaih. Kata magashid adalah jamak dari kata
magshad yang artinya adalah maksud dan tujuan. Kata syariah yang
sejatinya berarti hukum Allah, baik yang ditetapkan sendiri oleh
Allah, maupun ditetapkan Nabi sebagai penjelasan atas hukum yang
ditetapkan Allah atau dihasilkan oleh mujtahid berdasarkan apa
yang ditetapkan oleh Allah atau dijelaskan oleh Nabi. Karena yang
dihubungkan kepada kata syari’at itu adalah kata “maksud”, maka
kata syari’ah berarti pembuat hukum atau syari’, bukan hukum itu
sendiri. Dengan demikian, kata magashid al-syari’ah berarti: apa
yang dimaksud oleh Allah dalam menetapkan hukum, apa yang
dituju Allah dalam menetapkan hukum atau apa yang ingin dicapai
oleh Allah dalam menetapkan suatu hukum.
Dalam kajian ilmu ushul fiqh ditemukan pula kata al-hikmah
(bukan hikmah yang sudah menjadi bahasa Indonesia) yang diarti-
kan pS apts gy Bdqeaiell AWI (tujuan yang dimaksud Allah dalam
penetapan suatu hukum). Dengan demikian, maqashid al-syari’ah
itu mengandung arti yang sama dengan kata hikmah.
B. Al-Mashlahah sebagai Maqashid al-Syari’ah
Adapun yang menjadi tujuan Allah dalam menetapkan hukum
itu adalah al-mashlahah atau maslahat yaitu untuk memberikan
kemaslahatan kepada umat manusia dalam kehidpannya di dunia,USHUL FIQH JILID 2
maupun dalam persiapannya menghadapi kehidupan akhirat. Dengan
demikan magashid syari’ah itu adalah mashlabab itu sendiri. Atau
magashid syariah adalah mashlabah. Maksud Allah untuk kemasla-
hatan atau untuk memaslahatkan umat itu dapat dilihat dalam firman
Allah dalam Al-Qur’an surat al-Anbiyaa’ ayat 107 yang bunyinya:
Legh B25 Sy acess
Kami tidak mengutusmu ya Muhammad, kecuali untuk rahmat
bagi seisi alam.
Yang dimaksud dengan rahmat di sini adalah maslahat itu
sendiri.
Al-mashlahah secara etimologi berarti sesuatu yang baik, di-
rasakan lezat, oleh karenanya menimbulkan kesenangan dan ke-
puasan serta diterima oleh akal yang sehat. Kamus Besar Bahasa
Indonesia mengartikan maslahat itu dengan sesuatu yang mendatang-
kan kebaikan. Dalam memberikan definisi kepada kata maslahat itu
terdapat rumusan yang berbeda. Semula imam al-Gazali mengarti-
kan al-maslahat itu dengan: 8yas abs gf dade Clr ys fell BOLE 568
(menurut asalnya mendatangkan manfaat atau menolak mudarat).
Atau secara ringkas disebut: §ae > gf iadze Ube (apa-apa yang men-
datangkan manfaat atau menolak mudbarat). Arti yang sederhana
itulah yang semula digunakan oleh Imam Gazali. Namun karena
“mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudarat” itu merupa-
kan maksud atau keinginan manusia, bukan maksud Allah, sedang-
kan maslahat itu adalah maksud dari Allah yang membuat hukum,
maka al-Gazali membuat rumusan baru yaitu: ¢ “I! 2paie dle Uablnsdt
(memelibara tujuan syara’), sedangkan tujuan syara’ sehubungan
dengan hambanya adalah menjaga agama, jiwa, akal, keturunan
dan harta. Tujuan yang lima itulah yang popular dengan sebutan
Lnaodl Sgo%l (prinsip yang lima).
Segala tindak perbuatan manusia yang menyebabkan terwujud
dan terpeliharanya lima prinsip tersebut dinyatakan perbuatan itu
adalah bermanfaat. Segala bentuk tindakan manusia yang menye-
babkan tidak terwujudnya atau rusaknya salah satu prinsip yang
lima yang merupakan tujuan Allah tersebut, perbuatan itu adalah
232 @Bab 2 > Tujuan Umum Pembinaan Hukum Islam
madarat atau merusak. Segala usaha yang dapat menghindarkan
atau dapat menyelamatkan atau menjaga madarat atau kerusakan
itu, disebut usaha yang baik atau mashlahah. Itulah sebabnya secara
sederhana maslahat itu diartikan dengan mendatangkan manfaat dan
menghindarkan madarat.
C. Pembagian Mashlahah
Dari uraian tentang maslahat disebutkan di atas, maslahat itu
dapat dibagi dengan melihat kepada beberapa segi. Dari segi tujuan
yang hendak dicapai maslahat itu terbagi dua:
a.
Mendatangkan manfaat kepada umat manusia (ded Cle),
baik bermanfaat untuk hidup di dunia, maupun manfaat un-
tuk kehidupan di akhirat. Manfaat itu ada yang langsung da-
pat dirasakan seperti orang yang sedang kehausan diberi mi-
numan segar. Ada pula yang manfaat itu dirasakan kemudian
sedang pada awalnya bahkan dirasakan sebagai yang tidak me-
nyenangkan. Umpamanya pemberian obat kina kepada orang
yang sedang sakit malaria.
Menghindarkan kemudaratan (8 dae 2), baik dalam kehidupan
di dunia, maupun untuk kehidupan akhirat. Mudarat itu ada
yang langsung dapat dirasakan waktu melakukan perbuatan
seperti minum khamar yang langsung teler. Ada pula mudarat
atau kerusakan itu dirasakaan kemudian, sedangkan sebelum-
nya tidak dirasakan mudaratnya, bahkan dirasakan enaknya
seperti berzina dengan pelacur yang berpenyakit kelamin.
Dari segi apa yang menjadi sasaran atau ruang lingkup yang
dipelihara dalam penetapan hukum itu, maslahat dibagi menjadi
lima yaitu:
a.
Memelihara agama atau keberagamaan (cp! Sea>),
Manusia sebagai makhluk Allah harus percaya kepada Allah
yang menciptakannya, menjaga, dan mengatur kehidupannya.
Agama atau keberagamaan itu merupakan hal vital bagi kehi-
dupan manusia oleh karenanya harus dipelihara dengan dua
cara: pertama: mewujudkannya serta selalu meningkatkan
kualitas keberadaannya. Segala tindakan yang membawa kepa-
233USHUL FIQH JILID 2
da terwujud atau lebih sempurnanya agama itu pada diri seseo-
rang disebut tindakan yang mashlahat. Oleh karena itu ditemu-
kan dalam Al-Qur’an suruhan Allah untuk mengujudkan dan
menyempurnakan agama itu, dalam rangka jalbu manfa’atin,
di antaranya ie surat al-Hujurat ayat 15 yang bunyinya: ...
be Be ee en gate
edly al Ignals all = gue ed] Les}
Sesunggubnye orang yang beriman itu adalah orang yang percaya
kepada Allah dan percaya kepada rasul-Nya kemudian mereka
tidak ragu-ragu.
Dan pada surat al-Hadid ayat 28:
z
Algey Lyteleg iT ili gore Gal Ce
Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah
dan percayalah kepada rasul-Nya.
Di samping itu, ditemukan pula dalam Al-Qur’an ayat-ayat
yang melarang segala usaha yang menghilangkan atau merusak
agama itu dalam rangka daf’u madharratin. Allah menyuruh
memerangi orang yang tidak beragama dalam firman-Nya su-
rat at-'laubah ayat 29:
eM sdb hl AY alll bs
Perangilah orang-orang yang tidak percaya kepada Allah dan
tidak percaya kepada hari akbir,
Terhadap orang yang mengganti agamanya Allah mengancam
dalam surat al-Baqarah ayat 217:
2. Ge tye ee
5V5 AT 3 wees ths
Barang siapa di antaramu menggganti agamanya dia sudah kafir
maka tertutuplah amalannya di dunia dan akbirat).
Sedangkan ancaman di dunia terdapat dalam Hadis Nabi yang
bunyinya: 01318 ays Juy ye (barang siapa mengganti agamma-
nya, bunuhlah)
234 aBab 2 a> Tujuan Umum Pembinaan Hukum Islam
b. Memelihara jiwa atau diri atau kehidupan (was! Led>),
Kehidupan atau jiwa itu merupakan pokok dari segalanya kare-
na segalanya di dunia ini bertumpu pada jiwa. Oleh karena itu,
jiwa itu harus dipelihara eksistensi dan ditingkatkan kualitas-
nya dalam rangka jalbu manfaatin Dalam Al-Qur’an ditemu-
kan ayat-ayat yang menyuruh melihara jiwa dan kehidupan itu.
Di antaranya surat at-Tabrim ayat 6:
adn sSshokmbkobhs
Pelibaralah dirimu dan pelibara pula keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.
Disamping itu, ditemukan pula ayat-ayat Al-Qur’an yang me-
larang manusia, dalam rangka daf’ul mafsadah, untuk merusak
diri sendiri atau orang lain atau menjatuhkan diri dalam keru-
sakan karena yang demikian adalah berlawanan dengan kewa-
jiban memelihara diri. Dalam hal merusak dirinya terdapat la-
rangan Allah umpamanya firman Allah dalam surat al-Baqarah
ayat 195 yang bunyinya:
eo
A J Xuab Lab SG
Janganlah kamu jatubkan dirimu ke dalam kebinasaan.
Terdapat ‘pula larangan Allah dalam hal pembunuhan di an-
taranya terdapat dalam surat al-An’am ayat 151:
wee Geoge mate een
SIL aS Sm AST es Ni;
Janganlah kamu membunub jiwa yang dipelihara Allah kecuali
secara hak.
Dalam menguatkan larangan ini Allah menetapkan ancaman
akhirat dalam firman-Nya dalam surat an-Nisaa ayat 93:
| 4s 5 op
Age 205l jad dante Ce be Uw ya
Barangsiapa yang membunuh jiwa secara sengaja, ancamannya
adalah neraka jahanam.USHULFIQH JILID 2
236
Dan ancaman di dunia dalam bentuk qisas dalam surat al-Baqa-
rah ayat 178:
nae er e teg hee, Cb
Bil gg taal Ket
Disyariatkan kepadamu qisas terhadap korban terbunuh.
Memelihara akal (jaw! bes).
Akal merupakan unsur yang sangat penting bagi kehidupan
manusia karena akal itulah yang membedakan hakikat manusia
dari makhluk Allah lainnya. Oleh karena itu, Allah menyuruh
manusia untuk selalu memeliharanya. Segala bentuk tindak-
an yang membawa kepada wujud dan sempurnanya akal itu
adalah perbuatan baik atau maslahat dalam rangka jalbu man-
fa’ah. Salah satu bentuk meningkatkan kualitas akal itu ada-
lah menuntut ilmu atau belajar. Ditemukan dalam Al-Qur’an
isyarat dari Allah yang mendorong manusia manuntut ilmu. Di
antanya adalah firman-Nya dalam surat al-Mujadilah ayat 11:
coe atte ek tae) age oe
gS abalT Ty) Gals Re Lake Gell il Ss
Allah meningkatkan orang-orang beriman di antaramu dan
orang-orang yang berilmu beberapa derajat).
Firman Allah ini dikuatkan Nabi dengan sabdanya:
Dabens 9 pliner JS gle Hard gall cll (menuntut ilmu itu adalah
kewajiban setiap laki-laki dan perempuan) disambung dengan
sabda Nabi: dot J} Agel! gy ela Ngelbt (tuntutlah ilmu dari
ayunan sampai liang kubur). Dalam rangka daf’u madharrah
Allah melarang segala usaha yang menyebabkan kerusakan
dan menurunnya fungsi akal, seperti meminum minuman yang
memabukkan. Larangan Allah meminum khamar dijelaskan
dalam Al-Qur’an surat al-Maaidah ayat 90:
J Ss Gt ING Se ecell 21
age bikut
.. sesunggubnya meminum khamar, berjudi, berhala, danBab 2 Ce. Tujuan Umum Pembinaan Hukum Islam
bertenung adalah suatu yang keji dari perbuatan setan, oleh
karena itu jaubilab ...
Adapun ancaman di dunia terhadap minum khamar itu ditetap-
kan melalui Hadis Nabi yaitu 40 kali dera yang kemudian di-
tambah oleh khalifah Umar menjadi 80 kali dera.
Memelihara keturunan (JJ! bé>)
Yang dimaksud dengan keturunan di sini adalah keturunan da-
lam lembaga keluarga. Keturunan. merupakan gharizah atau
insting bagi seluruh makhluk hidup, yang dengan keturunan
itu berlangsunglah pelanjutan kehidupan manusia. Adapun
yang dimaksud dengan pelanjutan jenis manusia di sini adalah
pelanjutan jenis manusia dalam keluarga, sedangkan yang di-
maksud dengan keluarga di sini adalah keluarga yang dihasil-
kan melalui perkawinan yang sah, Untuk memelihara keluarga
yang sahih itu Allah menghendaki manusia itu melakukan per-
kawinan. Perintah Allah dalam rangka jalbu manfa’at untuk
melakukan perkawinan itu banyak terdapat dalam Al-Qur’an
di antaranya pada surat an-Nuur ayat 32:
a oo 3 At pee
Ue Se Geely thes Ln 1 aSol5
... Rawinkanlah orang-orang yang membujang di antara kamu
dan orang-orang yang baik di antara hamba-hambamu ....
Firman Allah yang menyuruh melangsungkan perkawin-
an itu ditambah dan diperluas melalui Hadis Nabi di anta-
ranya hadis dari Abdullah bin Masud, muttafaq alaih:
es TAD Sold! Kae Ellas oye ltl! tae “Wahai para pemuda
barang siapa di antara kamu sudah mempunyai kemampuan
untuk kawin laksanakanlah.”
Dalam hadis lain dari Anas yang diriwayatkan oleh Ahmad nabi
bersabda: Mabdll egy Al @Sy SLs gid rghelt agogltl Igrgy (“Nika-
hilah perempuan-perempuan yang subur dan berpotensi ban-
yak anak. Saya bangga diakhirat dengan mempunyai banyak
umat”). Dalam rangka daf’u mafsadah Islam melarang hidup
membujang sebagaimana terdapat dalam Hadis Nabi dari Anas
menurut riwayat Ahmad yang mengatakan Nabi sangat mela-
237USHULFIQH JILID 2
238
rang hidup membujang (Js4!), Allah melarang memperoleh
keturunan diluar pernikahan yang disebut zina, sebagaimana
terdapat dalam surat al-Israa® ayat 32:
- Be
be
Ste oe “
5 Roed OF v5) GTI 3585 Vy
«. janganlah kamu berzina karena zina adalah perbuatan keji
dan merupakan langkah yang buruk.
‘
ay
Larangan ini diperkuat dengan ancaman-Nya pada surat an-
Nuur ayat 3:
ore rt ee abe toe ae tae
Bae BL LS og SS Iya B Ghyls ant iI
.. pezina laki-laki dan pezina perempuan deralah keduanya
seratus kali dera...
Memelihara harta (Ste! a>)
Harta merupakan suatu yang sangat dibutuhkan manusia ka-
rena tanpa harta (makan) manusia tidak mungkin bertahan
hidup. Oleh karena itu, dalam rangka jalbu manfa’ah Allah
menyuruh mewujudkan dan memelihara harta itu. Allah me-
nyuruh manusia berusaha mendapatkan harta itu, di antanya
dalam surat al-Jumu’ah ayat 10:
No a en
1935515 (25! 3 ly Bos
... bila kamu telah melaksanakan shalat bertebaranlah di atas
muka bumi dan carillah rezeki Allah.
Sebaliknya dalam rangka daf’u madharrab Allah melarang me-
rusak harta dan mengambil harta (orang lain) secara tidak hak.
Larangan Allah mengambil harta orang lain secara tidak hak
terdapat dalam surat an-Nisaa’ ayat 29.
be of
htt OSIM path hast SoBab 2 Ce» Tujuan Umum Pembinaan Hukum Islam
+» janganlah kamu memakan harta sesamamu secara batil,
kecuali yang terjadi dalam transaksi secara suka sama suka ...
Mengambil harta orang lain dengan cara mencuri dilarang
Allah dengan ancaman yang berat dalam firmannya pada surat
al-Maaidah ayat 38:
Login (gabe 38,L G Lest
+» pencuri laki-laki dan perempuan potonglah tangan-tangan
keduanya ...
Lima hal dijelaskan di atas merupakan pokok dari maqashid
syari’ah, Disusun menurut cara peringkat berdasarkan kepentingan,
dalam arti yang disebutkan lebih dahulu lebih penting dari pada yang
disebutkan sesudahnya. Urut peringkat ini mengandung arti bila
terjadi perbenturan kepentingan, maka yang didahulukan adalah
urut yang lebih atas. Umapamanya seorang perempuan diperkosa
dengan ancaman mati. Terdapat perbenturan antara memelihara jiwa
dengan memelihara kehormatan atau nas/. Dalam hal ini, didahulu-
kan kepentingan memelihara nyawa. Dengan demikian, perempuan
yang diperkosa itu yang nyatanya adalah zina, namun tidak berdosa
karena memelihara nyawanya.
Lima hal yang disebutkan di atas oleh al-Gazali disebutkan se-
bagai lima maqashid syari’ah. Namun al-Gazali tidak menjelaskan
dalam bukunya kenapa lima dan yang lima itu adalah seperti yang
disebutkan di atas. Kita hanya dapat mengira bahwa kehidupan diten-
tukan oleh jiwa atau nyawa. Untuk ketahanannya diperlukan harta
dan untuk keberlanjutannya diperlukan keturunan. Untuk keleng-
kapannya diperlukan akal dan untuk kesempurnaannya diperlukan
agama. Pelanggaran terhadap lima hal pokok ini dinyatakan sebagai
dosa besar yang diancam dengan ancaman hudud-qishash. Namun
karena hudud-qishash itu juga mengenai gazhaf, maka ada ulama
yang menambahkan satu lagi yaitu pemeliharaan terhadap harga diri
(V2! ba), Karena tidak menginginkan penambahan angka 5 maka
memelihara harga diri itu digabungkan dengan memelihara nasi.
Dari segi tingkat kepentingan memeliharanya, maslahat dalam
lima lingkup yang masing-masing dalam dua tujuan tersebut di atas
gi 239USHULFIQH JILID 2
itu terbagi kepada tiga tingkat sebagai berikut:
a.
Tingkat primer (Olga!) yaitu sesuatu yang sangat perlu di-
pelihara atau diperhatikan seandainya tidak atau terabaikan
membawa kepada tidak ada atau tidak berartinya kehidupan.
Contoh dalam bidang agama dalam bentuk jalbu manfa’at
umpamanya memelihara agama atau keberagaman itu sendiri.
Untuk daf’ mafsadat umpamanya menghindarkan murtad.
Tingkat sekunder (Otebs!) yaitu sesuatu kebutuhan untuk
memeliharanya, namun bila tidak dipelihara tidak membawa
pada hancurnya kehidupan, tetapi hanya menimbulkan kesulit-
an atau kekurangan dalam melaksanakannya. Dalam bidang
agama dalam rangka jalbu manfaat umpamanya mempelajari
agama di sekolah untuk dapat menjalankan agama itu secara
baik. Tanpa bersekolahpun tidak akan hilang agama itu, na-
mun mengalami kesulitan dalam menjalankan agama. Contoh
dalam daf’u madharat umpamanya mengolok-olok agama.
Tindakan seperti ini tidak akan menghilangkan agama, namun
dalam jangka jauh kalau tidak diantisipasi juga dapat meng-
hancurkan agama itu sendiri.
Tingkat tertier (Claud!) yaitu sesuatu yang sebaiknya dilaku-
kan untuk jalbu manfaat dan sebaiknya ditinggalkan untuk
daf’u madarratin. Artinya kalau ditinggalkan dalam bidang
agama umpamanya, tidak akan menghancurkan agama dan
juga tidak mengurangi keberagamaan itu. Namun lebih baik
dilakukan. Umpamanya belajar agama di perguruan tinggi.
Tiga tingkat disebutkan di atas juga merupakan urut peringkat
kepentingan. Adanya peringkat ini mengandung arti bila terjadi
perbenturan kepentingan artinya bila terjadi perbenturan tingkat
daruri dengan tingkat haji, diutamakan tingkat daruri. Umpamanya
dokter laki-laki melihat aurat pasiennya yang perempuan dalam ope-
rasi kelahiran. Melihat aurat adalah terlarang dalam tingkat haaji,
sedangkan operasi dalam menyelamatkan nyawa adalah disuruh
dalam tingkat daruri.
Dari segi hubungannya dengan nash syara’ maslahat itu terbagi
tiga yaitu:
240Bab 2 Ce» Tujuan Umum Pembinaan Hukum Islam
Maslahat yang terkendali (3,20)! dLesd!), yaitu sesuatu yang
menurut perhitungan akal adalah baik dan mashlahab dan da-
lam pertimbangan syara’ juga baik, diperhatikan dan didukung
oleh syara’. Maslahat dalam bentuk inilah yang dinamai masla-
hat terkendali artinya maslahat yang ditetapkan oleh akal dan
dikendalikan oleh nash syara’. Perhatian atau dukungan syara’
itu ada dalam dua bentuk, yaitu:
1. Dukungan langsung dalam arti nash atau ijma secara
langsung menetapkannya untuk diperhatikan. Umpamanya
tindakan pemerintah memperlakukan keadilan di tengah
umatnya adalah baik dan maslahat. Ditemukan pula be-
berapa ayat yang menyuruh berlaku adil. Maslahat dalam
bentuk ini disebut al-muatstsirah.
2) Perhatian atau dukungan tidak langsung, dalam arti memang
tidak ada nash atau ijma’ yang memerhatikan atau men-
dukung maslahat yang didasarkan kepada akal itu, tetapi
nash atau syara’ ada memberikan perhatian dan dukungan
kepada hal lain yang sejenis dengan itu. Umpamanya per-
buatan baik umat kepada pemerintahnya secara langsung
tidak ditemukan dalam nash, namun terhadap yang sama
dengan itu ada terdapat dalam nash yaitu perintah Allah
kepada umat untuk berbuat baik kepada ibu-bapaknya.
Maslahat dalam bentuk ini disebut mulaimah.
Maslahat yang tertolak (Aue)! dLeclt) yaitu sesuatu yang me-
nurut pertimbangan akal adalah maslahat, namun nash syara’
menolak atau tidak memerhatikannya. Umpamanya menurut
pertimbangan akal membagi rata harta warisan secara sama an-
tara anak Jaki-laki dengan anak perempuan dinilai akal sebagai
maslahat atau pantas untuk waktu yang sudah maju ini, namun
nash syara’ menetapkan pembagian secara berimbang yaitu dua
banding, satu. Artinya maslahat ditolak oleh nash syara’.
Mashlabat bebas (Ale yoS\ dLoos'!), yaitu sesuatu yang menurut
pertimbangan akal adalah mashlahat, namun tidak ada perha-
tian dan dukungan dari nash syara’ dan juga tidak ada perla-
wanan atau penolakan dari mash syara’. Karena hanya didasar-
241USHUL FIQH JILID 2
kan kepada akal semata, dan maslahat itu berarti akal, maka
mashlabat mursaalah ini dapat disebut akal bebas.
Dalam penerimaannya oleh ulama untuk dijadikan sebagai dalil
hukum, ulama sepakat menerima maslabat mu’tabarah dan mereka
juga sepakat menolak mashlahah al-mulghah. Dalam penerimaan
masblabah al-Mursalah terjadi beda pendapat di kalangan ahli ushul
figh. Mayoritas ulama ushul menolaknya karena tidak mendapat
perhatian dari syara’ dalam bentuk apa pun. Hanya sebagian kecil
ulama Malikiyah yang menerima maslahat ini sebagai hujjah syari’ah.
Bahkan Ibnu al-Hajib tokoh sentral mazhab Maliki mengatakan
mashlahat mursalah itu tidak punya dasar hukum dan oleh karena
itu harus ditolak.
Dasar penolakan mayoritas ulama terhadap mashlahat di luar
kendali syara’ itu adalah karena ketidakpastian dan sifat relatif dari
maslahat tersebut. Akal hanya dapat menentukan maslahat untuk
sesuatu yang bersifat umum, seperti maslahatnya tindakan memeli-
hara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta tersebut di atas, namun
dalam hal-hal yang bersifat khusus dan yang sulit, akal tanpa kendali
syara’ tidak dapat memberikan kepastian. Ulama tradisional hanya
mampu mengantisipasinya dengan cara membuat perbandingan an-
tara manfaat dan mudarat. Hampir semua hal tidak ada yang murni
manfaat dan murni mudarat. Keduanya terdapat dalam suatu kasus.
Apakah kasus itu bermanfaat atau mudarat tergantung pada mana
yang dominan di antara keduanya. Hal ini sesuai dengan firman
Allah berkenaan dengan khamar yang mengatakan dalam surat
al-Baqarah ayat 219:
Mereka bertanya kepadamu ya Muhammad tentang khamar dan
judi. Katakanlah kepada mereka khamar dan judi itu dosa besar
dan bermanfaat untuk manusia, dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya ...
Dari kenyataan ini ulama menetapkan kaidah:
242 aBab 2 (e> Tujuan Umum Pembinaan Hukum Islam
el7dl AE apd! 9 Sood ease 131 (bila bercampur yang halal de-
ngan yang haram yang diperhatikan adalah yang haram).
Dalam hal terjadi perbenturan antara maslahat orang banyak
atau umum dengan maslahat orang seorang atau khusus maka yang
diperhatikan adalah maslahat umum atau orang banyak sebagaima-
na ditetapkan dalam kaidah: Aol! dowel! le dois dala! doo,
Korupsi umpamanya, bagi koruptor adalah baik dan bermanfaat
sedangkan bagi masyarakat sebagai orang banyak adalah jahat
dan merusak. Dalam hal ini diambillah pandangan orang banyak.
Namun bila terjadi perbenturan antara kepentingan atau maslahat
umum atau orang banyak dengan maslahat umum, umpamanya
pemerintah Indosesia mengimpor beras, kelihatannya ulama ushul
belum mempunyai kaidah untuk menjawabnya. Bagi pegawai negeri
yang selalu membeli beras akan mengatakan tindakan pemerintah itu
ada bermanfaat, sedangkan bagi petani padi kebijakan pemerintah
itu adalah mudarat, bukan mashlahat. Di sinilah letak sifat relatifnya
sehingga akal tidak mampu mengambil keputusan yang disepakati
secara umum.
D. Maslahat sebagai Tujuan Penetapan Hukum
Bila diteliti secara cermat akan diketahui bahwa setiap titah
Allah dalam Al-Qur’an mengandung maksud tertentu yaitu untuk
mendatangkan kemaslahatan untuk umat manusia. ‘Tujuan kemasla-
hatan itu kadang-kadang mudah diketahui karena disebutkan Allah
dalam titahnya yang mengandung hukum itu, Kadang-kadang sulit
diketahui. Firman Allah dalam surat al-‘Ankabut ayat 45:
ly Aasall_. ¢ (a5 ales Sy
Sesunggubnya shalat itu dapat mencegah kekejian dan kemungkaran.
Yang disebutkan sesudah perintah mengerjakan shalat mengandung
arti tujuan perintah shalat itu adalah untuk menghidarkan kekejian
dan kemungkaran. Firman Allah dalam surat al-Maaidab ayat 91:
sali (Xi Gy! of HEMT As Gy
gi 243
QZ)USHUL FIQH JILID 2
ACLG 25 Pn 2 fe, ee ee
Bsbeall £5 AUIS oS Sarg pete lg Hl
Sesunggubnya setan menginginkan timbulnya permusuban dan
kebencian di antara kamu disebabkan oleh khamar dan judi itu
dan menghalangi dari mengingat Allah dan shalat.
Sesudah aa meminum khamar dalam surat al-Maaidah ayat 90:
Ot sy NG Sta B25 ET Sy
coge aR
ogee biel ee
Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk |
perbuatan syaitan, maka jauhilah ...
Dapat dipahami bahwa tujuan Allah mengharamkan khamar ada-
lah agar tidak menimbulkan kebencian dan permusuhan dan tidak
melalaikan shalat.
Segala suruhan yang terdapat dalam Al-Qur’an menunjukkan
perbuatan itu adalah baik dan bermanfaat. Sebaliknya segala apa
yang dilarang Allah mengerjakannya ternyata memang perbuatan itu
adalah buruk atau merusak. Segala perbuatan yang baik itu nyatanya
disuruh Allah kita melakukanya dan semua perbuatan yang buruk
dan merusak itu nyatanya dilarang Allah kita mengerjakannya. Tidak
ada hukum Allah yang sia-sia tanpa tujuan. Hal ini sudah disepakati
oleh ulama. Di samping itu, ditemukan pula kenyataan bahwa tidak
semua yang disuruh Allah itu ada dirasakan baik dan manfaatnya.
Umpamanya suruhan Allah berjalan dan berlari antara Bukit Shafa
dan Marwa waktu sa’i sama sekali tidak dirasakan manfaatnya.
Dalam larangan agama dalam beberapa hal tidak ditemukan muda-
ratnya umpamanya larangan Nabi memakai emas dan sutra untuk
laki-laki. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tujuan Allah
menetapkan hukum, utamanya adalah mendatangkan maslahat un-
tuk manusia sedangkan tambahan dari itu yang merupakan tujuan
sampingan adalah untuk menguji umat apakah mereka mematuhi
perintah atau larangan Allah atau tidak yang biasa disebut tujuan
244 EaBab 2 a> Tujuan Umum Pembinaan Hukum Islam
ta’abbudi, Namun ulama berbeda pendapat tentang apakah maslahat
itu yang menyebabkan atau mendorong atau memotivasi Allah untuk
mendatangkan hukum itu. Dalam hal ini terdapat dua kelompok
ulama yang berbeda pendapat:
Pertama, ulama yang berpegang pada prinsip bahwa perbuatan
Allah itu tidak terikat kepada apa dan siapa pun (yang dianut oleh
ulama kalam al-Asy’ariyah). Menurut mereka Allah berbuat sekehen-
daknya sesuai dengan kehendak, kodrat dan iradat-Nya, sebagaimana
yang difirmankan-Nya dalam Al-Qur’an surat Hud ayat 107:
BAW Ie 45 4
Sesunggubnya Tuhanmu berbuat sesuai dengan yang diingin-
kan-Nya).
Menurut golongan ulama ini bukan untuk mendatangkan ke-
maslahatan umat itu Allah menetapkan hukum. Jadi tujuan Allah
dalam menetapkan hukum bukan untuk kemaslahatan umat itu,
meskipun hukum-hukum yang ditetapkan Allah itu tidak satu pun
yang luput dari kemaslahatan umat.
Kedua, ulama yang berpegang pada prinsip keadilan dan kasih
sayang Allah pada hambanya (yang dianut oleh ulama kalam
Mvu’tazilah). Menurut kelompok ini memang untuk mendatangkan
kemaslahatan umat itulah Allah menetapkan hukum, dalam arti
maslahat itu yang mendorong atau menyebabkan Allah menetapkan
hukum syara’.
Kalau diperhatikan dua pendapat yang kelihatannya berbeda
itu dapat dikatakan bahwa perbedaan pendapat ini hanya berbeda
dalam pengucapannya, namun tidak membawa pengaruh apa-apa
terhadap penetapan hukum itu sendiri, karena semua telah sepakat
bahwa nyatanya tidak ada hukum Allah itu yang sepi dari maslahat.
E, Dasar Timbulnya Pemikiran tentang Magqashid al-
Syari’ah dan Mashlahah
Terma magashid al-syari’ah dan mashlahab ibarat dua sisi mata
uang yang tidak bisa terpisah dalam pembicaraannya. Mana di antara
& 245USHUL FIQH JILID 2
dua kajian itu yang lebih awal datangnya dan siapa yang mengga-
gasnya, selalu tampil dalam wacana. Magashid syari’ah menjadi
lebih populer di tangan Abu Ishak al-Syathibi (wafat tahun 790 H)
dalam bukunya al-Muwafagat fi Ushul al-Syari’ab. Namun tidaklah
berarti al-Syathibi yang menggagas pemikiran magashid al-syari’ah
itu. Dari definisi yang diberikan oleh al-Gazali (wafat tahun 505
H) tersebut di atas kelihatan al-Gazalilah yang merintis kajian ini.
Mungkin pula beliau memperolehnya dari gurunya Abu al-Ma’ali
al-Juwaini yang disebut Imam al-Haramai yang merintisnya, walau-
pun lebih menonjolkan kajian maslahatnya. Adapun istilah maslahat
itu diperkirakan jauh lebih dahulu munculnya.
Timbulnya pemikiran tentang magashid syari’ah dan maslabat
itu dapat diperkirakan beriringan dengan pemikiran tentang dalil
syara’ dan penggunaannya. Kebiasaan mujtahid dalam menghadapi
suatu kasus yang muncul selalu mencari petunjuk dari Al-Qur’an
dari segala seginya. Bila mereka tidak menemukan petunjuk dalam
Al-Qur’an, mereka mencari jawabannya dalam sunnah Nabi dari
segala caranya. Bila tidak menemukan jawabannya dalam sunnah
Nabi dan tidak menemukan pula petunjuk dari dalil-dalil syara’
yang mereka gunakan secara alternatif, mujtahid mencoba mene-
ladani cara yang dilakukan Allah dalam menctapkan hukum, yaitu
dimana ditemukan maslahat disitu berlaku hukum Allah. Artinya
pada saat tidak menemukan dalil syara’ yang muktabar, namun di
situ ada mudaratnya, maka mujtahid menetapkan hukum larangan
sebagaimana Allah melarang setiap yang memberi mudarat. Begitu
pula bila suatu tindakan diyakini baik dan mengandung maslahat,
di situ mujtahid menetapkan suruhan sebagaimana Allah menyuruh
melakukan suatu perbuatan yang baik, baik dalam bentuk wajib
maupun mandub.
E Tujuan mengetahui magashid syari’ah
Hampir setiap ulama dan penulis ushul figh pada waktu mem-
bicarakan magashid syariab membicarakan pula tujuan mengetahui
nagashid syari’ah itu. Dalam memberikan uraian di antaranya agak
berlebihan, termasuk yang tidak jelas tujuannya. Namun tujuan awal-
246 giBab 2 Ce» Tujuan Umum Pembinaan Hukum Islam
nya adalah menemukan sifat-sifat yang sahih yang terdapat dalam
hukum yang ditetapkan dalam nash syara’ untuk disaring menjadi
illat hukum melalui petunjuk masalikul illab, sedangkan tujuan akhir
yang merupakan tujuan utamanya adalah ta’lil al-ahkam yang artinya
mencari dan mengetahui i/lat hukum. Adapun tujuan mengetahui
illat hukum itu dapat dipisahkan menjadi tiga kemungkinan yaitu:
Pertama, untuk dapat menetapkan hukum pada suatu kasus yang
padanya terdapat illat hukum, namun belum ada hukum padanya
dengan cara menyamakannya dengan kasus yang sama yang padanya
terdapat pula #lat hukum tersebut dalam arti yang sederhana untuk
kepentingan giyas. Inilah tujuan yang terbanyak dalam penemuan
illat tersebut dan disetujui oleh mayoritas ulama. Ini pun tentunya
berlaku dalam illat yang punya daya jangkau atau illat muta’addiyab.
Kedua, untuk memantapkan diri dalam beramal. Hal ini berlaku
dalam illat yang tidak punya daya rentang yang disebut illat al-qa-
shirah. Seseorang akan mantap dalam melakukan perintah shalat
sewaktu dia tahu bahwa shalat itu adalah zikir, sedangkan zikir
itu adalah menenangkan jiwa. (Al-Qur’an 13/28) bentuk seperti ini
dapat diterima oleh ulama.
Ketiga, untuk menghindari hukum. Artinya menetapkan illat
untuk suatu hukum dengan tujuan menetapkan hukum kebalikannya
sewaktu illat itu tidak terdapat dalam kasus itu. Umpamanya aurat
perempuan adalah selain muka dan telapak tangan yang ditetapkan
melalui Hadis Nabi. Dalam Hadis Nabi itu tidak disebutkan alasan
atau illat-nya. Ada ulama yang mencari-cari illat-nya, yaitu “untuk
membedakan perempun merdeka dari perempuan sahaya. Kalau itu
illat-nya tentu waktu ini yang sudah tidak ada perbudakan tidak
relevan lagi batas aurat yang tersebut dalam Hadis Nabi itu. Contoh
lain seseorang ulama kontemporer menetapkan waktu ini tidak per-
lu lagi melihat bulan untuk mengetahui awal puasa atau hari raya
fitri, meskipun ada perintah yang jelas oleh Nabi untuk melakukan
rukyat. Alasan yang dikemukakan adalah umat pada waktu Nabi
itu tidak mampu melakukan hisab, sedangkan waktu ini keadaan
begitu sudah tidak ada lagi. Tujuan mencari illat akal-akalan seperti
ini tampaknya belum berkenan di hati mayoritas ulama.
@ 247USHUL FIQH JILID 2
G. Cara Mengetahui Maqashid Syariah
Magashid atau maksud adalah sesuatu yang tersembunyi dalam
diri yang bermaksud dan tidak dapat dilihat dari luar. Begitu pula
maksud Allah, terutama yang berkenaan dengan penetapan hukum
adalah sesuatu yang tersembunyi. Oleh karena itu hanya Allah yang
mengetahui maksud-Nya, tidak seorang pun secara meyakini dapat
mengetahui magashid syari’ah itu. Yang telah diucapkan sendiri
oleh Allah dalam nash hukum masih sulit untuk diketahui, apalagi
yang tidak diucapkannya. Yang mungkin dilakukan oleh manusia
hanyalah “mengira” berdasarkan petunjuk yang ada, yang hasilnya
tentu tidak meyakinkan atau zhanni.
Adapn petunjuk yang dapat digunakan untuk mengetahui (men-
gira) itu di antaranya:
a. Penjelasan yang diberikan oleh Nabi, baik secara langsung atau
tidak langsung. Untuk itu seluruh Hadis Nabi berkenaan dengan
penjelasan ayat Al-Qur’an, harus ditelusuri untuk menemukan
kalau ada penjelasan Nabi tentang maksud Allah dalam ayat itu.
b. Melalui asbabun nuzul. Asbabubun nuzul itu ditemukan dalam
uraian mufasir yang merujuk kepada kejadian yang berlaku
pada waktu turunnya suatu ayat. Kesulitan di sini adalah tidak
semua ayat disebutkan asbabun nuzul-nya dan yang disebut-
kan asbabun nuzul itu belum tentu pula disepekati oleh ulama.
c. Melalui penjelasan ulama mufasir atau mujtahid atas peneli-
tian atau pemahamannya terhadap firman Allah yang berkait-
an dengan hukum.
d. Melalui kaidah kebahasaan yang menjelaskan tanda-tanda atau
indikasi yang menjelaskan sebab dan akibat seperti yang dipa-
hami dari tanda untuk ¢a’lil. Umpamanya firman Allah pada
surat at-Taubabh ayat 103:
- ott ei tee the TA
Ce PPO rgd Be hel oe be
Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka ...
Dapat diperkirakan tujuan Allah menetapkan hukum adalah
248 @Bab 2 a> Tujuan Umum Pembinaan Hukum Islam
untuk membersihkan harta dari yang tidak berhak dimiliki mu-
zaki dan menyucikan jiwa muzaki itu sendiri. Dari larangan
Allah meminum khamar pada surat al-Maaidab ayat 90 dapat
diperkirakan bahwa larangan Allah meminum khamar itu ada-
lah menghindarkan kerusakan akal yang wajib dipelihara. Dari
larangan mencuri yang terdapat dalam surat al-Maaidah ayat
38:
Gol babs FUALTERPAL
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah
tangan keduanya.
Dapat diperkirakan tujuan pengharaman pencurian itu adalah
mencuri itu sendiri yang dapat merusak harta dengan petunjuk
terbaca dalam ayat tersebut kata “pencuri.” Dari firman Allah
yang melarang memakan babi kita tidak dapat memperkirakan
tujuan penetapan hukum karena menurut kenyataannya tidak
ada unsur perusakan dalam memakan daging babi itu. Dalam hal
ini kita hanya dapat mengatakan bahwa dalam hal yang demiki-
an Allah menguji kita apakah kita mematuhi larangan atau tidak.
H. Menempatkan Magashid Syari’ah
sebagai [lat Hukum
Dalam bahasan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa tujuan
mengetahui magashid syariah adalah untuk menemukan shifat yang
dapat disaring untuk dijadikan illat. Bukan langsung menjadi illat.
Pertanyaan berikutnya adalah dapatkah magashid syari’ab dijadikan
illat dalam menetapkan hukum. Magashid syari’ah itu mempunyai
arti yang sama dengan hikmab. Hal ini sudah diperbincangkan di ka-
langan ahli ushul fiqh. Mayoritas ulama berpendapat bahwa semata
hikmah (33,70)\ 4S) tidak dapat dijadikan illat hukum. Dengan
demikian jawaban atas pertanyaan di atas ialah magashid syari’ah
semata, sebelum melalui seleksi dengan menggunakan masalik illah
tidak dapat dijadikan illat hukum. Yang dapat menjadi illat hukum
itu adalah sesuatu sifat yang jelas dan terukur (2-2), sedangkan
hikmah itu bukan suatu yang terukur. Umpamanya orang sakit dan
be 249USHUL FIQH JILID 2
dalam perjalanan boleh tidak puasa wajib Ramadhan, tetapi harus
menggantinya di hari lain. Hikmahnya adalah menghindarkan orang
sakit dan dalam perjalanan itu dari masyaqqah atau kesulitan.
Masyaqgqah atau kesulitan itu adalah sesuatu yang tidak terukur.
Bagi seorang atlet umpamanya, berlari 10 km bukan masyaqqah,
sedangkan orang tua renta berjalan 10 meter sudah masyaqqab.
Ulama ushul figh sepakat untuk tidak menjadikan masyaqqah se-
bagai illat hukum bolehnya tidak berpuasa Ramadhan. Katanya ada
ulama yang menempatkannya sebagai illat hukum. Dengan cara itu,
dia membolehkan pekerja berat seperti kuli kasar atau penambang
mengganti puasanya dengan uang (fidiah). Karena pada dua jenis
orang ini terdapat masyaqqah. Kalau boleh menempatkan hikmah
atau magashid syari’ah sebagai illat hukum, yang terjadi bukan
pegembangan atau kemajuan hukum, tetapi adalah kekacauan hu-
kum. Inilah yang dikhawatirkan mayoritas ulama.
I. Menempatkan Magashid Syari’ah sebagai Dalil
Hukum yang Mandiri
Dalil syara’ yang disepakati secara prinsip adalah empat yaitu
Al-Qur’an, Sunnah Nabi, ijma’ ulama dan qiyas. Al-Quir’an dan
Sunnah Nabi jelas tidak tergantung kepada mashlahat atau magashid
syari’ah, sedangkan ijma’ ulama dan giyas memang menggunakan
atau terpengaruh oleh mashlahat atau magashid syari’ab. Sedangkan
dalil syara’ yang lain jelas tergantung kepada mashlahat dan ma-
gashid syari’ab. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa magashid
syariah atau maslahat menjadi dalil pendukung bagi dalil-dalil syara’
yang tidak disepekati itu. Atau sebaliknya dapat dikatakan bahwa
magashid syari’ah adalah dalil syara, namun tidak secara mandiri.
Dalam penempatannya sebagai dalil syara’ yang mandiri masih be-
rada dalam wacana.
Pada umumnya, ulama ushul figh, baik yang klasik maupun
yang kontemporer menempatkannya sebagai dalil pendukung atau
tidak mandiri, sehingga tidak tercatat dalam deretan dalil syara’
dalam literatur. Najmuddin al-Thufi ulama bermazhab Hambali
memelopori pendapat yang menempatkan maslahat itu sebagai dalil
250 |Bab 2 Me> Tujuan Umum Pembinaan Hukum Islam
yang mandiri sejajar dengan dalil-dalil syara’ lainnya. Bahkan tidak
tanggung-tanggung menempatkannya pada peringkat pertama di atas
tempat Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Hal ini mengandung arti bila
zhahir ayat Al-Qur’an tidak sejalan dengan apa yang dikira mash-
lahat, maka zhabir ayat Al-Qur’an itu di-takhshish oleh maslahat
dan demikian pula zhabir ayat Al-Qur’an dapat dijelaskan oleh apa
yang dikira maslahat tersebut.
J. Maslahat sebagai Dalil dalam Menakwil Ayat
Al-Qur’an
Suatu nash syara’ harus dipahami menurut zhahir yang tertulis
dalam nash syara’ itu. Namun dalam keadaan tertentu menemukan
kesulitan dalam memahami nash menurut apa adanya itu, terutama
bila berkenaan dengan masalah akidah. Dalam Al-Qur’an surat al-
Fath ayat 10:
eat O55 ai 43
£
... tangan Allah di atas tangan mereka ...
Kalau firman Allah ini dipahami menurut apa adanya, yaitu
tangan Allah di atas tangan mereka, dikhawatirkan akan terjebak
pada anthrofomormist atau tajsim, sedangkan Allah tidak ada yang
menyamai-Nya. Hal ini dapat membawa kepada syirk. Untuk meng-
hindarkan kekhawatiran ini golongan ulama khalaf membolehkan
menakwilkan ayat itu sehingga dipahami “kekuasaan Allah di atas
kekuasaan mereka.” Menggeser arti kata “tangan” kepada “kekua-
saan” itu disebut ta‘wil. Ta‘wil itu dperbolehkan dengan beberapa_,
syarat di antaranya: harus didukung oleh dalil. Dapatkah mashlahat
atau magqashid syari’ah itu digunakan sebagai dalil dalam me-na‘wil-
kan ayat Al-Qur’an. Hal ini menjadi perbincangan di kalangan ulama.
Contoh me-nakwil-kan nash dengan maslahat umpamanya Hadis
Nabi yang mengatakan: bu Ug>\&b aly O31 pats Yond Cory) La! Lal
(“perempuan yang menikahkan dirinya tanpa izin walinya maka
nikahnya batal”). Hadis Nabi menurut pemahaman zahirnya ini
digunakan oleh ulama Syafi’iyah untuk menetapkan tidak sahnya
perkawinan yang dilakukan oleh perempuan. Ulama Hanafiyah
g@ 251USHULFIQH JILID 2
berpendapat bahwa perempuan yang sudah dewasa boleh menga-
winkan dirinya sendiri. Untuk mendukung pendapat ini “perempuan”
dalam hadis tersebut mesti di-tawil-kan menjadi “perempuan yang
belum dewasa.” Dengan begitu larangan atau hukum tidak sah itu
tidak berlaku untuk perempuan dewasa. Pendapat ini dengan cara
istinbatnya banyak diikuti oleh ulama kontemporer. Dalil yang
digunakan oleh kelompok ini adalah maslahat, yaitu kemajuan, ke-
samaan, kedudukan yang setara dan kebebasan yang sudah diterima
oleh perempuan dalam masa yang sudah maju, tidak layak berada di
bawah perwalian. Masa ini perempuan sudah menempati keduduk-
an yang baik dan memperoleh kebebasan untuk bertindak sendiri
dalam kehidupan modern. Ulama yang tidak membolehkan tawil
sebagaimana sebelumnya dianut oleh mazhab Syafi’i dan ulama yang
tidak membolehkan ¢a’wil dengan menggunakan maslahat sebagai
dalil mandiri, jelas tidak membolehkan tawil tersebut.
Pendapat ulama conservative yang menolak penggunaan masla-
hat sebagai dalil mandiri dan yang menolak takwil dengan dalil
mashlahat patut diapresiasi karena kalau yang demikian dibenarkan
nash-nash Al-Qur’an atau Hadis Nabi akan dipahami semaunya
dan mudah dipelesetkan. Hal ini membawa kepada ketidakpastian
hukum syara’.
252 g@BAB IV
BEBERAPA.METODE JJTIHAD
Telah diterangkan bahwa untuk menemukan dan menetapkan
hukum figh di luar apa yang dijelaskan dalam nash Al-Qur’an dan
hadis, para ahli mengerahkan segenap kemampuan nalarnya yang
disebut ijtihad. Dalam berijtihad, para mujtahid itu merumuskan cara
atau metode yang mereka gunakan dalam berijtihad. Ada beberapa
macam metode ijtihad hasil ramusan mujtahid. Di antaranya ada
metode ijtihad yang merupakan ciri khas (hasil temuan) seorang
mujahid yang berbeda dari (dan tidak digunakan oleh) mujahid
lainnya. Adanya perbedaan metode ijtihad ini berimplikasi pada
munculnya perbedaan antara hasil ijtihad seorang mujahid dengan
yang lainnya. Perbedaan metode tersebut ditentukan oleh jenis pe-
tunjuk dan bentuk pertimbangan yang dipakai oleh masing-masing
mujahid dalam berijtihad.
Di atas telah dijelaskan bahwa metode ijtihad yang lazim dipa-
kai dalam berijtihad adalah “giyas” yang dianggap sebagai metode
ijtihad yang paling tinggi kualitasnya dan digunakan hampir semua
ulama figh. Bahkan Imam al-Syafi‘i mengatakan dalam kitab stan-
darnya yang populer, Al-Risalah, bahwa ijtihad itu adalah qiyés.
Bila hasil ijtihad melalui cara tersebut disepakati oleh semua ulama,
maka kesepakatan itu disebut ijma’. Ijmd’ dan qiyas merupakan dua
dalil hukum yang disepakati oleh ulama Islam.
Meskipun ada beberapa metode ijtihad dalam menetapkan
hukum, namun tidak semua metode itu disepakati penggunaannya
oleh ulama. Dalam bahasan ini akan dikemukakan beberapa cara
atau metode ijtihad hasil karya para mujahid tersebut. Dalam ham-
pir semua kitab ushul figh metode ijtihad tersebut disebut sebagai:USHUL FIQH JILID 2
“Dalil-dalil syara’ yang penggunaannya tidak disepakati oleh ulama
sebagai pelengkap dari empat dalil syara’ yang disepakati yaitu:
Al-Qur’an, Sunah, Ijma’ dan Qiyds”.
Dalam buku ini pembahasan tentang metode ijtihad itu tidak
dimasukkan dalam kelompok pembahasan tentang “dalil.” Dalam
hal ini al-Ghazali menyebut metode ijtihad itu dengan: “Apa yang
dikira dalil, namun tidak termasuk dalil.” Al-Amidi juga menga-
takan demikian. Karena itu, Penulis menyebutnya dengan metode
ijtihad, bukan dalil, sebab bagaimanapun juga apa yang ditempuh
ulama dalam hal ini menghasilkan rumusan hukum yang diperoleh
melalui pengerahan daya nalar, dengan menggunakan cara tertentu.
Walaupun dalam kelompok pembahasan ini juga terdapat hal yang
disebut sebagai “apa yang dikira dalil”, karena dalam berijtihad,
ulama berpedoman kepada hal tersebut. Dalam pembahasan ini
akan diuraikan tentang beberapa metode ijtihad, yaitu: Istihsan,
Mashdilib al-Mursalaat, Istishab, ‘Urf, Syar’'u Man Qablind, Mazhab
Shahabi” dan Zara‘.
A. Istihsan
Istibsan termasuk salah satu metode ijtihad yang diperselisihkan
oleh para ulama, meskipun dalam kenyataannya, semua ulama meng-
gunakannya secara praktis. Pada dasarnya, para ulama menggunakan
istibsan dalam arti lughawi (bahasa), yaitu “berbuat sesuatu yang
lebih baik.” Tetapi dalam pengetian istilahnya (yang biasa berlaku),
para ulama berbeda pendapat disebabkan oleh perbedaan dalam
memahami dan mendefinisikan “istihsén” itu. Ulama yang meng-
gunakan metode istihsdn dalam berijtihad mendefinisikan istibsan
dengan “pengertian” yang berlainan dengan definisi dari orang yang
menolak cara istibsdn. Sebaliknya ulama yang menolak penggunaan
istihsan mendefinisikan “istibsan” dengan pengertian tidak seperti
yang didefinisikan pihak yang menggunakannya. Seandainya mereka
sepakat dalam mengartikan (mendefinisikan) istibsdn itu, maka me-
reka tidak akan berbeda pendapat dalam menggunakannya sebagai
suatu metode ijtihad.
346 giBab4 x» Beberapa Metode |jtihad
1. Arti Istihsan
Secara etimologis (Iughawi/bahasa) istibsdn (yL.xul) berarti
“memperhitungkan sesuatu lebih baik,” atau “adanya sesuatu itu
lebih baik,” atau “mengikuti sesuatu yang lebih baik,” atau “mencari
yang lebih baik untuk diikuti, karena memang disuruh untuk itu.”
Dari arti lughaw? di atas tergambar adanya seseorang yang
menghadapi dua hal yang keduanya baik. Namun ada hal yang men-
dorongnya untuk meninggalkan satu di antaranya dan menetapkan
untuk mengambil yang satunya lagi, karena itulah yang dianggapnya
lebih baik untuk diamalkan.
Adapun pengertian istibsdn secara istilabi, ada beberapa definisi
“istibsan” yang dirumuskan ulama ushul. Di antara definisi itu ada
yang berbeda akibat adanya perbedaan titik pandang. Ada juga
definisi yang disepakati semua pihak, namun di antaranya ada yang
diperselisihkan dalam pengamalannya.
1. Ibnu Subki mengajukan dua rumusan definisi, yaitu:
Oe te
_ Bas 38 SS lS E 2 Jone
Beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyds lain yang
lebih kuat daripadanya (qiyas pertama).
“oF oe Toei VW pen. c Ae
b. SLaglsstal J Jail ,2 352
Beralib dari penggunaan sebuah dalil kepada adat kebiasaan
karena suatu kemaslabatan.
Ibnu Subki menjelaskan bahwa definisi yang pertama tidak
diperdebatkan karena yang terkuat di antara dua giyas harus
didahulukan. Sedangkan terhadap definisi yang kedua ada pi-
hak yang menolaknya. Alasannya, bila dapat dipastikan bahwa
adat istiadat itu baik karena berlaku seperti itu pada masa Nabi
atau sesudahnya, dan tanpa ada penolakan dari Nabi atau dari
yang lainnya, tentu ada dalil pendukungnya, baik dalam ben-
tuk nash atau ijmda’. Dalam bentuk seperti ini, adat itu harus
diamalkan secara pasti. Namun bila tidak terbukti kebenaran-
nya, maka cara tersebut tertolak secara pasti.
N
Istilah istibsdn di kalangan Ulama Malikiyah di antaranya ada-
a 347USHUL FIQH JILID 2
348
lah sebagaimana yang dikemukakan al-Syatibi (salah seorang
pakar Malikiyah):
KS esd gs % Pilar BVM hed 535
Istibsan dalam mazhab Maliki adalah menggunakan kemaslaha-
tan yang bersifat juz‘i sebagai pengganti dalil yang bersifat kulli.
Definisi di atas mengandung arti bahwa seorang mujahid. se-
mestinya menetapkan hukum dengan berpedoman kepada dalil
yang ada yang bersifat umum. Namun karena dalam keadaan
tertentu mujahid tersebut melihat adanya kemaslahatan yang
bersifat khusus, maka ia dalam menetapkan hukum tidak ber-
pedoman kepada dalil umum yang ada, tetapi menggunakan
kemaslahatan atau kepentingan yang bersifat khusus itu.
Di kalangan ulama Hanabilah terdapat tiga definisi sebagai-
mana dikemukakan Ibn Qudamah:
a Besos gl Jase plbsy esha eee iich
Beralibnya mujahid dalam menetapkan hukum terhadap
suatu masalah dari yang sebanding dengan itu karena adanya
dalil khusus dalam Al-Qur’an atau sunah.
. sic eat se sta
Istibsan itu ialah apa-apa yang dianggap lebih baik oleh
seorang mujahid berdasarkan pemikiran akalnya.
: oO 2% . tes ae f <
cB AeA Va ae ws Jas
Dalil yang muncul dalam diri mujabid yang ia tidak mampu
menjelaskannya.
Dari definisi istibsdn pertama yang berlaku di kalangan ulama
Hanbali tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang mujtahid
tidak menetapkan hukum sebagaimana yang ditetapkan pada
kasus yang sejenis dengan kasus itu adalah karena ia mengikuti
dalil lain dari Al-Qur’an dan sunah.
Terhadap definisi kedua mungkin timbul keberatan dari ula-
ma lain karena apa yang dianggap mujahid lebih baik menurutBab4 «> Beberapa Metode Ijtihad
akalnya itu belum tentu lebih baik menurut kenyataannya.
Terhadap definisi ketiga juga mungkin timbul sanggahan, seba-
gaimana dikemukakan Ibnu Subki yang mengatakan bahwa
jika dalil yang muncul dalam diri mujahid itu nyata adanya,
maka cara tersebut dapat diterima dan tidak ada kesukaran da-
lam menjelaskan dalil itu; tetapi bila dalil tersebut tidak betul,
maka cara istibsdn seperti itu tertolak.
Di kalangan ulama Hanafiyah istihsén itu ada dua macam
yang dikemukakan dalam dua rumusan seperti dikutip oleh
al-Sarkhisi:
4
* WS yp au 3
sgl tes yeh deal
wstL
Beramal dengan ijtihad dan umum pendapat dalam me-
nentukan sesuatu yang syara’ menyerabkannya kepada
pendapat kita.
re -¢ ¢ : db fa,
b, tesa 525 cilh ath plea LS eed, KG oll Jas
Ubi gst peed 5 Ati ph8) 55.5 23 Jato lh Jos
Jac 95 558i 35 See cal Jaen Bl yaks Jeg
cols shay
Dalil yang menyalahi qiyds yang zahir yang didabului
prasangka sebelum diadakan pendalaman terhadap dalil itu,
namun setelah diadakan penelitian yang mendalam terhadap
dalil itu dalam hukum yang berlaku dan dasar-dasar yang
sama dengan itu ternyata bahwa dalil yang menyalahi qiyas
itu lebih kuat dan oleh karenanya wajib diamalkan.
Dari penelaahan terhadap dua definisi yang berlaku di kalang-
an ulama Hanafiyah tersebut dapat diberikan penjelasan bah-
wa arti istihsan dalam definisi pertama tidak menyalahi sesuatu
apa pun, karena pengertian “yang terbaik” dalam hal ini ada-
lah di antara dua hal yang kita dapat memilih, karena syara’
349USHUL FIQH JILID 2
350
telah memberikan hak pilih kepada kita. Umpamanya peneta-
pan ukuran mut‘ah dari suami yang menceraikan istrinya sebe-
lum dicampuri dan sebelumnya belum ditetapkan maharnya.
Memberikan mut‘ah itu wajib, yang ukurannya menurut ke-
mampuan suami dengan syarat harus sesuai dengan “kepatut-
an”. Tentang ukuran patut itu sendiri diserahkan kepada apa
yang lebih baik berdasarkan pendapat yang umum.
Dalam definisi kedua terkandung adanya perbenturan dalil
dengan giyds zhabir. Semula ada prasangka lemah pada dalil itu
karena belum diadakan penelitian yang mendalam, namun se-
sudah diteliti secara mendalam ternyata dalil itu lebih kuat dari
pada qiyds. Dalam hal ini dipandang lebih baik menggunakan
dalil itu ketimbang menggunakan qiyés yang menurut lahirnya
kuat. Meninggalkan beramal dengan giyds untuk mengamal-
kan dalil itu disebut “istibsén” menurut ulama Hanafiyah
Ulama senior ushul fiqh Hanafi al-Bazdawi dalam bukunya
Ushul al-Bazdawi tidak merumuskan al-Istibsan secara defini-
tif, namun menjelaskan apa yang dimaksud dengan istihsan itu,
yaitu: istibsan itu adalah salah satu bentuk dari giyas. Qiyas
ada dua bentuknya. Pertama, qiyas yang kuat illat-nya, namun
lemah atsar-nya (atsar berarti maslahat yang ditimbulkannya)
yang dinamai qiyas jali. Kedua, qiyas yang lemabh illat-nya, na-
mun kuat atsar-nya. Qiyas ini disebut giyas khafi. Istihsan itu
adalah giyas yang kuat atsar-nya meskipun lemah illat-nya.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa istihsan
itu adalah mendahulukan giyas khafi atas qiyas jali. Atsar se-
buah giyas didasarkan kepada mashlahat yang dihasilkannya,
adapun mashlahat itu didasarkan kepada pertimbangan akal
sedangkan yang menjadi dasar bagi illat adalah nash yang di-
gunakan dalam menetapkan illat pada qiyas itu. Dengan de-
mikian, istibsan yang digagas oleh Hanafi ini mengandung
arti mendahulukan pertimbangan akal daripada pertimbangan
nash hukum. Inilah pokok halangan bagi ulama di luar Hanafi
untuk menolak istibsan itu.Bab4 Ce» Beberapa Metode Ijtihad
2. Jenis-jenis Istihsan
Setelah menganalisis beberapa definisi istibsdn di atas, dapat
ditarik kesimpulan tentang hakikat dari istibsdn, yaitu seorang mu-
jahid dalam melakukan ijtihad untuk menemukan dan menetapkan
suatu hukum tidak jadi menggunakan suatu dalil, baik dalil itu dalam
bentuk giyas, dalam bentuk hukum kulli, atau dalam bentuk kaidah
umum. Sebagai gantinya, ia menggunakan dalil lain dalam bentuk
qiyds lain yang dinilai lebih kuat, atau nash yang ditemukannya, atau
‘uruf yang berlaku, atau keadaan darurat, atau hukum pengecuali-
an. Alasannya adalah karena dengan cara itulah si mujahid meng-
anggapnya sebagai cara terbaik yang lebih banyak mendatangkan
kemaslahatan dan lebih menjauhkan kesulitan bagi umat.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa istihsdn itu banyak macamnya
dan dapat dilihat dari beberapa segi: dari segi dalil yang ditinggalkan
dan dalil yang dijadikan gantinya maupun dari segi sandaran atau
* dasar yang diikutinya saat beralih dari giyds.
1. Ditinjau dari segi dalil yang digunakan pada saat beralih dari
qiyds, istibsan ada tiga jenis:
a. Beralih dari apa yang dituntut oleh qiyas-dhabir (qiyds-jali)
kepada yang dikehendaki oleh giyés-khdfi. Dalam hal ini,
si mujtahid tidak menggunakan qiyds dhahir dalam mene-
tapkan hukumnya, tetapi menggunakan qiyds khafi, karena
menurut perhitungannya cara itulah yang paling kuat (tepat).
Umpamanya dalam hal kasus mewakafkan tanah yang di
dalamnya terdapat jalan dan sumber air minum. Apakah
dengan semata mewakafkan tanah sudah meliputi jalan
dan sumber air minum itu atau tidak. Kalau si mujtahid
menggunakan pendekatan giyds yang biasa, maka dengan
hanya mewakafkan tanah tidak otomatis termasuk jalan dan
sumber air tersebut, sebagaimana berlaku dalam transaksi
jual beli. Segi kesamaan antara wakaf dan jual beli dalam
hal ini adalah sama-sama melepaskan pemilikan atas tanah.
Pendekatan seperti ini disebut giyds jali atau qiyas-dhabir.
Namun si mujahid dalam kasus tersebut beralih dari qiyds
jali dengan menempuh pendekatan lain, yaitu menyamakan-
@ 351USHULFIQH JILID 2
352
nya dengan transaksi sewa-menyewa sehingga menghasilkan
kesimpulan hukum yang lain, yaitu termasuknya jalan dan
sumber air ke dalam tanah yang diwakafkan, meskipun
tidak disebutkan dalam akad wakaf. Pendekatan seperti
ini juga menggunakan qiyds, namun dari segi kekuatan
‘illat-nya dianggap agak lemah, sehingga dinamakan qiyds
kbfi (qiyas yang samar), Meski demikian, si mujtahid lebih
cenderung menempuh cara ini karena pengaruhnya dalam
mewujudkan kemudahan lebih tinggi. Pendekatan seperti
ini disebut istihsdn atau lengkapnya disebut istibsdn qiyds
(ola bLuccul),
Beralih dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada
hukum yang bersifat khusus. Jadi, meskipun ada dalil umum
yang dapat digunakan dalam menetapkan hukum suatu ma-
salah, namun dalam keadaan tertentu dalil umum itu tidak
digunakan, dan sebagai gantinya digunakan dalil khusus.
Umpamanya penerapan sanksi hukum terhadap pencuri.
Menurut ketentuan umum berdasarkan dalil umum dalam
nash Al-Qur’an, sanksinya adalah potong tangan, seba-
gaimana firman Allah dalam surat al-Maaidab (5): 38:
Lescasth pass S215 Les
Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan-
tangan keduanya.
Berdasarkan ayat tersebut, bila seseorang melakukan pen-
curian dan memenuhi syarat untuk dikenakan hukuman
potong tangan, maka berlaku baginya hukuman potong
tangan. Namun bila pencurian itu dilakukan pada masa
paceklik atau kelaparan, maka hukum potong tangan yang
bersifat umum itu tidak diberlakukan bagi si pencuri (dibe-
baskan dari hukuman potong tangan), karena dalam kasus
ini berlaku hukum khusus. Beralihnya dari hukum umum
kepada hukum khusus tersebut itu disebut istibsdn.
Beralih dari tuntutan hukum kull? kepada tuntutan yang
dikehendaki hukum pengecualian.Bab4 C&> Beberapa Metode Ijtihad
Umpamanya wakaf yang dilakukan oleh orang yang ber-
ada di bawah perwalian karena belum dewasa atau mahjur
‘alaih li al-safahi (orang yang diampu karena belum dewasa).
Berdasarkan ketentuan yang bersifat kulli ia tidak boleh
melakukan wakaf karena ia tidak berwenang melaku-
kan kebajikan dengan hartanya (tabarru). Berdasarkan
pendekatan istihsdn, ketentuan ini dikecualikan bila wakaf
itu dilakukan terhadap dirinya sendiri. Meskipun ia tidak
memiliki wewenang berbuat kebajikan dengan hartanya,
namun dengan melakukan wakaf bagi dirinya sendiri, ia
dapat menyelamatkan hartanya sesuai dengan tujuan-adanya
perwalian yang hakikatnya adalah melindungi harta orang
yang dalam perwalian.
Ditinjau dari segi sandaran atau yang menjadi dasar dalam per-
alihan untuk menempuh cara istihsén oleh mujahid, istibsan
terbagi kepada empat jenis, yaitu:
a. Istibsan yang sandarannya adalah qgiyés khdaff. Dalam hal
ini si mujtahid meninggalkan giyds yang pertama karena ia
menemukan bentuk qiyds yang lain, meskipun giyds yang
lain itu dari satu segi memiliki kelemahan, namun dari segi
pengaruhnya terhadap kemaslahatan lebih tinggi. Cara se-
perti ini oleh si mujahid dinilai sebagai cara terbaik dalam
menentukan ‘hukum. Dengan demikian, menggunakan
istibsan berarti berdalil dengan qiyds khafi. Istibsan seperti
ini disebut istihsan qiyds (ail gLuocul)
Contoh lain (selain yang disebutkan di atas), adalah dalam
kasus penetapan hukum bersih tidaknya air yang bekas di-
jilat burung buas (seperti elang dan gagak). Nash syara’ tidak
ada menyebutkan hukumnya. Dalam kasus ini, cara yang
biasa ditempuh ulama adalah melalui giyds yaitu meng-qi-
yas-kannya kepada air yang bekas dijilat binatang buas yang
hukumnya tidak bersih. ‘I/lat yang digunakan dalam qiyds
ini adalah “dagingnya sama-sama haram untuk dimakan”
sehingga hukum air yang bekas dijilatnya juga sama-sama
tidak bersih. Air liur yang tidak bersih yang menyebabkan
353USHUL FIQH JILID 2
354
tidak bersihnya air yang bekas dijilat binatang buas itu ada
hubungan dengan dagingnya.
Berdasarkan pendekatan istibsén dengan menggunakan
qiyas khafi sebagai sandaran, maka air bekas dijilat burung
buas itu bersih. Dalam hal ini, burung buas itu tidak di-giyas-
kan kepada binatang buas (dalam bentuk qiyds jali), tetapi
di-qiyds-kan kepada air yang bekas diminum burung biasa
(yang tidak buas). Air yang bekas diminum burung biasa
adalah bersih, karena burung itu minum dengan paruhnya
sehingga air itu tidak bersentuhan dengan liur burung yang
melekat di lidahnya. Keadaan seperti ini juga berlaku pada
burung buas. Meskipun dagingnya haram dimakan, namun
daging burung buas yang kotor itu hanya menyatu dalam
air liurnya yang tidak bersentuhan dengan air, karena bu-
rung buas itu (seperti halnya burung biasa) minum dengan
paruhnya, sedangkan paruhnya tidak kotor.
Istibsdn yang sandarannya adalah nash. Dalam hal ini, si
mujahid dalam menetapkan hukum tidak jadi menggunakan
qiyds atau cara biasa karena ada nash yang menuntunnya.
Umpamanya dalam masalah jual beli salam (pesanan atau
inden). Pada saat berlangsung transaksi jual beli, barang
yang diperjualbelikan itu belum ada. Berdasarkan keten-
tuan umum dan menjadi sandaran qiyds menurut biasanya
transaksi seperti itu tidak boleh dan tidak sah; karena
tidak terpenuhinya salah satu persyaratan jual beli berupa
tersedianya barang yang diperjualbelikan pada saat ber-
langsung transaksi. Namun cara begini tidak dipakai karena
telah ada nash yang mengaturnya, yaitu Hadis Nabi yang
melarang melakukan jual beli terhadap sesuatu barang yang
tidak ada di tempat kecuali pada jual beli salam (pesanan).
Dalam bentuk ini ketentuan umum dan qiyés tidak digu-
nakan dan untuk selanjutnya yang digunakan adalah nash
yang mengatur pengecualian itu. Istihsdn dalam bentuk ini
disebut “Istibsan Nash”.
Istihsan yang sandarannya adalah ‘uruf (adat). Dalam halBab4 (> Beberapa Metode |jtihad
ini, si mujtahid tidak menggunakan cara-cara biasa yang
bersifat umum tetapi menggunakan cara lain dengan dasar
pertimbangan atau sandaran kepada kebiasaan yang telah
umum berlaku dalam suatu keadaan. Istibsdn dalam bentuk
ini disebut istibsan al-urf (4s\glLccul),
Umpamanya penggunaan pemandian umum (kolam re-
nang). Bagi orang yang menggunakan pemandian umum,
biasanya dikenai biaya tertentu dalam bentuk tanda masuk,
tanpa diperhitungkan banyaknya air yang dipakainya dan
lama waktu yang digunakannya. Hal ini sudah merupakan
kebiasaan yang umum yang berlaku di mana saja.
Kalau dikembalikan kepada hukum umum, maka sulit untuk
dapat diterima, karena sudah ada ketentuan umum yang
harus diikuti. Kalau dalam kasus ini mengikuti ketentuan
jual beli, tentu menyalahi ketentuan, karena dalam jual beli
itu untuk kadar uang yang ditentukan harus tertentu pula
air yang digunakan, padahal dalam cara pemandian umum
tidak berlaku yang demikian. Kalau mengikuti ketentuan
sewa menyewa, yaitu tertentunya waktu pemakaian barang
yang disewa, padahal pada pemandian umum tidak ada
batas waktu. Dengan demikian ketentuan umum jual beli
dan sewa menyewa ditinggalkan karena menyandar kepada
adat kebiasaan yang berlaku dan diterima semua pihak.
d. _Istihsdn yang sandarannya adalah darurat. Dalam hal ini si
mujahid tidak menggunakan dalil yang secara umum harus
diikuti karena adanya keadaan darurat yang menghendaki
pengecualian. Istibsén dalam bentuk ini disebut istibsan
al-dharitrah (8.5.3_-a\\ sluccunl)
Umpamanya tidak diberlakukannya hukuman potong tan-
gan terhadap pencuri karena pencurian itu dilakukan untuk
mempertahankan hidup atau darurat, sebagaimana telah
disebutkan di atas.
Menurut Syatibi, di kalangan mazhab Maliki dikenal pula is-
tibsan yang dalam praktiknya dinamai dengan istislah (akan
diuraikan tersendiri). Mereka membagi istihsdn itu kepada tiga
macam:
355USHUL FIQH JILID2
a. Meninggalkan dalil yang biasa digunakan untuk beramal
dengan ‘urf (kebiasaan). Umpamanya ucapan yang berlaku
dalam sumpah. Bila seseorang dalam sumpahnya menyebut-
kan tidak akan memakan daging, tetapi ternyata kemudian
ia memakan ikan, maka ia dinyatakan tidak melanggar
sumpah meskipun ikan itu dalam bahasa Al-Qur’an terma-
suk dalam daging. Alasannya karena dalam ‘urf (kebiasaan)
yang berlaku dalam. ucapan sehari-hari, ikan itu bukan
(tidak termasuk) daging.
b. Meninggalkan dalil yang biasa digunakan, dan untuk se-
lanjutnya beramal dengan cara lain karena didorong oleh
pertimbangan kemaslahatan manusia.
Umpamanya tanggung jawab mitra dari tukang yang mem-
bantu memperbaiki suatu barang bila barang yang diper-
baikinya itu rusak di tangannya. Berdasarkan pendekatan
qiyds, ia tidak perlu mengganti, karena kerusakan barang
itu terjadi waktu ia membantu bekerja. Namun berdasarkan
pendekatan istibsdn cara seperti ini ditinggalkan dan ia harus
mengganti barang tersebut demi terwujudnya kemaslahatan,
yaitu memelihara dan menjamin harta orang lain.
c. Meninggalkan dalil yang biasa dilakukan untuk menghindar-
kan kesulitan dan memberikan kemudahan kepada umat.
Umpamanya adanya sedikit kelebihan dalam menakar se-
suatu dalam ukuran yang banyak. Tindakan ini dibenarkan
meskipun menurut ketentuan yang berlaku, kalau menakar
itu harus tepat (pas) sesuai standar takaran yang berlaku.
3. Kekuatan Istihsin dalam Ijtihad
Dari beberapa definisi dan jenis-jenis istihsdn di atas terlihat
bahwa ada bentuk istihsdn yang diterima semua pihak dan untuk
selanjutnya mempunyai kekuatan dalam ijtihad yaitu istibsdn yang
diartikan dengan “mengamalkan yang terkuat di antara dua dalil”
sebagaimana dikemukakan al-Syathibi atau dalam arti, “beralih dari
qiyds kepada qiyds yang lebih kuat,” menurut rumusan Ibn Subki.
Adapun istihsan dalam arti beralih dari qiyds jali kepada qiyds
356 GiBab4 («> Beberapa Metode |jtihad
khéfi atau beralih dari dalil kepada adat kebiasaan, merupakan ma-
salah yang kontroversial, yang dengan sendirinya menjadi kurang
kekuatannya sebagai dalil secara umum. Imam Syafi‘i termasuk
ulama yang paling keras menolak istibsan dalam bentuk ini.
Penolakan Syafi‘i terhadap istihsdn ini terdapat dalam kitab-
nya, al-Risdlah, sewaktu ditanya, “Apakah Anda membolehkan
seseorang berkata ‘lakukanlah istibsén tanpa menggunakan qiyds’?
Ia menjawab, “Tidak boleh.” Bahkan ia mengatakan, “Haram hu-
kumnya seseorang berpendapat berdasarkan istibsdn bila istihsan
itu menyalahi qiyds.”
Menurut Syafi‘i, istibsan dalam bentuk itu hanyalah berbuat
“talazzuz” atau seenaknya. Seandainya boleh meninggalkan qiyas
tentu orang yang tidak mempunyai ilmu pun akan dengan mudah-
nya menggunakan istibsdn sewaktu ia tidak menemukan keterangan
hukum.
Al-Sarkhisi (dari kalangan ulama Hanafiyah) menukilkan dasar
penolakan Imam Syafi‘i dan para pengikutnya atas istihsdn tersebut.
Katanya, “Orang-orang yang menggunakan istibsan meninggalkan
beramal dengan qiyds, padahal qiyds itu adalah hujjah syar‘iyah dan
mereka menganggap cara itulah yang lebih baik. Bagaimana mereka
menganggap lebih baik meninggalkan hujah syar‘iyah dan beramal
dengan sesuatu yang bukan syar‘iyah? Bila qiyas yang mereka ingin
tinggalkan itu adalah hujah syar‘iyah, maka hujjah syar‘iyah itu ada-
lah suatu kebenaran. Bila yang ingin mereka tinggalkan itu adalah
qiyds yang batil secara hukum, maka yang batil itu tidak perlu diper-
hitungkan. Kalau ini yang dimaksud dengan meninggalkan qiyds itu,
mengapa mereka membolchkan menggunakan sesuatu yang batil.”
Imam Syafi‘i memang menolak dengan keras jenis istibsan dalam
bentuk yang kontroversi tersebut, tetapi istibsan yang lainnya tidak
ditolaknya, bahkan ia pun menggunakan istibsan seperti dalam
masalah bersumpah dengan menggunakan mushbaf (Al-Qur’an);
membuat akta (keterangan tertulis) pada waktu penebusan bagi ke-
merdekaan seorang hamba (katabah), dan begitu pula menetapkan
kewajiban mut‘ah sebanyak 30 dirham.
Kalangan ulama Zhahiriyah menolak penggunaan qiyds secara
| 357USHUL FIQH JILID 2
prinsip, demikian pula ulama Syi‘ah dan sebagian ulama kalam
Mu’tazilah. Karena mereka tidak menerima giyds, maka dengan
sendirinya mereka pun menolak istibsan karena kedudukan istihsan
dalam posisinya sebagai dalil hukum adalah lebih rendah dari qiyas.
Di antara argumen para ulama yang menolak istihsdn (selain
argumen penolakan Syafi‘i di atas) adalah sebagai berikut:
1. Yang dituntut dari kaum muslimin untuk diikuti adalah hukum
yang ditetapkan Allah atau yang ditetapkan Rasul atau hukum
yang di-qiyés-kan kepada hukum Allah-dan hukum Rasul itu.
Sedangkan hukum yang ditetapkan berdasarkan apa yang di-
anggap baik oleh mujahid adalah hukum buatan manusia dan
bukan hukum syar‘i, Hukum semacam ini didasarkan atas ke-
hendak dan selera nafsu. Umat Islam tidak disuruh mengikuti
hukum dari nafsu tersebut.
2.. Allah SWT telah menetapkan hukum untuk suatu kejadian.
Sebagian dari hukum itu ditetapkan dengan nash kitab dan se-
bagian lagi dengan nash lisan Nabi. Ada pula isyarat dari nash
untuk mengikuti hukum yang ditetapkan ulil amri dalam hal
yang tidak terdapat dalam nash. Yang dimaksud dengan hu-
kum yang ditetapkan wlil amri itu adalah ijma’, yaitu ketetap-
an tentang hal yang disepakati. Sedangkan dalam hal yang di-
perdebatkan, disuruh untuk menghubungkannya kepada nash
yang ada, yaitu melalui giyas. Tidak boleh beralih dari hukum
yang dituntut oleh nash atau qiyas kepada pendapat berdasar-
kan istibsan, karena yang demikian berarti mendahulukan hu-
kum yang ditetapkan akal ketimbang hukum yang ditetapkan
berdasarkan dalil syara’.
Menurut Syarkhisi, ulama yang menggunakan istihsan adalah
dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, meskipun
mereka berbeda dalam memberikan istilah dan rincian macamnya.
Dari ketiga kalangan ini, yang lebih banyak menggunakan istihsan
adalah Hanafiyah. Bahkan ada ulama Hanafiyah yang beranggapan
bahwa menggunakan istibsdn lebih baik daripada giyds.
Imam Ahmad menggunakan istibsan dalam menghadapi bebera-
pa masalah. Menurut riwayat Shalih, beliau menggunakan istibsan
358 @Bab4 as Beberapa Metode Ijtihad
tentang masalah pemakai modal dalam mudharabah. Apabila si pe-
makai modal menyalahi kehendak si pemilik modal dan membeli apa
yang tidak disuruh oleh si pemilik modal, maka “keuntungan”-nya
adalah menjadi hak pemilik modal sedangkan untuk pemakai modal
hanya sekadar upah kerja, kecuali bila keuntungan itu tidak cukup
untuk membayar upahnya. Dalam hal ini Imam Ahmad mengatakan,
“Semula saya berpendapat bahwa keuntungan itu untuk pemilik
modal, kemudian saya ber-istihsdn untuk berpendapat lain.”
Dalam riwayat al-Mawardi, Imam Ahmad berkata, “Dibolehkan
membeli tanah subur hasil rampasan di Irak (al-Sawad). Dikatakan
kepadanya, “Kenapa Anda membeli tanah dari orang yang tidak
memilikinya.” Beliau menjawab, “Berdasarkan qiyds adalah seba-
gaimana yang kamu katakan (hukumnya), tetapi pendapat saya ini
berdasarkan istihsan.”
Selanjutnya al-Syarkhisi menjelaskan praktik istibsdn di kalangan
ulama Hanafiyah untuk menyanggah tudingan ulama Syafi‘i yang
mengatakan istihsdn itu mengikuti dan bertolak dari kehendak hawa
nafsu. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Istihsén bentuk pertama adalah menggunakan ijtihad dan
umumnya pendapat dalam menghadapi kasus yang oleh syara’
sendiri diserahkan kepada kita untuk menentukan hukumnya.
Umpamanya masalah menetapkan kadar mut‘ah dari suami
yang menceraikan istrinya yang belum dicampuri, sebagai pe-
laksanaan dari firman Allah dalam surat al-Bagarah (2): 236:
42 Za (2 oaaeg AN [25 4 tues
(XT 3 NN) 35 Adal S538 pe SN Le Em gaa 5
Beri mut‘ahlah mereka atas suami yang kaya menurut kadar
kekayaannya dan atas suami miskin menurut kemiskinannya.
Menentukan pilihan kadar yang harus diberikan si suami ada-
lah termasuk berbuat yang lebih baik. Itulah yang disebut istib-
san. Tampaknya tidak ada ulama yang menolak istibsdn seperti
ini.
2. _Istibsan bentuk kedua adalah memilih dalil yang menyalahi qi-
yds jali. Hal ini menimbulkan prasangka sebelum diteliti secara
mendalam. Tetapi sesudah diteliti, akan tampak bahwa dalil
@ 359USHUL FIQH JILID 2
360
yang menyalahi qiyds itu justru lebih kuat. Inilah sebenarnya
yang dinamakan istihsdn oleh Hanafiyah. Sedangkan sikap
untuk mengambil dalil yang lebih kuat itu hukumnya adalah
wajib. Alasan kenapa cara seperti ini disebut Istibsdn hanya se-
kedar untuk membedakan dalam penggunaan dalilnya. Dalam
qiyas digunakan dalil zhabir dan dalam istihsan dengan dalil
khafi yang didahului dugaan itu. Dengan kata istibsan” dimak-
sudkan bahwa menggunakan cara seperti ini adalah lebih baik.
Dari penjelasan di atas, tidak terlihat dalam istibsdn itu ada-
nya cara seenaknya yang hanya mengikuti hawa nafsu. Bah-
kan al-Syatibi dari ulama Malikiyah menegaskan bahwa ben-
tuk pelaksanaan istihsdn itu merujuk kepada penggunaan dalil
mursal sebagai ganti dari merujuk kepada qiyds. Orang yang
menggunakan istibsan tidak berbuat atas dorongan selera hawa
nafsunya tetapi merujuk kepada tujuan syara’ dalam pene-
tapan hukum secara umum. Umpamanya suatu masalah bisa
diselesaikan dengan pendekatan qiyds, sehingga menghasilkan
suatu ketentuan hukum, namun segi kemaslahatannya luput
jika hukum tersebut diterapkan. Agar kemaslahatan itu tidak
luput, maka diperlukan pendekatan lain, selain giyds tersebut.
Beralihnya dari satu pendekatan (dari pendekatan qiyds) ke
pendekatan lain tersebut, itulah yang disebut istihsdn.
Di samping argumen pembelaan tersebut di atas dari kalang-
an yang menggunakan istibsdn, mereka juga menguatkan pen-
dapatnya dengan menggunakan dalil Al-Qur’an, sunah dan ar-
gumen rasional.
Dalil dari ayat Al-Qur’an antara lain:
a. Firman Allah dalam surat az-Zumar (39): 18:
QA se MV co 1g ES I gall 2 shatsie sl
orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti
apa yang paling baik di antaranya ...
b. Firman Allah dalam surat az-Zumar (39): SS:
os aM) peas 35 te4 2& 2) lag cs 22%Bab4 Mx. Beberapa Metode |jtihad
Dan ikutilah sebaik-baik apa yang diturunkan kepadamu
dari Tuhanmu.
Ayat pertama di atas mengisyaratkan adanya sanjungan dan
pujian bagi orang yang mengikuti ucapan yang paling baik,
dan ayat kedua mengandung perintah untuk mengikuti yang
terbaik dari apa yang diturunkan Allah, Seandainya mengikuti
cara yang terbaik itu tidak mempunyai kekuatan dalam dalil,
tentu Allah tidak mengisyaratkan dengan yang seperti itu. Hal
ini-berarti bahwa istibsan yang tiada lain adalah upaya untuk
berbuat yang terbaik itu diakui kekuatannya dalam agama.
Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan beralihnya pem-
buat hukum dari ketentuan umum kepada ketentuan khusus
dalam rangka mewujudkan mashlahah dan menghindarkan ke-
rusakan atau kemudaratan. Umpamanya larangan Allah yang
secara umum berlaku untuk memakan bangkai, daging babi,
dan sesuatu yang disembelih tidak atas nama Allah. Namun
dalam keadaan tertentu hukum umum itu tidak diberlakukan,
kemudian beralih kepada yang sebaliknya yakni ditetapkan hu-
kum bolehnya memakan bangkai dan daging babi bagi orang
yang dalam keadaan terpaksa.
4. Argumen dalam bentuk sunah adalah:
a. Sabda Nabi, “Apa yang dilibat oleh umat Islam sebagai suatu
yang baik, maka yang demikian di sisi Allah juga adalah
baik. “Seandainya cara istibsdn itu tidak kuat, tentu tidak
akan baik di sisi Allah.
b. Praktik penggunaan istibsan juga terdapat dalam sunah,
Umpamanya, semula ada larangan umum dari Nabi untuk
melakukan transaksi jual beli terhadap barang yang tidak
ada di tempat berlangsungnya akad. Kemudian untuk jual
beli dalam bentuk salam (pesanan) tidak diberlakukan
ketentuan umum itu, tetapi diberlakukan hukum khusus
yaitu bolehnya jual beli salam meskipun barang yang diper-
jualbelikan belum ada di tangan waktu akad berlangsung.
5. Argumen ijma’ yang dikemukakan pengguna istibsdn adalah
apa yang disebutkan tentang istibsdn yang dilakukan oleh ula-
g 361USHUL FIQH JILID 2
ma dalam hal menggunakan pemandian umum dan minum air
dari penjual minuman, tanpa menentukan lamanya watu ber-
ada di pemandian dan kadar air yang digunakan, seperti di-
jelaskan dalam uraian di atas.
6, Argumen rasionalnya adalah bahwa dalam menetapkan qiyds
dan memberlakukan ketentuan umum adalah bertujuan untuk
mendatangkan mashlabah. Bila dalam keadaan tertentu qiyds
yang ditetapkan dan ketentuan umum yang diberlakukan itu
justru berakibat pada menghilangkan kemaslahatan, dan da-
lam waktu yang sama terdapat cara lain yang lebih baik se-
bagai alternatif pemecahannya, maka meninggalkan qiyds dan
ketentuan umum untuk menggunakan cara lain tersebut adalah
tindakan yang lebih bijaksana ditinjau dari tujuan pemberlaku-
kan hukum, yakni untuk mendatangkan kemaslahatan dan
menghilangkan kemudaratan.
Dari beberapa pendapat yang berbeda tentang penggunaan
istibsdn beserta argumen masing-masing, terlihat bahwa perbedaan
pendapat dalam hal ini terjadi karena adanya perbedaan pandang-
an dalam mengartikan apa itu istibsdn. Oleh karena itu, jurang
perbedaan di antara mereka sebenarnya dapat dipersempit bahkan
mungkin dapat dihilangkan.
Al-Amidi (pengikut al-Syafi‘i) mencoba mempersempit jurang
perbedaan ini dalam kesimpulannya. Menurut Amidi, sebenarnya
bila istibsan itu diartikan dengan “beralih dari menetapkan hukum
berdasarkan dalil tertentu kepada hukum lain berdasarkan dalil yang
lebih kuat, baik dalam bentuk nash, atau ijmd’ atau lainnya, maka
tidak ada beda pendapat tentang kekuatannya meskipun berbeda
dalam menamainya dengan istibsdn. Adanya beda pendapat itu pada
dasarnya terdapat pada perbedaan dalam penggunaan /afaz atau
yang disebut contradictio interminis.
Perbedaan pendapat itu hanya ada bila istibsdm tersebut diartikan
dengan “beralih dari menetapkan hukum berdasarkan dalil kepada
adat kebiasaan.” Kalau yang dimaksud dengan adat di sini adalah
apa yang telah disepakati oleh umat dari golongan ahlu al-halli wa
al-‘aqdi (para pakar yang mewakili umat), maka peralihan ini ada-
362 Gi