Anda di halaman 1dari 58

HADITS TENTANG LARANGAN NIKAH MUT’AH, NIKAH

BEDA AGAMA, DAN NIKAH PELAKU ZINA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadits Ahkam

Dosen Pengampu :

Abdul Azis M.HI

Oleh kelompok 8 :
Irham Ulumudin 210201110174
Nyimas Salsabila Fitri_210201110075
Atkaniswatin Warohma 210201110181

HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK
IBRAHIM MALANG
2023

1
KATA PENGANTAR
Kita panjatkan puji syukur kepada Allah SWT, karena telah memberikan
rahmat beserta hidayah untuk kita semua, sehingga kami bisa menyelesaikan
tugas makalah mata kuliah Hadits Ahkam yang berjudul “Hadits Tentang
Larangan Nikah Mut’ah, Nikah Beda Agama, dan Nikah Pelaku Zina” sampai
selesai. Sholawat serta salam semoga selalu senantiasa kita curahkan kepada Nabi
Muhammad SAW.

Makalah ini bertujuan agar memberikan pemahaman yang lebih matang


mengenai seperti apa Nikah Mut’ah, Nikah Beda Agama dan Nikah Pelaku Zina
dalam Prespektif Hadits Ahkam.Kami selaku penulis mengharapkan agar makalah
ini bisa memberikan manfaat kepada pembaca. Kami tahu jika berdasar pada
kemampuan serta pengalaman kami yang masih sangat terbatas menjadikan
makalah ini masih belum sempurna untuk itu kami meminta pembaca agar bisa
memberikan kritik juga saran yang bisa membangun kami dalam pengerjaan
makalah selanjutnya.

Untuk yang terakhir kami mengucapkan terima kasih untuk semua pihak
yang terlibat dalam penyelesaian makalah kami, semoga Allah SWT selalu
meridhoi apapun yang kita lakukan aamin.

Malang, 20 Mei 2023

2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................................ 3


BAB I....................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 4
A. Latar Belakang .............................................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 5
C. Tujuan........................................................................................................................... 5
BAB II...................................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN....................................................................................................................... 6
A. Nikah Mut’ah dalam persepektif Hadis Ahkam ........................................................... 6
B. Nikah beda agama dalam persepektif Hadis Ahkam ..................................................... 19
C. Nikah pelaku zina dalam persepektif Hadis Ahkan....................................................... 37
D.
BAB III .................................................................................................................................. 53
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................... 54

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Pernikahan merupakan sesuatu yang suci dan diagungkan dalam islam


maupun agama lainnya. Dalam pernikahan pun terkandung kesepakatan juga
perjanjian atau komitmen atas kewajiaban dan tanggungjawab dari masing-
masing suami-istri. Nikah dalam islam adalah akad yang harus dilakukan dan
jalan untuk mendapatkan kasih sayang antara laki-laki dengan perempuan. Nikah
juga sebagai penyempurna ibadah diaman dia akan menemui Tuhannya dengan
sebaik-baik keadaan dirinya, sehingga bertakwalah kepada Allah SWT. Lalu apa
itu Nikah Mut’ah. Nikah Mut’ah ialah sebuah akad atau perkawinan yang
dilakukan semata-mata hanya untuk mendapatkan kesenangan seksual, bukan
sebab keinginan membentuk rumah tangga yang harmonis dan abadi.

Begitu pula untuk pernikahan yang baik yaitu sebuah pernikahn yang
terjadi antara seorang laki-laki dengan wanita yang memiliki akidah, akhlal dan
tujuan yang sama atau sejalan, disamping itu ada cinta juga sebuah ketulusan hati
diantara keduanya. Maka dengan keterpaduan tersebut kehidupan berumahtangga
akan tentram, penuh cinta dan kasih sayang. Kehidupan tersebut akan terwujud
jika suami istri berpegang pada agama yang sama, sebab jika berbeda maka akan
timbul berbagai macam kesulitan baik dilingkungan keluarga, pelaksanaan
ibadah, pendidikan anak, pengaturan makanan, tradisi keagamaan, dan yang
lainnya.

Salah satu dari tujuan dari pernikahan adalah menghindari perzinaan supaya
terlahir ketenangan dan ketentraman bagi individu, keluarga juga masyarakat.
Selain itu juga agar ras manusia terhindar dari keturunan yang rusak karena
perkawinan akan jelas nasabnya. Maka dari itu kehamilan yang terjadi diluar
nikah akan dinilai sebagai aib, sehingga akan pernkahan akan dipilih menjadi
solusinya untuk menutupi atau memperbaiki aib tersebut. Jika dalam islam
kehamilan tersebut disebut dengan perzinaan sebab dilakukannya sebelum akad
pernikahan. Maka hal ini, akan berimbas kepada status hukum dari pernikahan
yang dilakukan para pelaku dan status anak dari hasil perzinaan tersebut. Maka
dari uraian-uraian tersebut, penulis dalam makalah ini membahas mengenai
“Hadits Larangan Nikah Mut’ah, Nikah Beda Agama dan Nikah Pelaku Zina.”

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Nikah Mut’ah dalam Prespektif Hadits Ahkam?

4
2. Bagaimana Nikah Beda Agama dalam Prespektif Hadits Ahkam?
3. Bagaimana Nikah Pelaku Zina dalam Prespektif Hadits Ahkam?
C. TUJUAN
1. Mengetahui seperti apa Nikah Mut’ah dalam Prespektif Hadits Ahkam.
2. Mengetahui seperti apa Nikah Beda Agama dalam Prespektif Hadits
Ahkam.
3. Mengetahui seperti apa Nikah Pelaku Zina dalam Prespektif Hadits
Ahkam.

5
BAB II
PEMBASAHAN
1. NIKAH MUT’AH DALAM PERSPEKTIF HADIST AHKAM
A. HADIS TENTANG LARANGAN NIKAH MUT’AH DAN
TERJEMAHNYA (HR. Muslim no 1406)

ِ ‫ع ْبدُ ْال َع ِز‬


‫ َحدَّثَنِي‬،‫يز ب ُْن عُ َم َر‬ َ ‫ َحدَّثَنَا‬،‫ َحدَّثَنَا أَ ِبي‬،‫هللا ب ِْن نُ َمي ٍْر‬ َ ‫َحدَّثَنَا ُم َح َّمدُ ب ُْن‬
ِ ‫ع ْب ِد‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬
‫ع َل ْي ِه‬ َ ِ‫ أَنَّهُ كَانَ َم َع َرسُو ِل هللا‬،ُ‫ َحدَّثَه‬،ُ‫ أَ َّن أَبَاه‬،‫سب َْرةَ ْال ُج َهنِ ُّي‬َ ‫الر ِبي ُع ب ُْن‬ َّ
‫ َو ِإ َّن‬،‫اء‬
ِ ‫َاع ِمنَ النِ َس‬ ِ ‫ ِإنِي قَ ْد كُ ْنتُ أَ ِذ ْنتُ َلكُ ْم فِي ِاِل ْس ِت ْمت‬،‫اس‬ ُ َّ‫ « َيا أَ ُّي َها الن‬:‫سلَّ َم فَقَا َل‬ َ ‫َو‬
َ ‫ فَ َم ْن َكانَ ِع ْن َد ُه ِم ْن ُه َّن ش َْي ٌء فَ ْليُخَ ِل‬،‫هللاَ قَ ْد َح َّر َم ذَ ِل َك ِإلَى يَ ْو ِم ْال ِقيَا َم ِة‬
‫ َو َِل‬،ُ‫س ِبي َله‬
»‫ش ْيئًا‬َ ‫تَأْ ُخذُوا ِم َّما آتَ ْيت ُ ُموهُ َّن‬
Terjemahan : Muhammad bin Abdullah bin Numair telah memberitahukan
kepada kami, ayahku telah memberitahukan kepadaku, Abdul Aziz bin Umar
telah memberitahukan kepadaku, Abdul Aziz bin Umar telah memberitahukan
kepadaku, Ar- Rabi’ bin Sabrah Al-Juhani telah memberitahukan kepadku, bahwa
ayahnya telah memberitahukan kepadanya, bahwa ia pernah bersama Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa sallam sewaktu beliau bersabda, “wahai manusia! Sungguh
aku telah mengizinkan kalian untuk menikahi perempuan secara mut’ah, dan
sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat; maka
barangsiapa yang memiliki sesuatu dari wanita-wanita tersebut maka lepaskanlah
dan jangalah kalian mengambil sesuatu yang telah kalian berikan kepada mereka.”
(HR. Muslim 1406).
B. ASBABUL WURUD
Asbab al-wurud hadits ini terdapat dalam hadits lain riwayat Imam Ad-
Darimi, yaitu: Telah meriwayatkan kepada kami, Ja’far bin Aun, dari Abdul Aziz
bin Umar, dari Rabi’ bin Sabroh, sungguh ayahnya telah bercerita padanya, yaitu:
Sesungguhnya para sahabat sedang melakukan perjalanan bersama rasulillah
s.a.w. untuk menunaikan haji wada’ kemudian Rasulillah s.a.w. bersabda: “Ber-
6
istimta’lah kalian dengan para wanita”.“Istimta’ menurut kami adalah
perkawinan,” kata Sabroh bin Ma’bad lebih lanjut, “Maka kami menawarkan
pernikahan kepada para wanita, tapi mereka menolak kecuali ada batas waktu
dalam pernikahan kami dengan mereka”. (mendengar hal itu) maka Rasulillah
s.a.w. bersabda :”Lakukanlah sesuai syarat mereka”. “Maka saya dan sepupu saya
yang keluar sambil berselimut,” Sambung Sabroh bin Ma’bad, “Selimut sepupuku
lebih bagus dari punyaku, tapi saya lebih muda darinya. Kemudian kami
mengunjungi seorang wanita, yang tertarik dengan sifat mudaku (keperkasaanku)
dan selimut sepupuku sambil berkata: Selimut seperti selimut. Pernikahan mut’ah
di antara kami adalah sepuluh hari dan malam itu juga aku bermalam bersamanya.
Keesokan harinya, Rasulillah s.a.w. berdiri di antara rukun dan bab sambil
bersabda: Wahai manusia!, sesungguhnya aku pernah mengizinkanmu sekalian
kawin mut’ah; ketahuilah!, sesungguhnya Allah s.w.t. sekarang telah
mengharamkan nikah mut’ah sampai hari kiamat. Karena itu, barang siapa masih
memiliki istri dari nikah mut’ah, maka hendaknya segera dilepaskan (dicerai) dan
janganlah kalian meminta kembali mahar yang telah kalian berikan pada istri-istri
kalian walau hanya sedikit.1
 KETERANGAN
Hadits di atas menjelaskan bahwa nikah mut'ah pernah dibolehkan,
kemudian Islam mengharamkannya sampai hari kiamat. Ketahuilah,sesungguhnya
Allah mengharamkan yang demikian itu sampai hari kiamat. Karena itu kita harus
mengikuti hidayah Allah dan petunjuk Rasulullah SAW, dan mestilah kita
berjalan menurut sunnah serta mengikutinya, baik perintah maupun larangannya.
"Maka barangsiapa tidak menyukai sunnahku, tiadalah dia termasuk golonganku"
(hadits Nabi SAW). Nikah Mut'ah itu batal, batal ! orang yang menghalalkannya
berarti meninggalkan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW.

C. TAKHRIJ DAN KUALITAS HADIS


1. Imam-imam lain yang meriwayatkan hadis serupa (tidak ada)

1
Yulianto Y, “Kritik Hadits Nikah Mut’ah Perspektif Sunnah (Studi Analisis Sanad Dan Matan
Hadits Tentang Larangan Nikah Mut’ah),” Islamic Insights Journal 2, no. 1 (2019): 40-41.
7
2. Bagan sanad lengkap/sisilatu ruwatil hadis

3. Biografi dari masing-masing perawi

8
a. Nama lengkap perawi : Muhammad bin Abdillah bin numair Al
hamdani Al kharifi, no 93
 Nisbah, laqab, kunyah: Al Hamdany Al Kharifiy, Abu ‘Abdur
Rohman
 Tahun lahir: -
 Wafat: 234 H
 Umur: -
 Perbedaan pendapat para ulama tentang tahun lahir, wafat, dan
umur perawi :
 Jumlah guru: 50
 Nama guru: Ahmad bin Basyir Al Kufi, Abi Al jawwaab Al ahwas
bin Jawwab, Muhammad bin Basyar al ‘abadi, sufyan bin
uyainah, Abdulllah bin numair (ayahnya), ubadah bin sulaiman,
yahya bin isa ar romali
 Jumlah murid: 17
 Nama murid: Bukhari, Muslim, Abu daud, Ibnu Majah, Abdullah
bin Ahmad bin Hambal
 Komentar para ulama tentang kualitas hadis:
- Al ‘ajali : Tsiqoh
- Imam at-Tirmidzi berkata bahwa dahulu imam Ahmad bin Hanbal
memuliakan Muhamad bin Abdullah bin numair
- Ibrahim bin Mas’ud al hamdzaani berkata bahwa ia mendengar
Ahmad bin Hanbal berkata bahwa Muhammad bin Abdullah bin
Numair adalah mutiara irak
- Berkata Ali bin Husen bin jundi ketika itu Ahmad bin hanbal dan
Yahya bin Ma’in berkata bahwa beliau adalah sesepuh/syekh di
kufah.
- Ibnu al jundi juga berkata bahwa dia tidak pernah melihat orang di
kufah seperti Muhammad bin Abdullah bin Numair. Dia adalah
seorang laki-laki yang terkumpul di dalamnya kealiman ilmu,
faham agama dan hadis, zuhud, dia biasa memakai kain kempa di
9
bulan-bulan musim dingin, dan berjalan di musim panas, dia juga
orang yang fakir.
- Al ajli : Tsiqoh
- Abu hatim : Tsiqoh
- An-Nasa’i : Tsiqoh
- Ibnu Hibban : Tsiqoh
- Abu Hatim : Tsiqoh
 Kesimpulan tentang kualitas perawi
Perawi ini ta’dil dan dapat diterima riwayatnya sebagai hujjah
b. Nama lengkap perawi : Abdullah bin Numair al hamdani al khooriji,
no 134
 Nisbah, laqab, kunyah: Abu Hisyam Al kufi
 Tahun lahir: 115 H
 Wafat: 199 H
 Umur: 84 tahun
 Perbedaan pendapat para ulama tentang tahun lahir, wafat, dan
umur perawi :
 Jumlah guru: 49
 Nama guru: Abdul Aziz bin Umar bin Abdul Aziz, Ismail bin
Ibrahim bin Muhajir, Sufyan at-tsauri, Musa al-Juhani
 Jumlah murid: 51
 Nama murid: Ahmad bin Hambal, Muhammad bin Abdillah bin
numair , Muhammad bin Umar bin Walid al-Kindi.
 Komentar para ulama tentang kualitas hadis:
- Yahya bin Ma’in : Tsiqoh
- Ibnu Hibban : Disebutkan Dalam At-Tsiqot
- Utsman bin Said ad daromi : Tsiqoh
- Ibnu Hajar : Tsiqoh
- Adz-Zahabi : Hujjah
 Kesimpulan tentang kualitas perawi

10
Perawi ini ta’dil dan dapat diterima riwayatnya sebagai hujjah.
c. Nama lengkap perawi : Abdul Aziz bin Umar bin Abdul Aziz bin
Marwan Al amwi bin al-Hakam al Qorsyi al amwi, no 12 Nisbah,
laqab, kunyah: Abu Muhammad
 Tahun lahir: -
 Wafat: -
 Umur: -
 Perbedaan pendapat para ulama tentang tahun lahir, wafat, dan
umur perawi :-
 Jumlah guru: 23
 Nama guru: Ar-Robi’ bin Sabrah, Ismail bin jarir, Abu ‘alqomah,
Nafi’ Maula Ibnu Umar.
 Jumlah murid: 43
 Nama murid: Abdullah bin Numair, Ibrahim bin abi ‘ubalah al
maqdisi, Yahya bin Ayub al misri, Yunus bin Abi Ishaq Qodi abu
Yusuf al anshori.
 Komentar para ulama tentang kualitas hadis:
- Abu daud: Tsiqoh
- Yahya bin Ma’in : Tsiqoh
- Abbas Ad Duri, Ahmad bin Sa’id bin Abi Maryam, Abu ubaidah
al ujari : Tsiqoh
- Ishaq Bin Mansur dan Nasa’i: Laisa Bihi Ba’sa
- Ibrahim bin Jundi : Tsiqoh Laisa Bihi Ba’sa
- Muhammad bin Abdullah bin umar al musholi : Tsiqoh
- Ya’qub bin sufyan : Tsiqoh
- Abu zar’ah : Laa Ba’sa Bih
- Ibnu Hajar Al- Asqalani : Shuduq
- Ishaq bin siyaar an nusyi : Do’if
- Maimun bin Asbi’: Do’iful Hadis
- Adz-Dzahabi : Tsiqoh

11
 Kesimpulan tentang kualitas perawi : Perawi ini ta’dil dan dapat
diterima riwayatnya sebagai hujjah
d. Nama lengkap perawi : Ar-Robi’ bin Sabrah bin Ma’bad, no 7
Nisbah, laqab, kunyah: Ibnu ‘Ausujah, al-Juhani al-Madani
 Tahun lahir: -
 Wafat: -
 Umur: -
 Perbedaan pendapat para ulama tentang tahun lahir, wafat, dan
umur perawi :-
 Jumlah guru: 4
 Nama guru: Ayahnya (Sabaroh bin Ma’bad), Umar bin Abdul Aziz,
‘amru bin maroh al juhani, yahya bin sa’id bin ash
 Jumlah murid: 12
 Nama murid: Abdul Aziz bin Robi’, Abdul Malik bin Robi’, Abdul
Aziz bin Umar bin Abdul Aziz, az-Zuhri, dan al-Layth bin Saad
 Komentar para ulama tentang kualitas hadis:
- Ahmad bin Abdullah al-‘ajali : Tsiqoh
- Imam An-Nasa’i Tsiqoh
- Ibnu Hibban : Tsiqoot
- Ibnu Hajar al as qalani : Tsiqoh
- Adz-Zahabi : Tsiqoh
- Ahmad Bin Abi Khaitsama Dari Ibnu Ma’in Mengatakan Dho’if
 Kesimpulan tentang kualitas perawi
Perawi ini ta’dil dan dapat diterima riwayatnya sebagai hujjah
e. Nama lengkap perawi : Sabaroh bin Ma’bad bin ‘ausujah, no 3
 Nisbah, laqab, kunyah: abu tsuljah, abu robi’ al Madani
 Tahun lahir: -
 Wafat: diakhir kekhalifahan Muawiyah (±675 M)
 Umur: -

12
 Perbedaan pendapat para ulama tentang tahun lahir, wafat, dan
umur perawi :-
 Jumlah guru: 2
 Nama guru: Nabi Muhammad SAW, ‘amru bin marroh al juhani
 Jumlah murid: 1
 Nama murid: Ar-Robi’ bin Sabrah
 Komentar para ulama tentang kualitas hadis: beliau termasuk
golongan
 Sahabat, sehingga sudah dianggap sebagai rawi yang ta’dil
 Kesimpulan tentang kualitas perawi : Perawi ini ta’dil dan dapat
diterima
 riwayatnya sebagai hujjah
D. HADIS-HADIS PENDUKUNG ATAU YANG BERTENTANGAN
 Hadis yang mendukung larangan nikah mut’ah
 HR. Tirmidzi no 1794

َ ‫ب الثَّقَ ِف ُّي‬
َ ‫ع ْن َي ْح َيى ب ِْن‬
‫س ِعي ٍد‬ ِ ‫ع ْبدُ ْال َو َّها‬
َ ‫ار َحدَّثَنَا‬
ٍ ‫ش‬َّ ‫َحدَّثَنَا ُم َح َّمدُ ب ُْن َب‬
ُ ‫س ْف َي‬
‫ان‬ ُ ‫الز ْه ِري ِ ح و َحدَّثَنَا اب ُْن أَ ِبي‬
ُ ‫ع َم َر َحدَّثَنَا‬ ُّ ‫ع ْن َما ِل ِك ب ِْن أَن ٍَس َع ْن‬
َ ِ ‫اري‬
ِ ‫ص‬ َ ‫ْاْل َ ْن‬
‫ع ْن‬ ِ ‫َّللا َو ْال َح َس ِن ا ْبن َْى ُم َح َّم ِد ب ِْن َع ِلي ٍ َع ْن أَ ِب‬
َ ‫يه َما‬ َ ‫ع ْن‬
ِ َّ ‫ع ْب ِد‬ َ ِ ‫الز ْه ِري‬ َ َ‫ب ُْن عُيَ ْينَة‬
ُّ ‫ع ْن‬
‫ع ْن‬
َ ‫اء زَ َمنَ َخ ْيبَ َر َو‬
ِ ‫س‬َ ‫الن‬ َ ‫سلَّ َم‬
ِ ‫ع ْن ُمتْ َع ِة‬ َّ ‫ص َّلى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ِ َّ ‫سو ُل‬
َ ‫َّللا‬ ُ ‫ال نَ َهى َر‬ َ َ‫ع ِلي ٍ ق‬
َ
‫وم ْال ُح ُم ِر ْاْل َ ْه ِليَّ ِة‬
ِ ‫لُ ُح‬
Artinya : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Basysyar, telah
menceritakan kepadaku Abdul Wahhab Ats Tsaqafi dari Yahya bin Sa'id Al
Anshari dari Malik bin Anas dari Zuhri dalam riwayat lain. Dan telah
menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar Telah menceritakan kepadaku Sufyan
bin Uyainah dari Zuhri dari Abdullah dan Al Hasan keduanya adalah anak dari
Muhammad bin Ali dari bapak keduanya, dari Ali ia berkata; "Pada hari Khaibar,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang nikah mut'ah dan juga melarang
memakan daging himar yang jinak.
 HR abu daud no 2073

13
‫ع ِن‬ َ ،‫ أ َ ْخبَ َرنَا َم ْع َم ٌر‬،‫ق‬ َّ ُ‫ َحدَّثَنَا عَبْ د‬،‫ار ٍس‬
ِ ‫الر َّزا‬ ِ َ‫َحدَّثَنَا ُم َح َّم دُ ْبنُ يَ ْحيَى ْب ِن ف‬
‫اء‬
ِ ‫س‬َ ِ‫سلَّ َم َح َّر َم ُمتْ َعة الن‬ َ ‫صلَّى هلل‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬ َّ ‫ أ َ َّن النَّ ِب‬،‫ع ْن أَبِي ِه‬
َ ،َ ‫سب َْرة‬
َ ‫عن َر ِبيع ْب ِن‬ َ ،ِ ‫الز ْه ِري‬ ُّ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya bin
Faris, telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq, telah mengabarkan kepada
kami Ma‟mar dari al-Zuhri dari Rabi‟ bin Sabrah dari ayahnya bahwa Nabi saw.
Telah mengharamkan menikahi wanita secara mut‟ah. 2

َ ،ِ‫الز ْه ِري‬
ِ‫عن َربِيع‬ َ ،‫ أ َ ْخبَ َرنَا َم ْع َم ٌر‬،‫ق‬
ُّ ‫ع ِن‬ ِ ‫الر َّزا‬
َّ ُ ‫ع ْبد‬ َ ‫ َحدَّثَنَا‬،‫ار ٍس‬ِ َ‫َحدَّثَنَا ُم َح َّمدُ بْنُ يَ ْحيَى ب ِْن ف‬
‫ساء‬َ ِ‫سلَّ َم َح َّر َم ُمتْعَة َ الن‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫ي‬ َّ ِ‫ أ َ َّن النَّب‬،‫ع ْن أَبِي ِه‬
َ ،َ ‫سب َْرة‬
َ ‫ب ِْن‬
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya bin
Faris, telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq, telah mengabarkan kepada
kami Ma‟mar dari al-Zuhri dari Rabi‟ bin Sabrah dari ayahnya bahwa Nabi saw.
Telah mengharamkan menikahi wanita secara mut‟ah.3
 Hadis yang bertentangan (membolehkan nikah mut’ah)
 HR Ahmad no 19906
‫ص ْي ٍن قَا َل‬
َ ‫ع ْن ِع ْم َرانَ ْب ِن ُح‬َ ٍ‫ير َحدَّثَنَا أَبُو َر َجاء‬ ُ ‫ص‬ ِ َ‫َحدَّثَنَا يَ ْحيَى َحدَّثَنَا ِع ْم َرانُ ْالق‬
‫سلَّ َم فَلَ ْم‬
َ ‫علَيْ ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َّ ‫سو ِل‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫ع ِملْنَا ِب َها َم َع َر‬ َ ‫اركَ َوت َ َعالَى َو‬ َ َ‫َّللاِ تَب‬
َّ ‫ب‬ ِ ‫ت آيَةُ ْال ُمتْ َع ِة فِي ِكت َا‬ ْ َ‫نَزَ ل‬
َ‫سلَّ َم َحتَّى َمات‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ي‬ َ ‫ت َ ْن ِز ْل آ َية ٌ ت َ ْن‬
َ َ ‫س ُخ َها َولَ ْم يَ ْنه‬
ُّ ‫ع ْن َها النَّ ِب‬
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yahya, telah menceritakan
kepada kami 'Imran bin Qashir, telah menceritakan kepada kami Abu Raja' dari
'Imran bin Hushain dia berkata: "Telah turun ayat tentang (haji) tamattu' dalam
kitabullah Tabaraka wa Ta'ala, kami pun mematuhinya sedang Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam berada di tengah-tengah kami, sementara tidak ada satu ayat pun
yang turun menghapusnya dan melarangnya hingga Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam wafat."
 HR. Ahmad No 16534

َ ‫س ِم ْعت ُ ْال َح‬


‫سنَ ْب َن‬ َ :َ‫َارقَال‬ َ ،ُ‫ش ْع َبة‬
ٍ ‫ع ْن َع ْم ِرو ْبنِدِين‬ ُ ‫ َحدَّثَنَا‬:َ‫ قَال‬،‫َحدَّثَنَا ُم َح َّمدُ بْنُ َج ْعفَ ٍر‬
‫ " خ ََر َج َعلَ ْينَا ُمنَادِي‬:َ‫ قَاِل‬،ِ‫سلَ َمةَبْنِاْلََْ ْك َوع‬ َ ‫ع ْن َجا ِب ِر ب ِْن‬
َ ‫ َو‬،ِ‫ع ْب ِدهللا‬ ُ ‫ُم َح َّم ٍديُ َحد‬
َ ،‫ِث‬

2
Siti Aminah sinta Rahmatil Fadhilah, Umu Nisa Ristiana, “Interpretasi Hadis-Hadis Tentang
Nikah Mut’ah (Kajian Tematik),” Tajdid 19, no. 2 (2020): 256.
3
Siti Aminah sinta Rahmatil Fadhilah, Umu Nisa Ristiana, “Interpretasi Hadis-Hadis Tentang
Nikah Mut’ah (Kajian Tematik),” Tajdid 19, no. 2 (2020): 256.
14
‫ يَ ْعنِي‬،" ‫سو َل الل ِهقَدْأ َ ِذنَلَ ُك ْمفَا ْست َْمتِعُوا‬
ُ ‫ ِإنَّ َر‬: ‫سلَّ َمفَنَادَى‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫وِللل ِه‬
ِ ‫س‬ُ ‫َر‬
َ ِ‫ُمتْ َعةَالن‬
‫سا ِء‬
Artinya: telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far berkata: telah
menceritakan kepada kami Syu'bah dari 'Amr bin Dinar berkata: saya telah
mendengar Al Hasan bin Muhammad menceritakan dari Jabir Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam datang menemui kami, lalu dia mengucapkan:
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengijinkan untuk kalian maka
berbuatlah mut'ah maksudnya nikah mut'ah 4
E. ANALISIS KEBAHASAAN DALAM PERSPEKTIF NAHWU DAN
USHUL FIQH
 Analisis kebahasaaan dalam perspektif Nahwu
Sedang dalam kamus Bahasa Arab bahwa kata mut’ah berasal dari kata
mata’a yang bermakna bersenang-senang dan memanfa’atkan. Dan Al Mata’
menjadi amti’ah bentuk jamknya, juga bisa di bentuk menjadi jam’ul jama’nya
adalah amati’ dan amatii’. Artinya adalah seluruh yang dimanfa’atkan dari
perhiasan dunia baik sedikit maupun banyak. Dan tamatta’ atau istamta’a :
memanfaatkan sesuatu dalam waktu lama. 5
 Analisis kebahasaan dalam perspektif ushul Fiqh
Kata ‫ َح َّر َم‬dalam hadis tersebut termasuk nahi (larangan) yang
menunjukkan pengharaman/tidak diperbolehkannya nikah mut’ah. Adapun kata
‫ فَ ْليُ َخ ِل‬termasuk amr, dan menunjukkan nadb yakni anjuran untuk melepaskan
ikatan pernikahan mut’ah yang tengah dilakukan bertepatan dengan hadis ini
muncul. Kata ‫ ِل‬pada hadis tersebut termasuk nahi, sighatnya adalah fiil mudhori
yang dihubungkan dengan la Nahiyah. Sesuai kaidah Uşul Fiqh ‫النهي فى اْلصل‬
‫ للتحريم‬maka kata “haroma” dan “la” yang ada pada hadis tersebut menunjukkan
haram hukumnya melakukan yang dilarang tersebut (yang dalam hal ini
maksudnya adalah nikah mut’ah.

4
Muhammad Anis Malik, “Wawasan Hadis Tentang Nikah Mut’ah (Suatu Kajian Mawdhu’iy),”
Jurnal Al-Maiyyah 8, no. 2 (2015): 294–96.
5
Khairil Ikhsan Siregar, “Nikah Mut’ah Dalam Perspektif Al-Qur’an Dan Hadis,” Jurnal Studi Al-
Qur’an 8, no. 1 (2012): 12.
15
F. KANDUNGAN HUKUM DAN METODE ISTINBATNYA DALAM
PERSPEKTIF FUQAHA
 Makna Hadis
Secara eksplisit Rasulillah s.a.w menyatakan bahwa kehalalan nikah
mut’ah telah dinasakh, diganti dengan hukum haram nikah mut’ah pada waktu
fathul makkah. Penasakhan ini, menurut Imam Muslim secaraeksplisit
menunjukan adanya nasakh dan mansukh dalam satu redaksi matan hadits,
sebagaimana juga terjadi dalam hukum nasakh dan mansukh hukum
diperbolehkannya ziarah kubur, yang sebelumnya dilarang (dalam An-Nawawi.
Syarah Nawawi ‘Ala Muslim. Juz. V: 86). Pembatasan keharaman nikah sampai
hari kiamat, mengindikasikan bahwa hukum nikah mut’ah mengalami beberapa
kali penasakhan dari halal menjadi boleh, kemudian dilarang lalu diperbolehkan
dan untuk yang terakhir kalinya diharamkan pada waktu fathul makkah sampai
hari kiamat.6
Nikah mut’ah tidak dikategorikan sebagai perbuatan zina, namun ulama
ahli sunnah tidak mengemukakan satu takrif yang jelas terhadap amalan
pernikahan ini selain sekadar menjelaskan yang intinya adalah seorang lelaki yang
memakai wanita untuk disetubuhi dalam waktu yang telah ditentukan dengan
bayaran sesuai dengan kesepakatan bersama antara mereka, sementara wanita itu
tidak berhak mendapatkan nafkah, malah dia juga tidak wajib beriddah kecuali
sampai dia suci. Mazhab Imamiyah memberikan masa iddahnya hingga sampai
dua kali suci. Oleh kerana mut’ah merupakan pelecehan terhadap kaum wanita
kerana mereka dianggap barang dagangan yang boleh diperjualbelikan, maka
Islam mengharamkannya, meskipun sewaktu itu diharamkan masih wujud
keringanan yang membolehkannya lantaran ada alasan-alasan yang jelas. Al-
Nawawi berkata: “Pengharaman dan pembolehan nikah mut’ah terjadi sebanyak
dua kali. Pertama, nikah ini dibolehkan sebelum Perang Khaibar, kemudian
diharamkan pada waktu Perang Khaibar. Kedua, kemudian dibolehkan semula

6
Yulianto Y, “Kritik Hadits Nikah Mut’ah Perspektif Sunnah (Studi Analisis Sanad Dan Matan
Hadits Tentang Larangan Nikah Mut’ah),” Islamic Insights Journal 2, no. 1 (2019): 41.
16
pada tahun penaklukkan kota Makkah, kemudian diharamkan untuk selama-
lamanya sampai hari kiamat.7
 Fiqih Hadis
Haram melakukan nikah mut’ah berdasarkan ijma’ ulama. Sekumpulan
sahabat ada yang masih menetapkan rukhsah nikah mut’ah ini, tetapi dalam
riwayat yang lain disebutkan bahawa mereka telah pun rujuk daripada pendapat
ini. Malah menurut Ibn Rusyd, riwayat yang mengharamkan nikah mut’ah adalah
mutawatir. Perbedaan pendapat/kontradiksi di antara para ulama terkait hukum
nikah mut’ah:
a. Pendapat pertama mengatakan nikah mut‟ah adalah haram,Hal ini diperkuat
oleh kalangan sahabat, antara lain Ibn Umar, Ibn Abi Umrah al-Ansari, Ali Ibn
Abi Thalib, dan lain-lain, sebagai sumber riwayat. Pada periode-periode
berikutnya, dikuatkan oleh imam-imam al-Mazahib al-Arba’ah, kalangan
Zahiri dan Jumhur Ulama Mutaakhirin. misalnya, hadis Ali yang menyatakan
larangan nikah mut’ah pada perang Khaibar. berbeda dengan hadis Sabrah ibn
Ma‟bad yang menjelaskan larangan Nabi pada Fath Makkah.
b. Pendapat kedua mengatakan nikah mut‟ah adalah halal,hal ini diperkuat oleh
riwayat dari kalangan sahabat, di antaranya, Asma binti Abu Bakar, Jabir ibn
Abdullah, Ibn Mas‟ud, Ibn Abbas, Muawiyah, Amar ibn Hurais, Abu Said al-
Khudri. Dari kalangan Tabi‟in, Tawus, Ata‟, Said ibn Jubair, dan Fuqaha‟
Mekkah. Pendapat ini dikukuhkan oleh golongan Syi‟ah Imamiah dan
Rafidah.8
 Para Fuqaha
 Imam besar Mahmud Syaltut berkomentar; Sesungghnya syari’at yang
membolehkan bagi wanita menikahi 11 laki-laki dalam satu tahun, dan
membolehkan bagi laki-laki setiap harinya menikahi wanita tanpa membawa

7
Abu Abdullah bin Abd al Salam ‘Allusy, Ibanah Al-Ahkam Syarah Bulugh Al-Maram (Kuala
Lumpur: Al-Hidayah Publication, 2010), hal 355-356.
8
Muhammad Sabir Maidin, “Nikah Mut’ah Perspektif Hadis Nabi SAW.,” Mazahibuna Jurnal
Perbandingan Mazhab 1, no. 2 (2019): 222–23.
17
sesuatu sebagai mahar untuk pernikahan, maka sesungguhnya syari’at ini
bukan syari’at dari Allah. 9
 Madzhab Hanafi, Imam Syamsuddin al-Sarkhasi (w 490H) mengatakan
bahwa nikah Mut’ah ini batil menurut Madzhab kami.
 Madzhab Maliki, Imam Ibn Rusyd (w.595H) mengatakan: Hadis-hadis yang
mengharamkan Nikah Mut’ah mencapai peringkat Mutawatir. Sementara itu
Imam Malik bin Anas (W. 179H) mengatakan: Apabila seorang lelaki
menikahi wanita dengan dibatasi waktu, maka nikahnya batil.
 Madzhab Syafi’i, Imam al-Syafi’i (w.204H) mengatakan: Nikah Mut’ah yang
dilarang itu adalah semua nikah yang dibatasi dengan waktu, baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang, seperti ucapan seorang lelaki kepada
seorang perempuan: Aku nikahi kamu selama 1 (satu) hari, 10 (sepuluh) hari
atau 1 (satu) bulan.
 Madzhab Hanbali, Imam Ibnu Qudamah (w.620H) dalam kitabnya
mengatakan: Nikah Mut’ah ini adalah nikah yang batil. Ibnu Qudamah juga
menukil pendapat Imam Ahmad bin Hanbal (w.242H) yang menegaskan
bahwa Nikah Mut’ah adalah haram
 Di Indonesia sendiri para ulama yang tergabung dalam Dewan Pimpinan
Pusat Ittihadul Muballiginmenghasilkan kesepakatan tentang nikah mut’ah
haram.10
 Imam Syafii Dalam Kitab Al Umm
 Pengertian dasar dari nikah mut'ah yang dilarang adalah setiap nikah yang
dibatasi waktunya, baik dekat atau jauh. Misalnya adalah seorang laki-laki
berkata kepada seorang perempuan, "Aku menikahimu selama sehari, atau
sepuluh hari, atau sebulan, atau aku menikahimu hingga aku keluar dari
negeri ini, atau aku menikahimu hingga aku menggaulimu, lalu kamu menjadi
halal bagi suami lain, sehingga aku menthalakmu tiga kali," atau ucapan
ucapan seperti ifu yang tidak menunjukkan pemikahan secara mutlak dan

9
Siregar, “Nikah Mut’ah Dalam Perspektif Al-Qur’an Dan Hadis.”
10
Muhammad Sabir Maidin, Hadis-Hadis Hukum (Gowa: Alauddin University Press, 2020), hal
40-41.
18
mengikat untuk selamalamanya, atau perpisahan di dalamnya ditentukan
belakangan.11
G. KESIMPULAN
Hadis pertama: Kualitas hadis ini berdasarkan penelitian ketersambungan
sanad dan uji kesiqohan para perawinya, kajian syadz dan illat adalah hasan
lidzatihi. Namun karena hadis hasan lizatihi tersebut memiliki tabi’ dan syahid
dari jalur lain, maka derajatnya naik menjadi shahih lighoirihi (untuk penjelasan
lebih lanjut baca referensi footnote ini). 12
H. HIKMAH
Hikmah pelarangan nikah mut’ah adalah untuk menjaga martabat wanita
itu sendiri. Dengan melihat syarat dan rukun nikah mut’ah yang sangat
‘sederhana’, maka wanita tak ubahnya bagai barang mainan, yang pada akhirnya
dapat menjerumuskan seorang wanita dalam lembah pelacuran terselubung.
Karena wanita yang dinikahi dengan menggunakan cara nikah mut’ah pada
hakikatnya hanya untuk pemuas nafsu belaka (bersenang-senang dalam waktu
sesaat). Padahal dalam Islam, lembaga pernikahan dibentuk dalam rangka
menjunjung harkat dan martabat wanita. Syarat dan rukun nikah adalah salah satu
bentuk nyata bagaimana Islam memuliakan wanita. Tanpa memenuhi syarat dan
rukun nikah, maka seorang lakilaki tak akan bisa menikahi seorang wanita dan
membentuk sebuah lembaga pernikahan. Tujuan disyari’atkannya lembaga
pernikahan adalah untuk mewujudkan keluarga yang bahagia, sakinah, mawaddah
wa rahmah. Usaha mewujudkan keluarga bahagia, sakinah mawadah wa rahmah
tidak dapat diwujudkan hanya dalam waktu sesaat atau dalam waktu singkat
(sehari atau dua hari), namun diperlukan rentang waktu yang panjang dengan
pembinaan yang simultan antara suami dan isteri. Karena pada tahapan
selanjutnya, tugas lembaga pernikahan adalah membentuk peradaban dan menjadi
khalifah di muka bumi (dunia). 13

11
Imam Asy-Syafi’i, Kitab Al-Umm (Jakarta: Pustaka Azzam, 2014).
12
Yulianto, “Kritik Hadits Nikah Mut’ah Perspektif Sunnah (Studi Analisis Sanad Dan Matan
Hadits Tentang Larangan Nikah Mut’ah), hal 32-40.”
13
Marzuki, “Memahami Hukum Nikah Mut’ah,” 2010, 8–9.
19
2. NIKAH BEDA AGAMA DALAM PRESPEKTIF HADITS AHKAM
A. HADITS LARANGAN PERNIKAHAN BEDA AGAMA HADITS
(HR. Bukhari no. 5285)
ْ َّ‫َاح الن‬
َ َّ ‫ " ِإ َّن‬:َ‫ قَال‬،‫ص َرا ِن َّي ِة َوال َي ُهو ِديَّ ِة‬
‫َّللا‬ ُ ‫ َك انَ ِإذَا‬،‫ أ َ َّن ابْنَ ُع َم َر‬،‫ْث َع ْن نَا ِف ٍع‬
ِ ‫س ِئ َل َع ْن ِنك‬ ٌ ‫ َحدَّثَنَا َلي‬،‫َحدَّثَنَا ُقت َ ْي َب ُة‬
ٌ‫ َوه َُو َع ْبد‬،‫سى‬ َ ‫ َربُّ َها ِعي‬:ُ‫ش ْيئ ًا أ َ ْك َب َر ِم ْن أَ ْن تَقُولَ ال َم ْرأَة‬
َ ‫اك‬ ِ َ‫ َوِل أ َ ْع َل ُم ِمن‬، َ‫ت َعلَى ْال ُمؤْ ِمنِين‬
ِ ‫اإلس َْر‬ ِ ‫َح َّر َم ْال ُم ْش ِركَا‬
ِ َّ ‫ِم ْن ِعبَا ِد‬
‫َّللا‬

Artinya: "Telah menceritakan kepada kami Qutaibah Telah menceritakan kepada


kami Laits dari Nafi' bahwa apabila Ibnu Umar ditanya tentang hukum menikahi
wanita Nashrani dan wanita Yahudi ia menjawab, "Sesungguhnya Allah telah
mengharamkan wanita-wanita musyrik atas orang-orang yang beriman. Dan aku
tidak mengetahui adanya kesyirikan yang paling besar daripada seorang wanita
yang mengatakan bahwa Rabbnya adalah Isa, padahal ia hanyalah hamba dari
hamba-hamba Allah." (HR. Bukhari no. 5285)

B. ASBABUL WURUD (JIKA ADA)/GAMBARAN SOSIO HISTORIS


MASYARAKAT
Hadits tersebut bercerita mengenai tanggapan dari Abdullah ibn Umar atau yang
biasa dikenal dengan Ibnu Umar ketika ditanya tentang pernikahan seorang wanita
muslim dengan wanita Nasrani atau Yahudi (ahl al-kitab). Beliau menjawab:
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan wanita-wanita musyrik atas orang-
orang yang beriman. Dan aku tidak mengetahui adanya kesyirikan yang paling
besar daripada seorang wanita yang mengatakan bahwa Rabbnya adalah Isa,
padahal ia hanyalah hamba dari hamba-hamba Allah." Haids ini diceritakan oleh
Nafi’ Maula Ibnu Umar. Dalam hadits diatas melarang bagi laki-laki Islam untuk

20
menikahi wanita Nasrani atau Yahudi (ahl al-kitab) sebab dengan ajaran yang
mereka anut saat Ibnu Umar menyatakan hadits diatas sampai sekarang, yang
telah menyimpang dari ajaran aslinya, telah mengeluarkan mereka dari status ahl
al-kitab kepada status musyrik

C. TAKHRIJ DAN KUALITAS HADITS


1. Imam-imam lain yang meriwayatkan hadits serupa (tidak ada)
2. Bagan sanad lengkap/silsilatu ruwatil hadit

‫ابن عمر‬

‫ان‬

‫نافع‬

‫عن‬

‫ليث‬

‫حدثنا‬

‫قتيبة‬

‫حدثنا‬

21
‫بخارى‬

 Biografi dari masing-masing perawi

a) Nama lengkap perawi : Qutaibah bin Sa’id bin Jamil bin Thorif bin Abdillah.

• Nisbah, laqab, kunyah: Abu Rojak, as-Saqfi al-Bagilani

• Tahun lahir: 150 H

• Wafat: 240 H

• Umur: 90 tahun

• Perbedaan pendapat para ulama tentang tahun lahir, wafat, dan umur perawi :-

• Jumlah guru: -/+ 113 orang

• Nama guru: Ibrahim bin Said al-Madani, Laits bin Sa’ad, Hasyim bin Basyir.

• Jumlah murid: -/+51 orang

• Nama murid: Ahmad bin Hanbal, Al-Bukhari, Yusuf bin Musa Al-Qithan

• Komentar para ulama tentang kualitas hadis:

- Yahya bin Ma’in: Tsiqqah

- Abu Hatim: Tsiqqah

- An Nasa’i : Tsiqqah dan shaduuq

- Ibnu Kharashin: Shaduuq

- Ahmad bin Siyar: Tsiqqah

- Ibnu Hibban: Min al-Mutaqin

- Al-hakim: Tsiqqah al-Ma’mun

22
• Kesimpulan tentang kualitas perawi :

Dan dalam hadits ini Al-Bukhari meriwayatkan dari Qutaibah bin Sa’id dengan
menggunakan sighat hadatsana. Periwayatan tersebut menggunakan cara atau
metode “sama min lafadz al-syeikh” yaitu mendengar langsung dari perkataan
gurunya. Dan periwayatan dengan metode seperti itu memiliki kualitas paling
tinggi. Hadits ini bersambung sanadnya (mutawattir) sebab adanya pertautan dan
relasi antara guru dan murid yang ditujukkan oleh Al-Bukhari yang merupakan
murid dari Qutaibah bin Sa’id dan Laits bin Sa’ad merupakan guru dari Qutaibah
bin Sa’id. Adapun penilaian dari para kritikus hadits terhadap Qutaibah bin Sa’id
yaitu menurut Yahya bin Ma’in, Abu Hatim, Ahmad bin Siyar menyebutkan
bahwa Qutaibah Tsiqqah. An-Nasa’i menyebutkan jika beliau Tsiqqah juga
Shaduuq. Ibnu Hibban mengatakan Min al-Mutaqin juga Al-Hakim mengatakan
Tsiqqah al-Ma’mun. Maka berdasarkan penilaian-penilaian tersebut perawi berada
dalam tingkatan kedua ta’dil.

b) Nama lengkap perawi : Laits bin Sa’ad bin Abdurrahman Al-Fahmi.

• Nisbah, laqab, kunyah: Abu al-Harits al-Misri, Al-Fahmi.

• Tahun lahir: 94

• Wafat: 174

• Umur: 80 tahun

• Perbedaan pendapat para ulama tentang tahun lahir, wafat, dan umur perawi :-

• Jumlah guru:-/+ 83 orang

• Nama guru: Ibrahim bin Abi Ablah, Nafi’ Maula ibnu Umar, Yahya bin Salim

bin Zaid.

• Jumlah murid:-/+ 71 orang

• Nama murid: Ahmad bin Abdullah bin Yunus, Qutaibah bin Said Al-Balkhi,

Yahya bin Abdullah bin Bukair.

23
• Komentar para ulama tentang kualitas hadis:

- Yahya bin Ma’in: Tsiqqah

- Abu Abdurrahman An-Nasa’i: Tsiqqah

- Al-Ajli: Misri, Fahmi, Tsiqqah

- Ibnu Kharashin: Shaduuq, Shahih al-Hadits

- Ya’qub bin Syaibah: Tsiqqah

- Amru bin Ali: Shaduuq

• Kesimpulan tentang kualitas perawi

Laits meriwayatkan hadits ini dari Nafi’ dengan mengguanakan shighat hadastana.
Sama dengan sebelumnya periwayatannya menggunakan cara atau metode “sama
min lafadz al-syeikh” yaitu mendengar langsung dari perkataan gurunya. Dan
periwayatan dengan metode seperti itu memiliki kualitas paling tinggi. Juga tidak
ditemukan penyembunyian cacat atara dua perawi tersebut, dengan adanya bukti
relasi antara murid dan guru yaitu dibuktikan dengan tercatatnya Nafi’ Maula
Abdullah ibnu Umar dalam jajaran para guru dari Laits. Begitu pula sebaliknya,
Laits tercatat dalam jajaran para murid dari Nafi’. Maka dengan itu sanadnya
dinilai bersambung (mutawattir). Adapun para kritikus hadis menilai Laits yaitu
menurut Yahya bin Ma’in, Abu Abdurrahman An-Nasa’i, Ya’qub bin Syaibah ia
Tsiqqah. Al-Ajli menyebutkan jika ia Misri, Fahmi, Tsiqqah. Ibnu Kharasan
menyebutkan bahwa ia Shaduuq, Shahih al-Hadits. Dan Amru bin Ali mengatakan
bahwa ia Shaduuq. Maka berdasarkan dengan penilaianpenilain tersebut perawi
dapat diklasifikasikan pada tingkatan kedua ta’dil karena lebih banyak yang
menyebutkan bahwa ia Tsiqqah.

c) Nama lengkap perawi : Nafi’ Maula Abdullah ibnu Umar.

• Nisbah, laqab, kunyah: Abu Abdillah

• Tahun lahir:-

24
• Wafat: 117 H

• Umur:-

• Perbedaan pendapat para ulama tentang tahun lahir, wafat, dan umur perawi :

Harun bin Hatim mengatakan jika Nafi’ Maula Abdullah ibnu Umar wafat pada
tahun 116 H, Namun sebagian besar mengatakan jika wafatnya Nafi’ Abdullah
pada tahun 117 H diantara mereka yaitu Himam bin Yahya, Hammad bin Zaid,
Abu nu’aim, Abu Bakrin dan Ustman, Yahya bin Ma’in, Ali bin Al-
Madani,Yahya bin Bukair, Abu Ubaid.

• Jumlah guru:-/+ 30 orang

• Nama guru: Zaid bin Abdullah bin Umar, Abdullah bin Umar, Aisyah.

• Jumlah murid:-/+ 140 orang

• Nama murid: Abdullah bin Dinar, Laits bin Sa’ad Al-Misri, Yunus bin Ubaid.

• Komentar para ulama tentang kualitas hadis:

- Muhammad bin Sa’id: Tsiqqah kastir al-hadits

- Al-‘Ajali : Madani, Tab’i, Tsiqqah

- Ibnu Kharashin : Tsiqqah, Nabil

- An-Nasa’i : Tsiqqah

Kesimpulan tentang kualitas perawi

Nafi’ meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Umar melalui sighat ‘an (mu ‘an ‘an).
Maka dengan demikian kebersambungan sanadnya terjamin adapun dibuktikan
dengan tercatatnya Nafi’ sebagai murid dari Ibnu Umar begitupun sebaliknya
yaitu Ibnu Umar (Abdullah bin Umar) tercatat dalam jajaran para guru dari Nafi’.
Adapun penilaian kritikus hadits terhadap Nafi’ yaitu Muhammad bin Sa’id
mengatakan jika Nafi’ Tsiqqah kastir al-hadits. Al-‘Ajali mengakatan jika ia
Madani, Tab’i, Tsiqqah. Ibnu Kharashin mengatakan jika ia Tsiqqah, Nabil. Dan

25
An-Nasa’i mengatakan jika ia Tsiqqah. Maka berdasarkan dari penilaian-penilaian
tersebut Nafi’ berada pada tingkatan kedua ta’dil.

d) Nama lengkap perawi: Abdullah bin Umar bin Khathab Al-Quraisy Al-‘Adawi

Abu Abd Ar-Rahman Al-Makki

• Nisbah, laqab, kunyah: Ibnu Umar, Al-Quraisy Al- ‘Adawi

• Tahun lahir: -

• Wafat: 74 H

• Umur: -

• Perbedaan pendapat para ulama tentang tahun lahir, wafat, dan umur perawi:

Abu Sulaiman bin Zabir mengatakan jika Ibnu Umar wafat pada tahun 73 H,
sedangkan sebagian besar mengatakan jika Ibnu Umar wafat pada tahun 74 H
yaitu diantaranya Muhammad bin Sa’id, Khalifah bin Khiyad.

• Jumlah guru: -/+ 20 orang

• Nama guru: Nabi Muhammad SAW, Abi Lubabah, Abi Said Al—Khudri.

• Jumlah murid: -/+ 236 orang

• Nama murid: Jabir bin Umair At-Tamiy, Nafi’ Maula Abdullah ibnu Umar,

Abu Uqbah.

• Komentar para ulama tentang kualitas hadis:

- Nabi Muhammad SAW: Rijalu Shalih

- Ibnu Zuhair: Tsubut

- Hafshoh: Shalih

• Kesimpulan tentang kualitas perawi

Maka jika dilihat dari kualitas sanadnya Hafsah mendengar dari Rasulullah jika
Abdullah adalah Rijalu Shalih. Al-Zuhri pun mengatakan jika pendapatnya tidak
26
perlu dibantah. Ibnu Zuhair berkata bahwa ia Tsubut. Ibnu Umar merupakan
sahabat nabi Muhammad SAW tentunya beliau meriwayatkan hadits langsung
dari Nabi SAW dan dari para sahabat lainnya. maka dari itu penulis berpendapat
jika tidak diperlukan lagi analisis terkait jarh dan ta’dilnya karena sahabat
mempunyai peringkat tertinggi dalam maratib ta’dil.

4. Kesimpulan kualitas hadits merujuk kepada biografi perawi

Seluruh periwayat berpredikat tsiqqah dan tidak ada satu pun diantara mereka
yang dinilai jarh. Ada pula perawi yang peringkat tertinggi dari segi kualitasnya
dan secara umum peringkat para perawi ada pada posisi kedua. Melihat sighat
yang digunakan perantara perawi kedua maka hadits dapat dikatakan sebagai
hadits mu ‘an. Namun sebab adanya relasi guru-murid dan murid-guru diantara
mereka serta masa hidup mereka yang memungkinkan adanya pertemuan
langsung, maka penulis berkesimpulan jika sanad hadits tersebut bersambung
(muttashil). Maka dengan memperhatikan kaidah keshahihan hadits, seluruh
kriterianya sudah terpenuhi dengan sanad tersebut. Oleh sebab itu, penulis
berpendapat jika sanad hadits tersebut berpredikat shahih. Dengan itu hadits
tersebut dapat digunakan sebagai hujjah.

D. HADITS-HADITS PENDUKUNG ATAU YANG BERTENTANGAN


MINIMAL DUA HADITS
a) Hadist-Hadits Pendukung

ِ ‫س ِعي ٍد َع ْن أ َ ِب ي ِه َع ْن أ َ ِبي ه َُري َْرةَ َر‬


ُ‫ض َي هللاُ َع ْنه‬ َ ‫هللا قَا َل َحدَّثَنِي‬
َ ‫س ِعيدُ ْبن أبي‬ ِ ‫سدَّد ٌ َحدَّتَّنَا يَحْ َيى َع ْن ُعبَ ْي ِد‬
َ ‫َحد َّثَنَا ُم‬
َ‫ت الَّذِين‬ ُ ‫س ِب َها َو َج َما ِل َها َو ِلدِينَ َها فَا‬
ِ ‫ظفُ ْر ِبذَا‬ ْ ُ‫سلَّ َم قَا َل تُن َك ُح ْال َم ْرأة‬
َ ‫اْلر َب ِع ِل َما ِل َها َو ُي َح‬ ُ ‫صلَّى‬
َ ‫هللا َع َل ْي ِه َو‬ َ ‫َع ْن ال َّن ِبي‬
ْ َ‫ت ََرب‬
َ‫ت يَد َاك‬

Artinya: "Musaddad menceritakan kepada kami, Yahya bercerita kepada


Musaddad, dari 'Ubaidillah berkata. Sa'id bin Abi Sa'id bercerita kepada saya yang
diperoleh dari ayahnya, dari Abi Hurairah Ra., dari Nabi saw. bersabda:
Perempuan dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya,
karena kecantikannya, dan karena agamanya, maka berpeganglah pada
keberagamaannya agar kamu memperoleh kebahagiaan." (HR. Bukhari: 5090)

27
Adapula dalam hadits riwayat Muslim No. 1466 teks hadisnya berbunyi sebagai
berikut:

‫هللا أ َ ْخبَ َرنِي‬ َ ُ‫س ِعي ٍد قَالُوا َحد َّثَنَا َيحْ يَى بْن‬
ِ ‫س ِعي ٍد َع ْن عبَ ْي ِد‬ َ ‫هللا بن‬ ِ ُ ‫ب َو ُم َح َّمدُ بْن ْال ُمثْنى َو ُع َب ْيد‬ ٍ ‫حدثنا زهير بن َح ْر‬
ْ ُ ‫الم ْرأَة‬
‫اْلر َب ِع ِل َما ِل َها‬ َ ‫سلَّ َم قَا َل تُن َك ُح‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ ‫س ِعي ٍد َع ْن أ َ ِبي ِه َع ْن أ َ ِبي ه َُري َْرة َ َع ْن النَّ ِبي‬َ ‫س ِعيد ُ بْنُ أ َ ِبي‬ َ
َ‫ت َيد َاك‬ ِ ‫ت الَّذ‬
ْ ‫ِين ت ََر َب‬ ُ ‫س ِبها َو ِل َج َما ِل َها َولدِي ِن َها فَا‬
ِ ‫ظف َُر ِبذَا‬ َ ‫َول َح‬

Artinya: "Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb, Muhammad bin Al
Mutsanna dan 'Ubaidullah bin Sa'id mereka berkata: Telah menceritakan kepada
kami Yahya bin Sa'id dari 'Ubaidillah telah mengabarkan kepadaku Sa'id bin Abu
Sa'id dari ayahnya dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau
bersabda: "Seorang wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya,
keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilihlah karena
agamanya, niscaya kamu beruntung."

Jadi dapat dipahami bahwa Nabi Muhammad SAW menganjurkan agar setiap
mukmin menikahi seseorang yang paling diutamakan seperti yang sudah
dijelaskan dalam hadits-hadits diatas. Demikian pula bagi seorang muslimah
dianjurkan pula untuk mencari laki-laki yang beriman kepada Allah dan
Rasulullah SAW. Dalam pembahsan ini pun sebenamya sudah di kuatkan atau
ditegaskan dalam firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 221:

‫وِل تلكفوا المشركين َحتَّى يُؤْ ِمنُوا‬

"Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita


mukmin) sebelum mereka beriman."

b) Hadits-Hadits Penentang

‫ عن جابر بن‬،‫ عن الحسن‬،‫ عن أشعث بن سوار‬،‫حدثنا تميم بن المنتصر أخبرنا إسحاق اْلزرق عن شريك‬
‫ نتزوج نساء أهل الكتاب وِل يتزوجون نساءنا‬: ‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬: ‫عبد هللا قال‬

Artinya: "Rasulullah SAW bersabda: "kami (muslim boleh) mengawini wanita ahl
al-kitab, namun (pria-pria) mereka tidak (boleh/terlarang) mengawini wanita-
wanita kami (Muslimah)." (HR. Al- Thabari, 1405, II: 378)

28
Dalam hadits tersebut telah diterangkan jika memperbolehkan laki-laki muslim
menikah dengan perempuan ahl-kitab, tetapi jika sebaliknya tidak diperbolehkan.
Namun berdasarkan kritik sanad, al-Thabari mengakui jika status untuk hadits
tersebut adalah hadits yang dhaif, meskipun demikian hadits ini sempat disepakati
dan diamalkan oleh para ulama' pada masa awal Islam.
E. MAKNA MUFRADAT DAN ANALISIS KEBAHASAAN DALAM
PERSPEKTIF NAHWU DAN USHUL FIQH
ْ َّ‫اح الن‬
َ َّ ‫ " ِإ َّن‬:َ‫ قَال‬،‫ص َرانِ َّي ِة َواليَ ُهو ِديَّة‬
‫َّللا‬ َ ‫سئِ َل َع ْن نِ َك‬ ُ ‫ َكانَ إِذ َا‬، ‫ أن ابْنَ ُع َم َر‬،‫ َع ْن نَافِ ٍع‬،‫ َحد َّثنا ليث‬، ُ‫َحدَّثَنَا قُت َ ْيبَة‬
ُ‫ َوه َُو َع ْبد‬،‫سى‬ َ ‫ َربُّ َها ِعي‬:َ ‫ش ْيئًا أ َ ْك َب َر ِم ْن أَ ْن تَقُولَ ال َم ْرأَة‬
َ ‫اك‬ ِ َ‫ َوِل أ َ ْع َل ُم ِمن‬، َ‫ت َعلَى ْال ُمؤْ ِمنِين‬
ِ ‫اإل ْش َر‬ ِ ‫َح َّر َم ال ُم ْش ِركَا‬
ِ َّ ‫ِم ْن ِعبَا ِد‬
‫َّللا‬

Artinya: "Telah menceritakan kepada kami Qutaibah Telah menceritakan kepada


kami Laits dari Nafi' bahwa apabila Ibnu Umar ditanya tentang hukum menikahi
wanita Nashrani dan wanita Yahudi ia menjawab, "Sesungguhnya Allah telah
mengharamkan wanita-wanita musyrik atas orang-orang yang beriman. Dan aku
tidak mengetahui adanya kesyirikan yang paling besar daripada seorang wanita
yang mengatakan bahwa Rabbnya adalah Isa, padahal ia hanyalah hamba dari
hamba-hamba Allah." (HR. Bukhari no. 5285)

Adapun beberapa kata yang harus diuraikan maknanya dari hadits diatas, yaitu:

 Jika ‫ نكاح‬dilihat dari segi bahasa memiliki arti berkumpul atau menindas dan
saling memasukkan. Adapun menurut terminologi, ahli fikih dan ushul fikih
memiliki beberapa pendapat yang berbeda mengenai definisi dari kata nikah.
Yaitu jika menurut ulama' Hanafiyah berpendapat jika nikah ialah sebuah akad
yang menghalalkan hubungan kelamin diantara pria dan wanita. Namun ulama'
Syafi'iyah berpendapat bahwa nikah adalah sebuah akad yang menghalalkan
hubungan kelamin diantara seorang pria dengan seorang wanita dengan
menggunakan lafal bikah maupun yang semakna dengannya. 14

 ‫النصرنية‬untuk kata ini merujuk pada pemeluk agama Nasrani atau Kristen yakni
agama yang diturunkan pada bani Israil melalui Nabi Isa AS. Jika dilihat dari

14
Abu al-Ainain Bdran, al-Zawaj wa al-Thalaq fi al-Islam (Kairo: tp., tt.), h. 20-21
29
asal kata ‫ النصرنية‬atau ‫ نصر‬memiliki beberapa perbedaan kandunga artinya,
adapun diantaranya yaitu:

1. Awalnya berasal dari kata ‫ نصر‬yang memiliki arti menolong atau


membantu. Bisa memiliki arti seperti itu sebab mereka memberikan
pertolongan kepada orang lain atau saling membantu diantara mereka. 15

2. Sebutan nashara atau nasarani dihubungkan dengan daerah asal keluarga


Nabi Isa AS., yang memiliki nama Nashiri. Al-Baghdadi mengatakan jika
Nashiri merupakan tempat kelahiran dari Nabi Isa AS.. namun pendapat
populernya terutama bagi orang-orang Nasrani memang keluarga Nabi Isa
AS. berasal dari Nashiri namun beliau lahir di Bethlehem.

3. Adapun sebutan nashara atau nasarani dihubungkan pada pertanyaan Nabi


Isa AS., kepada orang-orang Hawari tentang kesediaan mereka berjuang
pada jalan Allah bersama beliau. Pendapat tersebut berdasar pada firman
Allah QS. Al-Shaff (61): 14.

Walaupun memiliki beberapa pendapat terkait dengan asal kata dari nashara
atau nasarani, namun sebenarnya pada dasarnya memiliki persamaan atau
dapat saling melengkapi. Yaitu seperti kata tersebut yang dihubungkan
dengan tempat atau daerah asal dari Nabi Isa AS., namun bisa juga
dihubungkan dengan kebiasaan dari pengikut-pengikut setia beliau yaitu
saling tolong-menolong & bahu-membahu juga tekad yang kuad untuk
memperjuangkan dan menegakkan kebenaran pada jalan Allah. seperti yang
terkandung dalam pengertian yang ada dalam kata nashara.

 ‫ اليهودية‬kata ini ditujukan untuk komunitas penganut agama Yahudi. Kata


tersebut berasal dari kata haaduu (kata kerja dalam bentuk lampau) yang
memiliki arti kembali secara perlahan-lahan, bersuara lembut, dan berjalan

15
Al-Thabari, Tafsir al-Thabari (Beirut: dar al-Fikr, 1984), h. 144
30
dengan merangkak. Kata ini juga biasa diartikan dengan taubat. 16 Kata haaduu,
yahuud, atau yahuudiyyah memiliki berbagai macam versi, yaitu:

 Dimulai dengan asal katanya yaitu haada yang memiliki arti bertaubat atau
kembali kepada jalan yang benar. Hal ini tercantum dalam firman Allah
yaitu QS. Al-A’raf (7): 156.
 Berasal dari perkataan yahuda, dibangsakan pada yshudza, putra terutama
Nabi Ya’qub AS., lalu huruf dzal diubah dengan dal hingga berubah
menjadi yahuda.
 Disebut dengan Yahudi sebab mereka menyimpang atas aturan-aturan yang
ditetapkan oleh Allah SWT., juga aturan yang dibawa Nabi Muhammad
SAW., yang seharusnya mereka mengikuti sesuai dengan tuntutan yang ada
dalam kitab suci mereka, namun juga memerikan isyarat jika mereka juga
sudah menyimpang dari petunjuk kitab sucinya sendiri.
 Disebut dengan Yahudi sebab mereka memiliki sikap yang lemah lembut
dan gemetar saat membaca kitab suci Taurat. Bahkan ada yang mengatakan
jika bumi dan langit ikut gemetar saat Allah SWT., mewahyukan Taurat
kepada Nabi Musa AS.17
 ‫ المشركات‬kata ini secara umum memiliki arti orang-orang yang
mempersekutukan Allah dengan yang lainnya. Namun jika dilihat lebih
dalam lagi yaitu dari segi terminologinya musyrik berarti orang-orang
yang membuat atau menjadikan sesuatu selain Allah sebagai tambahan,
objek penujaan dan atau juga sebagai tempat bergantung harapan dan
dambaan.18

F. KANDUNGAN HUKUM DAN METODE ISTINBATNYA DALAM


PERSPEKTIF FUQAHA

16
Al-Raghib al-Ashafani, Al-Mu’jam al-Mufradat al-Alfadz al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), h.
455
17
Al-Thabariy, al-Bayan fi al-Tafsir al-Qur’an (Beirut: Dar al-Ma’arif, tt.), h. 159
18
Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam al-Qur’an Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan
Tafsir Tematik (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 47.
31
Pernikahan beda agama memiliki dua macam versi yaitu (1)
Perkawinan antara wanita islam dengan laki-laki bukan islam, dan (2)
Perkawinana antara laki-laki islam dengan wanita bukan islam. Dari jenis
pernikahan beda agama yang pertama para ulama’ sepakat untuk
mengharamkannya, dengan menggunakan dasar firman Allah QS. Al-
Baqarah (2): 221, dalam ayat tersebut ditujukan pada para wali agar tidak
menikahkan wanita islam dengan laki-laki bukan islam dan keharamannya
pun sudah bersifat mutlak maka wanita islam haram dinikahkan dengan
laki-laki bukan islam baik laki-laki musyrik maupun ahl al-kitab. Jika pada
pernikahan beda agama jenis kedua (Perkawinana antara laki-laki islam
dengan wanita bukan islam) terbagi lagi menjadi dua macam yaitu (1)
Pernikahan antara laki-laki islam dengan wanita musyrik atau murtad, dan
(2) Pernikahan antara laki-laki dengan wanita ahl al-kitab. Maka para ulama
sepakat menyatakan jika pada pernikahan anatara laki-laki dengan wanita
musyrik atau murtad hukumnya haram. Seorang wanita yang murtad dari
agama islam dipandang tidak beragama meskipun ia berpindah ke agama
yang berkitab (alh al-kitab) samawi. Maka itu hukumnya tetap haram
menikahi wanita tersebut.
Adapun hukum untuk menikahi wanita ahl al-kitab, ulama’
memiliki perbedaan pendapat terkait hal tersebut. Hal tersebut terjadi akibat
dari adanya teks yang memperbolehkan menikahi wanita ahl al-kitab.
Namun disisi sebaliknya juga terdapat hadits Ibnu Umar diatas yang
menunjukkan jika menikahi wanita ahl al-kitab hukumnya haram.
 Pendapat yang memperbolehkan Pelopor dari pendapat ini adalah Imam
Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal dan
pengikut mereka masing-masing. Mereka menggunakan dasar antara
lain:

ِ َ‫صنَتُ ِمنَ ْال ُمؤْ ِمن‬


‫ت‬ َ ْ‫طعَا ُم ُك ْم ِح ٌّل لَّ ُه ْم َو ْال ُمح‬
َ ‫َب ِح ٌّل لَّ ُك ْم َو‬
َ ‫طعَا ُم الَّذِينَ أوتُوا ْال ِكت‬ َّ ‫ْاليَ ْو َم أ ُ ِح َّل لَ ُك ُم‬
َ ‫الطيِبْتُ َو‬
‫ان‬ ْ ‫صنِيْنَ َغي َْر ُم ْس ِف ِحيْنَ َو َِل ُمتَّ ِخذِي‬
ٍ َ ‫اخد‬ ِ ْ‫ور ه َُّن ُمح‬َ ‫َب ِم ْن قَ ْب ِل ُك ْم ِإذَا أَت َ ْيت ُ ُموه َُّن أ ُ ُج‬
َ ‫صنَتُ ِمنَ الَّذِينَ أوتُوا ْال ِكت‬َ ْ‫َو ْال ُمح‬
َ‫ط َع َم َلة َو ه َُو ِفي ْاْل ِخ َر ِة ِمنَ ْال َخس ِِرين‬
َ ‫ان فَقَدْ َح ِب‬ ِ ْ ‫َو َم ْن يَ ْكفُ ْر ِب‬
ِ ‫اإل ْي َم‬

32
Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan
kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orangorang yang diberi Al kitab sebelum kamu,
bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam)
maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.”
Maka jika dilihat dari ayat tersebut secara gamblang telah disebutkan bahwa halal
menikahi perempuan ahl al- kitab.

Sejarah sudah menunjukkan jika beberapa sahabat Nabi juga pernah


menikahi perempuan ahl al-kitab, yang mana hal tersebut pun turut membuktikan
jika menikah dengan wanita ahl al-kitab halal hukumnya. Para sahabat kecuali
Ibnu Umar membolehkan menikahi ahl al-kitab. Adapun contohnya sahabat yang
menikah dengan wanita ahl al-kitab diantaranya yaitu Thalhah ibn Ubaidiyah. Jika
menurut pendapat Syafi’i’iyah merupakan pendapat terkuat yang menghalalkan
menikahi wanita ahl al-kitab yaitu wanita Nasrani atau Yahudi sebagai agama
keturunan dari orang-orang (nenek moyang mereka) yang menganut agama
tersebut sejak sebelum Nabi Muhammad SAW., diangkat menjadi rasul (sebelum
Al-Qur’an diturunkan). Tegasnya orang yang menganut agama Nasrani atau
Yahudi setelah diangkatnya Muhammad setelah menjadi Rasul atau setelah Al-
Qur’an turun tidak dianggap sebagai ahl al-kitab karena dalam ayat tersebut yang
disebutkan yaitu kata min qablikum (dari sebelum kamu). Perkataan min
qablikum tersebut menjadi qayyid bagi ahl al-kitab. Adapun maksud dari pendapat
Syafi’iyah ini maksudnya mengakui ahl al-kitab bukan karena agamanya, namun
sebab menghormati asal keturunannya.

 Pendapat yang mengharamkan Adapun yang menjadi pelopor dari


pendapat ini adalah Abdullah ibn Umar.. Pendapat ini juga dipegang oleh
kalangan Syi’ah Imamiyah. Adapun alasan atau dasar dari pendapat

33
mereka ini d pada hadits diatas (HR. Bukhari no. 5285), dan juga dalil-
dalil sebagai berikut:
 QS. Al-Baqarah (2): 22119
‫ت َحتَّى يُؤْ ِم َّن ۖ َو َِل َم ٌة ُّمؤْ ِمنَةٌ َخي ٌْر ِم ْن ُّم ْش ِر َك ٍة َو َل ْو أ َ ْع َجبَتْ ُك ْم ۚ َو َِل تُ ْن ِك ُحوا ْال ُم ْش ِر ِكينَ َحتَّى‬
ِ ‫َو َِل ت َ ْن ِك ُحوا ْال ُم ْش ِر َك‬
‫َّللا َيدْ ُعوا ِإلَى ْال َج َّن ِة َو ْال َم ْغ ِف َر ِة‬ ِ َّ‫يُؤْ ِمنُوا َولَ َع ْبدٌ ُّمؤْ ِمنٌ َخي ٌْر ِم ْن ُّم ْش ِركٍ َو َل ْو أ َ ْع َج َب ُك ْم أُولَ ِب كَ َي ْدعُونَ ِإلَى الن‬
ُ َّ ‫ار ۖ َو‬
َ‫اس لَ َعلَّ ُه ْم َيتَذ َ َّك ُرون‬
ِ َّ‫ِبإِذْ ِنةٌ َو ُي َب ِينُ أ َ ْي ِت ِه ِللن‬

 QS. Al- Mumtahanah (60): 10


‫ت فَ ََل‬ ٍ َ‫ٱَّلل أَ ْعلَ ُم بِإِي َٰ َمنِ ِه َّن ۖ فَ ِإ ْن َع ِل ْمتُ ُموه َُّن ُمؤْ ِم َٰن‬
ُ َّ ۖ ‫ٱمت َِح ُنوه َُّن‬ ٍ ‫َٰ َٰٓيَأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُ َٰٓو ۟ا إِذَا َجا َٰٓ َء ُك ُم ْٱل ُمؤْ ِم َٰنَتُ ُم َٰ َه ِج َٰ َر‬
ْ َ‫ت ف‬
َٰٓ‫َنك ُحوه َُّن ِإذَا‬ِ ‫وا ۚ َو َِل ُجنَا َح َع َل ْي ُك ْم أَن ت‬ ۟ ُ‫ار ۖ َِل ه َُّن ِح ٌّل لَّ ُه ْم َو َِل ُه ْم َي ِحلُّ ونَ لَ ُه َّن ۖ َو َءاتُوهُم َّما َٰٓ أَنفَق‬ ِ َّ‫ت َْر ِج ُعوه َُّن إِلَى ْٱل ُكف‬
ِ َّ ‫وا ۚ َٰذ َ ِل ُك ْم ُح ْك ُم‬
‫ٱَّلل ۖ َيحْ ُك ُم‬ ۟ ‫وا َما َٰٓ أَنفَ ُق‬
۟ ‫وا َما َٰٓ أَنفَ ْقت ُ ْم َو ْليَسْـ ُل‬
َٔ
۟ ‫ص ِم ْٱلك ََوافِ ِر َوسْـ ُل‬
َٔ
۟ ‫وره َُّن ۚ َو َِل ت ُ ْم ِس ُك‬
َ ‫وا ِب ِع‬ َ ‫َءات َ ْيت ُ ُموه َُّن أُ ُج‬
20
ُ َّ ‫َب ْينَ ُك ْم ۚ َو‬
‫ٱَّلل َع ِلي ٌم َح ِكي ٌم‬

Dari kedua ayat diatas jelas disebutkan jika laki-laki muslim dilarang
menikahi wanita kafir atau musyrik. Ahl al-kitab termasuk dalam golongan orang
kafir dan musyrik, sebab orang Yahudi menuhankan ‘Uzer dan orang Nasrani
menuhankan Isa ibn Maryam, yang dimana dosa mereka tidak diampuni Allah
SWT., jika mereka tidak bertaubat sebelum meninggal. Adapun dalam firman
Allah QS. Maidah ayat 5, menurut golongan ini seharusnya diihtimalkan kepada
kebolehan menikahi wanita ahl al-kitab adalah ketika masa perempuan-
perempuan Islam sedikit jumlahnya.

Maka berdasarkan perbedaan pendapat tersebut kedua pendapat ini bisa


dikompromikan yaitu sebagai berikut:

1. Tinjauan Ushul Fiqih

Walaupun mayiritas ulama’ membolehkan adanya pernikahan laki-laki


muslim dengan wanita ahl al-kitab, namun status hukum taklifi-nya adalah
mubah. Jika melihat definisi dari kata mubah ialah sesuatu yang diserahkan oleh
Syar’i kepada mukallaf untuk melakukannya atau tidak. Maka ditegaskan jika
mubah memiliki sifat takhyir (pilihan untuk melakukan atau meninggalkan) yang

19
https://tafsirweb.com/10856-surat-al-mumtahanah-ayat-10.html
20
https://tafsirweb.com/10856-surat-al-mumtahanah-ayat-10.html
34
bersifat netral anatara perintah mengerjakan atau meninggalkannya. Hukum
mubah yang bersifat netral inilah yang nantinya akan berpengaruh dengan
maslahat dan mafsadatnya. Ketika suatu perbuatan mubah itu berdampak negatif
jika dilaksanakan (memuncukan mafsadat), maka hukumnya bisa brubah menjadi
haram.

2. Tinjauan siasat

Walaupun dalam ayat Al-Qur’an terdapat ayat yang memperbolehkan


melaksanakan pernikahan laki-laki muslim dengan wanita ahl al-kitab. Maka
sebagai argumen dari tinjauan ini adalah ungkapan Umar yang disampaikan pada
para sahabat yang menikah dengan wanita ahl al-kitab.

“Ceraikanlah mereka itu! Perintah Umar ini dipatuhi oleh para sahabat
kecuali Huzaifah. Maka Umar mengulangi lagi perintahnya agar Huzaifah
menceraikan istrinya. Lantas Huzaifah berkata: Maukah engkau bersaksi bahwa
menikahi wanita ahl al-Kitab hukumnya haram? Umar berkata: Dia akan menjadi
fitnah, ceraikanlah! Kemudian Huzaifah berkata lagi: Maukah engkau bersaksi
bahwa ia adalah haram? Umar menjawab lagi dengan singkat ia adalah fitnah.
Akhirnya Huzaifah berkata: Sesungguhnya aku tahu bahwa ia adalah fitnah, tetapi
ia halal bagiku. Setelah Huzaifah meninggalkan Umar barulah isterinya ditalak.
Lantas Huzaifah ditanya orang: mengapa istrimu itu tidak kamu talak di saat
diperintahkan oleh Umar? Jawab Huzaiah: karena aku tidak ingin diketahui bahwa
aku melakukan sesuatu yang tidak layak.”

Menikah dengan wanita ahl al-kitab sangat berbahaya sebab dikhawatirkan


jika suami akan tertarik hatinya jika telah memperolehketurunan. Mereka yang
berpendapat membolehkan menikahi wanita ahl al-kitab memiliki pandangan
yang sama jika kedudukan suami merupakan pemegang pimpinan dan kendali
dalam keluarganya. Ia menjadi teladan dalam pembinaan akhlak islami, ia harus
mampu membina dan menunjukkan keluhuran agama islam dalam lingkungan
keluarganya, terutama kepada istrinya yang berbeda agama. Maka dari itu sulit

35
untuk laki-laki muslim saat ini mewujudkan tugasnya jika pasangannya adalah
wannita kitabiyah yang nyata-nyata mereka sudah sesat.

G. KESIMPULAN
Oleh karena itu, melalui argumen atau pendapat-pendapat diatas yang
sudah dicatumkan sebelumnya, maka hadis Ibn Umar ini sangat tepat untuk
dijadikan sebagai hujjah. Karena ketetapan hukum yang tepat untuk diberlakukan
dengan melihat pada masa kini untuk laki-laki muslim menikahi wanita kitabiyah
haram hukumnya.

H. HIKMAH
Hikmah yang dapat diambil dari larangan pernikahan beda agama yaitu
pernikahan ialah suatu hal yang memiliki ikatan paling dalam, kuat serta kekal
yang mengikat antara dua orang yang berlainan jenis yang dilakukan oleh
keduanya. Jadi dalam sebuah pernikahan membutuhkan kesatuan hati dalam
mencapai tujuan dari pernikahan. Kekuatan hati terletak dalam kepercayaan
sedangkan nilai dari kepercayaan adalah aqidah agama. Dengan itu jika
melakukan pernikahan beda agama akan beresiko mengancam keimanan serta
mengancam kelangsungan dari generasi islam pula dan keluarga muslim. Terlebih
dalam hadis ini melarang seorang laki-laki muslim menikah dengan wanita non
muslim maka yang akan menjadi

ancaman adalah keteguhan tauhidnya. Adapun dampak yang terjadi jika dilakukan
pernikahan beda agama yaitu terhalangnya hak kewarisan antara suami, istri dan
anak-anaknya dan kesulitan dalam memberikan pendidikan keimanan kepada
anak.

Jadi dapat disimpulkan hikmah dari larangan pernikahan beda agama yaitu
akan memunculkan benyak permasalahan yang sangat fundamental yaitu
menyangkut keimanan dan akan rentan terjadi konflik yang bisa mengancam
keharonisan dalam rumah tangga serta akan menjauhkan nilai-nilai sakral yang
ada dalam pernikahan itu sendiri.

3. NIKAH PELAKU ZINA DALAM PRESPEKTIF HADITS AHKAM

36
A. HADIS LARANGAN MENIKAH DENGAN PELAKU ZINA DAN
TERJEMAHANNYA (HR.Abu Daud no. 1756)
َ ‫ َع ْن‬،‫ب‬
‫سعي ٍد‬ ٍ ‫َّثن َع ْمرو بن شعَ ْي‬ ٍ ‫ َع ْن َحبي‬،‫ث‬
ِ ‫ َحد‬،‫ب‬ َ ‫ َحد َّثنا َعبْد‬:َ‫ قال‬،‫ َو أبو َم ْع َم ٍر‬،ٌ ‫سدَّد‬
ِ ‫الوار‬ َ ‫َحد َّثنا م‬
‫ «ِل يَ ْن ِك ُح‬:‫قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬: ‫ قال‬، ‫ عن أبي هريرة رضي هللا عنه‬،ِ‫ال َم ْقبُري‬
»‫المجْ لود إِل مثْ َله‬ َّ
َ ‫الزاني‬

Terjemah:
“Telah menceritakan kepada kami [Musaddad] dan [Abu Ma'mar], mereka
berkata; telah menceritakan kepada kami [Abdul Warits] dari [Habib]. telah
menceritakan kepadaku ('Amr bin Syu'aib] dari [Said Al Maqburi] dari [Abu
Hurairah], ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang
pezina yang didera tidak boleh menikah kecuali dengan wanita seperti
dirinya.”(HR.Abu Daud Nomor 156). 21

B. ASBABUL WURUD
Penulis tidak menemukan asbabul wurud dari hadis ini. Namun penulis
dapat memberikan penjelasan mengenai hadis ini. Dalam hadis ini terdapat
penjelasan model pernikahan yang tidak sah, yaitu pernikahan antara seorang
pezina yang tidak tobat dari perbuatannya dan zinanya telah diputuskan di
pengadilan, maka pezina pria tidak boleh menikahi wanita baik-baik, karena
biasanya tidak ada wanita yang mau menikah dengannya kecuali wanita pezina
sepertinya, sehingga kondisi keduanya menjadi sepadan. Hukum ini berlaku jika
si pezina tidak bertobat dari dosa besar ini. Demikian juga halnya dengan wanita
pezina yang belum bertobat; seorang Muslim baik-baik tidak boleh menikahinya
selama wanita tersebut belum bertobat. Pemberian sifat pezina dengan sifat
"sudah dicambuk" merupakan sifat biasanya, karena biasanya orang yang terbukti
berzina akan dicambuk. Kalau bukan karena itu maka hukum ini juga berlaku
berlaku bagi pezina tidak dicambuk. Apabila terjadi akad seperti dua kasus di atas
maka akad nikahnya batal. Allah -Ta'ālā- berfirman pada surah An-Nur ayat 3;

21
Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy'ats As-Sijistani, Sunan Abu Dawud,( Jakarta : Almahira,
2013), 2052.
37
َ ِ ‫ك ۚ َو ُح ِر مَ ذ َٰ َ ل‬
‫ك‬ ٌ ‫ال َّز ا ن ِ ي َِل ي َ ن ْ ِك ُح إ ِ َِّل َز ان ِ ي َ ة ً أ َ ْو ُم شْ ِر ك َ ة ً َو ال َّز ا ن ِ ي َ ة ُ َِل ي َ ن ْ ِك ُح َه ا إ ِ َِّل زَ ا ٍن أ َ ْو ُم شْ ِر‬

ْ ‫ال ْ م‬
22 ‫ؤ م ن ي ن‬
َ ِ ِ ُ ‫عَ ل َ ى‬

Terjemah:

“Pezina laki-laki tidak pantas menikah, kecuali dengan pezina perempuan

atau dengan perempuan musyrik dan pezina perempuan tidak pantas menikah,

kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik. Yang demikian itu

diharamkan bagi orang-orang mukmin.”

Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan wanita pezina atau wanita

musyrik. Dan wanita pezina tidak boleh dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau

laki- laki musyrik.

C. TAKHRIJ DAN KUALITAS HADIS


1. Imam-imam lain yang meriwayatkan hadis serupa (tidak ada)
2. Bagan sanad lengkap/sisilatu ruwatil hadis

‫رسول هللا ﷺ‬

‫قا‬
‫ل‬

‫أبي هريرة‬

‫ع‬
‫ن‬
22
Kementerian Agama, Al-Qur'an dan Terjemahnya Edisi 2019, (Jakarta: Lajnah Pentashihan
Mushaf Al-Qur’an Balitbang Diklat Kemenag RI, 2019),‫سعيد‬
497.

‫المقبر‬ 38

‫ع‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ن‬

‫عبد الورث‬

‫حدثني‬

‫ َو أبو َم ْع َم ٍر‬،ٌ‫سدَّد‬
َ ‫م‬

3. Biografi dari masing-masing perawi


 Nama lengkap perawi : Abdur Rahman bin Shakhr
 Nisbah, laqab, kunyah: Abu Hurairah
 Tahun lahir:

39
 Wafat: 57 H
 Umur:
 Perbedaan pendapat para ulama tentang tahun lahir, wafat, dan umur
perawi :
- Abu Hasan al-Mada’ini, ‘Ali bin al-Mada’ini, Yahya bin Bukair,
Khalifah bin Khayyath, dan ‘Amru bin ‘Ali mengatakan bahwa beliau
wafat pada tahun 57 H
- Dhamrah bin Rabi’ah, Hitsam bin ‘Adiy, Abu Ma’syur al-Madani,
Abdurrahman bin Maghra’ dan lainnya mengatakan beliau wafat pada
tahun 58 H.
- Sedangkan al-Waqidi, Abu ‘Ubaid, Abu ‘Umar al-Dharir dan Ibn
Numair mengatakan bahwa beliau wafat pada tahun 59 H
 Jumlah guru: 6
 Nama guru: Nabi SAW, ‘Umar ibn Khattab, Abu Bakar ash Shidiq,
‘Aisyah (Istri Nabi SAW), Usamah bin Ziadbin Haritsah, Fadhli
bin al- ‘Abas.
 Jumlah murid: 22
 Nama murid: Yusuf Ibn Mahak, Ibrahim bin Isma’il, Ja’far,bin
‘Iyadh, Anas bin Malik, Sa’id bin Abi Sa’id al-Maqburiy,Sa’id
bin Sam’an al- Madaniy, Salman al-Aghar, Salamah al- Laitsiy,
Sulaiman bin Habib al- Muharibiy, Sulaiman bin Yasar, Sulaiman
bin Sinan al-Madaniy, ‘Amru bin Dinar, ‘Amru bin ‘Umair, Ya’la
bin ‘Uqbah, Yazid bin al-Asham, Abu ‘Alqamah, Abu ‘Abdul
‘Aziz, Abu ‘Abdul Malik, Abu ‘Usman an-Nahdiy, Abu Yunus,
Karimah binti al-Hashas al-Muzaniyah, Abu Shalih as- Samman,
 Komentar para ulama tentang kualitas hadis:
- Ibnu Hajar al 'Asqalani: Shahabat
 Kesimpulan tentang kualitas perawi: Perawi ini ta’dil dan dapat
diterima riwayatnya sebagai hujjah
 Nama lengkap perawi : Sa'id bin Abi Sa'id Kaisan

40
 Nisbah, laqab, kunyah: Abu Sa'ad
 Tahun lahir:
 Wafat: 123 H
 Umur: tahun
 Perbedaan pendapat para ulama tentang tahun lahir, wafat, dan
umur perawi :
 Jumlah guru: 5
 Nama guru: Anas bin Malik, Bilal Maula Abu Bakr, Jabir bin
‘Abdullah, Jubair bin Muth’am, Hassan bin tsabit.
 Jumlah murid: 5
 Nama murid: Idris bin Shabih Al Awwadiy, Usamah bin zaid Al
Labani, Ismail bin Umayyah, Basyir bin Al Mu’arrad, Hassan bin
‘Athiyyah.
 Komentar para ulama tentang kualitas hadis:
- Sulaiman bin Musa: Sa’id bin Al Musayyab adalah tabi’in yang
dalam ilmunya.
- Ibrahim bin Sa’id: tidak ada yang tersisa satupun yang lebih
diketahui semua keputusan-keputusan Rasulullah
- Saw, dan semua keputusan-keputusan Abu Bakar.
- Yahya bin Ma’in: sesungguhnya Sa’id bin al Musayyab melihat
‘Umar ketika ia kecil.
- Ahmad bin Hanbal: bahwasanya Sa’id bin al Musayyab adalah
terpercaya (ṡiqah) dalam kebaikan.
 Kesimpulan tentang kualitas perawi
Perawi ini ta’dil dan dapat diterima riwayatnya sebagai hujjah
 Nama lengkap perawi : Amru bin Syu'aib bin Muhammad bin
'Abdullah bin 'Amru
 Nisbah, laqab, kunyah: Abu Ibrahim
 Tahun lahir: -
 Wafat: 118 H

41
 Umur: -
 Perbedaan pendapat para ulama tentang tahun lahir, wafat, dan
umur perawi :
 Jumlah guru: 3
 Nama guru: sa’id bin abi said al muqoribi, sulaiman bin yasar, abi
hi syu’aib bin muhabi nad
 Jumlah murid: 3
 Nama murid: Muhammad bin muslim bin shihab al al zuhri,
Muhammad bin ishaq, umar bi sa’id bin abi khusain
 Komentar para ulama tentang kualitas hadis:
- Abu yar’ah: tshiqat
- Abu ja’far ahmad bin sa’id al – darmi: tshiqat
 Kesimpulan tentang kualitas perawi : Perawi ini ta’dil dan dapat
diterima riwayatnya sebagai hujjah
 Nama lengkap perawi : Habib bin Qaribah
 Nisbah, laqab, kunyah: Abu Muhammad
 Tahun lahir: -
 Wafat: 130 H
 Umur: -
 Perbedaan pendapat para ulama tentang tahun lahir, wafat, dan
umur perawi :
- Menurut pendapat Yaqut al-Hamawiy dalam kitab Mu’jam al-
Buldan, Ali Ayazi dalam al-Mufassirun dan Umar Ridha
Kahhalah dalam Mu’jam al-Muallifin: wafat pada bulan Syawal
516 H/ Desember 1122 M
 Jumlah guru: 12
 Nama guru:
- Qadhiy Abu Ali al-husain ibn Muhammad al-Marwarruziy as-
Syafi’I (w. 462 H), pengarang buku at-Ta’liqah dan ulama

42
syafi’iyah besar di zamannya. al-baghawi belajar fiqh dan hadits
kepadanya sebelum tahun 460 H.
- Abu Umar Abd al-Wahid ibn Ahmad ibn Abi al-Qasim al-
Malihiy al- Haruwiy (w. 463 H), seorang pakar hadits di Marwa.
- Abu al-Hasan Abd ar-Rahman Muhammad ad-Dawudiy, pakar
hadits
- Abu Bakar Ya’kub ibn Ahmad as-Shairafiy, pakar hadits
- Abu al-Hasan Ali ibn Yusuf al-juwainiy, Syaikh al-Hijaz, Pakar
hadits yang merupakan paman dari Imam al-Haramain al-
Juwainiy, mengajar di Khurasan dan wafat tahun 463 H.
- Abu al-Hasan Muhammad ibn Muhammad as-Syiraziy.
- Abu Fadhal Ziyad ibn Muhammad al-Hanafiy.
- Ahmad ibn Nashr al-Kufaniy.
- Hassan al-Mani’iy.
- Abu Bakr al-Hutsaim at-turabiy. al-Baghawi belajar jepadanya
di akhir tahun 460 H.
- Abi Shalih Ahmad ibn Abd al-Malik ibn Ali ibn Ahmad an-
Nisaburiy, pakar hadits yang hafizh dan tsiqah.
- Abu Turab Abd al-baqiy ibn Yusuf ibn Ali ibn Shalih ibn Abd
al- Malik al-Maraghiy, Mufti Nisabur dan ulama Syafi’iyah (w.
492 H).
 Jumlah murid: 7
 Nama murid:
 Abu al-Ghana’im As’ad ibn Ahmad ibn Yusuf ibn Ahmad ibn
Yusuf al-Bamanjiy al-Khatib;
 Al-Hasan ibn Mas’ud al-Baghawi, saudaranya sendiri;
 Umar ibn al-hasan ibn al-husainar-Raziy, ayah dari Fakhruddin ar-
Raziy;
 Abu Mansur Muhammad ibn As’ad al-‘Aththariy;
 Abu al-Fatuh Muhammad ibn Muhammad at-Tha’iy;

43
 Abu al-Makarim Fadhlullah ibn Muhammad an-Nauqaniy,
meriwayatkan hadits dari Imam al-Baghawiy secara ijazah dan
hidup dampai tahun 600 H;
 Abu al-hasan Ali ibn Ahmad ibn Abd al-Wahid ibn Ahmad
Fakhruddin al-
Muqaddasiy as-Shalihaniy al-Hanbaliy al-bukhari (w. 690 H).
 Komentar para ulama tentang kualitas hadis:
- Yahya bin Ma'in: Tsiqah
- Abu Zur'ah Arrazy: Tsiqah
- Ibnu Hibban: disebutkan dalam 'ats tsiqaat
- An Nasa'i: laisa bi qowi
- Adz Dzahabi: Shaduuq
 Kesimpulan tentang kualitas perawi
Perawi ini ta’dil dan dapat diterima riwayatnya sebagai hujjah
 Nama lengkap perawi : Abdul Warits bin Sa'id bin Dzakwan
 Nisbah, laqab, kunyah: Abu 'Ubaidah
 Tahun lahir: -
 Wafat: 180 H
 Umur: -
 Perbedaan pendapat para ulama tentang tahun lahir, wafat, dan
umur perawi :-
 Jumlah guru: 6
 Nama guru: Sa’id bin Abi ‘Arubah, ‘Abd al-Aziz bin Shuhaib,
Syu’aib bin al- Habhab, Abi al-Tiyah, Sulaiman al-Taymi, al-
Qasim bin Mihran
 Jumlah murid: 6
 Nama murid: Abu Ma’mar al-Muq’adi, al-Tsauri, ‘Abd al-Shamad
(anaknya), Abu Salamah, Musaddad, Abu ‘Ashim al-Nabi Saw.
 Komentar para ulama tentang kualitas hadis:
Abu Zur'ah: Tsiqah

44
An Nasa'i: tsiqah tsabat
Abu Hatim: "tsiqah, shaduq"
Ibnu Hibban: disebutkan dalam 'ats tsiqaat
Ibnu Hajar: tsiqah tsabat
Adz Dzahabi: "hafidh, berpemahaman qadariyah"
 Kesimpulan tentang kualitas perawi : Perawi ini ta’dil dan dapat
diterima riwayatnya sebagai hujjah
 Nama Lengkap : Musaddad bin Musrihad bin Musribal bin
Mustawrid
 Kalangan : Tabi'in kalangan biasa
 Kuniyah : Abu Al Hasan
 Negeri semasa hidup : Bashrah
 Wafat : 228 H
 Pendapat ulama:
1. Yahya bin Ma'in berpendapat Musaddad bin Musrihad bin Musribal
bin Mustawrid Shaduuq
2. Ahmad bin Hambal berpendapat Musaddad bin Musrihad bin
Musribal bin Mustawrid Shaduuq
3. An Nasa'i berpendapat Musaddad bin Musrihad bin Musribal bin
Mustawrid Tsiqah
4. Al 'Ajli berpendapat Musaddad bin Musrihad bin Musribal bin
Mustawrid Tsiqah
5. Abu Hatim berpendapat Musaddad bin Musrihad bin Musribal bin
Mustawrid Tsiqah
6. Ibnu Hibban berpendapat Musaddad bin Musrihad bin Musribal bin
Mustawrid disebutkan dalam 'ats tsiqaat
7. Ibnu Hajar al 'Asqalani berpendapat Musaddad bin Musrihad bin
Musribal bin Mustawrid tsiqoh hafidz
8. Adz Dzahabi berpendapat Musaddad bin Musrihad bin Musribal bin
Mustawrid Hafizh
 Jumlah guru: 178
45
 Nama guru: : Abdullah bin Yahya bin Abi Katsir, Hasyim, Yazid
bin Zuray‟i, „Isa bin Yunus, Mahdi bin Maimun, Ja‟far bin
Sulaiman, Hamad bin Yazid, Abi al-Ahwash, „Abdul Wahid bin
Ziyad, Abi Awanah, Abi al-Aswad Hamad bin al-Aswad,Waki‟,
alQaththan, Ibn Ulayyah, Khalid bin „Abdillah al-Wasithi, Khalid
bin Harits dan yang lainnya
 Jumlah murid:154
 Nama murid: al-Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa‟i, Abu
Zur‟ah, Abu Hatim ar-Raziyan, Muhammad bin Yahya ad-Duhli,
Ibn Yahya dan Ismail bin Ishaq al-Qadhi, Yaqub bin Sufyan,
Yaqub bin Syaibah, Mu‟adz bin Mutsanna, Yusuf bin Ya‟qub al-
Qadhi, Abu Khalifah dan yang lainnya
 Kesimpulan tentang kualitas perawi : Perawi ini ta’dil dan dapat
diterima riwayatnya sebagai hujjah
 Kesimpulan kualitas hadis merujuk kepada biografi perawi
Berdasarkan biografi dari masing-masing Imam di atas dapat
diketahui bahwa hadis ini memiliki kualitas Sahih karena
memenuhi persyaratan dari hadis shahih seperti tersambungnya
sanad, tidak syaz dan tidak ilat, adil, dhabit.
D. HADIS-HADIS PENDUKUNG ATAU YANG BERTENTANGAN
MINIMAL DUA HADIS
Tolak ukur sebuah hadits untuk membuktikan keaslian dan

kualitasnya adalah;

1. Tidak bertentangan dengan al-Quran

a) Surah An-Nur ayat (3)

‫ان أَ ۡو ُم ۡش ِر ۚك َو ُح ِر َم َٰذ َلِكَ َع َلى‬ َّ ‫نك ُح ِإ َِّل زَ انِ َيةً أ َ ۡو ُم ۡش ِر ك َٗة َو‬
ٍ َ‫ٱلزانِيَ ُة َِل يَن ِك ُح َها َٰٓ ِإ َِّل ز‬ َّ
ِ َ‫ٱلزانِي َِل ي‬

َ‫ۡٱل ُم ۡؤ ِمنِين‬

46
Artinya : Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan

perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan

perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang

berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas

orang-orang yang mukmin.

b) Surah An-Nur ayat (26)


َٰٓ ۚ ‫لطي َٰب‬
َ‫ت أ ُ ْو َٰلَئِكَ ُمبَ َّر ُءون‬
ِ َ ِ َّ ‫ٱلط ِيبُونَ ِل‬
َّ ‫لط ِي ِبينَ َو‬
َّ ‫ٱلط ِي َٰبَتُ ِل‬ ِ ۖ َ ‫ۡٱل َخ ِبي َٰث َتُ ِل ۡل َخ ِبيثِينَ َو ۡٱل َخ ِبيثُونَ ِل ۡل َخ ِبي َٰث‬
َّ ‫ت َو‬

ۖ ُ‫ِم َّما يَقُول‬


‫ونَ لَ ُهم َّم ۡغ ِف َرة َو ِر ۡزق ك َِريم‬

Artinya : Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji,

dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan

wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki

yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang

dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang

menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).

Ayat di atas jelas menyatakan bahwa Allah mengharamkan untuk

laki-laki yang berzina tidak menikah kecuali dengan wanita pezina

juga, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-

laki yang berzina.

Ayat ini turun ketika seorang sahabat bernama Mazid mengangkut

barang dagangannya dari al-Anbar ke Makkah untuk dijual. Ia

bertemu kembali dengan kawannya, seorang wanita bernama Anaq

(wanita pezina). Mazid meminta izin kepada Nabi SAW untuk

menikahinya. Akan tetapi beliau tidak menjawab, sehingga turun surat

47
an-Nur ayat (3). Rasulullah SAW bersabda: “hai Mazid, seorang

pezina tidak akan menikahi kecuali pezina juga. Oleh karena itu

janganlah engkau menikah dengannya. Diriwayatkan oleh Said bin

Manshur yang bersumber dari Mujahid bahwa ketika Allah

mengharamkan zina, disekitar mereka banyak wanita pezina yang

cantik-cantik. Berkatalah orang-orang pada saat itu: “jangan biarkan

mereka pergi, dan biarkanlah mereka kawin.” Maka turunlah surat ini

an-Nur ayat 3 yang menegaskan bahwa wanita pezina hanyalah

dikawini oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. 23

2. Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat

Peneliti tidak menemukan pertentangan dengan hadis yang lebih

kuat, karena penulis menemukan satu matan hadis lain yang diriwayatkan

Musnad Imam Ahmad meskipun terdapat perbedaan lafazd matan hadis,

namun hadis ini memiliki topik kandungan yang sama dengan hadis Sunan

Abu Daud. Matan hadis yang di maksud adalah sebagai berikut:

ُ ‫ َوت َ ْشت َِر‬,‫سافِ ُح‬


‫ط‬ َ ُ ‫َت ت‬ ْ ‫ َوكَان‬,‫ أ ُ ُّم َم ْه ُز ٍل‬:‫سلَّ َم ِفي ا ْم َر أَةٍ يُقَا ُل لَ َها‬ ُ ‫ ِمنَ ْال ُم ْس ِل ِمينَ ا ْستِاْذَنَ َر‬,‫أن َر ُج ًَل‬
َ ‫سو َل اْلهلل َعلَي ِه َو‬ َّ
‫صلَّى‬َ ‫ي هللا‬ ُّ ‫ فَقَ َرأ َ َعلَي ِه نَ ِب‬:َ‫سلَّ َم أ َ ْو ذَك ََر َلهُ ا َ ْم َرهَا؟ قَال‬َ ‫صلَّىاهلل َغلَي ِه َو‬ َ ‫سو َل هللا‬ ُ ‫ فَ ْست َأْذَنَ َر‬:َ‫ قَال‬,‫لَهُ أ َ ْن ت ُ ْن ِفقَ َعلَ ْي ِه‬
.) 2480 ‫ " ال َّز ا ن ِ ي َِل ي َ ن ْ ِك ُح إ ِ َِّل َز ان ِ ي َ ة ً أ َ ْو ُم شْ ِر ك َ ة ً " ( رواه أح مد‬:‫سلَّ َم‬ َ ‫هللا َعلَي ِه و‬

3. Tidak bertentangan dengan kebenaan akal sehat dan ilmu pengetahuan

Menurut peneliti tidak ada isi dalam hadis ini yang bertentangan

dengan akal. Karena sebelum dilakukannya pernikahan, bagi calon istri

atau calon suami dapat menentukan pilihan untuk membangun rumah

23
Siska Laila, “Telaah Hadis Larangan Menikahi Wanita Pezina (Studi Ma’anil Hadis)”
(Undergraduate thesis, UIN Khas Kiai Achmad Siddiq Jember 2022),
http://digilib.uinkhas.ac.id/id/eprint/15089.
48
tangga dengan memandang kesetaraan dan kesamaan visi dan misi,

minimal memimiliki kesetaraan dalam hal agama, keyakinan, status

sosial, dan lain sebagainya. Kesamaan dan kesetaraan antara suami dan

istri dalam lingkup dan konteks pernikahan disebut kafaah. Kafaah dalam

pernikahan sangatlah penting karena kafaah sebagai pondasi dan

penunjang utama tercapainya tujuan pernikahan yaitu terbangunnya

keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. Kafaah bukanlah merupakan

syarat sah sebuah pernikahan, namun kafaah memiliki peran penting

terbentuknya keluarga harmonis.

Namun, dalam permasalahan wanita pezina dengan lelaki sholeh

atau lelaki pezina dengan wanita sholehah. Imam Nawawi al-Bantani

menjelaskan bahwa “ membuat seorang lelaki budak tidak kafaah bagi

perempuan merdeka, wanita keturunan bani Hasyim dan bani Muthalib

bukan kafaah bagi selainnya, lelaki fasiq tidak kafaah bagi wanita

shalehah, lelaki keturunan pedagang tidak kafaah bagi putri seorang

ulama ahli fiqih, dan seterusnya. 24

Dari penjelasan ini sudah jelas bahwa dalam pernikahan perlu

adanya kafaah karena bukan untuk membeda-bedakan muslim satu

dengan yang lain, namun dengan menjaga kaharmonisan dalam keluarga.

E. Makna Mufradat dan Analisis Kebahasaan dalam Perspektif Nahwu dan


Ushul Fiqh

24
Siska Laila, “Telaah Hadis Larangan Menikahi Wanita Pezina (Studi Ma’anil Hadis)”
(Undergraduate thesis, UIN Khas Kiai Achmad Siddiq Jember 2022),
http://digilib.uinkhas.ac.id/id/eprint/15089; Imam Nawawi Al-bantani, kitab Nihayatuz Zain
(Bairut: Dar al-Fikr:1316 H), 311.
49
No Mufradat Arti

1. ‫ال َّز ا ن ِ ي‬ Seorang pezinah

2. ‫َِل ي َ ن ْ ِك ُح‬ Tidak boleh menikahi

3. ‫ال َمجْ لود‬ Yang didera

4. ‫إِل مثْلَه‬ Kecuali dengan wanita sepeerti

dirinya

Dari susunan matannya dapat dilihat hadits ini menunjukkan

sebagai perkatan Nabi Muhammad SAW. Dimana dapat diketahui kata-

kata yang digunakan bersifat umum dan mengandung makna yang

mendalam jika ditelusuri lebih lanjut. Hadits ini merupakan hadits yang

yang singkat dan padat dimana sebagai ciri khusus Rasulullah dalam

berbicara yaitu kalimat singkat tetapi mencakuo arti yang banyak dan

faedah yang agung sehingga bisa kita lihat bahwa seluruh Sunnah dan

hukum syari’at, baik dari pokok hingga yang cabang tercakup dalam

hadits ini.

F. Kandungan Hukum dan Metode Istibatnya Dalam Perspektif Fuqaha


Salah satu dampak pergaulan bebas menjadikan generasi muda

jatuh pada perzinaan. Mereka yang telah berzina, apalagi sudah terkategori

50
pelacur, sering diklaim tidak punya masa depan menikah dengan orang

beriman. Ibarat gelas yang retak. Ada anggapan mereka tak lagi diterima

untuk disandingkan dengan laki-laki beriman dalam wadah pernikahan.

Pendapat ini berdalil dengan firman Allah SWT,” Laki-laki pezina tidak

akan menikah kecuali dengan seorang wanita pezina. Dan wanita pezina

tidak akan menikahi kecuali dengan lelaki pezina. Dan mereka diharamkan

bagi orang-orang beriman. Permasalahan ini menuai pendapat beragam dari

para ulama. Diantaranya pendapat mazdhab yang empat yaitu Hanabilah,

Hanafi, Maliki, dan Syafiiyah:

a. Mazhab Hambali

Dalam hal ini, ulama Hambali mempunyai pendapat yang berbeda

dengan jumhur ulama maupun madzhab-madzhab besar sunni yang

sudah ada sebelumnya tentang hukum menikahi wanita pezina. Menurut

ulama Hanabilah seperti yang dikemukakan oleh Ibn Qudamah

diterangkan bahwasannya wanita pezina haram dinikahi oleh orang yang

mengetahui bahwa wanita itu pezina.

Madzhab Hambali menetapkan dua syarat untuk boleh menikahi

wanita pezina, syarat yang pertama yaitu sudah selesai masa iddahnya,

dan kedua adalah telah bertaubat dari perbuatan maksiatnya. 25

Ibn Katsir di dalam kitab tafsirnya, menyebutkan tentang pendapat Imam

Ahmad Ibn Hanbal yang merupakan tokoh mazhab Hanabilah. Imam

25
Ibn Qudamah al-maqdisi, Al-Mugni, Jilid VI (Ttp: Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah. T.t.),:
601- 603; Siska Laila, “Telaah Hadis Larangan Menikahi Wanita Pezina (Studi Ma’anil Hadis)”
(Undergraduate thesis, UIN Khas Kiai Achmad Siddiq Jember 2022),
http://digilib.uinkhas.ac.id/id/eprint/15089.
51
Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa tidak sah akad sebuah perkawinan

dari seorang laki-laki yang baik-baik dan seorang perempuan pelacur

yang masih melacurkan diri, sehingga bertaubat dengan sebenar-

benarnya taubat, dan jika sudah bertaubat maka sah akadnya. 26

Imam Ahmad bin Hanbal mengeluarkan pendapat ini berdasarkan

dalil al-Quran surat an-Nur ayat 3 dengan hadits nabi yang menjelaskan

tentang pernikahan dengan pezinah, sebagaimana Ibn Taimiyah

mengatakan haram dinikahi perempuan pezina sehingga ia taubat dan

habis masa iddahnya.

Imam Ahmad berpendapat bahwa taubatnya perempuan yang

berzina dapat diketahui dengan cara merayunya. Jika dia mau dirayu,

berarti taubatnya tidak benar, tetapi kalau dia menolak menunjukkan

taubatnya sungguh-sungguh. Pendapat ini dikuatkan oleh satu riwayat

dari Ibnu Umar. Akan tetapi, murid-murid Imam Ahmad berpendapat:

seorang muslim tidak boleh merayu dan mengajak perempuan untuk

berzina. Sebab merayu perempuan untuk berzina hanya dapat dilakukan

di tempat yang sepi, padahal berada di tempat yang sepi dengan

perempuan yang bukan mahramnya tidak halal, seekalipun untuk

mengajarkan al-quran.27

b. Mazhab Hanafi

26
Siska Laila, “Telaah Hadis Larangan Menikahi Wanita Pezina (Studi Ma’anil Hadis)”
(Undergraduate thesis, UIN Khas Kiai Achmad Siddiq Jember 2022),
http://digilib.uinkhas.ac.id/id/eprint/15089.
27
Siska Laila, “Telaah Hadis Larangan Menikahi Wanita Pezina (Studi Ma’anil Hadis)”
(Undergraduate thesis, UIN Khas Kiai Achmad Siddiq Jember 2022),
http://digilib.uinkhas.ac.id/id/eprint/15089.
52
Pendapat Imam Abu Yusuf dari kalangan ulama mazhab Hanafi,

mengatakan bahwa wanita pezinah tidak boleh dikawinkan, karena bila

di kawinkan, maka perkawinannya fasid atau batal. 28

Pendapat di atas berdasarkan pada ayat al-Quran surat an-nur ayat 3:

َ‫ان أ َ ۡو ُم ۡش ِر ۚك َو ُح ِر َم َٰذ َلِكَ َعلَى ۡٱل ُم ۡؤ ِمنِين‬ َّ ‫ٱلزانِي َِل َين ِك ُح ِإ َِّل زَ ا ِن َيةً أَ ۡو ُم ۡش ِر ك َٗة َو‬
ٍ َ‫ٱلزانِ َي ُة َِل َين ِك ُح َها َٰٓ ِإ َِّل ز‬ َّ

Artinya : Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan

yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang

berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-

laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang

mukmin.

Ayat di atas telah sarih (jelas) menunjukkan pelarangan atas

menikahi seseorang yang telah berzina baik laki-laki atau perempuan

kecuali sesama orang yang telah berzina. Menurut pendapat ini, yang

menunjukkan atas keharaman dan larangan yaitu pada akhir ayat

tersebut. Pendapat ini sejalan dengan pendapat sahabat Ali, Aisyah, Ibnu

Masud dan Barra. 29

Para ulama dalam memahami alquran di atas memaknai

lafazd (‫( ِل‬dengan bermakna larangan (haram). Sehingga,

28
Mahjuddin, Masailul Fiqhiyyah: berbagai kasus yang dihadapi hukum islam masa kini. (Kalam
Mulia , 1990), 46.
29
Muhammad Ali As-Sabuni, Tafsir ayat al-Ahkam, jilid 2 (Bairut: Dar ibnu Abbud, 2004), 36.
53
pernikahan perempuan dengan orang yang berzina diharamkan

oleh mereka.30

c. Mazhab Syafi’i

Madzhab Syafi’iyah berpendapat bahwa hukum menikahi wanita

pezina adalah boleh secara mutlak, karena wanita pezina tidak termasuk

dalam berkelompok perempuan yang haram dinikahi.

Mazhab Syafi’iyah membolehkan bagi siapa saja yang ingin

menikahi wanita pezina tersebut baik laki-laki yang merupakan pasangan

dalam melakukan perzinaan atau laki-laki lain yang mengetahui keadaan

wanita tersebut, 31.

hal ini di perkuat oleh pendapatnya sahabat yaitu pendapatnya Abu

Bakar, Umar bin Khattab, Ibn Abbas, dan Jabir r.a dari kalangan ini

mengatakan perzinahan bukan pernikahannya, sehingga yang diharamkan

dalam ayat tersebut adalah perzinaan bukan pernikahan. 32

Sedangkan mengenai hadis yang terdapat Surat an-Nur ayat 3, dari

madzhab SyafiI menyebutkan ada tiga takwilan terhadap ayat ini:

a) Ayat itu turun khusus pada kisah Ummu mahzul. 33

b) Ibnu Abbas mengartikan kata yankihu dengan yazni

(berzina), sehingga maksud ayat tersebut:

ً ‫ال َّز ا ن ِ ي َِل ي َ ْز ن ِ ي إ ِ َِّل زَ ا ن ِ ي َ ة‬

30
Siska Laila, “Telaah Hadis Larangan Menikahi Wanita Pezina (Studi Ma’anil Hadis)”
(Undergraduate thesis, UIN Khas Kiai Achmad Siddiq Jember 2022),
http://digilib.uinkhas.ac.id/id/eprint/15089.
31
Yahya Abdurrahman al-khatib, fiqih wanita hamil, (Qisthi Press , 2005 ), 74.
32
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta:Lentera Hati,2022) 287.
33
Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, jilid 9 (Bairut:Darul fikr,t.t), hal.494.
54
” Laki-laki yang berzina tidak berzina melainkan (dengan)

perempuan yang berzina dan seterusnya.” 34

c) Menurut Said ibn Musayyab surat an-Nur ayat 3 telah di

nasakh oleh QS. An-Nisa ayat 3 yang berbunyi:

َ ِ‫اب لَ ُكم ِمنَ ٱلن‬


......‫سا َٰٓ ِء‬ َ ‫ط‬ ۟ ‫فَٱن ِك ُح‬
َ ‫وا َما‬

Terjemah: “nikahilah perempuan (lain) yang kamu

senangi....... 35”

Mazdhab SyafiI juga mengatakan boleh hukumnya menikahi

wanita hamil karena zina, baik yang menikahi itu laki-laki yang

menghamilinya maupun bukan yang menghamilinya. Alasannya karena

wanita hamil sebab zina tidak termasuk golongan wanita yang

diharamkan untuk dinikahi dan perbuatan zina itu tidak menimbulkan

haram terhadap sesuatu yang halal (pernikahan). 36

Hadis ini merupakan ungkapan bagi seorang yang jelas-jelas

diketahui melakukan zina, walaupun tidak dikenai hukuman cambuk,

sehingga larangan menikahi wanita yang menjaga kehormatan dirinya

(afifah) dalam hadits ini sifatnya umum bagi semua orang yang

melakukan zina, bukan hanya terbatas bagi pezina yang dikenai sanksi

hukuman cambuk. Adapun Rasulullah melarang orang yang beriman

menikah dengan pezina yaitu sahabat Martsad bin Abi Martsad

AlGhonawi untuk melangsungkan akad nikah dengan pezina tersebut,

34
Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, jilid 9, 494.
35
Kementerian Agama, “Al-Qur'an dan Terjemahnya Edisi 2019”, (Jakarta: Lajnah Pentashihan
Mushaf Al-Qur’an Balitbang Diklat Kemenag RI, 2019), 105.
36
Abd. Rahman Ghazali, fiqih munakahat, (Jakarta: perdana media group kencana,2008), 124.
55
bukan hanya sekedar dilarang berjima dengannya. Demikian pula ulama

menyebutkan, bahwa tidaklah lafadz “nikah” disebutkan dalam Al-quran

kecuali makna yang dimaksud adalah akad nikah, bukan semata-mata

berjima dan bukan larangan untuk menikahi mereka.37

37
Abdul Wahid Faiz At-Tamimi, Hamil di luar nikah, (Yogyakarta:Gema Ilmu, Cet. Ke2,2015),
29.
56
DAFTAR PUSTAKA

Abu Abdullah bin Abd al Salam ‘Allusy, Ibanah Al-Ahkam Syarah Bulugh
AlMaram, hal 366.
Muhammad Sabir Maidin, “Nikah Mut’ah Perspektif Hadis Nabi SAW.,”
Mazahibuna Jurnal Perbandingan Mazhab 1, no. 2 (2019): 222–23.
Abu Abdullah bin Abd al Salam ‘Allusy, Ibanah Al-Ahkam Syarah Bulugh
AlMaram (Kuala Lumpur: Al-Hidayah Publication, 2010), hal 355-
356.
Fatimah, S. (2017). MENIKAHI WANITA HAMIL DALAM PERSPEKTIF
HADITS (Studi Analisis Sanad dan Matan) (Doctoral dissertation, UIN
Raden Intan Lampung).
Khairil Ikhsan Siregar, “Nikah Mut’ah Dalam Perspektif Al-Qur’an Dan
Hadis,”
Jurnal Studi Al-Qur’an 8, no. 1 (2012): 12. Larangan Nikah Mut’ah), hal 32-
40.”
Marzuki, “Memahami Hukum Nikah Mut’ah,” 2010, 8–9.
Muhammad Anis Malik, “Wawasan Hadis Tentang Nikah Mut’ah (Suatu
Kajian Mawdhu’iy),” Jurnal Al-Maiyyah 8, no. 2 (2015): 294–96.
Muhammad Sabir Maidin, Hadis-Hadis Hukum (Gowa: Alauddin University
Press, 2020), hal 40-41. 13 Imam Asy-Syafi’i, Kitab Al-Umm (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2014).
Siregar, “Nikah Mut’ah Dalam Perspektif Al-Qur’an Dan Hadis.”
Wulandari, R. (2018). Status Nasab Anak Di Luar Nikah Perspektif Mazhab
Hanafi
Dan Mazhab Syafi’i Dan Implikasinya Terhadap Hak–Hak Anak
(Doctoral dissertation, UIN Raden Intan Lampung).
Yulianto Y, “Kritik Hadits Nikah Mut’ah Perspektif Sunnah (Studi Analisis
Sanad Dan Matan Hadits Tentang Larangan Nikah Mut’ah),” Islamic
Insights Journal 2, no. 1 (2019): 40-41.

57
58

Anda mungkin juga menyukai