Anda di halaman 1dari 29

PERNIKAHAN BEDA AGAMA

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata kuliah Masailul Fiqhiyyah
Dosen pengampu : Dr. Misbahul Munir M.Pd.I

Disusun oleh:
1. Devany Abdul Haqqi
2. Lailatur Rofiah
3. Fadhilatul Khoiriyyah

KELAS E SEMESTER 5
FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDHOTUL ULAMA TUBAN
TUBAN
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan Rahmat,
Taufik, Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
Filsafat Pendidikan Islam ini dengan tepat waktu. Karena tanpa
pertolongan dari-Nya kami tidak akan dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada baginda
Nabi Muhammad SAW karena beliaulah yang telah membimbing kita
dari zaman Jahiliyah menuju zaman yang terang benderang yakni
Addinul islam wal iman dan yang kita harapkan syafaatnya di yaumul
qiyamah.
Selanjutnya penulis berterima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu menyelesaikan makalah Masailul Fiqhiyyah ini
dengan judul “Pernikahan Beda Agama” khususnya kepada dosen
pengampu mata kuliah Masailul Fiqhiyyah Bapak Dr. Misbahul Munir
M.Pd.I yang telah membimbing kami dalam pembuatan makalah ini
dan teman-teman sekalian.
Penyusun menyadari dalam pembuatan makalah ini masih
banyak kekurangan baik itu dalam hal penulisan, isi maupun yang
lainnya. Maka dari itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca yang bersifat membangun untuk perbaikan makalah ini.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan, Semoga makalah
ini bermanfaat bagi kita semua khususnya mahasiswa-mahasiswi,
umumnya bagi para pembaca.

Tuban, 29 September 2021


Penyusun

DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................................................
B.Rumusan Masalah...........................................................................
C.Tujuan Masalah...............................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A Pernikahan Beda Agama.................................................................
B.Pandangan Islam.............................................................................
C.Pandangan Negara..........................................................................
D.Dampak Pernikahan Beda Agama..................................................
BAB III PENUTUP
A.Kesimpulan.....................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah bangsa yang memiliki banyak agama yang
dianut oleh penduduknya. Perbedaan agama ini menimbulkan
hubungan sosial antar individu, dengan bermacam-macam agama.
Hubungan social ini kadang kala akan berujung pada pernikahan beda
agama.
Fakta di atas bertentangan dengan firman Allah dalam surat
al-Baqarah ayat 221 yang artinya: Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang- orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik,
walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah- Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran.
Dalam pandangan Islam, kehidupan keluarga seperti itu tidak
akan terwujud secara sempurna kecuali jika suami isteri berpegang
kepada agama yang sama. Jika agama keduanya berbeda akan timbul
berbagai kesulitan di lingkungan keluarga, dalam melaksanakan ibadah,
pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi keagamaan,
dan lain-lain.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian pernikahan beda agama ?
2. Bagaimana pandangan islam terhadap pernikahan beda agama ?
3. Bagaimana pandangan negara terhadap pernikahan beda
agama ?
4. Bagaimana dampak dari pernikahan beda agama ?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pernikahan beda agama
2. Mengetahui pandangan islam terhadap pernikahan beda agama
3. Mengetahui pandangan negara terhadap pernikahan beda agama
4. Mengetahui dampak dari pernikahan beda agama
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pernikahan Beda Agama


1. Pengertian Nikah
Sebelum terlalu jauh membahas tentang nikah beda
agama serta dampak yang timbul khususnya bagi anak
keturunan terlebih dalam hal pendidikan agamanya, maka
sedikit akan dijelaskan terlebih dahulu tentang pengertian
nikah itu sendiri.
Nikah berasal dari bahasa arab
ً ‫ نِ َكاحا‬- ‫نَ َك َح – يَ ْن ِك ُح‬

Yang artinya secara bahasa adalah al jam’u dan al dhammu


yang atau kumpul atau mengumpulkan. Sedangkan secara
istilah menurut ilmu fiqih dari para fuqaha mendefinisikan
nikah adalah suatu akad perjanjian yang mengandung
kebolehan melakukan hubungan seksual (persetubuhan) dengan
memakai kata-kata (lafaz) nikah atau tazwij. 1 Menurut Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pernikahan
didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

1
Rahmat Hakim. 2000. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia. Hlm. 11-12.
Lihat juga: Zakiah Daradjat. 1995. Ilmu Fiqh. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. Hlm. 37.
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan di dalam
Kompilasi Hukum Islam pernikahan adalah akad yang sangat
kuat atau mitsaqan ghalizhah untuk menaati perintah Allah
dan melaksanakannya merupakan ibadah.2

Sedangkan nikah menurut syaikh Wahbah al Zuhaili


dalam kitabnya ‚Fiqhu al Islami wa Adillatuhu‛ adalah akad
yang menghalalkan seorang pria untuk memiliki atau
berhubungan dengan wanita; baik berhubungan badan,
sekedar mencium, bercanda gurau dan sebagainya selama
wanita tersebut bukan sebagai mahramnya secara nasab,
persusuan atau kerabat dekat yang haram untuk dinikahi.3

2. Pernikahan Beda Agama

P e r n i k a h a n a d a la h m e r u p a k a n s a la h s a t u k e m a s l a h a t a n
y a n g d e n g a n n y a m en d a p a t k a n k e b a h a g a ia a n , k e te n t ra m a n d a n
k e t u r u n a n . N a m u n a p a b i l a p e rn i k a h a n t e rs e b u t d ila k u k a n
d e n g a n se se o r a n g y a n g b e rb e d a k e y a k in a n (a g a m a ) , b u k a n
kebah ag aiaan d a n k e te n t ra m a n yang d ip e r o l e h , m ala h
se b a lik n y a . D e m ik ia n d e n g a n a n a k , a k a n b a g a im a n a a n a k
n a n tin y a , a g a m a d a n k ep e rc a y a a n b a g a ia m a n a , m a k a a k a n
m e n ja d i p e rm a s a la h a n b e sa r d a n o ra n g tu a k h u s u s n y a a k a n
d im i n t a i p e r t a n g g u n g j a w a b a n o le h A lla h S w t . d ik e m u d i a n
h a r i. M a k a o le h b e s a r n y a k e b u r u k a n y a n g d it im b u l k a n ,
p e rn i k a h a n b e d a a g a m a d ih a r a m k a n o le h A lla h d a n ra s u l - N y a .

pernikahan beda agama antara orang Islam (laki-laki


dan perempuan) dengan non muslim dalam pandangan Islam

2
Lihat : UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
3
Wahbah al Zuhaili. 1985. Fiqhu al Islami wa Adillatuhu Juz. VII. Cetakan
II. Damaskus: Dar al Fikri. Hlm. 29.
dapat dibedakan sebagai berikut:4
1. Islam dengan tegas melarang wanita muslim menikah
dengan laki-laki non muslim, baik yang musyrik maupun
ahli kitab, seperti yang dengan jelas ditegaskan dalam surat
al Baqarah ayat 221.
2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita non muslim
dibedakan dalam 2 hal:
a) Perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan musyrik
tidak dibenarkan atau dilarang dengan tegas sesuai surat
al Baqarah ayat 221. Namun, yang menjadi pertanyaan
adalah siapakah yang termasuk ke dalam kategori
wanita musyrik yang haram dinikahi oleh laki-laki
muslim.
b) Tentang pernikahan laki laki Muslim dengan yang non
muslim yang ahli kitab adalah hal yang kontroversial
dikalangan para fuqaha sejak zaman Sahabat. Menurut
Abdul Basiq Jalil dalam tesisnya ‚Kajian para Ahli
Agama, Fuqaha dan Kompilasi Hukum Islam tentang
Pernikahan Lintas Agama‛ tahun 2004 dan juga
Ichtiyanto dalam disertasinya tentang Perkawinan
Campuran Dalam Negara Republik Indonesia tahun 2003
mengutip pandangan Ibrahim Husen yang merangkum
pendapat para fuqaha tentang masalah ini ke dalam tiga
golongan yaitu:
1) Golongan pertama, golongan ini termasuk Jumhur

M u h a m m a d A s h s u b li. 2 0 1 5 . U n d a n g -U n d a n g P e r k a w in a n D a la m P lu r a lita s
H u k u m A g a m a ( J u d i c ia l R e v ie w P a s a l P e r k a w i n a n B e d a A g a m a ) . J u r n a l C ita H u k u m ,
F S H U I N S y a ri f H i d a y a t u ll a h J a k a rt a V o l .3 N o .2 , 2 0 1 5 . H lm . 2 9 5 .
Ulama berpendapat bahwa pernikahan laki-laki
muslim dengan non muslim Ahlu kitab (pengikut
Yahudi dan Nasrani) diperbolehkan, sedang selain
Yahudi dan Nasrani, hukumnya haram. Mereka
beralasan dengan ayat Alquran surat Al Maidah ayat
5;
‚Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.
Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al
Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula
bagi mereka. (dan dihalalkan mengawini) wanita-
wanita muhshanat (yang menjaga kehormatannya)
diantara wanita-wanita yang beriman, serta wanita-
wanita yang menjaga kehormatannya diantara
orang-orang yang diberi al Kitab sebelum kamu, bila
kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
pula menjadikannya gundik-gundik.‛ Menurut mereka,
dari ayat tersebut dapat ditarik dua argumen.
Pertama, ayat ini dengan tegas
membolehkan orang muslim memakan makanan
orang ahli kitab (kecuali jenis yang diharamkan) dan
membolehkan menikahi wanita-wanita Ahli Kitab
yang muhsanat. Kedua, dari sisi kronologisnya ayat ini
termasuk rangkaian ayat-ayat madaniah, yang turunnya
sesudah hijrah, yang berarti ayat yang dapat dijadikan
rujukan hukum.
2) Golongan kedua, yaitu golongan yang berpendapat
bahwa menikahi wanita non muslim haram
hukumnya. Pendapat ini dianut antara lain oleh
ibnu Umar dan Syi'ah Imamiah. Mereka beralasan
dengan beberapa dalil. Pertama, surat al-Baqarah
ayat 221 yang berbunyi:
‚Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak-budak
wanita yang beriman lebih baik bagimu daripada
wanita musyrik meskipun wanita musyrik itu amat
menerik

hatimu. Dan janganlah pula kalian menikahkan orang-


orang musyrik dengan wanita beriman, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak laki-laki beriman lebih baik
daripada pria musyrik, walaupun mereka menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke
surga dan ampunan dengan izinnya. Dan
Allah menerangkan ayatayatNya (perintah-
perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.‛ Selanjutnya surat al Mumtahanah ayat 10
yang artinya;
‚Hai orang-orang yang beriman, apabila datang
berhijrah kepadamu perempuan beriman, maka
hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah
lebihmengetahui tentang keimanan mereka ;
maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka
(benarbenar) beriman maka janganlah kamu kembalikan
kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir.
Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka. Dan
berikanlah kepada suami-suami mereka mahar yang
telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini
mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya.
Dan janganlah kamu berpegang kepada tali
(perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir,
hendaklah kamu minta kembali mahar yang
telahkamubayar dan hendaklah mereka minta
kembali mahar yang mereka bayar. Demikianlah
Hukum Allah yang ditetapkan bagi kamu, Allah maha
mengetahui lagi maha bijaksana.‛

Golongan ini menjadikan kedua ayat diatas


sebagai landasandari pendapat yang melarang
kaum mukminin menikah dengan perempuan musyrik.
Ahli kitab bagi golongan ini termasuk orang musyrik,
dengan alasan bahwa orang Yahudi mempertuhan
Uzair dan orang-orang Nasrani mempertuhan al
Masih Isa bin Maryam. Al Quran menyifati mereka
sebagai orang yang berbuat syirik, dimana dosa
syirik tidak dapat diampuni jika mereka tidak
bertobat kepada Allah sebelum meninggal dunia.5

5
Jane Marlen Makalew. 2013. Akibat Hukum Dari Perkawinan Beda Agama Di Indonesia.
Lex Privatum, Volume I, Nomor 2 April - Juni 2013. Hlm. 138-139. Lihat juga: Nurhasanah.
2017. Implikasi Larangan Menikah Beda Agama Terhadap Pendidikan Anak Dalam
Keluarga. Tidak Dipublikasikan. Fakultas Pendidikan dan Keguruan Universitas Islam Negeri
Raden Intan Lampung.
B. Pandangan Islam
1. Perkawinan Beda Agama Menurut Fuqaha
Fuqaha sepakat bahwa perkawinan seorang perempuan
muslimah dengan pria non muslim baik ahlul kitab atau musyrik
tidak sah. karena akan dikhawatirkan ada pelanggaran-pelanggaran
etika akidah, karena sebagaimana yang kita ketahui bahwa istri
wajib tunduk pada suami.6 Sedangkan perkawinan pria muslim
dengan wanita beda agama terjadi perbedaan pendapat dikalangan
fuqaha Antara lain:
a. Mazhab Hanafi
Imam Abu Hanifah berpendapat tentang perkawinan antar beda
agama terdiri dari dua hal. Yaitu :
1) Perkawinan antara pria muslim dengan wanita non muslim
(musyrik) hukumnya adalah haram mutlak.
2) Perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahlu al-kitab
(Yahudi dan Nasrani), hukumnya mubah (boleh). 7 Menurut mazhab
Hanafi yang dimaksud dengan ahlu al-kitab adalah siapa saja yang
mempercayai seorang Nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah
SWT, termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim As
dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada nabi Musa AS dan
kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini.8 Bahkan menurut
mazhab ini mengawini wanita ahlu al-kitab dzimmi atau wanita
kitabiyah yang ada di Daaral-Harbi boleh hukumnya.

6
M. Ali al-Shabuniy, Tafsir Ayat Ahkam, terj (Semarang: Pustaka Rizki Putra,.1991), 205
7
Muhammad Bin Ali Bin Muhammad As-Syaukani, Fathu al-Qadir al-Jami' Baina Fannai al-
Riwayah wa al-Dirayah Min 'Ilmi al-Tafsir (Beirut: Darul Ma’rifah, 1428 H / 2007 M), juz III,
228
8
Sihabuddin bin Muhammad as-Shna’ni, Bada’i Ash-Shana’i (Lebanon: Darul Ma’arif
Arabiyah, t.th), Juz II, 270
3) Menurut mazhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah
yang ada di Daar al-Harbi hukumnya makruh tahrim, karena akan
membuka pintu fitnah, dan mengandung mafasid (kerusakan-
kerusakan) yang besar.
4) Perkawinan dengan wanita ahlu al-kitab zimmi hukumnya
makruh tanzih, alasan mereka adalah karena wanita ahlu al-kitab
dzimmi ini menghalalkan minuman arak dan menghalalkan daging
babi.9
b. Mazhab Maliki
Mazhab Maliki berpendapat bahwa perkawinan beda agama
mempunyai dua pendapat yaitu:
1) Menikah dengan kitabiyah hukumnya makruh baik
dzimmiyah (wanita- wanita non muslim yang berada di wilayah
atau negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun harbiyah,
namun makruh menikahi wanita harbiyah lebih besar (Ibnu Abdil
Barr, t.th: 543). Akan tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri yang
kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan
agama ayahnya, maka hukumnya haram.
2) Menikah dengan kitabiyah hukumnya boleh karena ayat
tersebut tidak melarang secara mutlak. Metodologi berpikir mazhab
Maliki ini menggunakan pendektan Sad al-Zarai’ (menutup jalan
yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika dikhawatirkan
kemafsadatan yang akan muncul dalam perkawinan beda agama,
maka diharamkan.10
c. Mazhab Syafi’i
9
Az-Zailaiy, Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq (Beirut: Daar Al-Ma’rifah, t.th), Juz II,
109

10
Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatu al-Muqtashid (Beirut: Maktabah Ilmiyah,
t.th), juz II
Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa perkawinan beda agama
adalah boleh Yaitu menikahi wanita ahlu al-kitab. Akan tetapi
termasuk golongan wanita ahlu al-kitab menurut mazhab Syafi’i
adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang
bangsa Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya, sekalipun
termasuk penganut Yahudi dan Nasrani.11 Alasan yang
dikemukakan mazhab ini adalah :
1) Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk
bangsa Israel, dan bukan bangsa lainnya.
2) Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu) pada surat Al-
Maidah ayat 5 menunjukkan kepada dua kelompok golongan
Yahudi dan Nasrani bangsa Israel.Menurut mazhab ini yang
termasuk Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita yang menganut
agama tersebut sejak Nabi Muhammad sebelum diutus menjadi
Rasul, yaitu semenjak sebelum Al-Qur’an diturunkan, tegasnya
orang-orang yang menganut Yahudi dan Nasran sesudah Al-Qur’an
diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani kategori ahlu al-
kitab, karena tidak sesuai dengan bunyi ayat min qoblikum
tersebut.12
d. Mazhab Hambali.
Mazhab Hambali mengemukakan bahwa perkawinan beda
agama haram apabila wanita-wanita musyrik, akan tetapi boleh
menikahi wanita Yahudi dan Nasrani. Mazhab ini lebih cenderung
mendukung pendapat Imam Syafi’i. Tetapi mazhab Hambali tidak
membatasi tentang ahlul kitab, menurut pedapat mazhab ini bahwa

11
Muhammad Syamsuddin bin Ahmad Al-Khotib Asy-Syarbini, Mughni Al-muhtaj (Beirut –
Lebanon: Darul Ma'rifat, 1997 M), Juz III, 187
12
Badruddin bin Abi Muhammad al-Nawawi, Raudhah Ath-Thalibin (Cairo: Darul Maarif,
1327 H), Juz VII, 132
yang termasuk ahlual-kitab adalah yang menganut agama Yahudi
dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi
Rasul.13
Dari pemaparan diatas, maka dapat dilihat bahwa peraturan
perundang- undangan di Indonesia melarang perkawinan beda
agama. Fuqaha berbeda pendapat tentang pernikahan beda Agama.
Ulama menyepakati bahwa perkawinan dengan orang musyrik
adalah haram. Ulama berbeda pendapat tentang perkawinan dengan
Ahlul kitab. Ada yang melarang dan ada yang membolehkan
tergantung pemahaman terhadap golongan Ahlul kitab.
C. Pandangan Hukum Negara
1. Perkawinan Beda Agama Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Di Indonesia
Perkawinan yang sah telah diatur dalam perundang-undangan
pasal 2 Undang- undang no 1 tahun1974 sebagai berikut:
(Abdurrahman dan Riduan Syahrani, 1978:35)
a) UU No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan adalah
sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
b) Perkawinan wajib dicatatkan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Kompilasi Hukum Islam telah mengatur tentang perkawinan:
a) Pasal 2 Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan,
yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

13
Taqwiyudin Ibnu Najjar, Syarh Muntaha Al-Iradaat (Lebanon, Maktabah Aalamiyah, 1276
H), Juz III
b) Pasal 3 Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
c) Pasal 4 Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
d) Pasal 40 huruf c Kompilasi Hukum islam menyatakan
sebagai berikut :
1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang
pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu; karena
wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan
dengan pria lain;
2) Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah
dengan pria lain;
3) Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
e) Pasal 44 menyatakan sebagai berikut: Seorang wanita Islam
dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam. Berdasarkan undang-undang perkawinan no 1 tahun
1974 dan Kompilasi Hukum Islam diatas, bahwa setiap orang yang
ingin melakukan pernikahan harus menganut agama yang sama. Jika
terjadi pernikahan yang berbeda agama dianggap pernikannya tidak
sah.
D. Dampak Nikah Beda Agama
1. Terhadap Kehidupan Keluarga (suami istri)
Dalam beberapa ayat dan hadits yang telah disebutkan,
sebenarnya Allah dan Rasul-Nya telah menyebutkan tentang akibat
atau dampak dari melanggar perintah (nikah beda agama). Misalanya
dalam surat al Baqarah ayat 221.
ٰۤ ُ
ۚ ٖ ِ‫ار ۖ َوهّٰللا ُ يَ ْد ُع ْٓوا اِلَى ْال َجنَّ ِة َو ْال َم ْغفِ َر ِة بِا ِ ْذن‬
‫\\ه‬ ِ َّ‫ك يَ ْد ُعوْ نَ اِلَى الن‬
َ \ِ‫ول ِٕٕى‬ ‫ا‬
َ‫اس لَ َعلَّهُ ْم يَتَ َذ َّكرُوْ ن‬ِ َّ‫َويُبَي ُِّن ٰا ٰيتِ ٖه لِلن‬

Terjemahnya:
Mereka (pasangan musyrik) mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran.‛ (QS. Al baqarah:
221)
Secara pasti Allah menyebutkan dampak yang terjadi
terhadap seorang muslim/muslimah ketika menikah dengan pasangan
musyrik, yaitu pasangan tersebut akan menariknya kedalam neraka.
Demikian halnya yang disebutkan oleh Rasul dalam haditsnya :
‫ ف اظفر‬،‫ ول دينها‬،‫ ولجماله ا‬،‫ ولحس بها‬،‫ لماله ا‬:‫تنكح المرأة ألرب ع‬
‫بذات الدين تربت يداك‬

Artinya:
‚Wanita dinikahi karena empat hal; karena hartanya,
keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah karena
agamanya niscaya engkau akan beruntung.‛ (HR. Al Bukhari dan
Muslim)
Dalam hadits ini Rasul menjelaskan bahwa bagi sesiapa yang
memilih pasangan karena karena mengutamakan agamanya, maka
akan beruntung. Beruntung disini bersifat umum, bisa di dunia dan
bisa juga di akhirat.
Selain yang disebutkan, dampak lain terhadap suami istri
yang biasa ditemukan terhadap nikah beda agama adalah:14
a. Perasaan dan suasana yang tidak nyaman hidup bersama
dengan orang yang menurut agama/pasangan‚salah‛. Permasalahan
tidak nyaman itu diakui atau tidak, lantaran pasangan yang akhirnya
menikah itu tetap mempertahankan agama sebagai kepercayaan
masing-masing. Hal ini bisa berdampak pada keharmonisan keluarga.
Sebab, tujuan menikah salah satunya karena ingin membangun
keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Bagi pasangan yang
beda agama tersebut, berpotensi hidup bersama tanpa dibarengi
dengan kenyamanan. Alasannya karena keduanya masih merasa
bahwa agama yang dianut masing-masing sama-sama benar.
Sehingga, keduanya tetap mempertahankan agama yang
dipercayanya masing-masing.
b. Pasangan nikah beda agama berpotensi memunculkan
perasaan khawatir jika anak suatu saat akan mengikuti atau
tertarik dengan agama yang dianut pasangan.
c. Rasa tidak nyaman secara sosial karena selalu menjadi
sasaran pandang masyarakat.
d. Memunculkan perasaan saling curiga. Misalnya, ketika
salah satu pasangan melakukan hal-hal yang baik dengan
alasan karena dianjurkan oleh ajaran agamanya. Hal itu
menimbulkan potensi anggapan yang muncul dari pasangan

14
Hukum Online. 2015. Empat Kelemahan Nikah Beda Agama Dilihat dari perspektif
psikologis dan sosiologis. Diakses pada hari Senin 30 November 2015.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt565beb1c50465/ini-empat- kelemahan-
nikah-beda-agama.
bahwa ada ‘upaya lain’ di balik tindakan baik pasangan
tersebut.
2. Terhadap Pendidikan Agama Anak
Selain berdampak negative terhadap kehidupan keluarga
(suami istri), dampak yang paling mengerikan adalah terhadap anak
keturunan. Jelasnya anak dari orang tua yang beda agama akan
memiliki dua kepribadian atau berkepribadian ganda. Di satu sisi
harus pandai menghadapai sang ayah yang beragama Islam misalnya
dan disisi lain harus bisa menyesuaikan dengan agama kepercayaan
ibunya, kristen misalnya.
Secara umum, pasangan beda agama dibagi menjadi 3
kategori; yaitu pasangan yang sama-sama lemah dalam agamanya,
pasangan yang salah satunya kuat dalam beragama sedangkan yang
lain lemah dalam agama dan pasangan yang sama-sama kuat dalam
beragama.
Dengan berdasar pada pembagian tersebut, maka dampak
yang terjadi-pun terhadap pendidikan agama anak setidaknya ada
tiga:15
a. Pada pasangan yang tidak terlalu kuat dalam beragama atau
beragama sekedar formalitas (agama KTP) maka akan berdampak
terhadap persepsi anak tentang agama sebagaimana orang tua
memahami agama. Secara generatif anak mengikuti
keberagamaan orang tua. Agama sekedar pakaian atau formalitas.
Faktor lingkungan lebih dominan dalam mempengaruhi agama
anak, sedangkan orang tua kurang begitu signifikan pengaruhnya.

15
Erwin Yudi Prahara. 2016. Pengaruh Pendidikan Agama Pada Anak Dalam Keluarga Beda
Agama Di Desa Klepu Sooko Ponorogo. Cendekia Volume 14 Nomor 1, Januari - Juni 2016.
Hlm. 31.
b. Pada pasangan di mana salah satu pasangan lebih kuat dalam
beragama atau lebih aktif dalam mempengaruhi anak untuk masuk
dalam agamanya, maka anak akan cenderung mengikuti agama
orang tua yang dominan. Dalam keluarga semacam ini, biasanya
salah satu pihak aktif berusaha untuk mengenalkan agamanya
kepada anaknya, sementara pihak yang lain cenderung
membiarkan atau mengalah. Hal ini dilakukan untuk mencegah
konflik rumah tangga. Tidak jarang pihak yang mengalah justru
mendorong anaknya supaya konsisten dalam beragama. Artinya,
anak diminta menjadi penganut agama dengan baik. Tidak jarang
sikap mengalah dan sportif pihak orang tua yang mengalah justru
mengundang simpati salah satu anak dan karenanya anak
berkeinginan untuk mengikuti agama selain yang diajarkan pihak
orang tua yang dominan.
c. Pada pasangan yang sama–sama kuat dalam beragama atau sama-
sama aktif dalam mengajak anak agar memeluk agama yang
dipeluknya memiliki 2 (dua) kemungkinan, yaitu orang tua
membuat kesepakatan, atau orang tua tidak membuat kesepakatan.
Bagi pasangan yang membuat kesepakatan tertentu, maka
komunikasi keluarga dalam hal agama akan lebih terarah sesuai
dengan kesepakatan tersebut, baik kesepakatan tentang agama
anak untuk mengikuti agama salah satu orang tua atau dibagi
secara fair, sebagian ikut agama ayah, sebagian ikut agama ibu.
Atau bahkan anak diberi kebebasan dalam menganut agama.
Potensi konflik akan terjadi pada pasangan yang tidak membuat
kesepakatan tertentu karena terjadi kompetesi terselubung dalam
mempengaruhi agama anak.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia tidak
menyediakan aturan yang membolehkan pernikahan beda
agama.
2. Fuqaha berbeda pendapat tentang pernikahan beda Agama.
Ulama menyepakati bahwa perkawinan dengan orang musyrik
adalah haram. Ulama berbeda pendapat tentang perkawinan
dengan Ahlul kitab. Ada yang melarang dan ada yang
membolehkan tergantung pemahaman terhadap golongan Ahlul
kitab.
3. setiap orang yang ingin melakukan pernikahan harus menganut
agama yang sama. Jika terjadi pernikahan yang berbeda agama
dianggap pernikannya tidak sah.
4. Pernikahan beda agama berdampak negative terhadap kehidupan
keluarga (suami istri), dampak yang paling mengerikan adalah
terhadap anak keturunan.

DAFTAR PUSTAKA
Hakim, Rahmat. 2000. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: CV.
Pustaka Setia.
Daradjat, Zakiah. 1995. Ilmu Fiqh. Yogyakarta: Dana Bhakti
Wakaf. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan.
Al Zuhaili, Wahbah. 1985. Fiqhu al Islami wa Adillatuhu Juz.
VII. Cetakan II. Damaskus: Dar al Fikri.
Makalew, Jane Marlen. 2013. Akibat Hukum Dari Perkawinan
Beda Agama Di Indonesia. Lex Privatum, Volume I, Nomor 2
April - Juni 2013.
Az-Zailaiy, Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq (Beirut:
Daar Al-Ma’rifah, t.th), Juz II
Badruddin bin Abi Muhammad al-Nawawi, Majmu’ Syrah
Muhazzab (LKebanon: Maktabah Ilmiyah, t.th), Juz XVI
Badruddin bin Abi Muhammad al-Nawawi, Raudhah Ath-
Thalibin (Cairo: Darul Maarif, 1327 H), Juz VII
Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatu al-Muqtashid
(Beirut: Maktabah Ilmiyah, t.th), juz II
Sihabuddin bin Muhammad as-Shna’ni, Bada’i Ash-Shana’i
(Lebanon: Darul Ma’arif Arabiyah, t.th), Juz II

Anda mungkin juga menyukai