Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF AL-


QUR’AN DAN HADIS

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Al-Qur’an dan Hadis

Dosen Pengampuh :

Dr. H. Rafid Abbas, M.A.

Oleh ;

FATHUL GHAFFARI
NIM : 233206080011

PRODI STUDI ISLAM


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ
JEMBER 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas

segala taufiq dan hidayah-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini

dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah sejarah pemikiran islam pada semester

1 Program Pascasarjana Studi Islam di UIN KH. ACHMAD SHIDDIQ Jember.

Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada sang junjungan kita

Nabi Muhammad SAW. Yang telah mampu menuntun kita dari masa kelam

menuju masa yang penuh dengan sinar-sinar keindahan dan keselamatan dalam

beragama.

Dan tidak lupa kami ucapkan terimakasi kepada bapak Dr. H. Rafid
Abbas, M.A. dan Dr. Kasman, M.Fil.I. selaku dosen pengampu mata kuliah Studi
Al-qur’an dan Hadist yang telah membimbing kami dalam menyelesaikan tugas
makalah ini.

Penulis sangat menyadari dengan sepenuh hati makalah ini tidak akan

luput dari salah dan jauh dari kata sempurna oleh karena itu kritikan yang

konstruktif edukatif sangat penulis harapkan demi perbaikan makalah berikutnya.

Selanjutnya penulis berdoa dengan hati yang ikhlas dan penuh dengan

keyakinan semoga makalah ini bermanfaat.

Situbondo, 05 Desember 2023

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk ciptaan tuhan yang mulia, laki-laki dan

perempuan termasuk dari dua macam jenis manusia itu sendiri. Pada keduanya

dianugrahi kecendrungan untuk mencintai. Tidak hanya berhenti di anugrah untuk

mencintai namun Allah juga memberikan wadah untuk mengaplikasikan dua

manusia, laki-laki dan perempuan yang saling mencintai, berupa sebuah

perkawinan / pernikahan.

Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dinilai ideal dengan

dilakukan oleh pria dan wanita yang sama akidah, akhlak dan tujuannya,

disamping cinta dan ketulusan hati. Dengan keterpaduan itulah, kehidupan suami

istri akan tentram, penuh cinta dan kasih sayang. Sehingga akan menimbulkan

manfaat yang sangat besar berupa kebahagiaan dan anak-anak yang sejahtera.

Pernikahan adalah sebuah kegiatan yang dianggap sakral oleh umat islam,

karenanya dua insan yang menjadi satu padu untuk menuju kehidupan yang kekal

di akhirat. Diakhir-akhir ini public Indonesia dihebohkan dengan kasus public

figure yang berbeda keyakinan. Pernikahan seseorang tidak akan lepas dari latar

belakang, kebudayaan dan keyakinan yang dianutnya. Ironisnya ada beberpa

orang yang tetap menjalankan sebuah pernikahan tanpa melirik latar belakang

kehidupannya, baik dari segi kebudayaan dan keyakinan yang dianutnya.

Perkawinan semacam ini akan menimbulkan permasalahan yang kompleks dan


sensitif. Ada beberpa hal harus di pertimbangkan dalam masalah ini. Pertama,

perbedaan agama, yang nantinya akan mempengaruhi cara pandang hidup, nilai-

nilai yang mereka jadikan pedoman dan juga tradisi keagamaan yang mereka

jalankan. Kedua, perbedaan budaya dan adat, yang akan mempengaruhi cara

dalam berkomunikasi, interaksi dengan keluarga dan teman-teman, serta

pengambilan keputusan penting dalam kehidupan mereka. Perbedaan budaya dan

adat juga dapat menjadikan penghalang dalam keberlangsungan pernikahannya

jika pasangan tidak dapat menghargai perbedaan yang terjadi.1

Berdasarkan dua hal di atas yang harus dipertimbangkan dalam

perkawinan, dalam sebuah perbedaan tentang keyakinan perlu pengkajian menurut

keyakinan yang dianut masing-masing pasangan. Dalam agama islam memiliki

dua pedoman dalam menjalani kehidupan sebagai seorang hamba, yaitu Al-qur’an

dan Hadist. Untuk menyikapi permasalahan yang terdaji perlu peninjauan dan

pengkajian dalam Al-qur’an dan Hadis. Yang mana hal ini akan dijabarkan

dimakalah ini secara ringkas. Dengan merujuk pada buku-buku dan artikel yang

sudah ada dengan pembahasan yang sama.

B. Rumusan Masalah
Setelah memaparkan latar belakang masalah kemudian penulis rumuskan
permasalah yang akan menjadi fokus pembahasan di makalah ini, sebagaimana
berikut:
1. Bagaimana pandangan Al-qur’an mengenai pernikahan beda agama ?
2. Bagaimana pandangan Hadis mengenai pernikahan beda agama ?

1
hakim, l. (2023). Perkawinan beda agama dalam perspektif hukum islam. Jurnal hukum keluarga
islam, 2(1).
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penyusunan
makalah kali ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pandangan Al-qur’an mengenai pernikahan beda agama
2. Mengetahui pandangan Hadist mengenai pernikahan beda agama
3. Mengetahui berbagai pendapat para ulama dalam memahami sebuah nash
yang menyinggung pernikahan beda agama
4. Bisa dengan bijak untuk memanfaatkan perbedaan yang terjadi di kalangan
para ulama dengan berbagai sudut pandang yang berbeda demi bisa
menyesuaikan penetapan hukum dengan situasi dan kondisi yang menuntut
berbeda.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pernikahan Beda Agama Menurut Al-qur’an


Hukum Islam mengartikan perkawinan sebagai suatu akad yang
memungkinkan hubungan suami istri menjadi halal menurut cara yang ditentukan
oleh Allah SWT. Secara teknis perkawinan adalah suatu akad yang membolehkan
seorang laki-laki dan seorang perempuan mengadakan hubungan intim, dengan
syarat perempuan itu tidak dianggap sebagai mahram..2

Pernikahan beda agma merupakan sebuah pernikahan yang berbeda pada


umumnya yang dilakukan untuk menghalalkan hubungan laki-laki dan perempuan
dengan tujuan agar terwujudnya kebahagiaan hidup berkeluarga yang dilakukan
seseorang yang beragama islam dan non islam yang didasari dengan saling
mencintai satu dengan yang lain.3

Mengenai pernikahan beda agama, Al-qur’an menyinggu larangan untuk


menikahi perempuan yang musyrik dalam surat Al-baqarah ayat 221, yaitu :

‫َو اَل َتْنِكُحوا اْلُم ْش ِر ٰك ِت َح ّٰت ى ُيْؤ ِم َّن ۗ َو َاَلَم ٌة ُّم ْؤ ِم َن ٌة َخ ْي ٌر ِّم ْن ُّم ْش ِر َك ٍة َّو َل ْو َاْع َجَبْتُك ْم ۚ َو اَل ُتْنِكُح وا‬
‫ٰۤل‬
ۖ ‫اْلُم ْش ِر ِكْيَن َح ّٰت ى ُيْؤ ِم ُنْو اۗ َو َلَع ْبٌد ُّم ْؤ ِم ٌن َخْيٌر ِّم ْن ُّم ْش ِر ٍك َّو َل ْو َاْع َج َبُك ْم ۗ ُاو ِٕى َك َي ْدُع ْو َن ِاَلى الَّن اِر‬
٢٢١ ࣖ ‫َو ُهّٰللا َيْدُع ْٓو ا ِاَلى اْلَج َّنِة َو اْلَم ْغ ِفَر ِة ِبِاْذ ِنٖۚه َو ُيَبِّيُن ٰا ٰي ِتٖه ِللَّناِس َلَع َّلُهْم َيَتَذَّك ُرْو َن‬

Artinya : Janganlah kamu menikahi perempuan musyrik hingga mereka beriman!


Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan
musyrik, meskipun dia menarik hatimu. Jangan pula kamu menikahkan laki-laki
musyrik (dengan perempuan yang beriman) hingga mereka beriman. Sungguh,
hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik
meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat
ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajara.4
2
Anggraeni, D., Kuswaya, A., & Hidayati, T. W. (2022). Pernikahan beda agama perspektif al-
qur’an (analisis pemikiran buya hamka dalam tafsir al-azhar). Al Dhikra| Jurnal Studi Qur'an dan
Hadis, 4(2), 159-172. Https://doi.org/10.57217/aldhikra.v4i2.1112
3
Anggraeni, D., Kuswaya, A., & Hidayati, T. W. (2022). al Dhikra| Jurnal Studi Qur'an dan
Hadis, 4(2), 159-172. https://doi.org/10.57217/aldhikra.v4i2.1112
4
Departemen Agama RI, Alhidayah Al-Qur’an Tafsir Perkata Tajwid Kode Angka, (Jakarta:
Kalim 2011), 36
Ada pula penuturan Azbabun Nuzul dalam ayat ini. Hal ini ada
hubungannya dengan Abdullah bin Rawahah, sahabat Nabi yang mempunyai
seorang budak berkulit hitam. Suatu hari dia memukul budak kulit hitamnya
karena marah. Kemudian, karena merasa kasihan pada budaknya, Abdullah pergi
menemui Nabi. Budak itu sangat taat sehingga dia senang Abdullah
membebaskannya dan menikahinya meskipun dia adalah seorang wanita kulit
hitam. Kemudian muncul ayat ini yang mengatakan bahwa meskipun mempunyai
paras cantik, wanita merdeka yang menganut politeisme lebih rendah daripada
budak wanita yang beriman..5

Juga menurut Al-Muqatil ayat ini diturunkan kepada Ibnu Abi Martsad Al-
Ghanawi. Suatu hari, ia meminta izin untuk menikahi seorang wanita musyrik
yang berparas cantik dan kaya raya kepada Rasulullah. Oleh karena itu, turunlah
ayat ini.6

Kemudian juga disebutkan di dalam Surat Al-maidah ayat 5, yaitu :

‫َاْلَيْو َم ُاِح َّل َلُك ُم الَّطِّيٰب ُۗت َو َطَع اُم اَّلِذ ْيَن ُاْو ُت وا اْلِكٰت َب ِح ٌّل َّلُك ْم ۖ َو َطَع اُم ُك ْم ِح ٌّل َّلُهْم ۖ َو اْلُم ْح َص ٰن ُت ِم َن‬
‫اْلُم ْؤ ِم ٰن ِت َو اْلُم ْح َص ٰن ُت ِم َن اَّلِذ ْيَن ُاْو ُتوا اْلِكٰت َب ِم ْن َقْبِلُك ْم ِاَذ ٓا ٰا َتْيُتُم ْو ُهَّن ُاُج ْو َر ُهَّن ُم ْح ِص ِنْيَن َغْي َر‬
ࣖ ‫ُم ٰس ِفِح ْيَن َو اَل ُم َّتِخ ِذ ْٓي َاْخ َد اٍۗن َو َم ْن َّيْكُفْر ِباِاْل ْيَم اِن َفَقْد َح ِبَط َع َم ُلٗه ۖ َو ُهَو ِفى اٰاْل ِخ َر ِة ِم َن اْلٰخ ِس ِر ْيَن‬
٥

Artinya : Pada hari ini dihalalkan bagimu segala (makanan) yang baik. Makanan
(sembelihan) Ahlulkitab itu halal bagimu dan makananmu halal (juga) bagi
mereka. (Dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga
kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-
perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab suci
sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya,
tidak dengan maksud berzina, dan tidak untuk menjadikan (mereka) pasangan
gelap (gundik). Siapa yang kufur setelah beriman, maka sungguh sia-sia amalnya
dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.7

5
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Gema Insani. 2015),1, 424
6
Hamka, (Jakarta: Gema Insani. 2015),1, 426
7
Departemen Agama RI, alhidayah Al-Qur’an Tafsir Perkata Tajwid Kode Angka, (Jakarta: Kalim
2011), 108
Menurut Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar, ayat pertama—Surah Al-
Baqarah ayat 221—mengatakan haramnya menikah dengan orang musyrik. Ia
mengklaim bahwa arti kata "musyrik" dalam ayat ini mengacu pada individu yang
mengamalkan politeisme dalam bentuknya yang paling murni. Ringkasnya,
perempuan muslim tidak boleh menikah dengan laki-laki musyrik, dan laki-laki
muslim tidak boleh menikah dengan perempuan musyrik. Bagi umat Islam dan
musyrik dilarang menikah. Hal ini nampaknya merupakan pandangan yang dianut
oleh sebagian besar ulama mufassir. Namun Hamka berpendapat dalam Surat Al-
Maidah ayat 5 bahwa laki-laki Muslim diperbolehkan menikahi wanita dari
golongan ahli kitab. Karena tokoh perempuan dalam golongan ahli kitab tersebut
mempunyai landasan teologis yang sama dengan tokoh tersebut Kebolehan dalam
menikahi Perempuan ahli kitab hamka menekankan sebuah persyaratan
diantaranya :

a. Wanita ahli kitab tersebut ialah Perempuan yang baik-baik dan terjaga
kehormatannya yaitu Perempuan merdeka.
b. Alasan menikahi Perempuan tersebut haruslah baik. Tidak dengan hawa bafsu
yang dapat menjerumuskan kepada api neraka.
c. Kebolehan ini hanya untuk orang yang memiliki keimanan yang kokoh dan
mempunyai pendirian yang teguh

Jika syarat tersebut tidak dipenuhi, dikhawatirkan ia akan terjerat kemusyrikan.


Lebih jauh lagi, sampai syarat-syarat ini dipenuhi, otorisasi penuh tidak akan
diberikan..8

Para ulama berselisih paham mengenai makna wanita musyrik dalam surat
Al-Baqarah ayat 221 dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
perkawinan antar aliran. Salah satu dari mereka, Imam Jarir Al-Thabari, misalnya,
berpendapat bahwa satu-satunya perempuan musyrik yang dilarang menikah
adalah mereka yang berasal dari dunia Arab, karena mereka adalah penyembah
berhala dan tidak memiliki pengetahuan tentang kitab suci. Oleh karena itu,

8
Anggraeni, D., kuswaya, A., & hidayati, T. W. (2022). al Dhikra| Jurnal Studi Qur'an dan
Hadis, 4(2), 159-172. https://doi.org/10.57217/aldhikra.v4i2.1112
wanita musyrik dari negara non-Arab yang memiliki kitab suci atau jenis teks
lain, seperti di India, Tiongkok, atau Jepang, diperbolehkan menikahi pria
Muslim. Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh juga mempunyai pandangan yang
sama..9

Meskipun demikian, sebagian besar ulama, termasuk para imam mazhab


keempat, berpendapat bahwa perempuan musyrik tidak diperbolehkan menikah
dengan laki-laki Muslim, apapun suku, agama, atau keyakinannya. karena dapat
dipahami bahwa ayat di atas merujuk pada wanita musyrik secara umum. 10 Meski
demikian, Wahbah Al-Zhaili berpendapat bahwa sebagian besar ulama menyetujui
menikahi wanita ahi kitab berdasarkan Surat Al-Maidah ayat 5. Selain itu, yang
dimaksud adalah umat Nasrani dan penganut agama Yahudi dan Nasrani. Namun
sebagian ulama juga membedakan antara dhimmi dan harbi; antara lain Syekh
Yusuf Al-Qardhawi dari ulama modern dan Abdullah bin Abbas dari kelompok
sahabat. Mereka menyatakan bahwa satu-satunya faktor yang membuat
perkawinan dibolehkan adalah dari orang kafir dzimmi. Sedangkan kafir harbi
dihukumi haram. 11

Imam Al-Qurthubi mengomentari ayat 221 dalam surat Al-baqarah bahwa,


dalam bahasan menikahi perempuan musyrik yang dilarang adalah mereka yang
memiliki potensi akan mengajak pada ke musyrikan, berdasarkan alasan yang juga
disebut dalam ayat itu dengan penjelasan mereka perempuan yang bisa
membawanya masuk neraka. Dari alasan inilah imam Al-qurthubi membolehkan
seseorang menikahi perempuan yang musyrik jika perempuan tersebut tidak akan
membawanya ke dalam kemusyrikan atau bahkan bisa membawah perempuan
tersebut ikut pada agama islam. 12 Imam Qurthubi juga membedakan antara harbi

9
Husni, Z. M. I. (2015). Pernikahan beda agama dalam perspektif Al-Qur’an dan sunnah serta
problematikanya. At-turas: Jurnal Studi KeIslaman, 2(1). https://doi.org/10.33650/at-
turas.v2i1.169
10
Husni, Z. M. I. (2015). At-turas: Jurnal Studi KeIslaman, 2(1). https://doi.org/10.33650/at-
turas.v2i1.169
11
Husni, Z. M. I. (2015). AT-TURAS: Jurnal Studi KeIslaman, 2(1). https://doi.org/10.33650/at-
turas.v2i1.169
12
Al-Qurthubi A.M. (2004). Al-Jami’ li Al-Ahkam Al-Qur’an. Maktabah Al-Shafa, 3-4.53.
dan dimmi, menghukumi haram dinikahi perempuan yang kafir harbi dan
menghalalkan menikahi perempuan yang kafir dimmi.13

Terlepas dari perbedaan pandangan yang dianut oleh para ilmuwan islam
mengenai topik-topik tersebut di atas, penelitian ini bersifat menyeluruh, tidak
memihak, dan seimbang. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan
landasan normatif-tekstual hukum yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadits,
serta putusan hukum yang diambil dari sumber-sumber tersebut.

B. Pernikahan Beda Agama Menurut Hadis


Masih dalam satu pembahasan yang sama namun berbeda dalam sudut
pandang, jika sebelumnya menggunakan sudut pandang menurut Al-Qur’an pada
pembahasan kali ini penulis perlu juga memaparkan permasalahan yang dijawab
melalui sudut pandang Hadis yang memang merupakan salah satu rujukan umat
islam dalam menjalani kehidupan sebagai hamba yang telah Allah anugerahkan
kepada umat islam berupa Uswatun Hasanah yaitu Nabi Muhammad SAW.
Dari sudut pandang hadits, perkawinan antara perempuan muslim dengan
laki-laki dan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab ada dua jenis,
yang masing-masing mempunyai akibat hukum yang berbeda. Menurut Surat Al-
Maidah ayat 5, laki-laki dan perempuan Muslim yang ahli Al-Quran biasanya
diperbolehkan. Generasi Muslim awal sebagian besar sepakat tentang
kebolehannya, terutama karena Al-Qur'an memuat satu surah yang secara tegas
menegaskan kehalalannya. Sementara itu, Al-Qur'an tidak memberikan penjelasan
yang jelas mengenai model perkawinan antara seorang wanita muslim dengan
seorang pria yang ahli dalam nash. Namun, bukti-bukti yang ada menunjukkan
bahwa tidak banyak hadis yang menyebutkan Sarih, salah satunya yaitu riwayat
Al-Thabari dari Jabir ra ;

‫ عن‬،‫ عن أش@@عث بن س@@وار‬،‫ أخبرنا إس@@حاق األزرق عن ش@@ریك‬،‫حدثنا تمیم بن المنتصر‬


‫ نتزوج نساء أھل‬:‫ قال رس@@ول هللا ص@@لى هللا علیھ وس@@لم‬: ‫ عن جابر بن عبد هللا قال‬،‫الحسن‬
‫الكتاب وال یتزوجون نساءنا‬

13
Al-Qurthubi A.M. (2004). Maktabah Al-Shafa, 3-4.53
Menceritakan kepada kami Tamim bin muntasir dari ishak al-arzaq dari syarik
dari asy’ast bin sawar dari hasan dari jabir bin abdillah meriwayatkan
bahwa,Rasulullah saw. Bersabda: “Kami (muslim boleh) mengawini wanita ahli
kitab, namun (pria-pria) mereka tidak (boleh / terlarang) mengawini wanita-
wanita kami (muslimah).14

Hadits di atas menunjukkan dengan jelas bahwa laki-laki Muslim boleh


menikahi wanita ahli kitab, bukan sebaliknya. Al-Thabari mengakui status hadis
ini sebagai hadis daif berdasarkan kritik sanad; Namun, para ulama mengamalkan
dan menyepakati hadis ini, khususnya di kalangan para sahabat dan ulama pada
masa awal Islam. Salman Al-Farisi, Jabir, Hudzaifah, Thalhah, Umar, Ustman,
dan para sahabat lainnya termasuk di antara mereka yang merestui pernikahan
tersebut.15

Sekalipun sudah dinilai oleh mayoritas sahabat akan kebolehannya namun


muncul penawaran berbeda juga dari kalangan sahabat yaitu, Ibnu Umar. Ia tidak
menyetujuai perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab, karena
menurutnya perempuan ahli kitab juga masuk dalam kalangan musyrik sehingga
termasuk perempuan yang haram untuk dinikahi dalam surat Al-Baqarah ayat
221. Namun menurut Ibnu Mundzir pendapat ini dinilai tidak valid dan dianggap
lemah pada masa awal islam.16

Di sisi lain, ada satu catatan sejarah Imam Al-Thabari dari Umar Bin
Khattab yang sedikit janggal. Menurut penuturan ini, Hudzaifah Bin Al-Yaman
sebelumnya pernah menikah dengan seorang wanita Yahudi, namun Umar
kemudian memberikan surat cerai kepada Hudzaifah melalui surat. "Apakah kamu
menganggap dia haram?" Hudzaifah kemudian bertanya. Umar menjawab, “Saya
tidak mengatakan haram, tapi saya khawatir umat Islam akan menyukai pelacur di
antara wanita ahli kitab.” Ketika Thalhah menikah dengan seorang wanita
14
Sawaun, S. (2016). Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Hadits. Syariati: Jurnal Studi
Al-Qur'an dan Hukum, 2(01), 29-46. https://doi.org/10.32699/syariati.v2i01.1120
15
Sawaun, S. (2016). Jurnal Studi Al-Qur'an dan Hukum, 2(01), 29-46.
https://doi.org/10.32699/syariati.v2i01.1120
16
Sawaun, S. (2016). Jurnal Studi Al-Qur'an dan Hukum, 2(01), 29-46.
https://doi.org/10.32699/syariati.v2i01.1120
Nasrani, Umar memberinya perintah serupa. Syekh Muhammad As-Shabuni
memberikan komentar tentang kebijakan Umar, menyoroti pertimbangannya
terhadap kepentingan umat Islam..

Menurut kesimpulan sahabat Umar tentang permasalahan tersebut di atas,


hal tersebut didasari oleh tugasnya sebagai khalifah dengan memperhatikan
maslahah dan mudharad yang akan diterima umat Islam. Maslahah harus
diutamakan daripada mudharad. Syaikh Al-Qardhawi melanjutkan, untuk
mendapat izin pernikahan beda agama, ada empat syarat yang harus dipenuhi.
Mengenai kebijakan Umar, ada syaratnya: harus ada kecurigaan atau
kekhawatiran yang kuat bahwa hal itu mungkin terjadi di balik pernikahan dengan
wanita ahli kitab. risiko atau pencemaran nama baik. Sebab segala sesuatu yang
boleh digunakan mempunyai batasan-batasan tertentu, salah satunya adalah tidak
boleh melukai orang lain. Jika terjadi dominasi.17

Dibolehkan menikahkan seorang laki-laki Islam dan seorang perempuan


ahli kitab, padahal pada hakekatnya hal itu merupakan kesepakatan di kalangan
ulama. Dalam kajian ushul fikhi, mubah merujuk pada sesuatu yang secara syariat
memberikan kebebasan kepada manusia untuk melakukan atau tidak. Definisi ini
memperjelas bahwa mubah bersifat netral antara perintah dan larangan,
menjadikannya takhyir (pilihan antara bertindak atau tidak). Hal inilah yang
melatarbelakangi anggapan sebagian ulama bahwa mubah merupakan kekosongan
hukum dimana undang-undang dapat dibuat berdasarkan keadaan tertentu. Jika
pada akhirnya ditetapkan adanya maslahah, maka peraturan mubah yang netral ini
akan berdampak pada revisi undang-undang hukum islam tersebut..18

Menurut Syaikh Al-Qardhawi mengungkap hikmah besar yang diharapkan


bisa tercapai dari kebolehan menikahi perempuan ahli kitab, antara lain: 19

17
Husni, Z. M. I. (2015). Pernikahan beda agama dalam perspektif Al-Qur’an dan sunnah serta
problematikanya. AT-TURAS: Jurnal Studi KeIslaman, 2(1). https://doi.org/10.33650/at-
turas.v2i1.169
18
Farid, M. (2017). Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Hadis Ahkam. Al-Bayyinah, 1(2),
1-16. https://doi.org/ 10.35673/al-bayyinah.v1i2.13
19
Husni, Z. M. I. (2015). AT-TURAS: Jurnal Studi KeIslaman, 2(1). https://doi.org/10.33650/at-
turas.v2i1.169
a. Sebagai motivasi bagi istri agar masuk islam
b. Mempererat hubungan antara komunitas muslim dan komunitas ahli kitab
c. Membangun toleransi antara pemeluk ketiga agama samawi
d. Mendorong adanya interaksi positif antara komunitas muslim dan komunitas
ahli kitab

Akan tetapi dalam mewujudkan harap tersebut perlu pembatasan atau syarat
untuk karena berdasarkan surat Al-baqarah ayat 221 di atas selama tidak ada
potensi orang islam tertarik pada agama pasangannya yang dapan menjerumuskan
pada kemurtadan sehingga sebagai mana sabda Nabi, barangsiapa yang murtad
setelah islam maka amal yang ia lakukan selama dia masih islam akan terhapus
sia-sia.
BAB III

PEMUTUP

A. Kesimpulan
Pernikahan termasuk salah satu dari pengaplikasian Maqasid As-Syari’ah
yang berupa menjaga agama dan menjaga keturunan. Oleh karena itu seorang
muslim wajib menjaga kelestarian agama islam dengan membagun keluarga yang
sesuai dengan ajaran agama dan menjaga garis keturunan agar tidak terjerumus
pada kesesatan yang akan menghantarkannya pada gerbang kegelapan nanti di
akhirat.
Sekalipun ada berbagai perbedaan dalam pendapat ualama mengenai
pernikahan beda agama, akan tetapi mereka memiliki tujuan yang sama yaitu
demi menyelamatkan umat islam, dengan mengaplikasikan Maqasid As-Syari’ah
dari berbagai sudut pandang dan cara pemahaman teks Nash. Pada dasarnya
perbedaan yang terjadi dalam kalangan ulama bukan untuk membingungkan umat
islam melainkan sebagai penawaran hukum dalam situasi dan kondisi yang
berbeda. Yang mana semua penawaran tersebut dikembalikan pada diri seseorang
untuk memilih dengan bijak tanpa dilandasi ego dan nafsu.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qurthubi A.M. (2004). Al-Jami’ li Al-Ahkam Al-Qur’an. Maktabah Al-Shafa.

Anggraeni, D., Kuswaya, A., & Hidayati, T. W. (2022). PERNIKAHAN BEDA


AGAMA PERSPEKTIF AL-QUR’AN (ANALISIS PEMIKIRAN BUYA
HAMKA DALAM TAFSIR AL-AZHAR). al Dhikra| Jurnal Studi Qur'an dan
Hadis, 4(2), 159-172. https://doi.org/10.57217/aldhikra.v4i2.1112

Departemen Agama RI, ALHIDAYAH Al-Qur’an Tafsir Perkata Tajwid Kode


Angka, (Jakarta: Kalim 2011)

Farid, M. (2017). Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Hadis Ahkam. Al-
Bayyinah, 1(2), 1-16. https://doi.org/ 10.35673/al-bayyinah.v1i2.13

Hakim, L. (2023). PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF


HUKUM ISLAM. Jurnal Hukum Keluarga Islam, 2(1).

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 1, (Jakarta: Gema Insani. 2015)

Husni, Z. M. I. (2015). Pernikahan beda agama dalam perspektif Al-Qur’an dan


sunnah serta problematikanya. AT-TURAS: Jurnal Studi KeIslaman, 2(1).
https://doi.org/10.33650/at-turas.v2i1.169
Sawaun, S. (2016). Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Hadits. Syariati:
Jurnal Studi Al-Qur'an dan Hukum, 2(01), 29-46.
https://doi.org/10.32699/syariati.v2i01.1120

Anda mungkin juga menyukai