Anda di halaman 1dari 14

PERSIAPAN PELAKSANAAN PERNIKAHAN

D
I
S
U
S
U
N
OLEH :

KELOMPOK 1

NAMA : PIOLA NURUL LIZA


KELAS : II B ALIYAH

DAYAH DARUL HUDA SUNGAI PAOH


TAHUN AJARAN 2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pernikahan merupakan suatu hal yang penting dan mulia untuk mengatur
kehidupan rumah tangga dan keturunan. Disamping itu, pernikahan merupakan
salh satu asas pokok hidup yang utama dalam pergaulan masyarakat. Tanpa
pernikahan tidak akan terbentuk rumah tangga yang baik, teratur, dan bahagia
serta akan timbul hal-hal yang tidak diinginkan dalam masyarakat. Misalnya,
manusia tidak dapat mengekang hawa nafsunya, sehingga timbul pemerkosaan
dan bencana di masyarakat.
Yang tidak kalah penting dari itu adalah bahwa pernikahan merupakan
salah satu bentuk pelaksanaan perintah Allah SWT., dan rasul-NYA. Bahkan
Rasulullah SAW, mencela orang yang tidak mau menikah dengan menyatakan
bahwa orang tersebut bukan termasuk kaumnya.
Demikian pentingnya pernikahan hingga Rasulullah SAW, sangat
menganjurkan pernikahan terutama bagi orang-orang yang benar-benar sudah
mampu untuk menikah.

B.     Rumusan Masalah
a. Apakah pengertian Pernikahan menurut islam ?
b. Bagaimana persiapan pada pernikahan menurut islam ?
c. Siapa sajakah perempuan yang haram dinikahi menurut islam ?
d. Bagaimanakah pelaksanaan Pernikahan menurut islam

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pernikahan
Nikah artinya “suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang
laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dan menimbulkan hak dan
kewajiban antara keduanya”. Dalam pengertian yang luas, pernikahan adalah
merupakan suatu ikatan lahir antara 2 orang, laki-laki dan perempuan, untuk
hidup bersama dalam satu rumah tangga dan keturunan yang dilangsungkan
menurut ketentuan-ketentuan syariat islam.
Nabi Muhammad SAW menganjurkan untuk menikah kepada mereka
yang sudah mampu menikah. Sebagaimana tertuang dalam hadist beliau,
“Dari Abdullah Bin Mas’ud ia berkata, telah bersabda Rasulullah SAW.,
kepada kami, Hai pe muda-pemuda! barang siapa yang mampu diantara kamu
serta berkeinginan hendak menikah, hendaklah dia menikah karena
sesungguhnya pernikahan itu akan memejamkan mata, terhadap orang yang tidak
halal dilihatnya dan akan memeliharanya dari godaan syahwat. Dan barang
siapa yang tidak mampu menikah, hendaklah ia berpuasa karena dengan puasa
hawa nafsunya terhadap perempuan akan berkurang.” (H.R. Bukhari dan
Muslim)

B. Persiapan Perkawinan
Persiapan perkawinan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
seorang laki-laki sebagai calon suami dan seorang wanita sebagai calon isteri
beserta keluarga masing-masing calon dalam rangka mempersiapkan segala
sesuatunya untuk mempertemukan dua insan (calon suami dan calon isteri) dalam
ikatan cinta yang sah.
Dalam makalah yang sederhana ini, penyusun mencoba untuk
mengklasifikasikan materi persiapan perkawinan sebagai berikut:

2
1.        Memilih Pasangan
Dalam pandangan Islam, perkawinan bukanlah sekedar urusan perdata
semata. Bukan pula sekedar urusan keluarga dan masalah budaya. Tetapi masalah
dan peristiwa agama, oleh karena perkawinan itu dilakukan untuk memenuhi
sunnah Allah dan sunnah Nabi dan dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah
dan petunjuk Nabi. Di samping itu perkawinan juga bukan untuk mendapatkan
ketenangan hidup sesaat, tetapi untuk selama hayat. Oleh karena itu, sesoorang
mesti menentukan pilihan pasangan hidupnya itu secara hati-hati dan dilihat dari
berbagai segi.
Ada beberapa motivasi yang mendorong seorang laki-laki memilih seorang
wanita untuk pasangan hidupnya dalam perkawinan dan demikian pula dorongan
seorang perempuan waktu memilih laki-laki menjadi pasangan hidupnya. Yang
pokok diantaranya adalah: karena kecantikan seorang wanita atau kegagahan
seorang laki-laki atau kesuburan keduanya dalam mengharapkan anak keturunan,
karena kekayaannya, karena kebangsawanannya dan karena keberagamaannya. Di
antara alasan yang banyak itu, maka yang paling utama dijadikan motivasi adalah
karena keberagamaannya. Hal ini dijelaskan Nabi dalam hadisnya yang muttafaq
alaih berasal dari Abu Hurairah, ucapan Nabi yang berbunyi:
‫تنكح المرأة الربع لمالها و لحسبها و لجمالها و لدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك‬
Perempuan itu dinikahikarenaempathal, yaitu: harta, keturunan,
kecantikan, danagamanya. Dapatkanlahwanita yang taatberagama,
engkauakanbahagia.
Yang dimaksud dengan keberagamaannya di sini adalah komitmen
keagamaanya atau kesungguhannya dalam menjalankan ajaran agamanya. Ini
dijadikan pilihan utama karena itulah yang akan langgeng. Kekayaan suatu ketika
dapat lenyap dan kecantikan suatu ketika dapat pudar demikian pula kedudukan,
suatu ketika akan hilang. Bahkan dalam surat al-Baqarah ayat 221 dinyatakan
bahwa sekalipun wanita itu statusnya hanyalah hamba sahaya namun kalau dia
mukmin maka lebih bagus dan lebih baik untuk dikawini daripada seorang wanita
merdeka yang demikian indah mempesona dan cantik menawan namun ia seorang
musyrik penyembah berhala.

3
Jika ada faktor yang menjadi motivasi seorang laki-laki memilih seorang
wanita untuk dijadikan pasangan hidupnya, maka begitu pula sebaliknya dengan
wanita, suami merupakan teman hidup isteri, tempat berlindung dan bernaung
yang dapat mendamaikan hati isteri, pemimpin dan penanggung jawab tegak
teguhnya sebuah rumah tangga. Suami adalah sosok yang harus memiliki
kelebihan dari isteri, sebagaimana dinyatakan dalam surat an-Nisa’ ayat 34:
‫الرّجال قوّامون على النّساء‬
kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita
Oleh karena fungsinya seperti itu maka dalam memilih calon suami
hendaklah diperhatikan beberapa ketentuan sebagaimana berikut:pertama, aspek
agama, faktor agama ini bagi calon suami harus dijadikan faktor utama dan faktor
nomor satu demi terwujudnya rumah tangga yang marhamah dan diridlai
Allah.  Telah bersepakat seluruh ulama (ijma’) bahwa wanita Islam tidak
diperkenankan kawin dengan lelaki yang tidak beragama Islam. Kedua, aspek
kafaah, arti kufu ialah persamaan atau perbandingan, maksudnya dalam
perkawinan hendaknya suami sekufu dengan isterinya, setaraf kedudukan mereka
dan sebanding tingkat sosialnya, bersamaan derajat akhlak dan budi pekertinya
serta setaraf perihal harta bendanya.
Aspek kafaah ini sekalipun bukan termasuk dalam syarat perkawinan
akan tetapi merupakan persoalan yang penting untuk membangun rumah tangga
yang terbebaskan dari perasaan minder di antara keduanya. Itu sebabnya perlu
diperhatikan dengan baik dan menjadikannya sebagai pertimbangan untuk
memilih pasangan.

2.        Pacaran dan Ta’aruf


Pacaran merupakan satu persoalan yang hingga kini masih diperdebatkan
hukum melakukannya. Ada yang berpendapat bahwa tidak ada pacaran di dalam
Islam. Karena didasarkan dengan ayat “jangan engkau dekati zina”. Ada pula
yang berpendapat bahwa pacaran itu boleh-boleh saja karena pacaran adalah
sarana untuk mengenal (lita’arafu) lebih lanjut calon pasangan hidup, sesuai
dengan anjuran Allah SWT dalam surat al-Hujurat ayat 13 yang artinya:

4
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal".
Melihat perbedaan pandangan tersebut, tentang hukum kebolehan dan
tidaknya pacaran, penulis mencoba untuk membedakan antara ta’aruf dengan
pacaran:
a)          Ta’aruf
Ta’arufyang dimaksud di sini adalah saling mengenal satu sama lain untuk
sebuah komitmen berupa ikatan cinta yang sah. Tidak hanya ta’aruffisik atau
biografi ringkas semata, tapi lebih jauh lagi juga ta’aruf  latar belakang
pendidikan, budaya, keagamaan; ta’aruf pemikiran, ide-ide, cita-cita;
dan ta’aruf problem kehidupan yang dihadapi.
Dalam sebuah hadis diceritakan, al-Mughira, sahabat rasul, melapor
kepada Nabi saw bahwa ia baru selesai melamar (khitbah) seorang wanita anshar.
Rasul bertanya, “apa sudah engkau lihat wanita itu?” Mughirah menjawab,
“belum”. Rasul bersabda lagi, “lihatlah dulu, sebab kalau engkau sudah melihat,
maka bisa diharapkan langgeng perjodohanmu dan hidup rukun.” Setelah
mendengar sabda rasul tersebut, Mughirah mendatangi rumah tunangannya dan
menyampaikan sabda Rasulullah tersebut kepada orangtua maupun kepada si
gadis. Si wanita itu berkata, dekatkanlah pria itu kepadaku” Mughirah mendekat
dan gadis itu berkata, “jika Rasulullah memerintahkanmu untuk melihatku, maka
lihatlah! Inilah diriku!kalau engkau tidak mau masuk, biarkanlah aku keluar, agar
kamu bisa melihatku.” Mughirah lalu melihat dengan jelas wajah dan bentuk
tubuh perempuan itu.
b)          Pacaran (khalwah)
Pacar memiliki arti teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai
hubungan berdasarkan cinta kasih; kekasih. Berpacaranberarti bercintaan;
berkasih-kasihan. Pacaran yang dimaksud di sini adalah suatu aktivitas yang
identik dengan khalwah yang itu artinya berdua-duaan antara pria dan wanita

5
yang tidak punya hubungan suami isteri dan tidak pula mahram tanpa ada orang
ketiga. Termasuk khalwah berdua-duaan di tempat umum yang antara mereka
dengan pasangan itu saling tidak kenal-mengenal, atau saling kenal tapi tidak
punya kepedulian, atau tidak punya kontak komunikasi sama sekali, sekalipun
berada dalam area yang sama, seperti di pantai, pasar, restoran, apalagi di bioskop
dan tempat-tampat hiburan tertutup lainnya.
Rasulullah saw bersabda:
Jauhilah berkhalwah dengan wanita. Demi Allah yang diriku berada
dalam genggamanNya, tidaklah berkhalwah seorang laki-laki dengan seorang
wanita kecuali syaitan akan masuk di antara keduanya. (HR. Thabrani)
Dalam banyak kasus muda-mudi (bahkan yang tua sekalipun) mudah
sekali jatuh ke dalam perzinaan apabila sudah berdua-duaan, tidak hanya di
rumah-rumah bahkan juga di tempat-tempat umum seperti tempat rekreasi. Jadi
larangan berpacaran adalah tindakan pencegahan supaya tidak terjatuh ke lembah
dosa yang lebih dalam lagi.Ada empat pintu yang seringkali menjadi jalan masuk
maksiat bagi manusia, yakni pandangan, fikiran, ucapan, langkah. Dan keempat
pintu itu terbuka peluangnya dengan lebar di dalam aktifitas pacaran.

3.        Lamaran
Dalam bahasa Indonesia, lamaran – melamar juga disebut meminang atau
khitbah dalam bahasa Arab yang telah diserap kedalam bahasa Indonesia. Dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab I pasal 1 disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan peminangan adalah kegiatan-kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan
perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.
Proses lamaran tersebut dilakukan setelah ditentukannya pilihan pasangan
yang akan dikawini sesuai dengan kriteria sebagai manadi sebutkan di atas,
langkah selanjutnya adalah penyampaian kehendak untuk menikahi pilihan yang
telah ditentukan itu. Penyampaian kehendak untuk menikahi seseorang itu disebut
dengan khitbah atau dalam bahasa melayu disebut “peminangan”.

6
a.  Hukum Lamaran
Tidakditemukansecarajelasdanterarahadanyaperintahataularanganmelakukanlamar
an. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama’
yang mewajibkannya, dalam arti hukumnya adalah mubah. Namun Ibnu Rusyd
dalam Bidayat al-Mujtahid yang menukilkan pendapat Daud al-Zhahiriy yang
mengatakan hukumnya adalah wajib. Ulama ini mendasarkan pendapatnya kepada
perbuatan dan tradisi yang dilakukan Nabi dalam peminangan itu. (Ibnu Rusyd II)
b.  Hikmah Disyariatkannya Lamaran
Setiap hukum yang disyariatkan, meskipun hukumnya tidak sampai pada tingkat
wajib, selalu mempunyai tujuan dan hikmah. Adapun hikmah dari adanya syariat
peminangan adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang diadakan
sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah fihak dapat saling
mengenal. Hal ini dapat disimak dari sepotong hadis Nabi dari al-Mughirah bin
al-Syu’bah menurut yang dikeluarkan at-Tirmidzi dan an-Nasai yang bunyinya:
‫أنه قال له وقد خطب إمرأة انظر اليها فانه أحرى أن يؤدم بينكما‬
Bahwa Nabi berkata kepada seseorang yang yang telah meminang seorang
perempuan: “melihatlah kepadanya karena yang demikian itu akan lebih
menguatkan ikatan perkawinan.”
c.         Syarat-syarat orang yang boleh dilamar/dipinang
Melakukan pinangan atau lamaran terhadap wanita diperkenankan oleh syara’
(hukum agama), dan diatur sebagai berikut:
a)         Seorang laki-laki tidak boleh meminang wanita yang dalam keadaan
perkawinan dengan orang lain, atau tidak dalam keadaan ‘iddah.
Haram meminang wanita yang bersuami, karena dengan demikian akan membawa
perceraia, dan lebih dari itu akan membawa kekacauan dan permusuhan dalam
masyarakat. Demikian juga haram meminang wanita yang dalam keadaan iddah
talaq raj’i.
b)        Tidak diperkenankan melamar wanita yang yang ditinggal mati suaminya
atau melamar wanita yang ditalak bain secara terus terang. Ia hanya dapat
dibenarkan melamarnya kalau dengan menggunakan kata-kata sindiran atau
kalimat yang samar. Dalam surat al-Baqarah ayat 235 dinyatakan

7
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu[148] dengan
sindiran[149] atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam
hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam
pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara
rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang
ma'ruf[150]. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah,
sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang
ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
[148] Yang suaminya telah meninggal dan masih dalam 'iddah.
[149] Wanita yang boleh dipinang secara sindiran ialah wanita yang dalam
'iddah karena meninggal suaminya, atau karena Talak bain, sedang wanita yang
dalam 'iddah Talak raji'i tidak boleh dipinang walaupun dengan sindiran.
[150] Perkataan sindiran yang baik.
c)         Tidak diperkenankan melamar wanita yang dalam lamaran laki-laki lain,
keculi jika:
- Pinangan tersebut telah ditolak oleh wanita tersebut, atau
- Telah diizinkan oleh fihak laki-laki yang bersangkutan
d)        Sewaktu meminang diperkenankan melihat wanita yang dilamarnya, yang
dicukupkan melihat wajah dan telapak tangannya saja.

4.        Tunangan
Bertunangan adalah suatu keadaan pendahuluan sebelum dilaksanakan
akad nikah, dimana sudah terdapat persetujuan antara kedua belak fihak untuk
mengadakan ikatan perkawinan. Dan pada umumnya pertunangan itu merupakan
hasil pinangan yang telah diterima dari fihak calon isteri.
Tunangan yang sesungguhnya merupakan adat itu adalah persetujuan
tingkat pertama untuk kawin sebagai bukti bahwa pinangan sudah diterima.
Dalam hukum adat pada umumnya ada gejala bahwa suatu persetujuan baru akan
mengikat benar-benar pada fihak-fihak yang bersangkutan apabila diadakan suatu
tanda yang dapat dilihat selaku bukti adanya persetujuan tersebut. Tanda itu ada

8
yang berwujud uang atau barang yang diberikan oleh fihak laki-laki kepada fihak
perempuan, atau oleh mereka masing-masing memberi atau menukar satu sama
lain.
Sekalipun tunangan sudah dilakukan akan tetapi bukan berarti telah
mengikat kedua belah fihak. Hanya akibat dari pelanggaran atau pemutusan
persetujuan tersebut maka tanda tunangan harus dikembalikan apabila yang
memutuskan dari fihak perempuan. Sedangkan jika yang memutuskan hubungan
dari fihak laki-laki maka tidak perlu dikembalikan. Di samping itu perlu
dimaklumi bahwa akibat adanya persetujuan tunangan bukan berarti antara calon
suami dan calon isteri telah diberi kebebasan bergaul. Mereka satu sama lainnya
masih berstatus sebagai orang lain.

C. Perempuan Yang Haram Dinikahi


Mahram adalah orang yang tidak halal untuk dinikahi. Dalam hal ini
perempuan yang dilarang untuk dinikahi, yaitu sbb :
a. Karena nasabnya.
1. Ibu, nenek, dst keatas
2. Anak perempuan, cucu, dst ke bawah
3. Saudara perempuan sekandung (seayah atau seibu).
4. Bibi (saudara ibu, baik yang sekandung atau dengan perantaraan ayah
atau ibu).
5. Bibi (saudara ayah, baik yang sekandung atau dengan perantaraan ayah
atau ibu).
6. Anak perempuan dari saudara laki-laki dst ke bawah.
7. Anak perempuan dari saudara perempuan dst ke bawah.
b. Karena sesusuan.
1. Ibu yang menyusui
2. Saudara sepersusuan.
c. Karena hubungan mashaharah/perkawinan.
1. Ibu mertua dst ke atas, baik ibu dari keturunan, maupun susuan.
2. Rabibah/anak tiri, apabila sudah bercampur dengan ibunya.

9
3. Isteri ayah dst ke atas.
4. Wanita-wanita yang pernah dikawini oleh ayah, kakek (datuk) sampai
keatas
5. Isteri anak laki-laki (menantu) dst
6. Menghimpun dua orang perempuan bersaudara.

D. Pelaksanaan Pernikahan
Pernikahan dinyatakan sah apabila terkumpul rukun-rukunnya, yaitu :
1. Ada calon suami
2. Ada calon isteri
3. Ada wali nikah dari pihak calon isteri
Wali nikah terdiri dari wali nasab (wali yang diambil dari garis
keturunan/pertalian darah) dan wali hakim (penguasa). Tetapi wali hakim hanya
dapat bertindak apabila wali nasabnya:
a. Gaib (tidak dapat hadir pada saat ijab dan kabul)
b. Tawari’ (wali membandel tidak mau menikahkan)
c. Para wali saling berselisih.
d. Tidak mempunyai wali nasab.
Adapun wali terdiri atas:
a. Wali mujbir, yaitu wali yang berhak memaksa.
b. Wali akbar, yaitu wali yang lebih dekat hubungan pertalian darahnya
dengan mempelai wanita.
c. Wali a’bad, yaitu wali yang sudah jauh hubungan pertalian darahnya
dengan mempelai wanita.
4. Ada 2 orang saksi laki-laki
5. Ada ijab dan kabul
Disamping hal-hal tersebut, masih terdapat hal-hal yang harus ada dalam suatu
pernikahan, yaitu sbb:
a. Mahar, yaitu suatu pemberian wajib dari calon suami kepada calon isteri.

10
Artinya : “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan”. (Q.S. An-Nisa : 4)
b. Kufu, yaitu kesetaraan antara calon suami dengan calon isteri dalam arti
yang luas.

11
BAB III
PENUTUP

1. Arti dari pernikahan disini adalah bersatunya dua insane dengan jenis
berbeda yaitu laki-laki dan perempuan yang menjalin suatu ikatan
dengan perjanjian atau akad.
2. Hikmah dalam pernikahannya itu yaitu :
a. Mampu menjaga kelangsungan hidup manusia dengan jalan
berkembang biak dan berketurunan.
b. Mampu menjaga suami istri terjerumus dalam perbuatan nista dan
mampu mengekang syahwat seta menahan pandangan dari sesuatu
yang diharamkan.
c. Mampu menenangkan dan menentramkan jiwa denagn cara duduk-
duduk dan bencrengkramah dengan pacarannya.
d. Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan
tabiat kewanitaan yang diciptakan.
3. Tujuan pernikahan :
a) Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
b) Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur
c) Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
d) Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
e) Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih

12
DAFTAR PUSTAKA

Rafi Baihaqi, Ahmad, Membangun Surga Rumah Tangga, (surabayah:gita mediah


press, 2006)
At-tihami, Muhammad, Merawat Cintah Kasih Menurut Syriat Islam, (surabayh :
Ampel Mulia, 2004)
Muhammad  ‘uwaidah, Syaikh Kamil, Fiqih Wanita, (Jakarta:pustaka al-kautsar,
1998)

13

Anda mungkin juga menyukai