2. Madzhab Maliki
3. Madzhab Asy-syafi’i
Diriwayatkan juga dari Imarah bin Ru’aibah bahwasannya Ali
telah memberikan kesempatan kepadanya untuk memilih antara
(ikut) dengan ibunya atau pamannya. Imarah lebih memilih ikut
ibunya. Ali berkata “Kamu dapat hidup bersama ibumu. Nanti jika
saudaramu (baca:adikmu) telah mencapai usia seperti usiamu saat ini,
maka berikanlah kesempatan kepadanya untuk memilih seperti yang kau
lakukan ini.” Imarah berkata, “Ketika itu saya sudah beranjak remaja
(ghulam).” (Sanadnya Dha’if ditakhrij oleh Abdurrazaq 12609,
Sa’id bin Manshur 2265 dan al-Baihaqi 8/4).
Ibnu Qayyim menyebutkan bahwa memberi kesempatan
memilih dan mengundi hanya dapat dilakukan apabila kedua
cara ini memberikan kemaslahatan bagi si anak. Kalau memang
ibu dipandang lebih dapat melindungi anak dan lebih
bermanfaat dibanding ayahnya, maka dalam kasus ini merawat
anak harus didahulukan tanpa harus mempertimbangkan cara
mengundi dan memilih
Kedua, anak yang diasuh adalah anak perempuan. Para Ulama berbeda
pendapat, Kalangan Madzhab Maliki berpendapat bahwa anak
tetaptinggal bersama ibunya hingga anaka perempuan tersebut menikah dan
telah berhubungan intim dengan suaminya. Dengan mengacu padapendapat
Imam Ahmad, kalangan madzhab Hanafi berpendapat bahwa manakala telah
mengalami menstruasi anak perempuan diserahkan kepada ayahnya.
Kalangan Madzhab Hanbali berpendapat bahwa anak diserahkan kepada
ayahnya apabila telah mencapai usia 7 tahun.
Ketiga Imam madzhab sepakat bahwa anak ini tidak diberi kesempatan untuk
menentukan pilihan. Sementara itu Syafi’i berpendapat bahwa perempuan
diberi kesempatan menentukan pilihan seperti anak laki-laki dan dia berhak
untuk hidup bersama orang yang menjadi pilihannya (ayahnya atau ibunya).
Ibnu Taimiyyah lebih memilih berpendapat bahwa anak perempuan tidak
diberi kesempatan memilih. Ia bisa hidup bersama salah satu dari
keduanya apabila orangtua yang ia ikuti ini taat kepada Allah dalam
mendidik anak. (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah) (Dalam abiyazid.wordpres:
syarat mendapatkan hak asuh anak hadhanah)
1. Rujuk dalam segi Bahasa kembali atau pulang. Dari segi istilah
hukum, rujuk bermaksud mengembalikan perempuan kepada
nikah selepas perceraian kurang daripada tiga kali masa idah
dengan syarat-syarat tertentu.
2. Seorang suami yang hendak merujuk istrinya tidak perlu
mendapatkan persetujuan mantan istri terdahulu
3. Seorang suami yang telah menceraikan istrinya dengan talak
satu atau dua, harus baginya untuk rujuk kembali kepada
istrinya selama istri itu masih dalam iddah karena rujuk adalah
hak suami, bukan hak istri.
)228 (
Dan isteri-isteri yang diceraikan itu hendaklah menunggu dengan menahan diri mereka (dari berkahwin)
selama tiga kali suci (dari haid). Dan tidaklah halal bagi mereka yang menyembunyikan (tidak
memberitahu tentang) anak yang dijadikan oleh Allah dalam kandungan rahim mereka, jika betul
mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suami mereka berhak mengambil kembali
(ruju' akan) isteri-isteri itu dalam masa 'iddah mereka jika suami-suami bersetujuan hendak berdamai .
Dan isteri-isteri itu menpunyai hak yang sama seperti kewajipan yang ditanggung oleh mereka (terhadap
suami) dengan cara sepatutnya (dan tidak dilarang oleh syara'); dalam pada itu orang-orang lelaki
(suami-suami itu) mempunyai satu darjat kelebihan atas orang-orang perempuan (isterinya). Dan
(ingatlah), Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana. Al-Baqarah : 228
1. Wajib — Suami yang menceraikan salah seorang daripada isteri-isterinya dan dia belum
menyempurnakan pembahagian giliran terhadap isteri yang diceraikan itu.
2. Haram — Apabila rujuk itu menjadi sebab mendatangkan kemudaratan kepada isteri
tersebut.
3. Makruh — Apabila perceraian itu lebih baik diteruskan daripada rujuk.
4. Harus — Jika membawa kebahagiaan kepada ahli keluanga kedua-dua belah pihak.
5. Sunat — Sekiranya mendatangkan kebaikan.
(a) Berakal.
(b) Baligh.
(c) Dengan kemahuan sendiri.
(d) Tidak dipaksa — tidak sah rujuk suami yang murtad.
Syarat-syarat lafaz:
(a) Lafaz yang menunjukkan maksud rujuk, misalnya kata suami “aku
rujuk engkau” atau “aku kembalikan engkau kepada nikahku”.
(b) Tidak bertaklik — tidak sah rujuk dengan lafaz yang bertaklik,
misalnya kata suami “aku rujuk engkau jika engkau mahu”. Rujuk
itu tidak sah walaupun isteri mengatakan mahu.
(c) Tidak terbatas waktu — seperti kata suami “aku rujuk engkau
selama sebulan”.
(4) Isteri yang telah habis tempoh iddahnya atau diceraikan dengan Talak Tiga tidak
boleh dirujuk seperti semula. Kalau ingin rujuk harus melalui akad nikah lagi.
(a) selesai idah dari suami pertama.
(b) mantan isteri sudah menikah dengan lelaki lain.
(c) suami kedua sudah melakukan persetubuhan dengannya.
(d) bercerai dengan suami kedua, fasakh, atau mati (habis idah).
(e) Setelah tamat idahnya, suami pertama boleh kembali ke mantan isterinya itu dengan akad
nikah yang baru mengikut syarat-syarat dan rukun-rukun nikah yang ditetapkan.
1. Dapat menyambung semula hubungan suami istri untuk
kepentingan kerukunan rumah tangga
2. Membolehkan seseorang berusaha untuk rujuk meskipun telah
bercerai
3. Dapat menimbulkan kesadaran untuk lebih bertanggung jawab
soal rumah tangga