Anda di halaman 1dari 22

HADANAH dan RUJUK

Dosen Pengampu: Eka Ristianawati, M.HI.


 Hadhanah → hadhnuash-sabhiy : mengasuh atau memelihara
anak
 Terminologis : menjaga anak yang belum bisa mengatur atau
menjaga dirinya sendiri
 Hadhanah hanya dilaksanakan ketika pasangan suami istri
bercerai dan memiliki anak yang belum cukup umur untuk
berpisah dari ibunya
 Hadhanah diperlukan karena si anak masih perlu penjagaan,
pengasuhan, pendidikan, perawatan dan melakukan berbagai
hal demi kemaslahatannya. Inilah yang dimaksu dengan
perwalian (wilayah).
 Hukum Hadhanah → WAJIB
 Hadhanah terkait dengan tiga hak :
1. Hak wanita yang mengasuh
2. Hak anak yang diasuh
3. Hak ayah atau orang yang menempati posisinya
 pertama, pihak ibu terpaksa harus mengasuh anak jika kondisinya
memang memaksa demikian karena tidak ada orang lain selain
dirinya yang dipandang pantas untuk menasuh anak.
 kedua, si ibu tidak boleh dipaksa mengasuh anak jika kondisinya
memang tidak mengharuskan demikian. sebab mengasuh anak itu
adalah haknya dan tidak ada mudharat yang dimungkinkan akan
menimpa sianak karena adanya mahram lain selain ibunya.
 ketiga, seorang ayah tidak berhak merampas anak dari orang yang
lebih berhak mengasuhnya (baca: ibu) lalu memberikannya kepada
wanita lain kecuali ada alsan syar’i yang memperbolehkannya.
 keempat, jika ada wanita yang bersedia menyusui selain ibu si anak,
maka ia harus menyusui bersama (tinggal serumah) dengan si ibu
hingga tidak kehilangan haknya mengasuh anak.
1. Ibu kandungnya sendiri
2. Nenek dari pihak ibu
3. nenek dari pihak ayah
4. saudara perempuan (kakak perempuan)
5. bibi dari pihak ibu
6. anak perempuan saudara perempuan
7. anak perempuan saudara laki-laki
8. bibi dari pihak ayah
1. Ibu kandung
2. nenek dari pihak ibu
3. bibi dari pihak ibu
4. nenek dari pihak ayah
5. saudara perempuan
6. bibi dari pihak ayah
7. anak perempuan dari saudara laki-laki
8. penerima wasiat
9. dan kerabat lain (ashabah) yang lebih utama
 1. Ibu kandung
 2. nenek dari pihak ibu
 3. nenek dari pihak ayah
 4. saudara perempuan
 5. bibi dari pihak ibu
 6. anak perempuan dari saudara laki-laki
 7. anak perempuan dari saudara perempuan
 8. bibi dari pihak ayah
 9. dan kerabat yang masih menjadi mahram bagi sianak yang
mendapatkan bagian warisan ashabahsesuai dengan urutan
pembagian harta warisan. Pendapat Madzhab Syafi’i sama dengan
pendapat madzhab Hanafi.
1. ibu kandung
2. nenek dari pihak ibu
3. kakek dan ibu kakek
4. bibi dari kedua orang tua
5. saudara perempuan se ibu
6. saudara perempuan seayah
7. bibi dari ibu kedua orangtua
8. bibinya ibu
9. bibinya ayah
10. bibinya ibu dari jalur ibu
11. bibinya ayah dari jalur ibu
12. bibinya ayah dari pihak ayah
13. anak perempuan dari saudara laki-laki
14. anak perempuan dari paman ayah dari pihak ayah
15. kemudian kalangan kerabat dari urutan yang paling dekat.
1. Berakal dan baligh
2. Agama yang mengasuh harus sama dengan yang diasuh
3. Mampu mendidik
4. Ibu kandung belum menikah lagi dengan lelaki lain
 Jika si anak sudah tidak lagi memerlukan bantuan orang lain
untuk memenuhi kebutuhan pribadinya sehari-hari, telah
mencapai usia mumayyiz dan sudah dapat memenuhi
kebutuhandasarnya seperti makan, minum memakai pakaian
dan lain-lainnya, maka masa pengasuhan telah selesai.
 Manakala masa pengasuhan ini telah berakhir, apakah yang
harus dilakukan si anak ? Jika kedua orang tua sepakat untuk
mengikutkan anak tinggal bersama salah seorang dari kedua
orang tua, maka kesepakatan ini dapat dilaksanakan.
Jika orangtua masih berselisih, maka ada duahal yang harus
diperhatikan:
Pertama, anak yang diasuh adalah laki-laki. Terkait dengan anak
laki-laki yang telah selesai masa pengasuhannya, muncul tiga
pendapat dikalangan ulama:
1. Madzhab Hanafi

2. Madzhab Maliki

3. Madzhab Asy-syafi’i
Diriwayatkan juga dari Imarah bin Ru’aibah bahwasannya Ali 
telah memberikan kesempatan kepadanya untuk memilih antara
(ikut) dengan ibunya atau pamannya. Imarah lebih memilih ikut
ibunya. Ali berkata “Kamu dapat hidup bersama ibumu. Nanti jika
saudaramu (baca:adikmu) telah mencapai usia seperti usiamu saat ini,
maka berikanlah kesempatan kepadanya untuk memilih seperti yang kau
lakukan ini.” Imarah berkata, “Ketika itu saya sudah beranjak remaja
(ghulam).” (Sanadnya Dha’if ditakhrij oleh Abdurrazaq 12609,
Sa’id bin Manshur 2265 dan al-Baihaqi 8/4).
 Ibnu Qayyim menyebutkan bahwa memberi kesempatan
memilih dan mengundi hanya dapat dilakukan apabila kedua
cara ini memberikan kemaslahatan bagi si anak. Kalau memang
ibu dipandang lebih dapat melindungi anak dan lebih
bermanfaat dibanding ayahnya, maka dalam kasus ini merawat
anak harus didahulukan tanpa harus mempertimbangkan cara
mengundi dan memilih
 Kedua, anak yang diasuh adalah anak perempuan. Para Ulama berbeda
pendapat, Kalangan Madzhab Maliki berpendapat bahwa anak
tetaptinggal bersama ibunya hingga anaka perempuan tersebut menikah dan
telah berhubungan intim dengan suaminya. Dengan mengacu padapendapat
Imam Ahmad, kalangan madzhab Hanafi berpendapat bahwa manakala telah
mengalami menstruasi anak perempuan diserahkan kepada ayahnya.
Kalangan Madzhab Hanbali berpendapat bahwa anak diserahkan kepada
ayahnya apabila telah mencapai usia 7 tahun.

 Ketiga Imam madzhab sepakat bahwa anak ini tidak diberi kesempatan untuk
menentukan pilihan. Sementara itu Syafi’i berpendapat bahwa perempuan
diberi kesempatan menentukan pilihan seperti anak laki-laki dan dia berhak
untuk hidup bersama orang yang menjadi pilihannya (ayahnya atau ibunya).
 Ibnu Taimiyyah lebih memilih berpendapat bahwa anak perempuan tidak
diberi kesempatan memilih. Ia bisa hidup bersama salah satu dari
keduanya apabila orangtua yang ia ikuti ini taat kepada Allah dalam
mendidik anak. (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah) (Dalam abiyazid.wordpres:
syarat mendapatkan hak asuh anak hadhanah)
1. Rujuk dalam segi Bahasa kembali atau pulang. Dari segi istilah
hukum, rujuk bermaksud mengembalikan perempuan kepada
nikah selepas perceraian kurang daripada tiga kali masa idah
dengan syarat-syarat tertentu.
2. Seorang suami yang hendak merujuk istrinya tidak perlu
mendapatkan persetujuan mantan istri terdahulu
3. Seorang suami yang telah menceraikan istrinya dengan talak
satu atau dua, harus baginya untuk rujuk kembali kepada
istrinya selama istri itu masih dalam iddah karena rujuk adalah
hak suami, bukan hak istri.
)228 (
Dan isteri-isteri yang diceraikan itu hendaklah menunggu dengan menahan diri mereka (dari berkahwin)
selama tiga kali suci (dari haid). Dan tidaklah halal bagi mereka yang menyembunyikan (tidak
memberitahu tentang) anak yang dijadikan oleh Allah dalam kandungan rahim mereka, jika betul
mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suami mereka berhak mengambil kembali
(ruju' akan) isteri-isteri itu dalam masa 'iddah mereka jika suami-suami bersetujuan hendak berdamai .
Dan isteri-isteri itu menpunyai hak yang sama seperti kewajipan yang ditanggung oleh mereka (terhadap
suami) dengan cara sepatutnya (dan tidak dilarang oleh syara'); dalam pada itu orang-orang lelaki
(suami-suami itu) mempunyai satu darjat kelebihan atas orang-orang perempuan (isterinya). Dan
(ingatlah), Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana. Al-Baqarah : 228
1. Wajib — Suami yang menceraikan salah seorang daripada isteri-isterinya dan dia belum
menyempurnakan pembahagian giliran terhadap isteri yang diceraikan itu.
2. Haram — Apabila rujuk itu menjadi sebab mendatangkan kemudaratan kepada isteri
tersebut.
3. Makruh — Apabila perceraian itu lebih baik diteruskan daripada rujuk.
4. Harus — Jika membawa kebahagiaan kepada ahli keluanga kedua-dua belah pihak.
5. Sunat — Sekiranya mendatangkan kebaikan.

Suami boleh merujuk isteri yang ditalakkannya dengan syarat-syarat berikut:


(a) belum habis idah.
(b) isteri tidak diceraikan dengan talak tiga.
(c) talak itu setelah persetubuhan.
(1) Suami yang merujuk.

Syarat-syarat suami sah merujuk:

(a) Berakal.
(b) Baligh.
(c) Dengan kemahuan sendiri.
(d) Tidak dipaksa — tidak sah rujuk suami yang murtad.

(2) Isteri yang dirujuk.

Syarat isteri yang sah dirujuk:

(a) Telah disetubuhi.


(b) Bercerai dengan talak, bukan dengan fasakh.
(c) Tidak bercerai dengan khuluk — tidak sah dirujuk isteri yang
bercerai dengan khuluk.
(d) belum dijatuhkan talak tiga
(3) Ucapan yang menyatakan rujuk.

Syarat-syarat lafaz:

(a) Lafaz yang menunjukkan maksud rujuk, misalnya kata suami “aku
rujuk engkau” atau “aku kembalikan engkau kepada nikahku”.

(b) Tidak bertaklik — tidak sah rujuk dengan lafaz yang bertaklik,
misalnya kata suami “aku rujuk engkau jika engkau mahu”. Rujuk
itu tidak sah walaupun isteri mengatakan mahu.

(c) Tidak terbatas waktu — seperti kata suami “aku rujuk engkau
selama sebulan”.
(4) Isteri yang telah habis tempoh iddahnya atau diceraikan dengan Talak Tiga tidak
boleh dirujuk seperti semula. Kalau ingin rujuk harus melalui akad nikah lagi.
(a) selesai idah dari suami pertama.
(b) mantan isteri sudah menikah dengan lelaki lain.
(c) suami kedua sudah melakukan persetubuhan dengannya.
(d) bercerai dengan suami kedua, fasakh, atau mati (habis idah).
(e) Setelah tamat idahnya, suami pertama boleh kembali ke mantan isterinya itu dengan akad
nikah yang baru mengikut syarat-syarat dan rukun-rukun nikah yang ditetapkan.
1. Dapat menyambung semula hubungan suami istri untuk
kepentingan kerukunan rumah tangga
2. Membolehkan seseorang berusaha untuk rujuk meskipun telah
bercerai
3. Dapat menimbulkan kesadaran untuk lebih bertanggung jawab
soal rumah tangga

Anda mungkin juga menyukai