Anda di halaman 1dari 11

“Debating Club” ingin berperanserta untuk menghadapi masalah tersebut di atas dan

mencoba menjadi penengah. Oleh karena itu mereka memperluas bentuk


perhimpunannya, dengan melebur dirinya menjadi sebuah organisasi yang disebut
Al-Jam’iyatul Washliyah. Organisasi ini bermazhab Syafi’i [7], berdiri tahun 1930.
Sekalipun Al-Jam’iyatul Washliyah berpegang pada mazhab syafi’i, namun
be rmazhab bukan penghambat untuk maju. Hal ini tercermin dari aktivitas
organisasi yang mengutamakan pendidikan, baik formal yang membuka madrasah
dan sekolah, maupun non-formal melalui  tabligh. Organisasi ini aktif terutama di
Sumatera Utara dalam memasukkan orang-orang Batak menjadi Islam dan dipandang
sebagai organisasi yang mampu bersaing dengan kalangan missionaries Kristen di
daerah tersebut[8].
            Jika melihat aktivitas Al-Jam’iyatul Washliyah seperti diuraikan di atas,
walaupun ia berpegang teguh dan mengikuti salah satu mazhab (syafi’i), namun juga
mau menerima model pendidikan Barat agar dapat mengikuti perkembangan zaman.
B.RUMUSAN MASALAH
a.Apa pengertian jami’atul washliyah
b.Apa simbul jami’atul washliyah
c.Bagaimana visi jami’atul washliyah
d.Jelaskan tujuan jami’atul wasliyah
e.Siapa saja pendiri jami’atul washliyah
C.TUJUAN PENULISAN
a.menjelaskan pengertian jami’atul wasliyah
b.menjelaskan simbul jami’atul washliyah
c.menjelaskan visi jami’atul washliyah
d.menjelaskan tujuan jami’atul washliyah
e.menjelaskan pendiri jami.atul washliyah

BAB II
PEMBAHASAN

A.PENGERTIAN JAMI’ATUL WASHLIYAH

            Al-Jam’iyatul Washliyah adalah sebuah organisasi Islam yang bergerak


dalam bidang sosial dan pendidikan. Organisasi ini sangat aktif menyiarkan agama
Islam melalui pendidikan, termasuk madrasah dan sekolah, untuk meningkatkan
pendidikan masyarakat. Organisasi ini lahir pada tanggal 30 November 1930,
sebelum Indonesia merdeka. Pada awalnya organisasi ini kurang berkembang,
namun setelah Indonesia merdeka perkembangannya sangat pesat hampir
menjangkau seluruh pelosok kepulauan di Indonesia.
            Semua keberhasilan organisasi ini merupakan hasil aktivitas Al-Jam’iyatul
Washliyah yang digerakkan dengan penuh semangat dan keuletan oleh pelajar-
pelajar Maktab Islamiyah Tapanuli, suatu pendidikan agama di Medan. Kemajuan
Al-Jam’iyatul Washliyah pada masa selanjutnya adalah hasil jerih payah dan
perjuangan pada masa lalu.

B. SIMBUL AL-JAM’IYATUL WASHLIYAH


            Bulan dan Lima Bintang
1. Bulan Terbit
            Artinya: Mengisyaratkan bulan purnama raya yang selagi memancarkan cahayanya
di alam dunia ini yaitu peringatan kepada sekalian alam ini bahwa agama Islam akan
berkembang meratai seluruh penjuru alam
2. Lima Bintang Bersatu
            Artinya: Sebagai sinar yang merupakan sendi kebenaran agama Islam dengan
rukun yang lima, terutama sekali sembahyang yang lima waktu, sebagai fondamen
yang kokoh menyinari rohani dan jasmani untuk menunaikan perintah Ilahi
mencapai kemuliaan dunia dan akhirat.
          3. Warna Putih
            Arinya: Keimanan orang yang mukmin itu, sebagai cahaya bulan yang baru terbit:
warnanya bersinarkan cahaya yang terang benderang; dan apa bila ia timbul mulai
memancarkan cahayanya meskipun hujan dan awan serta angin badai yang keras,
cahayanya itu tidak akan lenyap tetap bersinar sehingga sampai kepada saat yang
penghabisan.
    4. Dasar yang Berwarna Hijau
            Artinya: Tiap-tiap orang mukmin itu wajib suci; hati, rohani, jasmani serta budi
pekertinya; lemah lembut mencapai kemuliaan dan perdamaian yang kekal dimuka
bumi ini.
           Adakah tidak engkau lihat sesungguhnya Allah telah menurunkan dari langit akan
air, jadilah bumi hijau
  5. Cahaya Bulan dan Bintang
            Artinya: Agama Islam dan kaum Muslimin, sebagai pedoman petunjuk
keselamatan di daerah dan di lautan, dengan jalan lemah lembut; cahaya mana?
Ialah cahaya yang tak dapat dilindungi dan ditutupi oleh apapun juga. Ibarat air
yang berjalan meratai bumi, lambat laun ia akan meratai bumi seluruhnya.
            Dan ialah Allah yang telah menjadikan bagi kamu akan beberapa bintang supaya
kamu dapat petunjuk dalam kegelapan darat dan laut [9].

            Visi Al-Jam’iyatul Washliayh adalah cara pandang yang jauh ke depan


organisasi ini harus dibawa agar dapat eksis, antisipatif dan inovatif.
Sedangkan misi organisasi ini adalah
 (1) untuk meningkatkan iman, ilmu dan amal. (2) menjalin kerjasama dengan setiap
organisasi Islam untuk memajukan Islam. (3) melindungi anggota dimanapun ia
berada dari keterbelakangan di segala bidang, gangguan dan ancaman. (4)
memberikan kontribusi dalam upaya menciptakan ketertiban bangsa dan umat Islam
dengan damai, adil dan sejahtera. (5) menyelenggarakan koordinasi dan kerjasama
dengan sesama warga Al-Washliyah dan dengan organisasi lainya termasuk
pemerintah[10].
            Tujuannya adalah untuk melaksanakan tuntutan agama Islam sekuat tenaga.
            Para pendiri Al-Jam’iyatul Washliyah, mereka dikenal sebagai orang-orang
yang bekerja keras, wara’, memiliki pengetahuan Islam secara mendalam dan
memiliki semangat juang yang tinggi serta keikhlasan rela berkorban sebagai mana
dianjurkan dalam ayat Alquran surat ash-Shaff: 11. nama-nama para pendiri tersebut
adalah: (1) H. Abdurrahman Syihab, (2) H. Muhammad Arsyad Thalib Lubis, (3) H.
Ismail Banda, (4) H. Adnan Nur Lubis [11].

C. ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA AL-JAM’IYATUL


WASHLIYAH
     ANGGARAN DASAR AL-JAM’IYATUL WASHLIYAH
Fasal 1. NAMA DAN KEDUDUKAN
Fasal 2. AZAS
Fasal 3. TUJUAN
Fasal 4. USAHA
Fasal 5. ANGGOTA
Fasal 6. HAK SUARA
Fasal 7. BERHENTI JADI ANGGOTA
Fasal 8. SUSUNAN PIMPINAN
Fasal 9. MUKTAMAR
Fasal 10. CABANG DAN RANTING
Fasal 11. PENGHASILAN
Fasal 12. MENGUBAH ANGGARAN DASAR
Fasal 13. ANGGARAN RUMAH TANGGA
Fasal 14. HAK PENGURUS BESAR
Fasal 15. MEMBUBARKAN
Fasal 16. PUSAKA.

     ANGGARAN RUMAH TANGGA AL-JAM’IYATUL WASHLIYAH


Fasal 1. ANGGOTA DAN KEWAJIBAN
Fasal 2. PENGURUS BESAR DAN DEWAN FATWA
Fasal 3. AL-WASHLIYAH PUTRI
              AL-WASHLIYAH PEMUDA
Fasal 4. PIMPINAN TERTINGGI
Fasal 5. MAJELIS PENGURUS BESAR
Fasal 6. PERATURAN TIAP-TIAP MAJELIS
Fasal 7. PIMPINAN
Fasal 8. KEWAJIBAN PIMPINAN
Fasal 9. RANTING
Fasal 10. MUKTAMAR
Fasal 11. MUSYAWARAT

D. AWAL BERDIRINYA AL-JAM’IYATUL WASHLIYAH


            Berdirinya Al-Jam’iyatul Washliyah merupakan perluasan dari sebuah
perkumpulan pelajar. Pada awal pertumbuhannya ia banyak mengalami rintangan,
terutama dalam hal keuangan dan penataan organisasi. Maktab Islamiyah Tapanuli
(MIT) merupakan sebuah lembaga pendidikan agama yang didirikan pada tahun
1918 oleh orang-orang Tapanuli Selatan. MIT sebagai madrasah dianggap modern
pada zamannya, namun masih tetap mempunyai cirri-ciri tradisional. Pelajar-pelajar
MIT inilah yang kemudian mendirikan suatu kelompok diskusi yang diberi nama
“Debating Club” pada tahun 1928 [13].
            Perkumpulan pelajar merupakan hal yang umum di kalangan pelajar-pelajar
sekolah umum. Di Medan, misalnya saat itu terdapat perkumpulan pemuda Jong
Islamieten Bond (JIB) cabang Medan, yang didirikan oleh pelajar-pelajar Indonesia
yang belajar di sekolah Belanda pada tahun 1926 [14]. Tetapi pelajar-pelajar MIT
tidak bergabung dalam perkumpulan ini, karena belum mampu berkomunikasi dalam
bahasa   Belanda, yang sering kali dipergunakan JIB.
            Debating Club dalam perkembangannya bukan hanya mengadakan diskusi
pelajaran, tetapi juga membahas persoalan di masyarakat, terutama mengenai
perbedaan faham di antara golongan-golongan. Agar bisa bergerak lebih luas,
mereka bermaksud mendirikan sebuah organisasi Islam, yang kemudian berhasil
mereka dirikan setelah mengadakan pertemuan sebanyak tiga kali membahas hal
tersebut, di ujung tahun 1930. Pemberian nama organisasi tersebut mereka serahkan
kepada guru kepala MIT, Syekh Muhammad Yunus [15]. Beliau memberikan nama
perhimpunan ini, Al-Jam’iyatul Washliyah (Perhimpuna n yang menghubungkan dan
Mempertalikan). Kemudian para pelajar membentuk panitia persiapan untuk
merumuskan dan menyusun Anggaran Dasar. Duduk sebagai ketua dan sekretaris
dalam panitia tersebut adalah Ismail Banda dan Arsyad Talib Lubis. Sehingga pada
tanggal 30 November 1930 Al-Jam’iyatul Washliyah secara resmi berdiri [16].
            Duduk sebagai pengurus I adalah Ismail Banda (Ketua), Abdurrahman
Syihab (Wakil Ketua), Arsyad Talib Lubis (Sekretaris) dan Syekh Muhammad
Yunus (Penasehat). Anggota pengurus seluruhnya berasal dari suku Tapanuli
Selatan. Dalam pembentukan pengurus disepakati pergantian pengurus setiap enam
bulan sekali[17]. Sebenarnya masa kerja pengurus untuk satu periode ini relatif
terlalu singkat, tetapi organisasi ini ingin lebih cepat  mengadakan evaluasi kerja.
Ternyata dalam periode pertama organisasi ini tidak dapat bergerak banyak, hanya
maengadakan tabligh  yang bersifat insidentil saja.
            Setelah enam bulan kepengurusan pertama berjalan, sesuai dengan peraturan
yang telah ditetapkan, maka Al-Jam’iyatul washliyah membentuk pengurus baru
sebagai berikut:

            Ketua I                        : H. Ilyas (qadhi), (suku Mandailing)


            Ketua II          : Ismail Banda, (suku Mandailing)
            Penulis I          : H. Mahmud (qadhi) (suku Mandailing)
            Penulis II         : Adnan Nur, (suku Mandailing)
            Bendahara       : H.M. Ya’cub, (suku Mandailing)
            Pembantu        : Abdurrahman Syihab, (suku Mandailing)
            Penasehat        : Syekh Hasan Maksum, (mufti) (suku Melayu)
                                      Syekh Muhammad Junus, (suku Mandailing) [18]
            Pada periode kedua ini muncul ide baru untuk menggerakkan Al-Jam’iyatul
washliyah dengan mengikut sertakan qadhi (ulama kerajaan). Qadhi mempunyai
pengaruh atas Sultan, kare ia adalah aparat kerajaan dan mera bermazhab sama.
Pada periode ini Al-Jam’iyatul washliyah diminta oleh masyarakat Firdaus dekat
Rampah untuk membuka madrasah. Madrasah tersebut diberi nama Hasaniyah.
Nama ini dipakai karena nama Syekh Hasan Maksum sangat terkenal di Sumatera
Timur.
            Pada akhir tahun 1931, Al-Jam’iyatul washliyah kembali mengadakan
pergantian pengurus untuk periode ketiga. Dalam periode III ini, Ismail Banda
mantan ketua Al-Jam’iyatul washliyah pada periode I, berangkat ke Makkah untuk
melanjutkan belajarnya. Mantan penulis II Adnan Nur, masuk menjadi anggota
Gerindo (gerakan Indonesia). Oleh karena kedua orang tersebut mempunyai
pengalaman lebih banyak dalam bidang oraganisasi, maka kepergian mereka
melemahkan penataan kegiatan Al-Jam’iyatul washliyah. Pada tahun 1932 Al-
Jam’iyatul washliyah kembali mengadakan pemilihan pengurus untuk periode IV
dengan susunan sebagai berikut:
            Ketua I            : T.M. Anwar (bangsawan), suku melayu.
            Ketua II          : Abdurrahman Syihab, suku Mandailing
            Sekretaris I      : Udin Syamsuddin (aktivis muda), suku Mandailing.
            Sekretaris II    : H. Yusuf Ahmad Lubis (qadi) suku Mandailing
            Penasehat        : Syekh Hasan Maksum (Imam Paduka Tuan) suku melayu
                                      H. Ilyas (qadhi) suku Mandailing
                                      Syekh Muhammad Yunus (Kepala MIT) suku
Mandailing[19].
            Pada masa ini Al-Jam’iyatul washliyah lebih aktif bergerak karena ada dua
pendatang baru dalam kepengurusan organisasi yakni T.M. Anwar seorang
bangsawan berasal dari Tanjung Balai, ia dikenal ramah, dermawan dan tergolong
kaya. Abdurrahman Syihab mengajak T.M. Anwar untuk turut bersama membina dan
membantu Al-Jam’iyatul washliyah dengan membiayai sewa rumah untuk kantor
organisasi. Bantuan tersebut hanya setahun, namun sangat berarti bagi organisasi
ini. Dalam masa 7 tahun Al-Jam’iyatul washliyah berpindah-pindah kantor sebanyak
10 kali.  Pendatang kedua adalah Udin Syamsuddin. Dengan dana yang kecil,
sekretaris ini berusaha menata organisasi dengan baik.
            Al-Jam’iyatul washliyah berhasil membuka cabang di daerah Bedagai pada
tahun 1931, di wilayah kerajaan Asahan didirikan cabang di Tanjung Balai pada
akhir tahun 1932, cabang Aek Kanopan didirikan pada awal tahun 1933, dan
membentuk berbagai ranting di sekitar kota Medan (Kampung Baru, Titi Kuning,
Sungai Kerah dan Pulau Brayan). Pada tahun 1934 menyusul di daerah Porsea,
tapanuli Utara dan Simalungun, juga di daerah Deli yakni Belawan dan
Labuhan[20]. Jumlah cabang Al-Jam’iyatul washliyah terus bertambah. Oleh karena
itu dirasa perlu membentuk Pengurus Besar agar kegiatan organisasi dapat
berjalan   dengan baik dan terkoordinasi.
            Pada tahun 1934 seluruh cabang Al-Jam’iyatul washliyah menghadiri rapat
pembentukan Pengurus Basar, sehingga hasil rapat tersebut menentukan
kepengurusan besar; Ketua I Abdurrahman Syihab, Ketua II Arsyad Talib Lubis,
Sekretaris Udin Syamsuddin, Bendahara M. Ali.

E. AKTIVITAS AL-JAM’IYATUL WASHLIYAH


            Pada tahun 1930 Al-Jam’iyatul Washliyah menyusun beberapa majelis,
namun belum dapat terlaksana. Setelah Pengurus Besar terbentuk pada tahun 1934
organisasi ini dapat menggerakkan majelis-majelis yang telah disusun tersebut.
            Adapun majelis-majelis yang digerakkan untuk intensifikasi kerja adalah;
majelis tabligh, yaitu majelis yang mengurus kegiatan dakwa Islam dalam bentuk
ceramah; majelis tarbiyah,  yaitu majelis yang mengurus masalah pendidikan dan
pengajaran; majelis studie fonds, yaitu majelis yang mengurus beasiswa untuk
pelajar-pelajar di luar negeri; majelis  fatwa,  yaitu majelis yang mengeluarkan fatwa
mengenai masalah sosial yang belum jelas status hukumnya bagi masyarakat;
majelis hazanatul islamiyah,  yaitu majelis yang mengurus bantuan sosial untuk
anak yatim piatu dan fakir miskin; dan majelis penyiaran Islam di daerah Toba [21].
            Majelis Tabligh, Al-Jam’iyatul Washliyah seperti semua organisasi Islam
lainnya, sangat mementingkan agar ajaran Islam dapat dipahami oleh masyarakat
dengan baik. Agar maksud ini tercapai, maka organisasi ini memberikan dakwah
dengan tabligh dalam pendidikan non-formal. Al-Jam’iyatul Washliyah
mengadakan tabligh  intern, dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan para
anggota dan keluarganya serta yang bukan anggota. Pada umumnya isi  tabligh intern
berpusat pada masalah fiqih seperti bersuci, shalat, puasa dan hal-hal yang
berhubungan dengan ibadah praktis. Khusus kepada para anggota pengurus Al-
Jam’iyatul Washliyah di cabang-cabang, ditambahkan penerangan mengenai maksud
dan tujuan organisasi serat langkah-langkah kebijaksanaan yang harus diambil
sesuai dengan kondisi daerah.
            Tabligh  ekstern sifatnya  lebih terbuka untuk masyarakat luas, dan
umumnya dilakukan pada waktu memperingati hari-hari besar Islam, umpamanya
pada perayaan Maulid, Isra’ Mi’raj, Idul Fitri dan Idul Adha.  Tabligh  intern
lazimnya diselenggarakan di masjid atau di madrasah, sedangkan  tabligh  ektern ada
yang diadakan di gedung bioskop atau lapangan terbuka, karena mengharapkan
jumlah pengunjung yang besar. Di daerah yang penduduknya belum beragama,
seperti di Porsea, Tapanuli Utara,  tabligh  ini diadakan lebih intensif, kadang-
kadang diiringi dengan kesenian (tarian dan gendang) di pekarangan
masjid. Tabligh  merupakan alat yang penting bagi organisasi ini dalam pendidikan
non-formal[22].
            Madrasah, Al-Jam’iyatul Washliyah mendirikan madrasah pertama di jalan
Sinagar, Petisah, Medan pada tahun 1932. Banguna yang dijadikan madrasah adalah
sebuah rumah yang disewa f 8,- per bulan. Madrasah ini sudah mekakai sistem
kelas, seperti sekolah model Barat, di samping itu juga dalam kurikulumnya
terdapat pelajaran Tafsir dan Hadis, sesuai dengan madrasah modern Islam. Hal ini
menunjukkan bahwa madrasah Al-Jam’iyatul Washliyah berorientasi kepada
pendidikan model barat dan pendidikan modern Islam, kendati masih sangat
sederhana[23].
Pada tanggal 28 Februari 1933 beberapa madrasah milik perseorangan
anggota di Medan menggabungkan diri ke dalam madrasah Al-Jam’iyatul
Washliyah. Madrasah-madrasah tersebut antara lain:
1.             Madrasah kota Ma’sum, pimpinan M. Arsad Taib Lubis
2.             Madrasah Sei Kerah, pimpinan Baharuddin Ali
3.             Madrasah kampong Sekip, pimpinan Usman Deli
4.             Madrasah Gelugur, pimpinan Sulaiman Taib
5.             Madrasah Tanjung Mulia, pimpinan Suhailuddin [24]
Demikianlah madrasah-madrasah Al-Jam’iyatul Washliyah berdiri di Sumatera
Timur, baik di Medan maupun di luar kota Medan seperti di Labuhan Deli dan
Simalungun. Madrasah tersebut berdiri sebelun maupun sesudah cabang
organisasinya berdiri di tempat tersebut. Sehingga pada tahun 1940 organisasi ini
mempunyai madrasah sebanyak 242 buah dengan jumlah murid 12.000 orang [25].
Majelis Penyiaran Islam, majelis ini mempunyai kegiatan khusus dengan
tujuan menyiarkan Islam untuk memperluas pengetahuan tentang islam di daerah-
daerah yang telah beragama Islam; kegiatan umum dengan tugas menyiarkan Islam
ke daerah non-Islam terutama di daerah Toba (Batak Landen). Pada tanggal 5 April
1933, Al-Jam’iyatul Washliyah untuk pertama kalinya melangkah ke Porsea dengan
mengirim beberapa mubaligh diantaranya adalah: H. Abd Qadir, H. Yusuf Ahmad
Lubis, H. Hasyim dan Abdurrahman Syihab. Kedatangan para mubaligh itu
bertepatan pada bulan Syawal. Kesempatan ini dipergunakan untuk bersilaturrahmi
sambil memperhatikan keadaaan masyarakat untuk mengetahui langkah selanjutnya
dalam menyiarkan Islam di daerah itu. Kontak pertama diadakan dengan para
mubaligh di daerah itu adalah Guru Kitab Siberani, Sutan Bengar dan Sutan
Porsea[26]. Kemudian mereka bersama-sama memberikan dakwah ke beberapa
kampung selama tiga hari. Ternyata kunjungan mereka mendapat sambutan
masyarakat Islam di Porsea.
Masyarakat Batak Toba mayoritas pelbegu  dan masih  kuat memegang adat.
Walaupun mereka beragama Islam atau Kristen.kepercayaan tradisional tetap masih
mewarnai tingkah laku mereka dalam kehidupan sehari-hari. Usaha yang terpenting
adalah bagaimana menarik penduduk yang belum Islam menjadi Islam. Guru Kitab
sebagai seorang penduduk asli daerah Batak Toba juga pernah menganut
kepercayaan asli sangat mengenal tradisi kehidupan masyarakat Batak Toba. Bagi
masyarakat Batak Toba, bila seorang raja menukar agamanya, maka seluruh seluruh
rakyat di kampong itu akan turut pula menukar agamanya. Tradisi ini dimanfaatkan
oleh Guru Kita dalam usahanya menggerakkan Al-Jam’iyatul Washliyah untuk
mengadakan propaganda Islam, jadi sasaran utamanya adalah mengislamkan seorang
raja adat, kegemaran masyarakat akan kesenian jiga dimanfaatkan sebagai alat
propaganda, misalnya tortor.
Dalam mengembangkan tradisi Islam Al-Jam’iyatul Washliyah mendapat
tantangan dari kepala adat Porsea. Namun sedikit demi sedekit tantang tersebut
dapat dilaluinya. Untuk mengurangi pengaruh Kristen, Al-Jam’iyatul Washliyah
memakai metode Zending dalam kegiatan sosial. Nama Zending dipakai organisasi
ini dengan menghilangkan Kristen menjadi Islam, jadi “Zending Islam”. Zending
Islam di Porsea mempunyai tugas menyaingi Zending Kristen di Tapanuli dan
berusaha menarik orang non Muslim menjadi Muslim.
Dengan keberhasilan Al-Jam’iyatul Washliyah mendirikan Zending Islam di
Porsea, maka pada Kongres Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI [27]) yang ke III
tahun 193 8, Al-Jam’iyatul Washliyah ditunjuk sebagai pemegang tugas Zending
Islam di Indonesia. Dengan keputusan MIAI tersebut, maka pandangan terhadap Al-
Jam’iyatul Washliyah menjadi berubah agak mengejutkan, sehingga kehadiran Al-
Jam’iyatul Washliyah mulai diperhitungkan untuk mengembangkan ajaran Islam.
Keberhasilan tersebut juga merupakan kebanggaan masyarakat Muslim Sumatera
Timur.

F. PERAN AL-WASHLIYAH DALAM MASYARAKAT


            Al-Washliyah adalah salah satu organisasi Islam yang besar dan telah
banyak memberikan hal-hal terbaik buat pembangunan bangsa Indonesia. Tidak
sedikit, dari lembaga ini terlahir tokoh-tokoh yang kharismatik dan disegani serta
telah memberikan sumbangsih pemikiran dan karya nyata. Di awal berdirinya Al-
Washliyah pada tanggal 9 Rajab 1349 H/30 November 1930 M, diawali dengan niat
perjuangan yang suci untuk mempersatukan umat yang terpecah dan memupuk rasa
tanggung jawab (sense of responsibility) terhadap keadaan yang terjadi. Tokoh-
tokoh kharismatik seperti Syeikh H. Muhammad Yunus,   H. A. Rahman Syihab, H.
Ismail Muhammad Banda, H. M. Arsyad Thalib Lubis dan lain-lain merupakan
ulama-ulama yang masyhur karena ilmunya, ketauladanannya (qudwah), dan
komitmennya untuk memperbaiki moralitas umat dan memajukan bangsa.
Perjuangan mereka benar-benar didasarkan kepada cita-cita yang suci bukan karena
interest pribadi (individu) atau kelompok tertentu. Akhirnya, mereka berhasil
mewujudkan mimpinya.
Ada beberapa point yang bisa kita renungkan untuk menghidupkan kembali
ghirah perjuangan Al-Washliyah ke depan. Paling tidak, Al-Washliyah lebih mampu
lagi menunjukkan kiprah dan karya nyatanya membenahi moralitas umat dan
mengisi pembangunan bangsa ini di berbagai bidang, yang meliputi: pendidikan,
ekonomi, sosial-budaya, keagamaan dan lain-lain. Akhirnya, Al-Washliyah tidak
akan lagi berada di persimpangan jalan. Point-point itu merupakan pengejawantahan
dari cita-cita the founding fathers kita, antara lain adalah:
Pertama, perjuangan suci. Membangun Al-Washliyah memang harus dengan
perjuangan. Dalam setiap perjuangan harus ada pengorbanan. Bersedia berkorban
(tenaga, pikiran, materi bahkan jiwa) adalah indikasi kesucian perjuangan.
Mengikhlaskan hati semata-mata hanya karena Allah adalah pintu gerbang dalam
perjuangan. Ikhlash itu bukanlah  endingpasivitas (akhir dari kemandegan) umat
Islam. Ikhlash adalah totalitas pengabdian kepada Allah SWT. Konsekuensinya:
jalan kemudahan, terbukanya pintu rizki dan indikasi kebahagiaan lainnya.
Kedua, jangan suka melupakan sejarah. Hari ini banyak orang yang besar
(popular) karena Al-Washliyah, tapi ia sendiri lupa kepada Al-Washliyah yang telah
membesarkannya. Ketika seseorang memasuki wilayah politik praktis untuk menjadi
eksekutif atau pun legislatif maka ia akan mengatakan bahwa "ia adalah salah satu
kader  Al-Washliyah untuk mendapatkan dukungan dari keluarga besar Al-
Washliyah yang telah tersebar di seluruh penjuru negeri ini". Namun, setelah ia
duduk di kursi yang diidamkan "apa yang sudah diberikan untuk kemajuan Al-
Washliyah?". Jangankan memberikan bantuan malah "merongrong" dengan
mengembangkan sikap otoriter, sewenang-wenang dan lain-lain. Pengurus Al-
Washliyah sudah seharusnya melakukan restrukturisasi agar roda Al-Washliyah itu
kembali berjalan secara baik.
Ketiga, membina moralitas ukhuwah. Paling tidak, ada beberapa langkah yang
harus kita tempuh: a) Berangkat dari kepentingan umat (mashlahatul ummat) bukan
kepentingan pribadi atau kelompok. Sehingga siapapun yang memimpin organisasi
akan disikapi secara lapang dada selagi capabilitas-nya terpenuhi dan sesuai dengan
rambu-rambu organisasi; b) Saling bahu membahu (cooperate) antara satu dengan
lainnya dengan mengedepankan persamaan dan arif dalam menyikapi perbedaan
yang muncul; c) Bersikap terbuka terhadap kritik yang konstruktif; d) Beranjak dari
tekad dan tujuan yang sama untuk membangun Al-Washliyah.
Keempat, menumbuhkan sense of belonging (rasa memiliki) dan sense of
responsibility (rasa tanggung jawab). Bila sudah tertanam rasa memiliki maka akan
mewujudkan tanggung jawab. Jikalau kita punya sesuatu maka kita akan menjaga,
memeliharanya agar tidak rusak, diganggu dan hal-hal yang mafsadat lainnya. Bila
kita merasa memiliki Al-Washliyah maka kita akan memeliharanya.
Kelima, mewujudkan yang terbaik. "Apa yang sudah saya berikan untuk Al-
Washliyah?". Berbuat dengan karya nyata sesuai dengan bidang masing-masing.
Kader Al-Washliyah yang di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, tenaga profesi:
guru/dosen, dokter dan lain-lain harus memberikan yang terbaik dengan menebar
kemanfaatan buat umat Islam. Paling tidak, menjadi qudwah (ketauladanan moral)
di lingkungan kerja kita masing-masing.
Keenam, warga Al-Washliyah harus satu langkah dalam mengoptimalkan
kekuatan ummat Islam demi terwujudnya kemaslahatan ummat Islam itu sendiri. Ke
depan, umat Islam harus lebih cerdas, lebih dewasa, lebih tegas, lebih arif dalam
menentukan arah kehidupan dan menyikapinya.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
            Sumatera Timur sebagai kawasan perkebunan pada awal abad ke 19,
menjadi ajang migran dari luar negeri dan daerah-daerah sekitarnya. Migran
Tapanuli Selatan, Mandailing dengan bekal keterampilan dan pengetahuan yang
mereka miliki dapat membuka lembaga pendidikan yang diberi nama Maktab
Islamiyah Tapanuli (MIT), pada tahun 1918.
            AL-Jam’iyatul Washliyah merupakan perluasan dari Debating Club, sebuah
perkumpulan pelajar MIT yang didirikan pada tahun 1928. Al-Jam’iyatul Washliyah
didirikan pada tahun 1930, bermazhab Syafi’i. Pada awal berdirinya organisasi ini
tidak dapat mengembangkan programnya karena kekurangan dana. Barulah pada
tahun 1934 organisasi ini dapat mengegrakakn majelis-majelis yang sudah disusun
pada awal berdirinya.
            Majelis yang paling berhasil adalah majelis Tarbiyah dan majelis Tabligh.
Dalam mensyiarkan Islam Al-Jam’iyatul Washliyah menggunakan metode Tabligh,
sehingga dapat menyaingi Zending Kristen di daerah Tapanuli. Dengan prestasinya
itu maka Al-Jam’iyatul Washliyah patut diperhitungkan keberadaannya di tengah-
tengah masyarakat nasional dan khususnya di Sumatera Utara.
B.SARAN DAN HARAPAN
Dalam makalah ini tentunya kami menemukan beberapa kesulitan, dan kami
harapkan bapak dosen dan temen-temen memberikan masukan maupun penjelasan.
karena makalah ini masih banyak kekurangan dalam membuat makalah
tersebut.semoga makalah ini bermanfaat bagi kami amiin.

Anda mungkin juga menyukai