DISUSUN OLEH :
1. RISKA AMALIA ANJELA 11751202026
2. SITI QOMARIAH 11751202255
3. UMMI DWI OKTAVIANI 11751200306
TEKNIK INFORMATIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2019
KATA PENGANTAR
Oleh sebab itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbai kan m ak al ah ya n g t el ah penul i s buat di m asa ya n g ak an
dat an g, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun. Sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan
kata-kata yang kurang berkenan dan penulis memohon kritik dan saran
yang membangun demi perbaikan di masa depan. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua, Aamiin. Wassalamu’alaikum Warrohmatullahi
Wabbarrokatu.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Agama islam kaya akan tuntunan hidup bagi umatnya. Selain sumber
hukum tama yakni al-qur’an dan as-sunnah islam juga mengandung aspek
penting yaitu fiqih. Fiqih islam sangat penting dan dibutuhkan oleh umat islam,
karna ia merupakan sebuah “manual book” dalam menjalankan praktik ajaran
islam itu sendiri, baik dari sisi ibadah muamalah, syari’ah dan sebagainya. Pada
makalah ini membahas tentang nazar, kurban dan aqiqah dari madzhab,
sumber-sumber hukum islam baik yang naqli maupun aqli (al-qur’an dan as-
sunnah).
Ibadah Qurban adalah ibadah yang di perintah kan oleh Allah SWT karena
berqurban adalah salah satu bentuk pernyataan rasa sukur kita atas nikmat yang
telah di berikan . Jadi, bagi orang yangt mampu, maka di wajibkan untuk
berqurban. Disamping itu ibadah qurban merupakan ungkapan rasa
persaudaraan antara saudara kita yang mampu dengan saudara kita yang
mampu secara ekonomi, untuk saling berbagi rezeki . Menumbuhkan sifat
untuk saling berkorban untuk orang lain . Saling tolong menolong untuk
mempererat tali persatuan antara umat manusia , khususnya umat islam .
1
Ibadah aqiqah mengandung banyak sekali hikmah dan manfaat , diantaranya
adalah merupakan ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas kehadiran
seorang anak , dapat menumbuhkan jalinan kasih dan sikap hormat anak
kepada orang tuanya .
1.3. Tujuan
1. Mengetahui apa itu Nadzar.
2. Mengetahui menurut dari para Madzhab dan Ulama tentang Nadzar.
3. Mengetahui apa itu Qurban.
4. Mengetahui menurut dari para Madzhab dan Ulama tentang Qurban.
5. Mengetahui apa itu Aqiqah.
6. Mengetahui menurut dari para Madzhab dan Ulama tentang Aqiqah.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 NADZAR
2.1.1 Definisi Nadzar dan Rukunnya.
Secara etimologi, nadzar adalah janji untuk melakukan kebaikan atau
keburukan. Sementara secara etimologis, nadzar berarti berjanji yang
khusus untuk melakukan sesuatu kebaikan. Sedangkan menurut sebagian
ulama, nadzar adalah komitmen untuk melakukan upaya mendekatkan diri
kepada Allah SWT, tapi belum ditentukan bentuknya.
Menurut madzhab Hanafi, rukun nadzar adalah lafal yang
menunjukkan eksistensi nadzar tersebut, seperti ucapan seseorang, “Saya
berjanji melakukan hal tertentu karena Allah SWT”, “ Saya bernadzar
melakukan ini”, Harta saya ini untuk sedekah”, dan berbagai redaksi
lainnya.
Akan tetapi, menurut jumhur ulama selain Hanafiyah, rukun nadzar
itu ada tiga hal: subjek atau pelaku nadzar, objek atau hal yang
dinadzarkan, serta lafal nadzar. Adapun syarat bagi subjek nadzar adalah
mukallaf (telah dibebani kewajiban syariat) dan muslim. Jadi, tidak sah
nadzar yang diucapkan anak-anak, orang gila, atau orang kafir. Sedangkan
objek nadzar ada dua kategori: yang belum jelas bentuknya dan yang
sudah jelas bentuknya.
Bentuk pertama adalah seperti ucapan seseorang, “ Saya bernadzar
karena Allah.” Menutut madzhab Maliki, konsekuensi nadzar dalam
bentuk ini sama dengan hukum yang berlaku pada kafarat yamiin
(penembusan sumpah).1
Adapun nadzar yang sudah jelas bentuknya, ada empat hal:
a. Yang berupa ibadah yang membawa kedekatan kepada Allah SWT.
Nadzar ini wajib ditunaikan.
b. Yang berupa kemasiatan kepada Allah SWT. Nadzar ini haram untuk
ditunaikan.
1
Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, “Fiqih Islam Wa Adillatuhu”, Jakarta, Gema Insani, 2011, hal.118.
3
c. Yang berupa perbuatan makruh. Nadzar seperti ini juka makruh
untuk ditunaikan.
d. Yang berupa perbuatan mubah. Nadzar seperti ini boleh untuk
ditunaikan dan boleh juga tidak. Bagi yang tidak menunaikan nadzar
seperti ini, tidak ada hukuman apapun.
Adapun lafal dari nadzar juga ada dua bentuk: yang bebas dan terikat.
Bentuk lafal yang bebas dan terikat. Bentuk lafal yang bebas merupakan
ekpensi dari rasa syukur terhadap nikmat-Nya secar umum atau yang
diucapkan tanpa sebab apa pun. Sebagai contoh ucapan seseorang: saya
bernadzar melakukan puasa ini dan itu atau shalat ini dan itu karena Allah
SWT. Bentuk nadzar seperti ini menurut madzhab Maliki hukumnya
mustahab dan wajib ditunaikan. Adapun lafal yang terikat adalah yang
terikat dengan syarat tertentu, seperti ucapan seseorang, “Jika si Fulan
datang atau jika Allah SWT menyembuhkan penyakit saya, maka saya
berjanji untuk melakukan inib dan itu.” Hukum nadzar seperti ini adalah
wajib ditunaikan apabila syaratnya itu terwujud. Nadzar seperti ini juga
dipandang mustahab oleh madzhab Maliki, namun dapat pendapat lain
dinilai makruh.2
2
Ibid, hal.119.
4
mengucapkannya ia belum memiliki kelayakan untuk melakukan
perbuatan-perbuatan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Adapun status merdeka tidak menjadi syarat bagi sahnya nadzar,
sehingga nadzar dari seorang budak tetap dipandang sah. Demikian juga
kondisi yang tidak dalam paksaan juga tidak menjadi syarat sahnya nadzar
menurut madzhab Hanafi. Namun, dalam madzhab syafi’I dipandang
sebagai syarat, sehingga menurut mereka tidak sah nadzar dari orang yang
terpaksa berdasarkan hadits Nabi saw.,
Artinya :
“Tidak dikategorikan sebagai pelanggaran bagi umatku hal-hal yang
dilakukan dengan kesengajaan, karena lupa, atau karena dipaksakan.”3
3
Ibid.
5
“Tidak boleh bernadzar dengan kemaksiatan kepada Allah SWT serta
dengan sesuatu yang tidak dimiliki.”
Juga, sabda beliau,
“Tidak boleh bernadzar kecuali dengan hal-hal yang dimaksudkan
untuk mendapatkan ridha Allah SWT.”
Sabda beliau,
Artinya:
6
pelakunya kepada Allah SWT, hanya saja ia biasanya bukanlah ibadah
yang menjadi target pada zatnya.
Sebagaimana telah dijelaskan, objek nadzar haruslah ibadah yang
menjadi target pada zatnya, seperti halnya objek sumpah. Itulah
alasannya mengapa dibolehkan bernadzar dengan shalat, puasa, haji,
umrah, I’tikaf, dan ibadah lain yang serupa. Dikarenakan, seluruhnya
merupakan ibadah yang menjadi target pada zatnya dan berasal dari
jenis ibadah yang diwajibkan dalam syariat. Sementara Rasulullah saw.
Telah menyatakan, “siapa yang bernadzar untuk menaati Allah, maka
hendaklah merealisasikannya.”
Adapun menurut madzhab Syafi’I, pendapat yang benar adalah sahnya
nadzar dengan ibadah-ibadah yang tidak diwajibkan ibtida’an (secara
otomatis/tanpa sebab yang mendahuluinya), seperti menjenguk orang
sakit, melayat jenazah, mengucapkan salam pada orang lain atau pada
diri sendiri ketika masuk ke sebuah rumah kosong, mendoakan orang
yang bersin, atau berkunjung kerumah kawan yang baru datang dari
perjalanan. Hal ini dikarenakan syariat menganjurkan kita untuk
melakukan perbuatan-perbuatan itu, dan seorang hamba bias
mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan perantaranya. Sehingga,
posisinya tidak berbeda dengan bentuk atau jenis ibadah lainnya.
Adapun bernadzar dengan ibadah-ibadah dari jenis yang diwajibkan
dalam syariat seperti shalat, puasa, dan haji, maka tidak ada perbedaan
pendapat dikalangan ulama tentang kewajiban merealisasinya.
Berkenaan dengan I’tikaf sebagai objek nadzar, alasan dibalik
kewajiban merealisasinya adalah di antara jenis I’tikaf ada yang
termasuk kategori wajib dalam syariat, contohnya wukuf di Arafah dan
duduk setelah rakaat terakhir dalam shalat. Kedua bentuk amalan ini
dipandang sebagai bentuk aktivitas”berdiam diri” seperti halnya I’tikaf.
Sementara itu, sesuatu yang dilarang Rasulullah saw. Mengerjakannya
adalah maksiat, dan bernadzar dengan kemaksiatan adalah tidak sah
berdasarkan sabda Rasulullah saw, antara lain
Artinya:
7
“Tidak boleh bernadzar dengan kemaksiatan kepada Allah SWT serta
dengan sesuatu yang tidak dimiliki”
d. Harta yang menjadi objek nadzar hendaknya harta yang merupakan
milik orang yang bernadzar itu pada saat nadzar diucapkan. Disamping
itu, hendaklah nadzar tersebut terkait dengan harta yang dilekatkan
kepemilikannya(di masa depan) kepada subjek nadzar atau yang
dilekatkan kepemilikannya pada sebab kepemilikan. Dengan demikian,
sekiranya orang itu bernadzar dengan apa yang tidak ia miliki saat itu,
maka nadzarnya tidak sah berdasarkan kesepakatan ulama karena
Rasulullah saw. Telah bersabda,
Artinya :
“Tidak berlaku nadzar dengan sesuatu yang tidak dimiliki.”
Jika ia menisbatkan nadzarnya itu pada kepemilikan di masa depan, seperti
dengan mengucapkan, “seluruh harta yang saya miliki di masa depan saya
nadzarkan sebagai sedekah,” maka nadzarnya itu sah menurut madzhab
Hanafi, namun menurut madzhab Syafi’I tidak sah. Hukum yang sama
berlaku apabila ia menisbatkannya pada sebab terjadinya kepemilikan,
seperti dengan mengucapkan, “Segala sesuatu yang nanti saya beli atau
saya warisi, maka saya nadzarkan sebagai sedekah.” Kebolehan tersebut
didasarkan kepada firman Allah SWT.
“Dan di antara mereka ada orang yang telah berjanji kepada Allah,
‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian dari karunia-Nya kepada
kami, niscaya kami akan bersedekah dan niscaya kami akan beersedekah
dan niscaya kami termasuk orang-orang yang saleh.”(at-Taubah:75)
Hingga firman-Nya,
8
“Maka Allah menanamkan kemunafikan dalam hati mereka sampai
pada waktu mereka menemui-Nya, karena mereka telah mengigkari janji
yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu
berdusta.”(at-Taubah:77)
Ayat ini menunjukkan sahnya nadzar yang dinisbatkan pada
kepemilikan dimasa depan. Adapun dalil Syafi’I ketika mengatakan
tisak sahnya nadzar bersedekah dengan harta yang tidak dimiliki oleh
di pelaku adalah hadits dari Imran ibnul Hushain bahwa Rasulullah sab
bersabda,
Artinya:
“Tidak boleh bernadzar dengan kemaksiatan kepada Allah SWT
serta dengan sesusatu yang tidak dimiliki.4
4
Ibid, hal.124.
9
makruh yang mengaruh pada haram. Artinya, bernadzar adalah
perbuatan yang tidak disukai. Hal ini didasarkan pada hadits yang
diriwayatkan oleh Umar ibnul Khaththab bahwa Rasulullah saw.
Melarang nadzar seraya berkata,
Artinya:
“Sesungguhnya ia tidak akan mencegah (takdir buruk) apa pun, namun
ini hanyalah jalan untuk mengeluarkan (kebaikan) dari seorang yang
bakhil.”
Dalam redaksi lain disebutkan ,
Artinya :
Sesengguhnya ia tidak mendatangkan kebaikan apa pun, melainkan
hanya berjalan utnuk keluarnya sesuatu (kebaikan) dari orang bakhil.
Alasan lainnya adalah bahwa jika bernadzar memang suatu tindakan
yang disukai (mustahab). Niscaya Rasulullah saw. Dan para sahabat
terkemuka akan melakukan. Akan tetapi. Sekalipun hukumnya adalah
seperti yang disebutkan dini, siapa saja yang bernadzar untuk
mengerjakan sesuatu ketaatan tetap diwajibkan menunaikannya.
Kewajiban menunaikan tersebut berdasar dalil Al-Qur’an, As-Sunnah,
dan logika.
Adapun dalil dari Al-Quran adalah firman Allah SWT,
“mereka memenuhi nadzar dan takut akan suatu hari yang azabnya
merata dimana-mana.” (al-insaan:7)
10
Firman-Nya,
ّللا ِ ب ِ ع َ ْه ِد َو أ َ ْو ف ُوا
َ ع َ ا ه َ د ْ ت ُم إ ِ ذ َ ا
“Dan tepatilah janji dengan Allah apabila kamu berjanji…” (an-Nahl:
91)
Nadzar adalah salah satu bentuk janji kepada Allah SWT dari orang
yang bernadzar, demikian juga kata ‘uquud bermakna janji (‘uhuud)
Sementara, dalil dari As-Sunnag asalh sabda Rasulullah saw.,
Artinya
“Siapa yang bernadzar untuk menaati Allah SWT, maka hendaklah
merealisasikannya.”
Juga, sabda beliau,
Artinya :
“Siapa yang bernadzar dengan menyebut hal tersebut, maka hendaklah
merealisasikan yang ia sebut itu.
Adapun dalil logikanya adalah bahwa dalam rangka mendekatkan
diri kepada Allah SWT, seorang Muslim terkadang perlu membebani
dirinya dengan suatu ibadah yang sebetulnya boleh tidak dikerjakan,
dengan maksud meraih posisi yang mulia dihadapan-Nya. Bernadzar
adalah langkah mewajibkan kepada diri sendiri melakukan hal yang
menjadi objek nadzar. Oleh karena itu, ia merupakan salah satu sarana
untuk mewajibkannkepada diri sendiri melakukan sesuatu sekaligus
11
mencegah godaan utnuk tidak jadi merealisasikannya. Dengan cara
seperti ini, tercapailah target yang diinginkan oleh si pelaku, yaitu
melakukan ibadah yang bisa mendekatkan dirinya kepada Allah SWT.
Dalam madzhab Hanafi ditemukan penjelasan tentang rincian
hukum nadzar yang wajib ditunaikan, yaitu dilihat dari segi
disebutkannya objek nadzar tersebut oleh pelakunya atau tidak.
Pendapat mereka dalam hal tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, dalam kondisi si pelaku menyebut langsung objek nadzarnya,
seperti dengan berkata ,”Saya bernadzar melakukan haji atau umrah
karena Allah SWT,” atau mengatakan. “Jika Allah SWT
menyembuhkan penyakit saya ini, maka saya akan bersedekah
sebanyak seratus.” Dalam kasus seperti ini , si pelaku wajib
merealisasikan objek nadzar yang telah dijelaskan itu, baik nadzar
tersebut bersifat bebas (muthlaq) ataupun bersyarat (mu’allaq bi
syarth). Lebih lanjut, ia juga tidak dibolehkan menebus nadzar tersebut
dengan membayar denda dalam bentuk lain.
Nadzar untuk melakukan hal yang mubah serta nadzar melakukan
kemaksiatan
Apabila seseorang bernadzar untuk melakukan suatu hal yang
mubah, seperti dengan berkata, “ Saya bernadzar untuk menunggang
kuda saya,” atau, “Saya bernadzar memakai baju saya,” ataupun
bernazhar untuk meninggalkan satu perbuatan mubah seperti dengan
berkata, “Saya bernadzar untuk tidak memakan manisan,” maka dalam
dua kondisi tersebut di pelaku tidak wajib merealisasikannya. Hal ini
didasarkan pada adits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud yang
berbunyi
Artinya:
“Tidak ada nadzar kecuali dengan hal-hal yang ditunjukkan untuk
meraih keridhaan Allah SWT.”
Juga, hadits yang diriwayatkan oleh iman Bukhari dari Ibnu Abbas
bahwa suatu hari Rasulullah saw. Menyampaikan khotbah. Tiba-tiba,
beliau melihat seorang laki-laki yang berdiri di bawah terik matahari.
12
Rasulullah saw. Lalu menanyakan perihal orang tersebut. Para sahabat
menjawab, “Orang itu bernama Abu Israil. Ia bernadzar untuk berpuasa
dengan tidak akan duduk, berteduh dari terik matahari, maupun berkata-
kata dengan orang lain.” Rasulullah saw. Lalu berkata,
Artinya
“Suruhlah ia untuk berkata-kata, berteduh, dan duduk dengan tetap
menunaikan puasanya.”
Dalil lainnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
bahwa suatu ketika seorang perempuan bernadzar untuk berjalan kaki
ke Baitullah. Rasulullah saw. Lantas tidanya tentang nadzar seperti itu.
Beliau lantas menjawab,
Artinya
“Sesungguhnya Allah SWT tidak butuh dengan tindakannya untuk
berjalan kaki itu. Suruhlah ia untuk menunggang kendaraan.”
Adapu jika orang itu bernadzar dengan hal-hal yang berbentuk
kemaksiatan, seperti dengan mengatkan, “Saya bernadzhar karena
Allah SWT untuk meminum khamar, atau membunuh si Fulan, atau
memukulnya, atau mencaci makinya, dan sebagainya,” maka para
ulama sepakat menyatakan tidak bolehnya merealisasikan nadzar yang
seperti itu. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw.,
“Tidak sah nadzar dalam hal-hal yang berbentuk kemaksiatan kepada
Allah SWT.”
Adapun jika ditanyakan tentang apakah wajib bagi pelakunya
membayar kafarat, menurut madzhab Hanafi dan Hambali, bagi orang
yang bernadzar melakukan maksiat, maka wajib tidak
merealisasikannya dan menggantinya dengan membayar kafarat seperti
kafarat sumpah. Dalilnya adalah sabda Rasulullah saw. Yang
diriwayatkan oleh Imran ibnul Hushain dan Abu Hurairah, yaitu,
Artinya
“Tidak boleh bernadzar dengan kemaksiatan kepada Allah SWT sang
pelakunya wajib membayar tebusan (kafarat) seperti kafarat sumpah.
13
Sedangkan menurut madzhab Maliki, Syafi’I, dan jumhur ulama, tidak
ada konsekuensi apa-apa bagi orang itu dan tidak wajib kafarat. Hal itu
didasarkan pada hadits dari Aisyah r.a bahwa Rasulullah saw.
Bersabda,
Artinya
“Siapa yang bernadzar untuk menaati Allah maka hendaklah
merealisasikannya. Sebaliknya siapa yang bernadzhar untuk
bermaksiat kepada Allah, maka jangan merealisasikannya.
Adapun tentang hadits riwayat Imran dan Abu Hurairah di atas,
Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa para ahli hadits menilainya lemah
dengan dasar bahwa pada sanad hadits Abu Hurairah terdapat Sulaiman
bin Arqam yang dinilai sangat lemah (matruuk) dalam periwayatan
hadits. Sementara, ada sanad hadits Imran terdapat Zuhair bin
Muhammad dan bapaknya, dimana sang bapak adalah yang tidak
diketahui identitasnya dan hanya anaknya in saja, yaitu Zuhair, yang
meriwayatkan hadits darinya. Selain itu, Zuhair sendiri menurut Ibnu
Abdil Barr adalah orang yang sangat lemah (munkar) dalam
periwayatan hadits.
Adapun tentang hadits yang diriwayatkan Uqbah bin Amir, yaitu
“Kafarat nadzar sama dengan kafart sumpah,” maka yang dimaksud
adalah nadzar yang timbul disebabkan kemarahan(nadzar lajaj).
b. Saat Berlakunya Hukum Suatu Nadzar
Maksudnya adalah waktu wajib bagi subjek nadzar merealisasikan
objek nadzarnya. Hal itu tentu saja berbeda pada setiap nadzar,
tergantung pada apakah nadzar itu bersifat mutlak(tisak bersyart) atau
terkait dengan syarat atau tempat tertentu, atau dinisbatkan kepada
waktu tertentu di masa depan.
Seperti telah dijelaskan, objek nadzar adakalanya berupa ibadah yang
terkait dengan fisik seperti puasa dan shalat, atau ibadah yang terkait
dengan harta, seperti sedekah.
c. Tata Cara Penetapan Hukum Nazar
14
jika suatu nadzar dinisbatkan pada waktu yang tidak ditentukan, seperti
ucapan seseorang, “ Saya bernadzar karena Allah untuk berpuasa
selama sebulan,” dan orang tersebut tidak meniatkan apa pun terkait
dengan waktu pelaksanaanya, maka hukumnya sama dengan hokum
peaksanaan sebuah ibadah wajib yang tidak dikaitkan dengan waktu
tertentu(wajib mutlak).
Dalam madhab Syafi’i disebutkan bahwa apabila seseorang bernadzar
untuk berpuasa pada tahun tertentu, maka ia harus berpuasa di tahun itu
dengan pengecualian (maksudnya boleh tidak berpuasa tanpa harus
mengqadha) pasa hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, hari-hari Tasyriq,
hari-hari puasa Ramadhan, dan khusu bagi kaum perempuan, menurut
pendapat yang lebih kuat, juga dibolehkan tidak berpuasa pada hari-
hari haid dan nifas tanpa wajib untuk menggantinya (qadha).5
2.2 KURBAN
2.2.1. Pengertian Kurban Dan Landasannya Dalam Syari’at
Kurban adalah hewan ternak yang disembelih untuk beribadah keada
allah sejak hari raya sampai akhir hari Tasyrik.6 Definisi kurban secara
fiqih adalah perbuatan menyembeli hewan tertentu dengan niat
mendekatkan diri kepada Allah SWT dan dilakukan pada waktu tertentu,
atau bisa juga didefenisikan dengan hewan-hewan yang disembelih pada
hari raya Idul Adha dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Landasan kurban dari kitabullah adalah firman Allah SWT yang
berbunyi:7
5
Ibid, hal.138.
6
Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi, “Fiqih Islam dan Tasawuf”, Surabaya, Mutiara Ilmu, 2013,
hal.133.
7
Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, op.cit, hal.254.
15
Selusuh umat islam sepakat bahwa berkurban adalah perbuatan yang
disyari’atkan islam. Banyak hadits yang menyatakan bahwa berkurban
adalah sebaik-baiknya perbuatan di sisi Allah SWT yang dilakukan
seorang hamba pada hari kurban. Adapun hikma disyari’atkanya
berkurban adalah untuk mengekspresikan rasa syukur kepada Allah
SWT terhadap nikmat-nikmat-Nya yang beraneka ragam. Dismping itu,
berkurban juga disyari’atkan dalam rangka melapangkan kondisi
keluarga yang berkurban dan pihak-pihak lainnya. Dengan demikian,
kurban tidak boleh digantikan dengan uang, berbeda halnya dengan zakat
fitrah yang memeang ditujukan untuk mencukupi kebutuhan hidup fakir
miskin.8
8
Ibid, hal.255.
9
Ibid, hal.256.
16
saya memiliki kambing, saya mengurbankannya.” Waktu kurban tiba
saat terbitnya matahari pada hari raya idul adha dan sudah lewat waktu
untuk sholat id serta dua khutbah. Waktunya berakhir pada terbenamnya
matahari pada akhir hari tasyrik. Jika seseorag menyembeli kurban
sebelum masuk waktunya, maka tidak menjadi kurban. Demikian juga
orang yang menyembelih kurban setelah habis waktunya, kecuali orang
yang bernazar kurban khusus, lalu dia menentukan hewannya dan waktu
penyembelihan kurba habis, maka dia harus menyembelinya, meskipun
waktunya hais dan statusnya qadla. Haram mengakhiri penyembelian
kurban yang wajib dari waktu tersebut jika tanpa alasan.10
10
Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi, loc.cit.
11
Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, op.cit, hal.260.
12
Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi, loc.cit.
17
untuk seorang. Namun jika seseorang menyembeli kembali atas nama
dirinya dan keluarganya atau orang lain, maka sah kurbanya.
Sah berkurban dengan ternak jantan maupun betina, kecuali betina
yang hamil, sebagaimana dikatakan mayoritas ulama. Namun ibnu
Rif’ah berbeda pendapat dan megatakan, bahwa ternak yang hamil sah
untuk kurban. Al Hishni berkata dalam Kifayah Al Akhyar: “sebaiknya
masalah ternak hamil dirinci. Jika gemuk maka sah untuk kurban. Jika
kurus maka tidak sah. “Hewan yang akan hampir melahirkan sama
dengan hewan yang hamil. Hewan ternak jantan lebih baik untuk kurban,
sebab dagingnya lebih enak. Untah yang sah untuk kurban adalah yang
berumur lima tahun, memasuki tahun depan keenam. Sapi yang sah untuk
kurban adalah yang telah berumur dua tahun tepat dan memasuki tahun
ketiga. Kambing domba yang sah untuk kurban adalah yang berumur
setahun atau gigi-gigi depannya atau satu giginya telah rontok dengan
syarat rontok itu setelah enam bulan. Berikut ini ternak yang tidak sah
dijadikan kurban :13
1. Ternak yang berpenyakit gatal, meskipun sedikit menurut pendapat
Imam Syafi’i, sebab penyakit ini merusak daging. Namun Imam
Haramain, Al Ghazali dan Ar Rafi’i berpendapat bahwa, ternak gatal
sah dijadikan kurban, kecuali jika gatalnya banyak.
2. Ternak yang kurus, sehingga dagingnya tidak menarik bagi orang
yang berduit.
3. Ternak yang pincang. Namun, jika pincangnya sedikit sehingga
tidak sampai tertinggal dari hewan lain, maka tidak apa-apa.
4. Ternak yang buta satu matanya.
5. Ternak yang berpenyakit jelas, sehingga menyebabkan kurus dan
rusak dagingnya.
6. Hewan yang sebagian juznya terpisah dari juz itu bisa dimakan.
Minsalnya telinga, ekor pantat.
13
Ibid, hal.134-135.
18
Haram memakan hewan kurban yang wajib, baik nazar mujazah atau
nazar mutlak dan harus menyedekahkannya secara keseluruan, termasuk
kulitnya dan tanduknya. Orang yang berkurban sunat memakan sebagian
kurban jika dia berkurban atas nama dirinya sendiri. Jika dia berkurban
atas nama orang mati, maka tidak boleh memakanya sama sekali. Yang
terbaik adalah memakan jantungnya, namun tidak lebih dari tiga suap,
sebab Nabi berbuat demikian. Yang terbaik adalah menyedekahkan
seluru kurban, sebeb lebih jauh dari hawa nafsu, kecuali beberapa suap
untuk tabaruk. Imam Haraimn dan muridnya Al-Ghazali berkata:
“bagaimanapun juga, yang terbaik adalah menyedekahkan seluruhnya,
makamakanlah setengah dan sedekahkan setengah, sebab Allah
berfirman dalan surah Al Hajj ayat 28 yang berbunyi;14
Artinya: “.. maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang
rela dengan apa yang ada padanya( yang tidak meminta-minta) dan
ornag yang meminta…”(QS. Al Hajj :36)
Dalam ayat ini Allah menjadikan kurban menjadi tiga bagian yang
dimaksud adalah memekan sepertiga atau kurang, menyedekahkan lebih
dari sepertiga dan selebihnya dihadiahkan.
14
Ibid, hal.135-136.
19
Menurut madzhab maliki, makruh hukumnya memberikan daging
kurban kepada orang yahudi atau nasrani. Sementara itu, madzhab
hambali memperbolehkan untuk menghadiahkan daging kurban kepada
orang kafir pada kurban yang bersifat sukarela, sementara pada kurban
yang bersifat wajib tidak diperbolehkan menghadiahkan bagian apa pun
dari hewan itu kepada mereka. Dalam madzhab syafi’i kurban yang
berstatus wajib, seperti di sebabkan nazar atau newan yang sudah di
tetapkan sebagai kurban, maka dagingnya tidak boleh dimakan oleh
sipemilik kurban maupun pihak-pihak lain yang berada dibawah
tanggungannya. Sedangkan dalam hal kurban yang bersifat Sunnah,
maka dianjurkan bagi sipemilik kurban turut memakan beberapa potong
daging hewan, dalam rangka mendapatkan berkah dari kurban yang ia
lakukan. 15
15
Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, op.cit, hal.256.
16
Ibid, hal.265.
17
Ibid, hal.266
20
aktivitas yang dilakukan oleh imam terdekat (dari tempat tinggalnya) dan
sang imam tidak terlihat melakukan penyembelihan lantas orang itu
mengira bahwa sang imam sudah menyembelih kurbanya, maka
sembelihannya itu sah. 18
Dalam madzhab syafi’i waktu menyembali kurban dimulai dengan
berlalunya waktu seukuran pelaksanaan yang standar dari dua raka’at
sholat dan dua khotbah Idul Adha, dan lebih utama ketika matahari
beranjak naik hingga seukuran tombak, yaitu waktu dimulainya sholat
dhuha. Dengan demikian apabila penyembelihan kurban dilakukan
sebelum sholat dan khotbah, maka hukumnya tidak sah.
Dalam madzhab hambali waktu penyembelihan kurban dimulai dari
hari raya, yaitu dengan berlalunya waktu seukuran pelaksanaan yang
paling minimal dari shalat dan dua khotbah Idul Adha. Dengan demikian
pendapatnya sama seperti yang dikemukakan madzhab syafi’i. 19
Dapat disimpulkan bahwa waktu yang lebih utama adalah
melaksanakan penyembelihan itu setelah sholat, khotbah, dan imam
sholat selesai menyembelih. Hal itu dalam menghindari perselisihan
pendapat dikalangan madzhab-madzhab yang ada. Selanjutnya dalam
kurban yang berstatus wajib, jika sampai akhir waktu kurban belum juga
dilakukan penyembelihan, maka si pelaku kurban harus tetap
menyembeli setelahnya dengan niat mengqadha. Selanjutnya ia juga
diharuskan melakukan hal-hal yang harus dilakukan ketika kurban itu
dilaksanakan dalam waktunya. Akan tetapi dalam kasus kurban sukarela
(tidak wajib) maka seseorang dibolehkan memilih (antara
mendistribusikan dagingnya atau tidak). Artinya ketika ia kemudian
mendistribusikan daging tersebut, maka ketika itulah ia dipandang
melakukan ibadah.
18
Ibid, hal.268.
19
Ibid, hal.269.
20
Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi, op.cit, hal.137.
21
1. Lelaki menyembelih hewan kurban sendiri dan orang yang tidak
menyembelih sendiri menghadiri penyembeli penyembelihan, baik
lelaki maupun wanita.
2. Membaca basmallah.
3. Bertakbir sebanyak tiga kali, baik sebelum maupun sesudah
basmallah.
4. Membaca sholawat dan salam kepada Nabi SAW. Tidak membaca
basmallah dan shalawat Nabi hukumnya makruh.
2.3 AQIQAH
2.3.1 Definisi aqiqah
Aqiqah merupakan kata dari Bahasa Arab yaitu aqiqah yang
memiliki arti potongan. Bentuk kata lainnya adalah (al-aqiq), (al-aqiqah),
(al-iqqah) berarti rambut yang tumbuh dikepala bayi saat dilahirkan.
“Aqqa an waladihi aqqan” artinya menyembelih kambing untuk anaknya
pada hari ketujuh dari kelahirannya, juga berarti mencukur rambut
anaknya. Aqiqah artinya sama dengan dzabihah, yaitu binatang yang
disembelih. Akan tetapi dalam istilah ‘aqiqah itu yang dimaksud adalah
kambing atau biri-biri jantan atau betina yang disembelih berhubung
dengan adanya anak yang baru dilahirkan. Bila anak itu laki-laki, maka
‘aqiqah nya dua ekor kambing yang sama (mukaafiataani), dan apabila
anak itu perempuan ‘aqiqah nya satu ekor kambing. Kambing tersebut
disembelih pada hari ketujuh, kemudian daging ‘aqiqah itu dengan segala
22
bagiannya disedekahkan kepada fakir miskin sebagaimana halnya daging
qurban.21 Sebagaimana hadits berikut ini :
Hewan yang akan disembelih sebagai aqiqah baik dari segi jenis,
usia dan sifat-sifatnya yang harus bebas dari cacat, tidak berbeda dari
hewan qurban. Jenis hewan yang akan diaqiqahkan itu adalah unta, sapi
atau domba. Menurut madzhab Maliki, jumlah hewan aqiqah itu adalah
satu ekor, baik yang lahir adalah anak laki-laki atau perempuan. Hal itu
didasarkan pada hadits dari Ibnu Abbas di atas, bahwa Rasulullah saw
menyembelih satu ekor domba jantan ketika Hasan dan Husein lahir.
Jumlah yang seperti ini adalah yang paling logis dan memudahkan.
Sementara itu, menurut madzhab Syafi’i dan Hambali, jka yang lahir
adalah anak laki-laki, maka disembelih dua ekor domba, sementara jika
anak perempuan satu ekor.22 Hal itu didasarkan pada riwayat yang
disampaikan Aisyah “Untuk anak laki-laki disembelih dua ekor domba
yang sama kualitasnya, sementara untuk anak perempuan satu ekor.”
Adapun hadits dari Ibnu Abbas di atas dimaknai sebagai bentuk
kebolehan. Dihitung sama dengan satu ekor domba jika orang tua si bayi
menyembelih sepertujuh sapi. Demikian juga, jika sesorang menyembelih
seekor unta atau sapi untuk mengaqiqahkan tujuh orang anaknya, maka
tindakan itu dibolehkan sebagaimana sah juga menurut madzhab Syafi’i
aqiqah yang dilakukan dalam bentuk unta atau sapi, sementara antara
21
K.H.E Abdurrahman, “Hukum Qurban, ‘Aqiqah dan Sembelihan”, Bandung, Penerbit Sinar Baru
Algensindo, 2009, hal 35.
22
Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, op.cit, hal.296.
23
orang-orang yang ikut serta di dalamnya ada yang hanya berniat sekadar
untuk mendapatkan daging.
Adapun keterangan tentang menyembelih ‘aqiqah diperintahkan
pula untuk mencukur rambutnya sampai gundul baik anak laki-laki
ataupun anak perempuan, kemudian memberi nama pada bayi itu.
Mencukur rambut bayi itu pun diperintahkan pada hari ketujuh, hukumnya
wajib sebab dalam hadis diperintahkan “… dan hilangkan kotorannya!”.
Dalam hadis lain diterangkan dengan kata-kata ihliqi yang artinya
“cukurlah rambutnya” (Riwayat At-Tirmidzi). Mencukur dan
membersihkan rambut bayi pada hari ketujuh hukumnya wajib karena
diperintahkan. Dan tidak ada alasan untuk menolaknya karena tidak ada
keterangan yang menyatakan bahwa perintah mencukur rambut itu tidak
kuat.
Timbanglah rambut bayi itu dengan perak, kemudian keluarkan
sedekah seberat timbangan rambut itu, hukumnya adalah sunnah. Akan
tetapi, dalam hal ini sudah semesinya diterangkan terlebih dahulu
perkaranya, sebab tidak sedikit orang yang mampu menimbang rambut itu
dengan perak, sedekahnya tidak jadi karena merasa rendah diri disebabkan
tidak mampu menimbang rambut anaknya dengan perak.
‘Aqiqah hukumnya sunnah walaupun merupakan perintah, sebab
ada keterangan “Man ahabba an yansuka fal-yaf’al. (barang siapa yang
mau bersedakah buat anaknya, bolehlah ia berbuat).” (Riwayat Ahmad,
Abu Dawud dan An-Nasa-i).23
23
K.H.E Abdurrahman, op.cit, hal 37.
24
Adapun jika bayi lahir sesudah fajar, maka hari tersebut tidak dihitung
sebagai hari pertama.
Adapun tentang aqiqah, didalam al-qur'an memang tidak disebutkan
secara spesifik anjuran dalam melakukannya. namun jumhur ulama
menghukumi aqiqah dengan sunnah muakkad, yang berarti dianjurkan
untuk dilakukan.
24
Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, op.cit, hal 297.
25
Setelah membaca basmalah, hendaklah orang yang akan
menyembelih hewan aqiqah membaca do’a berikut, “Ya Allah, aqiqah ini
anugerah dari Engkau dan saya lakukan untuk si Fulan dengan penuh
keikhlasan kepada Engkau.” Bacaan ini didasarkan pada hadits yang
diriwayatkan al-Baihaqi dengan sanad yang hasan (baik). Selain itu,
Aisyah juga meriwayatkan bahwa ketika mengaqiqahkan Hasan dan
Husein, Rasulullah bersabda :
“Ucapkanlah bismillah lalu perkataan, ‘Ya Allah, aqiqah untuk si
Fulan ini saya lakukan demi Engkau.”
25
Ibid, hal 295
26
Adapun rajabiyah didefiniskan sebagai penyembelihan seekor
domba yang dilakukan oleh orang-orang Arab jahiliyah pada bulan
Rajab. Dagingnya kemudian dimakan oleh anggota keluarga yang
menyembelih, sementara sebagiannya dimasak lantas diberikan kepada
orang lain. Sementara itu ‘atirah adalah anak pertama yang lahir dari
seekor unta atau domba yang kemudian disembelih, sebagian dagingnya
lantas dimakan oleh si pemilik sedang sebagian lagi diberikan kepada
orang lain. ‘Atirah juga merupakan kebiasaan orang Arab jahiliyah.
Menurut jumhur ulama (selain Hanafiyah), ‘atirah dan rajabiyah
tidak disunnahkan dalam islam, sebaliknya yang disunnahkan bagi
seorang ayah adalah mengaqiqahkan anaknya yang baru lahir dari harta
yang ia miliki. Akan tetapi, hukum aqiqah ini tidak wajib. Landasannya
adalah tindakan Rasulullah saw, seperti yang disebutkan dalam riwayat
dari Ibnu Abbas bahwa baik ketika Hasan maupun Husein lahir,
Rasulullah saw menyembelih untuk masing-masingnya seekor domba
jantan bertanduk.26
26
Ibid.
27
“Setiap anak terkait dengan aqiqahnya. Hendaklah penyembelihan
itu dilakukan pada hari ketujuh kelahirannya. Pada hari itu juga ia
diberi nama dan rambutnya dicukur.” (Hadits Riwayat Abu Dawud,
Tirmidzi, Nasa’I, Ibnu Majah, Ahmad, Ad Darimi, dan lain-lainnya)
27
Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi, op.cit, ha.141.
28
Nas (pemimpin umas manusia) dan Sayyidul Ulama (pemimpi ulama),
sebab maknanya sangat berdusta, sebagaimana dikatakan Az-Ziyadi.
29
memakannya (dirumah itu juga) lantas menyedekahkan sebagiannya
pada orang lain. Aktivitas aqiqah itu sendiri dilakukan pada hari ketujuh
dari kelahiran si bayi.”28
Disebutkan bahwa Imam Ahmad dalam sebuah riwayat dari beliau
berpendapat tentang bolehnya menjual kulit dan kepala hewan aqiqah
lantas menyedekahkan uang yang diperoleh. Selanjutnya, dianjurkan
memberi bagian dari daging aqiqah itu kepada orang yang membantu
kelahiran (bidan/dukun beranak). Dasarnya adalah riwayat berkualitas
mursal (terputus pada tingkatan perawi sahabat) dari Abu Dawud bahwa
Rasulullah saw, berkata pada momentum aqiqah yang diadakan Fatimah
untuk Husen dan Husein, “Hendaklah kalian mengirimkan kaki hewan
itu kepada orang yang membantu kelahiran (bidan/dukun beranak).
Selanjutnya, makanlah, berilah makan orang lain dengannya dan
janganlah mematahkan tulang hewan itu.”
Dalam kitab Al-Muhadzdzab disebutkan bahwa aqiqah itu
disedekahkan setelah dimasak. Riwayat ‘Aisyah menerangkan “(‘Aqiqah
itu) dimasak sepenggal-sepenggal (juduulan), dan tidak dipecahkan
baginya tulang.” Juduulan adalah jamak dari kata jid-hun artinya
anggota. Bila diteliti keterangan aisyah tersebut, maka ‘aqiqah itu mesti
diotong dengan cara seanggota-anggota tubuhnya, tidak boleh dipecah
sehingga angota-anggotanya terpotong-potong, tidak boleh pula
tulangnya pecah-pecah atau terpotong-potong.29
Dalam Al-Muhadzdzab rawi hadits tersebut tidak diterangkan, tidak
pula diterangkan tingkatan sah serta tidaknya. Untuk itu kita dapat
membacanya dakam Majmu’ Syarah Muhadzdzab :
“Adapun hadits ‘Aisyah yang satu lagi dalam hal memasak ‘aqiqah
dengan juduulan (berpenggal-penggal) adalah hadis gharib dan
diriwayatkan oleh Al-Baihaqi (bahwa riwayat tersebut) adalah hari
ucapan Atha bin Rabah.” (8:4283)
28
Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, op.cit, hal 298
29
K.H.E Abdurrahman, op.cit, hal.38.
30
Dalam kitab Al-Muhalla terdapat hadits seperti di atas, tetapi
lafaznya sungguh berlainan, sebab bukan tuthbahu yang artinya dimasak,
melainkan taqtha’u yang artinya “dipotong (sepenggal-penggal)” :
“Dipotong-potong juduulan (sepenggal-penggal) dan tidak
dipecahkan satu tulang pun.”
Riwayat tersebut adalah dari Al-Hakim, yang ternyata keadaannya
bertentangan sebab sungguh jauh pengertian “memasak” dengan
“memotong”. Dan ternyata ucapan itu bukan sabda Nabi saw, bukan
hadis nabi yang dapat dijadikan hujjah.
Membagikan daging ‘aqiqah dengan dimasak dulu, kemudian
ditambah dengan nasi seperti sebuah peralatan atau walimah biasa, itu
tidak berdasarkan contoh dari Rasulullah SAW. Adapun urusan ‘aqiqah
ini adalah urusan ‘ubudiyyah dimana pikiran serta perasaan tidak boleh
ikut campur untuk mengaturnya.’Aqiqah tidak diperkenankan ditukar
dengan beras sekalipun pada saat itu beras lebih diperlukan, atau ditukar
dengan pakaian meskipun harganya lebih mahal, atau dibagikan uangnya
seharga kambing yang akan dijadikan ‘aqiqah walaupun dengan alasan
lebih bermanfaat menurut menurut pikiran dan perasaan kita, sebab
dalam soal-soal ta’abbudi kita wajib melakukan segala sesuatunya sesuai
dengan yang telah disyari’atkan oleh Allah SWT dan dicontohkan oleh
Rasulullah SAW.
Oleh karena itu keterangan-keterangan di atas tidak dapat dijadikan
alasan. Sedangkan perihal menyedekahkan ‘aqiqah dengan dagingnya
yang masih mentah lebih ringan daripada dimasak. Sekiranya islam
dalam hal ini memperbolehkan berbuat kedua macam cara, maka
Rasulullah senantiasa memilih asyaruhum, yang teringan dari dua
perkara yang dapat dipilih. Bahkan ada keterangan yang menegaskan
bahwa ‘aqiqah itu adalah nusuk sebagaimana halnya qurban. Dalam hal
ini sudah jelas bahwa Rasulullah saw membagikan nusuk (ibadah dengan
cara menyembelih seperti qurban), sebagaimana sabdanya “Man syaa-a
iqtatha’a. Siapa yang mau, boleh memotong sendiri!” dan sabdanya lagi
:
31
“Barang siapa yang dilahirkan baginya seorang anak, dan mau
melakukan nusuk, maka lakukanlah untuk anak laki-laki dua ekor
kambing dan untuk anak perempuan satu ekor kambing.” (Riwayat Abu
Dawud dan An-Nisa-I Misykat: 363)
Dengan demikian, perbedaan antara aqiqah dan kurban adalah
bahwa dalam aqiqah disunnahkan memasak dagingnya, dianjurkan tidak
mematahka tulangnya, serta hendaklah menghadiahkan kaki hewan itu
kepada orang yang membantu kelahiran dalam kondisi mentah (tanpa
dimasak). Hal itu dikarenakan Fatimah r.a dulunya melakukan hal-hal
seperti itu sesuai perintah dari Rasulullah saw, seperti disebutkan dalam
riwayat dari al-hakim.
III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
32
dengan menghimpun mereka pada saat sebuah hidangan, sehingga akan
bersemi rasa kasih sayang.
3.2. SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh
dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan
berpedoman pada beberapa sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.
Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan
makalah dalam kesimpulan di atas.
33
DAFTAR PUSTAKA