Anda di halaman 1dari 18

PEMINANGAN DAN MAHAR

Makalah ini sebagai salah satu tugas mata Hadits-Hadits Hukum

Oleh :
Abd Rahman Hidayat
NIM: 912018002

Muh Zulkifly HS
NIM: 912018010

Dosen Pembimbing :
Dr. Zaenab Abdullah, Lc., M.Th.I

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAI) AL- AZHAR GOWA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam realita kehidupan manusia, pasti tak akan luput dari cinta. Satu kalimat
yang simpel dan mudah diucapkan, namun tidaklah sesimpel dan semudah untuk
dijalani. Terkadang mesti melalui hal-hal yang sangat rumit, berbenturan dengan
sesuatu yang tak diinginkan, bahkan bersebrangan tujuan dan atau tidak berbalas
dari yang dicintai.
Adapula yang terkadang mencinta seorang wanita akan tetapi wanita tersebut
telah ada yang lebih dahulu melamarnya sehingga gagallah apa yang
terencanakan, Ada yang mungkin telah menjalin lamaran selama beberapa waktu,
namun dibengkalai oleh orang lain, sehingganya tak cinta yang dibangun hancur
seketika. Adapula cinta yang dibangun lama, namun rusak dan keruh karena tak
direstui oleh orang tua. Dan adapula yang sering membuat orang menjadi gagal
membangun cinta di atas bahtera rumah tangga akibat Mahar yang tinggi yang
sering dibebankan oleh keluarga calon mempelai wanita terhadap calon mempelai
pria,
Padahal dalam ajaran agama Islam, diajarkan untuk wanita untuk
mempermudah mahar. Tapi, sebagai laki-laki pula tidak serta merta meremehkan
harga atau nilai mahar karena ada kemudahan tersebut. Karena dalam hal mahar,
Rasulullah kita, Muhammad saw. Selalu berusaha memberikan mahar terbaik
untuk istri-istrinya.
Maka dari itu, dalam makalah ini, penulis nanti akan memaparkan tentang
bagaimana larangan meminang wanita yang telah dipinang oleh orang lain dan
juga mahar.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukum meminang diatas pinangan orang lain?
2. Bagaimana hukum mahar dalam syariat islam?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana hukum meminang wanita pinangan orang
lain

2
2. Untuk mengetahui hukum mahar dalam syariat islam

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. LARANGAN MEMINANG WANITA YANG TELAH DI PINANG
1. Pengertian Peminangan
Kata Peminangan berasal dari kata pinang, meminang (kata kerja)
meminang sinonimnya adalah melamar, yang dalam bahasa arab disebut
“Khitbah”. Menurut etimologi, meminang atau melamar artinya meminta wanita
untuk dijadikan istri. Menurut terminologi, peminangan adalah kegiatan upaya
kearah terjadinya hubungan perjidohan antara seorang pria dengan seorang
wanita. Atau seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk
menjadi istrinya, dengan cara-cara yang umum berlaku ditengah masyarakat.1
Peminangan merupakan pendahuluan pernikahan disyariatkan sebelum ada
ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memasuki pernikahan didasarkan
kepada pengetahuan dan kesadaran masing-masing pihak.
2. Hadits Larangan Meminang wanita yang telah dipinang
Salah satu konsekuensi adalah haram mengkhitbah wanita yang telah di
khitbah oleh orang lain. Ulama telah berijma’ (bersepakat) akan keharaman
khitbah orang kedua setelah terjadinya khitbah orang pertama pertama. Jika
khitbah pertama telah jelas diterima serta orang pertama tidak memberi izin dan
tidak membatalkan khitbahnya. Sebab meminang wanita pinangan orang lain
berarti menyerang hak dan menyakiti hati peminang pertama, memcah belah
hubungan kekeluargaan dan mengganggu ketentraman.2
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
‫ ال يخطب أح=دكم على خطب=ة‬: ‫ قال رسول= هللا صلى هللا علي=ه وس=لم‬:‫عن ابن عمر قال‬
.)‫أخيه حتى يترك الخطب قبله أو يأذن له (متفق عليه واللفظ للبخاري‬
Artinya: dari Ibnu Umar ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “janganlah
salah seorang diantara kalian melamar wanita yang sedang berada dalam

1Abdul Rahman Ghozali, fiqh Munakahat, (Jakarta:Prenadamedia Grup,2015), cet. Ke 7, h.


73
2Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa’adillatuhu 10. Terj. Abdul Hayyie Al-kattani, dkk,
(Cet. 1; Jakarta; Gema Insani: 2011), jilid 9, h. 21

4
5

pinangan saudaranya, hinnga pelamar pertama meninggalkan atau


mengizinkannya.” (Muttafaqun ‘Alaihi dan lafazhnya menurut Al-Bukhari)

3. Syarah Hadits

َ‫ يَ ْترُك‬: meninggalkan pertunangan.


َ‫ يَأْ َذن‬: lelaki pertama mengizinkan orang lain untuk meminang tunangannya.3
ِ ‫ أَوْ يَأْ َذنَ لَهُ اَ ْل‬: (atau peminang memberinya izin). Yakni hingga peminang
ُ‫خَاطب‬
pertama memberi izin kepada peminang kedua.4
Sedangkan Al-Khatibah adalah wanita yang dipinang atau dilamar.5
ْ‫ اَل يَ ْخطُب‬: La Nahiyah (yang berfungsi untuk melarang), fi’il setelahnya dibaca
jazm.
ْ ‫ ِخ‬: Dengan mengkasrahkan huruf kha’, adalah meminta kesediaan seorang
‫طبَة‬
wanita untuk dinikahi.
Pelarangan ini sangat jelas dalam mengharamkan orang lain mengkhitbah
wanita yang setelah khitbah pertama disetujui. Karena hal ini dapat
menimbulkan permusuhan. Adapunjika khitbah pertama belum selesai atau
masih dalam tahap musyawarah atau dalam kondisi ragu-ragu, pendapat yang
paling benar adalah tidak diharamkannya untuk melakukan khitbah kedua. Akan
tetapi dalam kondisi demikian, menurut ulama mazhab hanafi, makruh
hukumnya melakukan khitbah kedua setelah khitbah pertama, karena keumuman
pengertian hadits dalam melarang mengkhitbah perempuan.
Walaupun demikian etika islam menganjurkan agar tidak tergesa-gesa
melakukan khitbah kedua hingga usai masa kebimbangan dan negosiasi
dikarenakan adanya khitbah pertama yang belum usai dan masih dalam tahap
musyawarah. Hal ini demi menjaga hubungan kasih sayang diantara manusia
serta menjauhi timbulnya permusuhan dan kedengkian antar sesama muslim.

3Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ‘Allusy, Ibanatu al-Ahkam Syarhu Bulughu al-
Maram. terj. Nor Hasanuddin H.M. Fauzi, (Selangor: Al-Hidayah Publication, 2010), h. 343.
4Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al Imam Al Hafizh, fathul Baari juz 25, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), h. 337.
5Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam, Syarah Bulughul Maram, Terj. Thahirin Supatra,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h. 299.
6

4. Pandangan Ulama Tentang Larangan Mengkhitbah Wanita yang Telah


Dikhitbah
Menurut Imam An-Nawawi, bahwa larangan yang terkandung dalam hadist
tersebut berakibat haram, berdasarkan ijma’. Wanita yang dipinang itu milik si
peminang (selama proses khitbah). Ulama-ulama dari kalangan madzhab
Hanbali mengatakan, bahwa letak keharamannya ialah kalau wanita yang
dilamar atau walinya yang diberi izin tegas-tegas menjawabnya. Jadi kalau
mereka justru menolaknya, maka tidak ada keharaman sama sekali.6
Para ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa pengharaman
ini berlaku jika wanita yang dipinang menyatakan secara tegas atau walinya
yang dia izinkan. Jika yang kedua tidak mengetahui perihal tersebut, maka boleh
meminangnya karena pada asalnya adalah dibolehkan.
Menurut Imam asy-Syafi’i, makna hadits dalam ini ialah bila seorang pria
meminang wanita lalu ia ridha dengannya dan (hatinya merasa) mantap
kepadanya, maka tidak boleh seorang pun melamar pinangannya. Jika seseorang
tidak mengetahui kerelaannya dan kemantapan pilihannya, maka tidak mengapa
dia meminangnya.7
Dalilnya adalah hadist Fatimah binti Qais yang telah diceraikan suaminya
Abu Amru bin Hafsah tiga kali, kemudian beliau datang kepada Rasulullah
SAW mengadu:
‫عن أبى سلمة بن عبد الرحمن وعن الحرث بن عبدالرحمن عن محمد بن عبد الرحمن بن ثوبان انهما سأل‬
‫فاطمة بنت قيس عن أمرها فقالت طلقني زوجى ثالث فكان يرزقنى طعاما فيه شئ فقلت وهللا لئن كا نت‬
‫لى النفقة والسكنى آلطلبنها وال أقبل هذا فقال الوكيل ليس لك سكنى وال نفقة قالت فأتيت النبى صلى هللا‬
‫عليه وسلم فذكرت ذلك له فقال ليس لك سكنى وال نفقة فاعتدى عند فالنة قالت وكان يأتيها اصحابه ثم قال‬
‫اعتدى عندابن ام مكتوم فانه اعمى فاذا حللت فاذنينى= قالت حللت اذنته فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫ومن خطبك فقلت معاوية ورجل اخر من قريش فقال النبى صلى هللا عليه وسلم اما معاوية فانه غالم من‬
‫غلمان قريش ال شئ له وأما االخر فانه صاحب شر ال خير فيه ولكن أنكحى أسامة بن زيد قالت فكرهته‬
‫فقال لها ذلك ثالث مرات فنكحته‬

6https://wiyonggoputih.blogspot.com/2016/08/larangan-melamar-wanita-yang-sudah.html
diakses pada tanggal 17 Maret 2020
7Abdullah bin Abdurrahman AL Bassam, Syarah Bulughul Maram (pustaka Azzam)
jilid.5, h. 299
7

Artinya: dari Abu Salamah Ibnu Abdur Rahman dan Al-Harits ibnu Abdur
Rahman dari Muhammad Ibnu Abdur Rahman Ibnu Tsauban berkata, bahwa
mereka berdua telah bertanya pada Fatimah binti Qais tentang dirinya
(Fatimah). Jawab Fatimah: “suamiku telah menceraikan dengan talak tiga.
Ketika aku dalam masa ‘iddah, ia mengirimku makanan yang di dalamnya ada
sesuatu maka aku katakan: “demi Allah, andaikan aku mempunyai belanja dan
tempat tinggal niscaya akan kubuang makanan ini dan tidak akan aku terima
pemberiannya”. Maka berkatalah orang yang mengantar makanan itu:
“sebenarnya kamu tidak berhak mendapat tinggal dan belanja. Maka ketika aku
datang pada Rasulullah SAW lalu kuceritakan pada beliau semua kejadian itu.
Kata beliau: “jika kamu tidak ada tempat tinggal dan belanja, maka tinggallah
kamu di rumah Ummu Syarik”. Aku berkata: “Ummu Syarik adalah wanita
yang banyak tamunya”. Maka beliau berkata: “tinggal saja di rumah Ibnu
Ummu Maktum, karena ia orang yang buta. Jika masa iddahmu habis, dan
kamu telah dihalalkan menikah lagi, dan segeralah kamu memberitahu
padaku”. Maka setelah masa ‘iddahku habis, aku segera memberitahu pada
beliau. Tanya beliau: “siapa saja lelaki yang melamarmu?” jawabku:
“Mu’awiyah dan seorang lagi dari suku Quraisy”. Kata beliau: “adapun
Mu’awiyah, ia adalah pemuda Quraisy”. Kata beliau: “adapun Mu’awiyah, ia
adalah pemuda Quraisy yang tidak punya apa-apa, sedangkan orang yang
satunya itu, ia terkenal suka memukul istri. Bagaimana kalau kamu nikah
dengan Usamah ibnu Zaid?” jawabku: “aku tidak mencintainya”. Setelah
Rasulullah SAW mengulanginya tiga kali, maka aku menerimanya, dan
menikahlah aku dengan Usamah.
Fatimah telah memberitahukan Rasulullah SAW bahwa Abu Jahm dan
Mu’awiyah telah melamarnya, dan tidak ragu-ragu dengan izin Allah swt bahwa
lamaran salah satu dari keduanya terjadi setelah lamaran yang lain, dan
Rasulullah SAW pun tidak melarang kedua lamaran tersebut, dan tidak melarang
salah satu dari keduanya. Dan juga tidak didapatkan bahwa Fatimah telah
menerima salah satu dari kedua lamaran tersebut. Maka Rasulullah SAW
melamar Fatimah untuk Usamah, dan beliau tidaklah melamarnya dalam
keadaan yang beliau larang (yaitu melamar seorang wanita yang sudah dilamar
orang lain), juga tidak didapatkan bahwa Rasulullah SAW melarang perbuatan
Mu’awiyah dan Abu Jahm. Dan kebanyakan yang terjadi, bahwa salah seorang
dari keduanya melamar terlebih dahulu dari yang lain. Tetapi, jika perempuan
8

yang dilamar tersebut telah menerima lamaran seseorang, maka dalam keadaan
seperti ini, orang lain tidak boleh melamarnya lagi “.
9

5. Hukum Meminang Wanita yang telah dipinang

Meminang wanita yang telah dipinang orang lain dihukumi haram apabila
perempuan tersebut telah menerima pinangan yang pertama dan walinya telah
jelas-jelas mengizinkannya. Akan tetapi meminang wanita tetap diperbolehkan
apabila:
a. Wanita atau walinya menolak pinangan pertama secara terang-terangan
maupun sindiran.
b. Laki-laki kedua tidak tahu bahwa wanita tersebut telah dipinang oleh orang
lain. 
c. Peminangan pertama masih dalam tahap musyawarah.
d. Lelaki pertama membolehkan lelaki kedua untuk meminang wanita.
Jika seorang wanita menerima pinangan lelaki kedua dan menikah
dengannya setelah ia menerima pinangan pertama, maka ulama berbeda
pendapat, yaitu: 
a. Menurut mayoritas ulama, pernikahannya tetap sah, karena meminang
bukan syarat sah perkawinan. Oleh karena itu, pernikahannya tidak boleh
difasakh sekalipun mereka telah melanggar ketentuan khitbah. 
b. Imam Abu Daud berpendapat bahwa pernikahan dengan peminang kedua
harus dibatalkan baik sesudah maupun sebelum persetubuhan.
c. Pendapat ketiga berasal dari kalangan Malikiyah yang menyatakan bahwa
bila dalam perkawinan itu telah terjadi persetubuhan, maka perkawinan
tersebut tidak dibatalkan, sedangkan apabila dalam perkawinan tersebut
belum terjadi persetubuhan, maka perkawinan tersebut harus dibatalkan.
Perbedaan pendapat diantara ulama di atas disebabkan oleh perbedaan
dalam menanggapi pengaruh pelarangan terhadap batalnya sesuatu yang
dilarang. Pendapat yang mengatakan bahwa perkawinannya sah beranggapan
bahwa larangan tidak menyebabkan batalnya apa yang dilarang, sedangkan
pendapat yang mengatakan bahwa perkawinan tidak sah dan harus dibatalkan
beranggapan bahwa larangan menyebabkan batalnya sesuatu yang dilarang.8

8https://wiyonggoputih.blogspot.com/2016/08/larangan-melamar-wanita-yang-sudah.html
diakses pada tanggal 17 Maret 2020
10

6. Hikmah Larangan meminang wanita yang telah dipinang


Hikmah dari pelarangan melamar wanita yang telah dilamar adalah
menihilkan permusuhan dan kemarahan yang bisa menyebabkan satu pihak
menganggap dirinya suci dan mencela pihak lain. Padahal menganggap suci diri
sendiri adalah tindakan tercela. Ibnu ‘Abidin – yang merupakan salah seorang
ulama fikih Mazhab Hanafi – mengatakan bahwa sebuah pinangan yang
menimpali pinangan lain merupakan bentuk ketidakramahan dan pengkhianatan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, “Sesungguhnya imam empat
mazhab sepakat – dalam pernyataan beliau berempat maupun dari para imam
lain tentang haramnya seorang lelaki menimpali pinangan lelaki muslim yang
lain.”
Seseorang yang meminang pinangan saudaranya dapat memasukkan
(menyebabkan) permusuhan dalam hati. Karena itu, Islam melarangnya.

B. MAHAR
1. Pengertian Mahar
Mahar secara bahasa diambil bahasa Arab Mahrun yang berarti maskawin.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia mahar diartikan sebagai mas kawin,
pemberian berupa barang atau uang (kewajiban) lelaki untuk perempuan yang
dinikahi.9
Dalam bahasa Arab sendiri, Mahar mempunyai sinonim(murodif) yang
cukup bervariasi, seperti shodaq( ‫)صداق‬, nihlah( ‫)نحلة‬, faridhoh( ‫)فربضة‬, hiba’(
‫)حباء‬, ajrun( ‫)اجر‬, ‘iqrun( ‫)عقر‬, dan ’ala’iq( ‫ )عالئق‬.10 Semua kalimat di atas kurang
lebih bermakna sebagai suatu pemberian.

Mahar adalah salah satu hak istri yang didasarkan pada Al-Qur’an, sunnah
dan ijma’. Mahar dalam islam sering pula dikenal dengan istilah sadaqah,
nihlab, farida dan ‘alaiq. Pengertian mahar menurut syara’ adalah sesatu yang

9Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Terbaru, Gitamedia Press, hlm.
506
10Muhammad bin Isma’il Ash-Shan’ani, Subulussalam syarh Bulugu al-Maram min
Adillati al-Ahkam, Darul Kutub Alamiyyah:Jilid 2(3-4), 1971. hlm. 151
11

wajib sebab nikah, yaitu pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri
ketika
12

berlangsungnya akad nikah diantara keduanya untuk mengarungi kehidupan


bersama sebagai suami istri.

Pengertian mahar secara istilah menurut imam mazhab


a. Imam Hanafi mendefinisikan mahar sebagai jumlah harta yang menjadi
haq istri karena akad perkawinan atau terjadinya senggama dengan
sesungguhnya.
b. Imam hambali mendefinisikan mahr sebagai imbalan suatu pernikahan.
c. Imam syafi’I mendefinisikan mahar sebagai sesuatu yang wajib dibayar
disesabkan akad nikah atau senggama
d. Imam malik mendefinisikan mahar sebagai sesuatu yang menjadikan isrti
halal untuk digauli11
Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita
dengan memberi hak kepadanya, diantaranya adalah hak untuk menerima mahar.
Mahar yang diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita
lain atau siapapun walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak bisa
menjamahnya apalagi menggunakannya meskipun oleh suaminya sendiri,
kecuali atas ridha dan kerelaan dari istri.12
2. Ayat Tentang Kewajiban Mahar
Allah swt. Berfirman :

‫ص ُدقَاتِ ِهنَّ نِ ْحلَةً فإن طبن لكم عن شيئ منه نفسا فكلوه هنيئا مويئا‬
َ ‫سا َء‬
َ ِ‫َو آتُوا الن‬

“Dan berikanlah mas kawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu


nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan tetapi apabila istri itu
dengan sukarela memberikannya kepada kamu, makanlah pemberian itu
dengan senang dan baik-baik.”(QS. An-Nisa’: 4)13.

Dalil yang menerangkan tentang mas kawin atau mahar di atas, dapat kita
pahami bersama bahwasanya mahar itu merupakan sebuah pemberian yang
mesti

11Dahlan Abdul Aziz, ensiklopedi hukum islam hlm 1042


12Abdul Rahman Ghozali, fiqh Munakahat, (Jakarta:Prenadamedia Grup,2015), cet. Ke 7,
h. 84-85
13Departemen Agama RI, Al Hidayah Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid Kode Angka,
Kalim:Tangerang Selatan. hlm. 78
13

diberikan oleh seorang laki-laki dengan kadar yang ditentukan, sukarela, baik,
bagus, dan sejenisnya.
Sedangkan, mahar menurut perspektif KHI merupakan kewajiban bagi
calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk
dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak (pasal 30 KHI). Penentuan jenis
mahar berdasarkan atas kesederhaan dan kemudahan yang diatur dalam syariat
Islam (pasal 31 KHI). Dan bila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai
mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Agama (pasal
37 KHI).14
3. Hadits Tentang Kewajiban Mahar
Rasulullah saw. Bersabda:
)‫تزوج ولو بخاتم من جديد (رواه البخارى‬.

“Menikahlah engkau walaupun walaupun hanya dengan mahar cincin


dari besi.15
Imam Asy-Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib
diberikan oleh seorang laki-laki kepada calon istri untuk dapat menguasai
seluruh aggota badannya.16

4. Syarah Qur’an dan Hadits Tentang Kewajiban Mahar


Mahar adalah harta yang diberikan pihak calon suami kepada calon istrinya
untuk dimiliki sebagai penghalal hubungan mereka. Mahar ini menjadi hak istri
sepenuhnya, sehingga bentuk dan nilai mahar ini pun sangat ditentukan oleh
kehendak istri
Mahar dalam rukun dan syarat pernikahan adalah syarat sah
dilangsungkannya pernikahan. Untuk itu, tanpa mahar seorang lelaki tidak dapat
menikahi wanita begitupun pernikahannya tidak sah. Selain itu, dalam islam,
mahar menjadi simbol bahwa sang calon suami benar-benar siap. Mahar ini juga
sekaligus menunjukkan bahwa islam memuliakan wanita. Wanita benar-benar

14Rizal Darwis, op.cit., hlm. 44


15HR. Bukhari
16Abdul Rahman Ghozali, fiqh Munakahat, (Jakarta:Prenadamedia Grup,2015), cet. Ke 7,
h. 85
14

dihargai dan dihormati dengan adanya ikatan pernikahan dengan syarat


pemberian mahar.
5. Syarat-syarat mahar17
a. harta/ benda berharga
Tidak sah mahar dengan yang tidak memiliki harga, walaupun todak ada
ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi, apabila mahar sedikit
namun memiliki harga/ nila maka tetap sah .
b. barangnya suci dan dapat dimanfaatkan
Tidak sah mahar dengan sesuatu yang haram atau tidak bermanfaat
seperti: khamar, darah, daging babi atau sesuatu yang tidak berharga.
c. Barangnya bukan barang ghasab.
Ghasab adalah mengambil barang orang lain tanpa seizing pemiliknya,
namun tidak bermaksud memilikinya karena berniat akan mengembalikannya
kelak. Memberi mahar dengan barang ghasab adalah tidak sah.
d. Barang yang tidak jelas keadaannya
Tidak sah mahar dengan tidak memberikan barang yang tidak jelas
keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya18
6. Jenis-jenis mahar19
Wahbah zuhaili membagi mahar menjadi dua :
1. Mahar musamma adalah mahar yang dinyatakan secara jelas dalam
akan yang menyerahkannya bisa dilakukan ketika akad dilangsungkan
atau biasa pula setelah akad, selama didasarkan pada kesepakatan calon
suami dan istri.
2. Mahar mitsil adalah sejumlah mahar yang sama nilainya dengan mahar
yang diterima oleh wanita yang menikah dalam pihak ayah. Oleh
karena setiap daerah mempunyai ketentuan mahar yang berbeda.
7. Hukum Mahar

17Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa’adillatuhu 10. Terj. Abdul Hayyie Al-kattani, dkk,
(Cet. 1; Jakarta; Gema Insani: 2011), jilid 9, h. 237-242
18 Slamet abiding dan imanuddin, fikih munakahat . hlm 105
19 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa’adillatuhu 10. Terj. Abdul Hayyie Al-kattani, dkk,
(Cet. 1; Jakarta; Gema Insani: 2011), jilid 9, h. 243-251
15

Hukum mahar dalam pernikahan adalah wajib, sehingga tidak boleh


hukumnya seorang suami yang meninggalkan mahar atau tidak memberinya
untuk menggauli istrinya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala.
ً‫ص ُدقَاتِ ِهنَّ نِ ْحلَة‬
َ ‫سا َء‬
َ ِ‫ َو آتُوا الن‬.
“Dan berikanlah mahar(maskawin) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian yang wajib.”(QS. An-Nisa’: 4)
َّ‫فَا ْن ِك ُح ْوهُنَّ بِا ِ ْذ ِن اَ ْهلِ ِهنَّ َو آت ُْوهُنَّ أُ ُج َرهُن‬
“Maka nikahilah mereka dengan izin dari wali mereka dan berikanlah
kepada mereka(istri-istri kalian) mahar-mahar mereka.”20

Dalam ayat tersebut, diwajibkan kepada orang yang hendak menikah dalam

artian calon mempelai laki-laki untuk mendapatkan izin dari wali atau pihak

keluarga wanita dan memberikan mahar kepada wanita yang hendak nikahinya.

Sebagai bukti bahwa ia benar-benar hendak menikahi wanita yang dicintainya

8. Hikmah disyariatkan mahar

Mahar disyariatkan Allah SWT untuk mengangkat derajat wanita dan

memberi penjelasan bahwa akad pernikahan ini mempunyai kedudukan yang

tinggi. Oleh karena itu, Allah SWT mewajibkanya kepada laki-laki bukan

kepada wanita karena ia lebih mampu berusaha. Mahar diwajibkan padanya

seperti halnya juga seluru beban materi. dan istri pada umumnya dinafkahi.21

20Ibnu Rusydi al-Hafid, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Haramain: Jilid 2.


Tanpa tahun terbit. hlm. 14
21 Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Abdul Aziz Muhammad Azzam, fiqh munakahat, hlm
177
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

1. Kata Peminangan berasal dari kata pinang, meminang (kata kerja)


meminang sinonimnya adalah melamar, yang dalam bahasa arab disebut
“Khitbah”. Menurut etimologi, meminang atau melamar artinya meminta
wanita untuk dijadikan istri. Menurut terminologi, peminangan adalah kegiatan
upaya seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi
istrinya. Peminangan merupakan pendahuluan pernikahan disyariatkan
sebelum ada ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memasuki pernikahan
didasarkan kepada pengetahuan dan kesadaran masing-masing pihak. Akan
tetapi perlu diperhatikan agar jangan sampai wanita yang akan kita lamar
sedang dalam lamaran orang lain. Pelarangan ini sangat jelas dalam
mengharamkan orang lain mengkhitbah wanita yang setelah khitbah pertama
disetujui. Karena hal ini dapat menimbulkan permusuhan. Adapun jika khitbah
pertama belum selesai atau masih dalam tahap musyawarah atau dalam kondisi
ragu-ragu, pendapat yang paling benar adalah tidak diharamkannya untuk
melakukan khitbah kedua.

2. Mahar secara bahasa diambil bahasa Arab Mahrun yang berarti maskawin.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia mahar diartikan sebagai mas kawin,
Mahar adalah salah satu hak istri yang didasarkan pada Al-Qur’an, sunnah dan
ijma’. Mahar dalam islam sering pula dikenal dengan istilah sadaqah, nihlab,
farida dan ‘alaiq. Pengertian mahar menurut syara’ adalah sesatu yang wajib
sebab nikah, yaitu pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri ketika
berlangsungnya akad nikah diantara keduanya untuk mengarungi kehidupan
bersama sebagai suami istri. Islam sangat memperhatikan dan menghargai
kedudukan seorang wanita dengan memberi hak kepadanya, diantaranya adalah
hak untuk menerima mahar. Mahar yang diberikan oleh calon suami kepada
calon istri, dan orang lain tidak bisa menjamahnya apalagi menggunakannya
meskipun oleh suaminya sendiri.

16
17
DAFTAR PUSTAKA

Ghozali Abdul Rahman, fiqh Munakahat, (Jakarta:Prenadamedia Grup,2015), cet.


Ke 7
Az-Zuhaili Wahbah, Fiqih Islam Wa’adillatuhu 10. Terj. Abdul Hayyie Al-
kattani, dkk, (Cet. 1; Jakarta; Gema Insani: 2011), jilid 9, h. 21
al-Hafid Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Haramain:
Jilid 2. Tanpa tahun terbit. hlm. 14
Hawwas Abdul Wahhab Sayyed, Abdul Aziz Muhammad Azzam, fiqh
munakahat, hlm 177
abiding Slamet dan imanuddin, fikih munakahat . hlm 105
Aziz Dahlan Abdul, ensiklopedi hukum islam hlm 1042
Abdul Rahman Ghozali, fiqh Munakahat, (Jakarta:Prenadamedia Grup,2015), cet.
Ke 7, h. 84-85
Departemen Agama RI, Al Hidayah Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid Kode
Angka, Kalim:Tangerang Selatan. hlm. 7
Ash-Shan’ani Muhammad bin Isma’il, Subulussalam syarh Bulugu al-Maram min
Adillati al-Ahkam, Darul Kutub Alamiyyah:Jilid 2(3-4), 1971. hlm. 151

18

Anda mungkin juga menyukai