Oleh :
Abd Rahman Hidayat
NIM: 912018002
Muh Zulkifly HS
NIM: 912018010
Dosen Pembimbing :
Dr. Zaenab Abdullah, Lc., M.Th.I
2
2. Untuk mengetahui hukum mahar dalam syariat islam
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. LARANGAN MEMINANG WANITA YANG TELAH DI PINANG
1. Pengertian Peminangan
Kata Peminangan berasal dari kata pinang, meminang (kata kerja)
meminang sinonimnya adalah melamar, yang dalam bahasa arab disebut
“Khitbah”. Menurut etimologi, meminang atau melamar artinya meminta wanita
untuk dijadikan istri. Menurut terminologi, peminangan adalah kegiatan upaya
kearah terjadinya hubungan perjidohan antara seorang pria dengan seorang
wanita. Atau seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk
menjadi istrinya, dengan cara-cara yang umum berlaku ditengah masyarakat.1
Peminangan merupakan pendahuluan pernikahan disyariatkan sebelum ada
ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memasuki pernikahan didasarkan
kepada pengetahuan dan kesadaran masing-masing pihak.
2. Hadits Larangan Meminang wanita yang telah dipinang
Salah satu konsekuensi adalah haram mengkhitbah wanita yang telah di
khitbah oleh orang lain. Ulama telah berijma’ (bersepakat) akan keharaman
khitbah orang kedua setelah terjadinya khitbah orang pertama pertama. Jika
khitbah pertama telah jelas diterima serta orang pertama tidak memberi izin dan
tidak membatalkan khitbahnya. Sebab meminang wanita pinangan orang lain
berarti menyerang hak dan menyakiti hati peminang pertama, memcah belah
hubungan kekeluargaan dan mengganggu ketentraman.2
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
ال يخطب أح=دكم على خطب=ة: قال رسول= هللا صلى هللا علي=ه وس=لم:عن ابن عمر قال
.)أخيه حتى يترك الخطب قبله أو يأذن له (متفق عليه واللفظ للبخاري
Artinya: dari Ibnu Umar ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “janganlah
salah seorang diantara kalian melamar wanita yang sedang berada dalam
4
5
3. Syarah Hadits
3Syiekh Abu Abdullah bin Abd al-Salam ‘Allusy, Ibanatu al-Ahkam Syarhu Bulughu al-
Maram. terj. Nor Hasanuddin H.M. Fauzi, (Selangor: Al-Hidayah Publication, 2010), h. 343.
4Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al Imam Al Hafizh, fathul Baari juz 25, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), h. 337.
5Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam, Syarah Bulughul Maram, Terj. Thahirin Supatra,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h. 299.
6
6https://wiyonggoputih.blogspot.com/2016/08/larangan-melamar-wanita-yang-sudah.html
diakses pada tanggal 17 Maret 2020
7Abdullah bin Abdurrahman AL Bassam, Syarah Bulughul Maram (pustaka Azzam)
jilid.5, h. 299
7
Artinya: dari Abu Salamah Ibnu Abdur Rahman dan Al-Harits ibnu Abdur
Rahman dari Muhammad Ibnu Abdur Rahman Ibnu Tsauban berkata, bahwa
mereka berdua telah bertanya pada Fatimah binti Qais tentang dirinya
(Fatimah). Jawab Fatimah: “suamiku telah menceraikan dengan talak tiga.
Ketika aku dalam masa ‘iddah, ia mengirimku makanan yang di dalamnya ada
sesuatu maka aku katakan: “demi Allah, andaikan aku mempunyai belanja dan
tempat tinggal niscaya akan kubuang makanan ini dan tidak akan aku terima
pemberiannya”. Maka berkatalah orang yang mengantar makanan itu:
“sebenarnya kamu tidak berhak mendapat tinggal dan belanja. Maka ketika aku
datang pada Rasulullah SAW lalu kuceritakan pada beliau semua kejadian itu.
Kata beliau: “jika kamu tidak ada tempat tinggal dan belanja, maka tinggallah
kamu di rumah Ummu Syarik”. Aku berkata: “Ummu Syarik adalah wanita
yang banyak tamunya”. Maka beliau berkata: “tinggal saja di rumah Ibnu
Ummu Maktum, karena ia orang yang buta. Jika masa iddahmu habis, dan
kamu telah dihalalkan menikah lagi, dan segeralah kamu memberitahu
padaku”. Maka setelah masa ‘iddahku habis, aku segera memberitahu pada
beliau. Tanya beliau: “siapa saja lelaki yang melamarmu?” jawabku:
“Mu’awiyah dan seorang lagi dari suku Quraisy”. Kata beliau: “adapun
Mu’awiyah, ia adalah pemuda Quraisy”. Kata beliau: “adapun Mu’awiyah, ia
adalah pemuda Quraisy yang tidak punya apa-apa, sedangkan orang yang
satunya itu, ia terkenal suka memukul istri. Bagaimana kalau kamu nikah
dengan Usamah ibnu Zaid?” jawabku: “aku tidak mencintainya”. Setelah
Rasulullah SAW mengulanginya tiga kali, maka aku menerimanya, dan
menikahlah aku dengan Usamah.
Fatimah telah memberitahukan Rasulullah SAW bahwa Abu Jahm dan
Mu’awiyah telah melamarnya, dan tidak ragu-ragu dengan izin Allah swt bahwa
lamaran salah satu dari keduanya terjadi setelah lamaran yang lain, dan
Rasulullah SAW pun tidak melarang kedua lamaran tersebut, dan tidak melarang
salah satu dari keduanya. Dan juga tidak didapatkan bahwa Fatimah telah
menerima salah satu dari kedua lamaran tersebut. Maka Rasulullah SAW
melamar Fatimah untuk Usamah, dan beliau tidaklah melamarnya dalam
keadaan yang beliau larang (yaitu melamar seorang wanita yang sudah dilamar
orang lain), juga tidak didapatkan bahwa Rasulullah SAW melarang perbuatan
Mu’awiyah dan Abu Jahm. Dan kebanyakan yang terjadi, bahwa salah seorang
dari keduanya melamar terlebih dahulu dari yang lain. Tetapi, jika perempuan
8
yang dilamar tersebut telah menerima lamaran seseorang, maka dalam keadaan
seperti ini, orang lain tidak boleh melamarnya lagi “.
9
Meminang wanita yang telah dipinang orang lain dihukumi haram apabila
perempuan tersebut telah menerima pinangan yang pertama dan walinya telah
jelas-jelas mengizinkannya. Akan tetapi meminang wanita tetap diperbolehkan
apabila:
a. Wanita atau walinya menolak pinangan pertama secara terang-terangan
maupun sindiran.
b. Laki-laki kedua tidak tahu bahwa wanita tersebut telah dipinang oleh orang
lain.
c. Peminangan pertama masih dalam tahap musyawarah.
d. Lelaki pertama membolehkan lelaki kedua untuk meminang wanita.
Jika seorang wanita menerima pinangan lelaki kedua dan menikah
dengannya setelah ia menerima pinangan pertama, maka ulama berbeda
pendapat, yaitu:
a. Menurut mayoritas ulama, pernikahannya tetap sah, karena meminang
bukan syarat sah perkawinan. Oleh karena itu, pernikahannya tidak boleh
difasakh sekalipun mereka telah melanggar ketentuan khitbah.
b. Imam Abu Daud berpendapat bahwa pernikahan dengan peminang kedua
harus dibatalkan baik sesudah maupun sebelum persetubuhan.
c. Pendapat ketiga berasal dari kalangan Malikiyah yang menyatakan bahwa
bila dalam perkawinan itu telah terjadi persetubuhan, maka perkawinan
tersebut tidak dibatalkan, sedangkan apabila dalam perkawinan tersebut
belum terjadi persetubuhan, maka perkawinan tersebut harus dibatalkan.
Perbedaan pendapat diantara ulama di atas disebabkan oleh perbedaan
dalam menanggapi pengaruh pelarangan terhadap batalnya sesuatu yang
dilarang. Pendapat yang mengatakan bahwa perkawinannya sah beranggapan
bahwa larangan tidak menyebabkan batalnya apa yang dilarang, sedangkan
pendapat yang mengatakan bahwa perkawinan tidak sah dan harus dibatalkan
beranggapan bahwa larangan menyebabkan batalnya sesuatu yang dilarang.8
8https://wiyonggoputih.blogspot.com/2016/08/larangan-melamar-wanita-yang-sudah.html
diakses pada tanggal 17 Maret 2020
10
B. MAHAR
1. Pengertian Mahar
Mahar secara bahasa diambil bahasa Arab Mahrun yang berarti maskawin.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia mahar diartikan sebagai mas kawin,
pemberian berupa barang atau uang (kewajiban) lelaki untuk perempuan yang
dinikahi.9
Dalam bahasa Arab sendiri, Mahar mempunyai sinonim(murodif) yang
cukup bervariasi, seperti shodaq( )صداق, nihlah( )نحلة, faridhoh( )فربضة, hiba’(
)حباء, ajrun( )اجر, ‘iqrun( )عقر, dan ’ala’iq( )عالئق.10 Semua kalimat di atas kurang
lebih bermakna sebagai suatu pemberian.
Mahar adalah salah satu hak istri yang didasarkan pada Al-Qur’an, sunnah
dan ijma’. Mahar dalam islam sering pula dikenal dengan istilah sadaqah,
nihlab, farida dan ‘alaiq. Pengertian mahar menurut syara’ adalah sesatu yang
9Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Terbaru, Gitamedia Press, hlm.
506
10Muhammad bin Isma’il Ash-Shan’ani, Subulussalam syarh Bulugu al-Maram min
Adillati al-Ahkam, Darul Kutub Alamiyyah:Jilid 2(3-4), 1971. hlm. 151
11
wajib sebab nikah, yaitu pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri
ketika
12
ص ُدقَاتِ ِهنَّ نِ ْحلَةً فإن طبن لكم عن شيئ منه نفسا فكلوه هنيئا مويئا
َ سا َء
َ َِو آتُوا الن
Dalil yang menerangkan tentang mas kawin atau mahar di atas, dapat kita
pahami bersama bahwasanya mahar itu merupakan sebuah pemberian yang
mesti
diberikan oleh seorang laki-laki dengan kadar yang ditentukan, sukarela, baik,
bagus, dan sejenisnya.
Sedangkan, mahar menurut perspektif KHI merupakan kewajiban bagi
calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk
dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak (pasal 30 KHI). Penentuan jenis
mahar berdasarkan atas kesederhaan dan kemudahan yang diatur dalam syariat
Islam (pasal 31 KHI). Dan bila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai
mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Agama (pasal
37 KHI).14
3. Hadits Tentang Kewajiban Mahar
Rasulullah saw. Bersabda:
)تزوج ولو بخاتم من جديد (رواه البخارى.
17Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa’adillatuhu 10. Terj. Abdul Hayyie Al-kattani, dkk,
(Cet. 1; Jakarta; Gema Insani: 2011), jilid 9, h. 237-242
18 Slamet abiding dan imanuddin, fikih munakahat . hlm 105
19 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa’adillatuhu 10. Terj. Abdul Hayyie Al-kattani, dkk,
(Cet. 1; Jakarta; Gema Insani: 2011), jilid 9, h. 243-251
15
Dalam ayat tersebut, diwajibkan kepada orang yang hendak menikah dalam
artian calon mempelai laki-laki untuk mendapatkan izin dari wali atau pihak
keluarga wanita dan memberikan mahar kepada wanita yang hendak nikahinya.
tinggi. Oleh karena itu, Allah SWT mewajibkanya kepada laki-laki bukan
seperti halnya juga seluru beban materi. dan istri pada umumnya dinafkahi.21
2. Mahar secara bahasa diambil bahasa Arab Mahrun yang berarti maskawin.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia mahar diartikan sebagai mas kawin,
Mahar adalah salah satu hak istri yang didasarkan pada Al-Qur’an, sunnah dan
ijma’. Mahar dalam islam sering pula dikenal dengan istilah sadaqah, nihlab,
farida dan ‘alaiq. Pengertian mahar menurut syara’ adalah sesatu yang wajib
sebab nikah, yaitu pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri ketika
berlangsungnya akad nikah diantara keduanya untuk mengarungi kehidupan
bersama sebagai suami istri. Islam sangat memperhatikan dan menghargai
kedudukan seorang wanita dengan memberi hak kepadanya, diantaranya adalah
hak untuk menerima mahar. Mahar yang diberikan oleh calon suami kepada
calon istri, dan orang lain tidak bisa menjamahnya apalagi menggunakannya
meskipun oleh suaminya sendiri.
16
17
DAFTAR PUSTAKA
18