Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di dalam kehidupan kita sehari-hari tidak lepas dari hukum syariat Allah
SWT baik itu hubungan kita kepada-Nya (ubudiyyah) maupun hubungan kita kepada
sesama manusia (amaliyyah). Metode hukum islam bersumberkan dari Al-Qur’an
dan Al-Hadits kemudian para sahabat berijtihad setelah meninggalnya Rasulullah
SAW, para tabi’in dan sesudahnya beristimbat dan menghasilkan perbedaan hasil
ijtihad karena disebabkan oleh pemahaman akan maksud syari’atdan tingkat
keilmuan serta keadaan pada zamannya.
Dengan tulisan ringkas ini, kami memaparkan Metodologi Hukum Islam yang
meliputi: Objek dan subjek hukum Islam, Tafsir salahsatu metode penggalian hukum
Islam dan ijtihad sebagai metode penggalian hukum Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa objek dan subjek hukum Islam ?
2. Bagaimana yang dimaksud tafsir salahsatu metode penggalian hukum Islam ?
3. Bagaimana yang dimaksud ijtihad sebagai metode penggalian hukum Islam ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami objek dan subjek hukum Islam
2. Untuk mengetahui dan memahami tafsir salahsatu metode penggalian hukum
Islam
3. Untuk mengetahui dan memahami ijtihad sebagai metode penggalian hukum
Islam.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Objek dan Subjek Hukum Islam


Hukum dalam konsep ilmu ushul fiqh, dibagi dua macam yaitu: hukum taklifi
dan hukum wadh'i. Secara terminologi, hukum adalah khitab Allah yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk al-iqtida, at-takhyir dan al-
wadi’.1 Yang dimaksud dengan khitab Allah adalah firman Allah yang berupa
perintah-perintah atau larangan-larangan.
1. Hukum Taklifi
Hukum taklifi menurut pengertian kebahasaan adalah hukum pemberian
bebansedangkan menurut istilah adalah perintah Allah yang berbentuk pilihan dan
tuntutan. Dinamakan hukum taklifi karena perintah ini langsung mengenai perbuatan
seorang mukallaf(balig dan berakal sehat). Disebutkan tuntutan karena hukum taklifi
menuntut seorang mukallaf untuk melakukan  dan meninggalkan suatu perbuatan
secara pasti. misalnya firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah, 2:110.
Artinya: ”Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat.”(Q.S. Al-Baqarah,
2:110) Tuntutan Allah SWT untuk meninggalkan suatu perbuatan, misalnya firman
Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’, 17:33. Artinya: ”Dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan sesuatu
alasan yang benar.”(Q.S. Al-Isra’,17:33) Tuntutan Allah SWT mengandung pilihan
untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya,
Dengan demikian, taklifi dibagi menjadi lima macam, yaitu
a. Wajib  ( Tuntutan untuk memperbuat secara pasti )
Yaitu tuntutan untuk memperbuat secara passti dengan arti harus di perbuat
sehingga orang yang memperbuat patut mendapat ganjaran, dan orang yang
meninggalkan patut mendapat ancaman ALLAH SWT . contohnya sholat, puasa
ramadhan  dan sebagainya.

1
Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2014), hal.73

2
b. Sunah ( Tuntutan untuk memperbuat secara tidak pasti )
Sunah atau mandub dalam fiqh merupakan tuntuan untuk memperbuatkan
secara tidak pasti dengan arti perbuatan itu dituntut untuk dilakssanakan . terhaddap
yang melaksanakan berhak mendapatkan ganjaran akan kepatuhannya , tetapu bila
tuntutan tersebut tidak dilakukan atau ditinggalkan maka tidak apa –apa . oleh karena
itu yang meninggalkan itu tidak patut mendapat ancaman doa. Tuntutan seperti ini
disebut  “Nabd” pengatuh tuntuan terhadap perbuatan disebut Nabd juga sedangkan
perbuatan yang dituntu disebut dengan “Mandub” seperti memberi sumbagan
kepanti jompo, shodaqah, berpuasa senin kamis dal lain-lain. Secara bahasa mandub
adalah sseruan untuk sesuatu yang penting . adapun dalam artian definisi yaitu
sesuatu yang dituntut memperbuatnya secara hukum syari’i tanpa celaan terhadap
orang yang meninggalkan secara mutlhaq.
c. Haram ( Tuntutan untuk meninggalkan secara pasti )
Haram secara bahasa berarti sesutau yang lebih banyak kerusakannya.kadang
kadang digunakan dalam arti larangan..dalam istilah hukum haram adalah sesuatu
yang dituntut syar’I (pembuat hukum) untuk tidak memeprbuatnya secara tuntutan
yang pasti.sedangkan istilah haram menurut pendapat ulama jumhur yang
mengartikan haram yaitu larangan Allah yang pasti terhadap suatu perbuatan,baik
ditetapkan dengan dalil yang qathi maupun dalil zhanni. Menurut mereka dalil dalil
zhanni itu dapat dijadikan argumentasi dalam amal perbuatan.
Sedangkan menurut madzhab hanafi, hukum haram harus didasarkan pada
dalil qathi yang tidak mengandung keraguan sedikitpun.sehingga kita tidak
mempermudah dalam menetapkan hukum haram, sebgaimna Q.s an-nahl ayat 116.
Sedangkan abu hanifah,abu yusuf dan muhamad malah menyebutnya makruh
saja,agar tidak dikatakan haram. Contoh dari hukum haram yaitu makan bangkai
kecuali bangkai ikan,minum khamr, berzina, membunuh seorang yang diharamkan
Allah tanpa ada hak.2

2
Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,cet.I,1991) hal.12

3
d. Makruh ( Tuntutan untuk meninggalkan atau larangan secara tidak pasti )
Tuntutan untuk meninggalkan atau larangan secar tidak pasti dengan arti
masih mungkin ia tidak meninggalkan larangan itu.Orang yang  meninggalkan
larangan berarti  ia telah mematuhi yang melarang. Karenanya ia patut mendapat
ganjaran pahala Tetapi karena tidak pastinya larangan ini, maka yang tidak
meninggalkan larangan tidak mungkin disebut menyalahi yang melarang. Karenanya
ia tidak berhak mendapat ancaman dosa ,larangan dalam bentuk ini disebut karahah.
Pengaruh larangan tidak pasti terhadap perbuatan yang dilarang secar tidak pasti
disebut makruh.seperti merokok
e. Mubah (Sesuatu yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara
mengerjakan atau meninggalkan)
Jadi, disini tidak terdapat tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan. hal
ini tidak diperintahkan dan tidak pula dilarang. Hukum dalam bentuk ini disebut
“ibahah” sedangkan perbuatan yang diberi pilihan untuk berbuat atau tidak itu
disebut “mubah”. Contohnya: melakukan perburuan setelah melakukan tahallul
dalam ibadah haji, dll.
2. Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i merupakan perintah Allah yang berbentuk ketentuan yang
ditetapkan Allah, tidak langsung mengatur pebuatan mukallaf, tetapi berkaitan
dengan perbuatan mukallaf itu, dengan kata lain Hukum wad’i adalah hukum yang
menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain atau sebagai syarat
bagi sesuatu yang lain. Bisa juga diartikan hukum wadh’i adalah hukum yang
menjelaskan hukum taklifi atau yang menjadi akibat dari pelaksanaan hukum taklifi
Hukum wadh’i terbagi kedalam beberapa macam, yaitu:
a. Sebab
Sebab adalah segala sesuatu yang dijadikan oleh syar’i sebagai alasan bagi
ada dan tidak adanya hukum. Seperti masuknya bulan ramadhan menjadi tanda
datangnya bulan ramadhan,dan kewajiban puasa harus dijalankan setiap umat
muslim. Atau keadaan dalam perjalanan menjadi sabab bolehnya mengqashar
shalat.Perjalan dijadikan sebagai sabab bolehnya mengqashar shalat. Adanya sesuatu

4
menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya sesuatu itu melazimkan tidak adanya
hukum
b. Syarat
Hukum wad'i yang kedua adalah syarat. Syarat ialah sesuatu yang dijadikan
syar’i (Hukum Islam), sebagai pelengkap terhadap perintah syar’i, tidak sah
pelaksanaan suatu perintah syar’i, kecuali dengan adanya syarat tersebut. Atau
sesuatu yang menyebabkan ketiadaan hukum ketika ketiadaannya. Namun, tidak
semestinya wujud hukum ketika kewujudannya.
c. Mani’ (penghalang)
Mani’ adalah suatu keadaan atau peristiwa yang ditetapkan syar’i menjadi
penghalang bagi adanya hukum atau membatalkan hukum. Selain itu, mani juga
disebut tegahan atau halangan yang menyebabkan sesuatu hukum itu tidak dapat
dilaksanakan. Ini bermakna, apabila syarat dan sebab terjadinya hukum taklifi sudah
ada, ia masih lagi belum berlaku sekiranya ada mani'.
d. Akibat
Termasuk juga kedalam pembahasan hukum wadh’i, hal hal yang menjadi
akibat dari pelaksanaan hukum taklifi. dalam hubungannya dengan hukum wadh’i
yaitu:
1) Shah, yaitu akibat hukum dari suatu perbuatan taklifi yang sudah
berlaku padanya sebab, sudah terpenuhi semua syarat syarat yang
ditentukan, dan telah terhindar dari semua mani’. Misalnya; Shalat
dzuhur yang dilakukan setelah tergelincirnya matahari, dan dilakukan
oleh orang yang telah berwudhu’ serta orang yang tidak dalam
keadaan haidh (berhadast)
2) Bathal, yaitu akibat dari suatu perbuatan taklifi yang tidak memenuhi
sebab atau syarat, atau terpenuhi kedua duanya,akan tetapi ada mani’
yang menghalanginya. Misalnya: Shalat maghrib sebelum
tergelincirnya matahari, atau tidak berwudhu’, atau sudah keduanya,
akan tetapi dilakukan oleh wanita berhaidh.3

3
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam,(Bandung: Universitas LPPM Unisba,1995), hal. 69

5
e. Azimah dan Rukhsah
Rukhsah adalah ketentuan yang disyariatkan allah sebagai keringanan
(dispensasi) terhadap mukalaf karena ada hal-hal  khusus. Contohnya jamak dan
qosor salat karena sedang dalam perjalanan jauh. Macam-macam rukhsah adalah
sebagai berikut:
1) Diperbolehkannya yang haram karena dalm keadaan darurat.
Contohnya diperbolehkannya memakan bangkai dalam keadaan
kelaparan.
2) Boleh meninggalkan kewajiban karena ada uzur. Misalnya tidak puasa
karena dalam perjalanan jauh atau sakit.
3) Mengubah syariat lama dengan syariat baru. Contoh bertaubat dari
dosa (tobat nasuha) sebagai pengganti bunuh diri yang berlaku pada
syariat Nabi Musa a.s., mencuci pakaian dengan air untuk
menghilangkan najis sebagai pengganti dari memotong/ merobek
pakaian untuk menghilangkan najis pada syariat Nabi Musa a.s.
Azimah adalah syariat asal yang berlaku umum. Syariat ini berlaku disaat
normal tidak ada uzur,darurat, dan mampu dilakukan mukalaf. Contohnya dalam
pernikahan jika akad nikah diucapkan oleh si laki laki secara  sempurna,lantang dan
lancar tidak ada jeda maka sah dia dalam mengucapkannya sehingga sah dalam
prosesi pernahan itu,dan jika sebaliknya maka akan batal dan harus mengulang lagi.

B. Tafsir: Salah satu metode penggalian Hukum Islam


Al-Qur’an dan Sunnah diyakini sebagai sumber hukum Islam. Kemudian
nash-nash yang terkandung didalamnya ditujukan untuk mukallaf, maka untuk
mempermudah pelaksanaan hukum yang dimaksud, upaya ulama di bidang ushul
fiqh dan bidang fiqh mulai menggunakan pendekatan rasio dalam menggali makna
dan maksud yang dikandung oleh kedua sumber hukum tersebut. Meskipun nash Al-
Qur’an dan As-sunnah telah muhkamah, campur tangan akal tidak dapat dielakkan.
Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, adakalanya ayat-ayat tersebut saling
menafsirkan karena adanya munasabah al-ayah, tetapi tidak jarang ayat-ayat tersebut
membutuhkan hadis untuk menjelaskannya atau melalui pendekatan ijtihad yang

6
sepenuhnya menggunakan rasio. Musabah al-Ayah merupakan cara kerja akal yang
ijtihadiyah, karena akal mengupayakan sekuat mungkin untuk mencari dan
membentuk paradigm penafsiran tersebut.4
Rasulullah menjelaskan Al-Qur’an dengan bahasa yang dimengerti oleh
kaumnya. Sebagaimana Allah SWT. berfirman dalam surat Ibrahim ayat : 4
٤ ‫ضلُّ ٱهَّلل ُ َمن يَ َشٓا ُء َويَ ۡه ِدي َمن يَ َشٓا ۚ ُء َوهُ َو ۡٱل َع ِزي ُز ۡٱل َح ِكي ُم‬ ٍ ‫َو َمٓا أَ ۡر َس ۡلنَا ِمن َّرس‬
ِ ُ‫ِّن لَهُمۡۖ فَي‬gَ ‫ُول إِاَّل بِلِ َسا ِن قَ ۡو ِم ِهۦ لِيُبَي‬
Artinya: Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa
kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka
Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa
yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
Salahsatu contoh ayat Al-Qur’an yang menimbulkan perbedaan pendapat
adalah yang terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 6
‫ ُكمۡ َوأَ ۡر ُجلَ ُكمۡ إِلَى‬g‫وس‬ ْ ‫ح‬g‫ق َوٱمۡ َس‬g
ِ ‫ُوا بِ ُر ُء‬ ۡ
ِ gِ‫ ِديَ ُكمۡ إِلَى ٱل َم َراف‬g‫وا ُوجُوهَ ُكمۡ َوأَ ۡي‬ ْ ُ‫ٱغ ِسل‬ َّ ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا إِ َذا قُمۡ تُمۡ إِلَى ٱل‬
ۡ َ‫صلَ ٰو ِة ف‬
ۡ‫ٓا َء فَلَم‬g‫تُ ُم ٱلنِّ َس‬g‫ط أَ ۡو ٰ َل َم ۡس‬g
ِ gِ‫د ِّمن ُكم ِّمنَ ۡٱلغَٓائ‬gٞ g‫ض ٰ ٓى أَ ۡو َعلَ ٰى َسفَ ٍر أَ ۡو َجٓا َء أَ َح‬َ ‫ُوا َوإِن ُكنتُم َّم ۡر‬ ْ ۚ ‫ۡٱل َك ۡعبَ ۡي ۚ ِن َوإِن ُكنتُمۡ ُجنُبٗ ا فَٱطَّهَّر‬
‫ ُد‬g‫ َر ٖج َو ٰلَ ِكن ي ُِري‬g‫ َل َعلَ ۡي ُكم ِّم ۡن َح‬g‫ ُد ٱهَّلل ُ لِيَ ۡج َع‬g‫ا ي ُِري‬g‫ ۚهُ َم‬g‫ ِدي ُكم ِّم ۡن‬g‫ُوا بِ ُوجُو ِه ُكمۡ َوأَ ۡي‬
ْ ‫ص ِع ٗيدا طَيِّبٗ ا فَٱمۡ َسح‬ َ ‫وا‬ ْ ‫ُوا َمٓاءٗ فَتَيَ َّم ُم‬ ْ ‫تَ ِجد‬
٦ َ‫طهِّ َر ُكمۡ َولِيُتِ َّم نِ ۡع َمتَهۥُ َعلَ ۡي ُكمۡ لَ َعلَّ ُكمۡ ت َۡش ُكرُون‬
َ ُ‫لِي‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub
maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu
dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu
bersyukur.
Ada beberapa kata yang terdapat dalam ayat tersebut dan menimbulkan
ikhtilaf di kalangan ulama, yaitu :
1. Kata “arjulakum”, karena cara membacanya berbeda, maka cara mencuci
kaki ketika berwudhu pun menjadi berbeda.

Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
4

2014), hal. 82

7
2. Kata “biru-usikum”, yang diawali dengan huruf “bi”. Menurut Asy-Syafi’I,
mengusap kepala cukup sebagian kecil saja dari rambut, bahkan sehelai
rambut pun sudah sah, yaitu di atas ubun-ubun.
3. Kata “aw lamastum an-nisa” (Menyentuh wanita). Adapun menurut Umar
dan Ibnu Mas’ud, yang dimaksud dengan “aw lamastum an-nisa” adalah
persentuhan antara laki-laki dan perempuan tanpa ada penghalang dan bukan
muhrim. wudhu’nya batal dan wajib wudhu’ kembali jika ingin melaksanakan
shalat.
4. Kata “aidiyakum ila al-marafiq” dipahami oleh mufassir bahwa mencuci
tangan dalam berwudhu yang menggunakan air harus sampai ke siku,
sedangkan bertayamum tidak sampai siku. Syafi’iyah mengatakan bahwa
mengusap tangan dalam berwudhu, dengan demikian tidak terlarang jika
mengusapnya sampai siku.

C. Ijtihad Sebagai Metode penggalian Hukum Islam


Ijtihad (Arab: ‫اد‬,,,‫)اجته‬ adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang
sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu
untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis
dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Secara bahasa
ijtihad berarti pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. Yaitu
penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan hukum
tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam al-Quran dan as-Sunnah.
Rasulullah saw pernah bersabda kepada Abdullah bin Mas'ud sebagai berikut : "
Berhukumlah engkau dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, apabila sesuatu persoalan itu
engkau temukan pada dua sumber tersebut. Tapi apabila engkau tidak
menemukannya pada dua sumber itu, maka ijtihadlah ". Kepada ‘Ali bin Abi Thalib
beliau pernah menyatakan : " Apabila engkau berijtihad dan ijtihadmu betul, maka
engkau mendapatkan dua pahala. Tetapi apabila ijtihadmu salah, maka engkau hanya
mendapatkan satu pahala ". Muhammad Iqbal menamakan ijtihad itu sebagai the
principle of movement. Mahmud Syaltut berpendapat, bahwa ijtihad atau yang biasa
disebut arro'yu mencakup dua pengertian :

8
a. Penggunaan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan
secara eksplisit oleh al-Qur'an dan as-Sunnah.
b. Penggunaan fikiran dalam mengartikan, menafsirkan dan mengambil
kesimpulan dari    sesuatu ayat atau hadits.5
Adapun dasar dari keharusan berijtihad ialah antara lain terdapat pada al-
Qur'an surat an-Nisa ayat 59.
‫ول‬ ُ ‫ ُر ُّدوهُ إِلَى ٱهَّلل ِ َوٱلر‬g َ‫ ۡي ٖء ف‬g ‫ُوا ٱل َّرسُو َل َوأُوْ لِي ٱأۡل َمۡ ِر ِمن ُكمۡۖ فَإِن تَ ٰنَزَ ۡعتُمۡ فِي َش‬
ِ g ‫َّس‬ ْ ‫ُوا ٱهَّلل َ َوأَ ِطيع‬ ْ ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا أَ ِطيع‬
٥٩ ‫ر َوأَ ۡح َسنُ ت َۡأ ِوياًل‬ٞ ‫إِن ُكنتُمۡ تُ ۡؤ ِمنُونَ بِٱهَّلل ِ َو ۡٱليَ ۡو ِم ٱأۡل ٓ ِخ ۚ ِر ٰ َذلِكَ خ َۡي‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya
Menurut terminologi, ijtihad adalah mengorbakan semaksimal mungkin
kemampuan manusia, baik raga maupun jiwa dalam pekerjaan yang dilaksanakannya,
karena tujuan yang dicarinya, baik berbentuk materi ataupun pikiran. Sebagian ulama
mendefinisikannya dalam pengertian umum yaitu menghabiskan (memaksimalkan)
kesungguhannya dalam mencri sesuatuyang ingin dicapai, sehingga dapat diharapkan
tercapainya, atau diyakini sampai kepada tujuan. Namun, secara lughawy juga berarti
mengrahkan kesungguhan dan mengoptimalkan kemampuan dalam mengerjakan
sesuatu pekerjaan. Kemudian ijtihad menurut ahli ushul berarti pengaruh pengertian
mujtahid dalam mencari ilmu tentang hukum-hukum syariah dengan cara istinbath
(mengeluarkan hukum dari sumbernya).
            Dari definisi ijtihad tersebut dapat dipahami beberapa kata kunci yang
mnegacu kepada pengertian ijtihad, yakni:
a. Mujtahid mengerahkan kemampuannya, artinya mencurahkan
kemampuannya seoptimal mungkin sehingga ia merasakan bahwa dirinya
tidak sanggup lagi melebihi dari tingkat itu.

5
Muhammad Syah, dkk. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, Cet. II 1992), hal.
17-18.

9
b. Bahwa yang mengerahkan kemampuan itu adalah seorang mujtahid. Adapun
seorang yang bukan mujtahid, maka pengrahan kemampuan tidak
diperhitungakan, karena ia bukan ahli ijtihaad, sedang ijtihad itu hanya dapat
diterima apabila bersumber dari orang yang ahli (berwenang) untuk
berijtihad.
c. Bahwa kesungguhan itu untuk tujuan mengetahui hukum-hukum syariah
amaliah (praktis) bukan yang lain, maka kesungguhan yang dikerahkan itu
bukan untuk mengetahui hukum-hukum kebebasan (lughawiyah) atau logika
(aqliyah) atau inderawi (hissiah) dari kalangan ijtihad menurut istilah ahli
ushul.
d. Disyaratkan dalam mengetahui hukum syariah, yang dilakukan melalui
istinbat, artinya mendapatkan dan mengambil faedahnya dari dalil-dalilnya
melalui penalarandan penelitian dalam hukum-hukum itu. Maka tidak
dimasukkan kedalam katagori pengertian ijtihad ini dengan menghafal
masalah-masalah (yang telah ada), atau menghantuinya melalui mufti, atau
mendapatkannya melalui buku-buku ilmu pengetahuan, maka yang demikian
itu tidak dapat dimasukkan dalam kelompok ijtihad menurut istilah.6

6
Abidin Zainal Alawi. Ijtihad Kontemporer, (Banda Aceh: Yayasan Haji Abdullah Amin,
2003), hal. 49

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hukum dalam konsep ilmu ushul fiqh, dibagi dua macam yaitu: hukum taklifi
dan hukum wadh'i. Secara terminologi, hukum adalah khitab Allah yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk al-iqtida, at-takhyir dan al-
wadi’. Yang dimaksud dengan khitab Allah adalah firman Allah yang berupa
perintah-perintah atau larangan-larangan.
Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, adakalanya ayat-ayat tersebut saling
menafsirkan karena adanya munasabah al-ayah, tetapi tidak jarang ayat-ayat tersebut
membutuhkan hadis untuk menjelaskannya atau melalui pendekatan ijtihad yang
sepenuhnya menggunakan rasio. Musabah al-Ayah merupakan cara kerja akal yang
ijtihadiyah, karena akal mengupayakan sekuat mungkin untuk mencari dan
membentuk paradigm penafsiran tersebut.
Ijtihad adalah mengorbakan semaksimal mungkin kemampuan manusia, baik
raga maupun jiwa dalam pekerjaan yang dilaksanakannya, karena tujuan yang
dicarinya, baik berbentuk materi ataupun pikiran. Sebagian ulama mendefinisikannya
dalam pengertian umum yaitu menghabiskan (memaksimalkan) kesungguhannya
dalam mencri sesuatuyang ingin dicapai, sehingga dapat diharapkan tercapainya, atau
diyakini sampai kepada tujuan. Namun, secara lughawy juga berarti mengrahkan
kesungguhan dan mengoptimalkan kemampuan dalam mengerjakan sesuatu
pekerjaan. Kemudian ijtihad menurut ahli ushul berarti pengaruh pengertian mujtahid
dalam mencari ilmu tentang hukum-hukum syariah dengan cara istinbath
(mengeluarkan hukum dari sumbernya)

B. Saran
Demikianlah pembahasan makalah kami ini, tentunya masih ada kejanggalan-
kejanggalan baik dalam penulisan maupun penuturan. Oleh karena itu kritikan dan
saran yang bersifat membangun jiwa penulis sangat kami harapkan demi tercapainya
kesempurnaan makalah kami di masa mendatang.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abidin Zainal Alawi.  Ijtihad Kontemporer, Banda Aceh: Yayasan Haji Abdullah


Amin, 2003

Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,cet.I,1991

Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam,Bandung,Pusat Penerbitan Universitas LPPM


Unisba,1995

Muhammad Syah, dkk. Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. II 1992

Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: RajaGrafindo


Persada, 2014

Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: RajaGrafindo


Persada, 2014

12

Anda mungkin juga menyukai