Anda di halaman 1dari 22

Makalah Sejarah Kebudayaan Islam

KERAJAAN ISLAM
(MATARAM)

DI
S
U
S
U
N

OLEH

KETUA : DINDA KHAIRINA


ANGGOTA : M. ZIKRY MAULANA
: NIDA AFRA
: NURMAWATI
: M. FATIH ALKAMIL
: M. RIFQY ANNAHAR
KELAS : IX 7
PEMBIMBING : POCUT NURSIAH, S.Pd.I

MTsN 5 PIDIE
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena


berkat rahmat dan karunianya kami dapat menyelesaikan tugas penyusunan makalah
ini yang berjudul Kerajaan Mataram. Meskipun banyak rintangan dan hambatan
yang kami alami dalam proses pengerjaannya, tapi kami berhasil menyelesaikan
dengan baik.
Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam mengerjakan proyek ilmiah ini. Kami juga mengucapkan
terimakasih kapada guru pembimbing yang menuntun kami supaya dapat
mengerjakan tugas dengan baik. Kesulitan dan hambatan dalam membuat makalah
ini adalah kesulitan dalam menyusun makalah ini sehingga dapat diterima dalam
kehidupan masyarakat.
Dalam penulisan makalah ini, kami merasa masih banyak kekurangan-
kekurangan, baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan
yang kami miliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis
harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini membantu teman-teman
mengetahui secara garis besar tentang Kerajaan Mataram. Terimakasih saya ucapkan
atas waktunya untuk membaca makalah kami.

Sigli, 07 September 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I : PENDAHULUAN............................................................................. 1
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 2
C. Tujuan Pembahasan ............................................................................. 2

BAB II : PEMBAHASAN.............................................................................. 3
A. Asal-usul kerajaan Mataram ................................................................ 3
B. Perkembangan Dan Raja di Kerajaan Mataram ................................... 4
C. Kemunduran kerajaan Mataram ........................................................... 14
D. Bukti Peninggalan sejarah Kerajaan Mataram ..................................... 15

BAB III : PENUTUP...................................................................................... 17


A. Kesimpulan .......................................................................................... 17
B. Saran ..................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kerajaan Mataram ini ialah Kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah pada abad
ke-8, kemudian berpindah ke Jawa timur pada abad ke-10. Kerajaan ini banyak
meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah
dan Jawa Timur, serta membangun banyak candi baik yang bercorak Hindu maupun
Budha. Kerajaan Mataram ini dikenal dari sebuah prasasti yang ditemukan di desa
Canggal (Barat daya manggelang). Prasasti ini ada sekitar tahun 732 M, ditulis
dengan huruf Pallawa dan diubah dakam bahasa sansekerta yang indah sekali. Isinya
terutama adalah memperingati didirikannya sebuah lingga (lambang siwa) di atas
sebuah bukit di daerah kunjarakunja oleh raja Sanjaya. Daerah ini letaknya di
sebuah pulau yang mulia, Yawadwipa, yang kaya raya akan hasil bumi, terutama
padi dan emas. Yawadwipa ini mula-mula diperintah oleh raja Sanna, yang lama
sekali memerintah dengan kebijaksanaan dan kehalusan budi. Setelah raja Sanna
wafat, pecahlah negaranya, kebingungan karena kehilangan perlindungan. Naiklah
keatas takhta kerajaan raja Sanjaya, anak Sannaha (saudara perempuan Sanna),
seorang raja yang ahli dalam kitab-kitab suci dan dalam keprajurutan. Ia menaklukan
berbagai daerah di sekitar kerajaannya, dan menciptakan ketentraman serta
kemakmuran yang dapat dinikmati oleh rakyatnya.
Mendirikan sebuah Lingga secara khusus adalah lambang mendirikan suatu
kerajaan. Bahwa Sanjaya dianggap sebagai Wamcakarta dari kerajaan Mataram,
ternyata juga dari prasasti-prasasti para raja yang berturut-turut menggantikannya.
Diantara prasasti-prasasti itu ada beberapa dari Balitung yang memuat silsilah, dan
yang menjadi pangkal silsilah itu rakyat Mataram sang Ratu Sanjaya. Bahkan ada
pula prasasti yang menggunakan tarikh Sanjaya. Dari kedua kenyataan itu jelas
betapa besarnya arti Sanjaya itu bagi raja-raja yang lerajaannya berpusat di Jawa
Tengah sampai abd ke-10.

1
B. Rumusan Masalah
1. Asal-usul kerajaan Mataram
2. Perkembangan Dan Raja di Kerajaan Mataram
3. Kemunduran kerajaan Mataram
4. Bukti Peninggalan sejarah Kerajaan Mataram

C. Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan dalam makalah kami ini adalah untuk mengetahui
dan memahami :
1. Asal-usul kerajaan Mataram
2. Perkembangan Dan Raja di Kerajaan Mataram
3. Kemunduran kerajaan Mataram
4. Bukti Peninggalan sejarah Kerajaan Mataram

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Asal-usul kerajaan Mataram


Kerajaan Mataram kuno adalah salah satu kerajaan Hindu yang banyak
meninggalkan sejarah melalui prasasti dan benda arkeologi yang ditemukan.
Kerajaan ini pada awalnya berdiri di wilayah Jawa Tengah yang juga di kenal
sebagai kerajaan Medang.
Kerajaan Mataram kuno atau Mataram Hindu merupakan kerajaan Hindu
yang pernah berjaya dengan dua dinasti . Dinasti yang pernah berjaya memimpin
Mataram kuno yaitu Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra. Kerajaan ini berkuasa
pada Jawa Tengah bagian selatan. Kerajaan ini berdiri pada abad ke-8 di Jawa
Tengah.
Kerajaan ini juga sering disebut sebagai kerajaan Medang, kerajaan Mataram
kuno dan kerajaan Mataram Hindu. Nama yang lazim di pakai untuk menyebut
kerajaan Medang periode Jawa Tengah adalah kerajaan Mataram ,yaitu merujuk
kepada salah satu daerah di Ibu kota kerajaan ini, untuk membedakannya dengan
kerajaan Mataram Islam.Pada abad ke-10 kerjaan ini berpindah ke Jawa Timur.
Secara umum, nama kerajaan Medang merupakan penyebutan untuk kerajaan
Mataram hanya pada masa kerajaan Mataram waktu berpusat di JawaTimur. Hal
tersebut didasarkan pada adanya penemuan-penemuan prasasti yang berisikan
tentang kerajaan Mataram.Dalam beberapa bukti prasasti tersebut diungkapkan
bahwa penggunaan nama kerajaan Medang sudah digunakan sejak kerajaan Mataram
ada di Jawa Tengah sebelum pindah ke Jawa Timur.
Secara umum kerajaan Mataram Kuno pernah dipimpin oleh tiga
dinasti yang berkuasa pada waktu itu.Yaitu Wangsa Sanjaya,Wangsa
Sailendra,Wangsa Isana. Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra merupakan dua
dinasti dari kerajaan Mataram kuno yang berpusat di JawaTengah,sedangkan
Wangsa Isana berpusat di JawaTimur.

3
B. Perkembangan Dan Raja di Kerajaan Mataram
1. Dinasty Sanjaya
Bukti-bukti berdirinya Dinasti Sanjaya dapat diketahui melalui :
a. Prasasti Canggal (daerah Kedu) tahun 732 M, prasasti Balitung, Kitab
Carita Parahyangan. Prasasti Canggal (732 M) Prasasti ini dibuat pada
masa pemerintahan Raja Sanjaya yang berhubungan dengan pendirian
lingga yang merupakan perwujudan Dewa Siwa. Hal ini menunjukkan
bahwa agama yang dianutnya adalah agama Hindu.
b. Prasasti Balitung/ Mantyasih (907 M) Prasasti ini adalah prasasti tembaga
yang dikeluarkan oleh Raja Diah Balitung(Wangsa Sanjaya ke-9). Diah
Balitung mengeluarkan prasasti ini sehubungan dengan pemberian hadiah
tanah kepada lima orang patihnya di Mantyasih, karena kelima patihnya
itu telah berjasa besar terhadap kerajaan. Dalam prasasti itu disebutkan
nama raja yang pernah memerintah pada Kerajaan Mataram dari Dinasti
Sanjaya. Kitab Carita Parahyangan Kitab ini menceritakan tentang hal
ikhwal raja-raja Sanjaya.
Penggunaan nama wangsa sanjaya didasarkan pada nama raja pertama
kerajaan Medang. Nama dari raja tersebut adalah Sanjaya.Raja kerajaan ini
menganut agama Hindu atau siwa. Rakai pikatan yang waktu itu menjadi pangeran
dinasti sanjaya, menikah dengan pramodawardhani, puteri raja dinasti Sailendra
Samaratungga. Sejak saat itu corak kebudayaan Hindu mulai dianut oleh masyarakat
Mataram.Menurut prasasti canggal wangsa ini didirikan pada tahun 732 M oleh
Sanjaya. Tak banyak yang diketahui pada masa awal wangsa Sanjaya.
Raja-raja pada wangsa sanjaya.
a. Ratu Sanjaya
Ratu Sanjaya alias Rakai Mataram menempati urutan pertama dalam daftar
para raja Kerajaan Medang versi prasasti Mantyasih, yaitu prasasti yang dikeluarkan
oleh Maharaja Dyah Balitung tahun 907. Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti
Canggal tanggal 6 Oktober 732 tentang pendirian sebuah lingga serta bangunan candi
untuk memuja Siwa di atas sebuah bukit. Candi tersebut kini hanya tinggal puing-
puing reruntuhannya saja, yang ditemukan di atas Gunung Wukir, dekat Kedu.

4
Prasasti Canggal ternyata tidak menyebutkan nama kerajaan yang dipimpin
Sanna dan Sanjaya. Sementara itu prasasti Mantyasih menyebut Sanjaya sebagai raja
pertama Kerajaan Medang, sedangkan nama Sanna sama sekali tidak disebut.
Mungkin Sanna memang bukan raja Medang. Dengan kata lain, Sanjaya mewarisi
takhta Sanna namun mendirikan sebuah kerajaan baru yang berbeda. Kisah yang
agak mirip terjadi pada akhir abad ke-13, yaitu Raden Wijaya mewarisi takhta
Kertanagara raja terakhir Singasari, namun ia mendirikan kerajaan baru bernama
Majapahit.
Pada zaman Kerajaan Medang terdapat suatu tradisi mencantumkan jabatan
lama di samping gelar sebagai maharaja. Misalnya, raja yang mengeluarkan prasasti
Mantyasih (907 M) adalah Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung
Dharmodaya Mahasambu. Itu artinya, jabatan lama Dyah Balitung sebelum menjadi
raja Medang adalah sebagai kepala daerah Watukura.
Sementara itu gelar Sanjaya sebagai raja adalah Rakai Mataram Sang Ratu
Sanjaya. Dapat diperkirakan ketika Sanna masih berkuasa, Sanjaya bertindak sebagai
kepala daerah Mataram (daerah Yogyakarta sekarang). Daerah Mataram inilah yang
kemungkinan besar dipakai sebagai lokasi ibu kota ketika Sanjaya mendirikan
Kerajaan Medang. Itulah sebabnya, Kerajaan Medang juga terkenal dengan sebutan
Kerajaan Mataram. Sementara itu, pada masa pemerintahan Dyah Balitung, ibu kota
Kerajaan Medang sudah tidak lagi berada di Mataram, melainkan pindah ke Poh
Pitu.
Kapan tepatnya Kerajaan Medang berdiri tidak diketahui dengan pasti.
Seorang keturunan Sanjaya bernama Mpu Daksa memperkenalkan pemakaian
Sanjayawarsa atau kalender Sanjaya. Menurut analisis para sejarawan, tahun 1
Sanjaya bertepatan dengan tahun 717 M. Angka tahun tersebut menimbulkan dua
penafsiran, yaitu tahun penobatan Sanjaya sebagai raja, atau bisa juga merupakan
tahun kelahiran Sanjaya.
Apabila Sanjaya naik takhta pada tahun 717 M, berarti saat prasasti Canggal
(732 M) dikeluarkan, Kerajaan Medang sudah berusia 15 tahun. Sementara itu
apabila 717 M adalah tahun kelahiran Sanjaya, berarti saat mengeluarkan prasasti
Canggal ia masih berusia 15 tahun dan sudah menjadi raja. Dengan kata lain, Sanna

5
mengangkat Sanjaya sebagai kepala daerah Mataram sejak keponakannya itu masih
anak-anak (sama seperti Jayanagara pada zaman Majapahit).
b. Rakai Pikatan
Rakai Pikatan, yang waktu itu menjadi pangeran Wangsa Sanjaya, menikah
dengan Pramodhawardhani (833-856 M), puteri raja Wangsa Syailendara
Samaratungga. Sejak itu pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di
Mataram, menggantikan Agama Buddha. Rakai Pikatan bahkan mendepak Raja
Balaputradewa, dan pada tahun 850 M, Wangsa Sanjaya kembali menjadi satu-
satunya penguasa Mataram. Prasasti Wantil disebut juga prasasti Siwagreha yang
dikeluarkan pada tanggal 12 November 856 M. Prasasti ini selain menyebut
pendirian istana Mamratipura, juga menyebut tentang pendirian bangunan suci
Siwagreha, yang diterjemahkan sebagai Candi Siwa. Candi Siwa identik dengan
salah satu candi utama pada komplek Candi Prambanan. Dengan demikian,
bangunan utama pada komplek tersebut dibangun oleh Rakai Pikatan, sedangkan
candi-candi kecil lainnya mungkin dibangun pada masa raja-raja selanjutnya.
c. Rakai Kayuwangi
Sebenarnya kurang tepat apabila Rakai Kayuwangi disebut sebagai raja
Kerajaan Mataram karena menurut prasasti Wantil, saat itu istana Kerajaan Medang
tidak lagi berada di daerah Mataram, melainkan sudah dipindahkan oleh Rakai
Pikatan (raja sebelumnya) ke daerah Mamrati, dan diberi nama Mamratipura.
Rakai Kayuwangi adalah putra bungsu Rakai Pikatan yang lahir dari
permaisuri Pramodawardhani. Nama aslinya adalah Dyah Lokapala (prasasti Wantil)
atau Mpu Lokapala (prasasti Argapura). Menurut prasasti Wantil atau prasasti
Siwagerha tanggal 12 November 856, Dyah Lokapala naik takhta menggantikan
ayahnya, yaitu Sang Jatiningrat (gelar Rakai Pikatan sebagai brahmana).
Pengangkatan putra bungsu sebagai raja ini didasarkan pada jasa kepahlawanan
Dyah Lokapala dalam menumpas musuh ayahnya, yang bermarkas di timbunan batu
di atas bukit Ratu Baka.
Teori populer menyebut nama musuh tersebut adalah Balaputradewa karena
pada prasasti Wantil terdapat istilah walaputra. Namun, sejarawan Buchari tidak
menjumpai prasasti atas nama Balaputradewa pada situs bukit Ratu Baka, melainkan

6
atas nama Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni. Adapun makna istilah walaputra adalah
putra bungsu, yaitu julukan untuk Dyah Lokapala yang berhasil menumpas musuh
ayahnya tersebut.
Jadi, pada akhir pemerintahan Rakai Pikatan terjadi pemberontakan Rakai
Walaing Mpu Kumbhayoni yang mengaku sebagai keturunan pendiri Wangsa
Sanjaya. Pemberontakan tersebut berhasil ditumpas oleh Rakai Kayuwangi Dyah
Lokapala alias Sang Walaputra, sehingga ia mendapat dukungan rakyat untuk naik
takhta menggantikan ayahnya. Teori pemberontakan Rakai Walaing ini telah
membantah teori populer tentang adanya perang saudara antara Balaputradewa
melawan Pramodawardhani dan Rakai Pikatan sepeninggal Samarottungga.
d. Rakai Watuhumalang
Menurut daftar para raja Kerajaan Medang dalam prasasti Mantyasih, Rakai
Watuhumalang menjadi raja kedelapan menggantikan Rakai Kayuwangi. Prasasti
tersebut dikeluarkan tahun 907 M oleh Dyah Balitung, yaitu raja sesudah Rakai
Watuhumalang. Rakai Watuhumalang sendiri tidak meninggalkan prasasti atas nama
dirinya. Sementara itu prasasti Panunggalan tanggal 19 November 896 M menyebut
adanya tokoh bernama Sang Watuhumalang Mpu Teguh, namun tidak bergelar
maharaja, melainkan hanya bergelar haji (raja bawahan).
Tidak dapat dipastikan apakah Mpu Teguh identik dengan Rakai
Watuhumalang. Apabila keduanya benar-benar tokoh yang sama, maka dapat
dibayangkan bahwa masa pemerintahan Rakai Watuhumalamg sangat singkat. Pada
tahun 896 M ia masih menjadi raja bawahan, sedangkan pada tahun 899 (prasasti
Telahap) yang menjadi raja sudah bernama Dyah Balitung.
e. Rakai Watukura Dyah Balitung
Dyah Balitung berhasil naik takhta karena menikahi putri raja sebelumnya.
Kemungkinan besar raja tersebut adalah Rakai Watuhumalang yang menurut prasasti
Mantyasih memerintah sebelum Balitung. Mungkin alasan Dyah Balitung bisa naik
takhta bukan hanya itu, mengingat raja sebelumnya ternyata juga memiliki putra
bernama Mpu Daksa (prasasti Telahap). Alasan lain yang menunjang ialah keadaan
Kerajaan Medang sepeninggal Rakai Kayuwangi mengalami perpecahan, yaitu

7
dengan ditemukannya prasasti Munggu Antan atas nama Maharaja Rakai
Gurunwangi dan prasasti Poh Dulur atas nama Rakai Limus Dyah Dewendra.
Jadi, kemungkinan besar Dyah Balitung yang merupakan menantu Rakai
Watuhumalang (raja Medang pengganti Rakai Kayuwangi) berhasil menjadi
pahlawan dengan menaklukkan Rakai Gurunwangi dan Rakai Limus sehingga
kembali mengakui kekuasaan tunggal di Kerajaan Medang. Maka, sepeninggal Rakai
Watuhumalang, rakyat pun memilih Balitung sebagai raja dari pada iparnya, yaitu
Mpu Daksa. Pada masa pemerintahan Dyah Balitung, istana Kerajaan Medang tidak
lagi berada di daerah Mataram, ataupun Mamrati, melainkan sudah dipindahkan ke
daerah Poh Pitu yang diberi nama Yawapura.
Hal ini dimungkinkan karena istana Mamratipura (yang dulu dibangun oleh
Rakai Pikatan) telah rusak akibat perang saudara antara Rakai Kayuwangi melawan
Rakai Gurunwangi. Prasasti tertua atas nama Balitung yang berhasil ditemukan
adalah prasasti Telahap tanggal 11 September 899 M. Namun bukan berarti ini
adalah prasasti pertamanya, atau dengan kata lain, bisa jadi Balitung sudah naik
takhta sebelum tahun 899 M.
Disusul kemudian prasasti Watukura tanggal 27 Juli 902 M. Prasasti tersebut
adalah prasasti tertua yang menyebutkan adanya jabatan Rakryan Kanuruhan, yaitu
semacam jabatan perdana menteri. Sementara itu jabatan Rakryan Mapatih pada
zaman Balitung merupakan jabatan putra mahkota yang dipegang oleh Mpu Daksa.
Prasasti Telang tanggal 11 Januari 904 M berisi tentang pembangunan
komplek penyeberangan bernama Paparahuan yang dipimpin oleh Rakai Welar Mpu
Sudarsana di tepi Bengawan Solo. Balitung membebaskan pajak desa-desa sekitar
Paparahuan dan melarang para penduduknya untuk memungut upah dari para
penyeberang.
Prasasti Poh tanggal 17 Juli 905 M berisi pembebasan pajak desa Poh untuk
ditugasi mengelola bangunan suci Sang Hyang Caitya dan Silunglung peninggalan
raja sebelumnya yang dimakamkan di Pastika, yaitu Rakai Pikatan. Raja ini
merupakan kakek dari Mpu Daksa dan permaisuri Balitung. Prasasti Kubu-Kubu
tanggal 17 Oktober 905 M berisi anugerah desa Kubu-Kubu kepada Rakryan Hujung
Dyah Mangarak dan Rakryan Matuha Dyah Majawuntan karena keduanya berjasa

8
memimpin penaklukan daerah Bantan. Beberapa sejarawan menafsirkan Bantan
sebagai nama lain dari Bali. Istilah Bantan artinya korban, sedangkan Bali artinya
persembahan.
Prasasti Mantyasih tanggal 11 April 907 M berisi tentang anugerah kepada
lima orang patih bawahan yang berjasa dalam menjaga keamanan saat pernikahan
Dyah Balitung. Dalam prasasti ini disebutkan pula urutan raja-raja Medang yang
memerintah sebelum dirinya. Pada tahun 907 M tersebut Balitung juga memberikan
desa Rukam sebagai hadiah untuk neneknya yang bernama Rakryan Sanjiwana
dengan tugas merawat bangunan suci di Limwung.
f. Mpu Daksa
Mpu Daksa naik takhta menggantikan Dyah Balitung yang merupakan
saudara iparnya. Hubungan kekerabatan ini berdasarkan bukti bahwa Daksa sering
disebut namanya bersamaan dengan istri Balitung dalam beberapa prasasti. Selain itu
juga diperkuat dengan analisis sejarawan Boechari terhadap berita Cina dari Dinasti
Tang berbunyi Tat So Kan Hiung, yang artinya "Daksa, saudara raja yang gagah
berani".
Dyah Balitung diperkirakan naik takhta karena menikahi putri raja
sebelumnya, sehingga secara otomatis Mpu Daksa pun disebut sebagai putra raja
tersebut. Kemungkinan besar raja itu ialah Rakai Watuhumalang yang memerintah
sebelum Balitung menurut prasasti Mantyasih. Menurut prasasti Telahap, Mpu Daksa
adalah cucu dari Rakryan Watan Mpu Tamer, yang merupakan seorang istri raja
yang dimakamkan di Pastika, yaitu Rakai Pikatan. Dengan demikian, Daksa dapat
disebut sebagai cucu dari Rakai Pikatan. Prasasti Plaosan yang dikeluarkan oleh
Rakai Pikatan juga menyebut adanya tokoh bernama Sang Kalungwarak Mpu Daksa.
g. Rakai Layang Dyah Tulodhong
Dyah Tulodhong dianggap naik takhta menggantikan Mpu Daksa. Dalam
prasasti Ritihang yang dikeluarkan oleh Mpu Daksa terdapat tokoh Rakryan Layang
namun nama aslinya tidak terbaca. Ditinjau dari ciri-cirinya, tokoh Rakryan Layang
ini seorang wanita berkedudukan tinggi, jadi tidak mungkin sama dengan Dyah
Tulodhong. Mungkin Rakryan Layang adalah putri Mpu Daksa. Dyah Tulodhong

9
berhasil menikahinya sehingga ia pun ikut mendapatkan gelar Rakai Layang, bahkan
naik takhta menggantikan mertuanya, yaitu Mpu Daksa.
Dalam prasasti Lintakan Dyah Tulodhong disebut sebagai putra dari
seseorang yang dimakamkan di Turu Mangambil. Prasasti Lintakan tanggal 12 Juli
919 M adalah prasasti tertua yang pernah ditemukan dengan menyebut Tulodhong
sebagai raja. Dalam pemerintahannya, yang menduduki jabatan Rakryan Mapatih
Hino bernama Mpu Ketuwijaya yang juga bergelar Sri Ketudhara Manimantaprabha
Prabhusakti. Sedangkan yang menjabat Rakryan Halu adalah Mpu Sindok.
Prasasti Harinjing Tanggal 19 September 921 M berisi pengukuhan anugerah
untuk anak-anak Bhagawanta Bhari yang berjumlah 12 orang dan tersebar di mana-
mana. Bhagawanta Bhari adalah tokoh yang berjasa membangun bendungan
pencegah banjir. Ia sendiri telah mendapat anugerah dari raja sebelumnya. Prasasti
untuk anak-anak Bhagawanta Bhari diperbaharui lagi pada tanggal 7 Maret 927 M, di
mana mereka mendapatkan desa Culanggi sebagai sima swatantra (daerah bebas
pajak). Pembaharuan tersebut dilakukan oleh Rakai Hino Mpu Ketuwijaya, atas
saran dari Rakai Sumba yang menjabat sebagai Sang Pamgat Momahumah.
h. Rakai Sumba Dyah Wawa
Dyah Wawa naik takhta menggantikan Dyah Tulodhong. Nama Rakai Sumba
tercatat dalam prasasti Culanggi tanggal 7 Maret 927, menjabat menjabat sebagai
Sang Pamgat Momahumah, yaitu semacam pegawai pengadilan. Selain bergelar
Rakai Sumba, Dyah Wawa juga bergelar Rakai Pangkaja. Dyah Wawa tidak
memiliki hak atas takhta Dyah Tulodhong. Sejarawan Boechari berpendapat bahwa
Dyah Wawa melakukan kudeta merebut takhta Kerajaan Medang.
Kemungkinan besar kudeta yang dilakukan oleh Dyah Wawa mendapat
bantuan dari Mpu Sindok, yang naik pangkat menjadi Rakryan Mapatih Hino.
Sebelumnya, yaitu pada masa pemerintahan Dyah Tulodhong, Mpu Sindok menjabat
sebagai Rakryan Halu, sedangkan Rakai Hino dijabat oleh Mpu Ketuwijaya.
Peninggalan sejarah Dyah Wawa berupa prasasti Sangguran tanggal 2 Agustus 928
M tentang penetapan desa Sangguran sebagai sima swatantra (daerah bebas pajak)
agar penduduknya ikut serta merawat bangunan suci di daerah Kajurugusalyan.

10
Beberapa hal yang menyebabkan perpindahan kerajaan Mataram kuno di
Jawa Tengah ke Jawa Timur yaitu:
1) Perpindahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada permulaan abad 10
A.D. fakta ini didahului dengan perpindahan perhatian dari raja-raja Jawa
Tengah secara berangsur-angsur ke Jawa Timur.
2) Kemungkinan dari alasan-alasan politis yang dikemukakan oleh Dr,J.G.de
Casparis.
3) Terjadinya serangan musuh ke dalam keraton atau kaliyuga.
4) Menurut Dr.R.W.Van Bemmelen mengatakan bahwa ia menemukan
tanda-tanda dari ledakan gunung merapi pada masa lampau, Bagian
sebelah barat meledak dan mengalir ke bawah dengan kecepatan
penuh,sehingga terbentuk bukti-bukti gendol. Menurut pendapat
Boechari,kita perlu data-data yang lebih teoat tentang terjadinya bencana
alam itu,kalau dapat dibuktikan bahwa itu terjadi pada sekitar awal abad
10 A.D, maka dapat dipastikan bahwa memang benar ledakan inilah yang
menyebabkan perpindahan Ibu kota,kami memikirkan kemungkinan
bahwa ibu kota dihancurkan oleh gempa bumi atau aliran lava atau
keduanya.
5) Salah satu daerah yang subur ditinggalkan ,karena mereka menjadi tidak
berpenduduk dan tidak dapat untuk bertani s\dalam waktu yang lama, ini
dianggap sebagai faktor Ekonomi.
Pada abad ke-10, Dyah Wawa mempersiapkan stategi suksesi Empu Sindok
yang memiliki integritas dan moralitas sebagai calon pemimpin Mataram. Pada saat
itulah pemerintahan Dyah Wawa mengalami kemunduran. Empu Sendok yang
memegang pemerintahan setelah Dyah Wawa meninggal merasa khawatir terhadap
serangan yang dilancarkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Empu Sendok memindahkan
pusat pemerintahannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur Sumber lain menyebutkan
perpindahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur disebabkan oleh meletusnya gunung
merapi di Jawa Tengah.

11
2. Dinasti Syailendra
Pada akhir abad 8 M di Jawa Tengah bagian selatan, yaitu di daerah
Bagelan dan Yogyakarta, muncul dinasti baru yaitu diasti saylendra. Dinasti ini
akhirnya berhasil mendesak dinasti sanjaya ketika dinasti sanjaya diperintah
panagkaran. Keterangan ini dapat dilihat dari prasasti kalasan (778) yang
menyebutkan “panagkaran seolah-seolah diperintah oleh raja wisnu untuk
mendirikan candi kalasan”. Dari isi prasasti kalasan dapat diambil kesimpulan bahwa
kerajaan dinasti sanjaya terdesak oleh dinasti saylendra dan bisa jadi sanjaya hidup
berdampingan dengan dinasti saylendra.
Keluarga wangsa Sailendra di sini menganut agama Buddha Mahayana.
Buddha berkembang di Jawa Tengah pada abad ke-8 M. Namun keberadaan agama
Hindu tidak tersingkirkan sebab hal tersebut. Nampaknya, kedua agama itu telah
bersenyawa(sinkretis). Unsur-unsur tersebut jelas terdapat pada candi dan kitab-kitab
kedua agama tersebut, seperti candi Borobudur,Prambanan. Kitab Sang Hyang
Kamahayanikan dan Sutasoma”.
Kehidupan sosial Kerajaan Mataram Dinasti Syailendra ditafsirkan telah
teratur. Hal ini dilihat dari pembuatan Candi yang menggunakan tenaga rakyat secara
bergotong royong. Dari segi budaya Kerajaan Dinasti Syailendra juga banyak
meninggalkan bangunan-bangunan megah dan bernilai.
Berdasarkan bukti-bukti peninggalan Kerajaan Syailendra yang berupa candi-
candi, wilayah kekuasaan Syailendra meliputi wilayah Jawa Tengah bagian selatan,
yaitu wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Pada masa pemerintahan Raja Balaputra
Dewa, diketahui bahwa pusat kedudukan Kerajaan Syailendra terletak di daerah
pegunungan di sebelah selatan. Hal mi berdasar pada letak peninggalan istana Ratu
Boko.
Sumber sejarah Kerajaan Syailendra tidak begitu banyak yang berhasil
diketahui, baik berupa prasasti maupun peninggalan-peninggalan arkeologi. Prasasti-
prasasti yang berhasil ditemukan di antaranya sebagai berikut.
Prasasti Kalasan (778 M) Prasasti ini menyebutkan tentang seorang raja dari
Dinasti Syailendra (Kerajaan Syailendra) yang berhasil menunjuk Rakai
Panangkaran untuk mendirikan satu bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah

12
bihara untuk para pendeta. Rakai Panangkaran akhirnya meng-hadiahkan Desa
Kalasan kepada Sanggha Buddha.
Prasasti Kelurak (782 M) di daerah Prambanar Prasasti ini menyebutkan
pembuatan area Manjusri yang merupakan perwujudan Sang Buddha, Wisnu,
Manjusri dan Sanggha, yang dapat disamakan dengan Brahma, Wisnu, Siwa. Prasasti
ini juga menyebut nama raja yang memerintah saat itu, yang bernama Raja Indra.
Prasasti Ratu Boko (856 M) Prasasti ini menyebutkan kekalahan Raja
Balaputra Dewa dalam perang saudara melawan kakaknya Pramodhawardani dan
selanjutnya melarikan diri ke Sriwijaya. Prasasti Nalanda (860 M) Prasasti ini
menyebutkan tentang asal usul Raja Balaputra Dewa. Disebutkan bahwa Balaputra
Dewa adalah. putra dari Raja Samarotungga dan cucu dari Raja Indra (Kerajaan
Syailendra di Jawa Tengah).
Berdasarkan prasasti yang telah ditemukan dapat diketahui raja-raja yang
pernah memerintah Dinasti Syailendra, di antaranya: Raja Indra Dinasti Syailendra
menjalankan politik ekspansi pada masa pemerintahan Raja Indra. Periuasan wilayah
ini ditujukan untuk menguasai daerah-daerah sekitar Selat Malaka. Selanjutnya, yang
memperkokoh pengaruh kekuasaan Syailendra terhadap Sriwijaya adalah karena
Raja Indra menjalankan pernikahan politik. Raja Indra mengawinkan putranya yang
bernama Samarottungga dengan putri Raja Sriwijaya.
Raja Samarottungga Pengganti Raja Indra bernama Samarottungga. Fada
zaman kekuasaannya dibangun Candi Borobudur. Namun sebelum pembangunan
Candi Borobudur selesai, Raja Samarottungga meninggal dan digantikan oleh
putranya yang bernama Balaputra Dewa yang merupakan anak dari selir. Tetapi
sebenamya yang berhak menggantikan adalah putrinya yang lahir dari permaisuri
yang bernama Pramodhawardani. Dia menolak, karena tidak mungkin sanggup untuk
memerintah. Akhirnya tahta kerajaan diserahkan kepada Balaputra Dewa (adik
tirinya).
Kerajaan Syailendra banyak meninggalkan bangunan-bangunan candi yang
sangat megah dan besar nilainya, baik dari segi kebudayaan, kehidupan masyarakat
dan perkembangan kerajaan. Candi-candi yang terkenal seperti telah disebutkan di
atas adalah Candi Mendut, Pawon, Borobudur, Kalasan, Sari, dan Sewu.

13
Nama Borobudur diperkirakan berasal dari nama Bhumi Sambhara Budhara.
Bhumi Sambhara berarti bukit atau gunung dan Budhara berarti “raja”. Jadi arti dari
nama tersebut adalah Raja Gunung, yang sama artinya dengan Syailendra. Candi
Borobudur memiliki suatu sistem yang terbagi dalam tiga bagian yaitu Kamadhatu,
Rupadhatu, dan Arupadhatu.
Berapa sejarahwan berusaha menjelaskan berakhirnya kekuasaan Sailendra di
Jawa Tengah mengaitkannya dengan kepindahan Balaputradewa ke Sriwijaya
(Sumatera). Selama ini sejarahwan seperti Dr. Bosch dan Munoz menganut paham
adanya dua wangsa kembar berbeda keyakinan yang saling bersaing; Sanjaya-
Sailendra. Mereka beranggapan Sailendra yang penganut Buddha kalah bersaing dan
terusir oleh wangsa Sanjaya yang Hindu aliran Siwa.

C. Kemunduran kerajaan Mataram


Runtuhnya kerajaan Mataram disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, disebabkan oleh letusan gunung Merapi yang mengeluarkan lahar.
Kemudian lahar tersebut menimbun candi-candi yang didirikan oleh kerajaan,
sehingga candi-candi tersebut menjadi rusak.
Kedua, runtuhnya kerajaan Mataram disebabkan oleh krisis politik yang
terjadi tahun 927-929 M.
Ketiga, runtuhnya kerajaan dan perpindahan letak kerajaan dikarenakan
pertimbangan ekonomi. Di Jawa Tengah daerahnya kurang subur, jarang terdapat
sungai besar dan tidak terdapatnya pelabuhan strategis. Sementara di Jawa Timur,
apalagi di pantai selatan Bali merupakan jalur yang strategis untuk perdagangan, dan
dekat dengan daerah sumber penghasil komoditi perdagangan. Mpu Sindok
mempunyai jabatan sebagai Rake I Hino ketika Wawa menjadi raja di Mataram, lalu
pindah ke Jawa timur dan mendirikan dinasti Isyana di sana dan menjadikan
Walunggaluh sebagai pusat kerajaan.
Mpu Sindok yang membentuk dinasti baru, yaitu Isanawangsa berhasil
membentuk Kerajaan Mataram sebagai kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yang
berpusat di Jawa Tengah. Mpu Sindok memerintah sejak tahun 929 M sampai
dengan 948 M.Sumber sejarah yang berkenaan dengan Kerajaan Mataram di Jawa

14
Timur antara lain prasasti Pucangan, prasasti Anjukladang dan Pradah, prasasti
Limus, prasasti Sirahketing, prasasti Wurara, prasasti Semangaka, prasasti Silet,
prasasti Turun Hyang, dan prasasti Gandhakuti yang berisi penyerahan kedudukan
putra mahkota oleh Airlangga kepada sepupunya yaitu Samarawijaya putra Teguh
Dharmawangsa.

D. Bukti Peninggalan sejarah Kerajaan Mataram


1. Gerbang Makam Kotagede
Inilah gerbang masuk makam Kotagede, di sini nampak perpaduan unsur
bangunan Hindu dan Islam.

2. Masjid Makam Kotagede


Sebagai kerajaan Islam, Mataram memiliki banyak peninggalan masjid kuno,
inilah masjid di komplek makam Kotagede yang bangunannya bercorak
Jawa. Berjalan 100 meter ke arah selatan dari Pasar Kotagede, kita dapat menemukan
kompleks makam para pendiri kerajaan Mataram Islam yang dikelilingi tembok yang
tinggi dan kokoh. Gapura ke kompleks makam ini memiliki ciri arsitektur Hindu.
Setiap gapura memiliki pintu kayu yang tebal dan dihiasi ukiran yang indah.
Beberapa abdi dalem berbusana adat Jawa menjaga kompleks ini 24 jam sehari.

15
3. Bangsal duda
Di sinilah tempat peziarah mendapatkan informasi dari jurukunci makam
yang berasal dari Kraton Surakarta dan Kraton Yogyakarta. Di tempat ini jugalah
peziarah menanggalkan pakaiannya untuk berganti pakaian peranakan jika hendak
memasuki komplek makam.

4. Kalang Obong
Upacara tradisional kematian orang Kalang, upacara ini seperti Ngaben di
Bali, tetapi kalau upacara Kalang Obong ini bukan mayatnya yang dibakar
melainkan pakaian dan barang-barang peninggalannya.

5. Pasar Kotagede
Tata kota kerajaan Jawa biasanya menempatkan kraton, alun-alun dan pasar
dalam poros selatan - utara. Kitab Nagarakertagama yang ditulis pada masa Kerajaan
Majapahit (abad ke-14) menyebutkan bahwa pola ini sudah digunakan pada masa itu.
Pasar tradisional yang sudah ada sejak jaman Panembahan Senopati masih aktif
hingga kini. Setiap pagi legi dalam kalender Jawa, penjual, pembeli, dan barang
dagangan tumpah ruah di pasar ini.

16
6. Masjid Agung Negara
Masjid ini dibangun oleh PB III tahun 1763 dan selesai pada tahun 1768.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bahwa kerajaan Mataram Jawa Tengah terdiri dari dua dinasti. Yaitu dinasti
Sanjaya dan dinasti Sailendra. Keadaan masyarakat saat masa awal kerajaan
Mataram di Jawa Tengah boleh dikatakan makmur, karena pengaruh dari peran
seorang raja yang juga sangat arif bijaksana. Terdapat beberapa aspek disana, yaitu
aspek social, aspek keagamaan, aspek ekonomi dan aspek politik.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, penyebab perpindahan ibu kota
yang mulanya di Jawa Tengah menjadi Jawa Timur ada beberapa hal, salah satunya
adalah alasan ekonomi dan pengalihan perhatian ke Jawa Timur sehingga Jawa
Tengah ditinggalkan.
Dari segi sumber-sumber sejarah, terdapat banyak prasasti yang ditulis pada
masa kekuasaan raja-raja Mataram Jawa Tengah. Ditemukan juga candi-candi yang
dapat menjadi bukti dari kejayaan kerajaan Mataram Jawa Tengah.

B. Saran
Saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi perbaikan
makalah ini. Bagi para pembaca dan teman-teman lainnya, jika ingin menambah
wawasan dan ingin mengetahui lebih jauh maka kami mengharapkan dengan rendah
hati agar membaca buku-buku ilmiah.

18
DAFTAR PUSTAKA

Drs. R. Soekmono, pengentar sejarah kebudayaanindonesia 2, Yogyakarta:


kanisus;1973, hlm 40
Indrasaputra, “Dinasti Syailendra”, 28 Juni 2013, Blog.htm
Ivan Sujatmoko, “Wangsa Sanjaya (Kerajaan Medang atau Mataram Kuno)”, 2012
Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia
Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
Ni'matul khoiriyah, “Mataram Kuno di Jawa Tengah” , Selasa, 26 Maret 2013, 00:54,
google.com

19

Anda mungkin juga menyukai