Lalu bagaimanakah Todilaling ini ? Kemudian hubungannya dengan Mandar dan Balanipa?
Tanah Mandar merupakan Suatu daerah yang pada zaman Hindia Belanda termasuk Wilayah
Pemerintahan Pusat bernama Afdeling Mandar, yang dikepalai oleh Asisten Residen.
Afdeling Mandar di bagi atas Empat Onder Afdeling yang terdiri atas : Majene, Mamuju,
Polewali dan Mamasa, dimana masing-masing Onder Afdeling dikepalai oleh seorang
Controleur.
Sebelum penjajahan Hindia Belanda, daerah ini sudah sejak lama diperintah oleh Raja-raja
asli Indonesia yang masing-masing merdeka dan berdaulat dalam wilayah kerajaannya.
Kerajaan di Daerah Mandar hampir seusia dengan kerajaan lainnya di Indonesia pada
umumnya dan Sulawesi Selatan pada khususnya, seperti : Luwu, Gowa, Bone yang berdaulat
penuh.
Pendiri kerajaan Balanipa Secara teratur ialah “I Manyambungi” (Todilaling) sekitar abad ke-
XVI, namun diduga jauh sebelumnya dalam abad VI masyarakat Mandar sudah diatur oleh
Nenek Moyang Imanyambungi (Todilaling) , yaitu Tomanurung Tobisse Ditallang dan
Tokombong Di Bura. Secara turun temurun diurus oleh Tobisse Ditallang Ilando Guttu, Usu
Sambambang, To’padorang, Tasudidi, Pongkapadang, Tometteenbassi, Daeng Lumale, I
Lamber Susu, Tomipani’ Bulu, Tobittoeng, Toketara(Nenek I manyambungi), Dan Puang Di
Gandang (Ayahanda Imanyambungi), sampai pada Imanyambungi sendiri, kesemuanya
berasal dari Ulu Salu.
Membahas Balanipa adalah berbicara para tokoh sejarah yang ada berkecimpung di
dalamnya.Dan merubrik sejarah Balanipa, lumrah jika lupa pada sosok I Manyambungi To
dilaling yang Bagi masyarakat Mandar dan khususnya Balanipa adalah nama yang sangat tak
asing lagi, kendati demikin kini tak sedikit Regenerasi Mandar yang tidak lagi mengenal jejak
sejarahnya peradaban tanah kelahirannya, termasuk sosok I Mayambungi To Dilaling sebagai
pencetus dan cikal bakal kebangkitan Mandar.
I Manyambungi To Dilaling cucu I Taurraurraya yang diduga telah lahir pada abad XV di
Lemo Desa pendulangan yang sekarang tergabung dalam wilayah administratif Kecamatan
Limboro, Ia adalah putra To Makaka di Napo, Puang Digandrang yang menikah dengan
Weappas (Ta’bittoeng) yang bersinar putri dari 3 bersaudara I Taurraurraya yaitu Weappas
ibunda Imayambungi luluaya’dan Irerasi, irerasi inilah yang menikah dengan Batara Gowa
yang selanjutnya melahirkan Daeng Mattanre Karaeng Manguntungi bergelar Tomappa’risi
Kallona sehingga Tomapparisi Kallona adalah bersepupu sekali dengan
Imayambungi.Sedangkan I Taurraurra sendiri adalah anak dari Todzipani bulu di Napo atau
To Makaka di Lemo.
To Makaka adalah sebutan bagi golongan menengah strata social Mandar pada abad XV
sebelum masa Arayangan Balanipa,Kehidupan pada masa itu mengenai tiga tingkatan strata
berdasarkan kekuasaan dan kekayaan yaitu puang atau Mara'dia merupakan strata tertinggi
Yakni mereka yang di anggap sebagai To Manurung atau keturunannya.
Menurut adat To Makaka (kepala suku) pada masa itu, Putra yang dilahirkan pada masa
orang tuanya tengah menjabat atau memangku jabatan sebagai pemimpin, maka anak itu
berhak mewarisi kedudukan orang tuanya.Termasuk Puang Digandrang salah satunya ayah
dari I Mayambungi salah satu yang memegang andil To Makaka yang ada di Mandar pada
masa itu.
Data dari beberapa penutur sejarah termasuk tentang todilaling, ditemukan sebuah fakta
bahwa, pada masa I manyambungi di percaya lahir bersamaan adanya sebuah keris. Sehingga
sebelum I mayambungi dikenal dengan namanya yang sudah melekat pada namanya adalah
To Rindu Gayang atau kembar keris. Selain itu dirinyapun juga sebelumnya pernah dikenal
dengan sebutan To Patula-tula yaitu pambawa karra’(pembawa keramat) sebab sedikit teman
bermainnya yang bisa hidup jika bermain dengannya.apalagi saat dirinya sempat meneriaki
atau berang dan marah kepada temannya.Karenanya sosok satu ini acap pula dikenal sebagai
To Mapai’ Lila atau orang yang pahit lidahnya.
Sebelum menjabat sebagai Mara’dia pertama di Balanipa I Mayambungi pada masa hidupnya
sempat menjadi panglima perang di kerajaan Gowa pada masa pemerintahan Raja Gowa IX
Daeng Matenre karaeng manguntungi (Tomapa’risi’ Kallona). Awal kedatangan I
Mayambungi di Gowa yaitu pada masa pemerintahan Karaeng Batara Gowa sebagai raja VII.
Hal itu dilatar belakangi oleh hubungan perdagangan antar kerajaan Gowa dengan
Tomakaka-tomakaka yang ada di Mandar,dan hubungan family dengan To Makaka Napo
yang terjalin dengan baik.
Dalam sejarahnya, I Mayambungi menginjakkan kakinya ke Gowa pada usia yang masih
kanak-kanak. Tak begitu jelas Alasan kedatangannya di Butta (tanah) Gowa namun pendapat
lain menjelaskan bahwa kepergiannya di upayakan sebagai pengasingan dirinya atas
hukuman yang di jalaninya dan di jatuhkan kepadanya oleh To Makaka di Appe Banua
Kaiyyang (Napo, Samasundu, Mosso dan Tora-torang) setelah membunuh saudara sepupunya
sendiri adapula pendapat bahwa ia menuju makassar dengan perahu sandeq atau ikut ke
perahu oarang Makassar yang hendak pulang dari berdagangnya di Tanah Mandar.
Sesampainya di gowa dan berhadap ke raja gowa pada masa iti ia di gali informasi aasal
muasalnya dan ternya ia famili raja gowa sebab mereka cucu dari Tomanurung yang
kemudian dalam perjalan hidup Imanyambungi di gowa ia menikah dengan Karaeng Surya
Putri dari Karaeng Sandrabone Saudara I Reasi (putri mandar) yang merupakan istri raja
Gowa VII Karaeng Batara Gowa. Dari perkawinanya itu, lahirlah To Mepayung sebagai putra
sulung di susul oleh dengan kelahiran tiga orang putri lainnya.
Kesuksesan I Mayambungi sebagai panglima perang di kerajaan Gowa tersohor sampai ke
Lita’ (tanah) Mandar setelah berhasil memimpin pasukan kerajan gowa menaklukkan
kerajaan Lohe dan bahkan Pariaman dan tambora (Sumatra Barat) yang termasuk kerajaan
terkuat pada masa itu.Kenyataan ini pulalalh kemudian yang membuat sarung sutera Mandar
kerap kali digunakan pada setiap ritual atau upacara adat di Sumatera. Hal mana diyakini
sebagai salah satu bukti kemengan I Manyambungi melalui pos penaklukan kerajan Gowa.
Gong dari lohe atau yang dikenal sebagai idato’yang bergelar Ta’bilohe dan keris Pattarapang
raja Pariaman yang berhasil di rebut menjadi kemenangan yang di berikan oleh Daeng
Matenre pada I Mayambungi sewaktu ingin pulang ke Mandar besrta tombak bernama i
Naga, Bendera bernana ,trisula bernama doe pakka,senapan bernama itata,mahkota bernama
sokko kati,gendrang bernama i gandrang dan perisai bernama utte.
Sebab pada masa yang sama di Mandar terjadi perseteruan antara Appe’ Banua Kaiyyang
dengan Passokkorang (biring lembang, renggeang, manu-manukang salarri). Para To Makaka
dari Appe Banua Kaiyyang bersepakat mengutus Pappuangan Mosso menjemput I
Mayambungi di Gowa. Nama besar I Mayambungi diharapkan dapat membantu Appe Banua
Kaiyyang meninggalkan Gowa menuju Napo.
Konon sepulang dari Gowa masyarakat Napo termasuk Puang Digandrang menyambut
kedatangan rombongan I Mayambungi di Labuang Palippis soreang setelah menempuh
perjalan selama hampir satu bulan melalui laut dengan menggunakan lopi (perahu). Dan
inilah awal disandangkan gelar Todilaling (orang yang digotong)
Ia tomo umbawa doe disanga: Inaga Ewangan di sanga Itata mappadiammi diaja anna’
tatallu. Mesa mottong di Tanete, da’duadami lambi’, mesa tommuane, mesa tobaine
memmoane tama di Alu napibaine Mara’dia Alu apa tommuane iami di pa’uanan:
“Tomepayung”
Nabetai pambusuang malaimi dai’ di Napo. Diajai di Napo anna nabundumo Lopo’ nabeta
boi Lopo’ apa da’na pe’mannami naung Tande-Tande di Banggae.
Apponamo namanna’ napebei tomo dai’ to Pu’awang di Maasar betanamo Lopo’ iatomo
umbetai Panyarukang, Iamo Tobatu. naparola nasammitia Todilaling inngganna di
dalambuttu. Di polong pau.
Mesa lontara mappau ma’uwa, tipateng di’e uru polena diomi ummonro dilabuang landi anna
nabundu’ Pambusuang.