Anda di halaman 1dari 18

BAB I

A. Latar Belakang

Konflik,

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari studi analisis ini adalah:

1. Apa pengertian manajemen konflik?


2. Apa aspek-aspek terkait manajemen konflik?
3. Apa saja cakupan implementasi manajemen konflik?
C. Tujuan Makalah

Makalah ini bertujuan untuk memberikan dasar-dasar yang jelas mengenai


manajemen konflik. Baik dalam bentuk cakupan dan implementasi. Hingga dapat
pula dijadikan pasak tonggak bersandar di materi-materi kedepannya.

1
BAB II

Sistem Penerapan Hukum Adat di Ternate

Perlu diketahui bahwa Ternate adalah salah satu wilayah yang masih
memilik Raja lokal. Dalam hal ini Sultan yang disebut Kolano. Ketika NKRI
diproklamasikan oleh pemerintah pusat di Jakarta tahun 1945, Sultan-Sultan
memberikan wilayah dan kedaulatan mereka pada Presiden, menyisakan
wewenang mereka pada sebatas penjaga keluhuran adat. Oleh karenanya,
pengamalan hukum adat masih berlaku ketat dan kental, yang didominasi oleh
Sultan sebagai Kepala Pemangku Adat.

Di antara beberapa hukum adat yang masih berlaku secara umum adalah:

1. Hukum Adat pernikahan

Diantara kaidah-kaidah tentang pernikahan yang berlaku pada masyarakat


adat Ternate sejak ditetapkan oleh Sultan Bayanullah adalah:

1. Pembatasan poligami. Rakyat Maluku utara baik yang sudah beragama


maupun yang belum, tidak dapat lepas dari poligami. Oleh karena itu,
hukum adat membatasi jumlah istri yang boleh dipunya sesuai batasan
hukum Islam.
2. Larangan kumpul kebo dan pergundikan. Kedua kebiasaan ini terutama
dilakukan oleh para bobato (sebutan untuk masyarakat adat tingkat
bangsawan atau ningrat). Kebiasaan itu telah dilarang, dan
pelanggarnya akan dikenakan sanksi moril dari keadatan.
3. Biaya dan peningset dalam perkawinan yang berlebihan dipangkas.
Peningset yang memberatkan dan permintaan-permintaan dari keluarga
perempuan yang berlebihan dilarang1.

Sedangkan tahap-tahap untuk melangsungkan akad nikah, diatur oleh adat


sebagai berikut:

1
M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-Rempah., (Jakarta: KPG, 2016). Hlm. 67

2
1. Sigado Salam
Proses tata cara perkawinan adat Ternate diawali dengan menyampaikan
salam atau dalam bahasa Ternate disebut Sigado Salam. Salam dimaksud
disampaikan dari pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga
calon mempelai perempuan.
2. Wosa Lahi
Setelah melalui proses Sigado Salam maka pihak mempelai laki-laki
melakukan persiapan pada acara Masuk Minta atau Wosa Lahi. Makna wosa lahi
atau masuk minta secara harfiah berarti melamar.meminang. Lamaran dilakukan
oleh pihak laki-laki dengan mengutus sesepuh atau keluarga tertua atau kerabat
yang memiliki ikatan keluarga yang diserahi tugas sebagai utusan, utusan ini
dalam bahasa Ternate disebut dengan Baba Se Ema Yaya Se Goa. Pihak
mempelai perempuan menyuguhkan pinang dan sirih yang melambangkan ikatan
keharmonisan dan saling menghargai dari kedua keluarga tersebut. Setelah
upacara makan pinang dan sirih, utusan Baba Se Ema Yaya Se Goa dari pihak
laki-laki menyampaikan maksud kedatangannya.
3. Kata Bido Se Hana Ma Ija
Mengantarkan belanja dalam bahasa Ternate kata bido se dufahe maija
dari utusan calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai
perempuan disaat prosesi masuk minta atau wosa lahi. Antar belanja atau kato
bido se hena maija yang dilakukan oleh baba se ema yaya segoa dari utusan calon
mempelai laki-laki, dengan mengandung makna bahwa bido sedufahe maija
merupakan permintaan dari pihak memeplai wanita yang menyangkut dengan
kebutuhan dalam prosesi perkawinan dengan segala macam perjanjian yang harus
dipenuhi oleh pihak mempelai laki-laki menjelang upacara perkawinan.
4. Fere Wadaka
Setelah mengantarkan belanja maka proses perkawinan diawali dengan
upacara naik wadaka atau dalam bahasa Ternate disebut Fere Wadaka. Fere
Wadaka secara harfiah memiliki makna bahwa sebelum dilangsungkan acara
perkawinan maka calon pengantin utamanya mempelai perempuan melakukan
tapak diri(naik lulur) yakni calon pengantin dipingit beberapa hari dalam

3
kamarnya sambil dilulur dengan bedak tradisional, kemudian dilakukan pensucian
diri hingga tibanya acara kata rorio yaya segoa.
5. Kata Rorio / Yaya Segoa
Kata rorio yaya segoa dilakukan pada malam hari menjelang hari
pernikahan, acara ini dihadiri oleh keluarga dari kedua mempelai, kerabat dan
handaitolan dengan maksud menjenguk dan memberikan restu atas kelangsungan
pernikahan dari mempelai dengan membawa bantuan apa adanya sesuai dengan
kemampuan masing-masing.
6. Banikah / Ijab Kabul
Ijab Kabul merupakan inti dari sebuah proses pernikahan, dalam tradisi
Ternate sebelum melakukan ijab Kabul mempelai laki-laki diantar ke rumah
mempelai perempuan yang diutus oleh pihak keluarga yang disebut baba se ema,
yang diikuti oleh bunga lilin dan karo mangale, Mas kawin dan seperangkat
pakaian mempelai wanita yang dibawa secara apik oleh anak-anak yang tergabung
dalam rombongan baba se ema dan yaya segoa. Kemudian disambut oleh pihak
keluarga wanita dengan tradisi hadrat yang diiringi tifa dan rabana, untuk
memasuki tempat pernikahan.
Setelah Ijab Kabul suami atau mempelai laki-laki yang bermaksud
menemui istrinya atau mempelai perempuan harus melewati tradisi fati ngara
(pele pintu) maksudnya adalah menghalangi pengantin laki-laki yang akan
menemui pengantin wanita dengan imbalan fang ngara atau bayar pintu yang
dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki.
7. Paha Ngongowa
Setelah melewati tradisi fati ngara atau pele pintu pihak mempelai laki-laki
memasuki kamar mempelai wanita sekedar meletakkan tangan di atas ubun
mempelai wanita yang memiliki makna bahwa mempelai pria dan wanita dengan
sah menjadi suami istri, kemudian dilanjutkan dengan pemberian mas kawin oleh
pihak mempelai laki-laki kepada mempelai wanita. Acara ini kemudian
dilanjutkan dengan upacara joko kaha dengan mempergunakan rumput fartagu
yang terletak di atas sebuah piring yang melambangkan kehidupan dan
kebahagian yang akan dijamah oleh kedua mempelai, sedangkan sebotol air yang

4
disiram pada kedua kaki mempelai yang melambangkan keteduhan dan kesejukan
kehidupan yang menjadi sandaran bagi kedua mempelai dan pupulak yang terdiri
dari beras kuning, beras merah dan beras hijau melambangkan bermacam-macam
suku yang menjadi sahabat dan kenalan bagi kedua mempelai
8. Suba Yaya Baba
Setelah melakukan paha ngoma dan penyerahan mas kawin kedua
mempelai melakukan subah yaya se baba yaitu melakukan sembah sujud kepada
kedua orang tua sekaligus melepaskan tanggung jawab orang tua terhadap
anaknya dalam mengarungi bahtera rumah tangga mereka.
9. Ngogu Adat
Ngogu adat atau makanan adat ini disuguhkan pada acara perkawinan
masyarakat Moloku Kie Raha yang merupakan ungkapan rasa syukur dalam
bentuk cara sengale dalam pelaksanaan hajatan perkawinan. Makanan adat
Ternate yang kita kenal saat ini dibagi dalam dua bentuk yait Dodego nunau I
yaya segoa dan Dodego foheka mi yaya segoa.
Kedua bentuk tersebut pada prinsipnya memiliki makna yang sama akan
tetapi secara harfiah makna sesungguhnya dari dodego foheka mi yaya segoa
adalah melakukan saro-saro dari kedua mempelai sedangkan dodego nanau I yaya
segoa yang terdiri dari para pemangkut adat, imam, tokoh agama, tokoh
masyarakat, dan para undangan yang menerima salam atau koro bersama-sama
membacakan doa dan dilanjutkan dengan suguhan makanan adat, yang terdiri dari
sepuluh potong nasi jaha atau pali-pali, kukusang (nasi tumpeng), ikan dan terong,
gulai, bubur kacang hijau, srikaya.
Dari sajian makan adat tersebut pada umumnya disajikan dalam satu paket
atau dalam bahasa Ternate disebut ngogu rimoi dibagi empat orang
gogoro(undangan) yang hadir mengikuti upacara tersebut2.
Pada prosesi pernikahan, adat ternate memiliki cara-cara yang unik
dibandingkan suku-suku lain yang relatif sama. Sebelum akad dimulai, salah
seorang bobato membacakan syair-syair, ayat-ayat, dan hadist-hadist rumah

2
http://wa-iki.blogspot.co.id/2013/07/upacara-perkawinan-adat-ternate.html. Diakses pada
tanggal 13 Desember 2017. Pukul 21.55 WIB

5
tangga dan pernikahan dalam bahasa Arab. Sebagaimana khutbah nikah,
pembacaan syair dan ayat dan hadist ini bertujuan memberikan nasihat kepada dua
mempelai. Ketika akad nikah berlangsung, wali dari sang perempuan dan
mempelai lelaki harus bertaut lutut, meletakkan paha di bawah bantal, lalu saling
berpaut tangan seperti orang bertanding adu panco. Kemudian, tangan keduanya
ditutupi oleh sapu tangan hingga akad selesai3.

Bentuk Perkawinan Adat Ternate

Perkawinan Adat di Ternate mengenal beberapa bentuk yang sejak dahulu


sudah dilazimkan dalam masyarakat dan telah berlangsung selama berabad-abad
hingga saat ini. Bentuk-bentuk perkawinan tersebut adalah :

1. Meminang / Kawin Minta (Lahi se Tafo atau Wosa Lahi)

Lahi se Tafo atau meminang merupakan bentuk perkawinan adat yang


sangat populer dan dianggap paling ideal bagi masyarakat setempat, karena selain
berlaku dengan cara terhormat yakni dengan perencanaan yang telah diatur secara
matang dan didahului dengan meminang juga karena dilakukan karena dilakukan
menuruti ketentuan yang berlaku umum di masyarakat dan juga dianggap paling
sah menurut Hukum Adat.
2. Kawin Sembah (Wosa Suba)

Bentuk perkawinan Wosa suba ini sebenanrnya merupakan suatu bentuk


penyimpangan dari tata cara perkawinan adat dan hanya dapat disahkan dengan
terlebih dahulu membayar/melunasi denda yang disebut “Bobango”. Perkawinan
ini terjadi karena kemungkinan untuk menempuh cara meminang/wosa lahi
sangatlah sulit atau bahkan tidak bisa dilakukan karena faktor mas-kawin ataupun
ongkos perkawinan yang sangat mahal dsb.
3. Kawin Tangkap (Sicoho)

Bentuk perkawinan ini sebenarnya hampir sama dengan cara ke tiga dari
bentuk Wosa Suba di atas hanya saja kawin tangkap bisa saja terjadi di luar

3
Dilihat dari video dokumenter pernikahan adat Ternate.
https://www.youtube.com/watch?v=wT8zwHHnqIg

6
rumah, misalnya di tempat gelap dan sepi, berduaan serta berbuat diluar batas
norma susila. Dalam kasus seperti ini, keluarga pihak gadis menurut adat tidak
dibenarkan melakukan tindak kekerasan atau penganiyaan terhadap si pemuda
walaupun dalam keadaan tertangkap basah. Maka untuk menjaga nama baik anak
gadis dan keluarganya terpaksalah mereka dikawinkan juga menurut hukum adat
secara islam yang berlaku pada masyarakat Ternate. Perkawinan bentuk ini
dianggap sah menurut adat apabila si pemuda atau pihak keluarga laki-laki
terlebih dahulu meminta maaf atas perbuatan anaknya terhadap keluarga si gadis
dan membayar denda (Bobango) kepada keluarga si gadis. Bentuk perkawinan ini
masih sering ditemui di Ternate.
4. Dijodohkan (Kofu’u)

Bentuk perkawinan ini terjadi apabila telah terlebih dahulu terjadi


kesepakatan antara orang tua atau kerabat dekat dari masing-masing kedua belah
pihak untuk mengawinkan kedua anak mereka. Bentuk perkawinan dijodohkan ini
tidak terlalu jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia, hanya saja
perbedaan yang paling prinsipil adalah; Kalau di Ternate, terjadi antara anak-anak
yang bapaknya bersaudara dekat/jauh atau ibunya bersaudara dekat/jauh.
Kebanyakan bentuk perkawinan ini tidak disetujui oleh anak muda jaman
sekarang sehingga jalan yang mereka tempuh adalah bentuk “Masibiri” atau
Kawin Lari. Bentuk perkawinan Kofu’u ini sudah jarang terjadi dalam masyarakat
Ternate.

5. Kawin Lari (Masibiri)

Perkawinan bentuk ini adalah cara yang ditempuh sebagai usaha terakhir
karena jalan lain tidak memungkinkan atau tidak ada. Faktor-faktor yang
mendorong terjadinya Kawin Lari diantaranya karena orang tua tidak menyetujui,
menghindari biaya perkawinan yang sangat tinggi, pihak laki-laki tidak mampu
untuk melaksanakan cara meminang atau juga karena mereka berlainan rumpun
marga dalam kelompok soa yang tidak boleh kawin-mawin.
Bentuk perkawinan ini ditempuh dan dapat terjadi karena pihak keluarga si
pemuda adalah berasal dari strata bawah atau terlalu miskin untuk mampu

7
melaksanakan cara meminang. Masyarakat Ternate menganggap bahwa bentuk
Kawin Lari merupakan pintu darurat yang ditempuh oleh si pemuda. Kaum muda
mudi di Ternate jaman sekarang menyebutnya dengan istilah plesetan “Kawin
Cowboy”. Konsekwensi adat yang dipikul akibat perkawinan ini sudah dipikirkan
matang-matang oleh pasangan kedua remaja tersebut. Walaupun perkawinan ini
dilakukan secara darurat (kebanyakan dilaksanakan di rumah penghulu) namun
tetap dianggap sah menurut hukum adat karena tata cara perkawinan dilaksanakan
menurut rukun nikah secara Islam. Biasanya yang bertindak sebagai wali adalah
“Wali Hakim Syari’at”. Karena biasanya orang tua si gadis tidak bersedia
menjadi wali nikah.
Pada umumnya si gadis lari/kabur dari rumah orang tuanya dan menuju ke
rumah petugas/pejabat nikah (Hakim Syari’at), ia langsung diterima oleh isteri
pejabat Haki Syari’at tersebut dan diperkenankan untuk tinggal beberapa hari.
Setelah petugas memberitahukan kepada orang tuanya bahwa anak gadisnya
sekarang berada di rumahnya. Biasanya orang tua si gadis menyerahakan wali dan
pelaksanaan perkawinan darurat ini kepada petugas Hakim Syari’at untuk
mengurusnya. Bentuk perkawinan Masibiri ini hingga saat ini masih banyak
ditempuh oleh anak muda Ternate yang mengambil jalan pintas untuk berumah
tangga bila tidak direstui oleh orang tuanya.
6. Ganti Tiang (Ngali Ngasu)

Bentuk perkawinan ini walaupun menjadi salah satu jenis dalam


perkawinan adat di Ternate namun jarang sekali terjadi. Bentuk perkawinan Ngali
Ngasu ini terjadi apabila salah satu dari pasangan suami isteri yang isterinya atau
suaminya meninggal duni maka yang menggantikannya adalah iparnya sendiri,
yaitu kakak atau adik dari si siteri atau kakak atau adik dari si suami
suami. Bentuk penggantian peran dimaksud dalam jenis perkawinan ini dilakukan
dengan cara mengawini iparnya sendiri demi kelangsungan rumah tangganya agar
tidak jatuh ke tangan pihak lain.Perkawinan semacam ini bagi masyarakat adat di
pulau Jawa dikenal dengan istilah “Turun Ranjang”. Namun karena

8
perkembangan pola pemikiran dan perkembangan jaman mengakibatkan bentuk
perkawinan sudah hampir tidak pernah terjadi lagi di Ternate4.

2. Hukum Adat Kematian

Dalam kehidupan masyarakat Ternate, bila ada salah satu warga


masyarakat yang meninggal dunia, biasanya dikabarkan dari mulut ke mulut
kepada keluarga, saudara dan kerabat. Kegiatan pertama yang biasanya dilakukan
adalah menyiapkan tenda yang dalam bahasa Ternate disebut “Sabua” di depan
dan di belakang rumah duka. Sementara warga yang lainnya menyiapkan liang
kubur. Sedangkan kesibukan dalam rumah duka sendiri adalah menyiapkan
kebutuhan untuk pemakaman seperti ; kain kafan, peralatan memandikan mayat,
serta kebutuhan lain yang berhubungan dengan pemakaman.

Sementara itu, kaum ibu-ibu datang membawa sembako seadanya untuk


disumbangkan ke rumah duka yang akan dijadikan bahan baku konsumsi, berupa;
beras, terigu, gula pasir, teh, dsb. Kaum ibu-ibu biasanya saat datang mulai
menyiapkan dan membentuk semacam dapur umum di belakang rumah duka,
bahkan di rumah tetangga kiri dan kanan untuk menyiapkan makan semua pelayat
yang datang pada saat itu untuk makan setelah selesai upacara pemakaman.

Kegiatan ibu-ibu ini dikenal dengan tradisi “Lian” atau sering disebut
“Lilian”. Tradisi Lian ini merupakan salah satu dari bentuk gotong-royong dalam
masyarakat Ternate.

Dalam masyarakat Ternate, setiap warga muslim yang meninggal dan


hendak diarak menuju pemakaman biasanya diiringi dengan alunan “Laa ilaaha
illallah hu laa ilaaha illallah, Laa ilaaha illallah Muhammadar Rasullullah ”
yang diucapkan secara terus menerus oleh seruruh pelayat sejak dari rumah duka
hingga sampai di lokasi liang kubur. Irama alunan ini-pun khas dan hanya
dilantunkan pada saat mengantarkan mayat ke kubur. Kebiasaan ini oleh

4
http://rohanskasim.blogspot.co.id/2013/03/bentuk-perkawinan-adat-ternate_28.html.
Diakses pada tanggal 13 Desember 2017. Pukul 21.30 WIB

9
masyarakat Ternate disebut dengan “Kalmaha”. Bagi masyarakat Ternate, alunan
dan irama Kalmaha ini merupakan suatu tanda berkabung, dan setiap orang yang
mendengar Kalmaha pasti terharu, sedih bahkan banyak yang meneteskan air mata
duka atas perginya sang kerabat untuk selamanya.

Ada satu kebiasaan lagi yaitu; setelah mayat diletakkan di dalam liang
lahat, dan setelah tali pocong dilepaskan kemudian mayat yang terbaring
dihadapkan menghadap kiblat, maka saat itu juga salah satu dari petugas yang
berada di dalam liang lahat mengumandangkan azan dari awal hingga akhir.

Tahlilan terhadap kematian seseorang di dalam masyarakat Ternate


dikenal dengan sebutan “Tahlil Sone ma-Dina”. Tahlilan malam pertama ini
dikenal dengan “Sone ma-Dina – Futu Rimoi”

Para undangan yang akan hadir pada tahlilan ini terdiri dari “Bobato
Akhirat” dan “Bobato Dunia”. Bobato Akhirat adalah para pemuka agama, mulai
dari Imam besar, khotib dan modim/muazim. Sedangkan Bobato Dunia adalah
para pemuka masyarakat, pemuka adat dan para haji-haji di lingkungan tersebut.
Undangan untuk melaksanakan setiap tahlilan disebut dalam bahasa Ternate
disebut “Gogoro Dina” untuk membedakan dengan undangan untuk hajatan
syukuran (Gogoro Haji) atau perkawinan (Gogoro Kai)5.

3. Hukum Adat Kewarisan

Sebagai pengantar dalam pembahasan sistem hukum warisan adat terlebih


dahulu dengan pembahasan sistem hukum Adat, dengan maksud agar lebih dapat
difahami dengan baik sistem hukum warisan adat dalam penulisan ini. Bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat mempunyai “budaya” berupa “adat-
istiadat” yang mencerminkan dari pada kepribadian sesuatu bangsa Indonesia,
selanjutnya menjadi sumber bagi sistem hukum Adat.

5
http://busranto.blogspot.co.id/2008/09/sone-ma-dina-dina-sone-tradisi-ritual.html.
Diakses pada tanggal 13 Desember 2017. Pada pukul 22.27 WIB

10
Sedangkan istilah Soerojo Wigjodipoero, Pengantar dan AsasAsas Hukum
Adat (Jakarta: Gunung Agung. 1995), hlm. 13. “adat” berasal dari bahasa Arab,
dan istilah ini telah hampir menjadi bahasa di semua daerah Indonesia. Adat dapat
juga diartikan kebiasaan, sehingga secara sederhana hukum Adat atau Adatrecht
dapat diartikan ke dalam bahasa Indonesia menjadi hukum kebiasaan.

Selain itu, A. Qodri Azizy memberikan konsepsi secara dinamis bawa


hukum Adat Indonesia ini, lebih tepat disebut “hukum kebiasaan” (customary
law) atau hukum yang hidup di masyarakat (living law), sedangkan dalam
pengertian yang statis adalah kebiasaan atau Adat-istiadat bangsa Indonesia yang
telah dijadikan sebuah disiplin dan dikategorikan secara baku. Demikian juga
Sorjono Soekanto juga mengatakan bahwa pada hakekatnya hukum Adat
merupakan hukum kebiasaan, artinya kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai
akibat hukum (seinsollen), berbeda dengan kebiasaan-kebiaaan belaka, kebiasaan
yang merupakan adat adalah perbuatan-perbuatan yang diulang ulang dalam
bentuk yang sama.

Konsep hukum Adat di Indonesia hampir dipastikan ciptaan orang


Belanda, yang mempunyai tujuan untuk mengadu kelangan Islam dengan
kalangan nasional. Lebih jauh orang-orang Belanda menanamkan seakanakan
hukum Adat adalah hukum milik kaum nasional, sedangkan hukum Islam milik
asing. Oleh karena itu, Bustanul Arifin berpendapat bahwa istilah hukum Adat
adalah artificial buatan atau karangan, karena buat rakyat Indonesia istilah hukum
berarti syara‘. Di daerah-daerah di Indonesia, seperti: Sumatera, Bima, Sulawesi,
dan Ternate, hukum berarti syara’6.

Dari sini penyusun berkesimpulan bahwa hukum warisan yang digunakan


oleh masyarakat Ternate adalah pembagian berdasarkan syariat Islam.

6
Komari, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Eksistensi Hukum Waris di Indonesia:
Antara Adat dan Syariat., PDF Journal version., Hlm. 159

11
BAB III

Analisis Fiqih terhadap penerapan Hukum Adat Ternate

Pada kaidah umum pernikahan, hukum adat ternate telah sesuai dengan
tuntunan syara’. Misalnya masalah pembatasan poligami. Hal itu telah dijelaskan
dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 4:

“… Dan nikahilah perempuan-perempuan yang kamu senangi: dua, tiga,


empat. Kemudian, jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka nikahilah satu
orang saja.”

Dalam kaidah pemudahan pernikahan, telah sesuai dengan Hadist Nabi:

‫وط أ َ ْن‬ ‫ «إنه أ َ َح ه‬:- ‫سله َم‬


ِ ‫ق الش ُُّر‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صلهى ه‬
َ ُ‫َّللا‬ َ - ِ‫َّللا‬ ‫سو ُل ه‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫َام ٍر قَال‬ ِ ‫ع ْقبَةَ ب ِْن ع‬ ُ ‫َوع َْن‬
‫ع َل ْي ِه‬
َ ‫ق‬ ْ ‫يُ َوفهى ِب ِه َما ا‬
ٌ َ‫ستَحْ لَ ْلت ُ ْم ِب ِه ا ْلفُ ُرو َج» ُمتهف‬

Dari Uqbah bin Amir Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu


Alaihi wa Sallam bersabda, "Bahwa syarat yang harus dipenuhi adalah syarat
yang menghalalkan kemaluan untukmu." (Muttafaq Alaihi)7

Atau, dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di


antara tanda-tanda berkah perempuan adalah mudah dilamar, murah maharnya,
dan murah rahimnya.8”

Tentang memegang ubun-ubun istri, hal itu sesuai dengan Nabi


Shallallahu Alaihi wa Sallam. Beliau bersabda,

‫سأَلُك َخي َْر َها َو َخي َْر‬ ِ َ‫ام َرأَةً أ َ ْو َخا ِد ًما أ َ ْو دَابهةً فَ ْليَأ ْ ُخ ْذ بِن‬
ْ َ ‫اصيَتِ َها َو ْليَقُ ْل الله ُه هم إنِي أ‬ ْ ‫«إذَا أَفَا َد أ َ َح ُد ُك ْم‬
»‫علَ ْي ِه‬َ ْ‫ َوش َِر َما ُجبِلَت‬،‫ َوأَعُوذُ بِك ِم ْن ش َِر َها‬،‫علَ ْي ِه‬ َ ْ‫َما ُجبِلَت‬

7
Shan’ani Imam., Kitab Subulussalam, Syarah Bulughul Maram, (2013, E-Book
Version). Hadits nomor: 922
8
https://ngelmulepakbumi.wordpress.com/tag/ayat-dan-hadits-tentang-mahar/. Diakses
pada tanggal 13 Desember 2017. Pukul 23.27 WIB

12
"Apabila di antara kalian menikah atau mendapatkan pembantu, atau
membeli hewan ternak, hendaklah dia pegang ubun-ubunnya dan berdoa, "Ya
Allah, aku mengharapkan kebaikan darinya dan kebaikan dari apa-apa yang
dihasilkannya, dan aku berlindung kepada-Mu dari kejahatannya dan dari
kejahatan apa-apa yang dihasilkannya." (HR. Abu Dawud, An-Nasa'i dan Ibnu
Majah) [hasan, Shahih Al-Jami' (360)]9.

Mengenai mengazankan mayit di dalam kubur, hal itu diqiyaskan dari


sunnahnya mengazankan bayi yang baru lahir. Dengan analogi bahwa bila seorang
manusia lahir diazankan, maka meninggalnya pun diazankan10.

Mengenai tahlilan, penyusun kira ceramah para asatidz kita sudahlah jelas
kiranya, seperti Ustadz Abdul Somad Lc. Ma. Tapi, penyusun mendapatkan
jawaban dari sumber lain. Seperti perkataan Imam Shuyuti dalam kitab Al-Hawi
lil Fatawi yang berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia
difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi)
gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang
telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut11.

9
Shan’ani Imam., Kitab Subulussalam, Syarah Bulughul Maram, (2013, E-Book
Version). Hadits nomor: 904
10
IFROSIN, Fiqih Adat., (Jawa Barat: Mu’jizat Group, 2007)., Hlm. 25
11
http://takaza.blogspot.co.id/2011/12/tahlilan-sampai-tujuh-hari-ternyata.html. Diakses
pada tanggal 13 Desember 2017. Pukul 23.45 WIB

13
BAB IV

Analisis Peraturan Perundang-undangan terhadap Penerapan Hukum Adat


Ternate

Tidaklah berlebihan dikata bahwa adat-adat masyarakat Ternate yang


masih berlaku sekarang adalah sejalan dan dilindungi oleh UUD 1945. Terutama
dalam UU Perkawinan no. 1 tahun 1974 pasal 2 yang menyatakan, “perkawinan
adalah sah jika dilakukan berdasarkan agama dan adat istiadat masing-masing.”

Pada masalah poligami, dituangkan dalam KHI pasal 55 nomor 1 yang


berbunyi, “Beristeri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya
sampai empat orang isteri.”

14
KESIMPULAN dan SARAN

Kesimpulan:

Hukum Adat Ternate mengatur masyarakatnya dalam garis besar yang umumnya
dilakukan oleh masyarakat adat lain, seperti perkawinan, kewarisan, dan
kematian. Pada masyarakat Ternate, jenis-jenis perkawinan dikenal dengan
berbagai istilah. Di antaranya: Meminang / Kawin Minta (Lahi se Tafo atau
Wosa Lahi); Kawin Sembah (Wosa Suba); Kawin Tangkap (Sicoho);
Dijodohkan (Kofu’u); Kawin Lari (Masibiri); Ganti Tiang (Ngali Ngasu).

Tata cara pernikahannya pun diatur sedemikian rupa, di antaranya: Sigado


Salam; Wosa Lahi; Kata Bido Se Hana Ma Ija; Fere Wadaka; Kata Rorio / Yaya
Segoa; Banikah / Ijab Kabul; Paha Ngongowa; Suba Yaya Baba dan Ngogu Adat.
Dalam upacara kematian, masyarakat adat Ternate dipenuhi oleh sunnah-
sunnah Nabi Muhammad dan amalan para sahabat dan tabi’in. Seperti ta’ziyah,
bersedekah pada ahli musibah, mengazankan mayat, dan tahlilan.
Dalam masalah kewarisan, sejauh ini, masih diidentifikasi bahwa
masyarakat Adat Ternate memakai sistem warisan hukum Islam.

Beberapa hal memang tak dapat dilacak dalilnya bila dikorelasikan dengan
fiqih—seperti beberapa adat pernikahan. Tapi, sebagian besar adat itu telah
bersumber dari syara’ dan tidak bertentangan dengan Islam, hingga dapat
disimpulkan bahwa masyarakat Adat Ternate telah menjadi tatanan masyarakat
syari.

Daripada itu, pada akhirnya, perjalanan hukum adat yang masih bestari
dan eksis ini dilindungi oleh UU. Sebab tidak bertentangan dengan pemerintah,
dan hanya sebatas masalah-masalah keperdataan.

15
GLOSARIUM

Banikah Prosesi Ijab Kabul

Bobango Hutang

Bobato Ningrat atau para sesepuh adat atau para Imam,


Khatib, dan marbot masjid.

Fere Wadaka Mandi dan luluran serta pingitan

Gogoro Dina undangan tahlilan

Gogoro Haji undangan syukuran

Gogoro Kai undangan perkawinan

Hakim Syariat Penghulu; atau bisa juga Kepala KUA

Hana Ma Ija

Kalmaha Alunan kalimat tauhid yang mengiringi mayit ke


kubur

Kata Bido Se Pembayaran uang hantaran

Kofo’u Pernikahan melalui perjodohan

Lahi se Tafo Pernikahan yang dianggap terhormat sebab


dilakukan dengan cara meminang terlebih dahulu.

Lian Gotong royong ibu-ibu kepada ahlul musibah

ma-Dina

Masibiri Kawin lari

Ngali Ngasu Pernikahan dengan adik istri setelah kematiannya

Ngogu Adat. Sedekah makanan

Paha Ngongowa Upacara melewati palang pintu dan pemberian


mahar

16
Sabua Menyiapkan tenda jamaah ta’ziyah

Sicoho Pernikahan yang dilakukan karena keduanya


tertangkap basah sedang berkhalwat

Sigado Salam Salam dari pihak calon mempelai pria

Suba Yaya Baba Seperti sungkem dalam masyarakat Jawa

Tahlil Sone Tahlilan hingga hari ke-40

Wosa Lahi Pengiriman utusan pihak pria kepada wanita.

Wosa Suba Pernikahan yang dilakukan dengan cara melunasi


pembayaran hutang adat lebih dahulu sebab ongkos
nikah terlalu mahal

Yaya Segoa Kunjungan karib kerabat

17
DAFTAR PUSTAKA

Sumber dari literatur


Amal Adnan M., Kepulauan Rempah-Rempah., (Jakarta: KPG, 2016).
IFROSIN, Fiqih Adat., (Jawa Barat: Mu’jizat Group, 2007).

Sumber dari internet


http://wa-iki.blogspot.co.id/2013/07/upacara-perkawinan-adat-
ternate.html.
Dilihat dari video dokumenter pernikahan adat Ternate.
https://www.youtube.com/watch?v=wT8zwHHnqIg
http://rohanskasim.blogspot.co.id/2013/03/bentuk-perkawinan-adat-
ternate_28.html.
http://busranto.blogspot.co.id/2008/09/sone-ma-dina-dina-sone-tradisi-
ritual.html.
https://ngelmulepakbumi.wordpress.com/tag/ayat-dan-hadits-tentang-
mahar/.
http://takaza.blogspot.co.id/2011/12/tahlilan-sampai-tujuh-hari-
ternyata.html. Diakses pada tanggal 13 Desember 2017.

Sumber dari Jurnal


Komari, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Eksistensi Hukum Waris
di Indonesia: Antara Adat dan Syariat., PDF Journal version.

Sumber dari E-book


Shan’ani Imam., Kitab Subulussalam, Syarah Bulughul Maram, (2013, E-
Book Version)

18

Anda mungkin juga menyukai