Anda di halaman 1dari 6

REKONSTRUKSI ADAT ISTIADAT SUKU BATAK ANGKOLA

DALAM NOVEL AZAB DAN SENGSARA KARYA MERARI SIREGAR

Oleh :
Efiza Nikmatul Afifah
E-mail : @efizanikmatul49@gmail.com

Karya sastra tidak hanya lahir dari imajinasi pengarangnya saja. Karya sastra juga
bisa lahir dari kenyataan-kenyataan yang ada di dalam kehidupan masyarakat, khususnya
kehidupan masyarakat yang ada di sekitar diri pengarang. Akan tetapi karya sastra tidak
hanya mengungkapkan kenyataan-kenyataan itu secara objektif semata, tetapi juga
disertai pandangan, sikap, tafsiran, dan nilai-nilai dari pengarang yang dikreasikan
dengan imajinasi yang dimiliki oleh sang pengarang.
Seperti halnya novel berjudul Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Novel
pertama Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1920 ini menceritakan
tentang kisah cinta sepasang manusia yang berakhir memilukan dengan warna lokal
sosial-budaya Batak Angkola. Perlu diketahui bahwa Merari Siregar lahir dan besar di
Sipirok, Sumatera Utara. Oleh sebab itu tidak heran jika adat maupun budaya Batak
Angkola yang berasal dari Sipirok diangkat dalam karyanya yang berjudul Azab dan
Sengsara ini.
Batak Angkola sendiri merupakan salah satu sub-etnik dari Suku Batak. Batak
dibagi atas beberapa golongan atau etnik yaitu Karo-Batak, Pakpak-Batak, Angkola-
Batak, dan lain-lain (Toba, Mandailing, dan Simalungun). Pembagian ini berdasarkan
perbedaan susunan masyarakat atas beberapa kesatuan daerah yang dinamakan marga
(kelompok keturunan). Marga-marga yang terdapat dalam masyarakat Batak Angkola
adalah Siregar, Harahap, Pohan, Hasibuan, Hutasuhut, Daulae, Rambe, dan Pane. Suku
Batak Angkola mendiami wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara.
Dalam Kabupaten Tapanuli mereka bermukim terutama di Kecamatan Batang Toru,
Sipirok, Saipar Dolok, Hole, Dolok, Padang Lawas (Padang Bolak), Barumun Tengah,
Sosa, Barumun, Sosopan, Padang Sidempuan, dan Batang Angkola. Nama Angkola
sendiri diambil dari sebuah sungai yang berada di kawasan tersebut.
Dalam novel Azab dan Sengsara dikemukakan peranan dan kedudukan marga,
sistem pekawinan dengan cara paksa, pengaturan harta warisan, adat-istiadat, serta tradisi
lainnya yang terdapat dalam masyarakat Batak Angkola.
Dalam masyarakat Batak Angkola khususnya orang Sipirok, marga adalah salah
satu unsur penting dalam mengatur dan menjalankan adat-istiadat di masyarakat seperti
perkawinan, strata sosial, dan kekerabatan. Pada novel Azab dan Sengsara sistem
kekerabatan yang dianut adalah sistem kekerabatan patrilineal, dimana marga ditentukan
oleh garis keturunan lak-laki (Ayah). Maksudnya, jika seorang laki-laki sudah menikah
dan memiliki anak maka marga dari laki-laki itulah yang diturunkan kepada anak-
anaknya. Oleh sebab itu, dalam masyarakat Batak Angkola laki-lakilah yang membentuk
kelompok kekerabatan sedangkan perempuan menciptakan hubungan besan. Hal itu
tampak pada kutipan novel Azab dan Sengsara berikut :
“Adapun masing-masing orang Batak mempunyai suku (marga). Seorang anak
yang baru lahir beroleh marga Bapaknya. Marga itu ada bermacam-macam,
misalnya di Luhan Sipirok, Siregar dan Harahap yang terbanyak, marga-marga
lain ada pula umpamanya: Pane. Pohan, Sibuan (Hasibuan), dan lain-lain”.
Karena kedudukan marga sangat penting dalam kehidupan masyarakat Batak
Angkola, maka untuk mencari calon istri atau calon suami harus ditanyakan dahulu
mengenai marga yang dimilikinya. Hal itu dijelaskan dalam novel Azab dan Sengsara
berikut :
“Apakah marga-nya? Siapa orang tuanya? Tanya istrinya. Marganya Siregar,
dan Bapaknya kepala kampung. Maka barang siapa yang hendak kawin, tidaklah
boleh mengambil perempuan marga Siregar, meskipun mereka itu sudah jauh
antaranya, artinya hanya nenek nenek moyang mereka itu, yang beratus tahun
dahulu, yang bersaudara. Mereka itu tiada boleh mengambil-ambil dalam
perkawinan, karena dilarang keras oleh adat. Akan tetapi anak muda marga
Siregar boleh mengambil seorang anak perempuan marga Harahap, meskipun
perkaumannya dengan anak gadis itu masih dekat, umpamanya senenek dengan
dia. Artinya, nenek silaki pihak Ibu, nenek perempuan”.
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa perkawinan semarga dalam
masyarakat Batak Angkola tidak dibenarkan dan dianggap melanggar adat. Misalnya
laki-laki bermarga siregar tidak boleh menikah dengan perempuan bermarga siregar.
Walaupun dalam hubungan yang sebenarnya hanya nenek moyang merekalah yang
bersaudara, perkawinan semacam itu tetap dilarang menurut adat. Jika tetap melanggar
maka konsekwensinya mereka bisa dikeluarkan
Sebaliknya, meskipun mereka merupakan saudara dekat, misalnya bersepupu
tetapi memliki marga yang berbeda maka perkawinan antara anak laki-laki dan
perempuan itu diperbolehkan, bahkan sangat disukai oleh para orang tua. Alasannya
untuk memperkuat tali kekeluargaan. Seperti halnya Aminudin yang bersepupu dengan
Mariamin, perkawinan dua anak muda itu sangat disukai para orang tua. Karena ibu
Aminudin merupakan adik kandung dari ayah Mariamin yaitu Sutan Baringin. Sehingga
bisa diketahui bahwa antara Aminudin dan Mariamin memiliki hubungan saudara yang
dekat. Apalagi mereka memiliki marga yang berbeda. Aminudin memiliki marga Siregar
(Bayo Regar, dalam bahasa Batak Angkola diistilahkan Bayo Enggan) sedangkan
Mariamin memiliki marga Harahap (Boru Harahap, dalam bahasa BA diistilahkan juga
Boru Angin). Hal itu digambarkan dalam kutipan berikut :
“Sebagamana diceritakan di atas Sutan Baringin itu beripar dengan Ayah
Aminudin yang tinggalnya tiada berapa jauh dari Sipirok. Jalannya mereka itu
bertali, yakni ibu Aminudin adik kandung Sutan Baringin. Jadi Aminudin
memanggil Sutan Baringin tulang (artinya mamak) dan kepada ibu Mariamin
nantulang (artinya ina tulang atau istri mamak). Menurut adat orang dinegeri itu
(batak) seharusnya bagi Aminudin menyebut Mariamin adik (anggi dalam bahasa
Batak) dan perkawinan antara anak dayang serupa ini amat disukai orang tua
kedua belah pihak. ‘Tali perkauman bertambah kuat,’ kata orang di kampung-
kampung. Barangkali perkawinan yang serupa itu, tiada biasa ditempat lain. ‘lain
padang lain belalang, lain tanah lain lembaganya,’ kata pribahasa.”(Siregar:
27)
Dalam masyarakat Batak Angkola, baik laki-laki maupun perempuan tidak
memiliki hak untuk menentukan pasangan atau pendamping hidupnya sendiri. Para orang
tualah yang memiliki hak untuk menentukan calon suami ataupun calon istri dari anak-
anak mereka. Hal itu dialami oleh Aminudin yang merupakan tokoh utama pria dalam
novel Azab dan Sengsara. Aminudin tidak dapat menentukan calon istrinya sendiri
meskipun ia sudah memiliki tambatan hati yaitu Mariamin. Hal serupa juga terjadi pada
Mariamin. Ia dinikahkan paksa oleh ibunya dengan seorang pemuda yang tidak ia kenal
dan tidak dicintainya bernama Kasibun. Dalam hal ini, anak-anak masyarakat Batak
Angkola sangat penurut dan pasrah dengan keputusan yang diambil oleh orang tua
mereka mengenai siapa yang akan menjadi calon suami maupun calon istri mereka.
Meskipun keputusan tersebut mungkin bisa membuat mereka tidak bahagia. Seperti yang
terdapat dalam kutipan novel Azab dan Sengsara berikut :
“Oleh sebab itu haruslah anak itu menurut kehendak orang tuanya kalau ia
hendak selamat di dunia. Itupun harapan Bapak dan Ibumu serta sekalian kaum-
kaum kita anakku akan menurut permintaan kami itu, yakni anak Anda terimalah
menantu Ayahanda yang kubawa ini? Meskipun Aminuddin mula-mula menolak
perkataan itu, tetapi ada akhirnya terpaksalah ia menurut bujukan dan paksaan
orang tua semua”.
Sistem perkawinan yang diatur oleh para orang tua menurut adat yang berlaku
pada masyarakat Batak Angkola, seperti yang tergambar dalam novel Azab dan Sengsara
sebenarnya dapat mengakibatkan perkawinan yang dibangun itu tidak bahagia dan bisa
berakibat buruk pada anak yang dikawinkan secara paksa tadi serta dapat berujung
dengan perceraian. Selain itu, adat tersebut juga bertentangan dengan norma-norma
kemanusiaan. Ditambah, kebanyakan laki-laki dan perempuan yang dikawinkan secara
paksa terhitung masih dibawah umur dan belum matang jika dihadapkan dengan
persoalan perkawinan. Oleh karena itu, adat yang dimiliki oleh masyarakat Batak
Angkolan tersebut, lebih baik dihilangkan dan tidak usah lagi dilakukan. Pandangan
terhadap upaya menghilangkan sistem perkawinan atas dasar kehendak orang tua (kawin
paksa) tersebut digambarkan dalam novel Azab dan Sengsara pada kutipan berikut :
“Nyata sekarang betapa berbahayanya perkawinan yang dipaksakan itu, yang
tiada disertai kasih keduanya. Maka jadi kewajibanlah bagi tiap–tiap orang yang
tahu akan membuangkan adat itu dan kebiasaaan yang mendatangkan
kecelakaan kepada manusia itu. Bukankah perkawinan yang lekas–lekas itu
membinasakan perempuan? Ia dikawinkan oleh orang tuanya dengan orang yang
tidak disukainya” (Siregar : 67)
Dari kutipan di atas terlihat bahwa sang pengarang, Merari Siregar, berusaha
menyampaikan pesan kepada pembacanya lewat karyanya yang berjudul Azab dan
Sengsara agar menentang sistem perkawinan dengan cara paksa. Tradisi kawin paksa
tersebut merupakan tradisi yang sudah turun temurun. Dalam novel Azab dan Sengsara
juga diceritakan bahwa Nuria, Ibu Mariamin, dulunya juga dijodohkan dengan Ayah
Mariamin. Selama menjalani perkawinannya dengan Sutan Baringin, Nuria menjadi
pihak yang terus-menerus mengalah dan harus sabar menghadapi sikap Sutan Baringin
yang susah untuk dinasehati. Dari sana nampak bahwa dalam ikatan perkawinan itu ada
pihak yang tidak bahagia. Jika adat tersebut tetap dilanjutkan maka tidak akan ada yang
namanya kebahagiaan dalam perkawinan bahkan dapat berujung perceraian.
Seperti halnya nasib perkawinan Mariamin dan Kasibun, seorang pegawai
perkebunan yang sedang bertugas di Medan. Perkawinan mereka tidak didasari rasa suka
maupun cinta kasih. Ibu Mariamin menjodohkan Mariamin dengan Kasibun akibat
tekanan ekonomi. Pilihan orang tua tidak selamanya benar. Ternyata Kasibun adalah laki-
laki yang suka main tangan, pencemburu, dan suka main wanita. Akibatnya dalam
kehidupak perkawinannya sering terjadi cek-cok, bahkan Mariamin kerap kali
mendapatan kekerasan dari sang suami. Karena tidak kuat menghadapi sikap Kasibun
yang demikian, akhirnya Mariamin memutuskan untuk melarikan diri dari rumah lalu
bercerai dari Kasibun. Itulah akibat dai kawin paksa yang ada dalam novel Azab dan
Sengsara.
Menilik sikap Baginda Diatas, ayah Aminudin, yang tidak menyetujui hubungan
Mariamin dan Aminudin karena Mariamin menjadi orang miskin semenjak kematian
ayahnya sebenarnya telah menyalahi adat masyarakat Batak Angkola. Sebab hubungan
yang dijalin Aminudin dan Mariamin itu bukanlah hubungan semarga yang ditentang oleh
adat, namun merupakan hubungan yang seharusnya sangat didukung oleh para orang tua
seperti apa yang sudah dijelaskan tadi di atas. Para orang tua tidak boleh menggagalkan
hubungan mereka, bahkan mengharuskan ke jenjang perkawinan, yakni disebut dengan
perkawinan manyonduti (perkawinan kembali ke pangkal keluarga).
Selain sistem perkawinan dengan cara paksa, dalam novel Azab dan sengsara juga
terdapat sistem pembagian harta warisan. Masyarakat Batak Angkola mempunyai
struktur kekeluargaan patrilineal yaitu suatu adat masyarakat yang mengatur alur
keturunan berasal dari pihak ayah. Dalam hubungan dengan perkawinan, pasangan yang
baru kawin bertempat tinggal di rumah pihak laki-laki. Begitu pula dengan harta, tanah
yang menjadi harta penting dalam keluarga diturunkan dari ayah kepada anak laki-lakinya
yang lahir dari perkawinan. Dalam novel Azab dan Sengsara digambarkan sistem
pembagian warisan pada kutipan berikut :
“Dalam masyarakat Batak Angkola harta Nenek diturunkan ke anak, dan dari
anak ke cucu dan seterusnya); oleh karena itu Sutan Baringin bersaudara dua
orang (sama laki– laki), maka dalam pembagian pun di bagi dua”.
Di dalam novel Azab dan Sengsara juga disebutkan tradisi mertandang.
Martandang merupakan kunjungan laki-laki ke rumah atau tempat yang sudah disepakati
untuk bertemu dengan perempuan baik sebagai teman biasa maupun sudah menjadi
kekasih baginya. Dalam pergaulan laki-perempuan, martandang ini sudah menjadi
kebiasaan bagi masyarakat Batak Angkola baik dulu dan juga sekarang. Kebiasaan
tersebut dimaksudkan agar para laki-laki dan perempuan bisa berkenalan dengan baik.
Tradisi martandang ini bisa terlihat ketika Mariamin sedang menunggu Aminudin di
suatu tempat seperti tampak pada kutipan berikut :
“ ‘Ah, rupanya hari sudah malam. Dari tadi saya menunggu-nunggu angkang,’
sahut gadis itu seraya berdiri dari batu besar itu, yang biasa tempat dia duduk
pada waktu petang. ‘Marilah kita naik, Angkang!’ ”.
Meskipun martandang sudah menjadi trdisi bagi masyarakat Batak Angkola dan
baik laki-laki maupun perempuan dibenarkan mendatangi rumah calon pasangan
hidupnya, akan tetapi para orang tua selalu memberikan pengawasan yang ketat kepada
anak-anaknya. Karena seperti apapun dekatnya hubungan antara laki-laki dan perempuan
tadi dalam bergaul melalui yang disebut martandang, masalah jodoh harus orang tua yang
memberikan pertimbangan dan keputusan. Jika dalam novel Azab dan Sengsara
Mariamin dan Aminudin merupakan dua orang yang dekat dan melakukan tradisi
martandang tadi, namun pada akhirnya mereka tidak bisa bersatu karena yang bisa
memilihkan jodoh adalah para orang tua mereka.

Anda mungkin juga menyukai