Tribun News
Arkeolog Universitas Syah Kuala, DR Husaini Ibrahim, M.A menceritakan asal muasal Suku
Mante di Aceh. Berdasarkan literasi sejarah, Suku Mante termasuk suku bangsa melayu kuno
yang diperkirakan datang ke Aceh sejak 3 ribu tahun sebelum Masehi. Berdasarkan
pernyataan Husaini, suku ini berasal dari Campha, Kamboja.
Sejak dulu, diketahui Suku Mante suka menyendiri di hutan. Awalnya, Suku Mante
mendiami hutan di kawasan Aceh Besar daerah Jantho. Kemudian menyebar ke sejumlah
hutan di Aceh seperti Tangse, Geumpang, Pidie dan Aceh Tengah. Setelah masuknya Islam
pada abad ke-3, sebagian Suku Mante ada yang memeluk agama Islam. Sebagiannya lagi
menolak, memilih melarikan diri dan mengasingkan diri ke dalam hutan.
Hal inilah yang membuat Suku Mante, pada saat ini dianggap sudah punah, karena sulit
ditemukan keberadaannya. Tapi sebuah video viral telah menampilkan sosok yang dianggap
sebagai Suku Mante.
tribunnews
Suku Kubu atau yang biasa disebut Suku Anak Dalam adalah satu suku minoritas yang hidup
di wilayah Propinsi Jambi dan Sumatra Selatan. Menurut tradisi lisan, Suku Kubu merupakan
orang Maalau Sesat yang lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit
Duabelas. Mereka kemudian disebut Moyang Segayo.
Tradisi lain menyebutkan, mereka berasal dari Paguruyuang, yang mengungsi ke Jambi. Ini
diperkuat dengan kenyataan, adat Suku Anak Dalam memiliki kesamaan bahasa dengan Suku
Mingkabau.
Suku Anak Dalam hidup secara nomaden yaitu berpindah-pindah dari satu hutan ke hutan
lainnya. Mereka berburu dan meramu untuk memenuhi kebutuan makanan, akan tetapi
sebagian dari mereka sekarang sudah ada yang memiliki lahan karet dan lahan pertanian
lainnya.
Walau belum punah, namun kondisi Suku Anak Dalam sangat memprihatinkan dan terancam.
Kondisi ini disebabkan oleh semakin sedikitnya wilayah hutan untuk mereka jelajahi karena
penebangan hutan yang terjadi di Jambi dan Sumatra Selatan.
Penyebab lainnya, Taman Nasional Bukit Duabelas itu sendiri, setelah diresmikan, mereka
kehilangan hak untuk mengelola hutan. Pencemaran air sungai juga turut memperburuk
keadaan, karena Suku Anak Dalam masih bergantung dengan air sungai sebagai sumber air
mereka.
playbuzz
Lanjutkan membaca artikel di bawah
Editors’ picks
'Polahi' yang artinya pelarian, merupakan sebutan orang Gorontalo untuk suku terasing yang
hidup di pedalaman hutan Baliyohuto, Provinsi Gorontalo. Menurut cerita yang beredar di
masyarakat, sejatinya Suku Polahi merupakan warga Gorontalo yang pada waktu penjajahan
Belanda dulu melarikan diri ke hutan.
Pemimpin mereka waktu itu tidak mau dijajah oleh Belanda. Mereka hidup beradaptasi
dengan hutan. Setelah Indonesia merdeka turunan polahi masih tinggal di hutan. Sikap anti
penjajah tersebut terbawa terus secara turun temurun, sehingga orang lain dari luar Suku
Polahi dianggap penindas dan penjajah.
Keterasingan mereka di hutan membuat Suku Polahi tidak terjangkau dengan etik sosial,
pendidikan dan agama. Keturunan Suku Polahi menjadi warga yang sangat termarginalkan
dan tidak mengenal tata sosial pada umumnya. Mereka juga tidak mengenal baca dan tulis.
Dulu Suku Polahi tidak mengenal pakaian, mereka hanya menggunakan semacam cawat yang
terbuat dari kulit kayu atau daun woka untuk menutupi kemaluan mereka. Sedangkan di
bagian dada dibiarkan terbuka, termasuk wanitanya. Tapi sekarang mereka sudah mulai
menggunakan pakaian, mereka sudah berpakaian layaknya warga lokal lainnya.
Kebiasaan primitif yang hingga kini masih dipertahankan oleh Suku Polahi adalah kawin
dengan sesama saudara. Bagi mereka kawin dengan sesama saudara kandung adalah cara
mempertahankan keturunan Suku Polahi. Mereka tidak mengerti bahwa inses dilarang.
Dibandingkan dengan suku-suku pedalaman lainnya di Indonesia, mungkin hanya Suku
Polahi yang mempunyai kebiasaan primitif ini.
mobgenic
Suku Korowai adalah suku yang baru ditemukan keberadaannya sekitar 30 tahun yang lalu di
pedalaman Papua, Indonesia dan berpopulasi sekitar 3 ribu orang. Sampai tahun 1970-an,
mereka tidak mengetahui keberadaan setiap orang selain kelompok mereka. Suku Korowai
mendiami wilayah Kaibar, Kabupaten Mappi, Papua. Suku Korowai baru ditemukan oleh
misionaris Belanda pada tahun 1974.
Suku terasing ini hidup di rumah yang dibangun di atas pohon, disebut sebagai Rumah
Tinggi. Beberapa rumah mereka bahkan bisa mencapai ketinggian sampai 50 meter dari
permukaan tanah. Rumah-rumah panggung ini didesain sedemikian rupa sehingga terlindung
dari banjir, kebakaran, atau serangan hewan liar. Setiap rumah panggung biasanya dihununi
satu klan. Tempat tinggal ini dibagi menjadi dua, yaitu daerah khusus pria dan wanita.
Suku Korowai sehari-hari hanya mengenakan pakaian dari dedaunan. Mereka dikenal sebagai
pemburu ulung, dan memiliki berbagai bentuk senjata yang disesuaikan dengan buruannya.
Untuk membunuh babi hutan, misalnya, mereka memiliki tombak khusus yang berbeda dari
tombak untuk menebang sagu, atau bahkan untuk membunuh manusia.
Suku Korowai sejauh ini masih memiliki kebiasaan primitif yaitu memakan daging manusia.
Namun ritual ini sudah jauh berkurang sejak mereka mulai mengenal dunia luar.
Suku Korowai tidak mengonsumsi daging manusia secara sembarangan.
Sebab, berdasarkan kepercayaan setempat, suku Korowai hanya membunuh manusia yang
dianggap melanggar aturan terhadap kepercayaan mereka. Jadi, bagi Suku Korowai,
membunuh dan memakan daging manusia adalah bagian dari sistem peradilan pidana
mereka.
Bagi sebagian besar orang, kanibalisme mungkin sesuatu yang tak masuk akal dan
mengerikan pada zaman modern seperti sekarang. Faktanya, hal ini masih dijumpai di
Korowai, meski dengan alasan-alasan khusus. Hampir semua orang dalam Suku Korowai
pernah ikut memakan daging manusia. Jadi, bagi mereka, kanibalisme bukan sesuatu yang
tabu.
phinemo
Masyarakat Samin sendiri juga mengisolasi diri. Baru pada tahun 70-an, mereka baru tahu
Indonesia telah merdeka. Kelompok Samin ini tersebar sampai Jawa Tengah, namun
konsentrasi terbesarnya berada di kawasan Blora, Jawa Tengah dan Bojonegoro, Jawa Timur
yang masing-masing bermukim di perbatasan kedua wilayah. Jumlah mereka tidak banyak
dan tinggal di kawasan pegunungan Kendeng di perbatasan dua provinsi.
Kelompok Samin lebih suka disebut wong sikep, karena kata samin bagi mereka mengandung
makna negatif. Orang luar Samin sering menganggap mereka sebagai kelompok yang lugu,
tidak suka mencuri, menolak membayar pajak, dan acap menjadi bahan lelucon terutama di
kalangan masyarakat Bojonegoro.
Pakaian orang Samin biasanya berupa baju lengan panjang tanpa kerah, berwarna hitam.
Laki-laki memakai ikat kepala. Untuk pakaian wanita bentuknya kebayanya lengan panjang,
berkain sebatas di bawah tempurung lutut atau di atas mata kaki.