Anda di halaman 1dari 3

Antropologi Maritim dan Pembangunan Wilayah

Pesisir Indonesia
Oleh␣ Nopi Fajar Prasetyo|Telah Terbit 13 Desember 2015

Beberapa waktu ke belakang sempat beredar informasi mengenai perekrutan tenaga ahli antropologi untuk
mengisi pos-pos di Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP). Upaya itu dilakukan untuk mengatasi kendala-
kendala kultural di dalam pelaksanaan program kerja KKP di berbagai daerah. Berita tersebut seperti sebuah
angin segar di antara kekhawatiran minimnya pelibatan antropolog dalam kebijakan atau program kerja
pemerintah. Memang, antropologi telah menyiapkan seperangkat pengetahuan dan keterampilan agar memiliki
kompetensi di bidang ini, yakni dengan mengembangkan kajian Antropologi Maritim. Secara sederhana, kita
dapat mendefinisikan antropologi maritim sebagai sebuah ilmu yang mengkaji atau mempelajari sistem
kebudayaan, sikap-sikap, serta aktivitas dan kehidupan sosial manusia dalam sebuah wilayah maritim.
Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana dan seberapa jauh antropolog dapat berperan dalam isu-isu
kemaritiman?

Menyelami Persoalan Mendasar

Dalam kajian maritim, pendekatan antropologi cenderung melihat pada persoalan relasi sosial antar
manusianya, misalnya tentang kehidupan masyarakat nelayan. Sama halnya saat mempelajari masyarakat
petani, antropologi melihat masyarakat nelayan tidak lepas dari pelapisan struktur sosial. Pertama, lapisan para
pemilik modal, yaitu orang yang menyediakan dana, alat penangkap ikan dan perahu. Biasanya secara aktif
mengurusi bagi hasil dan distribusi serta pemasaran produk-produk laut. Kedua, lapisan para Juragan yaitu
nelayan yang menyewa alat penangkap ikan dan perahu dari pemilik modal. Juragan juga mengatur atau
memimpin kegiatan para nelayan yang melakukan penangkapan ikan di laut. Ketiga, lapisan para nelayan buruh
yang tidak memiliki modal dan hanya menawarkan jasa tenaga yang sesuai untuk kemampuannya.

Pelapisan sosial yang terjadi pada dasarnya memiliki peran dalam menyebabkan terjadinya kemiskinan secara
struktural pada masyarakat nelayan. Sederhananya, kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang telah
dikondisikan. Struktur sosial di masyarakat nelayan menyebabkan pemilik modal dan juragan menguasai
perputaran modal yang ada. Mereka memanfaatkan orang-orang tak berpunya agar mau bekerja dengan gaji
yang minim. Sebagai orang tak punya, demi memperoleh penghasilan, nelayan buruh terpaksa menjalani peran
itu, dengan gaji yang hanya cukup untuk sekedar hidup. Bahkan penghasilan nelayan buruh itu pun sering kali
sudah terpotong oleh hutang, atau malah dihamburkan untuk hiburan-hiburan yang disediakan oleh para
juragan. Sudah tentu kecil kesempatan nelayan buruh untuk turut mengakumulasi kekayaan. Akibatnya, mereka
terjerat dalam jaring kemiskinan yang ditebar para juragan. Terjebak dalam satu ikatan semi perbudakan, yang
populer dikenal dengan sistem patron-client. Inilah yang disebut dengan kemiskinan struktural pada masyarakat
nelayan.

Persoalan kemiskinan struktural seperti ini sesungguhnya umum terjadi di wilayah pesisir nusantara, dan telah
menjadi perhatian utama dari KKP. Namun, persoalan ini sering kali hanya dilihat di permukaannya saja oleh
para perancang kebijakan. Sebab, tidak mudah untuk menyingkap kebenarannya akibat terhalang oleh barier-
barier budaya antara pemahaman perancang kebijakan dan konteks yang terjadi di masyarakat setempat.
Apalagi tingkat keragaman etnis di nusantara sangat tinggi, sehingga makin rumitlah proses pemahaman itu.
Sebab itulah, kebanyakan program pembangunan masyarakat pesisir tidak tepat sasaran. Sumber daya yang
datang dari program, alih-alih memberdayakan nelayan buruh, malah berkumpul menjadi aset bagi para pemilik
modal dan juragan. Pada aspek inilah para pembuat kebijakan membutuhkan bantuan dari para antropolog
untuk membuat analisis yang tepat tentang kondisi suatu masyarakat pesisir dan agenda perubahan seperti apa
yang perlu dilakukan.

Menggali Pelajaran dari Kearifan Lokal

Selain dari persoalan kemiskinan struktural, permasalahan lainnya yang sering kali menjadi perhatian para
antropolog adalah isu perebutan antar nelayan dalam pemanfaatan sumber daya perairan yang tersedia di
wilayah mereka. Sumber daya perairan pada dasarnya merupakan sumber daya milik umum (common property
resources) yang siapa pun secara terbuka dapat memanfaatkannya. Persepsi dominan terhadap eksistensi
sumber daya perikanan sebagai milik umum telah mendorong kebebasan yang penuh untuk memanfaatkannya.
Demikian pula, masih kuatnya pandangan masyarakat kita bahwa isi laut tidak akan habis justru mengarahkan
kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan menjadi cenderung tindak terkontrol dan eksploitatif. Jika keadaan
demikian terus berlangsung tanpa ada kontrol sosial yang efektif, kelangkaan atau bahkan kerusakan sumber
daya perairan akan sulit dihindari. Bukan tidak mungkin akan terjadi apa yang disebut Hardin (1968), sebagai
tragedy of the commons atau “tragedi kepemilikan bersama,” yang menyebabkan “kerugian besar untuk
semua.” Jika hal demikian benar terjadi maka bukan hanya generasi sekarang saja yang harus menanggung
risikonya tetapi juga generasi yang akan mendatang.

Keadaan yang demikian tentu sangat tidak diharapkan terjadi. Pemerintah perlu sedini mungkin mendeteksi
adanya tendensi negatif yang akan muncul dalam setiap praktik pengelolaan sumber daya perairan. Hal itu
sebenarnya juga bisa dipelajari pemerintah dari masyarakat pesisir itu sendiri. Setiap masyarakat pesisir
memiliki cara pandangnya tersendiri dalam melihat laut dan segala isinya, atau dalam terminologi yang lebih
umum seringkali kita sebut sebagai kearifan lokal. Dalam hal ini, kemampuan mengidentifikasi kemudian
menganalisa bagaimana kearifan lokal bekerja merupakan salah satu peran yang dapat diambil oleh seorang
antropolog untuk membantu para pembuat kebijakan. Bagi para pembuat kebijakan, kemampuan itu sangat
dibutuhkan untuk memastikan program yang dilaksanakan dapat berjalan beriringan dengan masyarakat lokal.
Misalnya, studi-studi antropologi maritim sejauh ini memperlihatkan bahwa sumber daya perairan di samping
sebagai sumber daya milik umum, juga ditemukan adanya tata kelola secara adat dari masyarakat nelayan yang
mendiami suatu kawasan pesisir (Kusnadi, 2002). Tata kelola secara adat itu, jika berjalan dengan benar,
terbukti efektif dalam menjaga relasi-relasi antara kelompok-kelompok nelayan yang ada, misalnya seperti
sistem “sasi laut“ di Sulawesi. Dengan memahami tentang pengetahuan lokal itu, pembuat kebijakan bisa
memasukkannya dalam agenda pembangunan yang akan dijalankan pada wilayah tersebut.

Peran Lebih Jauh?

 
Apakah peran antropolog berhenti hanya sampai di situ, hanya sekedar penyaji analisis saja? Tentunya tidak.
Agar agenda itu tercapai, perlu adanya pendampingan yang intensif bagi masyarakat penerima program. Perlu
dilakukan upaya-upaya untuk mengaktifkan modal sosial di masyarakat, melihat bagaimana program
berdampak pada masyarakat, dan bagaimana adaptasi yang dilakukan oleh pelaksana program dan masyarakat.
Untuk itu, para antropolog dapat berperan lebih jauh dengan menjadi penyambung lidah, mata dan telinga
antara masyarakat dan pemerintah begitu pun sebaliknya, dan yang paling utama adalah memastikan bahwa
program yang dijalankan memang diarahkan pada perubahan sosial yang diharapkan.

Jika program itu untuk peningkatan kesejahteraan nelayan. Maka hendaknya sampai pada tingkat di mana
nelayan miskin tidak hanya keluar dari situasi kemiskinan secara temporer, tetapi juga bermakna pada
penciptaan kemampuan bagi mereka untuk secara mandiri mengatasi masalah-masalah yang akan datang. Dan
jika program itu untuk memperbaiki relasi-relasi sosial antara para nelayan dalam pengelolaan sumber daya
perairan. Maka hendaknya hingga sampai pada terwujudnya kolaborasi serta partisipasi aktif berbagai unsur
dengan tujuan pada peningkatan kesejahteraan materil maupun psikologis, baik itu dalam tingkat individu
maupun komunitas, dan berhasil merevitalisasi peran penting dari suatu pengetahuan lokal dari masyarakat
tersebut. Demikianlah hal-hal yang dapat disumbangkan antropologi maritim dalam upaya pembangunan
wilayah pesisir di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai