Anda di halaman 1dari 12

Tinjauan Filsafat

Dalam filsafat ilmu, suatu disiplin ilmu dapat dinyatakan sebagai pengetahuan, jika
memenuhi kriteria :
Ontology yang mencakup apa/hakikat ilmu/kebenaran/Ilmiah, Obyek apa yang ditelaah ilmu ?
Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi
dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan ?

Epistemology mencakup metode dan paradigma Bagaimana proses yang memungkinkan


ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus
diperhatikan agar mendakan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang
disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara, teknik, sarana apa yang membantu kita
dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?

Aksiologi mencakup tujuan/nilai-nilai imperatif/sikap (attitude). Untuk apa pengetahuan yang


berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan
kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan
moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode
ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?

Pengertian Epistemology
Secara historis, istilah epistemologi digunakan pertama kali oleh J.F. Ferrier, untuk
membedakan dua cabang filsafat, epistemologi dan ontologi. Sebagai sub sistem filsafat,
epistemologi ternyata menyimpan “misteri” pemaknaan atau pengertian yang tidak mudah
dipahami. Pengertian epistemologi ini cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka
memiliki sudut pandang yang berbeda ketika mengungkapkannya, sehingga didapatkan
pengertian yang berbeda-beda, bukan saja pada redaksinya, melainkan juga pada substansi
persoalannya.

            Substansi persoalan menjadi titik sentral dalam upaya memahami pengertian suatu
konsep, meskipun ciri-ciri yang melekat padanya juga tidak bisa diabaikan. Lazimnya,
pembahasan konsep apa pun, selalu diawali dengan memperkenalkan pengertian (definisi)
secara teknis, guna mengungkap substansi persoalan yang terkandung dalam konsep
tersebut. Hal iini berfungsi mempermudah dan memperjelas pembahasan konsep
selanjutnya. Misalnya, seseorang tidak akan mampu menjelaskan persoalan-persoalan
belajar secara mendetail jika dia belum bisa memahami substansi belajar itu sendiri. Setelah
memahami substansi belajar tersebut, dia baru bisa menjelaskan proses belajar, gaya belajar,
teori belajar, prinsip-prinsip belajar, hambatan-hambatan belajar, cara mengetasi hambatan
belajar dan sebagainya. Jadi, pemahaman terhadap substansi suatu konsep merupakan
“jalan pembuka” bagi pembahasan-pembahasan selanjutnya yang sedang dibahas dan
substansi konsep itu biasanya terkandung dalam definisi (pengertian).

            Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara


etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme berarti pengetahuan, dan
logos berarti teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang
mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya)
pengetahuan.

Dalam Epistemologi, pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui”?
Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah: 1.Bagaimanakah manusia dapat
mengetahui sesuatu?; 2). Dari mana pengetahuan itu dapat diperoleh?; 3). Bagaimanakah
validitas pengetahuan a priori (pengetahuan pra pengalaman) dengan pengetahuan a
posteriori (pengetahuan purna pengalaman)  (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2003, hal.32).

Pengertian lain, menyatakan bahwa epistemologi merupakan pembahasan mengenai


bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber pengetahuan ? apakah
hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang
mungkin untuk ditangkap manuasia (William S.Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, 1965,
dalam Jujun S.Suriasumantri, 2005).

Menurut Musa Asy’arie, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai
hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang sistematik dan metodik untuk
menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu.

Filsafat ilmu berkembang dari dua cabang utama meliputi filsafat alam dan filsafat moral.
Filsafat alam menjadi rumpun ilmu-ilmu alam (natural sciences) sedangkan filsafat moral
menjadi rumpun ilmu-ilmu sosial (social sciences). Selanjutnya, kelompok ilmu-ilmu alam
mempunyai cabang utama ilmu alam (physical sciences) dan ilmu hayat (biological sciences).
Cabang ilmu-ilmu alam yang menunjukkan ilmu perikanan berada pada garis cabang
keilmuan ilmu hayat. Ilmu senantiasa berkembang, bagaikan pohon yang semakin
membesar, tumbuh cabang, anak cabang, ranting hingga semakin rimbun. Hal ini disebabkan
oleh manusia memiliki rasa ingin tahu yang besar serta ditunjang oleh perkembangan ilmu
pengetahuan yang lain seperti kimia, fisika dan teknologi. Dalam The New Britannica
Encyclopedia, pohon ilmu mempunyai lima cabang, yaitu Logika (Logic), Matematika
(Mathematics), Ilmu Alam (Natural Sciences), Sejarah dan Humaniora (History and
Humanities), dan Filsafat (Philosophy). Selanjutnya, cabang Ilmu Alam mempunyai ranting-
ranting keilmuan

Sejarah dan Filsafat Ilmu (History and Philosphy of Science), Ilmu-ilmu Fisika (Physical
Sciences), Ilmu Bumi (Earth Science), Ilmu-ilmu Biologi (Biological Sciences), Ilmu Kedokteran
dan disiplin ilmu yang tergabung di dalamnya (Medicine and affiliated disciplines), Ilmu Sosial
dan Psikologi (Social Sciences and Psychology), dan Ilmu-ilmu Teknik (Technological Sciences).
Dalam Ilmu-ilmu perikanan, dibahas tentang sejarah ilmu perikanan (history of fisheries
science), bidang biding praktek atau penelitian perikanan khusus, dan disiplin ilmu yang
tergabung dalam ilmu perikanan (disciplines of affiliated with fishery). Sumber lain juga
menyebutkan bahwa ilmu perikanan termasuk dalam cabang Biologi Terapan yang bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan manusia, Pada abad penalaran, konsep dasar keilmuan
berubah dari kesamaan menjadi pembedaan khususnya antar berbagai pengetahuan,
sehingga memunculkan spesialisasi pekerjaan dan perubahan struktur di masyarakat. Pohon
pengetahuan dibedakan berdasarkan apa yang diketahui, bagaimana cara mengetahui, dan
untuk apa pengetahuan digunakan. Namun, dengan pembedaan keilmuan justru
menimbulkan berbagai masalah dan kerumitan, sehingga menyebabkan sebagian orang
melakukan pendekatan inter-disipliner. Dalam perkembangannya sains dan teknologi juga
sangat berperan di dalam pembangunan sistem kelautan dan perikanan di dunia secara
global dan Indonesia pada khususnya. Sebagai tilik kaji melihat pasang surut perkembangan
Kelautan dan Perikanan di Indonesia, manakala banyak orang awam berpendapat bahwa
kita adalah negara maritim, tetapi dengan melihat bagaimana perikanan tangkap di
Indonesia yang ditinjau dari aspek filsafat dan analisis keberlanjutannya adalah murapakan
sebuah cermin yang curam.

2. Kajian Epistemologi Ilmu Perikanan


Epistemologi atau sejarah perkembangan keilmuan dalam menelaah asal mula dan
ruang lingkup suatu ranah pengetahuan yang berupaya menjawab pertanyaan ‘bagaimana
ilmu pengetahuan didapatkan dan dibangun?’ Dengan kata lain epistemologi adalah sarana,
sumber, metoda menggunakan langkah maju menuju ilmu pengetahuan.
Peninjauan terhadap sisi Epistemologis profil perkembangan ilmu perikanan khususnya di
indonesia tidak terlepas dari kondisi demografi masyarakat pesisir indonesia yang hidupnya
bergantung dari laut (masyarakat nelayan). Hal ini menekankan bahwa profil nelayan
tradisional walaupun pada umumnya cukup terampil menggunakan peralatan yang
dimilikinya dengan sarana penangkapan ikan dan kemampuan yang sangat terbatas dan
seringkali sulit untuk ditingkatkan ke arah yang lebih modern. Posisi ekonomi nelayan yang
sangat rendah diakibatkan karena modal terbatas, produktivitas yang rendah dengan hasil
tangkapan ikan yang tidak menentu sebagai akibat pengaruh musim, juga dengan jaminan
pemasaran ikan yang tidak menentu karena masih terdapatnya berbagai kendala dalam
penentuan harga jual pada tingkat nelayan.
Hal lain yang juga menarik adalah kondisi psikologis dan sosologis masyarakat
nelayan, umumnya berada dalam lingkungan hidup sosial yang cenderung tidak memikirkan
hari depannya, dan karenanya kurang kesadaran untuk menyimpan sebagian pendapatan
yang diperolehnya terutama pada saat musim ikan. Kondisi seperti di atas ternyata
merupakan peluang bagi tumbuh suburnya para tengkulak, dengan memanfaatkan berbagai
macam kelemahan yang dimiliki para nelayan tradisional.

3. Manajemen Pengelolaan Perikanan

Nielsen, 1976 mengemukakan bahwa perhatian dunia akan pengelolaan perikanan telah
berkembang sejak tahun 1850. Sebelum tahun 1850, negara-negara di dunia (sebagaian besar
masih berbentuk kerajaan) masih menganggap bahwa ikan merupakan sumber daya laut yang
tidak akan ada habisnya (inexhaustibility). Berdasarkan konsep inexhaustibility inilah maka
Hugo Grotius pada tahun 1608 memperkenalkan prinsip “free access to the living resources”
yang terkait dengan prinsip “freedom of the seas”. Di satu sisi, menetapkan garis batas pada
laut lepas dan menegakkan batas-batas tersebut adalah tugas yang berat. Di sisi lain, jika ikan
dan sumber daya laut lainnya dapat diambil tanpa batas, maka mempertahankan hak
ekslusif atas sumber daya laut menjadi tidak penting. Oleh karenanya, pada saat itu,
pengelolaan perikanan bukan dianggap sebagai prioritas utama bagi Negara Pantai
dibandingkan dengan pelayaran dan perdagangan.
Menurut Saraghe and Lundbtck (1994), para ahli sejarah perikanan dunia membagi
periode sejarah perikanan tangkap pada tataran global menjadi tiga periode, yakni pra-
industri, industri dan krisis.

1. Periode Pra-Industri
Periode pertama: Pra-industri perikanan berlangsung sangat lama, jutaan tahun, sejak
pertama kali manusia primitif dengan tangan atau peralatan seadanya mengumpulkan ikan
dari tepian pantai, sungai dan perairan lainnya sampai ditetapkannya ikan (seafood) sebagai
komoditas ekonomi. Periode ini diperkirakan berlangsung sampai pada akhir abad ke-19.

2. Periode Industri
Perikanan industri yang diawali dengan penggunaan kapal penangkap ikan bermesin
pertama berlangsung kurang dari 200 tahun. Sejak awal abad ke-20, dunia usaha perikanan
telah mentransformasi dirinya dari yang bersifat subsisten (artisanal) menjadi salah satu
industri penghasil dan pengolah makanan terbesar di dunia. Armada perikanan modern
berskala besar dengan ukuran kapal mencapai ribuan ton dan dilengkapi alat tangkap
modern (seperti trawlers, purse seines, long-lines beserta peralatan pendukungnya termasuk
fish finders, GPS, GIS dan remote sensing) berkembang sangat pesat, utamanya di negara-
negara Eropa (Spanyol, Uni Soviet, Portugis, Islandia, Norwegia, Italia dan Inggris), Amerika
Utara (AS dan Kanada), dan Asia (Jepang, Cina, Taiwan, Korea Selatan dan Thailand).
Modernisasi untuk menangkap ikan dari laut secara besar-besaran juga dilakukan
negara-negara berkembang hampir di seluruh dunia. Akibatnya, laju penangkapan ikan di
berbagai laut dunia meningkat sangat tajam. Akhirnya total hasil tangkapan laut dunia
mencapai puncak (maximum sustainable yield atau potensi lestari maksimum) sekitar 100
juta ton/tahun pada 1995. Selanjutnya, menurut FAO (2006), total hasil tangkapan ikan dunia
terus menurun dari tahun ke tahun, yang kini hanya mencapai sekitar 80 juta ton.
Tingginya tingkat penangkapan (fishing intensity) itu mengakibatkan overfishing
(tangkap lebih) berbagai jenis stok ikan, terutama spesies yang bernilai ekonomi tinggi
(seperti tuna dan jenis ikan pelagis besar lainnya, cod, salmon, udang dan sardine) di
berbagai belahan laut dunia. Dari 14 daerah penangkapan ikan utama (major fishing grounds)
dunia, sembilan diantaranya telah mengalami eksploitasi penuh (fully exploited) atau
tangkap lebih (overfishing). Yang mengkhawatirkan adalah jumlah manusia dalam
dasawarsa terakhir lebih besar dari total produksi ikan dunia.

3. Periode Krisis
Sejak 1995 sebenarnya perikanan dunia sudah memasuki periode ketiga, yakni
periode krisis. Apabila cara-cara pengelolaan usaha perikanan tangkap tidak segera
diperbaiki, maka dikhawatirkan usaha perikanan tangkap dunia akan bangkrut (collapse).
Lamanya setiap periode sejarah perikanan tersebut bervariasi di setiap kawasan. Di negara-
negara Eropa dan Amerika Utara misalnya, periode ke-2 (perikanan industri) itu berakhir
pada awal 1980-an. Boleh jadi periode perikanan industri di Nusantara kita baru mulai sejak
diintroduksikannya penggunaan pukat harimau (trawlers) dan pukat cincin (purse seines),
sekitar awal 1970-an (Soewito dkk, 2000).

4. Pembangunan Perikanan Indonesia


Sejarah pembangunan perikanan di Indonesia secara garis besar dapat dibagi menjadi
empat periode: (1) masa kolonial, (2) masa kemerdekaan sampai 1967, (3) masa
pembangunan 1968 – 1999, dan (4) sejak berdirinya DKP/KKP (Soewito, 2000).

4.1. Masa Kolonial


Di masa penjajahan (kolonial), sektor perikanan dikelompokkan menjadi dua: (1)
perikanan laut yang mengurusi tentang usaha perikanan tangkap dan segenap aspek yang
terkait, dan (2) perikanan darat yang mengurusi segala aspek mengenai perikanan
budidaya.
Hampir seluruh kebijakan perikanan di zaman kolonial ditujukan untuk pemanfaatan
sumber daya ikan untuk memenuhi kebutuhan gizi manusia dan mendatangkan manfaat
ekonomi, terutama bagi penjajah Belanda dan Jepang. Kebijakan utama pada saat itu
meliputi: (1) penelitian potensi perikanan laut dan perikanan darat, (2) pengembangan
usaha perikanan tangkap dan perikanan budidaya, (3) penelitian dan pengembangan (R &
D) untuk menghasilkan teknologi yang dapat disebarluaskan kepada nelayan dan petani
ikan, (4) penyuluhan, (5) membentuk kelompok usaha perikanan seperti paguyuban
nelayan dan koperasi perikanan, (6) perlindungan sumberdaya ikan laut, dan (7)
pembentukan dan penyesuaian kelembagaan perikanan baik di tingkat pusat (Jakarta)
maupun di daerah-daerah.
Meskipun di masa kolonial, tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan laut masih sangat
rendah, kualitas perairan laut masih bersih (belum tercemar), dan perusakan terhadap
ekosistem pesisir (seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan estuari)
sangat terbatas dan tidak signifikan; tetapi Pemerintah Hindia Belanda saat itu telah
mengeluarkan sejumlah kebijakan dan peraturan- perundangan tentang perlindungan
sumberdaya ikan dan lingkungan laut.
Beberapa peraturan yang penting adalah Staatsblad 1916 No.157 tentang kerang
mutiara, teripang, dan bunga karang dalam batas alur laut tidak lebih dari 3 mil laut.
Staatsblad 1920 No. 396 tentang perlindungan sumberdaya ikan yang melarang
penangkapan ikan dengan menggunakan obat bius, bahan beracun, atau bahan peledak,
kecuali untuk kepentingan penelitian/ilmu pengetahuan dalam jangka waktu tertentu.
Staatsblad 1927 No. 145 tentang peraturan mengenai perburuan ikan paus dalam batas alur
laut 3 mil laut dari pantai seluruh Indonesia. Dan, penangkapan paus oleh nelayan Indonesia
yang telah melakukannya secara turun-temurun dibolehkan, sebagai pengecualian.
Selain itu, ada dua peraturan yang sifatnya lebih umum mengenai perikanan dan
kelautan, yaitu Staatsblad 1927 No. 144 tentang Ordonansi Perikanan Pantai, dan Staatsblad
1939 No. 442 tentang Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim yang di dalamnya
tercantum ketentuan perihal perikanan yang mengizinkan penangkapan ikan, selama tidak
bertentangan dengan kepentingan maritim.
Selama Perang Dunia II (1941 – 1945) praktis tidak ada kebijakan dan peraturan baru
yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya ikan dan perikanan secara keseluruhan.
Hampir semua aktivitas perikanan ditujukan untuk pengumpulan hasil perikanan sebagai
bahan makanan bagi tentara Jepang.

4.2. Masa Kemerdekaan – 1967


Sejak Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 sampai 1967, sebagian besar peraturan
dan perundangan tentang perikanan dan kelautan di zaman penjajahan masih diberlakukan.
Pada 1960, Pemerintah RI menerbitkan UU No. 4/1960 tentang Perairan Indonesia, yang
menyatakan bahwa wilayah Perairan Indonesia selebar 12 mil laut dari pantai. Kemudian,
dengan diberlakukannya Keppres No. 103/1963, maka wilayah Perairan Indonesia sebagai
lingkungan maritim tahun 1939 tidak berlaku lagi. Dengan demikian, sejak merdeka (1945)
sampai 1967 pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan pembangunan yang berarti,
termasuk di sektor perikanan, karena hampir seluruh energi dan kapasitasnya terpakai untuk
meredam berbagai gejolak politik, pergantian sistem pemerintahaan, dan pembenahan
organisasi pemerintahan.

4.3. Masa Pembangunan 1968 – 1999

Laju pemanfaatan sumberdaya ikan laut di masa kolonial hingga sebelum masa
pembangunan (1968) masih sangat rendah. Lebih dari 95 persen kegiatan perikanan
tangkap masih bersifat subsisten hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga nelayan
sendiri (Soewito, et al., 2000). Kemampuan nelayan beroperasi dengan perahu layarnya
hanya terbatas pada perairan laut yang dekat pantai (nearshore fisheries). Sementara itu,
kondisi lingkungan laut belum terpengaruh oleh pencemaran dan perusakan lingkungan
lainnya. Atas dasar kondisi nyata tersebut, sampai akhir 1973 Pemerintah RI c.q. Ditjen.
Perikanan belum menganggap perlu melakukan penelitian tentang besarnya potensi
sumberdaya ikan laut. Status pemanfaatan sumberdaya ikan laut saat itu dapat dikatakan
masih underfishing (kurang diusahakan), sehingga belum ada kebijakan dan peraturan yang
secara khusus membatasi intensitas (tingkat) pemanfaatan sumberdaya ikan laut.
Sebaliknya, sebagian besar kebijakan justru diorientasikan untuk meningkatkan produksi
perikanan, terutama dari perikanan tangkap di laut. Kondisi kebijakan semacam ini
berlangsung hingga akhir 1980-an.
Pada tahun 1973 dan 1974 dilakukan pendugaan stok (stock assessment) ikan secara
terbatas di wilayah Laut Indonesia, dan hasilnya mengungkapkan bahwa potensi produksi
lestari (Maximum Sustainable Yield, MSY) sumberdaya ikan Laut Indonesia adalah sekitar
4,5 juta ton/tahun. Kemudian, dengan diberlakukannya Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI) pada 1983 sebagai keputusan dari UNCLOS (United Nations Convention on the Law of
the Sea) 1982, maka potensi produksi lestari sumberdaya ikan Laut Indonesia bertambah
sebesar 2,1 juta ton/tahun menjadi 6,6 juta ton/tahun. Nilai inilah yang dijadikan dasar dalam
kebijakan pengembangan dan pengelolaan perikanan tangkap di laut sampai tahun 1991
(Soewito, et al., 2000).
Pendugaan stok sumberdaya ikan laut berikutnya dilaksanakan pada 1991 oleh Ditjen.
Perikanan, Puslitbang Perikanan, dan Puslitbang Oseanologi-LIPI. Hasilnya justru nilai MSY
sumberdaya ikan laut Indonesia hanya sekitar 6,4 juta ton/tahun. Namun, informasinya
menjadi lebih lengkap, dijabarkan lebih rinci menurut WPP (Wilayah Pengelolaan
Perikanan) yang jumlahnya sebanyak sembilan wilayah ketika itu, dan kelompok ikan, yakni
pelagis besar, pelagis kecil, demersal, udang penaeid, ikan karang konsumsi, dan lainnya.
Laju pemanfaatan sumberdaya ikan laut terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada
1975, tingkat pemanfaatannya baru sebesar 25 persen dari nilai MSY, kemudian meningkat
menjadi 38 persen dari nilai MSY, dan mencapai 64 persen dari nilai MSY pada 1999
(Soewito, et al., 2000; Ditjen. Perikanan, 2000). Namun, tingkat pemanfaatannya tidak
merata, baik antara wilayah Indonesia Timur dan wilayah Indonesia Barat maupun antar
wilayah pantai, lepas pantai, dan ZEEI. Hal ini disebabkan karena sebagian besar nelayan
(armada perikanan) merupakan nelayan skala kecil (artisanal) yang kegiatan operasi
penangkapannya berlangsung di perairan pantai (dangkal), terutama di Paparan Sunda,
seperti Laut Pantai Utara Jawa, Selat Malaka, Selat Karimata, Selat Bali, dan Pantai Selatan
Sulawesi. Di wilayah-wilayah laut dangkal ini, sejak awal 1990-an tingkat pemanfaatannya
sudah mencapi titik jenuh (fully exploited), dan untuk beberapa jenis stok ikan (udang
Penaeid dan ikan demersal) bahkan sudah overfishing (tangkap lebih).
Berdasarkan pada potensi sumberdaya ikan laut dan status pemanfaatannya, maka
berbagai kebijakan dan peraturan telah dikeluarkan pemerintah sejak 1968 hingga 1999
(sebelum dibentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan), berupa: (1) kebijakan
perlindungan sumberdaya ikan laut, dan (2) kebijakan pengaturan penangkapan ikan laut.
Kebijakan perlindungan sumberdaya ikan laut memberikan informasi bahwa
pengelolaan perikanan tangkap sejak masa Orde Baru sebenarnya sudah mulai dilakukan,
meskipun hanya focus pada aspek pemeliharaan ekosistem mangrove dan aspek
sumberdaya ikan dan kegiatan penangkapan ikan. Pada masa itu pengelolaan mangrove
menjadi tanggung jawab Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/Kotamadya, sedangkan
rencana pembinaan sumberdaya ikan yang terkait dengan mangrove oleh Dinas Perikanan
setempat. Kebijakan pengaturan penangkapan ikan laut yang berkaitan dengan
sumberdaya ikan dan teknologi penangkapan ikan menjadi mandate utama Direktorat
Jendral Perikanan beserta Dinas Perikanan Provinasi dan Kabupaten/Kota.
Isi dari kebijakan pengaturan penangkapan ikan laut meliputi: pembinaan kelestarian
kekayaan laut yang terdapat dalam sumberdaya perikanan Indonesia, ketentuan lebar mata
jaring “purse seine”, jalur-jalur penangkapan ikan, daerah penangkapan kapal trawl dasar,
jumlah kapal trawl dasar yang diijinkan beroperasi di setiap daerah penangkapan, larangan
operasi trawl, izin penangkapan udang dengan pukat udang sebagai pengganti jaring trawl,
dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

4.4. Sejak DKP/KKP Oktober 1999 – Sekarang


Keinginan agar Indonesia memiliki lembaga setingkat departemen yang khusus
membidangi urusan kelautan dan perikanan sudah digagas oleh para ahli, sarjana dan
praktisi bisnis perikanan dan kelautan sejak Konferensi Nasional Kelautan I pada tahun 1987
di Lembaga Oseanologi Nasional (LON) LIPI, Jakarta. Rekomendasi utamanya adalah
perlunya dibentuk Departemen Kelautan, Departemen Perikanan, atau Departemen
Kelautan dan Perikanan.
Hasil Musyawarah Perikanan Nasional yang diselenggarakan oleh Masyarakat
Perikanan Nusantara (MPN) di Hotel Indonesia pada akhir 1996, mendesak pemerintah agar
segera membentuk Departemen Perikanan. Semangat untuk membentuk departemen
khusus ini didasari suatu keyakinan dan professional judgement, bahwa sebagai negara
maritim dan kepulauan terbesar di dunia yang memiliki potensi pembangunan (ekonomi)
yang beragam dan sangat besar, sesungguhnya sumber daya kelautan dan perikanan dapat
menjadi soko guru (sumber pertumbuhan) ekonomi nasional dalam kerangka mewujudkan
Indonesia yang maju, makmur dan berdaulat. Namun, saat itu kontribusi sektor kelautan
dan perikanan terhadap perekonomian bangsa (PDB) masih relatif sangat kecil.
Kesenjangan antara potensi dan pencapaian hasil pembangunan tersebut, bisa jadi
disebabkan karena instansi yang menangani urusan kelautan dan perikanan hanya Direktorat
Jenderal Perikanan di bawah Departemen Pertanian. Lembaga selevel Direktorat Jenderal
terlalu kecil untuk mengelola wilayah dan sumber daya kelautan-perikanan yang sangat
beragam dan besar, melibatkan begitu banyak pemangku kepentingan (stakeholders), dan
meliputi rentang geografis yang sangat luas, dari Sabang sampai Merauke.
Presiden Abdurrahman Wahid, yang memimpin Kabinet Persatuan Indonesia
membentuk Departemen Eksplorasi Laut melalui Keppres No.355/M/1999 tertanggal 26
Oktober 1999. Ditunjuk sebagai menterinya adalah Ir. Sarwono Kusumaatmaja. Melalui
Kepres No.177/2000 namanya berubah menjadi Departemen Kalautan dan Perikanan
(Ministry of Marine Affairs and Fisheries). Berdasarkan UU No.31/September/2004 tentang
Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) juga memiliki tupoksi dalam
mengurusi industri pengolahan hasil perikanan dan pengadilan khusus perikanan.
Kondisi sumber daya kelautan dan perikanan yang diwariskan kepada DKP berada di
persimpangan jalan. Di satu sisi, potensi sumber daya perikanan, terutama perikanan
budidaya (di laut, perairan payau dan perairan tawar), masih sangat besar dan tingkat
pemanfaatannya masih rendah. Ini tentu menjanjikan prospek ekonomi yang cerah.
KESIMPULAN :
Satu prinsip yang harus dipegang dalam kebijakan perikanan dan kelautan saat ini
maupun yang akan datang dari pemangku kepentingan yaitu : bahwa " Bagaimanapun juga
perikanan Indonesia harus mampu menjadi tuan rumah di lautnya sendiri". Untuk mencapai
hal tersebut, maka harus diupayakan mentransformasi perikanan tradisonal kita menjadi
perikanan yang modern yang tangguh untuk memanfaatkan semua potensi sumberdaya
perikanan yang ada demi kesejahteraan masyarakat indonesia, yang sekaligus dapat
memainkan peran ganda dalam membantu menjalankan fungsi pengawasan terhadap
berbagai praktek ilegal yang dilakukan di laut, terutama oleh nelayan-nelayan kapal asing
yang masih berseliwuran menangkap ikan di perairan Indonesia tanpa dapat dihentikan.

Anda mungkin juga menyukai