Dalam filsafat ilmu, suatu disiplin ilmu dapat dinyatakan sebagai pengetahuan, jika
memenuhi kriteria :
Ontology yang mencakup apa/hakikat ilmu/kebenaran/Ilmiah, Obyek apa yang ditelaah ilmu ?
Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi
dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan ?
Pengertian Epistemology
Secara historis, istilah epistemologi digunakan pertama kali oleh J.F. Ferrier, untuk
membedakan dua cabang filsafat, epistemologi dan ontologi. Sebagai sub sistem filsafat,
epistemologi ternyata menyimpan “misteri” pemaknaan atau pengertian yang tidak mudah
dipahami. Pengertian epistemologi ini cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka
memiliki sudut pandang yang berbeda ketika mengungkapkannya, sehingga didapatkan
pengertian yang berbeda-beda, bukan saja pada redaksinya, melainkan juga pada substansi
persoalannya.
Substansi persoalan menjadi titik sentral dalam upaya memahami pengertian suatu
konsep, meskipun ciri-ciri yang melekat padanya juga tidak bisa diabaikan. Lazimnya,
pembahasan konsep apa pun, selalu diawali dengan memperkenalkan pengertian (definisi)
secara teknis, guna mengungkap substansi persoalan yang terkandung dalam konsep
tersebut. Hal iini berfungsi mempermudah dan memperjelas pembahasan konsep
selanjutnya. Misalnya, seseorang tidak akan mampu menjelaskan persoalan-persoalan
belajar secara mendetail jika dia belum bisa memahami substansi belajar itu sendiri. Setelah
memahami substansi belajar tersebut, dia baru bisa menjelaskan proses belajar, gaya belajar,
teori belajar, prinsip-prinsip belajar, hambatan-hambatan belajar, cara mengetasi hambatan
belajar dan sebagainya. Jadi, pemahaman terhadap substansi suatu konsep merupakan
“jalan pembuka” bagi pembahasan-pembahasan selanjutnya yang sedang dibahas dan
substansi konsep itu biasanya terkandung dalam definisi (pengertian).
Dalam Epistemologi, pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui”?
Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah: 1.Bagaimanakah manusia dapat
mengetahui sesuatu?; 2). Dari mana pengetahuan itu dapat diperoleh?; 3). Bagaimanakah
validitas pengetahuan a priori (pengetahuan pra pengalaman) dengan pengetahuan a
posteriori (pengetahuan purna pengalaman) (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2003, hal.32).
Menurut Musa Asy’arie, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai
hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang sistematik dan metodik untuk
menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu.
Filsafat ilmu berkembang dari dua cabang utama meliputi filsafat alam dan filsafat moral.
Filsafat alam menjadi rumpun ilmu-ilmu alam (natural sciences) sedangkan filsafat moral
menjadi rumpun ilmu-ilmu sosial (social sciences). Selanjutnya, kelompok ilmu-ilmu alam
mempunyai cabang utama ilmu alam (physical sciences) dan ilmu hayat (biological sciences).
Cabang ilmu-ilmu alam yang menunjukkan ilmu perikanan berada pada garis cabang
keilmuan ilmu hayat. Ilmu senantiasa berkembang, bagaikan pohon yang semakin
membesar, tumbuh cabang, anak cabang, ranting hingga semakin rimbun. Hal ini disebabkan
oleh manusia memiliki rasa ingin tahu yang besar serta ditunjang oleh perkembangan ilmu
pengetahuan yang lain seperti kimia, fisika dan teknologi. Dalam The New Britannica
Encyclopedia, pohon ilmu mempunyai lima cabang, yaitu Logika (Logic), Matematika
(Mathematics), Ilmu Alam (Natural Sciences), Sejarah dan Humaniora (History and
Humanities), dan Filsafat (Philosophy). Selanjutnya, cabang Ilmu Alam mempunyai ranting-
ranting keilmuan
Sejarah dan Filsafat Ilmu (History and Philosphy of Science), Ilmu-ilmu Fisika (Physical
Sciences), Ilmu Bumi (Earth Science), Ilmu-ilmu Biologi (Biological Sciences), Ilmu Kedokteran
dan disiplin ilmu yang tergabung di dalamnya (Medicine and affiliated disciplines), Ilmu Sosial
dan Psikologi (Social Sciences and Psychology), dan Ilmu-ilmu Teknik (Technological Sciences).
Dalam Ilmu-ilmu perikanan, dibahas tentang sejarah ilmu perikanan (history of fisheries
science), bidang biding praktek atau penelitian perikanan khusus, dan disiplin ilmu yang
tergabung dalam ilmu perikanan (disciplines of affiliated with fishery). Sumber lain juga
menyebutkan bahwa ilmu perikanan termasuk dalam cabang Biologi Terapan yang bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan manusia, Pada abad penalaran, konsep dasar keilmuan
berubah dari kesamaan menjadi pembedaan khususnya antar berbagai pengetahuan,
sehingga memunculkan spesialisasi pekerjaan dan perubahan struktur di masyarakat. Pohon
pengetahuan dibedakan berdasarkan apa yang diketahui, bagaimana cara mengetahui, dan
untuk apa pengetahuan digunakan. Namun, dengan pembedaan keilmuan justru
menimbulkan berbagai masalah dan kerumitan, sehingga menyebabkan sebagian orang
melakukan pendekatan inter-disipliner. Dalam perkembangannya sains dan teknologi juga
sangat berperan di dalam pembangunan sistem kelautan dan perikanan di dunia secara
global dan Indonesia pada khususnya. Sebagai tilik kaji melihat pasang surut perkembangan
Kelautan dan Perikanan di Indonesia, manakala banyak orang awam berpendapat bahwa
kita adalah negara maritim, tetapi dengan melihat bagaimana perikanan tangkap di
Indonesia yang ditinjau dari aspek filsafat dan analisis keberlanjutannya adalah murapakan
sebuah cermin yang curam.
Nielsen, 1976 mengemukakan bahwa perhatian dunia akan pengelolaan perikanan telah
berkembang sejak tahun 1850. Sebelum tahun 1850, negara-negara di dunia (sebagaian besar
masih berbentuk kerajaan) masih menganggap bahwa ikan merupakan sumber daya laut yang
tidak akan ada habisnya (inexhaustibility). Berdasarkan konsep inexhaustibility inilah maka
Hugo Grotius pada tahun 1608 memperkenalkan prinsip “free access to the living resources”
yang terkait dengan prinsip “freedom of the seas”. Di satu sisi, menetapkan garis batas pada
laut lepas dan menegakkan batas-batas tersebut adalah tugas yang berat. Di sisi lain, jika ikan
dan sumber daya laut lainnya dapat diambil tanpa batas, maka mempertahankan hak
ekslusif atas sumber daya laut menjadi tidak penting. Oleh karenanya, pada saat itu,
pengelolaan perikanan bukan dianggap sebagai prioritas utama bagi Negara Pantai
dibandingkan dengan pelayaran dan perdagangan.
Menurut Saraghe and Lundbtck (1994), para ahli sejarah perikanan dunia membagi
periode sejarah perikanan tangkap pada tataran global menjadi tiga periode, yakni pra-
industri, industri dan krisis.
1. Periode Pra-Industri
Periode pertama: Pra-industri perikanan berlangsung sangat lama, jutaan tahun, sejak
pertama kali manusia primitif dengan tangan atau peralatan seadanya mengumpulkan ikan
dari tepian pantai, sungai dan perairan lainnya sampai ditetapkannya ikan (seafood) sebagai
komoditas ekonomi. Periode ini diperkirakan berlangsung sampai pada akhir abad ke-19.
2. Periode Industri
Perikanan industri yang diawali dengan penggunaan kapal penangkap ikan bermesin
pertama berlangsung kurang dari 200 tahun. Sejak awal abad ke-20, dunia usaha perikanan
telah mentransformasi dirinya dari yang bersifat subsisten (artisanal) menjadi salah satu
industri penghasil dan pengolah makanan terbesar di dunia. Armada perikanan modern
berskala besar dengan ukuran kapal mencapai ribuan ton dan dilengkapi alat tangkap
modern (seperti trawlers, purse seines, long-lines beserta peralatan pendukungnya termasuk
fish finders, GPS, GIS dan remote sensing) berkembang sangat pesat, utamanya di negara-
negara Eropa (Spanyol, Uni Soviet, Portugis, Islandia, Norwegia, Italia dan Inggris), Amerika
Utara (AS dan Kanada), dan Asia (Jepang, Cina, Taiwan, Korea Selatan dan Thailand).
Modernisasi untuk menangkap ikan dari laut secara besar-besaran juga dilakukan
negara-negara berkembang hampir di seluruh dunia. Akibatnya, laju penangkapan ikan di
berbagai laut dunia meningkat sangat tajam. Akhirnya total hasil tangkapan laut dunia
mencapai puncak (maximum sustainable yield atau potensi lestari maksimum) sekitar 100
juta ton/tahun pada 1995. Selanjutnya, menurut FAO (2006), total hasil tangkapan ikan dunia
terus menurun dari tahun ke tahun, yang kini hanya mencapai sekitar 80 juta ton.
Tingginya tingkat penangkapan (fishing intensity) itu mengakibatkan overfishing
(tangkap lebih) berbagai jenis stok ikan, terutama spesies yang bernilai ekonomi tinggi
(seperti tuna dan jenis ikan pelagis besar lainnya, cod, salmon, udang dan sardine) di
berbagai belahan laut dunia. Dari 14 daerah penangkapan ikan utama (major fishing grounds)
dunia, sembilan diantaranya telah mengalami eksploitasi penuh (fully exploited) atau
tangkap lebih (overfishing). Yang mengkhawatirkan adalah jumlah manusia dalam
dasawarsa terakhir lebih besar dari total produksi ikan dunia.
3. Periode Krisis
Sejak 1995 sebenarnya perikanan dunia sudah memasuki periode ketiga, yakni
periode krisis. Apabila cara-cara pengelolaan usaha perikanan tangkap tidak segera
diperbaiki, maka dikhawatirkan usaha perikanan tangkap dunia akan bangkrut (collapse).
Lamanya setiap periode sejarah perikanan tersebut bervariasi di setiap kawasan. Di negara-
negara Eropa dan Amerika Utara misalnya, periode ke-2 (perikanan industri) itu berakhir
pada awal 1980-an. Boleh jadi periode perikanan industri di Nusantara kita baru mulai sejak
diintroduksikannya penggunaan pukat harimau (trawlers) dan pukat cincin (purse seines),
sekitar awal 1970-an (Soewito dkk, 2000).
Laju pemanfaatan sumberdaya ikan laut di masa kolonial hingga sebelum masa
pembangunan (1968) masih sangat rendah. Lebih dari 95 persen kegiatan perikanan
tangkap masih bersifat subsisten hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga nelayan
sendiri (Soewito, et al., 2000). Kemampuan nelayan beroperasi dengan perahu layarnya
hanya terbatas pada perairan laut yang dekat pantai (nearshore fisheries). Sementara itu,
kondisi lingkungan laut belum terpengaruh oleh pencemaran dan perusakan lingkungan
lainnya. Atas dasar kondisi nyata tersebut, sampai akhir 1973 Pemerintah RI c.q. Ditjen.
Perikanan belum menganggap perlu melakukan penelitian tentang besarnya potensi
sumberdaya ikan laut. Status pemanfaatan sumberdaya ikan laut saat itu dapat dikatakan
masih underfishing (kurang diusahakan), sehingga belum ada kebijakan dan peraturan yang
secara khusus membatasi intensitas (tingkat) pemanfaatan sumberdaya ikan laut.
Sebaliknya, sebagian besar kebijakan justru diorientasikan untuk meningkatkan produksi
perikanan, terutama dari perikanan tangkap di laut. Kondisi kebijakan semacam ini
berlangsung hingga akhir 1980-an.
Pada tahun 1973 dan 1974 dilakukan pendugaan stok (stock assessment) ikan secara
terbatas di wilayah Laut Indonesia, dan hasilnya mengungkapkan bahwa potensi produksi
lestari (Maximum Sustainable Yield, MSY) sumberdaya ikan Laut Indonesia adalah sekitar
4,5 juta ton/tahun. Kemudian, dengan diberlakukannya Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI) pada 1983 sebagai keputusan dari UNCLOS (United Nations Convention on the Law of
the Sea) 1982, maka potensi produksi lestari sumberdaya ikan Laut Indonesia bertambah
sebesar 2,1 juta ton/tahun menjadi 6,6 juta ton/tahun. Nilai inilah yang dijadikan dasar dalam
kebijakan pengembangan dan pengelolaan perikanan tangkap di laut sampai tahun 1991
(Soewito, et al., 2000).
Pendugaan stok sumberdaya ikan laut berikutnya dilaksanakan pada 1991 oleh Ditjen.
Perikanan, Puslitbang Perikanan, dan Puslitbang Oseanologi-LIPI. Hasilnya justru nilai MSY
sumberdaya ikan laut Indonesia hanya sekitar 6,4 juta ton/tahun. Namun, informasinya
menjadi lebih lengkap, dijabarkan lebih rinci menurut WPP (Wilayah Pengelolaan
Perikanan) yang jumlahnya sebanyak sembilan wilayah ketika itu, dan kelompok ikan, yakni
pelagis besar, pelagis kecil, demersal, udang penaeid, ikan karang konsumsi, dan lainnya.
Laju pemanfaatan sumberdaya ikan laut terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada
1975, tingkat pemanfaatannya baru sebesar 25 persen dari nilai MSY, kemudian meningkat
menjadi 38 persen dari nilai MSY, dan mencapai 64 persen dari nilai MSY pada 1999
(Soewito, et al., 2000; Ditjen. Perikanan, 2000). Namun, tingkat pemanfaatannya tidak
merata, baik antara wilayah Indonesia Timur dan wilayah Indonesia Barat maupun antar
wilayah pantai, lepas pantai, dan ZEEI. Hal ini disebabkan karena sebagian besar nelayan
(armada perikanan) merupakan nelayan skala kecil (artisanal) yang kegiatan operasi
penangkapannya berlangsung di perairan pantai (dangkal), terutama di Paparan Sunda,
seperti Laut Pantai Utara Jawa, Selat Malaka, Selat Karimata, Selat Bali, dan Pantai Selatan
Sulawesi. Di wilayah-wilayah laut dangkal ini, sejak awal 1990-an tingkat pemanfaatannya
sudah mencapi titik jenuh (fully exploited), dan untuk beberapa jenis stok ikan (udang
Penaeid dan ikan demersal) bahkan sudah overfishing (tangkap lebih).
Berdasarkan pada potensi sumberdaya ikan laut dan status pemanfaatannya, maka
berbagai kebijakan dan peraturan telah dikeluarkan pemerintah sejak 1968 hingga 1999
(sebelum dibentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan), berupa: (1) kebijakan
perlindungan sumberdaya ikan laut, dan (2) kebijakan pengaturan penangkapan ikan laut.
Kebijakan perlindungan sumberdaya ikan laut memberikan informasi bahwa
pengelolaan perikanan tangkap sejak masa Orde Baru sebenarnya sudah mulai dilakukan,
meskipun hanya focus pada aspek pemeliharaan ekosistem mangrove dan aspek
sumberdaya ikan dan kegiatan penangkapan ikan. Pada masa itu pengelolaan mangrove
menjadi tanggung jawab Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/Kotamadya, sedangkan
rencana pembinaan sumberdaya ikan yang terkait dengan mangrove oleh Dinas Perikanan
setempat. Kebijakan pengaturan penangkapan ikan laut yang berkaitan dengan
sumberdaya ikan dan teknologi penangkapan ikan menjadi mandate utama Direktorat
Jendral Perikanan beserta Dinas Perikanan Provinasi dan Kabupaten/Kota.
Isi dari kebijakan pengaturan penangkapan ikan laut meliputi: pembinaan kelestarian
kekayaan laut yang terdapat dalam sumberdaya perikanan Indonesia, ketentuan lebar mata
jaring “purse seine”, jalur-jalur penangkapan ikan, daerah penangkapan kapal trawl dasar,
jumlah kapal trawl dasar yang diijinkan beroperasi di setiap daerah penangkapan, larangan
operasi trawl, izin penangkapan udang dengan pukat udang sebagai pengganti jaring trawl,
dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.