Anda di halaman 1dari 13

TRADISI PERANG OBOR DARI JEPARA

PENDAHULUAN

A. Pengertian

Di era globalisasi ini, tak sedikit kita masih bisa melihat kebudayaan atau adat-istiadat

yang masih dijalankan oleh masyarakat yang meyakini keberadaan suatu kebudayaan.

Kebudayaan sebagai sebuah adat yang penting, selalu akan ada resiko yang harus ditanggung

apabila ditinggalkan atau tidak dilaksanakan. Hal ini tak terlepas dari mitos yang berkembang,

yang akhirnya mendasari keyakinan masyarakat akan pelaksanaan kebudayaan tersebut.

Tradisi atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah

dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat (Permadi,

2011: 1). Pengertian lain dari tradisi ialah adat istiadat atau kebiasaan yang diwariskan secara

turun temurun dan masih dijalankan di masyarakat. Tanpa adanya tradisi tidaklah mungkin

sebuah kebudayaan akan langgeng. Sebab tradisi dapat menjadikan sistem kebudayaan menjadi

lebih kokoh. Ada kemungkinan apabila suatu tradisi dihilangkan, maka suatu kebudayaan akan

berakhir saat itu juga. Maka dari itu kebudayaan erat kaitannya dengan tradisi-tradisi yang

dijalankan oleh masyarakatnya untuk melestarikan kebudayaan tersebut.

Di antara tradisi-tradisi yang ada di Indonesia, ada salah satu tradisi yang masih

dilaksanakan dan dilestarikan oleh masyarakat yang meyakininya, yaitu Tradisi Perang Obor

yang ada di desa Tegalsambi kecamatan Tahunan kabupaten Jepara. Tradisi ini merupakan

kebudayaan yang sudah lama diuri-uri oleh masyarakat Tegalsambi sebagai suatu bentuk ritual

yang sakral, artinya masyarakat desa Tegalsambi masih merasa ritual tersebut sangat penting dan

pantang untuk dirtinggalkan. Mereka meyakini bahwa apabila dalam satu tahun tidak
melaksanakan Tradisi Perang Obor, maka dalam tahun tersebut akan ada bencana yang menimpa

desa Tegalsambi.

Tradisi Perang Obor dilaksanakan setiap satu tahun sekali setelah panen raya (panen

tanaman padi) di desa Tegalsambi. Tanggal pelaksanaannya tidak selalu pasti, tergantung dari

rembug desa, yang terdiri dari kepala desa dan perangkat desa serta beberapa perwakilan dari

masyarakat secara bersama-sam melakukan musyawarah untuk menentukan kapan tradisi Perang

Obor akan dilaksanakan. Tapi walaupun tanggal tak pernah pasti, hari pelaksanaannya harus

pada hari Senin Pahing malam Selasa Pon, setelah panen raya padi. Hari tersebut diyakini para

masyarakat desa Tegalsambi sebagai hari hilangnya wabah penyakit yang menimpa warga desa

Tegalsambi dan ternak-ternaknya.

B. Sejarah Perang Obor

Perang obor adalah tradisi turun-temurun yang telah dilestarikan masyarakat desa

Tegalsambi sejak zaman dahulu. Tradisi Perang Obor dilaksanakan dalam rangka sedekah bumi

dan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas apa yang telah diberikan selama satu

tahun, baik berupa hasil alam maupun keselametan pada bumi Tegalsambi.

Perang obor itu masih diuri-uri dan dijaga kelestariannya. Bagi pemerintah daerah Jepara

acara tradisi itu dikemas menjadi ajang wisata yang mampu menyedot pengunjung yang cukup

banyak. Namun bagi warga desa Tegal Sambi ritual “Perang obor” sebagai tolak balak dan juga

ajang syukuran warga desa sehabis panen padi, agar tahun-tahun mendatang semua warga masih

mendapatkan rejeki dari yang Maha Kuasa.

"Perang obor berawal dari ikhtiar batiniah para leluhur. Tujuannya, untuk menolak bala

dan bersyukur atas nikmat Tuhan, setelah selama setahun penuh desa tentram, tak terjadi

gangguan atau bencana," kata Kepala Desa Tegal Sambi, Sumarno.


Upacara Perang Obor ini jatuh pada hari Senin Pahing malam Selasa Pon di bulan Besar

(Dzullijah). Dilaksanakan pada saat puncak panen di desa Tegal Sambi Kecamatan Tahunan

yang letaknya kurang lebih 3 km arah selatan kota Jepara. Upacara diadakan atas dasar

kepercayaan masyarakat desa Tegal Sambi terhadap peristiwa atau kejadian pada masa lampau

yang terjadi di desa tersebut.

Berkenaan dengan kejadian pada masa lampau tersebut, dipercaya sebagai asal mula

terjadinya perang obor. Dari penelitian penulis, penulis menemukan dua versi cerita sebagai

berikut:

1) Versi pertama (abad XVI M)

Konon ceritanya pada abad XVI Masehi, di desa Tegalsambi ada seorang petani yang

sangat kaya raya dengan sebutan “Mbah Kyai Babadan”. Dia mempunyai banyak binatang

piaraan terutama kerbau dan sapi. Untuk mengembalakannya seorang diri jelas tidak mungkin,

sehingga dia mencari orang untuk jadi pengembala binatang-binatang piaraannya, dan kemudian

dia mendapatkan pengembala untuk mengembala binatang-biantangnya tersebut. Penggembala

tersebut sering dipanggil Ki Gemblong. Ki Gomblong ini sangat tekun dalam memelihara

binatang-binatang tersebut, setiap pagi dan sore Ki Gemblong selalu memandikanya di sungai,

sehingga binatang peliharaannya tersebut tampak gemuk-gemuk dan sehat. Tentu saja kyai

Babadan merasa senang dan memuji Ki Gemblong, atas ketekunan dan kepatuhannya dalam

memelihara binatang tersebut.

Pada suatu hari Ki Gemblong menggembala di tepi sungai Kembangan sambil asyik

menyaksikan banyak ikan dan udang yang ada di sungai tersebut, dan tanpa menyianyiakan

waktu ia langsung menangkap ikan dan udang tersebut yang hasil tangkapannya lalu dibakar dan

dimakan di Kandang. Setelah kejadian ini hampir setiap hari Ki Gemblong selalu menangkap
ikan dan udang, sehingga dia lupa akan tugas dan kewajibannya sebagai penggembala. Dan

akhirnya kerbau dan sapi yang digembala menjadi kurus-kurus dan akhirnya jatuh sakit bahkan

mulai ada yang mati. Keadaan ini menyebabkan Kyai Babadan menjadi bingung, tidak kurang-

kurangnya dicarikan jampi-jampi demi kesembuhan binatang-binatang piaraannya, tetapi tetap

tidak sembuh juga. Akhirnya Kyai Babadan mengetahui penyebab binatang piaraannya menjadi

kurus-kurus dan akhirnya jatuh sakit, tidak lain dikarenakan Ki Gemblong tidak lagi mau

mengurus binatang-binatang tersebut, namun lebih asyik menangkap ikan dan udang untuk

dibakar dan dimakannya.

Melihat hal semacam itu Kyai Babadan marah besar, saat menemui Ki Gemblong sedang

asyik membakar ikan hasil tangkapannya. Kyai Babadan langsung menghajar Ki Gemblong

dengan menggunakan obor dari pelepah kelapa. Melihat gelagat yang tidak menguntungkan Ki

Gemblong tidak tinggal diam, dengan mengambil sebuah obor yang sama untuk menghadapi

Kyai Babadan sehingga terjadilah “Perang Obor“ yang apinya berserakan kemana mana dan

sempat membakar tumpukan jerami yang terdapat disebelah kandang. Kobaran api tersebut

mengakibatkan sapi dan kerbau yang berada di kandang lari tunggang langgang dan tanpa diduga

binatang yang tadinya sakit akhirnya menjadi sembuh bahkan binatang tersebut mampu berdiri

dengan tegak sambil memakan rumput di ladang.

2) Versi kedua (sekitar abad XVI)

Sekitar abad XVI, pada zaman dahulu di Desa Tegalsambi terjadi wabah penyakit yang

menimpa hewan-hewan ternak penduduk, sehingga menimbulkan keresahan masyarakat.

Menurut kepercayaan penduduk bahwa terjadinya wabah penyakit tersebut akibat kemarahan

dari roh halus.


Kyai Gemblong adalah salah satu tokoh masyarakat pada masa itu yang mempunyai

penggembala bernama Joko Wongso. Joko Wongso sehari-hari menggembalakan ternak (kerbau)

kyai Gemblong dengan rasa kasih sayang, sehingga dia bekerja setiap harinya tanpa rasa bosan.

Kyai Gemblong tinggal di sekitar prapatan desa Tegalsambi. Pada suatu hari kyai

Gemblong menyuruh Joko Wongso untuk meminta api pada kayai Dasuki untuk membakar ikan

pemberian dari kyai Babadan. Joko Wongso disuruh oleh kyai Dasuki untuk mengambil sendiri

api yang ada di kandang. Api di kandang biasanya digunakan untuk mengusir nyamuk yang

mengganggu, selain itu juga digunakan untuk penerangan.

Ketika Joko Wongso mau mengambil api di kandang, Joko Wongso melihat api di

kandang tersebut akan mati. Joko wongso berusaha untuk menyalakan kembali api tersebut,

namun tindakan Joko Wongso malah menjadikan ternak uang ada di kandang terkejut dan secara

serentak keluar dari kandang tanpa bisa dikendalikan. Kyai Dasuki sebagai pemilik ternak segera

mencari ternak yang lari dari kandang tersebut dan Joko Wongso diajak untuk membantu.

Karena jumlah binatang ternak yang lari sangat banyak, kyai Dasuki menyuruh Joko Wongso

untuk lebih cepat mencari biar ternaknya tidak lari semakin jauh. Tetapi Joko Wongso menolak

perintah tersebut dan dengan marah-marah memukulkan obor yang dipegangnya pada kyai

Dasuki. Sebagai orang yang sabar, kyai Dasuki tidak membalasnya dan mencari sendiri kerbau

yang lari hingga akhirnya ditemukan. Beberapa saat setelah kejadian tersebut, penyakit yang

menimpa hewan-hewan ternak yang ada di desa Tegalsambi sembuh dengan sendirinya.

Hilangnya wabah penyakit yang menimpa ternak-ternak warga desa Tegalsambi karena tindakan

Joko Wongso yang memukulkan obor pada kyai Dasuki dipercaya masyarakat dapat

menghilangkan penyakit warga desa Tegalsambi dan juga ternak-ternaknya.


Dari kedua versi cerita di atas, versi cerita kedua yang lebih dipercaya ketimbang versi

cerita pertama. Hal ini dikarenakan berdasarkan keterangan mengenai kyai Babadan adalah

seorang nelayan yang konon rumahnya berada di sebelah barat perempatan desa Tegalsambi

yang sekarang pundennya (makamnya) dapat ditemukan sekitar 100 meter ke arah Timur dari

laut. Dan kyai Gemblong sendiri bertempat tinggal di sekitar perempatan desa Tegal sambi

adalah seorang petani atau peternak yang sangat kaya, bukan seorang penggembala seperti yang

diceritakan dalam versi yang pertama. Punden (makam) dari kyai Gemblong ini dapat ditemukan

di sekitar perempatan desa Tegalsambi.

Perang obor ini terbuat dari gulungan atau bendelan dua atau pelepah kelapa yang sudah

kering dan bagian dalamnya diisi dengan daun pisang kering (jawa : Klaras ). Ukuran obor

tersebut tidak seperti ukuran obor lazimnya, tetapi dengan tinggi 3 m dan diameter 10 cm.

Jumlah obor yang digunakan biasanya 200-300 obor bahkan lebih. Dan uniknya perang obor ini

harus dimainkan oleh laki-laki dewasa dan asli dari penduduk setempat. Kemudian obor

dinyalakan bersama-sama oleh warga untuk dimainkan/digunakan sebagai alat untuk saling

menyerang, sehingga sering terjadi benturan-benturan obor yang dapat mengakibatkan pijaran–

pijaran api yang besar.

C. Munculnya Perang Obor

Tradisi Perang Obor ini diperkirakan sudah ada sejak munculnya desa Tegalsambi.

Masyarakat desa Tegalsambi tidak ada yang tahu pasti kapan pertama kali munculnya tradisi

Perang Obor, mereka hanya mendengar cerita-cerita yang diwariskan antar generasi.

Masyarakat desa Tegalsambi tidak dapat menceritakan secara pasti sejak kapan Tradisi

Perang Obor mulai dilaksanakan. Mereka hanya mengatakan bahwa upacara ini sudah
dilaksanakan sejak lama, masyarakat desa Tegalsambi tinggal meneruskan adat yang telah

berjalan secara turun-temurun tersebut.

ISI DAN PEMBAHASAN

A. Prosesi Pelaksanaan Tradisi Perang Obor

Waktu pelaksanaan Perang Obor masih menggunakan perhitungan Jawa. Upacara Perang

Obor dilaksanakan satu tahun sekali setelah panen raya padi, yaitu pada hari Senin Pahing

malam Selasa Pon, namun tergantung juga pada musyawarah desa.

Menurut bapak Sumarno, alasan Perang Obor dilaksanakan pada hari tersebut dipercaya

masyarakat sebagai hilangnya wabah penyakit pada desa Tegalsambi pada masa nenek moyang

mereka.

Pada saat ini upacara obor-oboran dipergunakan untuk sarana sedekah bumi sebagai

ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberi kesuburan pada tanah mereka dan

keselamatan pada masyarakat. Sebagai suatu kegiatan, upacara obor-oboran tidak dapat berdiri

sendiri tanpa selamatan sedekah bumi, begitu juga sebaliknya. Jadi, kedua kegiatan ini saling

melengkapi satu sama lain.

35 hari (selapan) sebelum pelaksanaan Perang Obor didahului dengan adanya selamatan

dan doa-doa bersama atau istilahnya sama dengan ‘Bari’an’, tempat pelaksanaannya di makam

para pendiri desa Tegalsambi.

Pelaksanaan Bari’an di 7 Makam

1. Bari’an Tegal (makam kyai Dasuki)

Dilaksanakan sesuai dengan penanggalan jawa yang jatuh pada hari Senin Pahing malam Selasa

Pon pada pukul 12.30 WIB (setelah sholat dzuhur) di punden mbah Tegal. Punden Tegal

letaknya kurang lebih 20 meter dari pesantren.


2. Punden Prapatan (makam kyai Tegalsari)

Punden ini terletak di sebelah barat perempatan desa Tegalsambi. Dilaksanakan dengan

menggunakan penanggalan jawa yang jatuh pada hari Kamis Kliwon malam Jumat Legi.

Dinamakan Bari’an Prapatan karena lokasi pelaksanaan ritual bari’an berada pada salah satu

sudut perempatan desa Tegalsambi.

Masyarakat melempari orang yang lewat di sekitar perempatan dengan nasi dan lauk hasil

selamatan

3. Punden Gambiran (makam kyai Babadan)

Bari’an ini dilaksanakan pada penanggalan jawa yang jatuh pada hari Kamis Pahing malam

Jumat Pon di makam kyai Babadan pada pukul 12.30 WIB.

4. Punden Doromanis (makam kyai Syugimanis)

Dilaksankan di hari yang bersamaan setelah bari’an di punden Gambiran. Letak makamnya di

tengah-tengah areal persawahan desa Tegalsambi.

5. Punden Bendo (makam kyai Tunggulwulung)

Dilaksanakan sesudah bari’an Doromanis di hari yang sama, letak makamnya di tengah-tengah

pemukiman warga atau lebih tepatnya di pekarangan salah satu warga desa Tegalsambi.

6. Punden Sorogaten (makam kyai Sorogaten)

Dilaksanakan pada hari Senin Wage malam Selasa Kliwon di masjid Baituz Dzakirin pada pukul

12.30 WIB sesudah sholat dzuhur.

7. Punden Jrakah (makam kyai Sudimoro)

Dilaksankan bersamaan dengan dilaksankannya bari’an Sorogaten.


Ritual-ritual bari’an tersebut dimaksudkan untuk meminta izin kepada para leluhur desa

Tegalsambi agar pada pelaksanaan acara utama yaitu Perang Obor tidak ada hambatan yang

dapat menganggu jalannya acara. Pada pelaksanaan bari’an, setiap kepala keluarga diharuskan

membawa bekal makanan sendiri, tapi diabgi rata dengan masyarakat lain, jadi sama halnya

orang lain memakan milik kita dan kita memakan milik mereka.

B. Pelaksanaan Perang Obor

Pada hari pelaksanaan Perang Obor berdasarkan rembug desa, paginya diadakan

penyembelihan hewan kerbau yang masih perjaka di lapangan Desa Tegalsambi. Alasan

pemilihan kerbau yang masih perjaka adalah karena kerbau merupakan hewan peliharaan Kyai

Dasuki atau yang lebih dikenal sebagai Mbah Tegal, darah pertama yang keluar dari kerbau

dijadikan sebagai pelengkap sesajen, sedangkan dagingnya akan dimasak bersama masakan

lainnya. Setelah penyembelihan kerbau, diselenggarakan kesenian tradisional wayang kulit.

Acara pertunjukan wayang kulit dilaksanakan di Balai Desa Tegalsambi.

Di tengah-tengah acara diselenggerakannya pementasan wayang kulit, di tempat lain

dilaksanakan Bari’an yang terakhir kali. Bari’an dilaksanakan di masjid Baituz Dzakirin. Tujuan

dari Bari’an kali ini adalah untuk meminta izin kepada seluruh arwah nenek moyang Desa

Tegalsambi karena pada malam harinya akan dilaksanakan Perang Obor. Perlengkapan Bari’an

meliputi bejana dari tanah, kemenyan dibakar, nasi ambeg (nasi beserta lauk-pauknya).

Sore harinya mempersiapkan obor yang akan digunakan saat pelaksanaan Perang Obor pada

malam harinya. Obor ditata di sepanjang jalan menuju ke arah perempatan Desa Tegalsambi.

Obor ditumpuk dan diletakkan setiap 10 meter, namun hanya 3 penjuru karena salah satu penjuru

ditutup dengan panggung dari pihak sponsor.


Para pemain Perang Obor dipilih oleh kepala Desa Tegalsambi dengan cara membuka

pendaftaran sehari sebelum acara dilaksanakan. Tidak ada kriteria apa pun untuk memilih pelaku

Perang Obor, hanya diperlukan kesiapan mental serta keberanian dan ketangkasan dari pelaku

Perang Obor.

Setelah mendapatkan pengarahan dari panitia dan semua perlengkapan Perang Obor telah

siap maka upacara Perang Obor siap dimulai. Beberapa pemain Perang Obor berjalan menuju ke

tengah-tengah perempatan desa Tegalsambi sambil membawa bejana dari tanah yang berisi

kemenyan, darah kerbau yang disembelih sebelumnya, serta obor kecil yang terbuat dari bambu.

Sesampainya di perempatan desa Tegalsambi, kemenyan dibakar dengan menggunakan api yang

berasal dari obor kecil yang terbuat dari bambu tersebut.

Pelaksanaan Perang Obor


Obor pertama dinyalakan menggunakan api yang berasal dari kemenyan tadi, para

pelaku Perang Obor yang paling dekat dengan tumpukan obor di tengah perempatan, kemudian

saling meminta api dari obor yang pertama dan kemudian diangkat ke atas dalam keadaan api

berkobaran.

Acara perang Obor dimulai sekitar pukul 20.00 WIB dan berakhir sampai semua obor yang

disediakan panitia habis digunakan oleh para pemain.

Setelah acara selesai, para pemain berkumpul di rumah kepala desa untuk beristirahat dan

mengobati para pemain yang luka. Dan para penonton yang terkena percikan api pun juga ikut

dating ke rumah kepala desa untuk mengobati luka. Obatnya terbuat dari minyak kelapa murni,

jerami yang sudah dibakar sampai menjadi arang, bunga layon (bunga untuk melayat di kuburan

yang dikumpulan setiap hari jumat selama satu tahun), darah kerbau yang telah disembelih

sebelumnya, kemudian diberi mantra oleh ibu kepala desa. Obat dari minyak kelapa yang sudah
dimantrai dipercaya masyarakat desa Tegalsambi sangat mujarab karena mampu mengobati luka

akibat terkena api obor. Luka akan hilang tanpa meninggalkan bekas serius di kulit bebewrap

hari setelah diberi obat tersebut.

Dengan waktu bersamaan para pemain Perang Obor mengobati luka bakar, istri kepala desa

membagikan uang kepada mereka sebagai uang lelah karena telah ikut berpartisipasi dalam

pelaksanaan Perang Obor. Meskipun jumlah nominalnya tidak seberapa, yaitu sejumlah

duapuluh lima ribu rupiah, namun ada kebanggaan tersendiri karena sudah ikut menjadi peserta

Perang Obor. Karena perang obor merupakan kebanggaan daerah asal yang dimiliki dan dapat

diwariskan ke generasi selanjutnya.

C. Tujuan Perang Obor

Perang obor itu masih diuri-uri dan dijaga kelestariannya. Bagi pemerintah daerah Jepara

acara tradisi itu dikemas menjadi ajang wisata yang mampu menyedot pengunjung yang cukup

banyak. Namun bagi warga desa Tegal Sambi ritual “Perang obor” bertujuan sebagai tolak balak

dan juga ajang syukuran warga desa sehabis panen padi, agar tahun-tahun mendatang semua

warga masih mendapatkan rejeki dari yang Maha Kuasa.

Budaya itu sudah turun temurun dan dilestarikan oleh para warga setempat, karena selain

merupakan tradisi budaya daerah, juga sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada Tuhan Yang

Maha esa atas limpahan anugrah panen kepada masyarakat setempat. Tradisi yang sangat

menarik untuk dinikmati oleh wisatawan, sehingga hal ini berpotensi untuk dikembangkan dan

dikemas menjadi wisata budaya yang sangat menarik.

D. Hambatan Dalam Mempertahankan Tradisi Perang Obor

Hambatan-hambatan yang dirasakan dari tahun ke tahunny adalah dari aspek peralatan

dan pendanaan:
1) Kelangkaan bahan baku

Sulitnya mencari bahan baku yang digunakan untuk membuat obor. Bahannya yaitu

dengan menggunakan daun pisang yang sudah kering dan daun kelapa yang sudah kering

(klaras). Bapak Sumarno mengatakan bahwa, daun pisang di Tegalsambi banyak, tapi kalau daun

kelapa keringnya yang jarang, sehingga untuk mengantisipasi keadaan tersebut , masyarakat desa

Tegalsambi biasanya membeli daun kelapa kering di luar desa.

2) Aspek pendanaan

Kelangkaan bahan baku yang digunakan tersebut saja sudah mempengaruhi besar

kecilnya dana yang digunakan. Apalgi ada pementasn wayang kulit dan penyembelihan kerbau

juga.

Pendanaan lain dari iuran masyarakat desa Tegalsambi. Degan dikomando oleh kepala

desa, setiap kepala keluarga diharuskan menyetorkan sumbangan dalam bentuk uang maksimal

dua minggu sebelum pelaksanaan Perang Obor. Besar kecilnya iuran tersebut tergantung dari

pendapatan individu tersebut.

PENUTUP

Kesimpulan

Begitulah potret Tradisi Perang Obor di Jepara yang masih diuri-uri dan dijaga

kelestariannya oleh para masyarakat Tegalsambi. Perang Obor selain sebagai budaya yang

mereka miliki, juga sebagai adat istiadat yang dipercayai untuk tolak-balak dan meminta

keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan limpahan karuniaNya di bumi

Tegalsambi.
Acara dilaksanakan setiap satu tahun sekali, dengan berbagai prosesi yang harus

dilaksanakan terlebih dahulu sebelum hari pelaksanaannya Perang Obor. Ada pun prosesinya

seperti melaksanakan Bari’an di 7 makam atau punden para leluhur pendiri desa Tegalsambi dan

pelaksanaan Wayang Kulit, serta penyembelihan hewan kerbau. Semuanya itu memiliki makna

tersendiri bagi masyarakat Tegalsambi yang meyakini ritual adat Tradisi Perang Obor tersebut.

catatan!

1. untuk mengetahui foto-foto setiap proses perang obor berlangsung, bisa hubungi penulis

2. buku ini penulis tulis berdasarkan tugas dan bimbingan dosen matakuliah pengkajian

kesenian tradisional

3. penulis hanya mengepost dari isi buku, untuk melihat selengkapnya bisa hubungi penulis.

Penulis : Nanik W A2A009010

https://dititikgerimizku.blogspot.co.id/2012/11/tradisi-perang-obor-dari-jepara.html

Anda mungkin juga menyukai