PENDAHULUAN
A. Pengertian
Di era globalisasi ini, tak sedikit kita masih bisa melihat kebudayaan atau adat-istiadat
yang masih dijalankan oleh masyarakat yang meyakini keberadaan suatu kebudayaan.
Kebudayaan sebagai sebuah adat yang penting, selalu akan ada resiko yang harus ditanggung
apabila ditinggalkan atau tidak dilaksanakan. Hal ini tak terlepas dari mitos yang berkembang,
Tradisi atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah
dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat (Permadi,
2011: 1). Pengertian lain dari tradisi ialah adat istiadat atau kebiasaan yang diwariskan secara
turun temurun dan masih dijalankan di masyarakat. Tanpa adanya tradisi tidaklah mungkin
sebuah kebudayaan akan langgeng. Sebab tradisi dapat menjadikan sistem kebudayaan menjadi
lebih kokoh. Ada kemungkinan apabila suatu tradisi dihilangkan, maka suatu kebudayaan akan
berakhir saat itu juga. Maka dari itu kebudayaan erat kaitannya dengan tradisi-tradisi yang
Di antara tradisi-tradisi yang ada di Indonesia, ada salah satu tradisi yang masih
dilaksanakan dan dilestarikan oleh masyarakat yang meyakininya, yaitu Tradisi Perang Obor
yang ada di desa Tegalsambi kecamatan Tahunan kabupaten Jepara. Tradisi ini merupakan
kebudayaan yang sudah lama diuri-uri oleh masyarakat Tegalsambi sebagai suatu bentuk ritual
yang sakral, artinya masyarakat desa Tegalsambi masih merasa ritual tersebut sangat penting dan
pantang untuk dirtinggalkan. Mereka meyakini bahwa apabila dalam satu tahun tidak
melaksanakan Tradisi Perang Obor, maka dalam tahun tersebut akan ada bencana yang menimpa
desa Tegalsambi.
Tradisi Perang Obor dilaksanakan setiap satu tahun sekali setelah panen raya (panen
tanaman padi) di desa Tegalsambi. Tanggal pelaksanaannya tidak selalu pasti, tergantung dari
rembug desa, yang terdiri dari kepala desa dan perangkat desa serta beberapa perwakilan dari
masyarakat secara bersama-sam melakukan musyawarah untuk menentukan kapan tradisi Perang
Obor akan dilaksanakan. Tapi walaupun tanggal tak pernah pasti, hari pelaksanaannya harus
pada hari Senin Pahing malam Selasa Pon, setelah panen raya padi. Hari tersebut diyakini para
masyarakat desa Tegalsambi sebagai hari hilangnya wabah penyakit yang menimpa warga desa
Perang obor adalah tradisi turun-temurun yang telah dilestarikan masyarakat desa
Tegalsambi sejak zaman dahulu. Tradisi Perang Obor dilaksanakan dalam rangka sedekah bumi
dan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas apa yang telah diberikan selama satu
tahun, baik berupa hasil alam maupun keselametan pada bumi Tegalsambi.
Perang obor itu masih diuri-uri dan dijaga kelestariannya. Bagi pemerintah daerah Jepara
acara tradisi itu dikemas menjadi ajang wisata yang mampu menyedot pengunjung yang cukup
banyak. Namun bagi warga desa Tegal Sambi ritual “Perang obor” sebagai tolak balak dan juga
ajang syukuran warga desa sehabis panen padi, agar tahun-tahun mendatang semua warga masih
"Perang obor berawal dari ikhtiar batiniah para leluhur. Tujuannya, untuk menolak bala
dan bersyukur atas nikmat Tuhan, setelah selama setahun penuh desa tentram, tak terjadi
(Dzullijah). Dilaksanakan pada saat puncak panen di desa Tegal Sambi Kecamatan Tahunan
yang letaknya kurang lebih 3 km arah selatan kota Jepara. Upacara diadakan atas dasar
kepercayaan masyarakat desa Tegal Sambi terhadap peristiwa atau kejadian pada masa lampau
Berkenaan dengan kejadian pada masa lampau tersebut, dipercaya sebagai asal mula
terjadinya perang obor. Dari penelitian penulis, penulis menemukan dua versi cerita sebagai
berikut:
Konon ceritanya pada abad XVI Masehi, di desa Tegalsambi ada seorang petani yang
sangat kaya raya dengan sebutan “Mbah Kyai Babadan”. Dia mempunyai banyak binatang
piaraan terutama kerbau dan sapi. Untuk mengembalakannya seorang diri jelas tidak mungkin,
sehingga dia mencari orang untuk jadi pengembala binatang-binatang piaraannya, dan kemudian
tersebut sering dipanggil Ki Gemblong. Ki Gomblong ini sangat tekun dalam memelihara
binatang-binatang tersebut, setiap pagi dan sore Ki Gemblong selalu memandikanya di sungai,
sehingga binatang peliharaannya tersebut tampak gemuk-gemuk dan sehat. Tentu saja kyai
Babadan merasa senang dan memuji Ki Gemblong, atas ketekunan dan kepatuhannya dalam
Pada suatu hari Ki Gemblong menggembala di tepi sungai Kembangan sambil asyik
menyaksikan banyak ikan dan udang yang ada di sungai tersebut, dan tanpa menyianyiakan
waktu ia langsung menangkap ikan dan udang tersebut yang hasil tangkapannya lalu dibakar dan
dimakan di Kandang. Setelah kejadian ini hampir setiap hari Ki Gemblong selalu menangkap
ikan dan udang, sehingga dia lupa akan tugas dan kewajibannya sebagai penggembala. Dan
akhirnya kerbau dan sapi yang digembala menjadi kurus-kurus dan akhirnya jatuh sakit bahkan
mulai ada yang mati. Keadaan ini menyebabkan Kyai Babadan menjadi bingung, tidak kurang-
tidak sembuh juga. Akhirnya Kyai Babadan mengetahui penyebab binatang piaraannya menjadi
kurus-kurus dan akhirnya jatuh sakit, tidak lain dikarenakan Ki Gemblong tidak lagi mau
mengurus binatang-binatang tersebut, namun lebih asyik menangkap ikan dan udang untuk
Melihat hal semacam itu Kyai Babadan marah besar, saat menemui Ki Gemblong sedang
asyik membakar ikan hasil tangkapannya. Kyai Babadan langsung menghajar Ki Gemblong
dengan menggunakan obor dari pelepah kelapa. Melihat gelagat yang tidak menguntungkan Ki
Gemblong tidak tinggal diam, dengan mengambil sebuah obor yang sama untuk menghadapi
Kyai Babadan sehingga terjadilah “Perang Obor“ yang apinya berserakan kemana mana dan
sempat membakar tumpukan jerami yang terdapat disebelah kandang. Kobaran api tersebut
mengakibatkan sapi dan kerbau yang berada di kandang lari tunggang langgang dan tanpa diduga
binatang yang tadinya sakit akhirnya menjadi sembuh bahkan binatang tersebut mampu berdiri
Sekitar abad XVI, pada zaman dahulu di Desa Tegalsambi terjadi wabah penyakit yang
Menurut kepercayaan penduduk bahwa terjadinya wabah penyakit tersebut akibat kemarahan
penggembala bernama Joko Wongso. Joko Wongso sehari-hari menggembalakan ternak (kerbau)
kyai Gemblong dengan rasa kasih sayang, sehingga dia bekerja setiap harinya tanpa rasa bosan.
Kyai Gemblong tinggal di sekitar prapatan desa Tegalsambi. Pada suatu hari kyai
Gemblong menyuruh Joko Wongso untuk meminta api pada kayai Dasuki untuk membakar ikan
pemberian dari kyai Babadan. Joko Wongso disuruh oleh kyai Dasuki untuk mengambil sendiri
api yang ada di kandang. Api di kandang biasanya digunakan untuk mengusir nyamuk yang
Ketika Joko Wongso mau mengambil api di kandang, Joko Wongso melihat api di
kandang tersebut akan mati. Joko wongso berusaha untuk menyalakan kembali api tersebut,
namun tindakan Joko Wongso malah menjadikan ternak uang ada di kandang terkejut dan secara
serentak keluar dari kandang tanpa bisa dikendalikan. Kyai Dasuki sebagai pemilik ternak segera
mencari ternak yang lari dari kandang tersebut dan Joko Wongso diajak untuk membantu.
Karena jumlah binatang ternak yang lari sangat banyak, kyai Dasuki menyuruh Joko Wongso
untuk lebih cepat mencari biar ternaknya tidak lari semakin jauh. Tetapi Joko Wongso menolak
perintah tersebut dan dengan marah-marah memukulkan obor yang dipegangnya pada kyai
Dasuki. Sebagai orang yang sabar, kyai Dasuki tidak membalasnya dan mencari sendiri kerbau
yang lari hingga akhirnya ditemukan. Beberapa saat setelah kejadian tersebut, penyakit yang
menimpa hewan-hewan ternak yang ada di desa Tegalsambi sembuh dengan sendirinya.
Hilangnya wabah penyakit yang menimpa ternak-ternak warga desa Tegalsambi karena tindakan
Joko Wongso yang memukulkan obor pada kyai Dasuki dipercaya masyarakat dapat
cerita pertama. Hal ini dikarenakan berdasarkan keterangan mengenai kyai Babadan adalah
seorang nelayan yang konon rumahnya berada di sebelah barat perempatan desa Tegalsambi
yang sekarang pundennya (makamnya) dapat ditemukan sekitar 100 meter ke arah Timur dari
laut. Dan kyai Gemblong sendiri bertempat tinggal di sekitar perempatan desa Tegal sambi
adalah seorang petani atau peternak yang sangat kaya, bukan seorang penggembala seperti yang
diceritakan dalam versi yang pertama. Punden (makam) dari kyai Gemblong ini dapat ditemukan
Perang obor ini terbuat dari gulungan atau bendelan dua atau pelepah kelapa yang sudah
kering dan bagian dalamnya diisi dengan daun pisang kering (jawa : Klaras ). Ukuran obor
tersebut tidak seperti ukuran obor lazimnya, tetapi dengan tinggi 3 m dan diameter 10 cm.
Jumlah obor yang digunakan biasanya 200-300 obor bahkan lebih. Dan uniknya perang obor ini
harus dimainkan oleh laki-laki dewasa dan asli dari penduduk setempat. Kemudian obor
dinyalakan bersama-sama oleh warga untuk dimainkan/digunakan sebagai alat untuk saling
menyerang, sehingga sering terjadi benturan-benturan obor yang dapat mengakibatkan pijaran–
Tradisi Perang Obor ini diperkirakan sudah ada sejak munculnya desa Tegalsambi.
Masyarakat desa Tegalsambi tidak ada yang tahu pasti kapan pertama kali munculnya tradisi
Perang Obor, mereka hanya mendengar cerita-cerita yang diwariskan antar generasi.
Masyarakat desa Tegalsambi tidak dapat menceritakan secara pasti sejak kapan Tradisi
Perang Obor mulai dilaksanakan. Mereka hanya mengatakan bahwa upacara ini sudah
dilaksanakan sejak lama, masyarakat desa Tegalsambi tinggal meneruskan adat yang telah
Waktu pelaksanaan Perang Obor masih menggunakan perhitungan Jawa. Upacara Perang
Obor dilaksanakan satu tahun sekali setelah panen raya padi, yaitu pada hari Senin Pahing
Menurut bapak Sumarno, alasan Perang Obor dilaksanakan pada hari tersebut dipercaya
masyarakat sebagai hilangnya wabah penyakit pada desa Tegalsambi pada masa nenek moyang
mereka.
Pada saat ini upacara obor-oboran dipergunakan untuk sarana sedekah bumi sebagai
ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberi kesuburan pada tanah mereka dan
keselamatan pada masyarakat. Sebagai suatu kegiatan, upacara obor-oboran tidak dapat berdiri
sendiri tanpa selamatan sedekah bumi, begitu juga sebaliknya. Jadi, kedua kegiatan ini saling
35 hari (selapan) sebelum pelaksanaan Perang Obor didahului dengan adanya selamatan
dan doa-doa bersama atau istilahnya sama dengan ‘Bari’an’, tempat pelaksanaannya di makam
Dilaksanakan sesuai dengan penanggalan jawa yang jatuh pada hari Senin Pahing malam Selasa
Pon pada pukul 12.30 WIB (setelah sholat dzuhur) di punden mbah Tegal. Punden Tegal
Punden ini terletak di sebelah barat perempatan desa Tegalsambi. Dilaksanakan dengan
menggunakan penanggalan jawa yang jatuh pada hari Kamis Kliwon malam Jumat Legi.
Dinamakan Bari’an Prapatan karena lokasi pelaksanaan ritual bari’an berada pada salah satu
Masyarakat melempari orang yang lewat di sekitar perempatan dengan nasi dan lauk hasil
selamatan
Bari’an ini dilaksanakan pada penanggalan jawa yang jatuh pada hari Kamis Pahing malam
Dilaksankan di hari yang bersamaan setelah bari’an di punden Gambiran. Letak makamnya di
Dilaksanakan sesudah bari’an Doromanis di hari yang sama, letak makamnya di tengah-tengah
pemukiman warga atau lebih tepatnya di pekarangan salah satu warga desa Tegalsambi.
Dilaksanakan pada hari Senin Wage malam Selasa Kliwon di masjid Baituz Dzakirin pada pukul
Tegalsambi agar pada pelaksanaan acara utama yaitu Perang Obor tidak ada hambatan yang
dapat menganggu jalannya acara. Pada pelaksanaan bari’an, setiap kepala keluarga diharuskan
membawa bekal makanan sendiri, tapi diabgi rata dengan masyarakat lain, jadi sama halnya
orang lain memakan milik kita dan kita memakan milik mereka.
Pada hari pelaksanaan Perang Obor berdasarkan rembug desa, paginya diadakan
penyembelihan hewan kerbau yang masih perjaka di lapangan Desa Tegalsambi. Alasan
pemilihan kerbau yang masih perjaka adalah karena kerbau merupakan hewan peliharaan Kyai
Dasuki atau yang lebih dikenal sebagai Mbah Tegal, darah pertama yang keluar dari kerbau
dijadikan sebagai pelengkap sesajen, sedangkan dagingnya akan dimasak bersama masakan
dilaksanakan Bari’an yang terakhir kali. Bari’an dilaksanakan di masjid Baituz Dzakirin. Tujuan
dari Bari’an kali ini adalah untuk meminta izin kepada seluruh arwah nenek moyang Desa
Tegalsambi karena pada malam harinya akan dilaksanakan Perang Obor. Perlengkapan Bari’an
meliputi bejana dari tanah, kemenyan dibakar, nasi ambeg (nasi beserta lauk-pauknya).
Sore harinya mempersiapkan obor yang akan digunakan saat pelaksanaan Perang Obor pada
malam harinya. Obor ditata di sepanjang jalan menuju ke arah perempatan Desa Tegalsambi.
Obor ditumpuk dan diletakkan setiap 10 meter, namun hanya 3 penjuru karena salah satu penjuru
pendaftaran sehari sebelum acara dilaksanakan. Tidak ada kriteria apa pun untuk memilih pelaku
Perang Obor, hanya diperlukan kesiapan mental serta keberanian dan ketangkasan dari pelaku
Perang Obor.
Setelah mendapatkan pengarahan dari panitia dan semua perlengkapan Perang Obor telah
siap maka upacara Perang Obor siap dimulai. Beberapa pemain Perang Obor berjalan menuju ke
tengah-tengah perempatan desa Tegalsambi sambil membawa bejana dari tanah yang berisi
kemenyan, darah kerbau yang disembelih sebelumnya, serta obor kecil yang terbuat dari bambu.
Sesampainya di perempatan desa Tegalsambi, kemenyan dibakar dengan menggunakan api yang
pelaku Perang Obor yang paling dekat dengan tumpukan obor di tengah perempatan, kemudian
saling meminta api dari obor yang pertama dan kemudian diangkat ke atas dalam keadaan api
berkobaran.
Acara perang Obor dimulai sekitar pukul 20.00 WIB dan berakhir sampai semua obor yang
Setelah acara selesai, para pemain berkumpul di rumah kepala desa untuk beristirahat dan
mengobati para pemain yang luka. Dan para penonton yang terkena percikan api pun juga ikut
dating ke rumah kepala desa untuk mengobati luka. Obatnya terbuat dari minyak kelapa murni,
jerami yang sudah dibakar sampai menjadi arang, bunga layon (bunga untuk melayat di kuburan
yang dikumpulan setiap hari jumat selama satu tahun), darah kerbau yang telah disembelih
sebelumnya, kemudian diberi mantra oleh ibu kepala desa. Obat dari minyak kelapa yang sudah
dimantrai dipercaya masyarakat desa Tegalsambi sangat mujarab karena mampu mengobati luka
akibat terkena api obor. Luka akan hilang tanpa meninggalkan bekas serius di kulit bebewrap
Dengan waktu bersamaan para pemain Perang Obor mengobati luka bakar, istri kepala desa
membagikan uang kepada mereka sebagai uang lelah karena telah ikut berpartisipasi dalam
pelaksanaan Perang Obor. Meskipun jumlah nominalnya tidak seberapa, yaitu sejumlah
duapuluh lima ribu rupiah, namun ada kebanggaan tersendiri karena sudah ikut menjadi peserta
Perang Obor. Karena perang obor merupakan kebanggaan daerah asal yang dimiliki dan dapat
Perang obor itu masih diuri-uri dan dijaga kelestariannya. Bagi pemerintah daerah Jepara
acara tradisi itu dikemas menjadi ajang wisata yang mampu menyedot pengunjung yang cukup
banyak. Namun bagi warga desa Tegal Sambi ritual “Perang obor” bertujuan sebagai tolak balak
dan juga ajang syukuran warga desa sehabis panen padi, agar tahun-tahun mendatang semua
Budaya itu sudah turun temurun dan dilestarikan oleh para warga setempat, karena selain
merupakan tradisi budaya daerah, juga sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada Tuhan Yang
Maha esa atas limpahan anugrah panen kepada masyarakat setempat. Tradisi yang sangat
menarik untuk dinikmati oleh wisatawan, sehingga hal ini berpotensi untuk dikembangkan dan
Hambatan-hambatan yang dirasakan dari tahun ke tahunny adalah dari aspek peralatan
dan pendanaan:
1) Kelangkaan bahan baku
Sulitnya mencari bahan baku yang digunakan untuk membuat obor. Bahannya yaitu
dengan menggunakan daun pisang yang sudah kering dan daun kelapa yang sudah kering
(klaras). Bapak Sumarno mengatakan bahwa, daun pisang di Tegalsambi banyak, tapi kalau daun
kelapa keringnya yang jarang, sehingga untuk mengantisipasi keadaan tersebut , masyarakat desa
2) Aspek pendanaan
Kelangkaan bahan baku yang digunakan tersebut saja sudah mempengaruhi besar
kecilnya dana yang digunakan. Apalgi ada pementasn wayang kulit dan penyembelihan kerbau
juga.
Pendanaan lain dari iuran masyarakat desa Tegalsambi. Degan dikomando oleh kepala
desa, setiap kepala keluarga diharuskan menyetorkan sumbangan dalam bentuk uang maksimal
dua minggu sebelum pelaksanaan Perang Obor. Besar kecilnya iuran tersebut tergantung dari
PENUTUP
Kesimpulan
Begitulah potret Tradisi Perang Obor di Jepara yang masih diuri-uri dan dijaga
kelestariannya oleh para masyarakat Tegalsambi. Perang Obor selain sebagai budaya yang
mereka miliki, juga sebagai adat istiadat yang dipercayai untuk tolak-balak dan meminta
keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan limpahan karuniaNya di bumi
Tegalsambi.
Acara dilaksanakan setiap satu tahun sekali, dengan berbagai prosesi yang harus
dilaksanakan terlebih dahulu sebelum hari pelaksanaannya Perang Obor. Ada pun prosesinya
seperti melaksanakan Bari’an di 7 makam atau punden para leluhur pendiri desa Tegalsambi dan
pelaksanaan Wayang Kulit, serta penyembelihan hewan kerbau. Semuanya itu memiliki makna
tersendiri bagi masyarakat Tegalsambi yang meyakini ritual adat Tradisi Perang Obor tersebut.
catatan!
1. untuk mengetahui foto-foto setiap proses perang obor berlangsung, bisa hubungi penulis
2. buku ini penulis tulis berdasarkan tugas dan bimbingan dosen matakuliah pengkajian
kesenian tradisional
3. penulis hanya mengepost dari isi buku, untuk melihat selengkapnya bisa hubungi penulis.
https://dititikgerimizku.blogspot.co.id/2012/11/tradisi-perang-obor-dari-jepara.html