Anda di halaman 1dari 106

JEJAK KATA, Monolog Dalam Renungan

Kata Pengantar

Banyak pengalaman yang terekam dalam ruang pikir dan rasa kita, lantaran kita berjumpa dengan sesuatu atau seseorang di tengah realitas kehidupan. Semua pengalaman tersebut tampak terpenggal-penggal, terpisah lepas dalam kisah-kisah. Namun, ada yang pasti bahwa setiap perjumpaan menyisahkan kenangan, entah yang membuat kita mengenanganya sebagai yang baik, biasa-biasa saja, atau pun sebagai yang buruk dan menyakitkan. Berhadapan dengan pengalamanpengalaman perjumpaan itu, sebagai bagian dari makhluk Tuhan berpikir dan berasa, kita manusia diwajibkan untuk melalui dan mengalaminya. Tak seorang pun dari kita yang bisa menampiknya. Sebaliknya, kita justru, harus suluk dan dan tewas dalam kehidupan. Artinya kita tidak hanya sekedar melihat, tetapi juga mengalami dan menguraikan kisah-kisah, kenyataan-kenyataan tersebut dengan jernih.

Namun, sampai pada tahap itu, penulis pun sadar bahwa tidak semua pengalaman dapat dilihat, dialami dan direkam serta direfleksikan secara tuntas. Karena, selain karena kita adalah seorang manusia biasa, yang punya kekurangan dan keterbatasan, sebanarnya juga, dan ini adalah yang utama, segala kesempurnaan adalah milik Tuhan. Karya kecil yang sekarang hadir di hadapan pembaca sebenarnya merupakan kumpulan catatan, kisah dan juga refleksi sederhana, yang penulis sarikan dari dan dalam setiap perjumpaan dengan keseharian. Sebuah kisah remeh temeh yang dengan sengaja diangkat untuk direnungkan. Sebuah kisah keseharian yang sudah sering kita jumpai. Pesan yang mau disampaikan pun cukup sederhana, yakni sebuah ajakan moral agar kita mampu memaknai kehidupan dengan segenap rasa, dengan segenap jiwa. Kita diajak untuk masuk dalam setiap peristiwa kehidupan kita masing-masing, bergulat dengannya, membangun dialog dengannya dan lantas memetik maknanya. Sebab, demikianlah sejatinya kehidupan. Hidup berarti
3

menyelami sendiri.

kedalaman

kehidupan

itu

Selanjutnya, agar pesan yang mau disampaikan penulis sampai ke tengah membaca, penulis mencoba untuk menunjuk aku sebagai pelaku kisah. Aku yang dimaksudkan penulis, bukan aku penulis, tetapi aku sebagai manusia yang sadar akan pengelamannya masingmasing. Karena penulis yakin bahwa ketika karya kecil ini sampai ke tangan pembaca, ia menjelma menjadi sebuah, sesuatu, bahkan seseorang yang akhirnya membangun dialog secara personal dengan pembaca. Dia menjadi aku di antara akuaku yang lain. Aku itu adalah KATA, yang di hadapan membaca mungkin akan melahirkan tanya dan tafsiran yang mungkin tidak sama. Penulis mengharapkan agar KATA yang dikandung dan sudah sedang dilahirkan akan terus melahirkan tanya, semakin banyak, luas, kaya dan mendalam. KATA yang dilahirkan oleh aku penulis, hanyalah sebuah mentah, yang diharapkan di tangan akuaku pembaca, KATA ini diolah dan dimatangkan.
4

Lantaran itulah karya ini perlu dibagikan, agar bukan hanya bisa berbagi, tetapi juga saling memberi arti. Agar ruang hening, ruang refleksi melahirkan mololog (dialog dengan diri sendiri) yang lebih bermakna, bukan hanya untuk aku, tetapi juga untuk aku-aku yang lain. Akhir kata, sebelum penulis menutup catatan pengantar ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang dengan caranya masingmasing telah membantu penulis sehingga karya ini dapat hadir ke hadapan pembaca. Salam, semoga kita bisa berbagi.

Meulaboh Aceh Barat, 14 November 2010

PROLOG Pada Mulanya Adalah Kata

Ada banyak hal yang bisa disampaikan dalam satu kata. Alangkah besar kekuatan kata, bukan karena kata itu sendiri, yang hanya sekedar kumpulan dan barisan huruf-huruf, melainkan karena fungsinya sebagai penyampai jiwa, penerus rasa dan perpanjangan pemikiran manusia. Sesederhana apa pun kata, dia menyimpan kekuatan emosi dan rohaniah. Aku menyadari itu sungguh, dalam pengembaraan memasuki rimba kata. Dalam dan melalui kata, aku mengeluhkan segala penat ke setiap carikan kertas. Kadang mengadu kepada penyair sembari meminta syair dari pada mereka. Kadang, sebentar mendekam di kamar seperti tubuh hanya terdiri atas kepala, yang dalam ruang kepalanya melepas tanya, pantul memantul penafsiran hanya untuk mencari kepastian sebuah jawaban. Kadang pula, menjadi tubuh yang punya kaki dan tangan, melanglang ke luar kamar, masuk ke tengah keseharian, mengadu kepada dan menimba kisah dari para sahabat.

Dalam dan melalui kata aku bermain-main dengan kebodohan, menelisik masuk ke kantung kubangan kebobrokan tempat di mana keagungan dan kehinadinaan kata bertakhta. Suatu ketika dari takhtanya, kata itu bisa memporakporandakan kemapanan dan menjadi gila. Kadang pula, aku terdampar di malam-malam senyap, menjadikan sunyi yang pekat sebuah tempat wisata paling indah. Menemukan kata dalam suarasuara malam, dalam rimba kegelapan. Aku mencoba untuk merekam suarasuara malam dengan mata hati yang tajam, memajukannya dengan berisik siang jadi simphoni rasa yang indah untuk didendang dan didengar. Hanya mata kata yang dapat melihat segala kehidupan serupa berlian. Mungkin, lantaran itulah Kitab Suci menulis, pada mulanya adalah firman, sabda dan atau kata. Dan selanjutnya dalam Quran menyebutnya bacalah. Jika bukan tentang apa? tentang kata, lantas

Selapis-lapis kecerdasan dalam kepalaku tidak cukup untuk menuliskan semua kata yang tertabur dalam rimba
7

kehidupan. Kata begitu luas dan dalam, tinggi dan kaya. Dalam dan melalui tiga kata aku mencoba untuk memandang ke luar: Cinta, Kehidupan, kematian. Namun, melalui ketiganya, bukan aku sudah dapat menyelami kedalaman dan juga menggapai keluasannya. Sebab yang kutahu pasti dari kata, dalam dan melaluinya, adalah menjadikan kehidupan lebih bermartabat dari masa ke masa. Kata, baik yang dituturkan dan maupun dituliskan, baik yang difirmankan maupun yang dibacakan, selalu harus melahirkan peristiwa. Jika tidak, kata tidak akan pernah menjadi daging, dan tidak akan pernah tinggal di antara kita. Jika tidak, kata tidak akan memberikan perubahan yang mengarahkan jalan manusia kepada tindakan yang menjujung tinggi peradaban. Inilah makna kata. Menjadi bernyawa, bukan hanya untuk dan atas nama cinta, tetapi juga untuk dan atas nama kehidupan.***

Bagian Pertama: MERENUNGKAN CINTA

Untuk mengalami cinta yang sesungguhnya kita harus tewas dalam peristiwa kehidupan. Agar kita tahu bahwa sejatinya cinta selalu berjalan bersandingan dengan derita. Semakin jauh kita berlangkah atas nama cinta, semakin banyak kita menemukan tantangan dan halangan yang merintanginya. Di sinilah letaknya martabat cinta, bahwa cinta itu bermartabat

Elegi Pencari Cinta

Dalam setiap siang aku mencari. Aku memanggilmu di bawah terik. Pernah kutanyakan kepada sahabat tentang kabarmu. Mereka menjawab tidak tahu. Seorang dari antara sahabatmu berkisah, jika kau sudah kembali ke rumahmu. Aku mendatangi rumahmu, hanya kutemukan gembok yang mengarat dan halaman yang penuh sampah daun kerontang. Aku yakin kau tidak kembali. Kalau pun kembali, kau mungkin sudah pergi. Pergi ke tempat di mana kau biasa menyepi, menyendiri. Aku mencarimu di tempat-tempat yang sering kau kunjungi. Di perpusatakaan aku hanya menemukan bekas jarimu yang masih hangat pada lembaran buku yang baru saja dibaca. Kau, rupa-rupanya, tidak membaca dengan segenap jiwa. Kucium bau katakata duka. Kata-kata itu yang membuatmu tak betah. Di bawah pohon rindang di puncak taman hanya kutemukan mawar terkulai yang masih basah karena air mata. Daundaunnya meranggas. Hanya sekumtum yang bertengger lunglai, ditopang setangkai berjajar duri-duri. Kau terluka.
10

Aku berlari ke pantai, tapi jejakmu hilang dijilat lidah ombak. Kau malu pada gelombang. Dia tak pernah lelah menepi. Seharusnya kau belajar dari padanya, bagaimana menyelami kehidupan. Aku pergi ke sungai, ke padang, dan ke pematang, aku hanya menemukan jejak buntu. Hingga aku masuk menemuimu dalam catatan harian, yang seharusnya aku kembalikan hari ini. Pada halaman pertama kutemukan sepatah kata yang membuatku tersenyum Buku ini kutulis tentangmu dan pada halaman terakhir aku membacamu dengan marah Andai aku tidak pernah menuis tentangmu Aku adalah aku. Aku masih di sini. Siang menjadi singkat. Dalam waktu yang singkat itu aku hanya menemukan jejak tak bertuan. Ke manakah aku harus mencarimu? Ke manakah kau pergi? Apakah engkau tak akan pernah kembali? Mengapa lukamu kau bawa pergi? Jika boleh aku meminta, coretkan pada secarik kertas nomor telepon atau alamat terakhirmu. Berikan aku tanda,
11

biar aku menelusurinya. Haruskah kau membayang-bayangiku dalam setiap senyap malam, seperti malam malammalam kemarin dan juga terjadi pada malam ini? Dalam setiap senyap malam aku menunggu. Malam ini, di hadapan bayangmu, engkau membuatku harus bertanya lagi. Apakah engkau ada jauh di sana, duduk di satu sudut bintang, atau di permukaan bulan memancarkan ke hadapanku bayangmu yang yang tak pernah pudar. Apakah engkau dalam senyap yang sama, seperti malam ini. Engkau menghadirkanku dalam bayangmu, bertanya tentang kesetiaanku, tapi enggan untuk menemani kesendirianku. Tapi dalam bayangku malam ini, engkau sudah tampak lelah sembunyi. Engkau ingin mengunjungiku sekarang juga. Engkau ingin mengejutkanku dengan kehadiranmu, senyum, dan pelukan mesramu. Engkau mau mengucapkan apa kabar kepadaku. Jika engkau memang datang, duduklah di hadapan nyala lilin ini. Lalu
12

kita akan satukan janji, kita tidak akan pernah saling mencari, kita harus bertemu untuk memulai, kita tidak akan pernah pergi lagi. Tapi bayang tetaplah menjadi sebuah bayang. Malam selalu membuatku senyap dalam bayang yang sulit lupa. Dalam setiap siang aku mencari. Tapi yang kutemukan hanya jejak-jejak buntu. Dalam setiap senyap malam aku menunggu. Tapi yang kutemukan hanya bayang yang tak mewujud. Dalam siang aku menjadi semakin lelah, dan dalam malam aku menjadi semakin senyap. Aku mau kuburkan jejakmu, dan lupakan bayangmu. Tapi aku tidak sanggup. Sebab engkau selalu hadir menikam rasaku.

Sunyi Itu Sakit Hanya untuk mereka, orang-orang yang benar-benar merasakan jatuh cinta. Yang menjatuhkan pilihan yang tepat pada dia sebagai yang tak tergantikan. Yang menariknya ke dalam hati menjadi sumber
13

denyut, tumpuan pikiran.

kekuatan

dan

pusat

Hanya orang-orang yang seperti itulah yang dapat memahami dengan sungguh apa arti kata-kataku ini. Sekarang dan di sini. Aku sedang sendiri. Seorang diri. Apa yang aku rasakan Adalah benarbenar hampa, entah seperti apa, aku tak dapat melukiskannya dengan kata. Namun aku dapat menggambarkannya, bahwa hidup hanya setumpuk malas. Hendak menatap jauh, tapi yang dituju hanya jenuh. Hendak melangkah jauh, tapi pada batasnya kutemukan buntu. Setiap kerja dan karya, berbuah setengah-setengah. Setiap kata dan kalimat, diucap patah-patah. Hari-hariku serupa segumpal angan, tanpa masa dan muatan. Aku tidak merasa lapar, juga tidak kenyang. Mengemil pun enggan. Khayal dan lamun selalu saja menemaniku, datang silih ganti, kadang menanyakan dengan lantang apa yang sedang dipikirkan. Apa yang sedang direnungkan. Apa yang sedang dibayangkan.
14

Selalu saja aku diam. Tidak punya kata, tidak punya kalimat, juga tidak punya gerak. Diam. Bisu. Kadang air mata berbicara, untuk sekedar tenangkan jiwa, juga bangkitkan semangat. Tetapi aku kembali lagi kepada sepi. Jika aku menarik diri ke sunyi, seorang diri yang terpekur seperti sedang merenung nasib yang tiada menentu. Sungguhsungguh sendiri, seperti di pekat malam tidak berbintang. Kadang hasrat mangajakku pergi ke tempat yang jauh, sangat jauh. Ke tempat di mana aku tak bisa menjumpaimu. Entah di mana, mungkin di alam yang tua, ketika kita harus menutup usia. Mati. Sendiri itu siksa. Sepi itu sengsara. Sunyi jadi kiamat. Selalu aku bergelut dengan hampa. Air mata jadi saksi, yang tidak dapat mengatakan apa-apa hanya menyiratkan arti kesendirian bahwa sepi itu sakit. Aku tidak bertanya ini dosa siapa, sebab ini adalah dosaku sendiri. Sepiku. Sunyiku. Malamku. Sendiriku. Yang membuat aku sakit adalah diriku sendiri.
15

Aku belum siap, mungkin juga sama sekali tidak siap untuk sendiri. Walau untuk sejengkal itu. Semenit itu. Sebab sudah terlalu sering kita bersama. Terlalu lama kita berdua. Walau tidak mengapa dan tidak apa-apa. Tapi rasa ini selalu hangat disapa. Selalu mesra: Senyummu, cumbumu, kecupmu, bau hangat tubuhmu, marahmu, tamparmu, umpatmu dan juga makimu membekas dalam ingatanku. Sebagai cinta. Cinta Sekarang bolehlah aku bertanya: Sedang apa kau disana? Sedang sibukkah engkau berkerja. Sedang beriang bersama sahabat-sahabat. Sedang meniti masa depan? Untuk hari tuamu. Untuk masa depanmu. untuk gembiramu. Untuk cintamu. Pada tanahmu. Pada orang tuamu. Pada kakak dan adikmu. Pada keluargamu. Aku mendukungmu. Aku mendukungmu. Aku mendukungmu. Tapi dari sendiriku di sini. Aku memintamu dengan sujud. Untuk tidak melupakanku. Ingatlah aku dicelah sibukkmu. Disudut gembiramu. Sebab aku selalu bersamamu. Walau kau tidak menyebut namaku. Dan tidak
16

memanjatkan sepotong doa pun di waktu gembiramu.

Martabat Cinta Ada yang tersisa dalam ruang rasa ketika cinta itu pergi. Sebuah jejak tentang hari kemarin. Entah berupa senyum kebahagiaan, pun pula berupa air mata. Ada ragam kisah tentang cinta. Entah ketika memulainya, menjalaninya, maupun ketika harus meninggalkannya. Namun hampir menjadi suatu yang pasti, tentang akhir cinta selalu ada duka. Walau sesungguhnya tentang itu tak mesti. Sebagian dari kita menyadari dan bahkan mengalami peristiwa itu. Sedikit dari kita mengalaminya sebagai momen yang menyenangkan, dan (namun) sebagian besar mengalaminya sebagai momen yang menyakitkan. Mereka yang berbahagia akan mengatakan bahwa sekarang, aku bebas. Mereka tidak lagi terbelenggu oleh cinta yang mungkin menurut mereka sebagai beban dan pengalaman menyakitkan.
17

Mereka telah menemukan itu, ketika mereka harus pergi dari pasangan mereka. Namun, jika disadari sungguh, sejatinya cinta tidak harus lari dari kenyataan. Vita et militia. Hidup adalah perjuangan. Itu artinya kita harus berhadapan dengan ragam pertentangan dalam kehidupan. Tak ada satu pribadi pun yang bisa mengelaknya. Jika bukan sekarang maka ia akan mengalaminya esok hari. Jika bukan sekarang, maka masih ada hari esok. Setiap kita hanya dibekali dengan kesabaran dan keikhlasan untuk menerima dan menghadapinya. Kapan momen itu menghampiri kita. Hanya Tuhan yang tahu. Cinta adalah cinta. Cinta tidak pernah membawa manusia kepada kebebasan. Sebab semakin kita mengalami cinta dalam relasi, kita semakin suluk dalam kehidupan manusiawi manusia. Kita semakin ditantang untuk menerima tantangan-tantangan. Kita semakin ditempa oleh problema-problema kehidupan yang sesungguhnya adalah kompleks.

18

Mereka yang sakit karena cinta, sejatinya adalah pribadi yang empunya cinta. Mereka mengalami kegetiran itu. Mereka mengalami ketakberdayaan. Lantas kemudian bangkit untuk berbenah diri. Menemukan alternatif-alternatif perubahan, agar cinta yang hendak dibangun kembali, tidak untuk kedua kalinya jatuh sakit. Untuk mengalami cinta yang sesungguhnya kita harus tewas dalam peristiwa kehidupan. Agar kita tahu bahwa sejatinya cinta selalu berjalan bersandingan dengan derita. Semakin jauh kita berlangkah atas nama cinta, semakin banyak kita menemukan tantangan dan halangan yang merintanginya. Di sinilah letaknya martabat cinta. Cinta. Dia sesungguhnya bukan kebebasan. Tetapi merupakan jalan yang menuntun kita menuju kebebasan sejati. Cintalah yang membangun relasi. Cintalah yang menjumpakan kita dengan tantangantantangan. Cinta pulalah yang mengajarkan kita bagaimana mengurai benang kusut kehidupan ini.

19

Cinta. Dia adalah wadah yang menempa hidup kita agar kian hari kian matang dan dewasa. Kian hari kian menemukan diri. Tanpa mengalami kepedihan dan kegetiran cinta, niscaya anak manusia tidak menemukan makna keberadaannya dalam dunia.

Cinta Kepada Kekasih Terang bulan jatuh, tempias biasnya membasuh gelap malam itu. Di beranda rumahnya, dia telah menunggu. Matanya bagai purnama, menatap langkahlangkahku. Sinar matanya menjemputku. Tapi, hatiku bergetar, murkanya pasti menerjangku. Demikian gerutu hati kecilku. Tetapi kecemasanku itu luntur. Dalam jarak sekian centi meter, wajahnya ternyata sejuk. Seperti embun suaranya meluncur Aku tidak marah, tetapi aku mau kamu menjelaskan mengapa kamu mengabaikanku itu saja, lalu senyap seketika.

20

Ada harap di matanya. Ia menunggu kejujuranku. Aku terpana, tersintak. Antara benar dan tidak, tetapi itulah fakta. Jarak yang terbentang jauh antara ketidakpedulian telah menjadi jurang yang tak tergapai. Kisah-kisah hanya dipenuhi curiga. Cerita-cerita menjadi hambar Sayang, cinta yang gugur bisa jadi luka. Setia dicabik bisa jadi belati. Di tepi malam ini belati itu tidak memenggal putus cinta kita, kau dan aku terlalu kuat bagai sumpah aku mendekat. Ingin aku mengecup keningnya. Tapi seriusnya menamparku. Kata-kataku pun ditampik. Kamu telah melupakan sumpah, jangan belajar melupakan itu. Jika bukan sekarang kamu harus berubah, tidak ada waktu untuk berbenah. Jarum waktu tidak mengubahmu, hanya kamu yang bisa mengubah dirimu sendiri kata-katanya menyengat menusuk rasa. Aku terjerembab. Lututku melepuh. Bibirku jatuh pada debu. Hampa. Ciuman kita adalah doa. Di khayangan bidadari menari mengitari cinta yang pernah kita jalin. Sesekali mereka memandikan cinta kita. Mereka senang, serentak terbersit
21

cemberu yang lama memendam Matanya redup. Ia tersenyum. Lagi aku berujar Mereka mengejarngejar cinta kita. Pada malam-malam panjang, mereka mengusik dengan mimpimimpi buruk. Mereka menodai jalinan kita dengan cemburu dan prasangka. Tapi serupa sumpah, cinta kita begitu kuat Senyumnya berhenti. Merelalah aku bertumpu di atas lepuh lutut untuk sebuah maaf. Aku mau berjaga hingga fajar cerah. Juga, berkacalah pada setiap jejak yang sudah kau perbuat, mungkin juga punya salah. Kekasihku, tidurlah. Di sini, di hatiku kami pun bersanding.

Peri Penebar Wangi Peri itu datang lagi. Ia selalu datang setiap berganti malam. Pada malam sebelum-sebelum peri rupawan itu selalu berpakaian putih. Wajahnya terpancar suci serupa santa. Menebar wangi mawar. Tapi pada malam ini, ia tidak berbusana, tubuhnya berwarna jingga seperti matahari terbenam. Ia anggun dan menawan.
22

Tungkainya dilipat, belah dadanya bening, senyumnya mengembang di antara rambut terjatuh padu bahu. Peri itu datang bukan lagi membawa pesan. Malam-malam sebelum peri sudah berpesan aku akan datang menemuimu, sudah berulang aku mencari, di relungrelung hati, di seluk beluk bilik, di lingkaran pelangi, sampai di balik mati tapi tidak kutemukan lendir birahi, jika engkau punya sedikit, berikan aku setitik Aku terperanjat, ketika mendengar pesan itu berganti rupa akan jadi peristiwa. Ia membawa birahi, tanpa cinta, tanpa ikatan. Peri berawan tampa tempat, tampa muasal datang meminang, pinta sanggamah, sedang aku masih perjaka. Di balik selimut mimpi malam. Menggigil tubuhku jadi menghangat. Ia mendekat, mendekap. Aku meronta, meregang, menampik, tapi tidak dapat mengelak. Aku ditindih bugil putih, berparas jingga. Leleh lendirnya terasa hangat, membasahi malamku. Kami bersatu di ruang sepi, di balik malam. Kami bersama menyantap nafsu
23

birahi, tanpa cinta, tanpa ikatan, lupa dosa. Hingga kubangun esok pagi. Mandi basah membaptisku. Di ruang sadar aku terjaga seperti sedia kala.

Sebuah Tanda, Sebuah Makna Pernahkan kau diberi tanda? Seikat mawar putih? Sebuah cium pada kening? Atau mungkin seuntai puisi? Dan sekembang senyum manis? Atau sekepal tinju? Sebilah tampar? Di hadapan tandatanda, kau hening dan bertanya. Tapi sayang, mengapa tidak sudi kau coretkan di catatan harian, atau pada sepucuk daun tua.

Ketika buku harianmu terburai di usia senja, dan daun gugur sudah, semua tanda kau rekam dalam benak jadi jejakjejak. Kau bercerita kepada cucu bahwa ada sebuah peristiwa yang sulit lupa. Memendar-mendar dalam kepala, meleleh keluar dalam cerita. Sekedar lisan.

24

Konon demikian kisahmu. Di hadapan tanda-tanda, tak kau temukan jawaban. Mungkin hanya senyum dan bayang yang sulit lupa. Kau bawakan tanda-tanda, dalam sunyi tidur malam. Dalam pentas di tempat doa. Seharusnya kau saksikan sendiri lewat pena dan buraman berlembar-lembar.

Konon baru sebelum ajal menjemputmu, dengan terpatah-patah kau kisahkan Cucuku, di hadapan tandatanda, hanya akan mengatakan makna. Tanda tiada bertanda. Ia mengatakan makna. Tanda terbesar dalam hidupku adalah perjumpaan. Hanya itu

Lantas, kau tutup usia. Mimpimu gugur bersama senja, dan lembaranlembaran puisimu terburai dimakan ngengat zaman. Ketika cucumu besar kelak, dia akan bersumpah kakekku penyair yang bebal, mengapa segala kisah dia enyahkan. Sepanjang hidupnya hanya berkhayal, tetapi tidak juga menuliskan sepatah kata pun. Sekarang dia telah tiada,
25

yang ada hanya kenangan akannya yang meranggas

Takhta Cinta Aku merangkak dengan tapak-tapak yang kokoh. Melewati jurang yang terjal menuju takhta cinta yang tersembunyi di balik dua topangan tubuh. Aku tidak sendiri. Aku bersamanya, bersama pemilik singgasana. Di situlah gua sanggama tampak jelas terlihat, walau agak curam, terbalik menatap wajah bumi. Menatap surga yang terletak di bawah telapak kakinya. Menatap eden. Takhta cinta itu bagai rembulan, melepas cahaya, menyiram malam. Ketika tiba, aku terbelalak. Menakjubkan. Mataku memandang rimbunan teratai berdaun rendah. Guguran daun tua dari pohon yang menjulang, lalu dibawa lenyap aliran sejuk di sisi badan gua, hingga berhenti di tepi telaga.

26

Di depanku tenang berdiam telaga indah, dengan pulau kecil menyembul di tengahnya. Pulau berpesisir terjal berwarna jingga yang memanjakan lidah-lidah gelombang menjilatinya. Penuh butiran embun. Menyilaukan mata jiwa, menusuk rasa, melumat sukma. Aku hendak masuk lebih jauh ke dalam. Kubasuhkan wajah dengan aroma telaga, membiarkan ariku merasakan kesejukannya. Serentak menguatkan tapak-tapak pijakku dengan menegukkannya. Hingga aku memanjatkan doa Tuhan aku telah menemukan cinta, tetapi mengapa Engkau meletakkan-Nya di tempat yang paling sulit untuk ditempuh

Sejatinya Cinta Sejati Kuawali kisah tentang sejatinya cinta dengan mengutip sepenggal dari Kahlil Gibran. Dalam tulisannya yang berjudul Semua Karena Cinta (Narasi, 2005). Gibran melukiskan cinta dalam kehidupan serupa tetumbuhan berbunga, Hidup tanpa cinta bagaikan sebatang pohon yang kokoh
27

berdiri namun dahannya kering, tanpa dihiasi buah ataupun bunga Berangkat dari sepanggal kalimat di atas, Gibran dan aku pun meyakini hal yang sama bahwa cinta merupakan dimensi mendasar hidup manusia di dunia. Manusia menjadi ada dan digerakan dalam dunia karena cinta. Tanpa cinta manusia dan kehidupannya kehilangan orientasi, kehilangan pegangan, kehilangan hidup itu sendiri. Jika cinta adalah roh yang menggerakan kehidupan serentak pegangan dan arah yang menjadi pegangan selanjutnya yang mengarahkan ziarah kehidupan manusia, dengan demikian bagiku cinta merupakan metafor atas keberadaan Allah. Allah adalah Cinta. Dengan demikian pula, cinta tidak sekedar hubungan manusia dengan manusia, tetapi juga manusia dengan Allah dan manusia dengan alam. Cinta itu selain melekat secara personal dalam setiap makluk hidup, juga menjadi pelingkuppelengkap-penyatu kehidupan itu sendiri.

28

Inilah hakikat cinta sejati. Bahwa cinta tidak punya makna selain mewujudkan maknanya sendiri. Cinta tidak memberikan apa-apa pada manusia, kecuali keseluruhan dirinya, dan cinta pun tidak mengambil apa-apa dari manusia, kecuali dari dirinya sendiri. Cinta tidak memiliki atau dimiliki, karena telah cukup untuk cinta. Namun jika manusia mencintai dengan hasrat dan keinginan, maka manusia harus meluluhkan diri, mengalir di dalamnya, dan terlibat. Hanya saja dalam kehidupan manusia, cinta yang sempurna tidak dapat ditemukan. Sebab bagiku, kehidupan adalah tabir kegelapan, berkerudung dan bercadar. Melalui dan dalam cinta manusia senantiasa digiatkan untuk melakukan pencarian makna kehidupan dengan mengamalkan cinta kasih, tetapi kesempurnaan cinta hanya ada dan dimiliki oleh Allah.

Bagian Kedua:
29

Merenungkan Kehidupan

.dalam kata, aku menemukan sesuatu yang lebih, baik tentang apa yang kupikirkan dan apa yang aku rasakan tertampung. Bahkan Meluap-luap. Dalam setiap kata, dalam rimba kalimat, aku selalu menemukan titik pencarian itu. Hanya dalam kata aku serupa angin, berkelebat dalam liukan huruf dan angka, tanda-tanda baca, kalimat dan frasa. Hanya dalam kata, aku kadang menemukan diriku sendiri mampu, walau dalam pada saat-saat tertentu aku menemukan diriku tidak bermakna

Meresapi Sepi Selalu aku harus mengadu, jika bukan kepada buku maka kepada pena. Kepada buku, aku mendengarkan keluh kisah, cerita, gagasan dan pandangan, dan kepada pena aku mengadukan keluh kisah, cerita, gagasan dan pandangan. Sahabatku adalah penulis dan menulis. Mereka selalu mendengarkan setiap jeritan hati, dan
30

selalu bersama kebahagianku.

menggembirakan

Hari-hari ini, aku merasakan sepi yang tak terhankan. Sudah kutulis dengan bugil, tapi rupanya tidak cukup. Aku ingin mendengar kisah dan cerita. Sudah kudengar The Last Empress-nya Anchee Min, tetapi belum juga terobati. Dan ketika kudengar Umar Kayam baru aku memahami arti pertnyaanku sendiri. Kudengar Dialog Umar Kayam dengan saksama, dan aku berhenti di Sesudah Rusli. Bersama Umar Kayam aku terpaku di hadapan lukisan-lukisan Rusli. Kanvas putih dan sekejap sapuan kuas. Umar Kayam terpana Lukisan-lukisan kosong Rusli itu pada hakekatnya ekspresi yang bagaimana? Tanyanya, tanyaku juga. Aku harus mengambil jarak pada keramaian Jakarta, berisik lalu lintas, gemuruh roda kendaraan. Aku meminjam sedikit waktu untuk berdialog dengan Kayam. Kata Kayam, Rusli sadar betul, di zaman yang terus berlari manusia mesti diberi waktu untuk merenung. Melalui kanvasnya yang seperti tidak bernyawa, Rusli menyadarkan arti dan makna
31

sejenak untuk diam yang menurut Umar Kayam sebagai sebuah momen pengendapan. Momen pengendapan dan atau sejenak untuk diam adalah benar-benar sejenak, tidak lama. Sesuatu yang sangat vital dan peka telah merasuk masuk dalam kesibukan kita, lantas memanggil-manggil kita untuk menangkapnya. Lukisanlukisan kosong Rusli itu pada hakekatnya ekspresi yang bagaimana? Pertanyaan yang sama bisa diajukan Apa yang mesti dipetik dari berisik kota? Mengambil jarak dan membiarkan ketenangan merasuki seluk beluk jiwa dan raga, adalah jawaban yang tepat untuk itu. Dan dengan itu pula lukisan-lukisan Rusli dapat dipahami dan dijiwai. Di waktu pengendapan itu aku diam, namun bukan tanpa kata. Kukeluhkan kepada pena dan menetaskan makna perjalanan kehidupan. Berhenti sejenak. Manusia sejatinya adalah kosong, kesibukan dan kerja hanya sebagian kecil dari rutinitas yang bisa dijejali dalam ruang jiwa nan luas. Kita menganggap jiwa kita seperti sudah tumpah ketika kesibukan
32

terus berjejal-jejal menyesaki ruang jiwa. Tetapi sebenarnya tidak, aku hanya tidak bisa memisahkan dimana ruang untuk itu dan dimana ruang untuk diam

Kisah Sepasang Kasut Aku adalah kasut, atau sandal atau sepatu. Kami sama-sama saja. Semarga dalam satu bangsa, serumpun dalam satu turunan. Sebagaimana kau manusia, para tuan, punya nama, punya bentuk badan, punya segala, serupa itu kami ada. Dari jari-jari tanganmu manusia, para tuan, kami ada. Aku dilahirkan untuk ditakdirkan menjadi hamba. Namun, aku pantas berbangga, karena harus pula menjadi teman setia dalam setiap perjalanan bersamamu tuanku. Itu cita-citaku sejak awal. Sejak aku diciptakan oleh tanganmu. Sejak kau membentukku dari segumpal getah. Aku akan memberikan segalanya, semuanya, membiarkan diriku menjadi milikmu tuanku. Ke mana pun tuanku
33

pergi aku akan mengikutinya. Jika tuanku menanggalkan aku, aku akan menurutinya. Jika ia membuangku atau meletakkannya di sudut kamar atau di tempat sampah pun aku menerimanya sebagai sebuah ketaatan yang tulus. Sebab untuk itulah aku ada Di depan pintu rumah, tuan menanggalkanku karena di wajah keset ditulis tanggalkan sepatu atau tanggalkan sandal atau tanggalkan kasut Tinggalah aku jadi penunggu. Aku tidak turut serta menjejak karpet dan ubin mewah. Sebab aku adalah hamba sahaya. Dan aku hanya bisa melihat kemegahan dari depan pintu yang setengah terbuka. Di dalam lumpur dan di jalan berdebu: Anak-anak kamu harus mengenakan kasut seperti ayah Jadilah aku pelindung, ketika sepasang ayah ibu meminta anak-anaknya mengenakanku. Hamba dalam kesahajaannya harus memberikan yang terindah buat tuannya. Walau pun dirinya sendiri tak pernah diperhatikan kekuatan dan dan kemampuan. Tuanku selalu beranggapan aku bisa, walau sebenarnya jari-jariku lelah.
34

Di depan penyemir, aku menangis haru. Aku menjadi sangat malu, karena penyemir itu memandikan aku. Dengan wajah kusam, penyemir itu membuatku menjadi sepasang benda berharga. Sepasang benda sumber nafkah. Jadilah aku penyelamat. Aku dibersihkannya dengan jiwanya. Namun aku tahu, ia membersihkan itu bukan untuk aku, supaya aku bangga, tetapi untuk tuanku, agar tuanku menjadi lebih tampan, dan untuk dia, si sipenyemir, agar dia mendapat makan. Dalam kesendirianku, aku menangis. Entah apa rasa tuan, entah ingat atau lupa, kepadamu tuan selalu kuberi jejak, hingga aku kau biarkan sendiri menyepi di sudut-sudut ruang. Hingga aku tutup usia. Tapi bagiku tidak mengapa. Itulah kewajibanku, mengabdimu hingga aku usang, mengelupas lepas tanpa nafas. Tuan, nafasmu di atas waktu menanjak siang turun ke senja lelap bersama purnama di batas tepi usia berpelukan dengan raga tak akan jumpa esok pagi. Kau, kau tidak tahu apa apa. Kau lupa pamit, tetapi tidak mengapa ke dalam tanganmu kuserahkan diriku selalu
35

aku berdoa serupa itu sebelum aku pergi dan tuan meninggalkanku.

Jejak-Jejak Ada jejak-jejak kaki dan jejak-jejak tangan, juga ada peluh dan air mata pada setiap bakal kota. Tidak ada kota yang matang tanpa air mata. Tidak ada kota yang kokoh tanpa jejak kaki. Tidak ada kota yang kuat tanpa jejak tangan. Dan tidak ada kota yang penuh warna tanpa peluh dan keringat. Kita, dan lebih-lebih manusia kota mungkin lupa akan hal ini. Apalagi pada jejak kaki dan tangan, juga peluh dan air mata. Pertanyaan kita, dan seharusnya menjadi pertanyaan manusia kota adalah siapa yang membuat kota jadi serupa yang kita lihat? Seperti yang kita lihat pada setiap sinar pagi yang menyelip, menyelinap di dinding-dinding gedung menjulang, lantas kita berujar pantulan sinar pagi membuat kota serupa lautan emas. Seperti yang tampak pada jalan-jalan jantung kota
36

dengan trotoar yang tertata dan pada taman-taman kota tempat anak-anak bermain. Pemandangan itu membuat manusia kota tertegun, dan orang-orang yang menyinggahinya terpana Di taman indah ini, aku antarkan anak dan istriku berakhir pekan kata seorang manusia kota. Atau pada setiap senja yang tidak lagi mencekam, karena perlahan berganti kerlap-kerlip lampu jalan Kota kita tidak mati. Kota bukan kuburan. Dia laksana nadi yang terus berdenyut, selalu hidup Pandangilah sekali lagi dengan saksama. Sunyikan waktu bising kotamu. Lupakan sebentar detak detik jam kerjamu. Biarkan sunyi menyelimuti hatimu. Rasakan dengan rasa, simaklah dengan hati, akan ada jejak-jejak kaki di bawah lantai kotamu. Berjejal-jejal penuh lumpur dan luka. Jejak-jejak kaki tanpa kasut dengan pijakan sepuluh jari kaki yang kokoh. Sepuluh jari kaki itu adalah dua puluh lima ribu kali dua. Pandangi jalan-jalan kota ada jejak-jejak kaki
37

menjadi aspal, diinjak tetap diam, tanpa kata Amatilah pula dinding-dinding kota. Pada gedung-gedung yang menjulang. Pada setiap kaca yang terpantul cahaya pagi dan petang. Di sana ada sepuluh jari tangan menempel berjejal-jejal. Merekatkan cat pada tembok-tembol kota, menempelkan berjuta mimpi manusia kota. Tangantangan penuh lepuh ditumbuk palu paku. Dan jari-jari berdarah dibaret pecahan kaca. Sepuluh jari tangan itu adalah dua puluh lima ribu kali dua. Pandangi gedung-gedung kota ada jejak-jejak tangan menjadi bata, ditampar diam, tanpa kata Apakah sudah ada yang mengetukngetuk di balik dadamu, manusia kota? Lagi-lagi mungkin lupa, karena kebisingan jalan-jalan kota. Karena keselaluan mengejar-ngejar waktu kerja. Karena perang telunjuk dari ruang kelas sampai
38

Istana Negara dan Senayan. Jika kau selami jiwa kota dengan saksama, maka akan ditemukan air mata dan peluh darah. Pandangi simpang siur kota ada peluh merangkak ke pinggir tertatih-tatih, jadi sampah juga diam, tanpa kata Lalu, tahukah kau, manusia kota, jejak-jejak kaki dan jejak-jejak tangan siapa, juga peluh dan air mata siapa? Semuanya adalah milik para buruh bangunan dan para pekerja jalan. Jika dari antara mereka ada yang menadahkan tangan pinta keadilan, dan menghampirimu tanpa mengenakan sandal jepit, wahai manusia kota.mencobalah untuk kembali ke balik sejarah ketika kota masih menjadi sebuah bakal.

Tuhan, Kau Bagai Hantu Aku sedang sendiri. Terpekur dalam kesendirian. Namun itu bukan sepi. Karena
39

di balik dadaku berkecamuk tanya. Tanyatanya itu berlari-lari. Kejar-mengejar. Tindih menindih. Tanya-tanya itu bagai sinis, mereka berbagia. Kian hari kian seru, hingga dadaku benar-benar tak terbendung. Aku sakit. Tanya-tanya itu adalah ini: aku punya mimpi, tetapi bagai sulit ditepi. Aku punya karya, tetapi bagai sulit dinyata. Aku punya cinta, tetapi bagai sulit dikata. Aku punya keluarga, tetapi sulit untuk dimengerti. Tentang semua tanya-tanya itu, aku bagai terpenjara. Ragaku yang kian hari kian rapuh, seperti sudah sedang diambang patah asa. Tentang semua gundah itu aku mencoba untuk tegar. Senyum selalu kulepas. Tawa selalu kuumbar. Semua penopang raga itu bagai ilusi. Sejujurnya aku tidak punya apa-apa, selain seonggok daging mentah yang masih bernapas. Maha Baik Kau TuhanJika Kau adalah aku, sudah kucabut nyawa itu Tapi Tuhan dalah Tuhan. Ia selalu memberi kemudahan-kemudahan dalam kesulitan-kesulitan. Selalu memberi jalan
40

keluar dalam keputusasaan. Hinga tiba suatu ketika, dari hati kecilku yang paling dalam, aku berdoa kepada Tuhan. Tuhan, mengapa Engkau datang seperti maling, padahal Engkau tak pernah mengajariku menjadi pencuri. Engkau mengajariku untuk selalu melewati pintu. Tetapi mengapa Engkau menjumpaiku melalui jendela. Engkau mengajariku supaya membalas dengan kapas ketika pipiku ditampar, tetapi mengapa Engkau menghantamku dengan godam. Engkau mengajariku supaya aku membuka pintu, masuk ke dalam kamar dan berdoa. Tetapi mengapa dalam kamar ini aku seperti membenci-Mu Seperti itukah Engkau Tuhanseperti itukah rupa wajah-Mu. Dalam kelembutan-Mu kitemukan kesangaran-Mu. Dalam senyum-Mu aku temukan sinis. Dalam kebaikan-Mu kutemukan keburukan. Dalam keahagiaan-Mu kutemukan duka. Dalam tawa-Mu aku temukan air mata. Dalam keTuhan-Mu aku temukan Kau bagai hantu

41

Tuan Renatus Pada sebuah kamar, di Neubau, dekat kota Ulm Jerman, seorang lelaki setengah tua mendekam bagai terpenjara. Wajahnya sinis, senyumnya kecut, dahinya terus berkerut bergelombang kecil besar. Sesekali ia memejamkan mata, kemudian terbuka benderang, melempar pandang ke balik jendela. Namun, tidak berapa lama Ia kembali menarik kain jendela sambil melepas kata Aku butuh secangkir kopi Secangkir kopi itu pun datang, dibawa oleh seseorang atau sesuatu atau entah yang tidak aku kenal rupa wajahnya. Sang penghantar kopi bagai hampa. Aku menduga, mungkin apa yang sedang kuduga bisa salah, sang penghantar kopi itu adalah siluman. Ia tenggelam di balik larutan kopi pekat panas. Mewujud dalam kepulan-kepulan uap yang sulit ditebak kemana arah terbang. Dari balik pintu yang setengah terbuka, aku terus memperhatikan. Ingin aku memandang dengan kedua belah mata, tetapi aku masih belum cukup usia. Aku masih sangat muda, dan bahkan belum tahu apa-apa. Tetapi aku tersintak.
42

Dari balik kamar yang senyap, tiba-tiba terdengar suara Jangan melihat setengahsetengah, jika hendak menikmati kopi bersama, masuklah Kakiku bergetar. Langkahku pun berat. Perlahan aku membuka pintu kamar menuju setumpukan papan untuk memijakkan pantat. Siapa yang menyuruhmu duduk Dadaku bagai meledak. Aku pun berdiri, sambil merapikan tumpukan papan yang runtuh. Dan siapa yang menyuruhmu berdiri Aku menjadi tidak berdaya. Aku bagai orang kalah. Di dadapannya aku menjadi orang tolol, penuh salah dan dosa. Di balik ciut aku mencoba berpikir. Berpikir tentang bagaimana seharusnya aku ada dihadapannya. Duduk atau berdiri. Berdiri atau duduk. Kedua-duanya salah. Aku pun berlutut. Ketika itu dia sedang membelakangiku. Namun sebelum ia berpaling, dengan sigap aku menelentangkan diri, bersembunyi di balik tumpukan papan. Aku tidur. Makhluk pengecut, tidak lebih dari seekor kecoak, tidur dan bersembunyi

43

Dadaku berdetak kencang. Aku menjadi tidak sanggup bangunkan diri. Kedua kakiku bagai terkunci. Namun demikian aku merasa lebih nyaman dengan menidurkan diri. Bangun..bangun..bangun suara itu kembali mengagetkanku. Spontan aku melompat, merobohkan tumpukan papan hingga mengenai cangkir kopinya. Jatuh dan pecah. Uapnya merayap-rayap di atas lantai papan berdebu. Ia tidak lagi bersuara. Matanya menatapku lekat-lekat. Seperti sedang memperhatikan dengan saksama sejengkal demi sejengkal. Hawa kopi yang dihantar manusia tanpa rupa menyapu wajahnya, membuat matanya tampak kian tajam. Ia seperti sedang memenggal jari-jari kakiku. Memotong-motong pergelangan kaki. Melepaskan kelamin dan zakar. Mengulitiku. Memburai usus-ususku. Mencopot rusuk dan jantung. Menanggalkan kedua lenganku. Mencincang-cincang jari, mata, hidung, bibir dan telingaku. Menggunduli rambutku. Hingga aku menjadi bukan serupa manusia.

44

Dahinya berkerut, senyumnya kecut. Matanya kian tajam. Apakah engkau manuasia yang tadi mengintipku dengan sebelah mata? tanyanya. Kemudian ia melanjutkan apakah aku salah melihatmu? bukankah engkau yang telah menumpahkan kopiku? Bukankah engkau yang tadi tertidur lantas terperanjat medengar makiku? Atau mungkin aku salah? Apa sebenarnya yang sedang aku lihat, jika bukan tentang manusia? Mengapa kehadirannya membuatku tidak pernah diam bertanya? Mengapa aku meragukan keberadaanmu? Mengapa aku harus berpikir tentangmu?. Mungkin aku harus memikirkan tentang secangkir kopi? Tentang sesuatu yang disebut kesadaran? Dia terdiam. Aku tak beranjak. Di balik dadaku, aku hanya dapat berkeluh, mengapa aku harus hadir dan ada di hadapannya? Aku benar-benar tidak berdaya berhadapan dengan manusia setengah gila, manusia setengah waras. Aku bukan orang gila, aku bukan orang setengah waras, aku Renatus Cartesius Lagi-lagi dadaku dibuatnya meledak. Mengapa dia dapat membaca umpatku. Mungkin aku salah dengar, atau mungkin juga tuan Renatus salah ucap.
45

Tiba-tiba dengan suara berat Tuan Renatus berujar perlahan Oh yayasekarang aku baru tahu Ciutku setengah mereda. Tidak dia berkutat dengan apa dan siapa, nada suaranya tibatiba saja melemah jadi lembut. Kemudian Ia melanjutkan Saat aku mencermati dan berpikir bahwa engkau bukan manusia, kalaupun manusia tetapi manusia yang salahpada saat itu aku menyadari kebenaran ini: Aku berpikir maka aku adasehingga aku merasa yakin aku bisa menerima kebenaran ini sebagai perinsip pertama kehidupan yang tengah aku cari Aku atau secangkir kopi yang telah mengubah Tuan Renatus menjadi pribadi yang lembut dan santun? Cogito Ergo Sum, Aku berpikir maka Aku Ada tiba-tiba Tuan Renatus melontarkan kata-kata itu. Kau dan secangkir kopi dan segala sesuatu telah menyiksaku hampir sepanjang hidupku. Dan baru sekarang aku menemukan hakikat ada-ku. Bahwa : Aku berpikir maka aku adasehingga aku merasa yakin aku bisa menerima kebenaran ini sebagai perinsip pertama kehidupan yang tengah aku cari. Jelasnya.

46

Berpikir? Tanyaku dalam hati. Mengapa harus berpikir? Mengapa dengan berpikir? Untuk apa berpikir? Sederatan kebingungan, ketidaktahuan, pun penasaran berkelebat dalam kepalaku. Tiba-tiba Tuan Renatus kembali angkat bicara Aku tidak menerima apapun yang ada sebagai yang benar, termasuk kau, segala sesuatu dan secangkir kopi itu. Kalian semua seperti sedang menipuku. Maka untuk melihatnya sebagai sesuatu yang benar, aku harus memahaminya dengan jelas dan terpisah-pisah. Dan hanya yang bisa dipahami secara jelas dan terpisah-pisah itulah yang menjadi norma untuk menentukan kepastian dan kebenaran Kemudian Tuan Renatus melanjutkan, seperti sedang mengajarkan kepadaku sebuah dogma Aku telah meragukan semuanya, namun ada satu hal yang sama sekali tidak bisa diragukan lagi, sehingga harus diterima secara mutlak yakni kenyataan bahwa Aku yang sedang meragukan atau menyangsikan segala sesuatu itu ada Aku suaranya terkesima mendengarkan yang meyakinkan. Tetapi
47

sebenarnya aku sendiri masih tidak berdaya. Masih tidak tahu apa-apa, tentang maksud dan tujuan dari yang diucapkannya. Tuan Renatus tahu tentang kebimbanganku. Ia mendekat dan mengajakku untuk melihat dengan benderang. Dua cangkir kopi tiba-tiba tersaji di hadapan kami. Manusia tanpa rupa yang kusebut siluman menghantarnya. Aku merinding. Jangan takut, si penghantar kopi itu adalah filsafat, sang sesuatu yang tenggelam dalam tanya sampai tidak berwujud badan. Jika engkau mau memahamiku dengan lebih dekat, memulailah dengan menemukannya. Carilah dia di mana hendak kau lontarkan tanya. Dan kepadamu dia hantarkan secangkir kopi, yang dalam pekatnya kau berenang menemukan jawaban. Tuan Renatus menutup jumpa. Namun, hingga kini aku bingung tidak kepalang. Yang terekam dalam kepalaku Cuma cogito ergo sum, yang artinya bukan berpikir aku ada tetapi carilah segelas kopi supaya paham tentang hakikatnya. Ah...Tuan Renatus.
48

Tuan Sisifus Dengan wajah yang selalu murung lelaki itu duduk di kursi paling sudut, tidak lebih satu meter dari kompor, api, air, kopi dan gula. Setiap hari dia selalu di situ seperti berdoa. Asap rokok mengepulngepul serupa dupa. Jarinya menari-nari seperti mengurai biji tasbih. Hanya sirih pinang yang dikunyahnya, yang mebuat dia tampak kuat. Rahangnya tampak kokoh. Murung dan juga sedih yang terukir dari kerut dahinya seperti runtuh dan luruh pada ampas kunyahannya yang dia buang tidak jauh dari sisi kanan badannya. Rokok hanya sepatah kata itu. Kopi juga hanya sepatah kata itu. Berselang beberapa menit kemudian, seorang pelayan bertelanjang dada mengantarkan kepadanya dua pesanan itu. Sebungkus jisamsu sepuluh ribu dan segelas kopi tiga ribu. Sebatang demi sebatang disulutnya, seteguk dua teguk kopi ditenggaknya. Asap mengepul-ngepul, abu rokok memanjang melekat erat jadi batangan debu. Tidak
49

juga amblas dari puntungnya. Terbaca, kalau kehancuran, kesedihan, kedukaan itu begitu kuat melekat dalam rasanya. Pada asap yang selalu membasuh wajahnya, terbaca juga kalau tak ada jalan keluar, tak ada solusi, tak ada harapan. Pekat. Kepada pekat kopi dan pengap asap rokok dia melarikan diri. Serupa itu setiap hari. Seperti bercerita kepada asap, bertutur kepada kopi, dia melepaskan sesak rasanya. Kepada kopi yang kian dingin dan berampas gelap dia benamkan diri. Kepada rokok, pekat asap dan debu abunya dia mengadu. Mengapa kepada sesuatu yang terkutuk dia melepaskan semua rasanya. Ketika dia semakin larut, perlahan-lahan ampas-ampas kopi itu menindihnya. Kian hari, kian berat. Ketika dia semakin larut, perlahan-lahan asap-asap itu menarik jiwa dari raganya. Kian hari, kian sekarat.

Tuan Nyemot

50

Seekor babi hutan tiba-tiba saja melucur dari mulutnya. Anaknya yang sulung berlari menjerit. Ketakutan. Dasar babi hutan! umpatnya sambil mengacungkan telunjuk. Si sulung menjauh. Jangan pernah datang lagi kemari, semoga dimakan harimau. Serupa doa ia memanjat. Si sulung pun menghilang dari balik pintu sambil melepas umpat kalau saya babi hutan, ayah adalah siapa? Ayahnya babi hutan? Si sulung memang bengal. Selalu saja bertingkah. Dan setiap lagaknya selalu mengundang amarah sang ayah. Ayahnya pun kadang salah tingkah. Jika kehabisan kata-kata marah, maka segala macam binatang keluar dari mulutnya. Mulutnya serupa gerbang kebun binatang. Sore hari itu, gerbang itu rontok, tegal si sulung pecahkan asbak. Lantaran asbak yang pecah, bukan asbak biasa. Ini asbak dari pualam, karena dia telah memecahkannya maka tidak akan pernah aku mengampuninya. Jika mau menendang bola bukan di ruang tamu ini Mendengar ayahnya memekik, si bungsu datang memekikmendekat
51

Kenapa ayah marah-marah, abang kan nggak tahu kalau ada asbak di situ Belum juga si kecil merapat, dari mulut sang ayah melucur lagi seekor ular. Diam kau, semua sama saja, tidak beda dengan anjing dan ular, pandai menjilat Katanya penuh amarah. Si kecil pun menjerit dan mengiba. Pergi dari sini, masuk! Si bungsu pun turut, terbirit-birit masuk kamar, seperti masuk kandang. Sang ibu, mucul dari balik pintu dapur Papa, kenapa marah-marah sama anak-anak, seberapa besar cintamu kepada anak-anak, apakah cinta kita yang telah melahirkan asbak? Sang ayah mati kata. Kata-kata sang ibu begitu menyengat rasa. Mulut sang ayah merapat, mengapit ujung batang rokok. Menghembus perlahan, segala binatang pun berterbangan ke langit lepas. Menjadi mendung yang sebentar akan meneteskan air mata. Maafkan saya ma Di tangan leher keluarga sang kepala keluarga itu diam. Leher itu telah mengunci kepalanya. Hanya senyum yang bisa membuat kepala itu kembali bergetar.

52

Setelah semuanya aman, sengaja kumelewati depan rumahnya sambil berteriak Pak, coba goyangkan lehernya. Dengan mengangkat tinjunya tinggi-tinggi, tetanggaku itu mengeluarkan sepatah kata Nyemot. Oh, rupanya tidak ada lagi binatang yang meluncur dari mulutnya. Kataku gembira. Ahtapi kata apa yang baru diucapkannya? Nyemot, Apakah itu? Ohmungkin dia penjangga pintu gerbang binatang. Namanya Tuan Nyemot.

Di Balik Gila Kembali ke kamarmu aku tertarik dengan untaian kata itu. Kata-kata yang tidak keluar dari mulut seorang waras, tetapi dari seorang gila yang bernama Lud setelah aku memberikannya selembar uang seribu. Mengapa Lud menyuruhku kembali ke kamar, sementara aku hendak berlangkah melanjutkan aktivitasku sebagai manusia waras. Aku diamkan kegilaannya tetapi pengalaman perjumpaan itu begitu
53

menyengat rasa. Langkah kakiku berbalik arah menuju kamar. Antara bingung dan tetap bertanya berjatuhanlah titik-titik renungan. Kembali ke kamarmu tanganku bergetar ketika hendak membuka gagang pintu. Kubuka perlahan, terdengar engsel karatan berderak. Seekor tikus kecil meloncak terperanjat ke balik meja baca. Asbak rokok jatuh menghantam wajah lantai. Berantakan. Puntung-puntung rokok mengenai buku yang berserakan seperti berlomba mau membaca kata. Asap mengepul. Aku menghembuskan asap rokok berulang kali sebelum kutarik kursi berkaki roda. Aku sudah di kamar kataku dalam hati menjawab permintaan Lud. Asap meliuk memanjat dinding kamar. Kubiarkan hempasan angin mengganggu ariku. Semetara mataku menyapu bersih segala seluk beluk kamar. Mengapa aku harus kembali ke kamar tanyaku ingin tahu. Ya inilah kamarku Di belakangku buku-buku menumpuk seperti sampah. Serakkan kertas buram penuh coretan tindih-menindih sampai sebagian yang lain
54

tertidur di atas kasur kusam. Meniduri tidurku. Merebut mimpi-mimpiku. Di sisi sebelah kiri pakaian-pakaian kotor meringis minta dicuci. Mereka tergeletak mungkin sudah enam hari yang lalu. Penderitaan mereka penuh misteri terlukis seperti wajah pieta yang tertempel di dinding kamar. Air mata jatuh dari wajah bunda, mengenai luka lambung putranya yang setengah sembuh. Aku membiarkan pakaian-pakaian itu jadi kuburan luka, derita dan air mata. Di sisi sebelah kanan targantung potret wajahku sendiri dengan sebaris puisi disampingnya. Tuhandatanglah..tindihlah Aku, buahi rahimku, sebab aku mau menjadi ibu untuk anak-anak-Mu demikian puisi doaku. Di bawah lantai, persis dibawah potret itu serpihan-serpihan kaca bertumpuk. Wajahku pecah terpenggalpenggal seluas bidang keing-keping cermin. Di depanku di atas meja berderetderet botol air mineral yang habis isinya. Sebuah gelas kaca dengan ampas kopi berminggu-minggu mengendap. Jamur putih yang mungkin mengandung racun
55

pekat menggerogoti wajah gelas itu. Dadaku jadi bergetar, lambung dan paruparuku jangan-jangan serupa itu. Di bawah kaki meja bacaku, tampak debu-debu saling memeluk. Empat kaki kursiku ingin menendang kumal dan dekildekil debu itu. Tetapi pelukan itu sudah sangat menyatu. Di sisi yang lain puntungpuntung rokok tampak seru mengadu. Berlomba-lomba menggerus isi buku. Yang sepuntung berdiskusi dengan Johan Galtung tentang perdamaian. Yang sepuntung lagi berdebat tentang jiwa-jiwa pemberontak-nya Kahlil Gibran. Yang lain membedah tesis mengabdi pada kebenarannya Sudarminta. Sementara yang satunya lagi membaca kitab suci. Belum menyebut yang lain, mereka berseteru dengan waktu mengemut elok cerita Ananta Toer dan menyusu sajaksajak Sutardji Calzoum Bachri. Mataku penat. Aku terpejam. Kucium bau menyengat. Kudengar suara memecah. Tubuhku berontak. Jangan-jangan aku sudah benar-benar menjadi orang gila. Kembali ke kamarmu suara Lud seperti sabda, aku terperanjat. Tetapi ruparupanya juga tidak.
56

The Madmen kata itu tiba-tiba berkelebat masuk merasuk ke dalam benak. Itu suara Kahlil Gibran Kegilaan adalah langkah pertama ke arah sifat yang tanpa pamrih. Jadilah gila dan katakan kepada kami apa yang tersembunyi di balik tirai kenormalan. Tujuan dari kehidupan adalah untuk menuntun kita mendekati rahasia-rahasia itu dan kegialaan adalah satu-satunya cara untuk memahami rahasia-rahasia itu Lud, apakah itu maksudmu untuk menyuruhku kembali ke kamarku?

Penyair, Masihkah Bathinmu Berdenyut? Manusia tidak hanya meng-Aku, dia juga meng-Kita, Aku selalu memuat Engkau. Hanya dengan, dan dalam pertemuan dengan Engkaulah Aku menjadi Aku. Gagasan tentang ada bersama-nya Driyarkara ini, mengatakan kepadaku secara jelas tentang tempat manusia yang sadar menemukan eksistensinya, bahwa Aku-Dia men-satu, menjadi bagian yang tak terpisahkan.
57

Aku mencoba menelisik. Dari sudut pandang estetika (baca: Filsafat Keindahan), kalau diperhatikan dengan jernih, substansi pembebasan yang ada dalam teori kritis sebenarnya adalah sebuah proyek besar bagaimana mengembalikan manusia pada keutuhannya serta mengenyahkan berbagai alienasi. Teori kritis yang dikembangkan estetika dalam konteks ini adalah sebuah teori yang mempunyai sasaran pada tindakan emansipatoris dan pembebasan. Di sini ada pertautan khusus antara kebenaran karya seni dengan kepalsuan kesadaran sehari-hari. Dan tentu saja proses pencerahan itu tidak hanya diterangkan dengan menggunakan karya seni dan kehidupan sehari-hari secara kognitif belaka; karya seni tidak hanya menampilkan posisi alternatif, melainkan secara spesifik memberikan perubahan dalam kesadaran si penikmat seni. Teori ini ini tidak hanya kita temukan dalam tulisan-tulisan mereka yang tergabung dalam Sekolah Franfurt seperti Theodor Adorno, Herbert Marcuse atau Walter Benjamin, tetapi juga sudah
58

terlihat jauh-jauh hari, ke akar-akar pemikiran teori kritis itu sendiri, yaitu dalam diri mereka yang sering kita sebut sebagai idealis Jerman, seperti Kant, Schiller dan Hegel. Keutuhan dalam konteks ini dipahami sebagai hubungan yang tidak teralienasi antara manusia dan alam, manusia dengan sesamanya, subjek dengan objek, atau berbagai aspek eksistensi manusia personal lainnya. Mendialogkan tentang relasi pengutuhan ini, aku lantas teringat pada Monolog-nya Rusli Marzuki Saria (PT. Pustaka Firdaus Jakarta: 2000. 2). Sederetan renungan pendek, padat akan kandungan puitis-reflektif itu sesungguhnya lahir dari kandungan hasrat imajinasinya yang kaya akan improvisasi dan metafor. Dalam ruang imajinasi itu aku seperti di arahkan pada satu muara yang sama, yakni sebuah upaya pengembalian manusia pada keutuhannya. Melalui sosok penyair dan puisi (sajak) Rusli, aku diajak untuk memaknai setiap kata sebagai energi pembebasan.

59

Penyair masihkah batinmu berdenyut? Demikian Rusli mengajukan pertanyaan reflektifnya. Pertanyaan ini tidak hanya menggelitik sang penyair untuk melahirkan puisi dan sajak, tetapi juga menjadikan keduanya sebagai insight untuk sebuah perubahan, pembebasan. Rusli melukiskan sosok seorang penyair yang baik sebagai burung hantu yang membaca buku di sebuah perpustakaan. Di luar kemarau sedang bergerak lamban. Aku membaca situasi dari kertas-kertas bertaburan di keranjang. Pada peta-peta kubaca pertempuran siang malam yang mengerikan. Sudah banyak korban! Katamu. Sebaris satire pahitnya kina yang kutelan perlahan. Aku menyisir sungai menderu ke muara tak bernama. Lukisan yang senada seperti dikutip Rusli sebaris dari Eliot bahwa seorang penyair harus bisa melarikan diri dari yang pribadi. Penyair harus meninggalkan kepentingan pribadinya sebagai seorang individu yang sempit dan berusaha mewakili sejumlah besar orang dan menemukan kepada mereka tentang arti kehidupan yang bebas.

60

Untuk sampai kepada visi tersebut mengutip Dylan Thomas, Rusli mengatakan bahwa kadang penyair mesti mampu mengajukan dirinya sendiri dalam katakata yang kusut masai, berlika-liku. Tetapi semuanya itu merupakan kebahagiaan, kegetiran dan pekerjaan yang sukarela. Dalam situasi tidak terbelenggu inilah seorang penyair ingin mencipta, melahirkan sesuatu. Namun, untuk dapat menciptakan sesuatu, ia harus lewat subjektivitasnya sendiri, yaitu keutuhan sebagai pribadi manusia, cermin untuk mengalami dan mengamat-amati dunia sekitarnya. Adakah puisi mengubah keadaan, membawa manusia pada pemahaman akan dirinya sendiri? Mengulang kata-kata Rilke, Rusli mengatakan bahwa puisi adalah kehidupan itu sendiri. Karena puisi adalah kehidupan, maka Aku-nya manusia harus suluk dalamnya, cair dan luluh. Suluk, luluh dan cair, sampai menuliskannya dengan darah. Berangkat dari sini aku dan saya pikir juga anda, dapat mengatakan kalau puisi itu sendiri dapat mengubah kehidupan.

61

Secara amat estetis kehidupan yang mengelopak dan mekar adalah kehidupan yang esensial dan paling hakiki. Di sinilah kita menoreh diri sendiri, kata Rusli. Kita masuk ke dalam batin terdalam seperti tidak akan pernah kembali lagi. Inilah pabrik seorang penyair, pabrik itu bernama bawah sadar. Letupan-letupan imajinasi akan memuncak spontan, tetapi menggigit mengatakan tentang perubahan, entah melalui religiusitas, moralitas, pendidikan, sosial, politik maupun ekonomi dan budaya. Di sinilah penyair dan menyair memerlukan keberanian. Artinya harus bersedia membongkar kemapanan dan kestatisan dalam kehidupan. Rusli menawarkan satu jalan untuk menjadikan puisi itu sungguh menggugah, orisinal dan sungguh menjadi nyala terang di tengah gulita kehidupan, yakni menyelami sudutsudut kontemplasi batin. Dalam kontemplasi kita luruh dan luluh. Dari sinilah lirik-lirik menyembul. Urat tunggalnya akan menyumbul seperti dari bumi. Kaya dalam penghayatan. Riuh rendah dengan jeritan dan ajakan yang berlirik penuh denyut, metaforis dan simbolisma saling bergantung.
62

Demikianlah Rusli menawarkan kepada kita sebuah alternatif menuju pembebasan. Bahwa penyair melalui sajak dan puisinya dapat membawa manusia pada pembebasan, mengembalikan manusia pada keutuhannya. Manusia diajak untuk mengenal tempatnya dan cara beradanya dalam dunia, bahwa ia dapat mengenal aku-nya ketika ada dia dan engkau. Meng-aku-nya manusia karena adanya meng-kita. Oleh karena itu Rusli mengajak untuk menjadi penyair yang sejati, tidak hanya mengadakan renungan dan menciptakan saja. Tetapi penyair (Indonesia, khususnya) dalam kedudukannya yang khas sebagai penyair, harus menciptakan lingkungan hidup sendiri sebagai penyair. Ia harus turut, bersama dengan tenaga-tenaga masyarakat lain di dalam masyarakat (Indonesia), membina yang dapat dinamakan infrastruktur kebudayaan. Demi pencapaian pembebasan, menemukan kembali keutuhannya, Rusli mengatakan bahwa seakan-akan ada keterdesakan waktu dan tempat, ada yang mendesak kini, metafora dan simbolisme
63

kembali mengejar-ngejarku. Gerimis di luar, di pagi begini, Pusi, katamu: seorang wanita cemburu yang tak mengampuni keculasanDi sini aku di sini, aku mau berlari terus, bahwa kepenyairan itu sedang menjadi, kata Chairil Anwar.

Sekelebat Angin Ada hasrat yang lebih, bukan hanya tentang kemampuan untuk berpikir tetapi juga keinginan untuk merasa. Manusia mengalami itu. Semua manusia, tampa kecuali. Seorang gila sekalipun. Pada saatsaat tertentu, aku kadang terjebak dalam situasi ini. Tentang sesuatu yang lebih. Aku ingin berpikir melampaui sekedar apa yang terpikirkan dan dipikirkan. Aku pun ingin merasakan apa yang tidak pernah kurasakan. Dalam keseharian, dalam kenyataan, sesuatu yang lebih itu selalu terbentur dalam ruang dan waktu. Sesuatu yang lebih selalu seperti dipagar-pagar waktu, dan disekat-sekat ruang. Sesuatu yang tak terelakkan. Tak terbantahkan oleh manusia mana pun.
64

Namun hanya dalam kata, aku menemukan sesuatu yang lebih, baik tentang apa yang kupikirkan dan apa yang aku rasakan tertampung. Bahkan Meluapluap. Dalam setiap kata, dalam rimba kalimat, aku selalu menemukan titik pencarian itu. Hanya dalam kata aku serupa angin, berkelebat dalam liukan huruf dan angka, tanda-tanda baca, kalimat dan frasa. Hanya dalam kata, aku kadang menemukan diriku sendiri mampu, walau dalam pada saat-saat tertentu aku menemukan diriku tidak bermakna. Tetapi dalam kata, dalam rimba kalimat, aku berpetualang, menemukan diriku sendiri. Aku kira, tidak hanya aku, tidak juga kau. Dalam kata sesuatu yang lebih diperjumpakan, dipertemukan, dan mewujudkan dirinya.

Ruang Hening Kapan dan atau pada saat mana manusia sadar bahwa ia sudah dan sedang jatuh ke dalam kebinatangan-nya dan kapan manusia menyadari bahwa dia adalah makhluk yang sadar sebagai yang
65

berakal dan berhatinurani? Atau janganjangan manusia tidak pernah sadar akan kedua sisi kehidupannya itu? Pertanyaan kita manusia lebih lanjut adalah apa yang lupa atau hilang dari manusia zaman ini? Semua pertanyaan ini muncul lantaran seorang kawan melontarkan dengan marah, tepatnya mengumpat ketika mendengar berita pemerkosaan yang menimpa salah seorang anggota keluarganya. Perilaku orang itu seperti binatang, tidak tahu sopan santun, tidak punya hati. Semoga dia insaf Saya terdiam, tidak terperanjat. Wajarlah kalau sedang marah, segala bahasa sampah pasti terlontar keluar dari celah-celah gigi seorang manusia. Kata saya dalam hati. Sekembali ke kamar, aku menuliskan kata-kata ini Ketika manusia insaf, sungguh-sungguh menjadi seorang manusia, Yang punya kasih dan cinta. Maka kemaluan dan rahim akan dijadikan sebagai altar. Tetapi ketika manusia menjadi binatang. Sungguh hanya segepok kelamin jantan. Yang selalu ingin muntahkan hasrat. Maka kelamin dan rahim hanya akan dijadikan santapan harian. Lalu kadang manusia bertanya,
66

apakah aku manusia, ketika kurasakan lendirnya? Atakah aku binatang, karena telah melumatnya? Aku lantas berpikir dan berefleksi, bahwa manusia menjadi sadar dan bisa melihat siapa dirinya yang sesungguhnya adalah ketika sebuah peristiwa menimpanya, sebuah petaka menerjangnya, sebuah sebab mencederainya. Entah itu berupa sebuah perbuatan dan perkataan salah yang dibuatnya, atau pun kata dan perbuatan salah yang dibuat orang lain. Kemudian kita bercermin daripadanya dan berujar Semoga dia insaf. Lantas pertanyaan pemungkas dan terakhir? Apa yang kurang dari seorang manusia seperti kita, jika selalu, setelah semua kejadian usai baru kita menyadari siapa kita? Terlepas dari manusia yang sejatinya adalah makhluk yang tidak sempurna, rentan dan mudah jatuh dalam salah dan dosa, sebenarnya manusia zaman ini telah kehilangan ruang kontemplasi, ruang hening atau ruang refleksi bukan hanya bagi dirinya sendiri sebagai pribadi tetapi juga bagi dirinya sebagai manusia yang lain dalam sesama.
67

Jadi jika kita hendak kembali mau menjawab pertanyaan, kapan dan atau pada saat mana manusia sadar bahwa ia sudah dan sedang jatuh ke dalam kebinatangan-nya dan kapan manusia menyadari bahwa dia adalah makhluk yang sadar sebagai yang berakal dan berhatinurani? Maka jawabannya adalah pasa saat sang manusia insaf. Insaf artinya menemukan dirinya dalam kebenaran sebagai makhluk Allah. Insaf adalah sebuah pertobatan, yang menutut pada perubahan sikap yang total dan radikal, lantas menjawab ya atas panggilan Allah. Manusia hanya dapat dan bisa menemukan dirinya sendiri jika dan hanya jika dalam setiap ketidaktahuannya karena situasi sesaat secara terus menerus mendesaknya, setia aktivitas dan kesibukannya, dalam setiap derasnya gemuruh arus zaman, sang manusia mampu menciptakan sebuah ruang kontemplasi, ruang refleksi dan ruang hening yang diciptakannya sendiri untuk dirinya sendiri buat bertekuk lutut di hadapan Tuhan.

68

Seperti Dunia Melipatnya Di simpang kota, di bawah jalan berlapis, sepasang manusia, ibu dan anak mendendang kata tanpa nada. Syair yang melengking menambah gerah siang hari itu. Lampu merah yang sebentar terasa amat lama dan panjang. Melihat tingkah dan mendengar syair mereka kuping terasa diiris-iris. Lagu yang sama, pernah mereka dendangkan di depan Istana Negara. Tanpa nada, tanpa rasa. Menangis mungkin lebih indah. Potret manusia miskin kota yang entah datang dari mana rimba. Selalu setia menunggu uluran kasih, walau sebenarnya manusia pelintas jalan tiada yang menggubris. Semiskin itukah sepasang manusia itu, sehingga Tuhan tak sudi memberinya suara yang lebih memanggil? Sebuah lagu sudah ia nyanyi. Suaranya redup sekali, seredup hidupnya. Antara gerah dan sibuk siang kota, ia mengedar kantong kosong, sekosong mimpinya. Di simpang itu, sebelum pergi entah ke mana, ia melipat kantong tanpa isi, seperti dunia melipatnya.
69

Kata nada tanpa rasa. Manusia yang terdampar di tengah kehidupan, yang mendendangkan miris kata. Inikah resiko keterlemparan manusia? Inikah takdir dari manusia yang dilahirkan tanpa garis batas? Mengapa dunia dan kehidupan dengan segala kesengsaraan harus merenggutnya. Bukan aku bersumpah serapah kepada kaum miskin papa. Tetapi karena aku benci kepada kemalasan, maka kepada seorang ibu dan bayinya sekali pun aku enggan memberi sedekah. Tuhan, salahkah aku berkata seperti ini? Kepada-Mu kumohonkan pengampunan.

Nisan Kita Berbeda Aku adalah salah satu orang miskin dari jutaan orang miskin yang menghuni bumi ini. Sebagai orang miskin, sekali-kali aku harus jujur tentang keberadaan dan posisi kami sebagai orang miskin. Begini. Terbayang dalam benak anda, bahwa orang miskin adalah korban. Korban dari struktur sosial yang timpang,
70

struktur ekonomi yang amburadul, iklim politik yang tidak kondusif dan kealpaan orang-orang kaya, atau para pembuat kebijakan yang mendermakan perhatiannya kepada kami orang miskin. Tetapi. Jika mau jujur, apa yang anda bayangkan tentang kami bahwa kami adalah korban dari dan karena faktor penyebab eksternal tidaklah melulu benar. Sesungguhnya ada kekurangan dan kelemahan yang memang kami-lah yang membuatnya sendiri. Mau tahu? Kelemahan kami yang pertama adalah kami terlanjur menerima dan memaklumi bahwa kami miskin. Dan karena kami menerima diri sebagai miskin, tanpa sadar sebenarnya kami menikmati dunia itu. Dunia korban. Terlepas dari kemauan anda untuk membuat kami menjadi korban di satu sisi, atau menjadi manusia yang mesti diselamatkan di sisi yang lain, sebenarnya kami berada pada posisi yang paling beruntung, yakni sebagai korban. Kami diperhatikan. Kelemahan kami yang kedua adalah kami telah menjadi menjadikan kemiskinan sebagai budaya. Dalam kebuadayaan
71

orang-orang miskin terdapat aturan-aturan yang tidak bisa dilanggar, terdapat kebiasaan-kebiasaan yang pantas untuk diwariskan juga memiliki struktur dan kedudukan sosialnya sendiri. Aturan kami orang miskin adalah sehari makan sekali. Dan itu jika mungkin. Kami tidak memiliki waktu rekreasi, karena sepanjang hari kami mencari sesuap nasi. Filosophi dasar kami orang miskin adalah carpediem, nikmatilah hari ini. Kami lelah memikirkan mimpi-mimpi. Entah karena anda tidak memberikan kami peluang untuk bermimpi, atau karena memang kami sendiri yang ditakdirkan untuk tidak bermimpi, sebenarnya dengan cukup dapat makan hari ini saja, maka mimpi kami terpenuhi. Maaf. Ini budaya kami. Jangan anda mengusik. Walau sebagian dari anda ada yang mengatakan: Aku tidak peduli dengan rengekkan mereka, yang miskin dan menderita, tapi jari-jarinya tetap mulus karena tidak mau berjuang. Atau berkoar-koar hingga liur kerontang dan tinta pena mengering, sedang mereka menyumbat telinga dengan bantal
72

Atau ada yang lain dari anda mengumpat kami: Bagiku itu adalah tipu muslihat dan kemunafikan. Menggusurlah mereka karena kebandelannya. Buanglah mereka ke tempat sampah karena kemalasnya. Usirlah mereka dari muka bumi karena mereka melulu mengemis. Aku sendiri pun tidak selalu iba dengan tangisan itu Memang ada benarnya juga katamu. Sampai-sampai ada yang lain dari anda berteriak sambil melihat kami di bawah tapak kakinya: Penderitaan mereka adalah milik mereka. Itu semua bukan karena ketakberdayaan, yang memang karena tidak bisa berbuat apa-apa. Tetapi karena kesengajaan agar terus dimanja. Aku tak akan pernah menjadi bagian dari air mata mereka. Apalagi menjadi satu kubur bersama mereka. Aku punya nisan sendiri. Nisan yang terbuka untuk dikutuk karena tidak berbelah kasih. Nisan yang boleh kau stigma sebagai pemberontak. Saudaranisan kita berbeda Bagi kami orang-orang miskin, apa yang anda katakan itu benar. Memang kami lemah dan tidak berdaya, sudah sepantasnya kami berada di telapak
73

kakimu. Karena memang tidak memlulu salahmu. Tapi salah kami juga. Umpatanmu kami terima. Terima kasih.

Memburu Magenta Itu warnaku? Sudah berulang aku mencari di relung-relung hati, di selukbeluk bilik, di lintasan lingkaran pelangi, dan bukan tidak mungkin akan sampai di balik mati. Apakah itu warnaku? Akan menjadi pertanyaan besar yang tidak akan dijawab tuntas. Pun, kalau sampai kutemukan jawabannya, itu pun, mungkin baru berupa kesan, bukan fakta. Tentang warna, aku percaya, tak ada fakta, karena hanya sebatas corak. Apa warna kesukaanmu? Spontan kau menjawab lantang sambil mengacungkan jari tangan: merah, jingga, hijau, kuning, biru, abu-abu, dan atau putih, dan seterusnya. Bagiku pertanyaan itu masih terlalu mudah untuk dijawab. Sebagai sebuah langkah awal dalam memahami arti sesungguhnya warna, kita memakluminya. Tetapi, ketika kita sampai pada pertanyaan apakah itu warnaku?,
74

yakinkah engkau dengan pilihan itu? Dan atas dasar apa anda mimilihnya maka bagai dihujam sebiji tinju, kita terhenyak sampai kepada diam. Di sana, di ruang diam, warna sebagaimana yang aku dan kau suka, berlalu lepas dan lenyap. Dalam diam yang bergelora pinta jawaban adalah pemaknaan tentang sejatinya warna. Sengaja aku melepas pertanyaan itu untuk mengatakan bahwa yang sedang kita kisahkan tentang warna, bukan hanya sebatas itu. Bukan hanya sebatas suka tidak suka, tetapi tentang sesuatu yang melampauinya. Tentang sebuah pilihan, sebuah prinsip dalam pencarian. Tentang warna, aku dan kau selalu memburu. Di antara sekian warna tertabur aku dan juga kau serupa bersteru dengan waktu. Jika menemukan magenta, berikan aku warna itu. Pernah kau dan juga aku memburu permintaan itu, walau hingga kita uzur, tak kita temukan di mana dan serupa apa warna itu. Aku sejenak terdiam. Kaukah magenta? Dan atau akukah magenta? Aku bertanya selepas penat. Duduk dipersimpangan, serupa antara neraka dan surga.
75

Lawan Setan, Siapa Takut Aku belum pernah bertemu sosok setan, entah dalam wujud seperti apa. Bukan hanya belum pernah, percaya pun enggan. Karena bagiku setan itu sebuah kemustahilan. Dan karena aku tidak pernah mengalami perjumpaan itu, dan aku menganggapnya sebagai kemustahilan, maka sangat menyulitkan bagiku untuk menuliskan sesuatu tentangnya. Namun, beberapa bulan terakhir, aku mulai yakin bahwa sesungguhnya setan itu ada. Setan itu mewujud. Lantaran itu, aku mulai memberanikan diri menuliskan sesuatu tentang setan. Tentu saja, sejauh yang saya pahami tentang setan, dan serupa apa setan itu mewujud. *** Kata orang; Jin, dedemit, momok, tuyul, sundal bolong, hantu, pocong, atau apa pun sebutan dan penamaannya termasuk dalam marga setan. Mereka adalah bangsa makhluk halus. Aku, menyebut demikian untuk
76

membedakannya dengan aku atau kita sebagai makhluk hidup. Makhluk bertubuh, berna-nadi, dan bernapas. Kata orang, mereka juga disebut makhluk halus, lantaran tidak bertubuh, tanpa daging dan tulang. Mereka hanya semacam tali-temali yang lentur, melayanglayang seperti kabut dan awan. Juga seperti angin dan air. Mewujud dalam binatang-binatang, benda-benda, atau bahkan manusia-manusia. Singkatnya, kata orang, pada sesuatu yang mustahil, warga marga setan mewujud. Juga, kata orang, penggambaran atau pelukisan tentang warga bangsa ini, seringkali menyeramkan. Mereka adalah roh jahat (yang selalu membujuk manusia supaya berbuat jahat). Orang, lebih tepat disebut sebagai sosok, yang sangat buruk tabiatnya, suka mengadu, menghasut. Mereka menyeruak dalam gelap dan berkelebat dalam sepi, menghuni rumah tua yang tak berpenghuni, rimba bergua atau kuburan. ***

77

Demikian kata orang, namun, ruparupanya dalam beberapa bulan terakhir ini, kata orang itu nyaris ada benarnya. Setan, rupa-rupanya ada. Dan aku pun mulai percaya kalau mereka ada. Bahkan mereka hidup di alam nyata, ber-nadi, bernapas, bersuara dan juga bisa kentut dan berak. Aku menemukan itu dalam ruang prasangka, dan ruang curiga. Aku menemukan itu pada sosok-sosok yang selalu curiga, berprasangka buruk dan mereka yang melejitkan tuduhan-tuduhan palsu. Mereka mengeluarkan tuduhantuduhan palsu seperti kentut. Tak tahu sopan santun. Tak menimbang-nimbang tata karma dan norma adat budaya. Mereka selalu curiga dan berprasangka buruk terhadap kebaikan. Kehadiran mereka serupa berak segar, masih hangat, tetapi berbau menyengat. Mereka bergentayangan seperti rohroh, bahkan mereka memiliki dua wajah sekaligus dalam kehidupan mereka. Di hadapan yang tertuduh atau yang dicurigai, senyum mereka seperti kembang, bau napas mereka wangi, tatapan mata mereka berkharisma, juga wajah mereka tulus. Namun pada wajah mereka yang
78

lain, di luar perjumpaan dengan si tertuduh, mereka begitu garang. Senyum mereka seperti rongsokkan barang bekas. Bau napas mereka serupa bau semburan gas pengap dari paralon pembuangan tahi. Tatapan mata mereka bagai mata burng hantu, menghujam menembus malam. Wajah mereka seperti tahi kering penuh lalat, tanpa rupa, tak berseni, dan menjijikkan. *** Demikianlah setan sepengetahuanku, sejauh yang aku alami dalam setiap perjumpaanku. Setan serupa ini memang tidak menyeramkan, tidak merindingkan, tidak membuat bulu kudukku berdiri. Tetapi kehadiran mereka dalam setiap perjumpaanku sungguh menyakitkan, menghujam rasa, membelah pikiran. Untuk menghadapi mereka, para setan yang hidup dan ada, sudah kubilang kepada Tuhan, bahwa aku bisa menghadapinya sendiri. Bukan sombong dan apalagi sok bisa. Tetapi karena aku mengatakan kepada Tuhan bahwa yang aku hadapi hanya sekelompok manusia
79

laknat, maka yang penting adalah membangun relasi dan komunikasi, walau proses untuk itu, aku tahu, pasti menyakitkan. Sudah kubilang kepada-Nya, Tuhan biarkan aku sendiri, jangan Engkau turun tangan. Selanjutnya aku bilang Jika Tuhan pun harus membantu, biarkan Engkau hadir ketika para setan itu mengaku kalah, lantas Engkau membantu memapah mereka menuju pertobatan. Ketika mereka mau kembali ke wujud semula sebagai manusia yang beriman kepada-Mu, pernuh cinta dan kasih sayang kepada sesama. Ketika aku meminta itu kepada Tuhan. Aku yakin, pelindung para setan pasti awas. Mereka mungkin sudah sedang mempersiapkan strategi dan langkahlangkah kongkret. Namun, kata Tuhan-ku, Jangan takut, sebab Aku menyertaimu.

Bangsa(t) Kata Kupingmu merah ketika seorang politisi melontarkan kata Bangsat. Dan
80

hidungmu mengembang manakala seorang tokoh politik yang lain mengatakan Apa yang anda buat benar, karena sejatinya sebuah kebijakan tidak pernah salah. Di hadapan umpatan reaksi kita tegas bersikap; pun di hadapan sanjungan kita bersikap yang sama. Harus. Seolah-olah politik itu hanya berkutat di ranah hitam putih, benar salah. Namun, bukan pula politik itu harus berada di wilayah abu-abu. Anda dan juga aku, mungkin agak malu-malu kucing ketika seorang politisi mengajak politisi yang lain berunding Sekarang kita koalisi atau kolusi. Pun bisa saja terjadi sampai kepada anda dan aku, semisal menjadi sangat bernafsu, dengan berpura-pura tidak mau ketika diajak menandatangani sepucuk surat tabu koorporasi korupsi. Seolah-olah politik itu lentur tarik ulur. Selalu bermain di wilayah bimbang nan ragu. Menjadi lebih pilu jika politik itu dikurung. Jika dikekang kurung. Sumpal mulut. Segala suara dibeku. Kau tahu apa yang bakal terjadi? Akan kumat umpat dan memaki. Kebinatangan politisi mewujut dalam kata bahasa bangsa(t). Pun akan
81

menjadi bangsa(t) jika sumpal mulut dibuka, lantas melontar umpat tanpa ada cita rasa bahasa. Dan nan menyakitkan, jika sudah bebas isyarat kurung. Segala berita menjadi perlu. Kabar burung pun disambut. Tetapi yang terjadi adalah tetap bangsa(t) bukan kebangsawanan. Lihatlah sekumpulan binatang yang dibawa para politisi jalanan. Ada kerbau SiBuYa, ada Cicak KPK, ada Buaya Polisi, ada pula Gurita keluarga Cikeas. Lantaran itu, antara kebangsawanan dan kebangsa(t)an tidak ada beda. Sampai kadang aku bertanya: Politik dan politisi Indonesia. Apakah mereka bersikap kebangsawanankah ataukah kebangsa(t)an? Karena itulah politik dan politisi lantas didefinisikan. Politik itu bobrok. Politik itu kotor. Politik itu menjijikkan. Politik itu nafsu. Politik itu penipuan. Politik itu culas. Politik itu garang. Politik itu permainan. Politik itu gombal. Politik itu seni. Politik itu cita rasa. Politik itu dedemit. Politik itu pocong. Politik itu drakula. Politik itu malaikat. Politik itu Tuhan. Politik itu penguasa. Politik itu rakyat. Politik itu pejabat. Politik itu
82

gembel. Politik itu sekumpulan orang.

orang.

Politik

itu

Politisi itu pelacur. Politisi itu setan. Politisi itu loba. Politisi itu santun. Politisi itu dewa penyelamat. Politisi itu dewa pencabut nyawa. Politisi itu kentut. Politisi itu omong besar. Politisi itu tepat waktu. Politisi itu tidur. Politisi itu pengemis. Politisi itu pelayan. Politisi pengabdi. Politisi itu pemberontak. Politisi pengayom. Politisi itu pembela kebenaran. Politisi itu sialan. Politisi itu amnesia. Tentang politik dan politisi dalam seabrek definisi serupa ini sudah sedang dan masih akan terbentang dari, sudah sejak, polis di Athena sampai ke altar kota paling mutakhir. Dari Aristoles entah sampai siapa. Dalam kebingungan definisi serupa ini, politik sejatinya ditarik kembali ke posisinya yang paling arkhaik. Dan politisi seharusnya tahu menempatkan jati diri dengan perilaku politiknya. Seperti yang diakatakan Aristoteles bahwa politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Dalam definisi itu politik adalah panggung pengabdian dan politisi adalah pengabdi yang mengarahkan bangsa dan negara ini
83

ke arah yang lebih baik, bukan sebaliknya membuat bangsa ini menjadi bangsa(t).

Matematik(ik)a Apakah itu politik? Jika aku mau jujur, sejauh yang aku tahu, politik adalah panggung pengabdian. Lantaran itu, siapa pun atau lembaga mana pun yang berkecimpung dalam dunia politik dipastikan terpanggil untuk mengabdi. Mengabdi bukan pertama-tama untuk diri mereka sendiri, tetapi pertama dan terutama adalah untuk masyarakat, warga bangsa demi tujuan yang sangat mulia: kesejahteraan. Seharusnya aku dan anda sudah cukup puas dengan jawaban ini. Karena jawaban ini sudah cukup menjadi rel juga arah dan tujuan bagaimana seharusnya berpolitik dan seorang politisi berkiprah dalam dunia tersebut. Namun, jika pertanyaan yang sama terlontar untuk kesekian kalinya, seperti sedang menodongku dan anda untuk menjawab dengan jawaban yang lain, maka bagiku, pertanyaan yang sama sudah menjadi tidak
84

lazim. Jika jawabannya adalah bukan sebagai gelanggang pengabdian, lantas bagaimana aku harus menjawabnya. Sebagai warga bangsa yang kesehariannya turun ke ladang, atau mendayung perahu ke laut, atau mencuci pakaian tuan dan nyonya, atau melacur diri di malam hari, atau memikul bata membangun rumah, atau mengayuh sepeda mengantar penumpang, dan atau mengemis di jalanan kota, pertanyaan tentang apakah itu politik? bukan hanya membutakan isi kepalaku, tetapi juga mengunci pintu nuraniku. Sebagai warga bangsa, aku lelah. Namun, dalam kelelahan aku masih mencoba untuk bangun dan sadar. Aku masuh mau mencoba untuk untuk menjawab. Lantaran karena jawaban yang harus dijawab adalah tentang sesuatu yang tidak seperti yang aku jawab, maka yang terjadi adalah mereka-reka, menebaknebak. Dalam ketidakpastian jawaban itu aku menemukan jawabannya, bahwa sesungguhnya selain sebagai gelanggang pengabdian, politik juga adalah sebuah matematik(it)a.
85

Sebagai misal, aku punya sebuah contoh soal. Berapakah hasil akhir dari soal berikut ini: Negeri lentur demokrasi diselingkuh, tambah tiada hukum dipatuh, bual dan gertak sambal pelipur beradu. Ditambah lapar yang berteriak minta makan dan jumlah mereka yang mengemis di jalan-jalan. Ditambah lagi bencana mengguncang dan kematian yang terkubur tanpa nisan ditambah pekik merdeka di ujung sana ujung sini yang seperti bara dalam sekam. Ditambah harga bahan bakar yang mahal dengan mulut bual penuh janji kesejahteraan? Hasilnya sama dengan aku ditambah kau: KITA. Inilah matematik(it)a politik di tanah air ini. Dalam contoh soal yang sama, jika rumusnya diganti dengan perkalian, pengurangan dan atau pembagian, hasilnya akan tetap sama: KITA. Apakah itu politik? Sudah barang tentu sebagai warga bangsa, aku akan menjawab KAU, dan jika KAU balik bertanya KAU? Maka aku akan menjawabnya dengan kata KITA, dan jika KAU kebingungan karena aku menjawab KITA. Di situlah hakikatnya politik dalam teori matematik(it)a.
86

Keluh Kata Alam Bagaimana sakitnya alam, jika dia dikebiri. Alam tidak hanya meringis, dia pun bisa murka. Tanah longsor, bencana alam dan banjir yang menimpa hampir merata di pelosok negeri ini adalah sedikit peristiwa dari geliat murkanya. Lantas, kita menggerutu Mengapa alam tidak bersahabat, rupanya kiamat mendekat Andai alam dapat menjawab dalam bahasa kita, dia pun akan berkata Aku ditakdirkan untuk memberi kehidupan, tetapi jika kamu menghendaki mati maka benarlah katamu bahwa kiamat mendekat Namun, kita tidak pernah sadar bahwa kita adalah pembuat ulah. Bahwa pengebiri itu adalah kita. Kita yang terlalu sering dan bahkan biasa melempar sampah padat ke ruang luas, mengepul asap kendaraan ke langit lepas, menggunduli hutan dengan loba sampai menggerus-gerus tanah lembab. Kita telah menyalahgunakan amanah dan sabda pencipta.
87

Beranak cuculah dan bekembangbiaklah, kuasailah muka bumi bukan lagi sabda yang harus disyukuri, tetapi telah menjadi kalimat mati yang disalahtafsir. Kita lantas bukan menjadi cocreator dei, tetapi sudah sedang hanya sebagai pemuas nafsu kebutuhan ekonomis semata. Kita baru tersadar ketika musim panas melampaui waktunya. Wajah bumi kerontang. Aliran sungai sudah jadi serupa barisan batu kali. Hujan jarang menikahi bumi lagi. Laut melintasi pesisir memasuki daratan. Di ujung kesadaran kita ada penyesalan yang selalu terlambat dijumpa. Hingga berulang alam menegur kita. Dari nganga kemihku, tidak hanya menghilangkan sepasang pelir. Darahku tercurah ke kulit tubuhmu, jadi gerhana atau jadi neraka. Bukan hanya kujadikan bulan berduka, karena membuatnya menjadi janda. Tetapi juga membuatmu meringis kepanasan ditampar terik marah merahku. Marahku adalah marahmu

Bagian Ketiga:
88

Merenungkan Kematian

Kesempurnaan jawaban manusia adalah kematian itu sendiri. Tarikan napas yang tampak seperti lelah menjelang kematian adalah kelegaan bahwa sebentar lagi ia akan bebas. Kematian adalah pembebasan itu sendiri

Aku Bukan Sokrates, Apalagi Yesus Sokrates tewas karena telah melakukan sebuah kesalahan fatal yakni salah ucap. Putra pasangan Sophroniskos (seorang pemahat batu) dan Phainarete (seorang bidan) ini tewas pada usia tujuh puluh tahun dengan cara meminum racun sebagaimana keputusan yang diterimanya dari pengadilan Athena dengan hasil voting 280 mendukung hukuman mati dan 220 menolaknya. Lelaki buruk muka, pembenci dunia tulis-menulis, tetapi merupakan salah satu filsuf besar pertama dalam sejarah filsafat barat selain Aristoteles dan Plato ini tewas
89

karena kalimatnya yang kurang lebih berbunyi Dirinya adalah yang paling bijak karena dirinya tahu bahwa dia tidak bijaksana sedangkan mereka yang merasa bijak pada dasarnya adalah tidak bijak karena mereka tidak tahu kalau mereka tidak bijaksana Ucapannya itulah yang membuatnya mati. Bayangkan, terlepas dalam sejarah filsafat selanjutnya mengagungkan Socrates sebagai yang benar, Socrates mengklaim dirinya sebagai orang bijak dan mengatatakan elite politik dan sesepuh Athena sebagai yang bukan bijak. Dalam kultur patriarchi yang kental dan system social yang mendewakan prestise, segala ucap atau cuap-cuap harus dikontrol. Perlu adanya komunikasi yang efektif. Yesus, anak Maria juga tewas karena salah ucap. Pria berdarah biru dari keturunan Daud ini dituduh karena dengan berani-beraninya menyebut dirinya Tuhan. Padahal, bagi Agama Yahudi hanya ada Tuhan yang Maha Esa, pencipta dunia yang menyelamatkan bangsa Israel dari penindasan di Mesir, dan yang menurunkan undang-undang Tuhan (taurat) kepada mereka selanjutnya
90

memilih mereka sebagai cahaya kepada manusia sedunia. Massa yang marah lantas menekan Pontius Pilatus, gubernur kerajaan Romawi agar Yesus harus dihabisi. Demi nyawa Yesus, Barabas, bandit dan penjahat kelas kakap direlakan warga untuk dibebaskan Pontius Pilatus. Dari tangan Pilatus kemudian Yesus diserahkan kepada warga untuk disalibkan. Karena salah ucap-nya itulah Yesus pun mati secara keji pada usia tiga puluh tiga tahun. Terlepas dari apa yang dikatakan Socrates dan Yesus akhirnya menjadi kebenaran di kemudian hari. Sejarah filsafat barat mencatat Socrates sebagai filsuf cerdas dan buah pikirannya menjadi rujukan siapapun yang masuk dalam langgam filsafat. Demikian juga dengan sejarah orang beriman mencatat bahwa Yesus juga adalah Tuhan yang satu dan sama seperti Tuhan yang diyakini bangsa Yahudi. Namun dalam konteks dan situasi ketika itu, ketika Socrates dan Yesus hidup dan ada di dunianya masing-masing, ruparupanya apa yang telah mereka ucapkan
91

adalah bumerang bagi diri mereka sendiri. Pertanyaan yang akhirnya menjadi refleksi pribadi adalah tentang bagaimana membangun komunikasi dan relasi yang efektif dalam situasi dan konteks yang tepat. Satu dari seratus orang yang salah ucap akhirnya dikagumi di kemudian hari. Socrates dan Yesus adalah satu dari seratus di ranah-nya masing-masing. Namun, selebihnya, sembilan puluh sembilan orang lainnya akhirnya hanya menjadi jasad yang tidak berarti. Mungkin ini sebuah perbandingan yang tidak benar. Namun yang pasti bahwa, secara pribadi, aku belajar dari dua salah ucap di atas untuk membangun komunikasi, relasi dan memberikan kesaksian yang efektif dalam situasi dan kondisi yang tepat, agar tidak mati sia-sia, karena aku bukan Socrates apalagi Yesus. Karena aku bukan filsuf, apalagi Tuhan. Aku hanya orang bodoh.

Kematian Sang Kata Makna: sengsara, wafat, kebangkitan , hidup dalam diam. Selalu lahir dan terus
92

Lahir, di ujung lidah, di ujung pena. Kau beri rasa . Kau beri warna. Pembebasan . Ketika Kata sudah menjadi daging dan tinggal di antara kita, sudah sejak itu kita harus memberi kesaksian tentannya. Tentang makna. Kata menjadi bermakna, manakala digunakan untuk suatu tujuan yang benar karena dapat dipertanggungjawabkan secara akal sehat. Digunakan untuk sesuatu yang baik secara moral karena mengandung sebuah keyakinan. Dalam tataran paling sederhana kata menjadi bermakna mankala kita mengatakan sesuatu yang salah sebagai salah, dan benar sebagai yang benar. Dan dalam tataran tertinggi sebuah kata menjadi bermakna manakala kata dijadikan sebagai doa. Ber-kata berarti berdoa. Dalam tataran tertinggi inilah, pada dan dalam melalui kata kita temukan keselamatan. Mengapa tidak? Seluruh bangunan keyakinan, kepercayaan kepada segala kehidupan adalah karena kita meyakini sungguh bahwa apa yang terkata-kan sebagai sesuatu yang benar. Kata yang ter-kata-kan sebagai sebagai kata yang tak terbantahkan kebenarannya,
93

karena kata sejatinya lahir dari rahim yang suci, untuk mengatakan, mengungkapkan dan bahkan mengetahui, mengalami dan mempertahankan kebenaran. Dan karena keyakinan itulah aku percaya bahwa ada sesuatu yang absolute, sesuatu yang melampaui sekedar kata itu sendiri. Aku menyebutnya sebagai Sang Kata. Dan ini, bagiku, tidak terbantahkan. Karena Sang Kata, tidak hanya hanya menjadi jiwa kehidupan itu sendiri, tetapi kata itulah keselamatan. Namun, di sisi yang lain kata kata bisa menjadi senjata, sesuatu yang mengerikan, menakutkan karena bisa membunuh. Jika, disebutkan bahwa kata itu tajam atau kata itu kejam lantaran pada dan dalam melalui kata kita balutkan kepentingan dan maksud yang tidak sehat. Ketakbermaknaan kata menjadi nyata, manakala kita menggunakan kata sebagai dusta. Ber-kata berarti berdusta. Pada dan dalam melalui kata kita temukan kehancuran. Mengapa tidak? Karena hanya pada dan dalam melalui kata yang sama, seluruh bangunan keyakinan kepercayaan pada kehidupan roboh
94

seketika itu juga. Karena kata, kehidupan menjadi porak poranda. Kematian karena aneka penindasan dan penjajahan, baik yang dilakukan secara fisik dalam perang maupun secara mental dalam ideology dan aliran radikal dan otoriter sejatinya bersumber pada kata yang tidak bermakna. Aku menyebutnya sebagai Prasangka. Prasangka tidak sekadar pendapat (anggapan) yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui (menyaksikan, menyelidiki) seperti yang didefinisikan Kamus Besar Bahasa Indoenesia. Prasangka adalah pengabaian atas kebenaran yang seharusnya di-katakan dalam kata. Prasangka mereduksi kata menjadi hanya sekedar alat. Padahal sejatinya kata itu pada dirinya sendiri adalah bermakna kebenaran. Akhirulkata. Karena Kata mau menjadi daging, maka dia merelakan dirinya untuk mati. Sebab baginya menjadi Kata itu tidak mudah, karena harus menempuh sebuah proses yang panjang. Prosesi kesengsaraan harus ditempuh penuh peluh dan darah. Jalan yang ditempuhnya adalah yang terbentang dari tempat dia bersimpuh di Getsemani sampai
95

pada puncak Kalvari, selanjutnya dari puncak Kalvari sampai pada kebangkitannya. Dialah Sang Kata.

Ketika Ibuku Tiada Ketika aku hendak menuliskan kata tentang sebuah peristiwa yang paling menyentuh rasa, yakni ulang tahun ibuku tercinta, ketika itu aku mengalami peristiwa paling menyiksa seumur hidupku. Semakin besar hasratku untuk menuliskan sesuatu tentang Ibuku, semakin sulitlah aku menuliskannya dalam kata. Namun, jika mau jujur, sebenarnya ibuku pasti bangga jika aku dapat mengucapkan salam selamat ulang tahun walau hanya sebatas kata. Sebab, ketika aku menjadi besar dan menjadi penyair hebat, tak pernah kutulis sekuplet sajak pun tentang ibuku sendiri. Aku terlalu larut dengan duniaku sendiri. Tentang kesejatian seorang penyair. Bahwa aku harus tewas dalam setiap peristiwa jika hendak
96

mengguncangkan dunia. Sudah kutulis ratusan puisi tentang perempuan, kegetiran dan juga kengerian mereka. Tetapi tidak sekali pun aku menuiskan tentang ibu yang selalu setia menjadi pelita. Ketika kenangan memintaku mengucapkan salam untuk ibu, dalam dadaku bagai ada genderang yang meledak-ledak, ada orang yang merontaronta, ada kesangsian yang meletup-letup tanya apa yang dapat kau katakan tentang ibumu? Apakah ibumu akan menerima ucapan salam darimu? Ketika itu aku diam. Semakin aku kembali ke masa silam bersama ibuku tercinta, semakin aku kehilangan kata. Satu jam yang menyiksa. Satu jam aku berperang melawan ingat. Aku ingin lupa. Semakin aku mencoba untuk melupakan apa yang diingat, semakin terang benderang masa lalu itu terkuak. Tubuhku bergetar. Dadaku berdetak keras. Kepalaku panas. Aku mengepal tanganku erat-erat. Aku tersiksa. Aku berada pada tahap di mana hanya peluh dan air mata yang dapat
97

melukiskannya. Sengsara. Papa. Menderita. Tersayat. Akhir kata. Mengapa tidak? Ketika aku membayangi bagaimana ketika ibu berkisah tentang kelahiranku, yang aku temukan justru seorang balita dan janda malang ditinggal ayah dan suami. Senyum ibu ketika bercerita penuh semangat seperti tergerus oleh kebejatan ayah yang pergi ke mana entah. Ibu sepi dan aku sendiri. Ketika aku membayangi bagaimana ibu membesarkan aku, yang justru aku temukan adalah seorang bocah nakal kehilangan jejak. Seorang anak mencoba memberontak terhadap keadaan. Seorang anak yang menghalalkan segala cara hanya untuk menunjukkan bahwa dia ada di antara kawan-kawannya. Seorang anak bengal dalam genggaman kasih ibu yang lemah. Ketika aku membayangkan bagaimana pengalaman hendak melanjutkan ke sekolah menengah atas, yang aku temukan adalah keluh ibu yang terluka. Ketika aku hendak berubah dan mau meneruskan jejak kebahagiaan, justru yang aku alami adalah ibuku yang tersiksa. Ibuku yang pincang karena lumpuh tanpa
98

sebab. Ketika itu aku menyadari bahwa aku adalah manusia paling berdosa. Dan ketika aku membayangi bagaimana ibuku meneteskan air mata ketika aku pergi ke perantauan, yang justru kutemukan adalah pribadi ibu yang tegar, sabar dan berharap akan ada perjumpaan. Ibuku meneteskan air mata bukan sebagai penyesalan, tetapi sebagai sebuah restu dan persetujuan juga pengakuan bahwa aku adalah anakknya. Lantaran itu aku pantas pergi, walau sebenarnya adalah sebuah upaya untuk kembali ke pangkuannya. Sampai ketika aku hendak menuliskan ucapan selamat ulang tahun untuk ibuku tercinta, yang justru aku terima adalah sebaris kata Ibu sudah meninggal dunia. Aku menangis, meronta. Kata-kata lenyap entah ke mana, pena itu pun patah. Aku lunglai tak berdaya. Dalam dadaku bagai ada genderang meledakledak, ada orang meronta-ronta, ada kesangsian yang meletup-letup tanya Apa yang dapat kau katakan tentang ibumu? Apakah ibumu akan menerima ucapan salam darimu?
99

Situasi Di Perbatasan Pada usia mana seorang manusia menutup mata. Mewujud tanda serupa apa seorang manusia akan meninggal dunia. Banyak kisah manusia tentang tandatanda sebelum hayat meninggalkan badan. Tetapi selagi manusia masih menjadi manusia yang hidup dan tinggal di dalam dunia, ia hanya bisa mengisahkan tentang tanda-tanda. Seorang manusia hanya bisa berharap, bahwa sebelum ajal menjemputnya, ia bisa mengungkapkan rasa entah lewat kata yang menetas lewat selembar wasiat, pun atau lewat sebuah untaian kata-kata yang patah serupa gagap. Namun demikian yang selalu sering menjadi tanda adalah entah kata atau kata entah yang meletup-letup bagai doa. Inilah yang disebut sebagai batas kata. Sebua fase dalam kehidupan manusia yang paling penting untuk dicatat dalam sejarah kehidupan. Karena di situasi perbatasan antara kehidupan dan ajal seorang manusia meringkas rentangan
100

perjalanannya hanya dalam sebuah penggalan kata. Aku menyebutnya sebagai batas kata, mungkin engkau menyebutnya sebagai wasiat. Di batas kata, seorang manusia bisa menumpahkan amarah karena kehidupannya penuh sesal. Jiwanya meronta karena tubuhnya menista. Tak sepatah-kata ampun pun terlontar dari dua beleh bibirnya yang lunglai. Yang selalu terucap adalah umpatan atas kehidupan, makian atas rentangan perjalanannya. Betapa malangnya aku. Mengapa aku harus hidup jika aku menjadi serupa sampah Namun demikian hampir mustahil kita menemukan ada manusia serupa ini. Pun pula ada yang memanjat berulang syukur. Melantunkan pujian dengan sambil melepas air mata, karena kehidupannya dialami dengan begitu indah. Jiwanya berbahagia, karena tubuhnya bagai rumah ibadah. Sepanjang hidupnya, ia suci bagai santa. Ia tersenyum kepada Sang Pemberi Kehidupan, sebagai ucapan syukur yang tak terkatakan. Betapa aku berbahagia, sekejap hidup yang nikmat Namun demikian hampir
101

mustahil kita menemukan ada manusia serupa itu. Namun ada pula manusia yang menyadari sungguh akan keberadaannya di tengah kehidupan. Dan inilah yang sesungguhnya manusia yang selalu dan sering kita jumpai. Di batas kata ia melontarkan tanya tentang kelamnya jejak kehidupan, selanjutnya memohon pinta pengampunan kepada Sang Pemberi Kehidupan. Tersayat-sayat menjelang ajal, manusia sadar dosa itu berucap kepada orang-orang tercintanya: Nantikan aku di tepi waktu, jika jingga perlahan melekat, dan burung kembali ke sarang, jemputlah aku dengan doa Kemudian ia memulai merenungkan tentang masa mudanya: Sekarang hari pagi, biarkan aku membedah siang, merangkai kalung cinta, dari yang lampau untuk esok, kusematkan dalam dadamu Pada usianya yang beranjak dewasa Air mataku jatuh, saat bayangmu berlalu, tentang kau yang mendahulu, tentang
102

kecup di keningmu, memberiku bayi

dan

rahim

yang

Dan sampai ajal menjemputnya Nantikan aku di tepi waktu, jika jingga perlahan memekat, dan burung kembali ke sarang, jemputlah aku dengan doa Selalu kita, termasuk aku, menyebutnya manusia serupa itu adalah pendosa. Namun, sesungguhnya serupa itulah manusia. Sebab jika hendak meluput dari dosa, maka untuk apa Sang Pemberi Kehidupan memberikan kehidupan kepada kita. Pun pula, bukan berarti kita harus terjebak dalam dosa, karena itulah Sang Pemberi Kehidupan memberikan kita kehidupan, agar kita menyadari keterbatasan kemanusiaan kita, lantas dengan bebas mencintai Sang Pemberi Kehidupan.

EPILOG Akhirnya Kuucapkan Kata Maaf

103

Aku kadang membayangkan seperti ini, Setiap kata yang tertetas akan balik manampar-nampar wajahku. Setiap kalimat akan serupa godam yang meremukkan semua tulangku. Sebuah pena yang kuraut akhirnya kembali menikam tubuhku. Pena, kata dan kalimat lantas mengantarku ke pemakaman seterusnya menjadi tanda pada nisan Selamat jalan kata Tidak sedikit penaku menetas kata, kadang tidak bermakna, kadang bermakna dalam banyak hal. Tetapi amat jarang engkau mencerna dengan bijak. Lantas yang meletus adalah cibir dengan melepas sederetan kata-kata bejat Kau laknat, kau pengkhianat, untuk apa engkau menetas kata jika hanya untuk menghina orang Maaf, sebenarnya aku tidak bermaksud untuk itu. Setiap kata yang terlahir dari jari-jariku sudah kuukur panjang dan lebarnya ruang kepalamu. Aku sudah mengukur kedalaman ruang rasamu. Aku pun sudah memikirkan untuk apa menetas kata. Tetapi, jika masih saja luncas, barang tentu ada sekelebat gelap yang menyengat di ruang rasamu. Cobalah cerna pada
104

malam-malam panjangmu. Beginilah sekiranya harus kau paham. Aku tidak pernah bermaksud menghujat, apalagi mencederai. Aku tidak bermaksud mengumpat apalagi mengumandangkan perang. Aku tidak akan pernah menggunakan keagungan kata hanya untuk menamparmu. Bagiku setiap kata yang terucap adalah doa. Jika aku menuliskan sepatah kata, itu artinya bersamamu aku panjatkan doa. Doa untuk sebuah perubahan, perbaikan ke arah yang lebih baik. Pertobatan.

Tentang Penulis Kris Bheda Somerpes, lahir di Romba Maunori-Nagekeo, Flores - Nusa Tenggara Timur. Setelah menamatkan sekolah dasar pada 1993, dia melanjutkan pendidikan di MatalokoNgada hingga tamat pada 1999. Enam tahun menempuh pendidikan di seminari menengah kemudian
105

melanjutkan ke Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta.

106

Anda mungkin juga menyukai