Anda di halaman 1dari 32

Pada bab ini peneliti akan menguraikan hasil penelitian sesuai dengan permasalahan yang

telah dipaparkan pada bab sebelumnya, yaitu mengenai struktural Robert Stanton dan nilai

budaya dalam cerpen pilihan Kompas tahun 2017. Pertama, peneliti akan membahas struktural

Robert Stanton. Struktur tersebut meliputi fakta cerita: alur, karakter, latar, tema, sarana-sarana

cerita: judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme, ironi.

Setelah menganalisis struktur dalam cerpen pilihan Kompas tahun 2017, maka akan

terlihat unsur-unsur yang nantinya membantu peneliti untuk menganalisis lebih lanjut yaitu

menganalisis nilai-nilai budaya yang ada di dalam cerpen pilihan Kompas tahun 2017. Berikut

adalah hasil analisis struktur dan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam cerpen pilihan

Kompas tahun 2017.

Analisis Struktur Cerpen

Kasur Tanah karya Muna Masyari

Sinopsis Cerita

Tidak disangka, Embu’ menjadikan anaknya sebagai pengganti sortana yang

semula berbentuk perabot yang selalu ia lap, namun anaknya tidak menyadari hal

tersebut. Embu’ yang telah menggantikan perabot yang semula ditata rapi dalam

kotak lemari paling atas, dan setiap senja selalu dilap oleh Embu’ karena takut ada

debu yang hinggap. Perabot sortana tersebut berupa satu gelas, cangkir (lengkap

dengan tatakannya), piring, baki ukuran kecil, dan mangkok yang dipesan khusus

oleh Embu’, dan baru datang dua bulan lalu. Tepatnya sejak Embu’ mulai sakit-

sakitan. Perabot tersebut diantarkan oleh seorang pemuda yang tidak pernah dikenal

anaknya. Barangkali lelaki itu adalah orang suruhan.


Kehidupan embu’ yang begitu pilu karena perjodohan bayi membuat ia harus

kehilangan cinta yang dimilikinya. Ayahnya yang terpaksa menjodohkan Embu’ sejak

bayi karena tidak mau berhutang budi pada lelaki yang telah membantu biaya

persalinan ibunya Embu’. Lelaki tersebut sudah memiliki tiga istri namun ia kaya

raya, sehingga ayahnya mau menjodohkan Embu’ dengan lelaki tersebut. Risiko

menolak perjodohan bayi, ia akan dianggap sebagai perempuan tidak laku atau

menikah dengan orang yang berbeda daerah sehingga Embu’ tunduk pada tradisi

tersebut.

Kesehatan Embu’ yang semakin memburuk, membuatnya berkeinginan melihat

anaknya menikah sebelum dirinya meninggal. Keinginan tersebut dikabulkan oleh

anaknya. Namun, keinginan anaknya ingin menikah dengan lelaki seusia Embu’ dan

Embu’ pun heran dulu ia tidak suka dengan lelaki yang lebih tua, tetapi sekarang

anaknya memilih lelaki yang lebih tua. Ketika anaknya menyebutkan nama lelaki

tersebut ialah Keh Sakdulla, Embu’ kaget dan terjatuh serta nyawanya tidak dapat

tertolong lagi. Ternyata lelaki pilihan anaknya Embu’ adalah ayah biologisnya yang

juga suami Embu’.

Fakta Cerita

Fakta cerita meliputi alur, karakter, latar, tema. Elemen-elemen ini berfungsi

sebagai kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Pembahasan fakta cerita dalam cerpen

“Kasur Tanah” karya Muna Masyari sebagai berikut.

Alur
Alur dalam cerpen “Kasur Tanah” pada penelitian ini menggunakan alur

campuran (maju dan mundur) yang ditandai dengan kehidupan masa muda Embu’

di masa lalu kemudian diceritakan kehidupannya di masa depan ketika harus

menikah dengan lelaki pilihan ayahnya. Alur maju ditandai dengan keadaan

Embu’ di masa sekarang dan alur sorot balik ditandai dengan keadaan Embu’ di

masa muda yang selalu mendapatkan kekangan dalam memilih kebebasan

memilih pasangan. Berikut kutipan yang menunjukkan alur campuran.

Dulu aku tidak setuju kau dijodohkan sejak bayi, supaya kau bebas
memilih akan menikah dengan siapa. Tidak peduli orang-orang
menganggapmu sebagai anak perempuan yang tidak cepat laku, sudut
bibirnya tertarik sedikit. (Arcana, 2018: 6)
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa alur dalam cerpen “Kasur Tanah”

memiliki rangkaian cerita yang mengarah ke masa sekarang dan masa lalu,

sehingga alur cerita tidak hanya menceritakan tentang masa sekarang saja tetapi

juga menceritakan tentang kisah masa lalu suram Embu’ sehingga dirinya merasa

kehidupan sekarang lebih menyenangkan sedikit dari pada masa lalunya.

Analisis alur di dalam cerpen “Kasur Tanah” karya Muna Masyari ditandai

dalam kutipan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh tokoh dalam cerita.

Tahapan alur cerpen “Kasur Tanah” karya Muna Masyari dapat diuraikan pada

tahap situation, generating circumstances, rising action, climax, denouement.

Pada tahap situasi digambarkan dengan pelukisan latar dan tokoh cerita,

generating circumstance menggambarkan tahap awal munculnya konflik, rising

action menggambarkan konflik yang digambarkan sebelumnya semakin

berkembang, tahap climax menggambarkan konflik atau pertentangan yang terjadi


dalam cerita sudah mencapai titik intensitas puncak, tahap denouement

menggambarkan penyelesaian konflik yang sudah klimaks dengan diberi jalan

keluar.

Tahap Situation (Penyituasian)

Peristiwa pada tahap situation menceritakan keinginan Embu’ menjadikan

anaknya sebagai sortana. Pengertian dari sortana itu sendiri ialah hantaran

berbagai macam perabot pada seorang kiai atau guru ngaji untuk dijadikan sortana

bagi keluarganya yang sudah meninggal. Hantaran perabot tersebut selain bernilai

sedekah jariyah, juga agar yang meninggal mudah diingat. Sortana itu dipakai

untuk kebaikan dan tentu menambah nilai pahala bagi yang meninggal. Itu sebab

mengapa dinamai sortana, mengambil dari kata kassora tana atau kasur tanah.

Keinginan Embu’ yang menjadikan anaknya sebagai sortana, sebab ia

menggantikan perabot dengan anaknya kepada kiai yang ternyata juga mantan

kekasihnya Embu’ yang dulu. Penggambaran awal tersebut menunjukkan adanya

hubungan antara anaknya dengan Keh Sakdulla di belakang Embu’. Anak Embu’

dan sortana sama-sama memiliki keistimewaan yang sama di mata Embu’. Hal

tersebut memperjelas bahwa keduanya memiliki fungsi yang sama tanpa Embu’

sadari, ketika Embu’ meninggal anaknyalah yang diberikan pada Keh Sakdulla.

Berikut kutipan yang menunjukkan tahap situasi.

Pada hari pernikahan sekaligus kematian ini, barangkali kau tidak merasa
bahwa embu’ sengaja menjadikan dirimu sebagai pengganti perabot
sortana yang pernah diperlakukan istimewa itu. (Arcana, 2018:2)
Kutipan di atas menggambarkan keinginan embu yang menjadikan anaknya

sebagai sortana. Hal tersebut jarang sekali terjadi di masyarakat ketika ibunya

merelakan anak kandungnya menikah dengan ayah biologisnya, tetapi hal ini

terjadi dikarenakan adanya kritik yang digambarkan pengarang melalui cerpen

bahwa adanya perjodohan mampu menimbulkan adanya karma dikemudian hari

seperti yang dialami Embu’ yang terkejut melihat anaknya ingin menikah dengan

mantan kekasihnya dulu.

Terpercik pertanyaan besar di matamu, karena setiap ada orang meninggal,


keluarganya biasa menghaturkan berbagai macam perabot pada seorang
kiai atau guru ngaji sebagai sortana. Apalagi, perabot pesanan yang sering
Embu’ lap itu katanya untuk dijadikan sortana juga. Selain bernilai
sedekah jariyah, juga agar yang meninggal mudah ingat, jawab embu’
setelah berhasil menyisihkan kegugupannya. (Arcana, 2018:3)
Kutipan tersebut menunjukkan bagaimana kegunaan dan arti dari sebuah

sortana. Sortana mampu dipandang sebagai sesuatu yang bernilai pahala karena

masyarakat Madura secara turun-temurun menganggap hal tersebut mampu

menjadi penerang, penolong di akhirat karena hubungannya dengan guru ngaji

dan sedekah, sehingga masyarakat yakin bahwa mereka memiliki sedekah jariyah

yang mengalir di akhirat jika memberikan sortana.

Tahap Generating Circumstances (Pemunculan Konflik)

Generating Circumstances menampilkan pemunculan konflik awal, peristiwa-

peristiwa yang terjadi menimbulkan konflik namun konflik yang ditampilkan

belum berkembang, karena masih permulaan.

Pada tahap ini konflik awal yang dimunculkan ketika embu’ dilarang menikah

dengan Keh Sakdulla pada saat Embu’ masih muda. Larangan menikah tersebut
dikarenakan Embu’ yang sudah dijodohkan sejak masih bayi. Mau tidak mau

Embu’ harus mengikuti perintah dari orang tuanya, jika tidak Embu’ akan

dianggap tidak laku dan ujungnya akan menikah dengan orang yang berbeda

daerah. Perjodohan tersebut kemudian dianggap sesuatu yang menindas bagi

kaum wanita di Madura, karena tidak adanya kesetaraan gender serta menganggap

wanita yang miskin adalah makhluk lemah yang dapat di beli serta ditindas.

Berikut kutipan yang menunjukkan tahap pemunculan konflik.

Ayahmu memang sudah tua saat menikahi embu’, dan ia tidak memiliki
keturunan satu pun dari istri-istrinya terdahulu. Kakekmu terpaksa
menjodohkan embu’ yang baru lahir dengan lelaki kaya yang sudah
beristri tiga itu demi membalas budi setelah membantu biaya kelahiran
embu’, kata kakekmu, ia tidak mau menanggug utang budi hingga mati.
Risiko menolak tradisi perjodohan bayi, selain dipandang sebagai anak
perempuan tidak laku, ujung-ujungnya kelak ia menikah dengan orang
dari luar daerahnya. (Arcana, 2018:5)
Kutipan di atas menunjukkan adanya konflik awal yang terjadi pada masa lalu

embu’, ia tidak diperbolehkan menikah dengan laki-laki lain, ia harus menikah

dengan laki-laki yang sudah dipilihkan oleh ayahnya. Hal tersebut memunculkan

sikap Embu’ yang memberontak karena dirinya butuh hak bebas dalam

berpasangan, namun karena ia hidup dari keluarga pas-pasan serta masih

mengingat agama dan orang tua akhirnya ia tunduk pada adat dan pasrah karena

harta menindas segalanya.

Tahap Rising Action (Peningkatan Konflik)


Rising Action menampilkan permunculan konflik yang semakin berkembang

dari sebelumnya, kalau sebelumnya konfliknya masih awal, pada tahap ini kadar

intensitasnya meningkat.

Pada tahap ini, konflik yang berkembang terjadi ketika Embu’ menginginkan

anak perempuannya menikah sebelum Embu’ meninggal karena Embu’ sudah

sakit-sakitan. Namun yang terjadi, ketika anaknya ingin menikah dengan laki-laki

seumuran Embu’. Hal tersebut membuat Embu’ terkejut, sebab pada dasarnya ia

sangat menyesal dan kecewa dijodohkan dengan lelaki tua, namun anaknya justru

memilih lelaki yang jauh lebih tua. Sehingga, muncul adanya peningkatan konflik

ketidaksinkronan keinginan Embu’ dengan anaknya. Permasalahan tersebut dapat

dilihat dalam kutipan berikut.

“Embu menatapmu. Bibirnya melengkung tipis. Sekarang kau sudah besar.


Sebelum mati, aku ingin melihatmu menikah”. (Arcana, 2018: 5)
Kutipan di atas menggambarkan bahwa sebenarnya Embu’ memiliki keinginan

melihat anaknya menikah ketika merasa umurnya tinggal menghitung hari.

Keadaan Embu’ ketika mengucapkan hal tersebut menunjukkan bahwa dirinya

sudah menyerah, tidak mampu menjalani hidup dengan segala penyakit, sehingga

memunculkan permintaan terakhirnya dan seperti tanda-tanda dirinya akan pergi.

Rasa menyerah ditunjukkan melalui permintaan Embu’ yang sudah pasrah dengan

segala sakitnya sehingga ia hanya ingin permintaan terakhir terpenuhi.

Kalau aku menikah dengan lelaki yang sudah seusia embu’, apa tidak
keberatan? Kau masih muda. Pilihlah lelaki yang seusia atau lebih tua
sedikit darimu. Jangan sepertiku, ada penyesalan berakar yang berusaha
embu’ pendam di antara desah napasnya. (Arcana, 2018: 6)
Kutipan di atas memunculkan konflik yang berkembang karena penyesalan

Embu’ menikah dengan lelaki tua justru sang anak ingin mengikuti jejak Embu’.

Hal tersebut mampu menambah beban pikiran Embu’ dan memperparah sakitnya

akibat keputusan sang anak, selain itu nasihat yang dikatakan Embu’ seperti tidak

didengar padahal anaknya tahu bagaimana batin ibunya terluka karena menikah

dengan lelaki tua.

Tahap Climax (Klimaks)

Penggambaran konflik pada tahap ini sudah mencapai titik intenitas puncak,

artinya konflik yang dialami tokoh sudah sangat memuncak. Hal tersebut terjadi

ketika anak perempuan Embu’ ternyata ingin menikah dengan guru ngajinya yaitu

Keh Sakdulla yang ternyata adalah Ayah biologis anak Embu’ tersebut. Artinya,

ada suatu akibat atas perjodohan yang dilakukan oleh Embu’ sehingga karmanya

anaknya menikah dengan ayahnya sendiri akibat anaknya tidak tahu bahwa Embu

pernah hamil di luar nikah. Bisa jadi, Keh Sakdulla tidak mengetahui bahwa

Embu’ sedang hamil anak dari dirinya karena ketika hamil tersebut ia langsung

menikah dengan lelaki lain dan tidak bertemu lagi dengan Keh Sakdulla, sehingga

memunculkan permasalahan yang besar di kemudian hari. Permasalahan tersebut

dapat dilihat dalam kutipan berikut.

Siapa dia? Beliau.. kau ragu sejenak, menelan ludah. Alis embu’ terangkat,
sebuah isyarat agar kau melanjutkan kalimat. Beliau adalah guru
mengajiku, Keh Sakdulla! Cangkir di tangan embu’ tiba-tiba serupa bilik
kosong yang sunyi meskipun sempat terbelalak sebentar dan menatapmu
penuh kejut. Wajah embu’ mendadak beku. Ia tidak memedulikan cangkir
yang berpuing di lantai. Lidahmu kelu. Kesunyian berkelindan. Kau
terpaku heran. (Arcana, 2018: 7)
Kutipan di atas menunjukkan adanya ketidakjujuran di masa lalu Embu’

terhadap Keh Sakdulla. Hubungan terlarang mereka telah menghasilkan buah hati

yang akan dinikahi Keh Sakdulla. Kesalahan fatal Embu’ tidak menceritakan

kehamilannya pada Keh Sakdulla ternyata membuat masalah baru bagi kehidupan

Embu’. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya Embu’ tidak ingin

menceritakan kehamilannya karena ia sadar hubungan Embu’ tidak dapat kembali

seperti semula dengan Keh Sakdulla, serta dirinya takut diceraikan oleh suaminya

dan takut ayahnya kecewa.

Tahap Denouement (Penyelesaian)

Pada tahap ini merupakan penyelesaian konflik yang telah mencapai klimaks

dengan diberi jalan keluar, dan cerita diakhiri. Penggambaran cerita yang terjadi

pada tahap ini ialah, ketika jenazah embu dimandikan dan dimakamkan dan anak

embu menikah dengan lelaki pilihannya yang ternyata ayah biologisnya. Hal

tersebut merupakan penyelesaian penuh kontra, di sisi lain anaknya belum

sepenuhnya mendapatkan restu dari ibunya, lalu ia dengan rasa tidak bersalah

menikah di depan kerandanya. Dikatakan kontra karena menikah disandingkan

dengan kematian sangat jarang terjadi dan pasti akan mendapatkan kecaman.

Permasalahan tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.

Sebelum jenazah diantarkan ke pekuburan, akad pernikahanmu


dilangsungkan di samping keranda. Setelah akad nikah selesai, kita pun
ikut mengantarkan jenazah Embu. (Arcana, 2018: 8)
Kutipan tersebut merupakan penyelesaian konflik yang penuh dengan

kecaman, ketika pernikahan disandingkan dengan kematian hal tersebut seperti

memunculkan keadaan menari di atas penderitaan orang lain, ketika keridhoan


untuk menikah dengan lelaki tersebut belum terucap dari mulut Embu’ tetapi

anaknya tetap melangsungkan pernikahan di depan Embu’.

“Lelaki yang baru saja menikahimu adalah ayah biologismu. Akulah saksi
cinta mereka yang kandas Karena status sosial dan tradisi perjodohan”.
(Arcana, 2018: 9)
Kutipan di atas merupakan jawaban dari segala peristiwa mulai dari Embu’

yang sakit karena banyaknya pikiran dan hujatan, serta alasan Embu’ mengapa

kaget mendengar anaknya mengatakan lelaki pilihannya. Ketidakjujuran Embu’

terhadap keadaan dirinya yang pernah hamil karena Keh Sakdulla, membuat

masalah baru dalam hidupnya yaitu keinginan Keh Sakdulla yang ingin

mempersunting anaknya sendiri. Karena awalnya tidak jujur hingga akhir pun

kehidupan Embu’ tidak berujung bahagia.

Karakter

Karakter biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter

merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita. Konteks kedua

karakter merujuk percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi dan

prinsip moral dari individu-individu tersebut. Konteks dalam hal ini bagian suatu

uraian kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna.

Dalam cerpen ini ada dua tokoh yang menjadi karakter utama yaitu Embu’dan

anaknya. Sedangkan tokoh tambahan yang digambarkan ialah Keh Sakdulla dan

saksi hidup Embu’. Pada cerpen ini anak Embu’ hanya sebagai pendukung

jalannya cerita. Berkaitan dengan perannya sebagai karakter utama, Embu’ lebih

banyak memberikan ruang untuk mengekspresikan perasaan, pikiran, dan sikap-


sikapnya. Hingga memungkinkan pembaca mengenal karakter tokoh secara lebih

dekat.

Tokoh Keh Sakdulla dan saksi hidup Embu’ menjadi tokoh tambahan karena

keduanya tidak banyak diceritakan dalam cerpen tersebut. Tokoh yang muncul

dalam cerpen ini ada delapan karakter. Dan tokoh utama di sini adalah Embu’.

Berikut tokoh yang muncul dalam cerpen “Kasur Tanah” karya Muna Masyari.

Embu’

Embu’ adalah sosok perempuan cantik, kecantikan yang ia miliki lebih cantik dari

pada anaknya. Cantik yang digambarkan Embu’ tidak mendeskripsikan secara fisik dalam

cerita, hanya saja cantiknya digambarkan melalui pandangan mata lelaki terhadap Embu’

karena Embu’ menjadi primadona desa saat masih muda. Usia Embu’ digambarkan

sebagai wanita yang sudah tidak muda lagi, namun tidak digambarkan dalam cerita

bagaimana dan berapa jumlah umur yang dimiliki Embu’ hanya saja ketika anaknya ingin

menikah dengan lelaki seumurnya ia mengatakan jangan menikah dengan lelaki yang

jauh lebih tua, sehingga menafsirkan umur Embu’ yang sudah tua. Fisik Embu’

digambarkan sebagai wanita yang ringkih, hal tersebut telihat melalui kisah hidupnya

yang sakit-sakitan. Sakit tersebut bisa jadi muncul karena hidup Embu’ yang penuh

gunjingan warga, sehingga ia berusaha tegar tetapi dalam dirinya ia tersiksa atas

gunjingan tersebut, sampai akhirnya berubah menjadi sakit dalam fisik dan batinnya.

Embu’ tinggal di Madura dengan latar belakang masyarakatnya yang penuh dengan

tradisi yang kental. Tradisi yang terkenal di Madura ialah kasur tanah dan juga

perjodohan bayi. Embu’ merupakan sosok yang mengikuti kedua tradisi tersebut. Tradisi
perjodohan bayi ia lakukan dikarenakan keadaan keluarganya yang kurang mampu

sehingga ia dipertaruhkan cintanya dengan harta. Hal tersebut menunjukkan bahwa harta

mampu membeli segalanya, sampai cinta dan harga diri yang dimiliki Embu’ harus sirna

karena harta berkuasa di atas segalanya.

Kehidupan Embu’ mampu mempengaruhi kesehatan serta perasaan Embu’. Perlakuan

tidak baik warga terhadap Embu’ membuat dirinya harus tahan dan tegar menghadapi

gunjingan warga. Karena selalu menahan rasa sakit hati dan berpura-pura tegar, rupanya

batin dan fisik Embu’ sangat terluka namun ia tidak menceritakannya pada siapapun,

sampai akhirnya jatuh sakit yang tidak kunjung sembuh. Hal tersebut menunjukkan

adanya batin yang terpuruk akibat masa lalu serta gunjingan warga yang disebabkan oleh

ketidakjujuran Embu’ di masa lalu. Berikut kutipan karakter Embu’.

Semasih muda Embu’ memang lebih cantik darimu. Ia menjadi perawan


desa yang diperebutkan. Namun, perbedaan status sosial, tradisi
pertunangan sejak bayi, hingga martabat yang harus dijunjung tinggi telah
menumbalkan sebiji cinta yang dimilikinya. Tidak ada pilihan baginya
kecuali tunduk di hadapan orang tua. Pada tradisi takdir perjodohan bayi.
(Arcana, 2018:5)
Kutipan di atas menunjukkan bagaimana karakter Embu’ dipandang cantik di

mata para lelaki, sehingga penggambaran dirinya hanya sebatas peniliaian orang lain,

selain itu terkungkungnya hak memilih pasangan juga dialami Embu’ karena keadaan

keluarga yang kurang mampu sehingga cinta dan harga dirinya dibeli oleh harta.

Sehingga, kehidupan Embu’ tidak dipenuhi dengan kebahagiaan terutama ketika dirinya

tidak pernah jujur tentang kehamilan dirinya yang membuat anaknya akan dipersunting

ayahnya sendiri, hal itu dikarenakan dari awal Embu’ yang tidak jujur sehingga

kehidupannya tidak berujung bahagia.


Anak Perempuan Embu’

Anak Embu’ dalam cerpen ini digambarkan sebagai sosok wanita yang cantiknya

tidak mampu melebihi kecantikan Embu’. Kecantikan dirinya tidak digambarkan secara

detail dalam cerita, namun dilihat dari pandangan lelaki dan juga saksi hidup bahwa

kecantikan dirinya tidak mampu menandingi Embu’. Usia dirinya tidak digambarkan

secara detail tetapi secara luas dirinya digambarkan sebagai wanita yang siap untuk

menikah, artinya penggambaran umur anak Embu’ adalah umur yang dewasa dan pantas

untuk menikah.

Anak Embu’ tinggal di Madura dengan latar belakang masyarakatnya memiliki tradisi

yang sangat kental. Tradisi yang berkembang ialah kasur tanah dan perjodohan bayi.

Anak Embu’ tidak melakukan tradisi tersebut karena Embu’ menolak dan takut masa

depannya suram seperti Embu’. Hal tersebut ditolak karena adanya rasa sakit yang

bertubi-tubi akibat tradisi tersebut, gejolak batin yang luar biasa juga muncul apabila

melakukan tradisi tersebut. Sehingga, anak Embu’ memiliki latar belakang yang baik

tanpa harus merasakan sakitnya dijodohkan dengan orang yang tidak dicintai.

Kehidupan anak Embu’ yang selalu mendapatkan gunjingan warga nyatanya tidak

mampu dipendam seperti Embu’. Ia meluapkan rasa sakit hatinya dengan mengadu

kepada Embu’ sehingga dirinya belum bisa menanggapi semua masalah seperti Embu’.

Hal tersebut menunjukkan bahwa anak Embu’ mudah sakit hati terhadap ucapan, serta

tidak mampu menahan gunjingan warga atas dirinya, dengan begitu dirinya belum

dikatakan setegar Embu’ dalam menghadapi masalah. Berikut kutipan yang menunjukkan

karakter anak Embu’.


Cinta rumit masa lalu membuat embu’ tegar dan bersikap lebih tenang. Bahkan,
embu’ juga menanggapi dengan santai saat kau adukan bisik-bisik tetangga di
warung mengenai dirimu. Kata orang aku bukan anak kandung ayah. Benarkah,
Bu? Dengan wajah kesal kau pulang dan menyemburkan pertanyaan itu. (Arcana,
2018: 5)
Kutipan di atas menunjukkan keadaan kehidupan anak Embu’ yang tidak pernah

berujung bahagia. Hal tersebut dikarenakan ulah ibunya yang tidak pernah jujur sejak

awal terhadap orang tua dan semuanya bahwa dirinya sedang mengandung anak dari Keh

Sakdulla akibat hubungan terlarang. Sehingga, di kehidupan yang mendatang ia harus

rela anak Embu’ digunjing oleh warga dan batinnya selalu terluka.

Keh Sakdulla

Karakter Keh Sakdulla memiliki fisik yang tidak dijelaskan begitu detail dalam cerita,

tetapi Keh Sakdulla digambarkan memiliki usia yang tua. Hal tersebut digambarkan

melalui kecaman Embu’ terhadap anaknya agar memilih lelaki yang seumuran dari pada

yang umurnya jauh lebih tua. Artinya, penggambaran usia Keh Sakdulla digambarkan

melalui nasihat Embu’, sehingga secara tersirat pembaca akan mengetahui bagaimana

umur Keh Sakdulla.

Keh Sakdulla tinggal di Madura, sama halnya seperti Embu’. Daerahnya memiliki

tradisi yang kental seperti kasur tanah dan perjodohan bayi. Keh Sakdulla harus

meninggalkan cintanya dengan Embu’ akibat tradisi perjodohan bayi yang dilakukan

Embu’. Keh Sakdulla tidak mampu berbuat apa-apa sehingga ia hanya pasrah merelakan

Embu’ menikah dengan yang lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa Keh Sakdulla tidak
memiliki kekuasaan di desa tersebut, hanya masyarakat biasa sehingga ia tidak mampu

menahan Embu’, selain itu juga Keh Sakdulla menunjukkan dirinya tidak memiliki harta

yang berlimpah sehinga tidak mampu mengalahkan lelaki yang berharta banyak.

Penggambaran diri Keh Sakdulla walaupun tidak terlalu banyak ia merupakan orang

yang berpengaruh pada kehidupan serta kesehatan Embu’. Keinginan Keh Sakdulla untuk

menikah dengan anak Embu’ merupakan jalan ternekat yang diambil oleh Keh Sakulla.

Sehingga dapat menunjukkan bahwa Keh Sakdulla mengambil langkah yang salah dan

membuat nyawa Embu’ hilang untuk selamanya.

Saksi hidup Embu’

Karakter saksi hidup diceritakan sebagai orang yang hidup dan banyak mengetahui

kisah cerita Embu’. Fisik dan usia saksi hidup tidak dijelaskan secara mendetail dalam

cerita, namun dari percakapan antara anak Embu’ dan saksi hidup ia digambarkan

memiliki umur yang sama dengan Embu’. Hal tersebut ditunjukkan melalui pemaparan

saksi hidup yang mengatakan dirinya mengetahui kehidupan sejak muda sampai tua,

sehingga dirinya seperti orang terdekat Embu’ yang memiliki umur yang sama. Karena,

kesamaan umur biasanya orang akan lebih mudah untuk bercerita dan mengeluh sebab

tidak adanya perbedaan umur, dan orang yang memiliki umur yang sama akan lebih

memahami perasaan lawan bicaranya dengan apa yang terjadi pada dirinya.

Saksi hidup tinggal di Madura sama seperti Embu’. Daerah tersebut memiliki tradisi

yang masih kental yaitu perjodohan bayi dan pemberian sortana. Kehidupan saksi hidup

tidak digambarkan sama dengan Embu’ yang terkungkung akan tradisi perjodohan bayi.

Penggambaran seperti itu mampu menunjukkan bahwa kehidupan saksi hidup bukan
berasal dari keluarga yang miskin sehingga ia tidak perlu dijodohkan seperti Embu’. Hal

tersebut ditunjukkan melalui kehidupannya yang tidak diceritakan kalau dirinya sama

seperti Embu’. Saksi hidup merupakan orang kepercayaan Embu’ tentang rahasia Embu’

yang selama ini disimpan rapat-rapat. Karena kepercayaan tersebutlah saksi hidup

merupakan sosok yang dekat dengan Embu’ bahkan seperti surat dan perangko yang

kemana pun Embu’ berada ia dapat mengetahui masalah Embu’.

Keadaan saksi hidup yang sangat dekat dengan Embu’ tidak mampu mengubah

kehidupan Embu’. Ia hanya sebagai orang yang dekat dan menjadi tempat berkeluh kesah.

Perasaan saksi hidup sangat kasihan melihat kehidupan Embu’ yang terus menerus

diterjang masalah. Hal tersebut tergambar melalui dialog dengan anak Embu’ mengenai

rahasia yang selama ini ia simpan. Ia hanyalah orang biasa dan tidak memiliki

kewenangan bagi Embu’ sehingga ia hanya membantu melalui bantuan fisik bukan moril.

Saksi hidup juga sosok yang selalu ada untuk Embu’ ketika Embu’ dilanda masalah, tetapi

ia tidak mampu membantu lebih karena dirinya tidak memiliki jabatan dan kewenangan

di desa tempat Embu’ tinggal. Berikut kutipan tentang karakter saksi hidup.

Ada satu amanah lagi yang embu’ titipkan padaku; menjaga rahasianya. Rahasia
identitasmu. Kau dan siapa pun tidak boleh tahu, bahwa Keh Sakdulla, lelaki yang
baru saja menikahimu adalah ayah biologismu. Sebagai perempuan yang dulu
menjadi santri abdi di rumah Keh Sakdulla, akulah saksi cinta mereka yang
kandas karena status sosial dan tradisi perjodohan. (Arcana, 2018: 9)
Kutipan di atas menunjukkan karakter saksi hidup yang diberikan kepercayaan oleh

Embu’ tentang segala rahasianya mulai dari memiliki hubungan dan hamil dengan Keh

Sakdulla. Hal tersebut menunjukkan adanya rasa aman Embu’ ketika sedang bersama

saksi hidup. Bisa jadi, saksi hidup satu-satunya orang yang mendukung dan melindungi

Embu’ ketika semua orang sibuk dengan egonya masing-masing. Ayahnya yang menukar
Embu’ dengan harta, suaminya yang menikahinya untuk menjadikannya istri ke empat

merupakan contoh orang yang tidak pernah mendukung Embu’ sehingga satu-satunya

orang yang mendukungnya ialah saksi hidup.

Ayah Embu’

Karakter Ayah digambarkan sebagai orang tua Embu’. Fisiknya tidak digambarkan

secara detail tetapi ada dialog yang mengatakan dirinya adalah orang yang tidak mampu.

Artinya, selain keadaan tersebut fisik juga menunjang segala sesuatunya untuk bekerja.

Dengan begitu, fisik ayahnya digambarkan sebagai orang yang tidak terlalu kuat untuk

mencari nafkah yang ditunjukkan melalui keadaannya ketika Embu’ dilahirkan tetapi ia

tidak mampu membayar biaya rumah sakit. Penggamabaran fisik tersebutlah yang

memunculkan adanya perbandingan fisik yang kuat dan lemah. Jika fisiknya sebagai

pekerja keras, ia harusnya mampu mengumpulkan uang selama istrinya hamil dengan

bekerja apa saja, sehingga keadaan yang kurang mampu menunjukkan fisik ayahnya yang

lemah untuk melakukan pekerjaan apa saja.

Ayah Embu’ tinggal di Madura yang daerahnya memiliki tradisi yang kental yaitu

kasur tanah serta perjodohan bayi. Perjodohan bayi merupakan tradisi yang ia lakukan

untuk Embu’ karena keadaan dirinya yang miskin. Perjodohan bayi ia lakukan ketika

dirinya tidak mampu membayar biaya rumah sakit kelahiran Embu’ sehingga Embu’

terpaksa dijodohkan sejak bayi pada saudagar kaya. Sikap ayahnya yang menjodohkan

anaknya menunjukkan bahwa ia terpaksa menjodohkan karena dirinya yang miskin dan

ayahnya tidak ingin anaknya memilih laki-laki tidak kaya sebab nantinya kehidupan
Embu’ akan menderita seperti dirinya. Hal tersebut terlihat ketika ia sangat mengekang

hubungannya dengan Keh Sakdulla lelaki yang tidak memiliki harta.

Perasaan Ayahnya yang sebenarnya kasihan dengan nasib Embu’ tidak dihiraukan

terlalu jauh sebab baginya harta mampu mengangkat derajat manusia, sehingga dengan

Embu’ mendapatkan suami kaya hidupnya akan bahagia walaupun ayahnya tidak tahu

batin anaknya yang selalu terluka akibat perjodohan itu.

Ayahmu memang sudah tua saat menikahi embu’, dan ia tidak memiliki keturunan
satupun dari istri-istrinya terdahulu. Kakekmu terpaksa menjodohkan embu’ yang
baru lahir dengan lelaki kaya yang sudah beristri tiga itu demi membalas budi
setelah membantu biaya kelahiran embu’. Kata kakekmu, ia tidak mau
menanggung utang budi hingga mati”. (Arcana, 2018: 5)
Kutipan di atas menunjukkan keadaan keluarga Embu’ yang kurang mampu, sehingga

Embu’ diibaratkan sebagai sesuatu yang dapat dijadikan kekayaan. Artinya, menjodohkan

Embu’ dengan lelaki kaya mampu mengubah kehidupan keluarganya menjadi lebih baik.

Perasaan terpaksa hanyalah sebuah pengakuan jujur yang sangat kecil, selebihnya

keinginan untuk menaikkan derajat pasti ada di lubuk hati ayahnya yang paling dalam

namun keegoisan itu mampu ditutupi ayahnya.

Suami embu’

Keadaan fisik suami Embu’ digambarkan sebagai lelaki yang tidak mampu menjaga

pandangannya terlebih untuk hal menjaga harga diri sebagai suami. Maksudnya adalah,

suami Embu’ tidak mampu menahan nafsunya untuk memperistri Embu’ walaupun

dirinya sudah memiliki tiga istri, sehingga suaminya bukan lelaki yang setia pada satu

wanita, dan menikahi Embu’ hanyalah memuaskan nafsunya yang besar untuk menindas

wanita yang miskin dan dianggap harga diri wanita tersebut mampu dibeli dengan harta.
Usia suaminya jauh lebih tua dari Embu’ hal tersebut ditunjukkan melalui gunjingan

teman-teman anaknya yang mengatakan ayahnya lebih pantas dikatakan kakek. Artinya,

di usianya yang sudah tua ia mampu menguasai perempuan dengan harta yang

dimilikinya dan mampu menikahi Embu’.

Suami Embu’ tinggal di Madura, daerahnya sangat terkenal dengan tradisi kasur tanah

dan perjodohan bayi. Suami Embu’ merupakan pelaku yang melaksanakan perjodohan

bayi. Tradisi tersebut ia lakukan dengan alasan membantu keluarga Embu’ yang kurang

mampu. Jika dilihat secara mendalam, niat suami Embu’ tidaklah ikhlas, sebab jika ia

iklhas ia tidak mungkin mau menerima perjodohan itu. Kebiasaan menindas perempuan

selalu ia lakukan dengan alasan membantu yang kurang mampu, tetapi nafsu dunia selalu

dijunjung tinggi oleh suami Embu’.

Perjodohan bayi yang dilakukan oleh suaminya tidak menimbulkan rasa kasihan

terhadap Embu’ wanita, yang tidak mencintai dirinya. Sikap egois muncul hanya untuk

kepentingan dirinya dan tidak memberikan kesempatan pada Embu’ untuk membayar

hutang budi tersebut, ia tetap melakukan pernikahan untuk kepentingan nafsunya tanpa

tahu wanita itu cinta atau tidak.

Ayahmu memang sudah tua saat menikahi embu’, dan ia tidak memiliki keturunan
satupun dari istri-istrinya terdahulu. Kakekmu terpaksa menjodohkan embu’ yang
baru lahir dengan lelaki kaya yang sudah beristri tiga itu demi membalas budi
setelah membantu biaya kelahiran embu’. Kata kakekmu, ia tidak mau
menanggung utang budi hingga mati. (Arcana, 2018: 5)
Kutipan tersebut menunjukkan segala sesuatu yang dilakukan suami Embu’ bukan

dasar ikhlas membantu tetapi ia tidak mampu menjaga diri untuk hal nafsu dunia.

Artinya, ia senang menolong demi mendapatkan nafsu yang ia inginkan ketika sudah
memiliki tiga istri. Hal tersebutlah yang mampu menimbulkan permasalahan untuk

Embu’ di masa depannya.

Latar

Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu latar tempat,

waktu, dan sosial. Ketiga unsur itu, walaupun menawarkan permasalahan yang

berbeda ternyata tidak dapat dibicarakan secara sendiri. Ketiga unsur tersebut

pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain.

Pada analisis latar cerpen “Kasur Tanah” akan digunakan tiga kategori

pendekatan, yaitu latar tempat, waktu, sosial.

Latar Tempat

Latar tempat merujuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan

dalam sebuah cerita fiksi. Latar tempat yang digambarkan dalam cerpen “Kasur

Tanah”, yaitu latar yang mampu membentuk karakter tokoh meliputi Madura,

desa, rumah, kamar, sekolah, dan warung. Berikut kutipan yang menunjukkan

latar tempat terjadinya perisitiwa dalam cerpen tersebut.

Di Madura tempat Embu’ dan lainnya berasal.

Latar Madura menjadi letak geografis cerita “Kasur Tanah”, sebab ceritanya

menggambarkan keadaan masyarakat Madura dengan penggambaran tradisi yang

sangat terkenal yaitu kasur tanah dan juga perjodohan bayi. Latar Madura ditampilkan

atas dasar latar belakang pengarang yang juga berasal dari Madura. Muna Masyari

merupakan wanita yang lahir di Madura dengan latar belakang kehidupan yang sama
seperti Embu’ dilahirkan sebagai keluarga yang kurang mampu. Sehingga, latar

Madura berhubungan erat dengan kehidupan pengarang, penceritannya seperti ada

kritik yang terlontar mengenai tradisi yang ada di daerahnya. Hal tersebut

menunjukkan latar Madura merupakan latar utama yang mampu mempengaruhi

kehidupan tokohnya akibat tradisi yang harus dilakukan, karena jika tidak akan

mendapatkan sanksi jika tidak melaksanakan tradisi tersebut. Berikut kutipan yang

menunjukkan latar Madura.

“Risiko menolak tradisi perjodohan bayi, selain dipandnag sebagai anak


perempuan tidak laku, ujung-ujungnya kelak ia menikah dengan orang
dari luar daerahnya”. (Arcana, 2018: 6)
Kutipan tersebut menunjukkan daerah Madura tempat Embu’ tinggal memiliki

tradisi yang harus dilakukan dan memiliki sanksi yang berhubungan dengan batin.

Sanksi tersebut kemudian dipaparkan dalam cerita karena adanya latar belakang

pengarang yang ingin menunjukkan bahwa tradisi tersebut bersifat mengikat dan

sanksi yang menindas kaum wanita. Sehingga, pengarang ingin menunjukkan bahwa

daerahnya memiliki tradisi yang tidak adil dan dikritisi oleh pengarang melalui cerita.

Di Desa tempat Embu’ berada.

Latar desa menggambarkan sebuah lokasi di mana tempat Embu’ tinggal dengan

keluarganya. Desa menggambarkan tempat yang membuat dirinya terkungkung akan

adanya adat yang harus ia lakukan. Penggambaran desa yang masih sangat sakral

akan tradisi berbanding terbalik dengan kehidupan kota. Kehidupan desa memiliki

banyak aturan dan harus dilaksanakan bagi siapa saja yang tinggal di desa tersebut.
Berbeda dengan kota, masyarakatnya yang moderen dan sudah menghilangkan

berbagai tradisi dengan alasan ada yang menganggap mitos dan ada juga yang tidak

memiliki waktu memikirkan tradisi akibat kesibukannya dalam bekerja. Sehingga,

desa selain menjadi tempat tinggal ia mampu menjadi tempat yang penuh dengan

permasalahan serta kontra terutama bagi masyarakat yang tidak memiliki banyak

harta. Desa memunculkan kesan yang menindas bagi kaum wanita, karena hanya

kaum wanitalah yang dijadikan tumbal perjodohan bayi terlebih wanita yang miskin

dan jauh dan pasrah dengan keadaan dirinya. Sehingga, desa memberikan perlakuan

tidak untuk kaum wanita dan di desa kaum wanita tidak dilindungi sepenuhnya.

Sudah empat kali kau antar Embu’ ke mantri desa, tidak ada
perkembangan sedikitpun. Ketika mencoba dibawa ke dukun, katanya
Embu’ kena teluh yang dikirim oleh lelaki yang ditolak. (Arcana, 2018: 4)
Kutipan tersebut menunjukkan betapa sakralnya tradisi yang ada di daerah Embu’.

Tradisi menolak lamaran pria dalam kehidupan nyata yang telah dipaparkan oleh

orang Madura langsung. Dia mengatakan bahwa orang yang pernah menolak lamaran

pria entah itu secara halus ataupun kasar tetap mendapatkan balasan melalui jalur

belakang atau yang disebut melalui perantara jin. Sehingga, kepercayaan itu hanya

ada di desa karena di kota terutama Surabaya tidak ada kepercayaan terhadap jin

ataupun dukun.

Di Rumah Embu’ tempat ia tinggal dengan anaknya.

Latar rumah menunjukkan tempat tinggal Embu’ dan anaknya dalam menghadapi

kehidupan yang penuh dengan cobaan. Rumah digambarkan sebagai tempat yang

memberikan perlindungan bagi Embu’ dan juga anaknya. Hal tersebut ditunjukkan

dari kehidupan mereka yang selalu digunjing oleh warga karena Embu’ menikah
dengan lelaki kaya yang tua, terlebih lagi anaknya bukan anak kandung suaminya.

Keadaan tersebut menunjukkan bahwa rumah mampu melindungi batin anaknya agar

batinnya tidak terluka, selain itu rumah juga tempat mengadu anaknya kepada Embu’

bagaimana jahatnya manusia di luar rumahnya.

Selain tempat berlindung, rumah adalah tempat kebahagiaan dan kesedihan yang

saling bersandingan, di rumah anak Embu’ melakukan pernikahan dengan Keh Sakdulla

pada saat kematian Embu’. Artinya, rumah membentuk karakter Embu’ yang melindungi

anaknya tetapi anaknya tidak pernah menyadari itu justru ia membalas Embu’ dengan

rasa sakit yang menyebabkan dirinya harus meninggalkan dunia untuk selamanya.

Berikut kutipan yang menunjukkan latar tempat.

Meskipun pekerjaan dapur sudah kau bereskan sejak sebelum subuh, dan
baju-baju kotornya kau cuci sebelum sinar matahari mengecup gorden
jendela kamarnya, Embu’ masih bersikeras menyapu lantai dan halaman
yang banyak mengepulkan debu saat disapu, hingga berakibat napasnya
kian sengal-sengal gara-gara batuk panjang. (Arcana, 2018: 4)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa rumah mampu membentuk sikap Embu’

yang kuat menghadapi apapun baik mengurus rumah, anaknya, serta kehidupannya.

Tetapi, kasih sayang yang terbentuk di rumah sirma ketika anaknya mengkhianati dirinya.

Sehingga, mampu menunjukkan bahwa rumah bisa menjadi tempat ternyaman bisa juga

tempat yang menusuk dirinya hingga ia harus meninggalkan dunia selamanya.

Di Sekolah Santri (Madrasah)

Latar tempat di sekolah santri menggambarkan tempat menuntut ilmu bagi anak

Embu’ dan juga sebagai tempat berkumpul manusia yang sering meledek anak Embu’

tentang ayahnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa madrasah yang dianggap sebagai
panutan orang tua untuk masa depan anaknya dianggap gagal karena di sekolah ia

masih mendapatkan perlakuan tidak baik dari temannya. Artinya, madrasah yang

hubungannya dengan agama tidak dapat memberikan panutan, serta membuat orang

tua merasa gagal karena harapannya dipatahkan oleh sekolah akibat anak didiknya

masih tega menghina temannya.

Madrasah mampu menunjukkan sebagai tempat yang menjembatani pertemuan

antara anak Embu’ dengan Keh Sakdulla. Pertemuan tersebut bisa saja terjadi di

langgar dekat dengan madrasah sebab madrasah biasanya dekat dengan langgar.

Sehingga dari pertemuan tersebut ia selain di ajar mengaji, anaknya menjadi nyaman

karena nasihat-nasihat yang diberikan oleh Keh Sakdulla. Berikut kutipan yang

menunjukkan latar tempat.

Kau menggeleng ragu. Tentu bayangan waktu kecil merimbun di


kepalamu. Setiap ada pertemuan wali santri di sekolah menjelang haflatul
imtihan, teman-teman kerap meledekmu, mengatakan ayahmu lebih pantas
kau panggil kakek. (Arcana, 2018: 7)
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa harapan orang tua telah patah akan masa

depan anaknya, seperti Embu’ yang merasa gagal menyekolahkan anaknya di

madrasah. Madrasah rupanya belum tentu membentuk karakter anak yang berakhlak

mulia, sehingga tidak semua pandangan terhadap madrasah adalah baik dan

memberikan panutan, semua tergantung pada diri manusianya dan sekolah itu sendiri.

Di Warung tempat berkumpulnya ibu-ibu gosip

Warung memunculkan tempat jual beli yang fungsi utamanya disalah gunakan

oleh masyarakat Madura di desa Embu’. Fungsi jual beli tidak lagi menjadi tujuan

utama warga desa, sehingga tujuan lain ketika pergi ke warung adalah bergosip dan
mengejek terutama menggosip tentang anak Embu’. Warung mampu membentuk

karakter anak Embu’ menjadi penakut dan lemah akibat gunjingan atas dirinya yang

bukan anak kandung ayahnya. Tetapi, penyalahgunaan fungsi warung tersebut

dianggap sebagai penguat kehidupan Embu’. Maksudnya ialah membentuk Embu’

menjadi wanita tegar karena sudah terbiasa digunjing bahkan hampir setiap hari,

serta mengajarkan kepada anaknya untuk menjadi anak yang kuat disetiap masalah

yang datang pada dirnya. Berikut kutipan mengenai latar warung.

Cinta rumit masa lalu membuat embu’ tegar dan bersikap lebih tenang.
Bahkan embu’ juga menanggapi dengan santai saat kau adukan bisik-bisik
tetangga di warung mengenai dirimu. (Arcana, 2018: 5)
Kutipan tersebut menunjukkan gunjingan yang dilontarkan oleh tetangga Embu’

membentuk dirinya sebagai wanita yang tahan banting, tegar menghadapi kehidupan

tanpa suami, menjadi orang tua tunggal yang memiliki jiwa yang tangguh. Hal

tersebut mengartikan bahwa Embu’ tidak lagi peduli dengan orang lain, yang

dipikirkannya sekarang adalah sembuh dari segala penyakit dan menjaga putrinya

dengan baik.

Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-

peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu yang ada dalam

cerpen “Kasur Tanah” terjadi pada masa lmuda Embu’, Masa tua Embu, Masa

kematian Embu’, hari pernikahan anak Embu’. Latar waktu pada cerpen “Kasur

Tanah” kutipan ini menunjukkan waktu.

Masa Muda Embu’ dalam Percintaannya.


Kehidupan Embu’ dengan jalan cinta yang rumit akibat keadaan ekonomi yang

menghimpit membuatnya harus mengikuti jalan hidupnya sebagai wanita yang telah

dijodohkan oleh ayahnya. Selain dirinya lahir dari keluarga kurang mampu, rupanya

Embu’ merupakan korban dari penindasan kaum lelaki di desa tersebut. Penggambaran

masa muda Embu’ merupakan sebuah kritik yang dilakukan pengarangnya melalui cerita

yang ia tulis untuk mengkritik kehidupan di desa yang ia tinggali karena latar belakang

pengarang sama dengan latar cerita yang ia tulis. Latar belakang pengarang yang hanya

terhenti di madrasah tsanawiyah akibat keadaan keluarganya yang kurang mampu

kemudian ia tuangkan kisah hidupnya ke dalam cerita yang sama dengan kehidupan asli

pengarang, kemudian cerita tersebut mengangkat tradisi Madura yang berkembang di

daerahnya. Berikut kutipan tentang latar waktu.

Cinta rumit masa lalu membuat embu’ tegar dan bersikap lebih tenang.
Bahkan embu’ juga menanggapi dengan santai saat kau adukan bisik-bisik
tetangga di warung mengenai dirimu. (Arcana, 2018: 5)
Kutipan tersebut menunjukkan masa muda Embu’ yang selalu dipenuhi dengan

kerumitan hidup dan cinta yang membentuk karakter Embu’ menjadi kuat. Hal

tersebut sama seperti kehidupan pengarang yang merupakan wanita yang tidak

mampu kemudian ia memberontak dengan menjadi penulis cerpen ternyata cerpennya

masuk ke dalam cerpen yang terbaik Kompas, dengan begitu saling berhubungan

antara Embu’ dan pengarang karena berlatar belakang sama.

Masa Tua Embu’ yang terhitung Minggu.

Masa tua Embu’ digambarkan dengan keadaan dirinya yang semakin ringkih dan

sakit-sakitan. Penderitaan yang dialami Embu’ tidak terhenti pada kisah cintanya, tetapi

pada kesehatan Embu’ ketika penyakitnya tidak kunjung sembuh. Embu’ mengalami masa
kritis selama seminggu terakhir, tetapi ia menyembunyikan semuanya agar anaknya tidak

khawatir terhadapnya. Hal tersebut terjadi karena penumpukan masalah yang terjadi

sejak masa muda hingga tua. Dari ia dilahirkan sampai masa tua, ia tidak mendapatkan

kebahagiaan yang hakiki. Sampai masa tuanya pun ia tidak menikmatinya dengan

keadaan sehat. Masa muda batinnya sakit sedangkan masa tua fisiknya yang sakit.

Artinya, kehidupannya dipenuhi dengan cobaan yang tiada henti, sehingga ketika sakit di

masa tua mampu membentuk karakter Embu’ yang tidak pernah merepotkan orang lain

walaupun dirinya berada di masa kritis. Berikut kutipan mengenai masa tua Embu’.

Seminggu ini batuk embu’ tambah parah. Tubuhnya semakin ringkih. Bahkan dua
hari lalu ia mengaku batuk darah padaku. Namun ia memintaku merahasiakannya
darimu. Ia pun menolak dianggap dan diperlakukan sebagaimana orang sakit.
(Arcana, 2018: 4)
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa masa tua Embu’ berakhir dengan keadaan yang

meyedihkan tanpa pernah mendapatkan kebahagiaan sedikitpun. Sejak muda Embu’

sudah diterpa bertubi-tubi masalah, sampai akhirnya Embu’berada di masa tua pun tidak

pernah merasakan kebahagiaan sekecil apapun. Hal tersebut seperti menggambarkan

keadaan pengarang yang dalam biografinya dirinya sulit mendapatkan kebahagiaan

akibat keadaan keluarga yang kurang mampu. Sedangkan kesedihan Embu’ di masa tua

adalah sakit yang parah serta gunjingan warga.

Masa kematian Embu’ dan pernikahan anak Embu’

Latar waktu menunjukkan hari pernikahan dan juga kematian embu’ yang kemudian

keduanya disandingkan oleh anak embu’ yang melangsungkan pernikahan pada hari

kematian embu’ hal ini memunculkan kesan yang jarang terjadi pada masyarakat umum,
walaupun ada tetapi sangat jarang menemukan pernikahan yang disandingkan dengan

kematian. Perasaan sedih dan terpukul juga dirasakan oleh anak Embu’ ketika harus

menikah di depan ibunya yang sudah meninggal, tetapi itulah yang diamanatkan oleh

ibunya ketika harus menikah dengan Keh Sakdulla, dengan begitu anaknya adalah

pengganti sortana yang semula adalah perabot antik yang selalu dilapnya. Berikut kutipan

yang menunjukkan latar waktu.

Pada hari pernikahan sekaligus kematian ini, barangkali kau tidak merasa bahwa
embu’ sengaja menjadikan dirimu sebagai pengganti perabot sortana yang pernah
diperlakukan istimewa itu. (Arcana, 2018: 2)
Kutipan di atas menunjukkan latar waktu ketika sang anak harus melangsungkan

pernikahan dan dijadikan sortana oleh ibunya dengan cara dinikahi oleh Keh Sakdulla,

anaknya tidak sadar bahwa ia dijadikan sortana menggantikan perabot yang biasa Embu’

lap. Embu’ memperlakukan sortana sama seperti anaknya yaitu istimewa, artinya ia selalu

dijaga dan disayangi karena ada tujuan tertentu yaitu sama-sama akan dibawa kepada kiai

yaitu Keh Sakdulla ketika Embu’ sudah meninggal dunia.

Kaulah sortana bagi embu’. Keberadaanmu tentu semakin melekatkan ingatan


lelaki itu padanya. Pada cinta pertama mereka. Hari inilah hari kematian embu’,
sekaligus hari pernikahanmu. Memang demikian pesan yang embu’ titipkan
padaku; menikahkanmu di dekat kerandanya. (Arcana, 2018: 9)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa embu’ telah menjadikan anaknya sebagai sortana

dan ia menitipkan pesan pada saksi hidup, saksi hidup mengatakan hal tersebut karena

semua sudah terlanjur terjadi, akhirnya anak Embu’ dinikahkan di samping keranda

ibunya. Keadaan seperti itu sebenarnya terjadi karena keadaan yang mendesak, sebab

keadaan Embu’ yang hancur jadi dilangsungkan saja pernikahannya agar keinginan

Embu’ anaknya menikah tercapai.


Latar Sosial Budaya

Latar sosial adalah latar yang menyarankan pada hal-hal yang

berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat.

Hal tersebut dapat berupa adat istiadat, pemakaian bahasa, tradisi, keyakinan,

cara berpikir dan sikap.

Latar sosial yang ditunjukkan dalam cerpen “Kasur Tanah” menunjukkan

masyarakat daerah Madura yang masih mengikuti beberapa adat dan tradisi

yang berlaku. Masyarakatnya memandang bahwa tradisi merupakan sesuatu

yang harus dilakukan, apabila tidak mengikuti ada beberapa tradisi yang

memberikan sanksi bagi mereka yang tidak mengikutinya. Sosial

masyarakatnya digambarkan sebagai penganut tradisi untuk kepentingan

dirinya sendiri. Maksud dari kepentingan sendiri ialah karena tokoh ayah yang

menjodohkan Embu’ kepada orang kaya juga akibat dari keegoisan ayahnya.

Pandangan ayahnya dengan menjodohkan Embu’ akan menaikkan derajat

kemiskinan mereka bukannya berujung bahagia untuk Embu’ tetapi berujung

petaka bagi kehidupannya di masa yang akan datang. Sehingga, tergambar

kondisi sosialnya banyak yang kurang mampu, lalu menjadikan perjodohan

bayi sebagai jalan terakhir. Hal tersebut berdasarkan hasil diskusi dengan

pengarang yang menceritakan pengalamannya selama tinggal di Madura.

Budaya yang terjadi di desa tersbut berhubungan dengan kondisi sosial.

Artinya budaya mampu dilaksanakan jika ada masyarakat yang siap

melakukannya. Budaya di desa tersebut ada dua yaitu pemberian sortana, dan
juga perjodohan bayi. Kedua budaya tersebut ada yang memberikan

kebahagiaan ada juga yang membuat menderita. Seperti sortana yang mampu

memberikan kebahagiaan di akhirat karena akan mendapat amal jariyah jika

melaksanakan tradisi sortana. Sedangkan pejodohan bayi, adalah sesuatu yang

menyakitkan bagi Embu’ yang pernah melakukan tradisi tersebut. Sesuatu

yang tidak adil muncul, ketika tidak melakukan sortana tidak dapat sanksi

tetapi tidak melakukan perjodohan bayi justru mendapat sanksi. Berikut

kutipan latar sosial budaya.

Risiko menolak tradisi perjodohan bayi, selain dipandang sebagai


anak perempuan tidak laku, ujung-ujungnya kelak ia menikah
dengan orang dari luar daerahnya. (Arcana, 2018: 6)
Kutipan tersebut menunjukkan adanya ketidakadilan gender terutama bagi

perempuan. Tradisi sortana jika tidak dilaksanakan tidak ada sanksi sedangkan

justru sebaliknya. Artinya, masyarakat Madura masih menganggap bahwa

wanita hanyalah makhluk lemah yang mampu dibohongi dan dibodohi karena

tugasnya hanyalah mengurus rumah tangga tanpa harus bersekolah dan

bekerja.

Tema

Tema berhubungan dengan makna dalam pengalaman manusia, atau sesuatu

yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Tema dapat menggambarkan

dan menelaah kejadian atau emosi yang dialami manusia, seperti yang terjadi

pada cerpen “Kasur Tanah” yang memiliki tema budaya.


Dalam cerpen “Kasur Tanah” tema yang diangkat ada satu aspek yaitu

mengangkat tema tentang budaya, hal tersebut dapat dilihat dalam penjabaran

berikut.

Tema Tradisi

Tema yang terdapat dalam cerpen “Kasur Tanah” karya Muna Masyari ialah

bertemakan tradisi, ada dua tradisi yang harus dilaksanakan bagi masyarakat

Madura, tetapi hal tersebut harus dilihat dari latar belakang masyarakatnya.

Pertama, budaya memberikan Sortana kepada guru ngaji apabila ada keluarganya

yang meninggal agar menambah nilai pahala bagi yang telah meninggal. Budaya

ini, biasa dilakukan oleh masyarakat Madura, pada kenyataannya di Madura juga

sangat terkenal kasur tanah, sehingga pengarang mampu mengemas cerita sesuai

latar belakang tempat tinggalnya.

Kedua, budaya perjodohan bayi. Budaya ini harus diikuti oleh masyarakat

Madura, sebab ada sanksi tersendiri bagi siapapun yang tidak tunduk dengan

budaya ini. Bagi keluarganya yang tidak berkecukupan biasanya akan mengikuti

budaya ini karena tidak adanya biaya untuk melanjutkan anak perempuannya

sekolah. Artinya, budaya dalam cerpen ini menyadarkan pembaca bahwa tradisi

ada yang memberikan nilai kebajikan dan ada juga yang membuat batin mereka

menderita dengan adanya perjodohan sejak bayi, namun begitulah yang harus

dijalani masyarakat Madura tersebut. Tema dalam cerpen ini dikritisi oleh

pengarangnya karena adanya budaya yang tidak semua orang dapat menerimanya,
sehingga terbentuk karya sastra dengan mengangkat tema dari hasil kritik melalui

pengarangnya. Berikut kutipan yang menunjukkan cerita ini bertemakan budaya.

Semasih muda embu’ memang lebih cantik darimu. Ia menjadi perawan


desa yang diperebutkan. Namun, perbedaan status sosial, tradisi
pertunangan sejak bayi, hingga martabat yang harus dijunjung tinggi telah
menumbalkan sebiji cinta yang dimilikinya. Tidak ada pilihan baginya
kecuali tunduk di hadapan orang tua. Pada tradisi takdir perjodohan bayi.
(Arcana, 2018: 5)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa tema yang diangkat dalam cerita “Kasur

Tanah” mampu memunculkan pemaknaan tentang budaya. Artinya budaya

mampu memberikan sanksi yang tidak adil dalam salah satu tradisi dan membuat

keberadaan wanita dalam desa tersebut terancam batinnya. Jika memang adil,

seharusnya kedua tradisi yang hadir sama-sama memberikan sanksi jika

masyarakat tidak mau melakukan tradisi tersebut. Namun, yang terjadi budaya di

desa Embu’ hanyalah memberkan sanksi kepada perempuan, seolah pemaknaan

ceritanya memunculkan pelecehan dan penindasan bagi kaum perempuan yang

harus diberontak.

Anda mungkin juga menyukai