telah dipaparkan pada bab sebelumnya, yaitu mengenai struktural Robert Stanton dan nilai
budaya dalam cerpen pilihan Kompas tahun 2017. Pertama, peneliti akan membahas struktural
Robert Stanton. Struktur tersebut meliputi fakta cerita: alur, karakter, latar, tema, sarana-sarana
Setelah menganalisis struktur dalam cerpen pilihan Kompas tahun 2017, maka akan
terlihat unsur-unsur yang nantinya membantu peneliti untuk menganalisis lebih lanjut yaitu
menganalisis nilai-nilai budaya yang ada di dalam cerpen pilihan Kompas tahun 2017. Berikut
adalah hasil analisis struktur dan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam cerpen pilihan
Sinopsis Cerita
semula berbentuk perabot yang selalu ia lap, namun anaknya tidak menyadari hal
tersebut. Embu yang telah menggantikan perabot yang semula ditata rapi dalam
kotak lemari paling atas, dan setiap senja selalu dilap oleh Embu karena takut ada
debu yang hinggap. Perabot sortana tersebut berupa satu gelas, cangkir (lengkap
dengan tatakannya), piring, baki ukuran kecil, dan mangkok yang dipesan khusus
oleh Embu, dan baru datang dua bulan lalu. Tepatnya sejak Embu mulai sakit-
sakitan. Perabot tersebut diantarkan oleh seorang pemuda yang tidak pernah dikenal
kehilangan cinta yang dimilikinya. Ayahnya yang terpaksa menjodohkan Embu sejak
bayi karena tidak mau berhutang budi pada lelaki yang telah membantu biaya
persalinan ibunya Embu. Lelaki tersebut sudah memiliki tiga istri namun ia kaya
raya, sehingga ayahnya mau menjodohkan Embu dengan lelaki tersebut. Risiko
menolak perjodohan bayi, ia akan dianggap sebagai perempuan tidak laku atau
menikah dengan orang yang berbeda daerah sehingga Embu tunduk pada tradisi
tersebut.
anaknya. Namun, keinginan anaknya ingin menikah dengan lelaki seusia Embu dan
Embu pun heran dulu ia tidak suka dengan lelaki yang lebih tua, tetapi sekarang
anaknya memilih lelaki yang lebih tua. Ketika anaknya menyebutkan nama lelaki
tersebut ialah Keh Sakdulla, Embu kaget dan terjatuh serta nyawanya tidak dapat
tertolong lagi. Ternyata lelaki pilihan anaknya Embu adalah ayah biologisnya yang
Fakta Cerita
Fakta cerita meliputi alur, karakter, latar, tema. Elemen-elemen ini berfungsi
sebagai kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Pembahasan fakta cerita dalam cerpen
Alur
Alur dalam cerpen Kasur Tanah pada penelitian ini menggunakan alur
campuran (maju dan mundur) yang ditandai dengan kehidupan masa muda Embu
menikah dengan lelaki pilihan ayahnya. Alur maju ditandai dengan keadaan
Embu’ di masa sekarang dan alur sorot balik ditandai dengan keadaan Embu di
Dulu aku tidak setuju kau dijodohkan sejak bayi, supaya kau bebas
memilih akan menikah dengan siapa. Tidak peduli orang-orang
menganggapmu sebagai anak perempuan yang tidak cepat laku, sudut
bibirnya tertarik sedikit. (Arcana, 2018: 6)
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa alur dalam cerpen Kasur Tanah
memiliki rangkaian cerita yang mengarah ke masa sekarang dan masa lalu,
sehingga alur cerita tidak hanya menceritakan tentang masa sekarang saja tetapi
juga menceritakan tentang kisah masa lalu suram Embu sehingga dirinya merasa
Analisis alur di dalam cerpen Kasur Tanah karya Muna Masyari ditandai
Tahapan alur cerpen Kasur Tanah karya Muna Masyari dapat diuraikan pada
Pada tahap situasi digambarkan dengan pelukisan latar dan tokoh cerita,
keluar.
anaknya sebagai sortana. Pengertian dari sortana itu sendiri ialah hantaran
berbagai macam perabot pada seorang kiai atau guru ngaji untuk dijadikan sortana
bagi keluarganya yang sudah meninggal. Hantaran perabot tersebut selain bernilai
sedekah jariyah, juga agar yang meninggal mudah diingat. Sortana itu dipakai
untuk kebaikan dan tentu menambah nilai pahala bagi yang meninggal. Itu sebab
mengapa dinamai sortana, mengambil dari kata kassora tana atau kasur tanah.
menggantikan perabot dengan anaknya kepada kiai yang ternyata juga mantan
hubungan antara anaknya dengan Keh Sakdulla di belakang Embu. Anak Embu
dan sortana sama-sama memiliki keistimewaan yang sama di mata Embu. Hal
tersebut memperjelas bahwa keduanya memiliki fungsi yang sama tanpa Embu
sadari, ketika Embu meninggal anaknyalah yang diberikan pada Keh Sakdulla.
Pada hari pernikahan sekaligus kematian ini, barangkali kau tidak merasa
bahwa embu sengaja menjadikan dirimu sebagai pengganti perabot
sortana yang pernah diperlakukan istimewa itu. (Arcana, 2018:2)
Kutipan di atas menggambarkan keinginan embu yang menjadikan anaknya
sebagai sortana. Hal tersebut jarang sekali terjadi di masyarakat ketika ibunya
merelakan anak kandungnya menikah dengan ayah biologisnya, tetapi hal ini
seperti yang dialami Embu yang terkejut melihat anaknya ingin menikah dengan
sortana. Sortana mampu dipandang sebagai sesuatu yang bernilai pahala karena
dan sedekah, sehingga masyarakat yakin bahwa mereka memiliki sedekah jariyah
Pada tahap ini konflik awal yang dimunculkan ketika embu dilarang menikah
dengan Keh Sakdulla pada saat Embu masih muda. Larangan menikah tersebut
dikarenakan Embu yang sudah dijodohkan sejak masih bayi. Mau tidak mau
Embu harus mengikuti perintah dari orang tuanya, jika tidak Embu akan
dianggap tidak laku dan ujungnya akan menikah dengan orang yang berbeda
kaum wanita di Madura, karena tidak adanya kesetaraan gender serta menganggap
wanita yang miskin adalah makhluk lemah yang dapat di beli serta ditindas.
Ayahmu memang sudah tua saat menikahi embu, dan ia tidak memiliki
keturunan satu pun dari istri-istrinya terdahulu. Kakekmu terpaksa
menjodohkan embu yang baru lahir dengan lelaki kaya yang sudah
beristri tiga itu demi membalas budi setelah membantu biaya kelahiran
embu, kata kakekmu, ia tidak mau menanggug utang budi hingga mati.
Risiko menolak tradisi perjodohan bayi, selain dipandang sebagai anak
perempuan tidak laku, ujung-ujungnya kelak ia menikah dengan orang
dari luar daerahnya. (Arcana, 2018:5)
Kutipan di atas menunjukkan adanya konflik awal yang terjadi pada masa lalu
dengan laki-laki yang sudah dipilihkan oleh ayahnya. Hal tersebut memunculkan
sikap Embu yang memberontak karena dirinya butuh hak bebas dalam
mengingat agama dan orang tua akhirnya ia tunduk pada adat dan pasrah karena
dari sebelumnya, kalau sebelumnya konfliknya masih awal, pada tahap ini kadar
intensitasnya meningkat.
Pada tahap ini, konflik yang berkembang terjadi ketika Embu menginginkan
sakit-sakitan. Namun yang terjadi, ketika anaknya ingin menikah dengan laki-laki
seumuran Embu. Hal tersebut membuat Embu terkejut, sebab pada dasarnya ia
sangat menyesal dan kecewa dijodohkan dengan lelaki tua, namun anaknya justru
memilih lelaki yang jauh lebih tua. Sehingga, muncul adanya peningkatan konflik
sudah menyerah, tidak mampu menjalani hidup dengan segala penyakit, sehingga
Rasa menyerah ditunjukkan melalui permintaan Embu yang sudah pasrah dengan
Kalau aku menikah dengan lelaki yang sudah seusia embu, apa tidak
keberatan? Kau masih muda. Pilihlah lelaki yang seusia atau lebih tua
sedikit darimu. Jangan sepertiku, ada penyesalan berakar yang berusaha
embu pendam di antara desah napasnya. (Arcana, 2018: 6)
Kutipan di atas memunculkan konflik yang berkembang karena penyesalan
Embu menikah dengan lelaki tua justru sang anak ingin mengikuti jejak Embu.
Hal tersebut mampu menambah beban pikiran Embu dan memperparah sakitnya
akibat keputusan sang anak, selain itu nasihat yang dikatakan Embu seperti tidak
didengar padahal anaknya tahu bagaimana batin ibunya terluka karena menikah
Penggambaran konflik pada tahap ini sudah mencapai titik intenitas puncak,
artinya konflik yang dialami tokoh sudah sangat memuncak. Hal tersebut terjadi
ketika anak perempuan Embu ternyata ingin menikah dengan guru ngajinya yaitu
Keh Sakdulla yang ternyata adalah Ayah biologis anak Embu tersebut. Artinya,
ada suatu akibat atas perjodohan yang dilakukan oleh Embu sehingga karmanya
anaknya menikah dengan ayahnya sendiri akibat anaknya tidak tahu bahwa Embu
pernah hamil di luar nikah. Bisa jadi, Keh Sakdulla tidak mengetahui bahwa
Embu sedang hamil anak dari dirinya karena ketika hamil tersebut ia langsung
menikah dengan lelaki lain dan tidak bertemu lagi dengan Keh Sakdulla, sehingga
Siapa dia? Beliau.. kau ragu sejenak, menelan ludah. Alis embu terangkat,
sebuah isyarat agar kau melanjutkan kalimat. Beliau adalah guru
mengajiku, Keh Sakdulla! Cangkir di tangan embu tiba-tiba serupa bilik
kosong yang sunyi meskipun sempat terbelalak sebentar dan menatapmu
penuh kejut. Wajah embu mendadak beku. Ia tidak memedulikan cangkir
yang berpuing di lantai. Lidahmu kelu. Kesunyian berkelindan. Kau
terpaku heran. (Arcana, 2018: 7)
Kutipan di atas menunjukkan adanya ketidakjujuran di masa lalu Embu
terhadap Keh Sakdulla. Hubungan terlarang mereka telah menghasilkan buah hati
yang akan dinikahi Keh Sakdulla. Kesalahan fatal Embu tidak menceritakan
kehamilannya pada Keh Sakdulla ternyata membuat masalah baru bagi kehidupan
seperti semula dengan Keh Sakdulla, serta dirinya takut diceraikan oleh suaminya
Pada tahap ini merupakan penyelesaian konflik yang telah mencapai klimaks
dengan diberi jalan keluar, dan cerita diakhiri. Penggambaran cerita yang terjadi
pada tahap ini ialah, ketika jenazah embu dimandikan dan dimakamkan dan anak
embu menikah dengan lelaki pilihannya yang ternyata ayah biologisnya. Hal
sepenuhnya mendapatkan restu dari ibunya, lalu ia dengan rasa tidak bersalah
dengan kematian sangat jarang terjadi dan pasti akan mendapatkan kecaman.
Lelaki yang baru saja menikahimu adalah ayah biologismu. Akulah saksi
cinta mereka yang kandas Karena status sosial dan tradisi perjodohan.
(Arcana, 2018: 9)
Kutipan di atas merupakan jawaban dari segala peristiwa mulai dari Embu
yang sakit karena banyaknya pikiran dan hujatan, serta alasan Embu mengapa
terhadap keadaan dirinya yang pernah hamil karena Keh Sakdulla, membuat
masalah baru dalam hidupnya yaitu keinginan Keh Sakdulla yang ingin
mempersunting anaknya sendiri. Karena awalnya tidak jujur hingga akhir pun
Karakter
prinsip moral dari individu-individu tersebut. Konteks dalam hal ini bagian suatu
Dalam cerpen ini ada dua tokoh yang menjadi karakter utama yaitu Embudan
anaknya. Sedangkan tokoh tambahan yang digambarkan ialah Keh Sakdulla dan
saksi hidup Embu. Pada cerpen ini anak Embu’ hanya sebagai pendukung
jalannya cerita. Berkaitan dengan perannya sebagai karakter utama, Embu lebih
dekat.
Tokoh Keh Sakdulla dan saksi hidup Embu menjadi tokoh tambahan karena
keduanya tidak banyak diceritakan dalam cerpen tersebut. Tokoh yang muncul
dalam cerpen ini ada delapan karakter. Dan tokoh utama di sini adalah Embu.
Berikut tokoh yang muncul dalam cerpen Kasur Tanah karya Muna Masyari.
Embu
Embu adalah sosok perempuan cantik, kecantikan yang ia miliki lebih cantik dari
pada anaknya. Cantik yang digambarkan Embu tidak mendeskripsikan secara fisik dalam
cerita, hanya saja cantiknya digambarkan melalui pandangan mata lelaki terhadap Embu
karena Embu menjadi primadona desa saat masih muda. Usia Embu digambarkan
sebagai wanita yang sudah tidak muda lagi, namun tidak digambarkan dalam cerita
bagaimana dan berapa jumlah umur yang dimiliki Embu hanya saja ketika anaknya ingin
menikah dengan lelaki seumurnya ia mengatakan jangan menikah dengan lelaki yang
jauh lebih tua, sehingga menafsirkan umur Embu yang sudah tua. Fisik Embu
digambarkan sebagai wanita yang ringkih, hal tersebut telihat melalui kisah hidupnya
yang sakit-sakitan. Sakit tersebut bisa jadi muncul karena hidup Embu yang penuh
gunjingan warga, sehingga ia berusaha tegar tetapi dalam dirinya ia tersiksa atas
gunjingan tersebut, sampai akhirnya berubah menjadi sakit dalam fisik dan batinnya.
Embu tinggal di Madura dengan latar belakang masyarakatnya yang penuh dengan
tradisi yang kental. Tradisi yang terkenal di Madura ialah kasur tanah dan juga
perjodohan bayi. Embu merupakan sosok yang mengikuti kedua tradisi tersebut. Tradisi
perjodohan bayi ia lakukan dikarenakan keadaan keluarganya yang kurang mampu
sehingga ia dipertaruhkan cintanya dengan harta. Hal tersebut menunjukkan bahwa harta
mampu membeli segalanya, sampai cinta dan harga diri yang dimiliki Embu harus sirna
tidak baik warga terhadap Embu membuat dirinya harus tahan dan tegar menghadapi
gunjingan warga. Karena selalu menahan rasa sakit hati dan berpura-pura tegar, rupanya
batin dan fisik Embu sangat terluka namun ia tidak menceritakannya pada siapapun,
sampai akhirnya jatuh sakit yang tidak kunjung sembuh. Hal tersebut menunjukkan
adanya batin yang terpuruk akibat masa lalu serta gunjingan warga yang disebabkan oleh
mata para lelaki, sehingga penggambaran dirinya hanya sebatas peniliaian orang lain,
selain itu terkungkungnya hak memilih pasangan juga dialami Embu karena keadaan
keluarga yang kurang mampu sehingga cinta dan harga dirinya dibeli oleh harta.
Sehingga, kehidupan Embu tidak dipenuhi dengan kebahagiaan terutama ketika dirinya
tidak pernah jujur tentang kehamilan dirinya yang membuat anaknya akan dipersunting
ayahnya sendiri, hal itu dikarenakan dari awal Embu yang tidak jujur sehingga
Anak Embu dalam cerpen ini digambarkan sebagai sosok wanita yang cantiknya
tidak mampu melebihi kecantikan Embu. Kecantikan dirinya tidak digambarkan secara
detail dalam cerita, namun dilihat dari pandangan lelaki dan juga saksi hidup bahwa
kecantikan dirinya tidak mampu menandingi Embu. Usia dirinya tidak digambarkan
secara detail tetapi secara luas dirinya digambarkan sebagai wanita yang siap untuk
menikah, artinya penggambaran umur anak Embu adalah umur yang dewasa dan pantas
untuk menikah.
Anak Embu tinggal di Madura dengan latar belakang masyarakatnya memiliki tradisi
yang sangat kental. Tradisi yang berkembang ialah kasur tanah dan perjodohan bayi.
Anak Embu tidak melakukan tradisi tersebut karena Embu menolak dan takut masa
depannya suram seperti Embu. Hal tersebut ditolak karena adanya rasa sakit yang
bertubi-tubi akibat tradisi tersebut, gejolak batin yang luar biasa juga muncul apabila
melakukan tradisi tersebut. Sehingga, anak Embu memiliki latar belakang yang baik
tanpa harus merasakan sakitnya dijodohkan dengan orang yang tidak dicintai.
Kehidupan anak Embu yang selalu mendapatkan gunjingan warga nyatanya tidak
mampu dipendam seperti Embu. Ia meluapkan rasa sakit hatinya dengan mengadu
kepada Embu sehingga dirinya belum bisa menanggapi semua masalah seperti Embu.
Hal tersebut menunjukkan bahwa anak Embu mudah sakit hati terhadap ucapan, serta
tidak mampu menahan gunjingan warga atas dirinya, dengan begitu dirinya belum
dikatakan setegar Embu dalam menghadapi masalah. Berikut kutipan yang menunjukkan
berujung bahagia. Hal tersebut dikarenakan ulah ibunya yang tidak pernah jujur sejak
awal terhadap orang tua dan semuanya bahwa dirinya sedang mengandung anak dari Keh
rela anak Embu digunjing oleh warga dan batinnya selalu terluka.
Keh Sakdulla
Karakter Keh Sakdulla memiliki fisik yang tidak dijelaskan begitu detail dalam cerita,
tetapi Keh Sakdulla digambarkan memiliki usia yang tua. Hal tersebut digambarkan
melalui kecaman Embu terhadap anaknya agar memilih lelaki yang seumuran dari pada
yang umurnya jauh lebih tua. Artinya, penggambaran usia Keh Sakdulla digambarkan
melalui nasihat Embu, sehingga secara tersirat pembaca akan mengetahui bagaimana
Keh Sakdulla tinggal di Madura, sama halnya seperti Embu. Daerahnya memiliki
tradisi yang kental seperti kasur tanah dan perjodohan bayi. Keh Sakdulla harus
meninggalkan cintanya dengan Embu akibat tradisi perjodohan bayi yang dilakukan
Embu. Keh Sakdulla tidak mampu berbuat apa-apa sehingga ia hanya pasrah merelakan
Embu menikah dengan yang lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa Keh Sakdulla tidak
memiliki kekuasaan di desa tersebut, hanya masyarakat biasa sehingga ia tidak mampu
menahan Embu, selain itu juga Keh Sakdulla menunjukkan dirinya tidak memiliki harta
yang berlimpah sehinga tidak mampu mengalahkan lelaki yang berharta banyak.
Penggambaran diri Keh Sakdulla walaupun tidak terlalu banyak ia merupakan orang
yang berpengaruh pada kehidupan serta kesehatan Embu. Keinginan Keh Sakdulla untuk
menikah dengan anak Embu merupakan jalan ternekat yang diambil oleh Keh Sakulla.
Sehingga dapat menunjukkan bahwa Keh Sakdulla mengambil langkah yang salah dan
Karakter saksi hidup diceritakan sebagai orang yang hidup dan banyak mengetahui
kisah cerita Embu. Fisik dan usia saksi hidup tidak dijelaskan secara mendetail dalam
cerita, namun dari percakapan antara anak Embu dan saksi hidup ia digambarkan
memiliki umur yang sama dengan Embu. Hal tersebut ditunjukkan melalui pemaparan
saksi hidup yang mengatakan dirinya mengetahui kehidupan sejak muda sampai tua,
sehingga dirinya seperti orang terdekat Embu yang memiliki umur yang sama. Karena,
kesamaan umur biasanya orang akan lebih mudah untuk bercerita dan mengeluh sebab
tidak adanya perbedaan umur, dan orang yang memiliki umur yang sama akan lebih
memahami perasaan lawan bicaranya dengan apa yang terjadi pada dirinya.
Saksi hidup tinggal di Madura sama seperti Embu. Daerah tersebut memiliki tradisi
yang masih kental yaitu perjodohan bayi dan pemberian sortana. Kehidupan saksi hidup
tidak digambarkan sama dengan Embu yang terkungkung akan tradisi perjodohan bayi.
Penggambaran seperti itu mampu menunjukkan bahwa kehidupan saksi hidup bukan
berasal dari keluarga yang miskin sehingga ia tidak perlu dijodohkan seperti Embu. Hal
tersebut ditunjukkan melalui kehidupannya yang tidak diceritakan kalau dirinya sama
seperti Embu. Saksi hidup merupakan orang kepercayaan Embu tentang rahasia Embu
yang selama ini disimpan rapat-rapat. Karena kepercayaan tersebutlah saksi hidup
merupakan sosok yang dekat dengan Embu bahkan seperti surat dan perangko yang
Keadaan saksi hidup yang sangat dekat dengan Embu tidak mampu mengubah
kehidupan Embu. Ia hanya sebagai orang yang dekat dan menjadi tempat berkeluh kesah.
Perasaan saksi hidup sangat kasihan melihat kehidupan Embu yang terus menerus
diterjang masalah. Hal tersebut tergambar melalui dialog dengan anak Embu mengenai
rahasia yang selama ini ia simpan. Ia hanyalah orang biasa dan tidak memiliki
kewenangan bagi Embu sehingga ia hanya membantu melalui bantuan fisik bukan moril.
Saksi hidup juga sosok yang selalu ada untuk Embu ketika Embu dilanda masalah, tetapi
ia tidak mampu membantu lebih karena dirinya tidak memiliki jabatan dan kewenangan
di desa tempat Embu tinggal. Berikut kutipan tentang karakter saksi hidup.
Ada satu amanah lagi yang embu titipkan padaku; menjaga rahasianya. Rahasia
identitasmu. Kau dan siapa pun tidak boleh tahu, bahwa Keh Sakdulla, lelaki yang
baru saja menikahimu adalah ayah biologismu. Sebagai perempuan yang dulu
menjadi santri abdi di rumah Keh Sakdulla, akulah saksi cinta mereka yang
kandas karena status sosial dan tradisi perjodohan. (Arcana, 2018: 9)
Kutipan di atas menunjukkan karakter saksi hidup yang diberikan kepercayaan oleh
Embu tentang segala rahasianya mulai dari memiliki hubungan dan hamil dengan Keh
Sakdulla. Hal tersebut menunjukkan adanya rasa aman Embu ketika sedang bersama
saksi hidup. Bisa jadi, saksi hidup satu-satunya orang yang mendukung dan melindungi
Embu ketika semua orang sibuk dengan egonya masing-masing. Ayahnya yang menukar
Embu dengan harta, suaminya yang menikahinya untuk menjadikannya istri ke empat
merupakan contoh orang yang tidak pernah mendukung Embu sehingga satu-satunya
Ayah Embu
Karakter Ayah digambarkan sebagai orang tua Embu. Fisiknya tidak digambarkan
secara detail tetapi ada dialog yang mengatakan dirinya adalah orang yang tidak mampu.
Artinya, selain keadaan tersebut fisik juga menunjang segala sesuatunya untuk bekerja.
Dengan begitu, fisik ayahnya digambarkan sebagai orang yang tidak terlalu kuat untuk
mencari nafkah yang ditunjukkan melalui keadaannya ketika Embu dilahirkan tetapi ia
tidak mampu membayar biaya rumah sakit. Penggamabaran fisik tersebutlah yang
memunculkan adanya perbandingan fisik yang kuat dan lemah. Jika fisiknya sebagai
pekerja keras, ia harusnya mampu mengumpulkan uang selama istrinya hamil dengan
bekerja apa saja, sehingga keadaan yang kurang mampu menunjukkan fisik ayahnya yang
Ayah Embu tinggal di Madura yang daerahnya memiliki tradisi yang kental yaitu
kasur tanah serta perjodohan bayi. Perjodohan bayi merupakan tradisi yang ia lakukan
untuk Embu karena keadaan dirinya yang miskin. Perjodohan bayi ia lakukan ketika
dirinya tidak mampu membayar biaya rumah sakit kelahiran Embu sehingga Embu
terpaksa dijodohkan sejak bayi pada saudagar kaya. Sikap ayahnya yang menjodohkan
anaknya menunjukkan bahwa ia terpaksa menjodohkan karena dirinya yang miskin dan
ayahnya tidak ingin anaknya memilih laki-laki tidak kaya sebab nantinya kehidupan
Embu akan menderita seperti dirinya. Hal tersebut terlihat ketika ia sangat mengekang
Perasaan Ayahnya yang sebenarnya kasihan dengan nasib Embu tidak dihiraukan
terlalu jauh sebab baginya harta mampu mengangkat derajat manusia, sehingga dengan
Embu mendapatkan suami kaya hidupnya akan bahagia walaupun ayahnya tidak tahu
Ayahmu memang sudah tua saat menikahi embu, dan ia tidak memiliki keturunan
satupun dari istri-istrinya terdahulu. Kakekmu terpaksa menjodohkan embu yang
baru lahir dengan lelaki kaya yang sudah beristri tiga itu demi membalas budi
setelah membantu biaya kelahiran embu. Kata kakekmu, ia tidak mau
menanggung utang budi hingga mati. (Arcana, 2018: 5)
Kutipan di atas menunjukkan keadaan keluarga Embu yang kurang mampu, sehingga
Embu diibaratkan sebagai sesuatu yang dapat dijadikan kekayaan. Artinya, menjodohkan
Embu dengan lelaki kaya mampu mengubah kehidupan keluarganya menjadi lebih baik.
Perasaan terpaksa hanyalah sebuah pengakuan jujur yang sangat kecil, selebihnya
keinginan untuk menaikkan derajat pasti ada di lubuk hati ayahnya yang paling dalam
Suami embu
Keadaan fisik suami Embu digambarkan sebagai lelaki yang tidak mampu menjaga
pandangannya terlebih untuk hal menjaga harga diri sebagai suami. Maksudnya adalah,
suami Embu tidak mampu menahan nafsunya untuk memperistri Embu walaupun
dirinya sudah memiliki tiga istri, sehingga suaminya bukan lelaki yang setia pada satu
wanita, dan menikahi Embu hanyalah memuaskan nafsunya yang besar untuk menindas
wanita yang miskin dan dianggap harga diri wanita tersebut mampu dibeli dengan harta.
Usia suaminya jauh lebih tua dari Embu hal tersebut ditunjukkan melalui gunjingan
teman-teman anaknya yang mengatakan ayahnya lebih pantas dikatakan kakek. Artinya,
di usianya yang sudah tua ia mampu menguasai perempuan dengan harta yang
Suami Embu tinggal di Madura, daerahnya sangat terkenal dengan tradisi kasur tanah
dan perjodohan bayi. Suami Embu merupakan pelaku yang melaksanakan perjodohan
bayi. Tradisi tersebut ia lakukan dengan alasan membantu keluarga Embu yang kurang
mampu. Jika dilihat secara mendalam, niat suami Embu tidaklah ikhlas, sebab jika ia
iklhas ia tidak mungkin mau menerima perjodohan itu. Kebiasaan menindas perempuan
selalu ia lakukan dengan alasan membantu yang kurang mampu, tetapi nafsu dunia selalu
Perjodohan bayi yang dilakukan oleh suaminya tidak menimbulkan rasa kasihan
terhadap Embu wanita, yang tidak mencintai dirinya. Sikap egois muncul hanya untuk
kepentingan dirinya dan tidak memberikan kesempatan pada Embu untuk membayar
hutang budi tersebut, ia tetap melakukan pernikahan untuk kepentingan nafsunya tanpa
Ayahmu memang sudah tua saat menikahi embu, dan ia tidak memiliki keturunan
satupun dari istri-istrinya terdahulu. Kakekmu terpaksa menjodohkan embu yang
baru lahir dengan lelaki kaya yang sudah beristri tiga itu demi membalas budi
setelah membantu biaya kelahiran embu. Kata kakekmu, ia tidak mau
menanggung utang budi hingga mati. (Arcana, 2018: 5)
Kutipan tersebut menunjukkan segala sesuatu yang dilakukan suami Embu bukan
dasar ikhlas membantu tetapi ia tidak mampu menjaga diri untuk hal nafsu dunia.
Artinya, ia senang menolong demi mendapatkan nafsu yang ia inginkan ketika sudah
memiliki tiga istri. Hal tersebutlah yang mampu menimbulkan permasalahan untuk
Latar
Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu latar tempat,
waktu, dan sosial. Ketiga unsur itu, walaupun menawarkan permasalahan yang
berbeda ternyata tidak dapat dibicarakan secara sendiri. Ketiga unsur tersebut
pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Pada analisis latar cerpen Kasur Tanah akan digunakan tiga kategori
Latar Tempat
dalam sebuah cerita fiksi. Latar tempat yang digambarkan dalam cerpen Kasur
Tanah, yaitu latar yang mampu membentuk karakter tokoh meliputi Madura,
desa, rumah, kamar, sekolah, dan warung. Berikut kutipan yang menunjukkan
Latar Madura menjadi letak geografis cerita “Kasur Tanah”, sebab ceritanya
sangat terkenal yaitu kasur tanah dan juga perjodohan bayi. Latar Madura ditampilkan
atas dasar latar belakang pengarang yang juga berasal dari Madura. Muna Masyari
merupakan wanita yang lahir di Madura dengan latar belakang kehidupan yang sama
seperti Embu dilahirkan sebagai keluarga yang kurang mampu. Sehingga, latar
kritik yang terlontar mengenai tradisi yang ada di daerahnya. Hal tersebut
kehidupan tokohnya akibat tradisi yang harus dilakukan, karena jika tidak akan
mendapatkan sanksi jika tidak melaksanakan tradisi tersebut. Berikut kutipan yang
tradisi yang harus dilakukan dan memiliki sanksi yang berhubungan dengan batin.
Sanksi tersebut kemudian dipaparkan dalam cerita karena adanya latar belakang
pengarang yang ingin menunjukkan bahwa tradisi tersebut bersifat mengikat dan
sanksi yang menindas kaum wanita. Sehingga, pengarang ingin menunjukkan bahwa
daerahnya memiliki tradisi yang tidak adil dan dikritisi oleh pengarang melalui cerita.
Latar desa menggambarkan sebuah lokasi di mana tempat Embu tinggal dengan
adanya adat yang harus ia lakukan. Penggambaran desa yang masih sangat sakral
akan tradisi berbanding terbalik dengan kehidupan kota. Kehidupan desa memiliki
banyak aturan dan harus dilaksanakan bagi siapa saja yang tinggal di desa tersebut.
Berbeda dengan kota, masyarakatnya yang moderen dan sudah menghilangkan
berbagai tradisi dengan alasan ada yang menganggap mitos dan ada juga yang tidak
desa selain menjadi tempat tinggal ia mampu menjadi tempat yang penuh dengan
permasalahan serta kontra terutama bagi masyarakat yang tidak memiliki banyak
harta. Desa memunculkan kesan yang menindas bagi kaum wanita, karena hanya
kaum wanitalah yang dijadikan tumbal perjodohan bayi terlebih wanita yang miskin
dan jauh dan pasrah dengan keadaan dirinya. Sehingga, desa memberikan perlakuan
tidak untuk kaum wanita dan di desa kaum wanita tidak dilindungi sepenuhnya.
Sudah empat kali kau antar Embu ke mantri desa, tidak ada
perkembangan sedikitpun. Ketika mencoba dibawa ke dukun, katanya
Embu kena teluh yang dikirim oleh lelaki yang ditolak. (Arcana, 2018: 4)
Kutipan tersebut menunjukkan betapa sakralnya tradisi yang ada di daerah Embu.
Tradisi menolak lamaran pria dalam kehidupan nyata yang telah dipaparkan oleh
orang Madura langsung. Dia mengatakan bahwa orang yang pernah menolak lamaran
pria entah itu secara halus ataupun kasar tetap mendapatkan balasan melalui jalur
belakang atau yang disebut melalui perantara jin. Sehingga, kepercayaan itu hanya
ada di desa karena di kota terutama Surabaya tidak ada kepercayaan terhadap jin
ataupun dukun.
Latar rumah menunjukkan tempat tinggal Embu dan anaknya dalam menghadapi
kehidupan yang penuh dengan cobaan. Rumah digambarkan sebagai tempat yang
memberikan perlindungan bagi Embu dan juga anaknya. Hal tersebut ditunjukkan
dari kehidupan mereka yang selalu digunjing oleh warga karena Embu menikah
dengan lelaki kaya yang tua, terlebih lagi anaknya bukan anak kandung suaminya.
Keadaan tersebut menunjukkan bahwa rumah mampu melindungi batin anaknya agar
batinnya tidak terluka, selain itu rumah juga tempat mengadu anaknya kepada Embu
Selain tempat berlindung, rumah adalah tempat kebahagiaan dan kesedihan yang
saling bersandingan, di rumah anak Embu melakukan pernikahan dengan Keh Sakdulla
pada saat kematian Embu. Artinya, rumah membentuk karakter Embu yang melindungi
anaknya tetapi anaknya tidak pernah menyadari itu justru ia membalas Embu dengan
rasa sakit yang menyebabkan dirinya harus meninggalkan dunia untuk selamanya.
Meskipun pekerjaan dapur sudah kau bereskan sejak sebelum subuh, dan
baju-baju kotornya kau cuci sebelum sinar matahari mengecup gorden
jendela kamarnya, Embu masih bersikeras menyapu lantai dan halaman
yang banyak mengepulkan debu saat disapu, hingga berakibat napasnya
kian sengal-sengal gara-gara batuk panjang. (Arcana, 2018: 4)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa rumah mampu membentuk sikap Embu
yang kuat menghadapi apapun baik mengurus rumah, anaknya, serta kehidupannya.
Tetapi, kasih sayang yang terbentuk di rumah sirma ketika anaknya mengkhianati dirinya.
Sehingga, mampu menunjukkan bahwa rumah bisa menjadi tempat ternyaman bisa juga
Latar tempat di sekolah santri menggambarkan tempat menuntut ilmu bagi anak
Embu dan juga sebagai tempat berkumpul manusia yang sering meledek anak Embu
tentang ayahnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa madrasah yang dianggap sebagai
panutan orang tua untuk masa depan anaknya dianggap gagal karena di sekolah ia
masih mendapatkan perlakuan tidak baik dari temannya. Artinya, madrasah yang
hubungannya dengan agama tidak dapat memberikan panutan, serta membuat orang
tua merasa gagal karena harapannya dipatahkan oleh sekolah akibat anak didiknya
antara anak Embu dengan Keh Sakdulla. Pertemuan tersebut bisa saja terjadi di
langgar dekat dengan madrasah sebab madrasah biasanya dekat dengan langgar.
Sehingga dari pertemuan tersebut ia selain di ajar mengaji, anaknya menjadi nyaman
karena nasihat-nasihat yang diberikan oleh Keh Sakdulla. Berikut kutipan yang
madrasah. Madrasah rupanya belum tentu membentuk karakter anak yang berakhlak
mulia, sehingga tidak semua pandangan terhadap madrasah adalah baik dan
memberikan panutan, semua tergantung pada diri manusianya dan sekolah itu sendiri.
Warung memunculkan tempat jual beli yang fungsi utamanya disalah gunakan
oleh masyarakat Madura di desa Embu. Fungsi jual beli tidak lagi menjadi tujuan
utama warga desa, sehingga tujuan lain ketika pergi ke warung adalah bergosip dan
mengejek terutama menggosip tentang anak Embu. Warung mampu membentuk
karakter anak Embu menjadi penakut dan lemah akibat gunjingan atas dirinya yang
menjadi wanita tegar karena sudah terbiasa digunjing bahkan hampir setiap hari,
serta mengajarkan kepada anaknya untuk menjadi anak yang kuat disetiap masalah
Cinta rumit masa lalu membuat embu tegar dan bersikap lebih tenang.
Bahkan embu juga menanggapi dengan santai saat kau adukan bisik-bisik
tetangga di warung mengenai dirimu. (Arcana, 2018: 5)
Kutipan tersebut menunjukkan gunjingan yang dilontarkan oleh tetangga Embu
membentuk dirinya sebagai wanita yang tahan banting, tegar menghadapi kehidupan
tanpa suami, menjadi orang tua tunggal yang memiliki jiwa yang tangguh. Hal
tersebut mengartikan bahwa Embu tidak lagi peduli dengan orang lain, yang
dipikirkannya sekarang adalah sembuh dari segala penyakit dan menjaga putrinya
dengan baik.
Latar Waktu
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu yang ada dalam
cerpen Kasur Tanah terjadi pada masa lmuda Embu, Masa tua Embu, Masa
kematian Embu, hari pernikahan anak Embu. Latar waktu pada cerpen Kasur
menghimpit membuatnya harus mengikuti jalan hidupnya sebagai wanita yang telah
dijodohkan oleh ayahnya. Selain dirinya lahir dari keluarga kurang mampu, rupanya
Embu merupakan korban dari penindasan kaum lelaki di desa tersebut. Penggambaran
masa muda Embu merupakan sebuah kritik yang dilakukan pengarangnya melalui cerita
yang ia tulis untuk mengkritik kehidupan di desa yang ia tinggali karena latar belakang
pengarang sama dengan latar cerita yang ia tulis. Latar belakang pengarang yang hanya
kemudian ia tuangkan kisah hidupnya ke dalam cerita yang sama dengan kehidupan asli
Cinta rumit masa lalu membuat embu tegar dan bersikap lebih tenang.
Bahkan embu juga menanggapi dengan santai saat kau adukan bisik-bisik
tetangga di warung mengenai dirimu. (Arcana, 2018: 5)
Kutipan tersebut menunjukkan masa muda Embu yang selalu dipenuhi dengan
kerumitan hidup dan cinta yang membentuk karakter Embu menjadi kuat. Hal
tersebut sama seperti kehidupan pengarang yang merupakan wanita yang tidak
masuk ke dalam cerpen yang terbaik Kompas, dengan begitu saling berhubungan
Masa tua Embu digambarkan dengan keadaan dirinya yang semakin ringkih dan
sakit-sakitan. Penderitaan yang dialami Embu tidak terhenti pada kisah cintanya, tetapi
pada kesehatan Embu ketika penyakitnya tidak kunjung sembuh. Embu mengalami masa
kritis selama seminggu terakhir, tetapi ia menyembunyikan semuanya agar anaknya tidak
khawatir terhadapnya. Hal tersebut terjadi karena penumpukan masalah yang terjadi
sejak masa muda hingga tua. Dari ia dilahirkan sampai masa tua, ia tidak mendapatkan
kebahagiaan yang hakiki. Sampai masa tuanya pun ia tidak menikmatinya dengan
keadaan sehat. Masa muda batinnya sakit sedangkan masa tua fisiknya yang sakit.
Artinya, kehidupannya dipenuhi dengan cobaan yang tiada henti, sehingga ketika sakit di
masa tua mampu membentuk karakter Embu yang tidak pernah merepotkan orang lain
walaupun dirinya berada di masa kritis. Berikut kutipan mengenai masa tua Embu.
Seminggu ini batuk embu tambah parah. Tubuhnya semakin ringkih. Bahkan dua
hari lalu ia mengaku batuk darah padaku. Namun ia memintaku merahasiakannya
darimu. Ia pun menolak dianggap dan diperlakukan sebagaimana orang sakit.
(Arcana, 2018: 4)
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa masa tua Embu berakhir dengan keadaan yang
sudah diterpa bertubi-tubi masalah, sampai akhirnya Embuberada di masa tua pun tidak
akibat keadaan keluarga yang kurang mampu. Sedangkan kesedihan Embu di masa tua
Latar waktu menunjukkan hari pernikahan dan juga kematian embu yang kemudian
keduanya disandingkan oleh anak embu yang melangsungkan pernikahan pada hari
kematian embu hal ini memunculkan kesan yang jarang terjadi pada masyarakat umum,
walaupun ada tetapi sangat jarang menemukan pernikahan yang disandingkan dengan
kematian. Perasaan sedih dan terpukul juga dirasakan oleh anak Embu ketika harus
menikah di depan ibunya yang sudah meninggal, tetapi itulah yang diamanatkan oleh
ibunya ketika harus menikah dengan Keh Sakdulla, dengan begitu anaknya adalah
pengganti sortana yang semula adalah perabot antik yang selalu dilapnya. Berikut kutipan
Pada hari pernikahan sekaligus kematian ini, barangkali kau tidak merasa bahwa
embu sengaja menjadikan dirimu sebagai pengganti perabot sortana yang pernah
diperlakukan istimewa itu. (Arcana, 2018: 2)
Kutipan di atas menunjukkan latar waktu ketika sang anak harus melangsungkan
pernikahan dan dijadikan sortana oleh ibunya dengan cara dinikahi oleh Keh Sakdulla,
anaknya tidak sadar bahwa ia dijadikan sortana menggantikan perabot yang biasa Embu
lap. Embu memperlakukan sortana sama seperti anaknya yaitu istimewa, artinya ia selalu
dijaga dan disayangi karena ada tujuan tertentu yaitu sama-sama akan dibawa kepada kiai
dan ia menitipkan pesan pada saksi hidup, saksi hidup mengatakan hal tersebut karena
semua sudah terlanjur terjadi, akhirnya anak Embu dinikahkan di samping keranda
ibunya. Keadaan seperti itu sebenarnya terjadi karena keadaan yang mendesak, sebab
keadaan Embu yang hancur jadi dilangsungkan saja pernikahannya agar keinginan
Hal tersebut dapat berupa adat istiadat, pemakaian bahasa, tradisi, keyakinan,
masyarakat daerah Madura yang masih mengikuti beberapa adat dan tradisi
yang harus dilakukan, apabila tidak mengikuti ada beberapa tradisi yang
dirinya sendiri. Maksud dari kepentingan sendiri ialah karena tokoh ayah yang
menjodohkan Embu kepada orang kaya juga akibat dari keegoisan ayahnya.
bayi sebagai jalan terakhir. Hal tersebut berdasarkan hasil diskusi dengan
melakukannya. Budaya di desa tersebut ada dua yaitu pemberian sortana, dan
juga perjodohan bayi. Kedua budaya tersebut ada yang memberikan
kebahagiaan ada juga yang membuat menderita. Seperti sortana yang mampu
yang tidak adil muncul, ketika tidak melakukan sortana tidak dapat sanksi
perempuan. Tradisi sortana jika tidak dilaksanakan tidak ada sanksi sedangkan
wanita hanyalah makhluk lemah yang mampu dibohongi dan dibodohi karena
bekerja.
Tema
dan menelaah kejadian atau emosi yang dialami manusia, seperti yang terjadi
mengangkat tema tentang budaya, hal tersebut dapat dilihat dalam penjabaran
berikut.
Tema Tradisi
Tema yang terdapat dalam cerpen “Kasur Tanah karya Muna Masyari ialah
bertemakan tradisi, ada dua tradisi yang harus dilaksanakan bagi masyarakat
Madura, tetapi hal tersebut harus dilihat dari latar belakang masyarakatnya.
Pertama, budaya memberikan Sortana kepada guru ngaji apabila ada keluarganya
yang meninggal agar menambah nilai pahala bagi yang telah meninggal. Budaya
ini, biasa dilakukan oleh masyarakat Madura, pada kenyataannya di Madura juga
sangat terkenal kasur tanah, sehingga pengarang mampu mengemas cerita sesuai
Kedua, budaya perjodohan bayi. Budaya ini harus diikuti oleh masyarakat
Madura, sebab ada sanksi tersendiri bagi siapapun yang tidak tunduk dengan
budaya ini. Bagi keluarganya yang tidak berkecukupan biasanya akan mengikuti
budaya ini karena tidak adanya biaya untuk melanjutkan anak perempuannya
sekolah. Artinya, budaya dalam cerpen ini menyadarkan pembaca bahwa tradisi
ada yang memberikan nilai kebajikan dan ada juga yang membuat batin mereka
menderita dengan adanya perjodohan sejak bayi, namun begitulah yang harus
dijalani masyarakat Madura tersebut. Tema dalam cerpen ini dikritisi oleh
pengarangnya karena adanya budaya yang tidak semua orang dapat menerimanya,
sehingga terbentuk karya sastra dengan mengangkat tema dari hasil kritik melalui
mampu memberikan sanksi yang tidak adil dalam salah satu tradisi dan membuat
keberadaan wanita dalam desa tersebut terancam batinnya. Jika memang adil,
masyarakat tidak mau melakukan tradisi tersebut. Namun, yang terjadi budaya di
harus diberontak.