Anda di halaman 1dari 13

TOKOH-TOKOH ANALISIS WACANA KRITIS

AWK IDEOLOGI
AWK KONTEKS SOSIAL

BAB. I
A. Latar Belakang
Analisis wacana sebagai salah satu disiplin ilmu dengan metodologi yang eksplisit
dapat dikatakan sebagai ilmu baru karena perkembangannya baru dilihat pada awal tahun
70-an dan bersumber pada tradisi keilmuan Barat. Istilah analisis wacana muncul sebagai
upaya untuk menghasilkan deskripsi bahasa yang lebih lengkap sebab terdapat unsur-
unsur bahasa yang tidak cukup bila dianalisis dengan menggunakan aspek struktur dan
maknanya saja. Sehingga memalui analisis wacana dapat diperoleh penjelasan mengenai
korelasi antara apa yang diujarkan, apa yang dimaksud dan apa yang dipahami dalam
konteks tertentu.
Analisis wacana Kritis (AWK) adalah analisis bahasa dalam penggunaannya dengan
menggunakan bahasa kritis. Analisis ini dipandang sebagai oposisi terhadap analisis
wacana deskriptif yang memandang wacana sebagai fenomena teks bahasa semata, karena
analisis jenis ini selain berupaya memperoleh gambaran tentang aspek kebahasaan, juga
menghubungkannya dengan konteks, baik itu konteks sosial, kultural, ideologi dan domain-
domain kekuasaan yang menggunakan bahasa sebagai alatnya.
Dalam Analisis wacana kritis ini terdapat tokoh-tokoh yang memiliki sudut pandang
dan cara analisis yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Masing-masing pandangan
tersebut hanya ditujukan pada satu pokok permasalahan yaitu Analisis wacana Kritis
(Critical Discourse Analysis).
Dari sudut pandang para tokoh Analisis Wacana Kritis, terdapat pandangan bahwa
wacana adalah alat bagi kepentingan kekuasaan, hegemoni, dominasi budaya dan ilmu
pengetahuan. Untuk itu, dalam menganalisis wacana juga harus memperhatikan masalah
ideologi dan sosio kultural yang melatarbelakangi penulisan suatu wacana.
B. Target pembahasan makalah :
1. Untuk mengetahui siapa saja tokoh-tokoh Analisis wacana kritis dan bagaimana
pandangan-pandangannya.
2. Untuk memahami bagaimana menganalisis wacana ideologi.
3. Untuk menjelaskan bagaimana menganalisis wacana berdasarkan konteks sosial.

BAB II
PEMBAHASAN
A. TOKOH-TOKOH ANALISIS WACANA KRITIS
Terdapat banyak tokoh AWK diantaranya adalah :
1. Michel Foucault
ü Lahir di Poitiers Perancis, tahun 1926.
ü Bidang ilmu yang digelutinya : filsafat, sejarah, psikologi dan psikopatologi.
ü Buku-buku hasil karyanya : Penyakit Mental dan Kepribadian, Sejarah Kegilaan, The Birth of
The Clinic, Archeology of Human Sciences, Disciplines and Punish dan trilogi The History of
Sexuality.
ü Karier : Sebagai staf pengajar pada Universitas Uppsala (Swedia) untuk bidang sastra dan
kebudayaan Perancis, Dosen di berbagai Universitas di Perancis, dan pendiri Universitas
Paris Vincenes.
ü Meninggal dunia dalam usia 57 tahun pada tahun 1984.
ü Inti Pemikiran Foucault :
a) Wacana
Wacana menurut Foucault bukan hanya sebagai rangkaian kata atau proposisi dalam teks,
melainkan sesuatu yang memproduksi sesuatu yang lain. Sehingga dalam menganalisis
wacana hendakny memperimbangkan peristiwa bahasa dengan melihat bahasa sebagai dua
segi yaitu segi arti dan referensi.
Wacana merupakan alat bagi kepentingan kekuasaan, hegemoni, diminasi budaya dan ilmu
pengetahuan. Dalam masyarakat, ada wacana yang dominan dan ada wacana yang
terpinggirkan. Wacana yang dominan adalah wacana yang dipilih dan didukung oleh
kekuasaan, sedangkan wacana lainnya yang tidak didukung akan terpinggirkan
(marginalized) dan terpendam (submerged).
b) Discontinuitas
Foucault menolak teori mengenai sejarah yang berjalan linier dan kontinyu “contonuous
history”, karena itu dia mengajukan konsep discontinuitas sejarah. Foucault lebih tertarik
pada kejadian biasa atau peristiwa kecil yang diabaikan oleh ahli sejarah, daripada analisis
sejarah tradisional yang cenderung mempertanyakan strata dan peristiwa mana yang harus
diisolasi dari yang lain, jenis hubungan yang harus dikonstruksi serta kriteria periodisasi.
Biasanya analisis tradisional hanya menyoroti sejarah “orang-orang besar.”
c) Kuasa dan Pengetahuan
Menurut Foucault, kekuasaan dan pengetahuan adalah dua hal yang selalu berkaitan.
Menurutnya, kekuasaan selalu terakumulasi melalui pengetahuan, dan pengetahuan selalu
punya efek kuasa. Konsep ini membawa konsekuensi untuk mengetahui bahwa untuk
mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang
melandasi kekuasaan. Foucault meyakini bahwa kuasa tidak bekerja melalui represi, tetapi
melalui normalisasi dan regulasi. Kuasa tidak bekerja secara negatif dan represif,
melainkan dengan cara positif dan produktif.
d) Episteme
Foucault membedakan tiga jaman episteme yaitu : Abad Renaisan yang menekankan pada
resemblance (kemiripan), Abad Klasik yang menekankan pada representastion
(representasi) dan Abad Modern yang menekankan pada signification (signifikasi) atau
pemaknaan.

2. Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress, dan Tony Trew (Fowler dkk)
ü Fowler, Hodge, Kress dan Trew adalah sekelompok pengajar di Universitas Eart Anglia (aliran
Linguistik Eropa Kontinental). Karya mereka adalah sebuah buku yang berjudul Language
and Central (1979) dengan pendekatan Critical Linguistic yang memandang bahwa bahasa
dikenal sebagai praktik sosial. Pendekatan ini dikembangkan dari teori linguistik para
peneliti yang melihat bagaimana tata bahasa (grammar) tertentu menjadikan kata tertentu
(diksi) membawa implikasi dan ideologi tertentu (Darma
ü Dalam membangun model analisisinya, mereka mendasarkan pada penjelasan Halliday
mengenai struktur dan fungsi bahasa yang menjadi struktur tata bahasa.
ü Dalam praktik penggunaan tata bahasa, maka kosa kata merupakan pilihan kata (diksi)
untuk mengetahui praktik ideologi. Adapun fungsi kosa kata diantaranya sebagai berikut :
1. Kosakata
Karena bahasa merupakan sistem klasifikasi, maka bahasa yang berbeda itu akan
menimbulkan realitas yang berbeda pula ketika diterima oleh khalayak.
2. Kosakata : membuat klasifikasi
Bahasa pada dasarnya menyediakan klasifikasi, sehingga dapat dibedakan antara realitas
yang satu dengan yang lainnya. Klasifikasi ini bermakna bagaimana suatu peristiwa itu
dilihat dari suatu sisi sehingga memaksa kita untuk bagaimana memahami realitas.
3. Kosakata : Membatasi Pandangan
Menurut Fowler dkk, bahasa pada dasarnya bersifat membatasi. Kosakata berpengaruh
terhadap bagaimana kita memahami dan memaknai suatu peristiwa. Sehingga ketika suatu
kosakata tertentu, akan dihubungkan dengan realitas tertentu.
4. Kosakata : Pertarungan wacana
Kosakata haruslah dipahami dalam konteks pertarungan wacana. Setiap pihak memiliki
pendapat sendiri-sendiri dalam suatu masalah, sehingga selalu berusaha supaya hanya
pendapatnya saja yang paling benar. Dalam upaya memenangkan opini publik, masing-
masing pihak menggunakan kosakata sendiri-sendiri dan berusaha memaksakan agar
kosakata itulah yang lebih diterima oleh publik.
5. Kosakata : marginalisasi
Kosakata membawa nilai ideologis, kata bukan sesuatu yang netral, tetapi membawa
ideologi tertentu.
6. Tata Bahasa
Fowler dkk menyatakan bahwa minimal ada dua hal yang harus diperhatikan yakni efek
bentuk kalimat pasif dan efek nominalisasi. Kedua efek ini cenderung menghilangkan
pelaku dalam sebuah teks.

3. Theo Van Leeuwen


ü Theo Van Leeuwen memperkenalkan model analisis wacana untuk mendeteksi dan meneliti
bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarginalisasikan posisinya dalam suatu
wacana. Kelompok dominan lebih memegang kendali dalam menafsirkan suatu peristiwa
dan pemakaiannya, sementara kelompok lain yang posisinya rendah cenderung untuk
terus-menerus menjadi obyek pemaknaan dan digambarkan secara buruk.
ü Ada dua pusat perhatian dalam analisis Van leeuwen, yaitu :
1. Proses pengeluaran (eksklusi) apakah dalam suatu teks berita ada aktor atau kelompok
yang dikeluarkan dari pemberitaan, dan strategi wacana apa yang dipakai untuk itu.
2. Proses pemasukan (inklusi) yaitu proses dimana suatu pihak atau kelompok ditampilkan
lewat pemberitaan.
4. Sara Mills
ü Sara Mills menjadikan teori wacana Foucault sebagai ground teori untuk analisis wacana
kritis.
ü Konsep dasar pemikiran Mills lebih melihat pada bagaimana aktor ditampilkan dalam teks
baik dia berperan sebagai subyek maupun obyek.
ü Ada dua konsep dasar yang diperhatikan yaitu posisi Subyek-Obyek, menempatkan
representasi sebagai bagian terpenting. Bagaimana seseorang, kelompok, pihak, gagasan
dan peristiwa ditampilkan dengan cara tertentu dalam wacana dan memengaruhi makna
khalayak. Penekanannya adalah bagaimana posisi dari aktor sosial, posisi gagasan, atau
peristiwa ditempatkan dalam teks.
ü Selain posisi aktor dalam teks, Sara Mills juga memusatkan perhatian pada bagaimana
pembaca dan penulis bisa ditampilkan. Posisi pembaca memengaruhi bagaimana
seharusnya teks itu dipahami dan bagaimana aktor sosial ditempatkan. Penceritaan dan
posisi ini menjadikan satu pihak legitimate dan pihak lain illegitimate. Karena Sara Mills
adalah seorang feminist, maka aktor yang sering dia tampilkan dalam karyanya adalah
perempuan.
5. Teun A. Van Dijk
ü Analisis Wacana Kritis Modern van Dijk dikenal dengan model “kognisi sosial” yaitu model
analisis yang tidak hanya mendasarkan pada analisis teks semata, tetapi juga proses
produksi wacana tersebut yang dinamakan kognisi sosial. Dijk berusaha untuk
menyambungkan wacana dengan konteks sosialnya. Dalam hal ini konteks sosial sebagai
elemen besar struktur sosial (stuktur makro) dan elemen wacana seperti gaya bahasa,
kalimat dan lain-lain (struktur mikro).
ü Wacana menurut Van Dijk memiliki tiga dimensi : teks, kognisi sosial dan konteks.
1. Dalam teks (stuktur mikro) Van Dijk berusaha meneliti dan mamaknai bagaimana struktur
teks dan strategi wacana secara kebahasaan (bentuk kalimat, pilihan kata, metafora yang
dipakai)
2. Pada level kognisi sosial dipelajari bagaimana proses produksi teks berita yang melibatkan
kognisi individu dari wartawan.
3. Pada level konteks sosial (struktur makro) mempelajari bangunan wacana yang
berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah
6. Norman Fairclough
ü Analisis Wacana Kritis Model Fairclough disebut dengan model perubahan sosial (social
change), yaitu mengitegrasikan secara bersama-sama analisis wacana yang didasarkan
pada linguistik, pemahaman sosial politik terhadap perubahan sosial.
ü Menurut Fairclough bahasa sebagai praktik sosial mengandung implikasi bahwa :
1. Wacana adalah bentuk dari tindakan, seseorang menggunakan bahasa sebagai tindakan
pada dunia dan khususnya sebagai bentuk representasi ketika melihat realita.
2. Adanya hubungan timbal balik antara wacana dan struktur sosial , kelas, dan relasi sosial
lain yang dihubungkan dengan relasi spesifik dan institusi tertentu seperti pada buku,
pendidikan, sosial dan klasifikasi.
ü Fairclough membagi wacana dalam tiga dimensi yaitu teks, discourse practice, dan
Sociocultural Practice .
1. Teks dianalisis secara linguistik, dengan melihat kosa kata, semantik dan tata kalimat
termasuk koherensi dan kohesivitas yang bertujuan untuk melihat elemen-elemen
idesional, relasi dan identitas suatu wacana.
2. Discourse practice berhubungan dengan bagaimana proses produksi dan konsumsi teks.
3. Sociocultural Practice adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks seperti konteks
situasi, konteks dan praktik institusi dari media dalam hubungannya dengan masyarakat
atau budaya politik tertentu.
B. Analisis Wacana Kritis Ideologi
A. Pengertian Ideologi
· Secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari kata idea dan logic yang
artinya adalah pengucapan dari yang terlihat atau pengutaraan apa yang terumus di dalam
pikir sebagai hasil dari pemikiran.
· Menurut KBBI (2007:417) ideologi adalah :
1. Kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan
arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup;
2. Cara berpikir seseorang atau suatu golongan;
3. Paham, teori dan tujuan yang merupakan satu program sosial politik.
· Menurut kamus Sosiologi (Sukanto, 1985; Darma, 2009) ideologi adalah :
1. Perangkat kepercayaan yang ditentukan secara sosial;
2. Sistem Sosial yang melindungi kepentingan golongan elit;
3. Sistem kepercayaan.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ideologi adalah
seperangkat gagasan/kepercayaan yang dimiliki oleh golongan tertentu yang mempunyai
tujuan sehingga menuntut orang yang meyakininya melakukan tindakan-tindakan tertentu.
B. Penggunaan istilah ideologi
Secara Umum ideologi dimaknai sebagai :
1. Ideologi sebagai kesadaran palsu; menurut Magnis-Suseno : ideologi dianggap sebagai
sistem berpikir yang sudah terkena distorsi entah disadari atau tidak. Ideologi dilihat
sebagai sarana kelas atau kelompok yang berkuasa untuk melegitimasikan kekuasaannya
secara tidak wajar.
Contohnya pada zaman Soeharto media massa diposisikan secara sistematis sebagai
aparatus ideologis negara meskipun posisinya diluar kekuasaan. Fungsinya adalah untuk
menciptakan kesadaran palsu bagi masyarakat agar kepentingan-kepentingan (penguasa)
negara bisa berjalan.
2. Ideologi dalam arti netral
Nilai ideologi dalam hal ini tergantung dari isinya, kalau isinya baik, ideologi itu baik, kalau
isinya buruk, dia buruk. Ideologi ini dianut oleh negara-negara.
3. Ideologi : keyakinan yang tidak ilmiah
Ideologi menurut ilmu filsafat dan ilmu-ilmu sosial yang berhaluan positivistik adalah
segala pemikiran yang tidak dapat tites secara matematis-logis atau empiris. Ideologi itu
tidak rasional, di luar nalar, jadi merupakan kepercayaan dan keyakinan subyektif semata-
mata tanpa kemungkinan untuk mempertanggungjawabkannya secara obyektif.
C. Ideologi dalam Kerangka Multidisiplin : Wacana, Kognisi dan Masyarakat
1. Ideologi sebagai kognisi sosial
Ideologi merupakan aspek kesadaran “asli” dan “palsu” tingkat kognisi seseorang yang
berhubungan dengan :
Ø Jenis keyakinan
Ø Ideologi memiliki dimensi evaluative karena biasanya suatu ideologi bertentangan dengan
ideologi lainnya
Ø Memori dan representasi (pengetahuan sosial budaya, latar masyarakat, pendapat dan sikap
dan ideologi sebagai representasi sosial
2. Struktur ideologi
Ideologi memiliki sistem dan struktur sebagai berikut :
a. Format proposisi keyakinan ideologis yaitu makna yang mengekspresikan pikiran lengkap
entah itu benar atau salah. Misalnya : “laki-laki dan perempuan harus mempunyai hak yang
sama”.
b. Organisasi Ideologi :
Setidaknya ada enam kategori dalam struktur ideologi antara lain Kriteria keanggotaan,
kegiatan umum, tujuan, norma-norma/nilai-nilai, posisi dan sumber
3. Dari ideologi ke wacana dan sebaliknya :
Ideologi dapat berupa ideologi sikap atau ideologi pengetahuan. Ideologi dapat
mempengaruhi sikap dalam bertindak, Demikian juga ideologi dapat memengaruhi
pengetahuan.
Untuk menghubungkan ideologi dengan wacana dapat terjadi melalui bentuk-bentuk lain
dari kognisi sosial, atau pengetahuan kelompok. Hubungan antara kognisi sosial dan
wacana dapat diskemakan sebagai berikut :
Interaksi/wacana

Kognisi sosial

Grup pengetahuan

Sikap kelompok

Ideologi grup

Pengetahuan Sosial-Budaya (Common Ground)


4. Struktur Wacana Ideologi
Ideologi mempengaruhi proses produksi wacana. Ideologi mungkin ditunjukkan di hampir
semua struktur teks atau pembicaraan, tapi di sisi lain mungkin lebih khas untuk beberapa
struktur lainnya seperti gaya dan makna semantik lebih mungkin akan terpengaruh oleh
ideologi baik dalam segi morfologi (pembentukan kata) maupun aspek sintaksis (kalimat).

Strategi Praktis Analisis Ideologi Umum


Karena wacana sangat kompleks, dan karena struktur ideologis dapat dinyatakan dalam
berbagai cara, sangat berguna untuk memiliki metode praktis ‘heuristic’ untuk menemukan
ideologi dalam teks dan pembicaraan. Dengan kata lain, wacana memiliki banyak cara
dalam menekankan/menentukan arti dan setelah memiliki ideologi dasar, kita dapat
menganalisis ekspresi ideologi pada tingkat banyak wacana, seperti :
1. Arti. Konten ideologis yang paling langsung disajikan dalam wacana adalah makna. Karena
arti kata-kata, kalimat dan wacana seluruhnya luar biasa kompleks. Makna biasanya
tersirat dalam topik, tingkat deskripsi ; tingkat detail, implikasi dan pengandaian, koherensi
lokal, sinonim dan parafrase, kontras, contoh dan ilustrasi serta penyangkalan.
2. Struktur proposisional. Makna wacana diungkapkan dalam bentuk proposisi. Satu kalimat
menyatakan satu atau lebih proposisi yang mungkin benar atau salah. Struktur
proposisional wacana ideologi meliputi : aktor, modalitas, Bukti, perlindungan dan
ketidakjelasan nilai, topik baik dalam mendefinisikan teks rasis maupun anti-rasis.
3. Struktur Formal. Secara tidak langsung ideologi yang mendasari suatu wacana dapat
mempengaruhi struktur formal teks dan pembicaraan : bentuk klausa atau kalimat, bentuk
argumen, urutan sebuah berita, ukuran informasi utama dan seterusnya.
4. Struktur kalimat. Dengan menggunakan kalimat yang berbeda bentuk, urutan kata-kata
memiliki implikasi ideologis.
5. Bentuk wacana. Secara umum, seperti dalam kalimat, informasi yang diungkapkan pada
awal teks sehingga menerima penekanan ekstra: itu harus dibaca secara keseluruhan
terlebih dahulu agar memiliki kontrol yang lebih atas interpretasi dari sisa teks dari
informasi yang dinyatakan di akhir teks.
6. Argumentasi. Dalam wacana argumentatif setiap peserta mencoba untuk membuat sudut
pandangnya lebih dapat diterima, dengan merumuskan ‘argumen’ yang konon untuk
mempertahankan sudut pandang yang dipilih.
7. Retorika. Biasanya struktur digambarkan dalam bentuk retorika klasik dalam hal gaya
bahasa seperti aliterasi, metafora, simile, ironi, litotes dan eufemisme. Contoh, wacana rasis
akan menampilkan banyak eufemisme ketika mengacu pada ketimpangan etnis, rasisme
atau diskriminasi.
8. Aksi dan interaksi. Salah satu komponen penentu sebuah wacana adalah aksi dan
interaksi. Wacana yang diucapkan dalam situasi tertentu mungkin menyelesaikan tindak
tutur dari pernyataan, tuduhan janji pertanyaan, atau ancaman.
Analisis Wacana Kritis untuk Menggali Suatu Ideologi
AWK mempelajari tentang dominasi suatu ideologi serta ketidakadilan dijalankan dan
dioperasikan melalui wacana. Fairclough mengemukakan bahwa AWK melihat wacana
sebagai bentuk dan praktik sosial. Praktik wacana menampilkan efek ideologi.
Ideologi merupakan konsep sentral dalam AWK, misalnya wacana sastra adalah bentuk
ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Ideologi ini dikontruksikan oleh
kelompok yang dominan dengan tujuan untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi
mereka. Salah satu strateginya adalah membuat kesadaran khalayak, bahwa dominasi itu
diterima secara taken for granted. Ideologi dalam hal ini secara inheren bersifat sosial dan
AWK melihat wacana sebagai bentuk dari praktik sosial.
Studi kritis terhadap bahasa menyoroti bagaimana konvensi dan praktik berbahasa terkait
dengan hubungan kekuasaan dan proses ideologis yang sering tidak disadari oleh
masyarakat. Beberapa pokok pikiran tentang studi kritis terhadap bahasa adalah:

1. Wacana dibentuk oleh masyarakat

2. Wacana membantu membentuk dan mengubah pengetahuan serta


objek-objeknya, hubungan sosial, dan identitas sosial

3. Wacana dibentuk oleh hubungan kekuasaan dan terkait dengan


ideologi

4. Pembentukan wacana menandai adanya tarik-ulur kekuasaan (power


struggles)

5. Wacana mengkaji bagaimana masyarakat dan wacana saling


membentuk satu sama lain

C.Analisis Wacana Kritis Konteks Sosial


Konteks
Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana seperti latar, situasi,
peristiwa, dan kondisi. Wacana dipandang, diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada
suatu konteks tertentu. Mengikuti Guy Cook, analisis wacana juga memeriksa konteks dari
komunikasi : siapa yang mengomunikasikan, dengan siapa dan mengapa, dalam jenis
khalayak dan situasi apa, melalui medium apa, bagaimana perbedaan tipe dan
perkembangan komunikasi, dan hubungan untuk masing-masing pihak. Tiga hal
sentaralnya adalah teks, konteks, dan wacana.
1. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas,
tetapi semua jenis ekspresi komunikasi.
2. Konteks adalah memasukan semua jenis situasi dan hal yang berada diluar teks dan
mempengaruhi pemakaian bahasa, situasi dimana teks itu diproduksi serta fungsi yang
dimaksudkan.
3. Wacana dimaknai sebagai konteks dan teks secara bersama.
Titik perhatianya adalah analisis wacana menggambarkan teks dan konteks secara
bersama-sama dalam proses komunikasi. Titik tolak dari analisis wacana di sini, bahasa
tidak bisa dimengerti sebagai mekanisme internal dari linguistik semata, bukan obyek yang
diisolasi dalam ruang tertutup. Bahasa di sini dipahami dalam konteks secara keseluruhan.
Ada dua konteks yang penting karena berpengaruh terhadap produksi wacana :
Pertama, partisipan wacana, latar siapa yang memproduksi wacana. Jenis kelamin, umur,
pendidikan, kelas sosial, etnis, agama, dalam banyak hal relevan dalam menggambarkan
wacana. Misalnya, seseorang berbicara dalam pandangan tertentu karena ia laki-laki, atau
karena ia berpendidikan.
Kedua, setting sosial tertentu, seperti tempat, waktu, posisi pembicara dan pendengar atau
lingkungan fisik adalah konteks yang berguna untuk mengerti suatu wacana. Misalnya
pembicaraan di tempat kuliah berbeda dengan di jalan. Setting, seperti
tempat itu privat atau publik, dalam suasana formal atau informal, atau pada ruang tertentu
memberikan wacana tertentu pula. Berbicara
di ruang kelas berbeda dengan berbicara di rumah, dan juga di pasar, karena situasi
sosial atau aturan yang melingkupinya berbeda, menyebabkan partisipan komunikasi harus
menyesuaikan diri dengan konteks yang ada. Oleh karena itu,
wacana harus dipahami dan ditafsirkan dari kondisi dan lingkungan sosial yang
mendasarinya.

Analisis Wacana Kritis dan Penggunaan Bahasa dalam Konteks Sosial


Analisis wacana berarti menganalisis kaidah, perpindahan, dan strategi tuturan berbahasa
sehari-hari dengan konteks sosial yang amat terbatas. Para analis wacana semakin
menyadari akan beragamnya pilihan dan keluasan objek penelitian linguistik, yaitu
penggunaan bahasa yang aktual dalam konteks sosialnya. Paradigma psikologi dan
intelektual disangsikan keakuratannya dalam menganalisis wacana yang sarat dengan
berbagai fitur konteks sosial yang luas, seperti gender, kekuasaan, status, etnis, peran, dan
latar institusi.
Baik teks maupun wacana secara bergantian digunakan dalam analisis wacana. Kress
mengungkap tentang istilah teks dan wacana cenderung digunakan tanpa perbedaan yang
jelas. Kajian wacana lebih menekankan pada persoalan isi, fungsi, dan makna sosial dalam
penggunaan bahasa. Sedangkan diskusi-diskusi dengan dasar dan tujuan yang lebih
linguistis cenderung menggunakan istilah teks. Kajian teks lebih menekankan pada
persoalan matrialitas, bentuk, dan struktur bahasa. Brunner dan Grafaen (Wodak, 1996:13)
mengemukakan bahwa istilah wacana berakar pada sosiologi, sementara istilah teks
berakar pada filologi dan sastra.
Wacana dipahami sebagai unit-unit dan bentuk-bentuk tuturan dari interaksi yang menjadi
bagian dari perilaku linguistis sehari-hari, tetapi dapat muncul secara sama dalam
lingkungan institusional. Wacana memerlukan kehadiran bersama dari penutur dan
pendengar (interaksi face to face), tetapi dapat dikurangi ke arah kehadiran bersama yang
temporal (misalnya dalam telepon).
Dalam konteks teori perilaku linguistis, adalah penting untuk menentukan “teks”, perilaku
linguistis itu yang materinya dibuat dalam teks dipisahkan dari situasi tuturan umum yang
hanya sebagai perilaku reseptif pembaca, dasar umumnya dipahami dalam makna
sistematis, bukan makna historis. Dalam teks, perilaku ujaran memiliki kualitas
pengetahuan dalam melayani transmisi serta disimpan untuk penggunaan sesudahnya
dalam bentuk tertulis yang konstitutif untuk penggunaan istilah sehari-hari.
Oleh karena itu, teks lebih dipandang sebagai fenomena linguistis yang berdiri sendiri dan
terpisah dari situasi tuturan. Sementara itu, wacana merupakan teks yang berada dalam
situasi tuturan menurut van Dijk wacana adalah teks “dalam konteks”. Dalam wacana
terkandung makna konteks yang lebih luas. Wodak merumuskan wacana sebagai totalitas
interaksi dalam ranah tertentu (misalnya wacana gender). Wacana itu dikuasai secara
sosial dan dikondisikan secara sosial. Untuk tujuan analisis wacana harus dilihat dari tiga
dimensi secara simultan (Fairclough, 1995: 98), yaitu teks-teks bahasa, praktis
kewacanaan, praktis sosialkultural. Menganalisis sebuah wacana secara kritis pada
hakikatnya adalah menganalisis tiga dimensi wacana tersebut sebagai aplikasi dialektis.
Bahasa, Teks, dan Konteks Sosial dalam Analisis Wacana Kritis
Bahasa sebagai Semiotik Sosial
Bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna, seperti tradisi, mata pencaharian,
dan sistem sopan santun, secara bersama-sama membentuk budaya manusia. Dalam proses
sosial ini, konstruk realitas tidak dapat dipisahkan dari konstruk sistem semantis, di
tempat realitas itu dikerjakan. Dalam tingkatan yang sangat konkret, bahasa tidak berisi
kata-kata, klausa-klausa atau kalimat-kalimat, tetapi bahasa berisi teks atau wacana, yakni
pertukaran makna. Dalam konteks interpersonal, konteks tempat makna itu dipertahankan,
sama sekali bukan tanpa nilai sosial. Melalui tindakan makna sehari-hari, masyarakat
memerankan struktur sosial, menegaskan status dan peran yang dimilikinya, serta
menetapkan dan mendefinisikan sistem nilai dan pengetahuan.
Teks
Teks berkaitan dengan apa yang secara aktual dilakukan, dimaknai, dan dikatakan oleh
masyarakat dalam situasi yang nyata. Halliday (1978:40) menyatakan bahwa teks adalah
suatu pilihan semantis data konteks sosial, yaitu suatu cara pengungkapan makna melalui
bahasa lisan atau tulis. Semua bahasa hidup yang mengambil bagian tertentu dalam
konteks situasi dapat disebut teks. Dalam hal ini ada empat catatan mengenai teks yang
perlu dikemukakan sebagai berikut:
1) Teks pada hakikatnya adalah sebuah unit semantis
2) Teks dapat memproyeksikan makna pada level yang lebih tinggi
3) Teks pada hakikatnya sebuah proses sosiosemantis
4) Situasi merupakan faktor penentu teks
Konteks Situasi
Halliday menyebutkan bahwa situasi merupakan lingkungan tempat teks datang pada
kehidupan. Untuk memahami teks dengan sebaik-baiknya diperlukan pemahaman
terhadap konteks situasi dan konteks budaya. Dalam pandangan Halliday, konteks situasi
terdiri dari tiga unsur, yaitu medan wacana, pelibat wacana, dan sarana wacana. Jones
memandang medan wacana sebagai konteks situasi yang mengacu pada aktivitas sosial
yang sedang terjadi serta latar institusional tempat satuan-satuan bahan itu muncul. Dalam
medan wacana terdapat tiga hal yang perlu diungkap, yaitu ranah pengalaman, tujuan
jangka pendek, dan tujuan jangka panjang.
Jones melihat bahwa pelibatan wacana sebagai konteks situasi yang mengacu pada hakikat
hubungan timbal balik antarpartisipan termasuk pemahaman dan statusnya dalam konteks
sosial dan linguistik. Ada tiga hal yang perlu diungkap dalam pelibat wacana, yaitu peran
agen atau masyarakat, status sosial, dan jarak sosial. Ada tiga wacana tentang realitas
sosial, yaitu:
1) Wacana adalah bagian dari aktivitas sosial
2) Representasi, yaitu suatu proses dari praktik-praktik sosial
3) Wacana menggambarkan bagaimana sesuatu terjadi dalam identitas-identitas konstitusi
BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan
Dari uraian dan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Tokoh-tokoh Analisis Wacana yaitu Michel Foucault, Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther
Kress, dan Tony Trew, Theo Van Leeuwen, Sara Mills, Teun A. Van Dijk, dan Norman
Fairclough. Masing-masing dari mereka memiliki cara pendekatan tersendiri dalam
menganalisis suatu wacana. Terdapat empat tokoh yang memiliki pandangan dan
pendekatan yang sama yaitu Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress, dan Tony Trew
(Fowler dkk).
2. Karena wacana sangat kompleks, dan karena struktur ideologis dapat dinyatakan dalam
berbagai cara, sangat berguna untuk memiliki metode praktis ‘heuristic’ untuk menemukan
ideologi dalam teks dan pembicaraan. Setelah diketahui ide dasarnya, maka wacana dapat
dianalisis melalui : arti (konten ideologis), struktur proposisional, struktur formal, struktur
kalimat, retotika, argumentasi, aksi dan reaksi.
3. Untuk memahami teks dengan sebaik-baiknya diperlukan pemahaman terhadap konteks
situasi dan konteks budaya. Dalam pandangan Halliday, konteks situasi terdiri dari tiga
unsur, yaitu medan wacana, pelibat wacana, dan sarana wacana.

II. Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya. Untuk itu masukan-
masukan dan kritik yang konstruktif sangat kami perlukan sebagai bahan perbaikan dan
penyempurnaan ke depan. Namun demikian, kami sangat mengharapkan bahwa makalah
ini nantinya bermanfaat bagi para pembacanya.

DAFTAR PUSTAKA
Badara, Aris. 2012. Analisis wacana Teori, Metode, dan Penerapannya pada Wacana Media.
Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Darma, Yoce, A. 2014. Analisis Wacana Kritis. Bandung : PT. Refika Aditama.

**(Dari berbagai sumber)


Van Dijk

Anda mungkin juga menyukai