Anda di halaman 1dari 25

ANALISIS PUISI PERARAKAN JENAZAH

KARYA HARTOJO ANDANGDJAJA


MENGGUNAKAN STRATA NORMA
KHOFIFAH AISAH AMINI
1810721002
Pendahuluan
Puisi (sajak) sesungguhnya harus dimengerti sebagai struktur norma-norma.
Karya sastra itu tak haya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari
beberapa strata (lapis) norma.
Rene Wellek (1968) dalam Pradodpo (2000: 15), mengemukakan lapis-lapis
norma tersebut, yaitu terdiri dari:
1. Lapis pertama: bunyi
2. Lapis kedua: arti
3. Lapis ketiga: objek-objek
4. Lapis keempat: lapis “dunia”
5. Lapis kelima: lapis metafisis
Puisi “Perarakan Jenazah” karya
Hartojo Andangdjaja
(Bait 1) Kami lempar kembang
Kami mengiring jenazah hitam Bila dara-dara berjengukan
Depan kami kereta mati bergerak pelan Dari jendela-jendela di sepanjang tepi jalan
Orang-orang tua berjalan menunduk diam Lihat, di mata mereka di bibir mereka
Dicekam hitam bayangan Hidup memerah bermerkahan
Makam muram awan muram (Bait 3)
Menanti perarakan di ujung jalan Begitu kami isi jarak sepanjang jalan
(Bait 2) Antara rumah tumpangan dan kesepian kuburan
Tapi kami selalu berebut kesempatan
Kami lempar pandang
Lapis pertama: bunyi
■ Bait 1

“Kami mengiring jenazah hitam” (baris 1)

■ Asonansi pada baris di atas adalah huruf “i” dan “a” karena memiliki jumlah yang sama
banyak pada baris tersebut. Asonansi itu dapat dibuktikan dengan kata kami, mengiring,
jenazah, hitam. Sedangkan aliterasi yang ada pada baris di atas adalah huruf “m” dan “n”
karena memiliki jumlah yang sama banyak. Hal tersebut dibuktikan dengan kata kami,
mengiring, jenazah, hitam.
“Depan kami kereta mati bergerak pelan” (baris 2)

■ Asonansi pada baris di atas adalah huruf “e” dan “a” karena memiliki jumlah yang sama
banyak pada baris tersebut. Asonansi itu dapat dibuktikan dengan kata depan, kami, kereta,
mati, bergerak, pelan. Aliterasinya adalah huruf “k”.

“Orang-orang tua berjalan menunduk diam” (baris 3)

■ Asonansi pada baris di atas adalah huruf “a” karena memiliki jumlah terbanyak pada baris
tersebut. Asonansi itu dapat dibuktikan dengan kata orang-orang, tua, berjalan, diam.
Sedangkan aliterasinya adalah huruf “n”.
“Dicekam hitam bayangan” (baris 4)
■ Asonansi pada baris di atas adalah huruf “a” karena memiliki jumlah terbanyak pada
baris tersebut. Asonansi itu dapat dibuktikan dengan kata cekam, hitam, bayangan.
Sedangkan aliterasi yang ada pada baris di atas adalah huruf “m” dan “n” karena
memiliki jumlah terbanyak dalam baris tersebut. Hal tersebut dibuktikan dengan kata
cekam, hitam, bayangan.
“Makam muram awan muram” (baris 5)
■ Asonansi pada baris di atas adalah huruf “a” karena memiliki jumlah terbanyak pada
baris tersebut. Asonansi itu dapat dibuktikan dengan kata makam, muram, awan,
muram. Sedangkan aliterasi yang ada pada baris di atas adalah huruf “m” karena
memiliki jumlah terbanyak. Hal tersebut dibuktikan dengan kata makam, muram,
muram.
“Menanti perarakan di ujung jalan” (baris 6)

■ Asonansi pada baris di atas adalah huruf “a” karena memiliki jumlah terbanyak pada baris
tersebut. Asonansi itu dapat dibuktikan dengan kata menanti, perarakan, jalan. Sedangkan
aliterasi yang ada pada baris di atas adalah huruf “n” karena memiliki jumlah terbanyak. Hal
tersebut dibuktikan dengan kata menanti, perarakan, ujung, jalan.

■ Pola sajak pada bait pertama ab-ab, yaitu: hitam, pelan, diam, bayangan, muram, jalan.
■ Bait 2
“Kami lempar pandang” (baris 2)
■ Asonansi pada baris di atas adalah huruf “a” karena memiliki terbanyak pada baris
tersebut. Asonansi itu dapat dibuktikan dengan kata kami, lempar, pandang. Sedangkan
aliterasi yang ada pada baris di atas adalah huruf “m”, “n” dan “p” karena memiliki
jumlah yang sama. Hal tersebut dibuktikan dengan kata kami, lempar, pandang.
“Kami lempar kembang” (baris 3)
■ Asonansi pada baris di atas adalah huruf “a” karena memiliki jumlah terbanyak pada
baris tersebut. Asonansi itu dapat dibuktikan dengan kata kami, lempar, kembang.
Sedangkan aliterasi yang ada pada baris di atas adalah huruf “m” karena memiliki
jumlah terbanyak. Hal tersebut dibuktikan dengan kata kami lempar kembang.
“Bila dara-dara berjengukan”
■ Asonansi pada baris di atas adalah huruf “a” karena memiliki jumlah terbanyak
pada baris tersebut. Asonansi itu dapat dibuktikan dengan kata bila, dara-dara,
berjengukan. Aliterasi adalaha huruf “r”.
“Dari jendela-jendela di sepanjang tepi jalan”
■ Asonansi pada baris di atas adalah huruf “a” karena memiliki jumlah terbanyak
pada baris tersebut. Asonansi itu dapat dibuktikan dengan kata dari, jendela-
jendela, sepanjang, jalan. Sedangkan aliterasi yang ada pada baris di atas adalah
huruf “n” karena memiliki jumlah terbanyak. Hal tersebut dibuktikan dengan kata
jendela-jendela, sepanjang, jalan.
“Lihat, di mata mereka di bibir mereka”
■ Asonansi pada baris di atas adalah huruf “a” karena memiliki jumlah terbanyak
pada baris tersebut. Asonansi itu dapat dibuktikan dengan kata lihat, mata, mereka.
Sedangkan aliterasi yang ada pada baris di atas adalah huruf “m” karena memiliki
jumlah terbanyak. Hal tersebut dibuktikan dengan kata mata, mereka.
“Hidup memerah bemerkahan”
■ Asonansi pada baris di atas adalah huruf “e” karena memiliki jumlah terbanyak
pada baris tersebut. Asonansi itu dapat dibuktikan dengan kata memerah,
bermerkahan. Sedangkan aliterasi yang ada pada baris di atas adalah huruf “m”
dan “h” karena memiliki jumlah yang sama. Hal tersebut dibuktikan dengan kata
hidup, memerah, bermerkahan.
■ Bait 3
“Begitu kami isi jarak sepanjang jalan”
■ Asonansi pada baris di atas adalah huruf “a” karena memiliki jumlah terbanyak
pada baris tersebut. Asonansi itu dapat dibuktikan dengan kata kami, jarak,
sepanjang, jalan. Sedangkan aliterasi yang ada pada baris di atas adalah huruf “j”
karena memiliki jumlah terbanyak. Hal tersebut dibuktikan dengan kata jarak,
sepanjang, jalan.
“Antara rumah tumpangan dan kesepian kuburan”
■ Asonansi pada baris di atas adalah huruf “a” karena memiliki jumlah terbanyak
pada baris tersebut. Asonansi itu dapat dibuktikan dengan kata antara, rumah,
tumpangan, dan, kesepian, kuburan. Sedangkan aliterasi yang ada pada baris di
atas adalah huruf “n” karena memiliki jumlah terbanyak. Hal tersebut dibuktikan
dengan kata antara, tumpangan, dan, kesepian, kuburan.
■ Dari analisis di atas dapat diketahui bahwa asonansi terbanyak yang ada pada puisi
tersebut adalah vokal “a”. Sedangkan aliterasi yang terbanyak pada puisi tersebut
adalah konsonan “m” dan “n”.
Lapis kedua: arti

Kita mulai dari judul puisi, yaitu: “Perarakan Jenazah”. Perarakan jenazah dapat
dikatakan adalah suatu prosesi yang sering kita temukan dikehidupan sehari-
hari. Saat ada orang yang meninggal, banyak orang yang mengiring jenazahnya
untuk dikubur. Biasanya perarakan jenazah dilakukan dari rumah jenazah
menuju ke kuburan. Disebut perarakan karena banyak orang yang mengiringi
jenazah tersebut menuju ke kuburan atau makam yang akan menjadi tempat
jenazah selanjutnya.
■ Isi puisi

■ “Kami mengiring jenazah hitam”, kalimat ini bermakna jenazah yang dibawa itu adalah
jenazah yang tidak luput dari kesalahan (dosa) semasa hidupnya. Ditandai dengan kata
“hitam” yang bermakna kelam, hal yang jelek atau kesalahan.

■ “Depan kami kereta mati bergerak pelan”. Kata “kami” di sini, berarti orang-orang pengiring
jenazah. Mereka berada di belakang “kereta mati” yang dapat diartikan keranda yang
berjalan menuju kuburan. Dan para pengiring mengikuti keranda tersebut (tempat
membawa orang mati).
■ “Orang-orang tua berjalan menunduk diam”. Orang-orang tua yang mengiringi jenazah
itu menunduk diam karena mengingat umur mereka. Saat melihat kematian, orang yang
berusia lanjut akan merasa bahwa ia juga akan mengalaminya dalam waktu yang tak
lama lagi. Kata “menunduk diam” menunjukkan bahwa banyak orang tua yang
merenung bahwa gilirannya (kematiannya) tidak lama lagi.
■ “Makan muram awan muram”. Menggambarkan suasana yang sedih atau berduka. Dalam
kehidupan sehari-hari, masyarakat sering menghubungkan awan mendung dengan suasana
berduka.

“Tapi kami selalu berebut kesempatan”

“Kami lempar pandang”

“Kami lempar kembang”

■ Potongan puisi pada bait kedua itu memiliki makna bahwa orang-orang yang mengiringi
jenazah itu ke pemakaman sering berebut untuk melempar pandang ke arah jenazah
karena rasa penasaran tentang suatu kematian. Selain itu, orang-orang yang mengiringi juga
berebut untuk melempar kembang, yang biasanya ditaburi bunga di atas kuburannya.
“Bila dara-dara berjengukan”
“Dari jendela-jendela di sepanjang tepi jalan”
“Lihat, di mata mereka di bibir mereka”
“Hidup memerah bermerkahan”
■ Berarti saat jenazah dibawa ke pemakaman dan melewati jalan yang panjang, banyak
orang yang melihat. Kata “dara-dara” pada puisi itu menunjukkan orang-orang yang
masih muda. Saat melihat kematian, berbeda dengan orang tua, orang yang masih
muda tidak langsung merenungi hidupnya dan mereka pun tidak membicarakan
bagaimana kematian mereka. Hal tersebut diperjelas dengan kalimat “hidup memerah
bermerkahan”, baris ini menjelaskan bahwa orang-orang yang masih muda biasanya
tidak memikirkan kematian. Kata “memerah bermerkahan” berarti sesuatu yang baru
akan dimulai atau sesuatu yang masih panjang perjalannya. Orang yang masih muda
diibaratkan hidupnya memerah bermerkahan atau penuh dengan semangat. Saat
melihat suatu kematian, orang-orang muda menganggap bahwa hidupnya masih
panjang dan harus memiliki semangat untuk melaluinya.
“Begitu kami isi jarak sepanjang jalan”

“Antara rumah tumpangan dan kesepian kuburan”

■ Potongan puisi di atas adalah bait terakhir yang menjelaskan pengiringan jenazah telah
selesai karena jenazah telah dikuburkan. Dan pada baris terakhir dibuat penekanan, bahwa
ada sebuah jarak antara orang-orang yang mengarak jenazah dengan jenazah itu sendiri,
yaitu dunia dan akhirat. Kata-kata “rumah tumpangan” yang berarti dunia, dan “kesepian
kuburan” berarti akhirat.
Lapis ketiga: objek

■ Lapis ketiga berupa objek-objek yang dikemukakan pada puisi, latar, pelaku,
dan dunia pengarang.
■ Objek-objek yang dikemukakan: jenazah, orang-orang tua, dara-dara (orang
muda), awan, makam, kuburan, kembang, jalan, dan jendela.
■ Pelaku atau tokoh: si kami (orang-orang pengiring jenazah), orang-orang tua,
dan dara-dara (orang-orang muda).
■ Latar waktu: waktu siang menjelang sore, berawan atau mendung (awan
muram). Latar tempat: di sepanjang jalan (di jalan menuju kuburan). Latar
suasana: berduka, hening.
■ Dunia pengarang adalah sesuatu yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Pengarang yang sebagai masyarakat sosial, tentunya mengetahui bahwa mengurus jenazah
adalah merupakan kewajiban bagi sesama manusia. Diiringi oleh masyarakat, jenazah itu
dibawa ke tempat peristirahatannya (kuburan), dan sebelumnya telah diurus terlebih dahulu
oleh masyarakat juga (dimandikan, dikafani, disholatkan, dsb). Kematian yang dialami oleh
manusia sering dijadikan sebagai renungan bagi manusia yang masih hidup, terkhusus
orang-orang tua, bahwa kematian itu pasti adanya. Melihat jenazah itu dimasukkan ke
peristirahatan terakhirnya membuat orang-orang yang melihatnya berpikir, “Saya juga akan
berada di sana (kuburan)”.
Lapis keempat: lapis “dunia”

■ Lapis “dunia” adalah sesuatu yang tidak usah dinyatakan, tetapi sudah implisit, tampak
sebagai berikut.

■ Pada bait pertama pembaca merasakan suasana yang begitu berduka; keheningan.
Ditandai dengan kata-kata “bergerak pelan” (baris kedua), “menunduk diam” (baris
ketiga), dan kata-kata “awan muram” (baris kelima) membuat suasana duka semakin
terasa.
■ Bait kedua, menurut sudut pandang pembaca, jenazah yang diantar ini banyak
mengundang perhatian warga/masyarakat di sepanjang jalan menuju pemakaman.
Ditandai dengan kata-kata “kami selalu berebut kesempatan” “kami lempar pandang”
“dari jendela-jendela di sepanjang tepi jalan” menunjukkan bahwa banyak orang yang
melihat atau memperhatikan perarakan jenazah ini.

■ Bait ketiga adalah penyelesaian. Seperti memberi suatu kesimpulan atau pesan akhir
dari puisi ini kepada pembaca bahwa “jarak kematian dengan kita begitu dekat”.
Lapis kelima: lapis metafisis

Lapis kelima adalah lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi.


Dalam puisi ini lapis itu berupa perenungan hidup; yaitu hidup itu sementara, dan
kematian itu pasti adanya. Kematian tidak pilih-pilih kepada siapa yang lebih
dahulu didatanginya, baik tua maupun muda, kematian itu selalu mengikuti setiap
manusia bernyawa.
KESIMPULAN

Melalui analisis strata norma, kita dapat mengetahui bahwa puisi Perarakan
Jenazah karya Hartojo Andangdjaja ini terdiri dari strata atau struktur norma-
norma. Norma-norma yang dipahami sebagai norma implisit yang harus ditarik dari
setiap individu karya sastra dan bersama-sama merupakan karya sastra yang
murni sebagai keseluruhan, yaitu berupa bunyi, arti, objek-objek, lapis “dunia”, dan
metafisis yang terdapat dalam sebuah puisi.
Terima kasih

Anda mungkin juga menyukai