Anda di halaman 1dari 25

Analisis stilistika

1. AKU BERKACA..
Ini muka penuh luka

Siapa punya?

Ku dengar seru menderu

Dalam hatiku

Apa hanya angin lalu?

Lagi lain pula

Menggelepar tengah malam buta

Ah..!!!

Segala menebal, segala mengental

Segala tak ku kenal..!!!

Selamat tinggal…!!

1.kita bisa melihat kalau kata “ berkaca” berima dengan kata “luka” dan juga
“punya”, dalam setiap baris yang memiliki pola rima yang sama. Seperti baris 4 dan
6, dimana kata “menderu”, “hatiku” dan juga”lalu”.

Majas : Tejadinya penggantian arti karena digunakannya bahasa kiasan di dalam


karya sastra. Kata-kata yang digunakan oleh puisi itu mengganti makna yang lain.
Seperti penggunaan majas metafora, metonimia, personifikasi, dan lain-lain.
            Dalam Puisi Selamat Tinggal, penggantian arti dapat ditemukan pada baikt ke
II baris pertama dan kedua Ini muka penuh luka, Siapa punya ? ini muka penuh
luka adalah metafora dalam baris tersebut, karena bermakna sesuatu yang tidak lagi
indah, siapa punya ? bermakna kebimbangan bahwa sesuatu yang tidak lagi indah itu
milik siapa?

            Pada bait ke III kudengar seru menderu, dalam hatiku ? maksudnya adalah


tokoh aku sedang mengalami kebimbangan akan apa yang ia rasakan sebenarnya.
Pada bait ke VI segala menebal, segala mengental segala tak kukenal…!! Selamat
tinggal, dalam baris ini menggunakan paralelisme (gaya bahasa penegasan yabg
berupa pengulangan kata pada baris). Hal tersebut bermakna bahwa semuanya telah
menyatu menjadi satu dan tak dikenali lagi oleh si aku dan ia mengucapkan selamat
tinggal untuk semua yang tidak dikenali itu.

bahasa figuran atau bahsa berkias yang ada di dalam puisi diatas memiliki majas yaitu
pada bait “ini muka penuh luka” pada puisi tersebut merupakan majas personofikasi
yaitu mengumpamakan benda mati sebagai benda hidup, dimana “muka” sebagai
benda mati diumpamakan sebagai kehidupan seseorang.

rima: pola bunyi pada puisi tersebut adalah persamaan akhir, persamaan awal,
berselang dan terdsapat persamaan pada akhir bait . 1.kita bisa melihat kalau kata “
berkaca” berima dengan kata “luka” dan juga “punya”, dalam setiap baris yang
memiliki pola rima yang sama. Seperti baris 4 dan 6, dimana kata “menderu”,
“hatiku” dan juga”lalu”.

contoh:

Devisiasi: penyimpangan bahasa terrdapat bunyi ah/ yang mungkin di kamus tidak
terdapat arti tersebut tetapi di dalam astra saya mengartikannya seperti pemalas.setiap
pengarang ingin bertanya, memrintrah, meninggikan atau menaikkan suatu nada
bunyi banyak sekali memberikan tada baca titik, koma, tanda seru, dan tanda tanya
yang menurut saya berlebihan teteapi kembali lagi dalam sastra itu sah-sah saja
contoh: dalam hatiku?, ah?, segala takku kenal!!, selamat tinggal!!

Dan saya menemui kata “takku kenal” tetapi secara penulisan yang baik adalah dalam
bahasa indonesia “tak aku kenal” tetapi sang penyair punyaca cara tersendiri
menyampaikannya dan itu tidak ada salah dalam karya sastra.

Asonansi : misalnya dalam bait pertana baris pertama ada asonansi munculnya bunyi
vokal u dan a “aku berkaca”. Begitu juga pada bari keempat ada asonansi u “seru-
menderu”, baris ke lima dan keenam dijumpai kata “ hatiku-lalu”asonansi u. Dan pola
akhiran bait ke 123, dan 4 yang bersajak :aaa

Diksi : diksi yaitu kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena
puisi adalah bentuk karya sastra sedikit kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka
kata-katanya harus dipilih secermat mungkin, keselarasan bunyi urutan kata
“menggelepar tengah malam buta” keselarasan bunyi itulah yang jauh lebih indah.
Berdiri Aku
Berdiri aku di senja senyap
Camar melayang menepis buih
Melayah bakau mengurai puncak
Berjulang datar ubur terkembang
Angin pulang menyeduk bumi
Menepuk teluk mengempas emas
Lari ke gunung memuncak sunyi
Berayun
-
ayun di atas alas
Benang raja mencelup ujung
Naik merak mengerak corak
Elang leka sayang tergulung
Dimabuk warna berarak
-
arak.
Dalam rupa maha sempurna
Rindu
-
sendu mengharu kalbu
Ingin datang merasa sentosa
Menyecap hidup tertentu tuju

Analisis

Asonansi:
Dalam puisi Berdiri Aku, banyak dijumpai gaya bahasa asonansi. Gaya
bahasa asonansi ini cukup mendominasi puisi Berdiri Aku. Hampir di setiap
baris dijumpai gaya bahasa asonansi. Baris 1 terdapat perulangan bunyi vokal
é dan i, Berdiri aku disenja senyap.Baris 2 terdapat perulangan a dan é, Camar
melayang menepis buih. Baris 3 terdapat perulangan bunyi a dan u, Melayang
mengurai puncak. Baris 4 terdapat perulangan bunyi édan a, yaitu Berjulang
datar ubur terkembang. Baris 5 terdapat perulangan bunyi é, Angin pulang
menyeduk bumi. Baris 6 juga terdapat perulangan bunyi é, Menepuk teluk
mengempas emas.
Baris 7 terdapat perulangan bunyi u, Lari ke gunung memuncak sunyi. Baris 8
terdapat perulangan bunyi a, Berayun-ayun di atas alas. Baris 9 terdapat
perulangan bunyi é dan a, Benang raja menelup ujung. Baris 10 terdapat
perulangan bunyi adan é, Naik marak mengerak corak. Baris 11 terdapat
perulangan bunyi é dan a,
Diksi : dalam puisi amir hamzah ini dia selalu membuat kata dengan konotasi dan
menggunakan kata arkik sehingga pembaca merasa bernolstalgia dengan kata-kata
dalam tulisannya, kata-kata seperti senyap, mengempas, berayun-ayun,
Kata senyap tergolong atau edentik dengan kesunyian. Kata-kata tersebut
membentuk makna kesendirian yang ingin digamparkan oleh penyair.
Kata “maha sempurtna” dalam aikhir bait juga asrti konotasi dari tuhan yang maha
sempurna. Kata “mengecap” memiliki arti impian yang ingin dirasakan . bermain
kata-kata yang digunakan yang ditulis memang sebuah misteri atau teka-teki
tersendiri untuk menutupi atau menyembunyikan ide dan maksud pengarang yang
sebenarnya. Kemisterian ini bertambah dengan pilihan kata arkik seperti “marak” dan
leka “, “marak itu berarticahaya sengkan leka berarti lengah atau lalai. Walaupun
kata-kata itu sudah tidak digunkan lagi dalam percakapan sehari-hari, tetapi bisa saja
kata itu masih digunakan amir hamzah pada saat membuatnya puisi ini, terdapat kata
dalam bahasa daerah “alas”yang berasal dari bahasa jawa yang berati hutan

(a) Majas: * bahasa kiasan


Seperti halnya puisi lama pemilihan kata bahasa memang sangat diperlukan
untuk memperindah kata-katanya sehingga makna yanag diberikan bisa lebih
kaya dan dalam. Dalam puisi berdiri aku yang menonjol adalah adanya
personifikasi:
Melayah bakau mengurai puncak
Angin mulai menyejuk
Menumpuk teluk mngempas emas
Lari ke gunung memuncak sungai
Berayun-ayun diatas alas
Naik marak menyerak corak

Dalam puisi tersubut amir hamzah menghidupkan ombak dan angin yang
bertujuan ingin menambah rasa kesunyian dan kesendirian penyair. Seperti
halnya denan mengagumi ombak menerpa pohon-pohon bakau serta desir
aingin yang menyempakkan semuanya terlihat kalau penyair benar-bejnar
merasa sepi dan hamya mampu melihat memandangan sekitarnya.

Selain personifikasi ada juga gaya lain yaitu metefora yang terlihat dari
kalimat benang raja mencelup ujung dan dalam rupa maha sempurna, penyair
membandingkan apa yang dilihat dan dialami dengan kata “benang raja” dan
“maha sempurna”. Hiperbola juga nampak dalam kalimat rindu-sendu
mengharu kalbu yang menggambarkan kesedihan atau rindu yang benar-benar
mendalam. Gaya bahasa yang dogunakan makna puisi itu lebih mendalam
lebih padat
Alitrasi: seperti menjulang-datang, menumpuk teluk, mengempas emas, diatas
alas, naik marak meyerak corak serta
Pada bait kedua baris pertama ada aliterasi k dan s: Menepuk teluk, menepas
emas; pada baris keempat ada aliterasi s: atas alas; bait kedua bersajak ab-ab:
ia-ia. Pada bait keempat baris pertama ada aliterasi e dan n: Benang raja
mencelup ujung,

Asonansi : serta asonansi dalam rupa maha sempurna, rindu-sendu mengharu kalbu,
merasa sentosa, bertentu tuju. Huruf dan kalimat tersebut dapat menimbulkan kesan
waluapun banyak bunyi tidak terlalu merdu dengan adanya k, p, t, dan s
Pada bait pertama baris pertama ada asonansi a secara berturut-turut: senja senyap;
pada baris kedua ada asonansi a dan i: camar-melayang, menepis-buih; ada aliterasi g:
berjuang datang terkembang; sajak pada baris kedua berbeda dengan sajak pada baris
pertama, ketiga dan keempat.
asonansi a dan u: Benang-raja, mencelup-ujung; baris kedua ada aliterasi k: naik
marak mengerak corak; pada baris ketiga ada aliterasi e, l, a: Elang leka, asonansi
a: Elang leka sayap; pada baris ketiga ada aliterasi k: Dimabuk berarak-
arak; bersajak ab-ab: ua-ua.

Pada bait kelima baris pertama ada asonansi a: Dalam-warna-mahasempurna; pada


baris kedua ada asonansi u: Rindu sendu mengharu kalbu, aliterasi n dan d: Rindu
sendu; pada baris ketiga ada asonansi a: datang-merasa-sentosa; pada baris keempat
ada asonansi u: menyecup-hidup-bertentu-tuju; bersajak ab-ab: au-au. Pada umumnya
puisi ini bunyi-bunyi yang dominan adalah vokal bersuara berat a dan u, seperti pada
bait ketiga dan keempat.

Banayak pengulangan huruf vokal.


Devisiasi

Baris pertama: “berdiri aku disengaja senyap” kesalahan dalam kalimat kebahasaan
yang sesuai dengana aturan semantik yang dimana yang biasanya orang berdiri di
suatu tempat bukan dengan menampahkan keadaan atau kata”senyap” disana,
sehingga relasi makna tidak singkron.

Baris kedua “camar melayang menepis buih” yang diamana seekor burung camar
yang terbang tapi dalam puisi tersebut menggunakan kata malayang, dan bagaimana
caranya seekor burung camar terhindar dari buih yang dimana kita ketahui bersama
bahwa buih adalah pencara. Relasi makna dan kegunaaan kata seperti tidak mungkin
seekor hewan menghindari penjara yang diman penjara terkenal dengan perbuatan
kriminal

Dari bait 2 dalam 7 baris tersebut kebanyakkan menggunakan kata-kata yang isa
dikatan menyimpang dari kekamusan bahasa Indonesia tetapi dalam sastra itu tidak
ada masalah.

Terakhir dari bait ke 2 baris ke 5 terakhir”dimabuk warna berarak” kata mabuk


biasannya berkaitan dengan minuman yang beralkohal< dan juga warna yang biasa
kita ketahui tidak ada warna berarak. Tetapi dalam puisi ini ada seseorang yang
mabuk tanpa alhokohol melainkan mabuk dengan warna berarak
GATOLOCO

Aku bangun dengan 7.000.000 sistim matahari


bersatu pada suatu pagi.

Beri aku es! Teriakku.


Tiba-tiba kulihat Kau di sudut itu.

Keringatku tetes. Gusti, apakah yang telah terjadi?


“Tak ada yang terjadi. Aku datang kemari.”

Memang kamar seperti dulu kembali.


Kulihat kusam sawang pada kisi-kisi.

Kulihat bekas hangus, tahi tikus.


Kulihat mata kelelawar.

Kulihat puntung separuh terbakar.


Kulihat hitam kayu oleh lampu, dan wajahku
pada kaca almari itu.

Tapi di luar tak ada angin, hanya awan lain.


Tak ada getar, hanya gerak. Tak ada warna,
hanya cahaya. Tak ada kontras, hanya ...

“Jangan cemas,” gurau-Mu. “Aku tak ‘kan menembakkan pistol


ke pelipismu yang tolol.”

Tapi Kau datang kemari untuk menggugatku.


“Jadi kau tahu Aku datang untuk menggugatmu.”

Mimpikah aku? Mengapa tak tenang tempurung kepala


oleh celoteh itu?
“Celoteh dan cerewetmu!” tiba-tiba Kau menudingku.

Sesaat kudengar di luar gerimis kosong, sekejap


lewat bukit yang kosong. Sesaat kudengar suaraku.

Ah, kefasihanku. Tiba-tiba aku membenci itu.


Aku memang telah menyebut nama-Mu.
“Kau tak menyebut nama-Ku, kau menyebut namamu.”
Makin suram kini suara-Mu.

Hei, berangkatlah dari sini! Aku tahu ini hanya mimpi!


“Tidak. Ini bukan mimpi.”

Kalau begitu inilah upacara-Mu.


“Benar, inilah upacara-Ku.”

Ya, barangkali aku telah tak peduli selama ini.


Tapi apakah yang Kau kehendaki? Mengembalikan posisiku
pada debu, kembali?

“Tidak. Tapi pada kolong dan kakerlak, pad kitab


dan kertas-kertas dan kepinding yang mati setiap pagi hari.
Padamu sendiri.”
Kini aku tahu. Aku milik-Mu.
“Dan Aku bukan milikmu.”

Aku memang bukan santri, bukan pula ahli.


“Mengapa kau kini persoalkan perkara itu lagi?
Kau hanya pandai untuk tak mengerti.”

Oke. Kini aku mencoba untuk mengerti. Ternyata Kau tetap


ingin mengekalkan teka-teki dan mengelak dari setiap ujung
argumentasi. Tapi mengapa Kau tetap di sini?

“Sebab Kulihat matamu basah dan sarat.”


Ah, begitukan yang Kau lihat?

Kulihat memang garis-garis yang kuyup bertemu dengan


garis-garis yang kuyup. Butir-butir yang miskin berkeramas
dalam butir yang miskin. Ada baris-baris buram,
seolah kelam terkena oleh bulan.

Dan kurasa angin terjirat. Kudengar hujan yang gagal.


Langit berat. Dan panas lembab dalam ruang yang sengal.

“Agaknya telah sampai batasmu.”


Aku tahu.
“Artinya dari kamar ini kau tak akan berangkat lagi.”
Artinya dari kamar ini mungkin aku tak akan berangkat lagi.

“Kau tak bisa lagi memamerkan-Ku.”


Aku tak bisa lagi memamerkan-Mu.

Tak bisa berkeliling, seperti penjual obat, seperti pendebat.”


Tak bisa lagi berkeliling.

“Tak bisa lagi bersuara tengkar dari seminar ke seminar,


memenangkan-Ku, seperti seorang pengacara. Sebab kau hanya
pengembara, yang menghitung jarak perjalanan, lelah tapi
pongah, dengan karcis dua jurusan.

Sebab aku hanya seorang turis, tak lebih dari itu?


Gusti, beranjaklah dari sini. Telah Kau cemoohkan tangis
pada mataku.

1973

Analisis : Homolog adalah kesejajaran atau keseimbangan arti antara bait dengan
bait, baris dengan baris, atau antara baris dengan bait. Menurut Pradopo (1993: 220),
kegunaan korespondensi adalah untuk menambah kegabusan sajak menggunakan
perulangan susunan baris sajak pada baris lain. Sementara itu, Riffaterre (1978: 61)
menyebut perulangan sebagai tanda gramatikan yang abstrak.

...
Kulihat bekas hangus, tahi tikus.
Kulihat mata kelelawar.

Kulihat puntung separuh terbakar.


Kulihat hitam kayu olehg lampu, ...
...

“Artinya dari kamar ini kau tak akan berangkat lagi.”


Artinya dari kamar ini mungkin aku tak akan berangkat
lagi.

“Kau tak bisa lagi memamerkan-Ku.”


Aku tak bisa lagi memamerkan-Mu.
“Tak bisa berkeliling, ...
Tak bisa berkeliling.

Kutipan di atas menunjukkan kesejajaran dalam bentuk perulangan kata. Perulangan


itu memiliki maksud menekankan makna yang terkandung di dalam baris-baris
tersebut.
Kesejajaran makna lainnya terdapat juga dalam penggunaan kata “celoteh”,
“suaraku”, dan “kefasihanku”. Ketiganya menunjukkan arti yang sama, yaitu
kepandaian, kecerdasan, dan pikiran-pikiran tokoh yang mengganggu dan
menyesatkan.

Rima:
Rima adalah perulangan bunyi dan salah satu sifat yang membedakan puisi dengan
prosa (Riffaterre, 1978: 127). Bentuk perulangan bunyi yang berturut-turut dan
menimbulkan orkestrasi bunyi yang indah itulah yang disebut rima. Rima dalam puisi
Gatoloco ini berbentuk rima baris, rima bait, dan rima antarbait.

a. Aku bangun dengan 7.000.000 sistim matahari


bersatu pada suatu pagi.

b. Beri aku es!


...
Keringatku tetes.

c. Kulihat bekas hangus, tahi tikus.

d. Aku memang telah menyebut nama-Mu.

e. Kulihat hitam kayu oleh lampu, dan wajahku

Kutipan-kutipan di atas, menunjukkan penggunaan perulangan bunyi atau rima. Rima


akhir terdapat pada kutipan a di atas, yaitu perulangan bunyi /i/ di akhir baris. Bait
lain yang menunjukkan rima akhir adalah bait 2, 3, 4, 9, 15, 18, 20, 21, 24, dan 25.
Kutipan b menunjukkan rima antar bait, yaitu perulangan bunyi /e/ di akhir bait.
Perulangan ini juga terdapat pada bait ke-5 baris kedua dengan bait ke-6 baris
pertama.
Kutipan c menunjukkan penggunaan rima tengah. Perulangan bunyi terdapat di
tengah baris dengan akhir baris. Bentuk rima yang sama terdapat pula pada bait ke-3
baris kedua.
Alitrasi:
Kutipan d menunjukkan perulangan bunyi konsonan yang disebut aliterasi, yaitu
bunyi /m/. Sementara kutipan e

Asonansi: yaitu bunyi /a/ dan /u/.


Selain membangun unsur estetik sebuah puisi, rima juga turut membangun suasana
puisi. Di samping itu, rima juga mendukung makna yang disampaikan penyair.

devisiasi: jika saya disuruh untuk menganalisis kesalahan kebahasan yang ada pada
puisi karya Goenawan muhammad sudah nampak jelas pada bait 1 baris 1 ada kalimat
“Aku bangun dengan 7.000.000 sistim matahari”yang sama-sama kita ketahui di
dalam dunia ini kita mempunyai 1 sistem matahari tetpi disini menggambarkan
banyak bahkan jutaan sistem matahari yang di tulis.

Ada juga terdapat menggunakan tanda tanya nampa adanya kata tanya.

diksi:

diksi-siksi yang digunakan Goenawan muhammad seperti katanya seperti teka-teki


atau jebakan setelah kita membaca kata perkatanya pembaca seakan merasa tidak bisa
keluar dari sana dan terutama yang bukan etnis jawa akan merasa kebingungan
dengan diksi yang disajikan bahwa tidak bisa mengerti apa yy\ang dimaksud seakan
sengajak membuat para pembaca nyasar dan gagal masuk dalam puisi itu, ibarat
tamu yanga akn datang kerumah tetapi tidak bisa menikmati hidangan ruh puisi yang
disajikan di ruang tamu.

majas: ada gaya bahasa personifikasi yang digunakan adalah simbol seksual itu
kemudian digunakan untuk melukiskan adegan persetubuhan atau proses
persetubuhan asas lelakian atau menyiratkan bahwa dalam penyampaian ajaran
tasawuf menggubakan simbol seksual untuk mengngkapakan penyatuan manusia
dengana degan bersetubuh

terdapat metofo

Hutan Kelabu Dalam Hujan


( Karya Sapardi Djoko Damono)
hutan kelabu dalam hujan
lalu kembali kusebut kau pun kekasihku
langit dimana berakhir setiap pandangan
bermula keperihan, rindu itu
temaram temasa padaku semata
memutih dari seribu warna
hujan senandung dalam hutan
lalu kelabu, mengabut nyanyian
( dikutip dalam Sayuti, 2003: 12)
) Perimaan
Alitrasi:
Berdasarkan puisi Hutan Kelabu Dalam Hujan tersebut diperoleh gambaran yang
jelas mengenai variasi aliterasi yang berbeda-beda. a. Bait I baris pertama dijumpai
variasi bunyi konsonan sengau /n/, /m/, /n/ “hutan kelabu dalam hujan”. Baris kedua
berupa variasi konsonan /k/ “lalu kembali kusebut kau pun kekasihku. b. Bait II baris
pertama menunjukkan variasi konsonan /t/ “temaram temasa padaku semata”. Baris
kedua konsonan /r/ “memutih dari seribu warna”. Serta baris ketiga kembali lagi
aliterasi konsonan sengau /n/, /ng/, dan /m/ “hujan senandung dalam hutan” c. Pada
puisi tersebut terdapat juga rima silang a-b-a-b. Bait I dijumpai rima berkonsonan /n/
pada baris pertama dan ketiga. Serta bunyi rima bervokal /u/ pada baris kedua dan
keempat. hutan kelabu dalam hujan lalu kembali kusebut kau pun kekasihku langit
dimana berakhir setiap pandangan bermula keperihan, rindu itu d. Pada puisi tersebut
terdapat juga rima kembar a-a-b-b pada bait II. Pada baris pertama dan kedua,
dijumpai rima bervokal /a/. Pada baris ketiga dan keempat, dijumpai rima
berkonsonan /n/. temaram temasa padaku semata memutih dari seribu warna hujan
senandung dalam hutan lalu kelabu, mengabut nyanyian
Diksi
Di dalam puisi tersebut, Sapardi Djoko Damono menggunakan diksi untuk
memperindah dan memperkuat puisinya. Pada bait pertama terdapat diksi berupa kata
kelabu yang diungkapkan pengarang sebagai keadaan hutan yang gundul. Serta kata
kekasihku yang menggambarkan hutan, bagi pengarang hutan adalah sesuatu yang
disayanginya.
hutan kelabu dalam hujan
lalu kembali kusebut kau pun kekasihku
Pada bait kedua, terdapat diksi temaram yang menggambarkan keadaan pengarang
yang merasakan suatu kemuraman ketika berada dalam hutan tersebut. Ada juga
katamemutih dari seribu warna, yang berarti hutan yang begitu indah telah berubah.
Kata
memutih mengungkapkan bahwa ketika berada di dalam hutan tersebut yang terlihat
hanya
awan putih karena hutan indah tersebut telah menjadi hutan yang lapang tanpa
pepohonan.
Lalu kata senandung dari baris puisi hujan senandung dalam hutan yang dimaksud
pengarang adalah suara hujan di dalam hutan itu. Lalu kelabu, mengabut nyanyian
lalu, suara
yang terdengar hanya berupa kemuraman dan kesuraman.

Kata-kata Konkret
Untuk memperjelas kesedihan yang dialami pengarang, ada beberapa kata yang
dikonkretkan, seperti kelabu, keperihan, temaram, dan mengabut. Pengarang
memperjelas keadaan hutan tersebut pada baris ketiga pada bait pertama langit
dimana berakhir setiap pandangan. 4) Bahasa Figuratif a. Metafora, terletak pada
larik “lalu kembali kusebut kau pun kekasihku” b. Paradoks, terletak pada larik
“memutih dari seribu warna” c. Personifikasi, terletak pada larik “hujan senandung
dalam hutan” Selain menganalisis unsur stilistika, penulis juga akan menganalisi
unsur batin puisi tersebut, yang meliputi tema, perasaan, nada dan amanat. Namun,
sebelum menganalisis unsur batin puisi itu.. Salah satu cara agar pembaca mudah
memahami makna sebuah puisi, ialah dengan memparafrasekan puisi tersebut. Untuk
itu, puisi Hutan Kelabu dalam Hujan ini, akan di parafrasekan terlebih dahulu  
hutan[ku] [kini menjadi] kelabu [dan sedang berada] dalam hujan lalu [kemudian]
kembali kusebut kau pun [sebagai] kekasihku [wahai hutan] [dan] langit dimana[-
mana terlihat], [selalu] berakhir [pada langit di]setiap pandanganku [Yang] bermula
[dari sebuah] keperihan, rindu itu [kini hadir dihatiku] [hanya] temaram [pada]
temasa [yang hadir] padaku semata [hutanku yang hijau kini] memutih dari seribu
warna [yang indah] [kini] hujan [sedang ber]senandung dalam hutan lalu [semuanya
menjadi] kelabu, mengabut[kan] nyanyian [bahagia di hatiku]
4) Bahasa Figuratif
a. Metafora, terletak pada larik “lalu kembali kusebut kau pun kekasihku”
b. Paradoks, terletak pada larik “memutih dari seribu warna”
c. Personifikasi, terletak pada larik “hujan senandung dalam hutan”
Selain menganalisis unsur stilistika, penulis juga akan menganalisi unsur batin puisi
tersebut, yang meliputi tema, perasaan, nada dan amanat. Namun, sebelum
menganalisis
unsur batin puisi itu.. Salah satu cara agar pembaca mudah memahami makna sebuah
puisi,
ialah dengan memparafrasekan puisi tersebut. Untuk itu, puisi Hutan Kelabu dalam
Hujan
ini, akan di parafrasekan terlebih dahulu

hutan[ku] [kini menjadi] kelabu [dan sedang berada] dalam hujan


lalu [kemudian] kembali kusebut kau pun [sebagai] kekasihku [wahai hutan]
[dan] langit dimana[-mana terlihat], [selalu] berakhir [pada langit di]setiap
pandanganku
[Yang] bermula [dari sebuah] keperihan, rindu itu [kini hadir dihatiku]
[hanya] temaram [pada] temasa [yang hadir] padaku semata
[hutanku yang hijau kini] memutih dari seribu warna [yang indah]
[kini] hujan [sedang ber]senandung dalam hutan
lalu [semuanya menjadi] kelabu, mengabut[kan] nyanyian [bahagia di hatiku

PESAN PENCOPET PADA PACARNYA

Sitti,
kini aku makin ngerti keadaanmu
Tak‘kan lagi aku membujukmu
untuk nikah padaku
dan lari dari lelaki yang miaramu (melamarmu)

(Lelawa terbang berkejaran


tandanya hari jadi sore.
Aku berjanji di kamar mandi 
tubuhku yang elok bersih kucuci. 
O, abang, kekasihku
 kutunggu kau di tikungan
 berbaju renda 
berkain biru).

Nasibmu sudah lumayan.


Dari babu dari selir kepala jawatan.
Apalagi?
Nikah padaku merusak keberuntungan.
Masa depanku terang repot.
Sebagai copet nasibku untung-untungan.
Ini bukan ngesah.
Tapi aku memang bukan bapak yang baik
untuk bayi yang lagi kau kandung.

(Lelawa terbang berkejaran


tandanya hari jadi sore. 
Mentari nggeloyor muntah di laut 
mabuk napas orang Jakarta. 
O, angin. 
O, abang. 
Sarapku sudah  gemetar 
menanti lidahmu
‘njilati tubuhku)

Cintamu padaku tak pernah kusangsikan.


Tapi cinta cuma nomor dua.
Nomor satu carilah keselametan.
Hati kita mesti ikhlas
berjuang untuk masa depan anakmu.
Janganlah tangguh-tangguh menipu lelakimu.
Kuraslah hartanya.
Supaya hidupmu nanti sentosa.
Sebagai kepala jawatan lelakimu normal
suka disogok dan suka korupsi.
Bila ia ganti kau tipu
itu sudah jamaknya.
Maling menipu maling itu biasa.
Lagi pula
di masyarakat maling kehormatan cuma gincu.
Yang utama kelicinan.
Nomor dua keberanian.
Nomor tiga keuletan.
Nomor empat ketegasan, biarpun dalam berdusta.
Inilah ilmu hidup masyarakat maling.
Jadi janganlah ragu-ragu.
Rakyat kecil tak bisa ngalah melulu.

(Lelawa terbang berkejaran


tandanya hari jadi sore.  
Hari ini kamu mesti kulewatkan 
kerna lelakiku telah tiba. 
Malam ini 
badut yang tolol bakal main acrobat 
di dalam ranjangku).

Usahakan selalu menanjak kedudukanmu.


Usahakan kenal satu menteri
dan usahakan jadi selirnya.
Sambil jadi selir menteri
tetaplah jadi selir lelaki yang lama.
Kalau ia menolak kau rangkap
sebagaimana ia telah merangkapmu dengan isterinya
itu berarti ia tak tahu diri.
Lalu depak saja dia.
Jangan kecil hati lantaran kurang pendidikan
asal kau bernafsu dan susumu tetap baik bentuknya.
Ini selalu menarik seorang menteri.
Ngomongmu ngawur tak jadi apa
asal bersemangat, tegas, dan penuh keyakinan.
Kerna begitulah cermin seorang menteri.

(Lelawa terbang berkejaran


tandanya hari jadi sore. 
Kenanganku melayang ke saat  itu 
di tengah asyik nonton pawai 
kau meremas pantatku 
demikianlah kita lalu berkenalan 
ialah setelah kutendang kakimu. 
Dan sekarang setiap sore 
bagaikan pisang yang ranum
aku rindu tanganmu  
untuk mengupasku)

Akhirnya aku berharap untuk anakmu nanti.


Siang malam jagalah ia.
Kemungkinan besar dia lelaki.
Ajarlah berkelahi
dan jangan boleh ragu-ragu memukul dari belakang.
Jangan boleh menilai orang dari wataknya.
Sebab hanya ada dua nilai: kawan atau lawan.
Kawan bisa baik sementara.
Sedang lawan selamanya jahat nilainya.
Ia harus diganyang sampai sirna.
Inilah hakikat ilmu selamat.
Ajarlah anakmu mencapai kedudukan tinggi.
Jangan boleh ia nanti jadi propesor atau guru
itu celaka, uangnya tak ada.
Kalau bisa ia nanti jadi polisi atau tentara
supaya tak usah beli beras
kerna dapat dari negara.
Dan dengan pakaian seragam
dinas atau tak dinas
haknya selalu utama.
Bila ia nanti fasih merayu seperti kamu
dan wataknya licik seperti saya–nah!
Ini kombinasi sempurna.
Artinya ia berbakat masuk politik.
Siapa tahu ia bakal jadi anggota parlemen.
Atau bahkan jadi menteri.
Paling tidak hidupnya bakal sukses di Jakarta.

(Lelawa terbang berkejaran


tandanya hari jadi sore. 
Oplet-oplet memasang lampu.   .
Perempuan-perempuan memasang gincu.
 Dan, abang, pesankan  padaku 
 di mana kita bakal ketemu).

Analisis:
Kangen

Oleh: W.S Renda


Kau tak a kan mengerti bagaimana kesep ianku
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta.
Kau tak akan mengerti segala lukaku
karna cinta telah sembunyikan pisaunya.
Menbayangkan wajahmu adalah siksa.
K esepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.
Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi
Itulah berarti
aku tungku tanpa api.
Diksi
merupakan pemilihan kata dalam sebuah teks (puisi).Diksi pada puisi ini sangat jelas
dan pembaca mampu membaca makna pada puisi tersebut. Selain itu pemilihan kata
pada puisiW.S Rendra terdapat ketidakbakuan kata.Hal ini terdapat pada bait puisi
berikut:“Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku menghadapi kemerdekaan
tanpa cinta”.Kata tidak baku terdapat dalam baris “karna cinta telah sembunyikan
pisaunya”.Majas yang terdapat pada puisi Karya W. S Rendra yang berjudul kangen
ini yaitu majas metafora. Majas ini merupakan majas yang Hal tersebut terdapat pada
baris puisi berikut “aku tungku tanpa api”.
Rima
merupakan persamaan bunyi pada puisi. Ritma adalah alunan yang terjadi karena
perulangan dan
pergantian kesatuan bunyi. Rima terdapat pada kata luka dan pisau. Dimanaluka
tersebut dapat
disebabkan oleh pisau.Ritme terdapat pada bait 1 dan 2 yang berarus rendah-
tinggi.Berikut bait yang
menjadi rima, ritma, dan metrum pada puisi kangen.“Kau tak akan mengerti
bagaimana kesepiankumenghadapi kemerdekaan tanpa cinta”.“Kau tak akan
mengerti segala lukaku
Asonansi
karna cinta telah sembunyikan pisaunya”.pada puisi “ kangen” bunyi atau pola
asonansi yang digunakan untuk mendapatkan efek puitis, pada baris 1 dan 3:
kesepian-lukaku dan pada baris 2 dan 4: cinta-pisaunya, pola sajak pada empat baris
pertama adalah a-b-a-b. Pada baris 8,9, dan 10 juga menggunakan pola bunyi
asonansi, yaitu: sepi-berarti-api. Lambang suara (klanksymboliek) da;lam lapisan
bunyi dihubungkan dengan suara hati. Huruf vokal edan i dan huruf konsonan k, t, p,
s tersa ringan tingii, dan kecil dalam puisi “kangen” adalah: cinta, sepi, siksa< huruf
vokal a, u, o dan konsonan b, d, g, z, v, w terdengar berat , contoh: dalam puisi
“kangen” adalah: engkau membayangkan, darahku, kangen, berarti tungku.

Judul puisi Kangen memiliki makna rindu yang teramat sangat. Pada baris pertama
dan kedua “Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku menghadapi kemerdekaan
tanpa cinta” berarti: Penyair ingin mengungkapkan bahwa seseorang yang
rindukannya tak akan mengerti betapa kesepian hidupnya walaupun penyair
sebenarnya dalam kehidupan yang bebas (lajang) tetapi penyair merasa sendiri dan
kesepian tanpa cinta. Pada baris ketiga dan keempat “kau tak akan mengerti segala
lukaku kerna cinta telah sembunyikan pisaunya” berarti: penyair mengungkapkan
betapa dia merasa sakit tanpa alasan karena mencintai “kau”. Pada baris kelima
“membayangkan wajahmu adalah siksa” berarti: menahan rindu adalah hal yang
menyakitkan bahkan ketika mengenangnya. Pada baris keenam “kesepian adalah
ketakutan dalam kelumpuhan” berarti: perasaan sepi yang menyiksa penyair memang
harus dihadapi, seperti orang yang mengalami cacat fisik yaitu lumpuh. Ketika orang
lumpuh merasa takut, ia tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak bisa lari dari keadaan
takut, dan harus menghadapinya. Pada baris ketujuh “Engkau telah menjadi racun
bagi darahku” berarti: orang yang dirindukannya sudah menguasai pikirannya,
sehingga susah untuk dilupakan. Pada baris kedelapan, sembilan, dan sepuluh
“Apabila aku dalam kangen dan sepi itulah berarti aku tungku tanpa api” berarti: Saat
penyair merasa kesepian karena merindukan seseorang, ia merasa tidak berguna,
karena hanya bisa merindukannya tanpa bisa bertemu dengannya.
BAYI LAHIR BULAN MEI 1998
Karya : Taufiq Ismail

Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tetangga


Suaranya keras, menangis berhiba-hiba
Begitu lahir ditating tangan bidannya
Belum kering darah dan air ketubannya
Langsung dia memikul hutang di bahunya
Rupiah sepuluh juta

Kalau dia jadi petani di desa


Dia akan mensubsidi harga beras orang kota
Kalau dia jadi orang kota
Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya
Kalau dia bayar pajak
Pajak itu mungkin jadi peluru runcing
Ke pangkal aortanya dibidikkan mendesing

Cobalah nasihati bayi ini dengan penataran juga


Mulutmu belum selesai bicara
Kau pasti dikencinginya.

a. Diksi
Dalam lirik puisi” Suaranya keras, menangis berhiba-hiba”, kata hiba berarti
memelas, berhiba-hiba
berarti memelas-melas. Jadi, bayi yang baru lahir saja digambarkan oleh pengarang
telah merasakan
penderitaan yang akan dihadapinya nanti. Hal ini disebabkan karena dia harus
Langsung memikul
hutang dibahunya. Kata memikul dapat diartikan dengan menyandang beban. Kata
memikul juga
paralel dengan bahu.
Selain itu, penggunaan diksi pada bait yang kedua juga cukup menarik. Hal ini
terlihat pada
teks berikut ini.
Kalau dia jadi petani di desa
Dia akan mensubsidi harga beras orang kota
Kalau dia jadi orang kota
Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya
Kalau dia bayar pajak
Pajak itu mungkin jadi peluru runcing
Ke pangkal aortanya dibidikkan mendesing
Lirik yang berbunyi “Pajak itu mungkin jadi peluru runcing/ Ke pangkal aortanya
dibidikkan
mendesing” menunjukkan pemilihan kata yang cermat. Kata peluru runcing dapat
dimaknai sebagai
senjata alat yang sangat mematikan. Terlebih lagi kalau peluru itu diarahkan ke
bagian yang juga
sangat mematikan, yaitu Ke pangkal aortanya dibidikkan mendesing. Kata aorta
berarti urat nadi atau
urat leher. Penggunaan kata-kata peluru runcing, dibidikkan, aorta mendesing adalah
pilihan kata yang
sangat tepat untuk menggambarkan penderitaan dan kesengsaraan yang akan dihadapi
oleh rakyat
Citraan
Citraan yang digunakan pengarang dalam puisi “Bayi Lahir Bulan Mei 1998” ini
adalah
citraan pendengaran (auditif). Hal ini dapat diamati pada lirik ”Dengarkan itu ada
bayi mengea di
rumah tetangga/ Suaranya keras, menangis berhiba-hiba.”. Selanjutnya, dalam bait
yang sama (bait 1)
lirik ketiga berisi ”Begitu lahir ditating tangan bidannya” terdapat citraan gerak.
Citraan lain yang
digunakan dalam puisi ini adalah citraan penglihatan, yaitu “Belum kering darah dan
air ketubannya
Langsung dia memikul hutang di bahunya/Rupiah sepuluh juta.” Penggunaan
pencitraan tersebut sangat
tepat untuk menggambarkan kondisi yang terjadi pada saat itu.
Selanjutnya, pada bait kedua puisi ini pengarang menggunakan citraan visual. Hal ini
dapat
diamati pada teks berikut ini.
Kalau dia jadi petani di desa
Dia akan mensubsidi harga beras orang kota
Kalau dia jadi orang kota
Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya
Kalau dia bayar pajak
Pajak itu mungkin jadi peluru runcing
Ke pangkal aortanya dibidikkan mendesing
Dengan menggunakan citraan visual, pengarang mengarahkan imaji pembaca seakan-
akan dapat melihat bagaimana nasib bayi tersebut kalau dia jadi petani, maupun jadi
orang kota.
Penggambaran ini dilakukan melalui tindakan yang mereka harus mereka lakukan
baik ketika
tinggal di desa maupun ketika tinggal di kota
Majas
Majas yang digunakan dalam puisi,”Bayi Lahir Bulan Mei 1998” adalah majas
metonimia
yang terlihat pada lirik “Langsung ia memikul hutang dibahunya. Majas yang lain
ialah metafora yang
terlihat pada lirik “Pajak itu mungkin menjadi peluru runcing/ Kepangkal aortanya
dibidikkan mendesing.”
Majas-majas tersebut dipergunakan pengarang untuk menekankan betapa berat
penderitaan yang
akan dihadapi anak-anak yang hidup pada era selanjutnya akibat hutang negara yang
menumpuk Majas ironi juga muncul pada lirik terakhir pada bait kedua tersebut. Hal
ini tampak pada lirik
“Pajak itu mungkin jadi peluru runcing/ Ke pangkal aortanya dibidikkan mendesin
asonansi:
Kalau dia jadi petani di desa
Dia akan mensubsidi harga beras orang kota
Kalau dia jadi orang kota
Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya
(Terdapat pengulangan huruf vokal akhiran aaaa)
Rima
Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tetangga
Suaranya keras, menangis berhiba-hiba
Begitu lahir ditating tangan bidannya
Belum kering darah dan air ketubannya
Langsung dia memikul hutang di bahunya
Rupiah sepuluh juta
Terdapat juga akhiran”nya” pada setiap akhiran kalimat, : terdapat persamaan bunyi
pada akhiran setiap kalimat
Kalau dia jadi petani di desa
Dia akan mensubsidi harga beras orang kota
Kalau dia jadi orang kota
Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya
Kalau dia bayar pajak
Pajak itu mungkin jadi peluru runcing
Ke pangkal aortanya dibidikkan mendesing
Ini adalah contoh rima horizintal terdapat pengulangan bunyi konsonan k, d yang
berselang.
Deviasi: Pajak itu mungkin jadi peluru runcing dalam struktur lingustik kalimat itu
tidakklah logis karna tidak ada pajak yang bisa berubah menjadi sebuah benda
“peluru runcing”, dan dalam segi kemaknaannyua tidak masuk akal.

Dari bait pertama barus ke 5, 6, 7 terdapat kata

Belum kering darah dan air ketubannya


Langsung dia memikul hutang di bahunya
Rupiah sepuluh juta

dari segi makna lingustik, seorang bayi yang baru lahir mampu memikul hutang tetapi
pada bahunya , ini sama sekali alur dalam lingustik tidak logis karna tidak mungkin
seorang bayi memikul hutang pada bahunya.......................

Anda mungkin juga menyukai