Adapun untuk menghitung jumlah kata, Anda dapat memenggal suku kata yang ada dalam
pantun tersebut. Jumlah suku kata dalam pantun terdiri atas 8-10 suku kata. Untuk lebih
jelasnya, perhatikanlah pemenggalan suku kata pada pantun berikut.
Ka-lau-lah/ a-ku/ pu-nya / ji-mat ..... 9 suku kata
ten-tu-lah / a-ku / pan-dai/ ber-bu-ru .... 10 suku kata
ka-mu- / pas-ti/ mu-rid/ se-la-mat ..... 9 suku kata
de-ngan/ pa-tu-hi/ pe-rin-tah/ gu-ru ... 10 suku kata
Dari isinya, pantun dibedakan dalam beberapa macam, yakni
pantun anak-anak, pantun nasihat, dan pantun muda-mudi.
Selain pantun, karya sastra puisi lama adalah talibun, seloka,
gurindam, syair, dan karmina.
a. Puisi epik, yakni suatu puisi yang di dalamnya mengandung cerita kepahlawanan, baik
kepahlawanan yang berhubungan dengan legenda, kepercayaan, maupun sejarah. Puisi epik
dibedakan menjadi folk epic, yakni jika nilai akhir puisi itu untuk dinyanyikan, dan literary epic,
yakni jika nilai akhir puisi itu untuk dibaca, dipahami, dan diresapi maknanya.
b. Puisi naratif, yakni puisi yang di dalamnya mengandung suatu cerita, menjadi pelaku,
perwatakan, setting, maupun rangkaian peristiwa tertentu yang menjalin suatu cerita. Jenis puisi
yang termasuk dalam jenis puisi naratif ini adalah balada yang dibedakan menjadi folk ballad
dan literary ballad. Ini adalah ragam puisi yang berkisah tentang kehidupan manusia dengan
segala macam sifat pengasihnya, kecemburuan, kedengkian, ketakutan, kepedihan, dan
keriangannya. Jenis puisi lain yang termasuk dalam puisi naratif adalah poetic tale, yaitu puisi
yang berisi dongeng-dongeng rakyat.
c. Puisi lirik, yakni puisi yang berisi luapan batin individual penyairnya dengan segala macam
endapan pengalaman, sikap, maupun suasana batin yang melingkupinya. Jenis puisi
lirik umumnya paling banyak terdapat dalam khazanah sastra modern di Indonesia. Misalnya,
dalam puisi-puisi Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, dan lain-lain.
d. Puisi dramatik, yakni salah satu jenis puisi yang secara objektif menggambarkan perilaku
seseorang, baik lewat lakuan, dialog, maupun monolog sehingga mengandung suatu gambaran
kisah tertentu. Dalam puisi dramatik dapat saja penyair berkisah tentang
dirinya atau orang lain yang diwakilinya lewat monolog.
e. Puisi didaktik, yakni puisi yang mengandung nilai-nilai kependidikan yang umumnya
ditampilkan secara eksplisit.
f. Puisi satirik, yaitu puisi yang mengandung sindiran atau kritik tentang kepincangan atau
ketidakberesan kehidupan suatu kelompok maupun suatu masyarakat.
g. Romance, yakni puisi yang berisi luapan rasa cinta seseorang terhadap sang kekasih.
h. Elegi, yakni puisi ratapan yang mengungkapkan rasa pedih dan kedukaan seseorang.
i. Ode, yakni puisi yang berisi pujian terhadap seseorang yang memiliki jasa ataupun sikap
kepahlawanan.
j. Hymne, yakni puisi yang berisi pujian kepada Tuhan maupun ungkapan rasa cinta terhadap
bangsa dan tanah air.
Itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah
rubuh
patah
mendampar tanya: aku salah?
Puisi Chairil Anwar tersebut terdiri atas enam bait, tiga di antaranya merupakan bait yang hanya
terdiri atas satu larik puisi tersebut. Salah satunya terdapat dalam penggalan tersebut, yakni
bait "mendampar tanya: aku salah?" Peranan bait dalam puisi adalah untuk membentuk suatu
kesatuan makna dalam rangka mewujudkan pokok pikiran tertentu yang berbeda dengan
satuan makna dalam kelompok larik lainnya. Pada sisi lain, bait juga berperan menciptakan
tipografi puisi. Selain itu, bait juga berperanan dalam menekankan atau mementingkan
suatu gagasan serta menunjukkan adanya loncatan-loncatan gagasan yang dituangkan
penyairnya. Sekarang, dengan jelas Anda dapat mengetahui bahwa bait-bait dalam puisi dapat
diibaratkan sebagai suatu paragraf karangan yang paragraf atau baitnya telah mengandung
pokok-pokok pikiran tertentu.
Ke manakah pergi
mencari matahari
ketika salju turun
pohon kehilangan daun
Ke manakah jalan
mencari lindungan
ketika tubuh kuyup
dan pintu tertutup
Ke manakah lari
mencari api
ketika bara hati
padam tak berarti
Ke manakah pergi
Ke manakah pergi
selain mencuci diri
Setelah membaca puisi berjudul "Salju" karya Wing Kardjo tersebut, apakah yang pertama kali
menarik perhatian Anda? Sejalan dengan telaah unsur bangun struktur, Anda tentunya
mencoba mengamati contoh konkret dari apa yang disebut bangun struktur puisi. Dari sejumlah
unsur struktur puisi yang telah diungkapkan, sekarang kita pusatkan perhatian pada aspek
bunyi terlebih dahulu. Jika berbicara tentang masalah bunyi dalam puisi, kita harus
memahami konsep tentang hal-hal berikut.
a. Rima, menyangkut pengulangan bunyi yang berselang, baik di dalam larik puisi maupun
pada akhir larik sajak yang berdekatan.
b. Irama, yakni paduan bunyi yang menimbulkan unsur musikalitas, baik berupa alunan tinggi-
rendah, panjang-pendek, dan kuat-lemah yang keseluruhannya mampu menumbuhkan
kemerduan, kesan suasana, serta nuansa makna tertentu. Timbulnya irama itu, selain akibat
penataan rima, juga akibat pemberian aksentuasi dan intonasi maupun tempo sewaktu
melaksanakan pembacaan secara oral.
c. Ragam bunyi meliputi euphony, cacophony, dan onomatope. Rima adalah bunyi yang
berselang atau berulang, baik di dalam larik puisi maupun pada akhir larik-larik puisi. Pada
contoh puisi tersebut, misalnya, dapat dilihat adanya pengulangan bunyi vokal (e) seperti
tampak pada larik "ke manakah pergi". Perulangan bunyi demikian disebut asonansi.
Selain itu, juga dapat diamati adanya perulangan bunyi konsonan
(n) seperti nampak pada larik "pohon kehilangan daun". Perulangan bunyi konsonan itu disebut
aliterasi. Perulangan bunyi seperti contoh tersebut berlaku di antara kata-kata dalam satu larik.
Rima demikian itu disebut rima dalam. Lebih lanjut, jika kita mengamati bait pertama puisi
"Salju" tersebut, tampak juga adanya paduan bunyi antara setiap akhir larik sehingga
menimbulkan pola persajakan vokal /i/ — vokal /i/ dengan konsonan /n/ — konsonan /n/ seperti
tampak pada bentuk . . . pergi/. . . matahari/. . . turun/. . . daun. Rima demikian itu, yakni rima
yang terdapat pada akhir larik puisi, disebut rima akhir.
Pada contoh puisi tersebut juga dapat kita jumpai adanya pengulangan kata "ketika" di antara
bait-bait. Ulangan kata demikian disebut rima identik. Contoh lain misalnya, dapat diamati pada
puisi berjudul "Sajak Samar" karya Abdul Hadi W.M. berikut:
Pengulangan bunyi disebut rima sempurna jika meliputi baik pengulangan konsonan maupun
vokal, seperti tampak pada bentuk "pergi" dan "sendiri", larik 3 dan 4 puisi tersebut. Adapun
pengulangan bunyi disebut rima rupa jika pengulangan hanya tampak pada penulisan suatu
bunyi, sedangkan pelafalannya tidak sama. Misalnya, rima antara bunyi vokal /u/ dalam bentuk
"bulan" serta bunyi vokal /u/ dalam "belum", seperti tampak pada salah satu
puisi Abdul Hadi W.M. berjudul "Dan Bajumu" berikut:
Anda tentunya telah mengenal istilah euphony sebagai salah satu ragam bunyi yang mampu
menuansakan suasana keriangan, vitalitas, maupun gerak. Bunyi euphony umumnya berupa
bunyibunyi vokal. Anda sendiri dapat mengetahui bahwa kata-kata yang mengandung sesuatu
yang menyenangkan umumnya mengandung bunyi vokal, seperti tampak pada kata "gembira",
"bernyanyi", "berlari", dan lain-lain. Pada puisi "Salju" tersebut, Anda dapat melihat adanya kata
"pergi/mencari/matahari". Berkebalikan dengan bunyi euphony, bunyi cacophony adalah
bunyi yang menuansakan suasana ketertekanan batin, kebekuan, kesepian ataupun kesedihan.
Jika bunyi euphony umumnya terdapat dalam bentuk vokal, bunyi cacophony umumnya berupa
bunyi-bunyi konsonan yang berada di akhir kata. Bunyi konsonan itu dapat berupa bunyi
bilabial, seperti nampak pada larik-larik ketika tubuh kuyup dan pintu tertutup.
Peranan bunyi dalam puisi meliputi hal-hal berikut:
- untuk menciptakan nilai keindahan lewat unsur musikalitas atau kemerduan;
- untuk menuansakan makna tertentu sebagai perwujudan rasa dan sikap penyairnya;
- untuk menciptakan suasana tertentu sebagai perwujudan suasana batin dan sikap penyairnya.
Mengidentifikasi Puisi
Apakah Anda pernah mengikuti lomba deklamasi puisi? Di dalam puisi yang dibacakan
berisikan hal-hal yang indah, baik dari segi isi maupun segi nada pengucapan. Puisi
sebenarnya adalah hasil karya seseorang yang menciptakan dunianya tersendiri. Ia mencipta
dengan penuh perenungan dan ekspresi hati paling dalam. Oleh sebab itu, sebuah puisi yang
lahir dari tangan penyair atau Anda sendiri adalah curahan hati yang menggambarkan suasana
batin.
a. Lambang, yakni jika kata-kata itu mengandung makna seperti makna dalam kamus (makna
leksikal) sehingga acuan maknanya tidak merujuk pada berbagai macam kemungkinan lain
(makna denotatif).
b. Utterance atau indice, yakni kata-kata yang mengandung makna sesuai dengan keberadaan
dalam konteks pemakaian. Kata "jalang" dalam baris puisi Chairil, "Aku ini binatang jalang",
telah berbeda maknanya dengan "wanita jalang itu telah berjanji mengubah nasibnya".
c. Simbol, yakni jika kata-kata itu mengandung makna ganda (makna konotatif) sehingga untuk
memahaminya seseorang harus menafsirkannya (interpretatif) dengan melihat bagaimana
hubungan makna kata tersebut dengan makna kata lainnya (analisis kontekstual), sekaligus
berusaha menemukan fitur semantisnya lewat kaidah proyeksi, mengembalikan kata
ataupun bentuk larik (kalimat) ke dalam bentuk yang lebih sederhana lewat pendekatan
parafrastis. Lambang dalam puisi mungkin dapat berupa kata tugas, kata dasar, maupun kata
bentukan. Adapun simbol dapat dibedakan antara lain:
a. Blank symbol, yakni jika simbol itu, meskipun acuan maknanya bersifat konotatif, pembaca
tidak perlu menafsirkannya karena acuan maknanya sudah bersifat umum, misalnya "tangan
panjang", "lembah duka", atau "mata keranjang",
b. Natural symbol, yakni jika simbol itu menggunakan realitas alam, misalnya "cemara pun
gugur daun", "ganggang menari", atau "hutan kelabu dalam hujan",
c. Private symbol, yakni jika simbol itu secara khusus diciptakan dan digunakan penyairnya,.
misalnya "aku ini binatang jalang", "mengabut nyanyian", atau 'lembar bumi yang fana". Batas
antara private symbol dengan natural symbol dalam hal ini sering kali kabur.
Ada pula istilah pengimajian, yakni penataan kata yang menyebabkan makna-makna abstrak
menjadi konkret dan cermat. Adanya kekonkretan dan kecermatan makna kata-kata dalam puisi
membuat pembaca lebih mampu mengembangkan daya imajinasinya sekaligus
mengembangkan daya kritisnya dalam upaya memahami totalitas makna suatu puisi.
Selain pengimajian, terdapat juga istilah pengiasan, yakni pengimajian dengan menggunakan
kata-kata kias sehingga menimbulkan makna yang lebih konkret dan cermat. Agar mampu
mengapresiasi puisi dengan baik, pembaca tidak cukup menghafal konsep-konsep di atas,
tetapi juga harus terampil mengidentifikasi ragam kata dalam suatu puisi, terampil menentukan
makna katanya serta terampil menghubungk an makna kata yang satu dengan lainnya.
Sekarang, bacalah bait pertama puisi "Salju" berikut ini secara cermat. Ke manakah pergi
mencari matahari ketika salju turun pohon kehilangan daun.
Seandainya bait puisi tersebut kita penggal secara terpisah, akan kita jumpai adanya bentuk (1)
ke, (2) mana, (3) -kan, (4) men-, (5) cari, (6) matahari, (7) ketika, (8) salju, (9) turun, (10) pohon,
(11) ke-an, (12) hilang, dan (13) daun. Bentuk ke sebagai kata depan, dan bentuk menserta
ke-an sebagai imbuhan, keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari kata-kata yang
mengikutinya. Adapun kata ketika dapat ditentukan sebagai kata tugas. Keberadaannya
tidak dapat dilepaskan dari kata yang mendahului dan mengikutinya.
Ke manakah pergi
mencari matahari
ketika salju turun
pohon kehilangan daun
Ke manakah jalan
mencari lindungan
ketika tubuh kuyup
dan pintu tertutup
Ke manakah lari
Mencari api
Ketika bara hati
Padam tak berarti
Ke manakah pergi
Selain mencuci diri
Berikut ini adalah langkah-langkah yang dapat Anda lakukan
untuk menganalisis isi puisi tersebut.
d. Kategori kata
Untuk membuktikan kebenaran gambaran makna judul maupun gambaran makna secara
umum tersebut, kita sekarang perlu menelaah lebih mendalam. Jalan pertama yang kita tempuh
adalah mengategorikan kata-kata yang termasuk kategori lambang dan kata-kata yang
termasuk kategori simbol. Dalam hal ini ditetapkan bahwa kata-kata dalam puisi tersebut
yang termasuk lambang adalah kata-kata "ke manakah", "pergi", "mencari", dan "ketika".
Adapun kata-kata yang bersifat simbolik adalah "matahari", "salju turun", "pohon", dan
"kehilangan daun".
ke manakah pergi
mencari kehidupan
ketika hidupku sepi tak berarti
ketika diriku hampa tidak bermakna
Dengan cara yang sama, bait-bait berikutnya dapat juga diredaksikan sebagai berikut:
ke manakah harus berjalan
mencari perlindungan
ketika diriku menderita
dan tak se orang pun mau menerima
ke manakah harus berlari
mencari petunjuk dan kekuatan kehidupan
ketika semangat hidupku
menjadi padam tidak berarti
tidak ada jalan lain
selain bersujud di hadapan Tuhan untuk menemukan kesucian
III. Cerpen
Cerpen sebagai karya fiksi dibangun oleh unsur-unsur pembangun di dalamnya, yakni oleh
unsur intrinsik dan ekstrinsik. Cerpen memiliki unsur peristiwa, alur, tema, tokoh, latar, sudut
pandang, dan lain-lain. Karena bentuknya yang pendek, cerpen menuntut penceritaan yang
serba ringkas, tidak sampai pada detildetil khusus "kurang penting" yang lebih bersifat
memperpanjang cerita. Cerpen sebagai karya sastra prosa memiliki unsur-unsur dalam
(intrinsik) yang membangunnya. Hal yang pelu diperhatikan adalah unsur-unsur tersebut
membentuk kesatuan yang utuh. Dalam hal ini, satu unsur akan mempengaruhi unsur lainnya.
Cerpen dapat dibedakan antara cerpen hiburan dan cerpen serius. Dalam istilah kita dibedakan
antara cerpen sastra dan cerpen hiburan. Perbedaan kedua jenis cerpen ini adalah pada
kualitas isi cerpen. Banyak sebagian cerpenis yang menghasilkan baik cerpen hiburan maupun
sastra dengan cara yang tidak jauh berbeda. Contoh cerpenis yang ahli dalam membuat cerpen
hiburan maupun cerpen sastra adalah Mottinggo Busye, Ahmad Tohari, Jajak M.D., dan
Asbari Nurpatria Krisna. Bacalah cerpen berikut dengan cermat.
Shalawat Badar
Karya Ahmad Tohari
adalah manusia-manusia kikir, atau manusia-manusia yang tak punya duit. Suasana sungguh gerah,
sangat bising dan para penumpang tak berdaya melawan keadaan yang sangat menyiksa itu. Dalam
keadaan seperti itu, harapan para penumpang hanya satu; hendaknya sopir cepat datang dan bus
segera bergerak kembali untuk meneruskan perjalanan ke Jakarta. Namun laki-laki yang menjadi
tumpuan harapan itu kelihatan sibuk dengan kesenangannya sendiri. Sopir itu enak-enak bergurau
dengan seorang perempuan penjual buah. Sementara para penumpang lain kelihatan sangat gelisah dan
jengkel, aku mencoba bersikap lain. Perjalanan semacam ini sudah puluhan kali aku alami. Dari
pengalaman seperti itu aku mengerti bahwa ketidaknyamanan dalam perjalanan tak perlu dikeluhkan
karena sama sekali tidak mengatasi keadaan. Supaya jiwa dan raga tidak tersiksa, aku selalu mencoba
berdamai dengan keadaan. Maka kubaca semuanya dengan tenang: Sopir yang tak acuh terhadap
nasib para penumpang itu, tukang-tukang asongan yang sangat berisikitu, dan lelaki yang setengah
mengantuk sambil mengepulkan asap di belakangku itu. Bus yang aku tumpangi masuk terminal Cirebon
ketika matahari hampir mencapai pucuk langit. Terik matahari ditambah dengan panasnya mesin disel
tua memanggang bus itu bersama isinya. Untung bus tak begitu penuh sehingga sesama penumpang tak
perlu bersinggungan badan. Namun, dari sebelah kiriku bertiup bau keringat melalui udara yang dialirkan
dengan kipas koran. Dari belakang terus-menerus mengepul asap rokok dari mulut seorang lelaki
setengah mengantuk. Begitu bus berhenti, puluhan pedagang asongan menyerbu masuk. Bahkan
beberapa di antara mereka sudah membajingloncat ketika bus masih berada di mulut terminal bus
menjadi pasar yang sangat hirukpikuk. Celakanya, mesin bus tidak dimatikan dan sopir melompat turun
begitu saja. Dan para pedagang asongan itu menawarkan dagangan dengan suara melengking agar bisa
mengatasi derum mesin. Mereka menyodor-nyodorkan dagangan, bila perlu sampai dekat sekali ke mata
para penumpang. Kemudian, mereka mengeluh ketika mendapati tak seorang pun
mau berbelanja. Seorang di antara mereka malah mengutuk dengan mengatakan para penumpang
Masih banyak hal yang belum sempat aku baca ketika seorang lelaki naik ke dalam bus. Celana, baju,
dan kopiahnya berwarna hitam. Dia naik dari pintu depan. Begitu naik lelaki itu mengucapkan salam
dengan fasih. Kemudian dari mulutnya mengalir Shalawat Badar dalam suara yang bening. Tangannya
menadahkan mangkuk kecil. Lelaki itu mengemis. Aku membaca tentang pengemis ini dengan perasaan
yang sangat dalam. Aku dengarkan baik-baik shalawatnya. Ya, persis. Aku pun sering membaca
shalawat seperti itu terutama dalam pengajian-pengajian umum atau rapatrapat.
Sekarang kulihat dan kudengar sendiri ada lelaki membaca Shalawat Badar untuk mengemis.
Kukira pengemis itu sering mendatangi pengajianpengajian. Kukira dia sering mendengar
ceramahceramah tentang kebaikan hidup baik dunia maupun akhirat. Lalu dari pengajian seperti itu dia
hanya mendapat sesuatu untuk membela kehidupannya di dunia. Sesuatu itu adalah Shalawat Badar
yang kini sedang dikumandangkannya sambil menadahkan tangan. Ada perasaan tidak setuju mengapa
hal-hal yang kudus seperti bacaan shalawat itu dipakai untuk mengemis. Tetapi perasaan demikian
lenyap ketika pengemis itu sudah berdiri di depanku. Mungkin karena shalawat
itu, maka tanganku bergerak merogoh kantong dan memberikan selembar ratusan. Ada banyak hal dapat
dibaca pada wajah si pengemis itu. Di sana aku lihat kebodohan, kepasrahan yang memperkuat
penampilan kemiskinan. Wajah-wajah seperti itu sangat kuhafal karena selalu hadir mewarnai
pengajian yang sering diawali dengan Shalawat Badar. Ya. Jejak-jejak pengajian dan ceramah-ceramah
tentang kebaikan hidup ada berbekas pada wajah pengemis itu.
Lalu mengapa dari pengajian yang sering didatanginya ia hanya bisa menghafal Shalawat Badar dan kini
menggunakannya untuk mengemis? Ah, kukira ada yang tak beres. Ada yang salah. Sayangnya, aku tak
begitu tega menyalahkan pengemis yang terus membaca shalawat itu. Perhatianku terhadap si pengemis
terputus oleh bunyi pintu bus yang dibanting. Kulihat sopir sudah duduk di belakang kemudi. Kondektur
melompat masuk dan berteriak kepada sopir. Teriakannya ditelan oleh bunyi mesin disel yang meraung-
raung. Kudengar kedua awak bus itu bertengkar. Kondektur tampaknya enggan melayani bus yang tidak
penuh, sementara sopir sudah bosan menunggu tambahan penumpang yang ternyata tak kunjung
datang. Mereka bertengkar melalui kata-kata yang tak sedap didengar. Dan bus terus melaju
meninggalkan terminal Cirebon. Sopir yang marah menjalankan busnya dengan gila-gilaan. Kondektur
diam. Tetapi kata-kata kasarnya mendadak tumpah lagi. Kali ini bukan kepada sopir,
melainkan kepada pengemis yang jongkok dekat pintu belakang. "He, siral kenapa kamu tidak turun?
Mau jadi gembel di Jakarta? Kamu tidak tahu gembel di sana
pada dibuang ke laut dijadikan rumpon?” Pengemis itu diam saja.
"Turun!" "Sira beli mikir? Bus cepat seperti ini aku harus
turun?"
"Tadi siapa suruh kamu naik?"
"Saya naik sendiri. Tapi saya tidak ingin ikut. Saya cuma mau ngemis, kok. Coba, suruh sopir berhenti.
Nanti saya akan turun. Mumpung belum jauh." Kondektur kehabisan kata-kata. Dipandangnya
pengemis itu seperti ia hendak menelannya bulatbulat. Yang dipandang pasrah. Dia tampaknya rela
diperlakukan sebagai apa saja asal tidak didorong keluar dari bus yang melaju makin cepat. Kondektur
berlalu sambil bersungut. Si pengemis yang merasa sedikit lega, bergerak memperbaiki posisinya di
dekat pintu belakang. Mulutnya kembali bergumam:
"... shalatullah, salamullah, ‘ala thaha rasulillah...."
Shalawat itu terus mengalun dan terdengar makin jelas karena tak ada lagi suara kondektur. Para
penumpang membisu dan terlena dalam pikiran masing-masing. Aku pun mulai mengantuk sehingga
lama-lama aku tak bisa membedakan mana suara shalawat dan mana derum mesin diesel. Boleh jadi
aku sudah berada di alam mimpi dan di sana kulihat ribuan
orang membaca shalawat. Anehnya,mereka yang berjumlah banyak sekali itu memiliki rupa yang sama.
Mereka semuanya mirip sekali dengan pengemis yang naik dalam bus yang kutumpangi di terminal
Cirebon. Dan dalam mimpi pun aku berpendapat bahwa mereka bisa menghafal teks shalawat itu dengan
sempurna karena mereka sering mendatangi ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup di dunia maupun
akhirat. Dan dari ceramah-ceramah seperti itu mereka hanya memperoleh hafalan yang untungnya boleh
dipakai modal menadahkan tangan. Kukira aku masih dalam mimpi ketika kurasakan
peristiwa yang hebat. Mula-mula kudengar guntur meledak dengan suara dahsyat. Kemudian kulihat
mayat-mayat beterbangan dan jatuh di sekelilingku. Mayat-mayat itu terluka dan beberapa di antaranya
kelihatan sangat mengerikan. Karena merasa takut aku pun lari. Namun aku tersandung batu dan jatuh
ke tanah. Mulut terasa asin dan aku meludah. Ternyata ludahku merah. Terasa ada cairan mengalir dari
lobang hidungku. Ketika kuraba, cairan itu pun merah. Ya
Tuhan. Tiba-tiba aku tersadar bahwa diriku terluka parah. Aku terjaga dan di depanku ada malapetaka.
Bus yang kutumpangi sudah terkapar di tengah sawah dan bentuknya sudah tak keruan. Di dekatnya
terguling sebuah truk tangki yang tak kalah ringseknya. Dalam keadaan panik aku mencoba bangkit
bergerak ke jalan raya. Namun rasa sakit memaksaku duduk kembali. Kulihat banyak kendaraan berhenti
Kudengar orangorang merintih. Lalu samar-samar kulihat seorang lelaki kusut keluar dari bangkai bus.
Badannya tak tergores sedikit pun. Lelaki itu dengan tenang berjalan kembali
ke arah kota Cirebon. Telingaku dengan gamblang mendengar suara lelaki yang terus berjalan dengan
tenang ke arah timur itu: "Shalatullah, salamullah, ‘ala thaha rasulillah.. .
Setelah membaca cerpen tersebut, apakah Anda menemukan hal menarik untuk ditanggapi?
Anda dapat menanggapi dari sudut tokoh, tema, ataupun amanat di dalamnya.
Salah satu hal yang menarik dari sebuah cerpen adalah hadirnya alur. Ketegangan saat
mengikuti sebuah cerita memang menyenangkan dan menjadi hiburan tersendiri. Terkadang,
cerita hiburan bertumpu pada plotnya dan kurang menggarap tema. Inti dari munculnya
permasalahan adalah berbenturannya watak-watak tokoh. Para tokoh masing-masing memiliki
sikap dan sifat sendiri. Ketegangan dalam cerpen akan menjadi daya tarik sendiri dalam sebuah
cerpen. Alur cerita dalam cerpen "Shalawat Badar" karya Ahmad Tohari menggunakan teknik
alur cerita yang konvensional. Dalam hal ini, konfilik berawal dari pengenalan sang tokoh "aku"
tentang keadaan bus yang ia tumpangi di sebuah terminal. Kemudian, timbul konflik batin
tokoh "aku" tentang keadaannya. Hal ini digambarkan dengan kondisi bus yang berisi
penumpang dan para pedagang asongan. Permasalahan yang ada dalam diri si tokoh "aku"
semakin memuncak manakala datang seorang pengemis yang menjadikan shalawat yang
sakral sebagai media untuk mencari nafkah dari belas kasihan para penumpang.
Permasalahan semakin memuncak (klimaks) saat sopir dan kondektur bertengkar. Selain itu,
konflik muncul lagi saat kondektur bus bertengkar dengan si pengemis tadi. Puncaknya adalah
saat bus tersebut bertabrakan dengan sebuah truk. Pada bagian akhir, dikisahkan bahwa si
pengemis yang selalu mengumandangkan shalawat selamat dari kecelakaan dan tidak terluka
sedikit pun. Pada akhir cerita, pembaca disuguhi persepsi masing-masing terhadap keadaan
akhir tiap tokoh. Peredaan persepsi tersebut muncul akibat adanya perbedaan pola pikir
dan sudut pandang (subjektivitas) pembaca.
4. Latar (Setting)
Latar (setting) merupakan salah satu bagian cerpen yang dianggap penting sebagai penggerak
cerita. Setting mempengaruhi unsur lain, semisal tema atau penokohan. Setting tidak hanya
menyangkut lokasi di mana para pelaku cerita terlibat dalam sebuah kejadian. Adapun
penggolongan setting dapat dikelompokkan dalam setting tempat, setting waktu, dan setting
sosial.
6. Gaya
Gaya menyangkut cara khas pengarang dalam mengungkapkan ekspresi berceritanya dalam
cerpen yang ia tulis. Gaya tersebut menyangkut bagaimana seorang pengarang memilih tema,
persoalan, meninjau persoalan, dan menceritakannya dalam sebuah cerpen.
7. Amanat
Amanat adalah bagian akhir yang merupakan pesan dari cerita yang dibaca. Dalam hal ini,
pengarang "menitipkan" nilai-nilai kehidupan yang dapat diambil dari cerpen yang dibaca.
Amanat menyangkut bagaimana sang pembaca memahami dan meresapi cerpen yang ia
baca. Setiap pembaca akan merasakan nilai-nilai yang berbeda dari cerpen yang dibacanya.
Hal lain yang termasuk unsur sastra adalah unsur ekstrinsik. Unsur ini berada di luar karya
sastra itu sendiri. Misalnya, nama penerbit, tempat lahir pengarang, harga buku, hingga
keadaan di sekitar saat karya sastra tersebut ditulis.